Disusun oleh :
Husnul Aulia Marwah
NIM. 22149011088
PRODI NERS
UNIVERSITAS YPIB MAJALENGKA
2022/2023
BAB I
KONSEP PENYAKIT
A. Definisi
Peritonitis Generalisata adalah suatu proses inflamasi local atau menyeluruh pada
peritoneum ( membrane serosa yang melapisi rongga abdomen dan menutupi visera
abdomen ) yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran
cerna, atau dari luka tembus abdomen yang tersebar luas pada permukaan peritoneum
(Sjamsuhidayat & Jong, 2017).
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungku
dalam rongga perut. Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari per
yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri (Santosa, Budi, 2019).
Jasdi peritonitis generalisata adalah suatu proses inflamasi local atau menyeluruh
pada peritoneum yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi
saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen yang tersebar luas pada permukaan
peritoneum
B. Etiologi
a. Infeksi bakteri
1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2) Appendisitis yang meradang dan perforasi
3) Tukak peptik (lambung / dudenum)
4) Tukak thypoid
5) Tukan disentri amuba / colitis
6) Tukak pada tumor
7) Salpingitis
8) Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik,
stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium
wechii.
b. Secara langsung dari luar.
1) Operasi yang tidak steril
2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang
disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda
asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
3) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati, trauma tumpul
abdomen.
4) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokokus.
C. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai
pita- pita fibrosa, yang akan dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan
menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika
defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian
sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan
banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan
dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem.Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi.Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.Hipovolemia bertambah dengan
adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di
cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen,
membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian
menjadi atoni dan meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.Sumbatan yang lama pada
usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik
(sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi
hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir
dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk
keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang
mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat
terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama
kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh
nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena
toksemia.Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai
di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut.Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh
asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang
fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan
peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi
mukosa, dan obstruksi vena sehingga oedem bertambah kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding
apendiks. sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ
yang berongga intra peritonial.Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari
organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang
berisi feses.Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila
perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi
perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan
bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut
abdomen karena perangsangan peritonium (Price dan Wilson, 2018).
E. Manifestasi klinis (Tanda dan Gejala)
G. Pemeriksaan Diagnostik
i. Laboratorium
1. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen
menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya shift to the
left. Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan
beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak
ditemukan atau malah leukopenia
2. PT, PTT dan INR
3. Test fungsi hati jika diindikasikan
4. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis
5. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
6. Kultur darah, untuk menentukan jenis kuman dan antobiotik
BGA, untuk melihat adanya asidosis metabolik
Diagnostic Peritoneal Lavage.• Pemeriksaan cairan peritonium
Pada SBP dapat ditemukan WBC > 250 – 500 sel/µL dengan dominan PMN
merupakan indikasi dari pemberian antibiotik. Kadar glukosa < 50 mg/dL, LDH
cairan peritoneum > serum LDH, pH < 7,0, amilase meningkat, didapatkan
multipel organisme. (7)
ii. Radiologis
1. Foto polos
Foto polos abdomen (tegak/supine, setengah duduk dan lateral dekubitus) adalah
pemeriksaan radiologis utama yang paling sering dilakukan pada penderita
dengan kecurigaan peritonitis. Ditemukannya gambaran udara bebas sering
ditemukan pada perforasi gaster dan duodenum, tetapi jarang ditemukan pada
perforasi kolon dan juga appendiks. Posisi setengah duduk berguna untuk
mengidentifikasi udara bebas di bawag diafragma (seringkali pada sebelah
kanan) yang merupakan indikasi adanya perforasi organ.
iii. USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi pada kuadran kanan atas
(abses perihepatik, kolesistitis, dll), kuadran kanan bawah dan kelainan di daerah
pelvis. Tetapi kadang pemeriksaan akan terganggu karena penderita merasa tidak
nyaman, adanya distensi abdomen dan gangguan distribusi gas abdomen.
