Anda di halaman 1dari 26

Sabtu, 10 Mei 2014

Laporan Pendahuluan Abses


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang

terakumulasi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri

atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik).

Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan

infeksi ke bagian lain dari tubuh.

Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan

pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik

kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan

aliran darah setempat.

Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel

sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah menginfeksi struktur lain di

sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung

menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda

asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam nanah.

Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi nanah di

dalam kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada

akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.

Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain yang

mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi, yakni: kemerahan

(rubor), panas (calor), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor), dan hilangnya
fungsi. Abses dapat terjadi pada setiap jaringan solid, tetapi paling sering terjadi pada permukaan

kulit, pada paru-paru, otak, gigi, ginjal, dan tonsil. Komplikasi mayor abses adalah

penyebaran abses ke jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat

yang ekstensif (gangren).

Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga

tindakan medis secepatnya diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu

abses dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal (meskipun jarang) apabila abses tersebut

mendesak struktur yang vital, misalnya abses leher dalam yang dapat menekan trakhea.

Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik. Namun

demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen, dan kuretase.

Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, utamanya

apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak

disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan

dengan pemberian obat analgesik dan mungkin juga antibiotik.

Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya diindikasikan apabila abses

telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Hal

ini dinyatakan dalam sebuah aforisme Latin: Ubi pus, ibi evacua.

Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis, tindakan

pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang perlu dilakukan.

Drainase abses paru dapat dilakukan dengan memposisikan penderita sedemikian hingga

memungkinkan isi abses keluar melalui saluran pernapasan. Memberikan kompres hangat dan

meninggikan posisi anggota gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.

Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik

antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya

kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui


komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat
melalui komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan

doxycycline.

Adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan

menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan yang efektif.

Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke dalam abses, selain bahwa

antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.

Namun demikian, walaupun sebagian besar buku ajar kedokteran menyarankan untuk dilakukan

insisi pembedahan, sebagian dokter hanya menangani abses secara konservatif dengan

menggunakan antibiotik.

http://id.wikipedia.org/wiki/Abses

Dari data RSUD Dr R Soetrasno Rembang kususnya di ruang Melati jumlah pasien abses

mulai bulan januari sampai bulan july 2010 adalah 11 orang, oleh dasar itulah penulis ingin

membahas lebih jauh tentang penyakit abses.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum :

Dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn.T dengan Abses Femur Dextra di ruang

melati RSUD Dr. R Soetrasno Rembang

2. Tujuan kusus :

a. Dapat melaksanakan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Abses Femur Dextra dengan

benar.

b. Dapat menganalisa dan merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Abses Femur

Dextra dengan benar.

c. Dapat melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien dengan Abses Femur Dextra dengan

benar.

d. Dapat melaksanakan implementasi pada pasien dengan Abses Femur Dextra dengan benar.
e. Dapat melakukan evaluasi pada klien dengan Abses Femur Dextra dengan benar.
f. Membahas kesenjangan yang ada dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan

Abses Femur Dextra dengan benar.

g. Dapat mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam pengelolaan kasus dengan Abses

Femur Dextra dengan benar.

C. Sistematika penulisan
Untuk mempermudah pemahaman karya tulis ini penulis membagi sistematika penulisan

dalam 5 BAB yaitu BAB 1 pendahuluan terdiri dari tentang latar belakang, tujuan penulisan dan

sistematikapenulisan. BAB II konsep dasar teori meliputi pengertian, etiologi, pathofisiologi,

manifestasi klinis, pathway, focus pengkajin, diagnosa keperawatan, fokus intervensi. BAB III

resume keperawatan, merupakan uraian kasus pada Tn.T dengan Abses Femur Dextra mulai dari

pengkajian, analisa data, intervensi, implementasi, catatan perkembangan, evaluasi. BAB IV

Pembahasan terdiri dari masalah kesenjangan antara teori dengan kasus nyata dan pembenaran.

BAB V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II

KONSEP DASAR

Dalam bab ini penulis akan membahas tentang tinjauan pustaka dari asuhan keperawatan

pada Tn.T dengan abses femur dextra di ruang Melati RSUD Dr R Soetrasno Rembang mulai

dari pengertian ,etiologi, pathofisiologi, manifestasi klinis, pathway, penatalaksanaan,

pemeriksaan penunjang sampai dengan proses keperawatan yang meliputi fokus

pengkajian,analisa data, diagnosa keperawatan yang diarahkan pada pathway serta fokus
intervensinya.
A. Pengertian
Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus

(bakteri,jaringan nekrotik dan sel darah putih)

( Smelltzer at.al, 2001: 496)

Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati yang terakumulasi disebuah kavitas

jaringan karena adanya proses infeksi). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan

untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi kebagian lain dari tubuh

(http://id.wikipedia.org/wiki/abses)

B. Etiologi
Menurut ahli penyakit infeksi penyebab abses antara lain :

1. Infeksi Mikrobial

Merupakan penyebab paling sering terjadinya abses. Virus menyebabkan kematian sel

dengan cara multiplikasi. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis

kimiawi yang merupakan awal radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubunganya dengan

dinding sel

2. Reaksi hipersensitivitas.

Terjadi bila ada perubahan respon Imunologi yang menyebabkan jaringan rusak.

3. Agen Fisik

Melalui trauma fisik, ultra violet, atau radiasi, terbakar, atau dinding berlebih (frostbite).

4. Bahan kimia iritan dan korosif

Bahan oksidan, asam, basa, akan merusak jaringan dengan cara memprovokasi terjadinya

proses radang, selain itu agen infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi

dan langsung menyebabkan radang

5. Nekrosis jaringan

Aliran darah yang kurang akan menyebabkan hipoksia dan berkurangnya makanan pada
dearah yang bersangkutan.
Menyebabkan kematian jaringan yang merupakan stimulus kuat penyebab infeksi pada daerah

tepi infeksi sering memperlihatkan suatu respon radang akut.

(Underwood,lC.E. 1999: 232 )

C. Faktor Predisposisi.
Faktor predisposisi dari abses yaitu :

1. Penurunan daya tahan tubuh.

2. Kurang gizi.

3. Anemia.

4. Diabetes

5. Keganasan(kanker)

6. Penyakit lainya

7. Higienis jelek

8. Kegemukan

9. Gangguan kemotatik

10. Sindroma hiper IgE

11. Carier kronik Staphilococcus Aureus.

12. Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi,. ekscoriasis, scabies, pedikulosis.

(http//Imadeharyoga.com)

D. Patofisiologi
Kuman yang masuk kedalam tubuh akan menyebabkan kerusakanakan jaringan dengan cara

mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik (sintesis), kimiawi yang

secara spesifik mengawali proses peradangan atau melepaskan endotoksin yang ada hubunganya

dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila ada perubahan kondisi respon imunologi
mengakibatkan perubahan reaksi imun yang merusak jaringan. Agent fisik dan bahan kimia
oksidan dan korosif menyebabkan kerusakan jaringan,kematian jaringan menstimulus untuk

terjadi infeksi. Infeksi merupakan salah penyebab dari peradangan, kemerahan merupakan tanda

awal yang terlihat akibat dilatasi arteriol akan meningkatkan aliran darah ke mikro sirkulasi

kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan bersifat lokal. Peningkatan suhu dapat terjadi secara

sistemik.

Akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofaq mempengaruhi termoregulasi pada suhu

lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi. Peradangan terjadi

perubahan diameter pembuluh darah mengalir keseluruh kapiler, kemudian aliran darah kembali

pelan. Sel-sel darah mendekati dinding pembuluh darah didaerah zona plasmatik. Leukosit

menempel pada epitel sehingga langkah awal terjadi emigrasi kedalam ruang ekstravaskuler

lambatnya aliran darah yang mengikuti Fase hyperemia meningkatkan permiabilitas vaskuler

mengakibatkan keluarya plasma kedalam jaringan, sedang sel darah tertinggal dalam pembuluh

darah akibat tekanan hidrostatik meningkat dan tekanan osmotik menurun sehingga terjadi

akumulasi cairan didalam rongga ekstravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat

yaitu edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga abses

menyebabkan rasa nyeri. Mediator kimiawi, termasuk bradikinin, prostaglandin, dan serotonin

merusak ujung saraf sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif

dan termosensitif yang menimbulkan nyeri. Adanya edema akan mengganggu gerak jaringan

sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas litas.