USG juga dapat mendeteksi peningkatan jumalah cairan peritoneum (asites),
tetapi kemampuan mendeteksi jumlah cairan < 100 ml sangat terbatas. Area sentral
dari rongga abdomen tidak dapat divisualisasikan dengan baik dengan USG
tranabdominal. Pemeriksaan melalui daerah flank atau punggung bisa meningkatkan
ketajaman diagnostik. USG dapat dijadikan penuntun untuk dilakukannya aspirasi
dan penempatan drain yang termasuk sebagai salah satu diagnosis dan terapi pada
peritonitis.
iv. CT Scan
Jika diagnosa peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, maka CT Scam tidak lagi
diperlukan. CT Scan abdomen dan pelvis lebih sering digunakan pada kasus
intraabdominal abses atau penyakita pada organ dalam lainnya. Jika memungkinkan,
CT Scan dilakukan dengan menggunakan kontra ntravena. CT Scan dapat
mendeteksi cairan dalam jumlah yang sangat minimal, area inflamasi dan kelainan
patologi GIT lainnya dengan akurasi mendekati 100%. Abses peritoneal dan
pengumpulan cairan bisa dilakukan aspirasi dan drain dengan panduan CT Scan.
H. Penatalaksanaan Medis
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.
i. Konservatif
1. Indikasi terapi konservatif, antara lain:
2. Infeksi terlokalisisr, mis: massa appendiks
3. Penyebab peritonitis tidak memerlukan pembedahan (pankreatitis akut)
4. Penderita tidak cukup baik untuk dilakukan general anestesi; pada orang tua dan
komorbid
5. Fasilitas tidak memungkinkan dilakukannya terapi pembedahan.
Prinsip terapinya meliputi rehidrasi dan pemberian antibiotik broad spectrum. Terapi
suportif harus diberikan termasuk pemberian nutrisi parenteral pada penderita dengan
sepsis abdomen di ICU.
Terapi konservatif meliputi:
ii. Cairan intravena
Pada peritonitis terjadi pindahnya CIS ke dalam rongga peritoneum, jumlah cairan ini
harus diganti dengan jumlah yan sesuai. Jika ditemukan toksisitas sistemik atau pada
penderita dengan usia tua dan keadaan umum yang buruk, CVP (central venous
pressure) dan kateter perlu dilakukan, balans cairan harus diperhatikan, pengukuran
berat badan serial diperlukan untuk memonitoring kebutuhan cairan. Cairan yang
dipakai biasanya Ringer Laktat dan harus diinfuskan dengan cepat untuk mengoreksi
hipovolemia mengembalikan tekanan darah dan urin output yang memuaskan.
iii. Antibiotik
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.
iv. Oksigenasi
Sangat diperlukan pada penderita dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor dengan pulse
oximetry atau dengan pemeriksaan BGA.
v. Pemasangan NGT
Akan mengurangi muntah dan mengurangi resiko terjadinya pneumonia aspirasi
1. Nutrisi Parenteral
2. Pemberian analgetik, biasanya golongan opiat (i.v.) dan juga anti
muntah.
Definitif / Pembedahan
Tindakan Preoperatif
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan
pasien untuk tindakan bedah antara lain :
1) Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
2) Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
3) Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
4) Pemberian terapi cairan melalui I.V
5) Pemberian antibiotic
Tindakan Operatif
Terapi bedah pada peritonitis antara lain:
1) Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas
dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
2) Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning, kain
kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan
pus, darah, dan jaringan yang nekrosis
3) Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin
4) Irigasi kontinyu pasca operasi
a) Laparotomi
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan
dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris
tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah
dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas
tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang
perforasi. Pemberian antibiotik diteruskan samapai dengan 5 hari post operasi
terutama pada peritonitis generalisata.