Inflamasi terus terjadi selama, masih ada pengrusakan jaringan bila penyabab kerusakan bisa

diatasi, maka debris akan difagosit dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan

kesembuhan. Reaksi sel fagosit yang berlebihan menyebabkan debris terkumpul dalam suatu

rongga membentuk abses di sel jaringan lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat

menimbulkan reaksi tubuh yang berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan

pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak (fase organisasi),
bila fase destruksi jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan melalui jaringan granulasi
fibrosa. Tapi bila destruksi jaringan berlangsung terus akan terjadi fase inflamasi kronik yang

akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang.

Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan sehingga terjadi

kerusakan Integritas kulit. Sedangkan abses yang diinsisi dapat mengakibatkan resiko

penyebaran infeksi.

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari abses yaitu :

Manifstasi Klini

1. Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain yang

mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari prose inflamasi, yakni kemrahan (rubor),

panas (color), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi.

(http: //id.wikipedia.org/wiki/Abses)

2. Timbul atau teraba benjolan pada tahap awal berupa benjolan kecil, pada stadium lanjut benjolan

bertambah besar, demam, benjolan meningkat, malaise, nyeri, bengkak, berisi nanah (pus).

(http//www.surabayapost.co.id)

3. Gambaran Klinis

a. Nyeri tekan

b. Nyeri lokal

c. Bengkak

d. Kenaikan suhu

e. Leukositosis

(Modifikasi: Smeltzer at aI, 2001 : 496. Levis, S Met al,200 : 1187,589)

4. Tanda-tanda infeksi

a. Rubor ( kemerahan ).

b. Kolor (panas) menggigil atau demam ( lebih dari 37,7° C ).


c. Dolor ( nyeri ).
d. Tumor ( bengkak ) terdapat pus ( rabas ) bau membusuk.

e. Fungtio laesa.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dari abses antara lain:

1. Kultur ; Mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas menentukan obat yang paling

efektif.

2. Sel darah putih, Hematokrit mungkin meningkat, Leukopenia, Leukositosis (15.000 - 30.000)

mengindikasikan produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.

3. Elektrolit serum, berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan menyebabkan acidosis,

perpindahan cairan dan perubahan fungsi ginjal

4. Pemeriksaan pembekuan : Trombositopenia dapat terjadi karena agregasi trombosit, PT/PTT

mungkin memanjang menunjukan koagulopati yang diasosiasikan dengan iskemia hati/sirkulasi

toksin/status syok.

5. Laktat serum : Meningkat dalam acidosis metabolic, disfungsi hati, syok.

6. Glukosa serum, hiperglikemi menunjukkan glukogenesis dan glikogenesis di dalam hati sebagai

respon dari puasa/perubahan seluler dalam metabolism.

7. BUN/Kr : Peningkatan kadar diasosiasikan dengan dehidrasi,ketidakseimbangan/kegagalan

ginjal dan disfungsi/kegagalan hati.

8. GDA : Alkalosis respiratori hipoksemia,tahap lanjut hipoksemia asidosis respiratorik dan

metabolic terjadi karena kegagalan mekanisme kompensasi.

9. Urinalisis : Adanya sel darah putih/bakteri penyebab infeksi sering muncul protein dan sel darah

merah.

10. Sinar X : Film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan udara bebas di dalam

abdomen/organ pelvis.

11. EKG : Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T,dan disritmia yang
menyerupai infak miokard.
(Doenges,2000:873)

G. Penatalaksanan
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik. Namun

demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen atau kuretase.

Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, utamanya apabila

disebabkan oleh benda asing karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak

disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersama

dengan pemberian obat analgetik. Drainase, abses dengan menggunakan pembedahan biasanya

diindikasi apabila abses telah berkembang dari peradangan serasa yang keras menjadi tahap

nanah yang lebih lunak.

Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus, antibiotik

antistafilokokus seperti flucloxacillin atau didoxacillin sering digunakan. Dengan adanya

kemunculan stophylococcus aureus yang dapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut

menjadi tidak efekif.

Fokus Pengkajian
Data tergantung pada tipe,lokasi,durasi dari proses infektif dan organ-organ yang terkena

1. Aktifitas I istirahat

Gejala : Malaise

2. Sirkulasi

Tanda : Tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal (selama curah jantung tetap

meningkat). Denyut perifer kuat, cepat (perifer hiperdinamik); lemah/lembut/mudah hilang,

takikardi ekstrem (syok). Suara jantung : disritmia dan perkembangan S3 dapat mengakibatkan

disfungsi miokard, efek dari asidosis/ketidakseimbangan elektrolit. Kulit hangat, kering,

bercahaya (vasodilatasi), pucat, lembab, burik (vasokonstriksi).

3. Eliminasi

Gejala : Diare
4. Makanan/cairan

Gejala : Anoreksia, mual, muntah.

Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/masa otot (malnutrisi). Penurunan haluaran,

konsentrasi urine; perkembangan ke arah oliguria, anuria.

5. Neurosensori

Gejala : Sakit kepala, pusing, pingsan.

Tanda : Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma

6. Nyeri I/kenyamanan

Gejala : Kejang abdominal, lokalisasi nyeri/ketidaknyamanan, urtikaria, pruritus umum.

7. Pemafasan

Tanda : Takipnea dengan penurunan kedalaman pemafasan, penggunaan kortikosteroid, infeksi baru,

penyakit viral.

Tanda : Suhu umumnya meningkat (37,95°C atau lebih) tetapi mungkin normal pada lansia mengganggu

pasien, kadang sub normal (dibawah 36,5°C), menggigil, luka yang sulit/lama sembuh, drainase

purulen, lokalisasi eritema, ruam eritema makuler.

8. Sexualitas

Gejala : Perineal pruritus, baru saja menjalani kelahiran/aborsi


Tanda : Maserasi vulva, pengeringan vaginal purulen.

9. Penyuluhan / pembelajaran

Gejala : Masalah kesehatan kronis/melemahkan misal: DM, kanker, hati, jantung, ginjal, kecanduan

alkohol. Riwayat splenektomi. Baru saja menjalani operasi prosedur invasive, luka traumatik.

10. Pertimbangan : Menunjukan lama hari rawat 7,5 hari.

ulangan : Mungkin dibutuhkan bantuan dengan perawatan/alat dan bahan untuk luka, perawatan,

perawatan diri, dan tugas-tugas rumah tangga

Prioritas Keperawatan
a. Menghilangkan infeksi.

b. Mendukung perfusi jaringan/volume sirkulasi.

c. Mencegah komplikasi.

d. Memberikan informasi mengenai proses penyakit, prognosa dan kebutuhan pengobatan.

(Doenges,2000:240)

H. Pathway
I. Diagnosa Keperawatan
Secara teori pada kasus abses dapat ditarik beberapa diagnose keperawatan antara lain :

1. Resiko tinggi berhubungan dengan prosedur invasif

2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,

perubahan regulasi temperatur.

3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran darah

arteri dan vena.


4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan permiabilitas /

kebocoran cairan kedalam lokasi interstisial (ruang ketiga).

5. Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah.

6. Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kesalahan interpretasi informasi.

7. Nyeri berhubungan dengan regangan dan distorsi abses (kerusakanjaringan).

8. Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh (gangguan neuromuskular).

9. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi

lapisan kulit.

( Doenges,2000:241 )

J. Fokus Intervensi
Ada beberapa fokus intervensi yang muncul adalah sebagai berikut :

1. Resiko tinggi infeksi terhadap perkembangan infeksi oportunistik berhubungan dengan prosedur

invasif.

uan : Menunjukan penyembuhan luka seiring perjalanan waktu.

eria Hasil : Bebas dari sekresi purulen/drainase, atau eritema dan afebris.

Intervensi

a. Berikan isolasi / pantau pengunjung sesuai indikasi.

Rasional : Isolasi luka / linen dan mencuci tangan adalah yang dibutuhkan untuk mengalirkan luka,

sementara isolasi / pembatasan pengunjung dibutuhkan untuk melindungi pasien imunosupresi.

Mengurangi resiko kemungkinan infeksi.

b. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas walaupun menggunakan sarung tangan

steril.

Rasional : Mengurangi kontaminasi silang.

c. Batasi penggunaan alat / prosedur invasif jika memungkinkan.