Re-laparotomi sangat penting terutama pada penderita dengan SP
yang parah yang dengan dilakukan laparotomi pertama terus mengalami
perburukan atau jatuh ke dalam keadaan sepsis.
b) Laparoskopi
Laparoskopi terbukti efektif dalam manajemen appendisitis akut dan
perforasi ulkus duodenal. Dan dapat juga dilakukan pada kasus perforasi
kolon, tetapi lebih sering dilakukan laparotomi. Kontraindikasi pada penderita
dengan syok dan ileus
c) Lavase peritoneum dan Drainase
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu
dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Pemberian antiseptik
maupun antibiotik (tetrasiklin, povidone iodine) tidak dianjurkan karena akan
menyebabkan terjadinya adesi. Antibioyik diberikan secara parenteral akan
mencapai level bakterisidal dalam cairan peritoneum. Setelah lavase selsai
dilakukan dilakukan aspirasi seluruh cairan dalam rongga abdomen karena
akan menghambat mekanisme defens lokal. Bila peritonitisnya terlokalisasi,
sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat
menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena
pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum,
dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna
pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula)
dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
d) Terapi post-operatif
Tercapainya stabilitas hemodinamik dan perfusi organ yang baik
dalam hal ini perlu diperhatikan pemberian cairan dan suplai darah.
Pemberian antibiotik dilanjutkan 10 – 14 hari post operasi, tergantung pada
tingkat keparahan peritonitis. (LNG) Oral-feeding, diberikan bila sudah
flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi
abdomen.
D.Pathway
Invasi bakteri
Luka abdomen
Peritonitis
Post Operasi
Peningkatan Leukosit
Distensi Abdomen
Korteks cerebri
MK: gangguan kerusakan
Suara peristaltik berubah integritas jaringan/kulit
(tidak ada, Nyeri di persepsikan
hipoaktif/hiperaktif)
MK: Nyeri akut
MK: Disfungsi motilitas
Sumber: Mansjoer.etall, 2017
gastrointestinal
I. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik ditandai dengan.
Ds : Do :
- Mengatakan nyeri - Tampak meringis
- Bersikap protektif (mis. waspada,
posisi menghindari nyeri)
- Gelisah
- Frekuensi nadi meningkat
- Sulit tidur
Ds :- Do :
- Demam
- Penurunan hemoglobin
- Kenaikan jumlah leukosit
- Gangguan peristaltik,
- Kerusakan integritas kulit
Edukasi
1. Ajarkan diet yang Edukasi
diprogramkan 1. Menambah
wawasan pasien
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan Kolaborasi
ahli gizi untuk 1. Untuk menentukan
menentukan jumlah jumlah kalori dan
kalori dan jenis jenis nutrient yang
nutrient yang dibutuhkan
dibutuhkan, jika perlu
K. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah kategori serangkaian perilaku perawat berkoordinasi dengan
pasien,keluarga dan anggota tim kesehatan lain untuk membantu masalah kesehatan yang sesuai dengan
perencanaan dan kriteria hasil.
E.Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematik dan
terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, E., Marilyn. 2018. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.EGC : Jakarta.
Diane C. Baughman, J. C. (2020). Buku Saku Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Michael Eliastam, G. L. (2019). Penuntun Kedaruratan Medis Edisi 5. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A. et all (2017). Kapita selekta Kedokteran. Edisi 3 jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius
Smeltzer, Suzanne C. 2018. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Volume 2. EGC:
Jakarta.
Sastrodiningrat, A. G. 2017. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39. FK USU: Medan
Sjamsuhidayat, R & Jong, WD. (2017). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC
Soedirman, 2018.pengaruh aromaterapi lavender terhadap intensitas nyeri pasien post
operasi laparatomi . jurnal ilmiah keperawatan Sai Betik14,84-90,2018.
Tim pokja SDKI DPP PPNI, (2017), standar diagnosa keperawatan indonesia (SDKI), edisi
1, jakarta, Persatuan perawat Indonesia
Tim pokja SLKI DPP PPNI, (2016), standar luaran keperawatan indonesia (SLKI), edisi 1,
jakarta, Persatuan perawat Indonesia.
Tim pokja SIKI DPP PPNI, (2016), standar intervensi keperawatan indonesia (SIKI), edisi
1, jakarta, Persatuan perawat Indonesia