Rasional : Mengurangi jumlah lokasi yang dapat menjadi tempat masuk organisme.
d. Lakukan inspeksi terhadap luka / sisi alat invasif setiap hari, berikan perhatian utama terhadap

jalur hiperalimentasi

Rasional : Memberikan gambaran untuk identifikasi awal dari infeksi sekunder.

e. Gunakan teknik steril pada waktu penggantian balutan

Rasional : Mencegah masuknya bakteri, mengurangi resiko infeksi nosokomial.

f. Gunakan sarung tangan / pakaian pada waktu merawat luka yang terbuka/antisipasi dari kontak

langsung dengan sekresi ataupun ekskresi.

Rasional : Mencegah penyebaran infeksi / kontaminasi silang.

g. Buang balutan/bahan yang kotor dalam kantung ganda

Rasional : Mengurangi area kotor / membatasi penyebaran organisme melalui udara.

h. Pantau kecenderungan suhu.

Rasional : Demam tinggi menunjukan efek endotoksin pada hipotalamus dan endorphin yang

melepaskan pirogen. Hipotermi adalah tanda-tanda genting yang merefleksikan perkembangan

status syok / penurunan perfusi jaringan.

i. Amati adanya menggigil dan diaphoresis

Rasional : Menggigil seringkali mendahului memuncaknya suhu pada adanya infeksi umum.

j. Memantau tanda-tanda penyimpangan kondisi / kegagalan untuk membaik selama masa terapi.

Rasional : Dapat menunjukan ketidak tepatan terapi antibiotik atau pertumbuhan berlebihan dari organisme

resisten.

k. Inspeksi rongga mulut terhadap sariawan. Selidiki laporan rasa gatal / peradangan vaginal /

perineal.

Rasional : Depresi sistem imun dan penggunaan antibiotik dapat meningkatkan resiko infeksi skunder;

terutama ragi. .

l. Berikan obat anti infeksi sesuai petunjuk.

Rasional : Dapat membasmi / memberikan imunitas sementara untuk infeksi umum atau penyakit
khusus.
m. Bantu / siapkan insisi dan drainase luka.

Rasional : Memberikan kemudahan untuk memindahkan material purulen / jaringan nekrotik dan

meningkatkan penyembuhan.

( Doenges, 2000: 874)

2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,

perubahan pada regulasi temperatur.

uan : Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan.

eria Hasil : Tidak mengalami komplikasi berhubungan

Intervensi
a. Pantau suhu pasien (derajad dan pola); perhatikan menggigil / diaphoresis.

Rasional : Suhu 38,9°C menunjukan proses infeksius akut .Pola demam dapat membantu dalam diagnosis.

b. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur, sesual indikasi.

Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.

c. Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol.

Rasional : Dapat mengurangi demam, alkohol dapat mengeringkan kulit.

d. Berikan antipiretik.

Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.

e. Berikan selimut pendingin.

Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam tinggi pada waktu terjadi kerusakan/gangguan pada otak.

(Doenges,2000 : 874 )

3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran darah

arteri dan vena.

uan : Menunjukan perfusi jaringan adekuat

eria Hasil : Tanda-tanda vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat kesadaran umum,

haluaran urine individu yang sesuai dan bising usus aktif


Intervensi
a. Pertahankan tirah baring; bantu dalam aktifitas dan perawatan.

Rasional : Menurunkan beban kerja miokard dan konsumsi O2 memaksimalkan efektifitas dari perfusi

jaringan.

b. Pantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan hipotensi, dan perubahan

pada tekanan denyut.

Rasional : Hipotensi akan berkembang bersamaan dengan mikroorganisme menyerang aliran darah.

c. Pantau frekuensi dan irama jantung. Perhatikan disritmia.

Rasional : Disritmia jantung dapat terjadi sebagai akibat dari hipoksia.

d. Perhatikan kualitas / kekuatan dari denyut perifer.

Rasional : Pada awal nadi cepat menunjukan peningkatan curah jantung, nadi lemah menunjukan

penurunan curah jantung.

e. Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas. Perhatikan dispnea berat.

Rasional : Peningkatan pernafasan terjadi sebagai respon terhadap efek langsung dari endotoksin pada

pusat pemafasan.

f. Selidiki perubahan pada sensorium.

Rasional : Perubahan menunjukan penyimpangan perfusi serebral, hipoksemia,dan atau asidosis.

g. Kaji kulit terhadap perubahan warna, suhu, kelembaban.

Rasional : Mekanisme kompensasi dari vasodilatasi.

h. Catat haluaran urine dan berat jenisnya.

Rasional : Penurunan haluaran urine dan peningkatan berat jenis akan mengindikasikan penurunan perfusi

ginjal.

i. Auskultasi bising usus.

Rasional : Vasokonstrisi splaknik menurunkan peristaltik dan dapat menimbulkan ileus paralitik.

j. Pantau pH gaster sesuai petunjuk. Hematest sekresi gaster / feses darah samar.
Rasional : Stress dari penyakit dan penggunaan steroid meningkatkan resiko erosi / perdarahan mukosa

gaster.

k. Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk pembengkaan jaringan lokal, eritema, tanda

Homan positif

Rasional : Stasis vena dan proses infeksi dapat menyebabkan perkembangan thrombosis.

l. Pantau tanda-tanda perdarahan.

Rasional : Akselerasi pembekuan pada mikrosirkulasi menciptakan situasi perdarahan yang membahayakan

jiwa / emboli multiple

m. Catat efek obat-obatan dan tanda-tanda keracunan.

Rasional : Dosis antibiotik massif sering memiliki efek toksik potensial bila perfusi hepar /

ginjal terganggu.

n. Berikan cairan parenteral.

Rasional : Untuk mempertahankan perfusi jaringan.

o. Berikan obat-obatan steroid sesuai petunjuk.

Rasional : Untuk menurunkan permiabilitas kapiler

p. Pantau pemeriksaan laboratorium.

Rasional : Untuk mengetahui perkembangan asidosis.

q. Berikan suplemen O2

Rasional : Peningkatan suhu meningkatkan metabolisme O2.

4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan permiabilitas/kebocoran

cairan kedalam lokasi interstisial.

uan : Mempertahankan volume sirkulasi adekuat

eria Hasil : Tanda vital dalam batas normal, nadi perifer teraba haluaran urine adekuat.

Intervensi
a. Catat haluaran urine dan berat jenis. Catat keseimbangan masukan dan keluaran komulatif.

Dorong masukan cairan oral sesuai toleransi.

Rasional : Keseimbangan cairan positif lanjut dengan disertai penambahan berat badan dapat

mengindikasikan edema ruang ketiga,dan edema jaringan, menunjukan perlunya mengubah

terapi/komponen pengganti.

b. Pantau tekanan darah dan denyut jantung, ukur CVP.

Rasional : Mekanisme kompensasi awal dari takikardia untuk meningkatkan curah jantung dan

meningkatkan tekanan darah sistemik.

c. Palpasi denyut perifer.

Rasional : Denyut yang lemah, mudah hilang dapat menyebabkan hipovolemi.

d. Kaji membrane mukosa, turgor kulit dan rasa haus.

Rasional : Hipovolemi / cairan ruang ketiga akan memperkuat tanda-tanda hipovolemi.

e. Amati edema dependen / perifer pada saluran, skrotum, punggung kaki.

Rasional : Kehilangan cairan dari kompartemen vaskuler kedalam ruang interstisiil akan menyebabkan

edema.

f. Berikan cairan IV, misal kristaloid (0,5%) sesuai indikasi.

Rasional : Menggantikan kehilangan dengan maningkatkan permiabilitas kapiler dan meningkatkan

sumber-sumber tak kasat mata.

g. Pantau nilai laboratorium.

Rasional : Mengevaluasi perubahan didalam hidrasi/viskositas darah.

(Doenges, 2000 ; 878 - 879)

5. Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan :

a. Perubahan pada suplai O2, efek endotoksin pada pusat pemafasan

b. Perubahan aliran darah


ujuan : Pasien menunjukan GDA dan frekuensi pemafasan dalam batas normal
iteria Hasil : Bunyi nafas bersih dan sinar x dada jelas / membaik tidak mengalami dispnea / sianosis

Intervensi :

1) Pertahankanjalan nafas paten (Kepala lebih tinggi).

Rasional : Meningkatkan ekspansi paru, upaya pemafasan.

2) Pantau frekuensi dan kedalaman pemafasan, catat penggunaan otot bernafas.

Rasional : Hipoventilasi dan dipsnea merefleksikan mekanisme kompensasi yang tidak efektif dan

merupakan indikasi bahwa diperlukan ventilator.

3) Auskultasi bunyi nafas.

Rasional : Kesulitan pernafasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan indikator.

4) Catat munculnya sianosis sirkumoral

Rasional : Menunjukan oksigen sistemik tidak adekuat/hipoksemia.

5) Selidiki perubahan pada sensori.

Rasional : Fungsi serebral sangat sensitif terhadap penurunan oksigenasi.

6) Sering ubah posisi. Dorong untuk batuk dan latihan napas dalam.

Rasional : Untuk memaksimalkan pertukaran gas.

7) Patau GDA / nadi oksimetri.

Rasional : Pada waktu kondisi septic memburuk, asidosis metabolik yang meningkat untuk membangun

asam laktat dan metabolisme anaerob.

8) Berikan O2 tambahan melalui jalur yang sesuai.

Rasional : Untuk mengoreksi hipoksemia dengan menggagalkan asidosis respiratorik.

9) Tinjau sinar X dada.

Rasional : Perubahan menunjukan perkembangan dan komplikasi pulmonal.

(Doenges, 2000: 879 - 880)

6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan

pengobatan bergubungan dengan :


a. Kurangnya pemajanan / mengingat, kesalahan Interpretasi informasi
b. Keterbatasan Kognitif

Ditandai

1) Pertanyaan permintaan informasi,pernyataan salah konsepsi

2) Ketidak akuratan mengikuti instruksi / perkembangan komplikasi yang dapat dicegah

an : Menunjukkan pemahaman akan proses penyakit dan prognosis

ria Hasil : Ikut serta dalam program pengobatan, memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dengan

dapat penunjukkan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan rasional dan tindakan.

(Doenges, 2000 : 880 - 881)

Intervensi :

a. Tinjau proses penyakit dan harapan masa depan.

Rasional : Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan.

b. Tinjau faktor resiko individual dan bentuk penularan tempat masuk infeksi.

Rasional : Menyadari terhadap bagaimana infeksi ditularkan akan memberikan informasi untuk

merencanakan/melakukan tindakan protektif.

c. Berikan informasi mengenai terapi obat - obatan, efek samping dan pentingnya ketaatan

pengobatan.

Rasional : Meningkatkan pemahaman dan meningkatkan kerja sama dalam penyembuhan/profilaksis,

dan untuk mengurangi resiko kambuhnya komplikasi.

d. Diskusikan kebutuhan input yang tepat dan seimbang.

Rasional : Perlu untuk penyembuhan optimal dan kesejahteraan umum.

e. Dorong periode istirahat adekuat dan aktivitas terjadwal.

Rasional : Mencegah kepenatan, penghematan energi, dan meningkatkan penyembuhan.

f. Tinjau perlunya kesehatan pribadi dan kebersihan lingkungan.

Rasional : Membantu pemajanan lingkungan dengan mengurangi jumlah bakteri patogen yang ada.

g. Diskusikan penggunaan yang tepat atau menghindari tampon sesuai indikasi.


Rasional : Tampon superabsorben/merupakan resiko potensial bagi infeksi stpahilococcus aureus

(sindrom syok toksik).

h. Identifikasi tanda / gejala yang membutuhkan evaluasi medis.

Rasional : Pengenalan dini dari perkembangan infeksi akan memungkinkan intervensi dan mengurangi

resiko kearah situasi yang membahayakan jiwa.

i. Tekankan pentingnya imunisasi profilaktik / terapi antibiotik sesuai kebutuhan.

Rasional : Penggunaan pencegahan terhadap infeksi.

(Doenges, 2000 : 881)

7. Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh (gangguan neuromuskular).

a. Gangguan neuromuskuler, nyeri/tidak nyaman, penurunan kekuatan dan tahanan.

b. Terapi pembatasan, imobilisasi tungkai, kontraktur.

Ditandai:

a. Menolak bergerak/tidak mampu bergerak sesuai tujuan rentang gerak terbatas, penurunan

kekuatan kontrol dan/atau masa otot.

Tujuan : Menyatakan dan menunjukan keinginan berpartisipasi dalam aktifitas.

Kriteria Hasil :

a. Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur.

b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi yang sakit dan atau kompensasi tubuh.

c. Menunjukan teknik/perilaku yang memampukan melakukan aktifitas.

Intervensi :

a. Bantu klien dalam beraktifitas bila tidak mampu

Rasional : dengan membantu aktivitas yang di perlukan pasien akan membantu mengurangi resiko yang

tidak di inginkan.

(Doenges,2000 : 737)

b. Tingkatkan aktifitas perawatan diri pasien setiap saat.


Rasional : aktivitas dapat meningkat jika memotivasi yang sesuai dengan kondisi pasien.
(Doenges,2000 : 737)

c. Berikan alternative dengan periode yang cukup.

Rasional : aktifitas dapat meningkatkan istirahat yang untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh.

(Doenges,2000 : 757)

d. Pantau rtespon terhadap aktifitas

Rasional : meningkatkan kontrol terhadap situasi

(Doenges,2000 : 738)

8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan

a. Trauma : Kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial/luka bakar dalam).

Ditandai : Tak ada jaringan hidup.

ujuan : Menunjukan regenerasi jaringan.

iteria Hasil : Mencapai penyembuhan tepat waktu pada area luka.

tervensi

a. Kaji/ ukuran, wama, kedalaman luka , perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.

Rasional : Memberikan informasi dasar tentang kebutuhan penambahan kulit dan kemungkinan petunjuk

tentang sirkulasi pada area luka.

b. Berikan perawatan luka yang tepat dan tindakan kontrol infeksi.

Rasional : Menurunkan resiko infeksi.

c. Pertahankan penutupan luka sesuai indikasi.

Rasional : Mencegah kontaminasi dengan agent dan mencegah infeksi.

d. Siapkan/bantu prosedur bedah.

Rasional : Mempercepat penyembuhan abses.

(Doenges, 2000: 653 )

9. Nyeri berhubungan dengan

a. Kerusakan kulit/jaringan, pembentukan edema.


b. Manipulasi jaringan cidera,debridement luka
Ditandai:

a. Keluhan nyeri.

b. Fokus menyempit, penampilan wajah nyeri.

c. Perubahan tonus otot; respon autonomik.

d. Perilaku distraksi, melindungi; ansietas / ketakutan.

ujuan : Melaporkan nyeri berkurang / terkontrol.

riteria Hasil :

a. Menunjukan ekspresi wajah / postur tubuh rileks.

b. Berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur / istirahat dengan tepat.

Intervensi :

a. Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara

terbuka.

Rasional : Suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.

b. Tinggikan ekstremitas luka bakar secara periodik.

Rasional : Peninggian mungkin diperlukan pada awal untuk mnenurunkan pembentukan edema setelah

perubahan posisi dan peninggian menurunkan ketidaknyamanan serta resiko kontraktur sendi.

c. Berikan tempat tidur ayunan sesuai indikasi

Rasional : Peninggian linen dari luka membantu menurunkan nyeri.

d. Tutup jari / ekstremitas pada posisi berfungsi (menghindari posisi fleksi sendi yang sakit)

menggunakan bebat pada papan kaki sesuai keperluan.

Rasional : Posisi fungsi menurunkan deformitas / kontraktur dan meningkatkan kenyamanan. Meskipun

posisi fleksi sendi cendera dapat merasa lebih nyaman, ini dapat mengakibatkan kontraktur fleksi

e. Ubah posisi dengan sering dan rentang gerak pasif dan aktif sesuai indikasi.

Rasional : Gerakan dan latihan menurunkan kekakuan sendi dan kelelahan otot tetapi tipe latihan
tergantung pada lokasi dan luas cendera.
(Doenges, 2000:654)

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L,J, 2001, Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Klinik (terjemahan), Edisi 3, EGC, Jakarta.
Doenges, M.E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien (terjemahan), edisi 3, EGC, Jakarta
http://imadeharyoga.com (diakses 30 juni 2010)
http://www.surabayapost.co.id (diakses 30 juni 2010)
http://lensaaskep.blog.com/kebutuhan-cairan-dan-elektrolit.html(diakses 30 juni 2010)
http://ruangkesehatan.blog.com/20%abses (diakses 30 juni 2010)
Price, SA dan Wilson, LM, 1995, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(terjemahan), Eidisi 4, Volume 1, EGC, Jakarta
Smeltzer, S.C, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan), Edisi 8, Volume 2, EGC,
Jakarta.
S. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
Underwood, J.C.E, 1999, Buku Ajar Ilmu Bedah (terjemahan), Edisi 4, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai