Mata Kuliah
Keperawatan Gerontik
Dosen Pembimbing
Nama Kelompok
MALANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Gastritis merupakan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat kita, baik
lapisan menengah ke atas maupun lapisan masyarakat menengah ke bawah.
Gastritis adalah rasa sakit akibat peradangan atau luka di lambung. Gastritis dapat
menyerang setiap orang tanpa mengenal batas usia. Gastritis juga dapat muncul
secara tiba-tiba dalam waktu yang singkat (akut), waktu yang lama (kronik), atau
karena kondisi khusus seperti adanya penyakit lain (Sarasvati, 2010).
Badan penelitian kesehatan dunia WHO mengadakan tinjauan terhadap
delapan negara dunia dan mendapatkan beberapa hasil persentase dari angka
kejadian gastritis di dunia. Dimulai dari negara yang kejadian gastritisnya paling
tinggi yaitu Amerika dengan persentase mencapai 47% kemudian diikuti oleh India
dengan persentase 43%, lalu dibeberapa negara lainnya seperti Inggris 22%, China
31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%, Perancis 29,5%, dan Indonesia 40,8%. Gastritis
biasanya dianggap sebagai suatu hal yang remeh namun gastritis merupakan awal
dari sebuah penyakit yang dapat menyusahkan kita (Yorimichi, 2011).
Yorimichi (2011), mengatakan bahwa di Indonesia angka kejadian gastritis
cukup tinggi. Dari penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan RI angka kejadian gastritis dibeberapa kota di Indonesia ada yang tinggi
mencapai 91,6% yaitu di kota Medan, lalu dibeberapa kota lainnya seperti Surabaya
31,2%, Denpasar 46%, Jakarta 50%, Bandung 32,5%, Palembang 35,3%, Aceh
31,7%, dan Pontianak 31,2%. Pola makan yang tidak teratur merupakan penyebab
seseorang terserang gastritis (Jayanti, 2011).
1.2. Etiologi
Penyebab terjadinya gastritis sering berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :
Pemakaian Obat anti inflamasi
Pemakaian obat anti inflamasi nonsteroid seperti aspirin, asam mefenamat,
aspilet dalam jumlah besar. Obat anti inflamasi non steroid dapat memicu
kenaikan produksi asam lambung, karena terjadinya difusi balik ion hidrogen
ke epitel lambung. Selain itu jenis obat ini juga mengakibatkan kerusakan
langsung pada epitel mukosa karena bersifat iritatif dan sifatnya yang asam
dapat menambah derjat keasaman pada lambung (Sukarmin, 2013).
Konsumsi Alkohol
Bahan etanol merupakan salah satu bahan yang dapat merusak
sawar pada mukosa lambung. Rusaknya sawar memudahkan terjadinya
iritasi pada mukosa lambung.
Terlalu Banyak Merokok
Asam nikotinat pada rokok dapat meningkatkan adhesi thrombus yang
berkontribusi pada penyempitan pembuluh darah sehingga suplai darah ke
lambung mengalami penurunan.Penurunan ini dapat berdampak pada
produksi mukosa yang salah satu fungsinya untuk melindungi lambung dari
iritasi.Selain itu CO yang dihasilkan oleh rokok lebih mudah diikat Hb dari
pada oksigen sehingga memungkinkan penurunan perfusi jaringan pada
lambung.Kejadian gastritis pada perokok juga dapat dipicu oleh pengaruh
asam nikotinat yang menurunkan rangsangan pada pusat makan, perokok
menjadi tahan lapar sehingga asam lambung dapat langsung mencerna
mukosa lambung bukan makanan karena tidak ada makanan yang masuk.
Uremia
Ureum pada darah dapat mempengaruhi proses metabolisme didalam tubuh
terutama saluran pencernaan (gastrointestinal uremik). Perubahan ini dapat
memicu kerusakan epitel mukosa lambung.
Stress Berat
Stress psikologi akan meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang dapat
merangsang peningkatan produksi asam lambung. Peningkatan HCl dapat
dirangsang oleh mediator kimia yang dikeluarkan oleh neuron simpatik
seperti epinefrin.
Infeksi Microorganisme
Koloni bakteri yang menghasilkan toksik dapat merangsang pelepasan
gastrin dan peningkatan sekresi asam lambung seperti bakteri Helycobacter
pylori.
1.3. Patofisiologi
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat
jinak dan swasirna; merupakan respons mukosa lambung terhadap berbagai iritan
lokal. Endotoksin bakteri (setelah menelan makanan terkontaminasi), kafein,
alkohol, dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi H. pylori lebih
sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme tersebut melekat pada
epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa pelindung, meninggalkan
daerah epitel yang gundul. Obat lain juga terlibat, misalnya anti inflamasi nonsteroid
(NSAID: misalnya indomestasin, ibuprofen, naproksen), sulfonamida, steroid, dan
digitalis. Asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga diketahui mengganggu
sawar mukosa lambung. Apabila alkohol diminum bersama dengan aspirin, efeknya
akan lebih merusak dibandingkan dengan efek masing-masing agen tersebut bila
diminum secara terpisah
Patafisiologi gastritis mukosa barier lambung umumnya melindungi lambung
dari pencernaan terhadap lambung itu sendiri, yang disebut proses autodigesti acid,
prostaglandin yang memberikan perlindungan ini. Ketika mukosa barier ini rusak
maka timbul gastritis. Setelah barier ini rusak terjadilah perlukaan mukosa dan
diperburuk oleh histamin dan stimulasi saraf cholinergic Kemudian HCL dapat
berdifusi balik kedalam mucus dan menyebabkan luka pada pembuluh yang kecil,
yang mengakibatkan tercadinya bengkak, perdarahan, dan erosi pada lambung.
Alkohol, aspirin dan refluk isi duodenal diketahui sebagai penghambat difusi barier.
1.4. Web Of Cauntion
Refleks enteric
Dinding Lambung
Hormon Gastrin
Faktor intrinsik
Masukan Nutrient Anoreksia,Mual,
inadekuat Muntah
Penurunan
Absorbsi Vitamin Masukkan
Defisit
B12 cairan
Nutrisi
adekuat/Kehila
ngan Cairan
Anemia Pernisiosa
Risiko
Penurunan Volume Darah ketidakseimbangan
Merah
cairan
1.6. Penatalaksaan
Secara Farmakologis
Pasien gastritis mengalami peningkatan sekresi asam lambung, untuk
itu digunakan obat antiulcer dengan tujuan menghambat atau menurunkan
sekresi asam lambung. Ranitidin dan antasida merupakan obat antiulcer yang
paling banyak digunakan dalam terapi gastritis, ranitidin diberikan sebelum
makan dengan tujuan memaksimalkan penghambatan sekresi asam lambung
sebelum adanya rangsangan sekresi asam lambung dari makanan
sedangkan antasida bertujuan untuk menetralkan asam lambung (Tjay dan
Rahardja, 2007). Untuk melindungi mukosa lambung dari serangan asam
lambung juga diberikan agen sitoproteksi (sukralfat) yang dapat melindungi
mukosa lambung (Sukandar et al, 2009).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011)
antibiotik tidak diberikan pada infeksi yang disebabkan oleh virus atau
penyakit yang dapat sembuh sendiri (self limited), sedangkan apabila
antibiotik diberikan pada pasien yang tidak mengalami infeksi bakteri hal ini
dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Ada juga terapi tambahan yang
digunakan yaitu larutan elektrolit, antiemetik, analgesik dan antipiretik, dan
antidiare. Pemberian larutan elektrolit pada pasien gastritis bertujuan untuk
mengembalikan kekurangan dan kehilangan cairan akibat muntah yang
terjadi.
Larutan elektrolit yang banyak digunakan yaitu infus Ringer Laktat dan
oralit. Infus Ringer Laktat hampir sama dengan ion-ion utama di dalam
plasma normal sehingga cairan ini cocok sebagai cairan pengganti parenteral
terhadap kehilangan cairan dan elektrolit dari kompartemen ekstraseluler
(Kalbemed, 2011), sedangkan oralit dimaksudkan diberikan tiap kali pasien
muntah agar keseimbangan cairan tubuh tetap terjaga. Untuk mengatasi
keluhan mual dan muntah yang dialami oleh pasien gastritis diberikan obat
antiemetik, yang banyak digunakan ialah domperidon. Untuk mengatasi
demam yang terjadi maka diberi parasetamol yang memiliki dua fungsi yakni
sebagai analgesik dan antipiretik (Sukandar et al, 2009). Antidiare diberikan
pada pasien yang mengalami diare.
Secara Non Farmakologis
Salah satu terapi non-farmakologi yang dapat diberikan pada
penderita yang mengalami nyeri pada gastritis adalah terapi komplementer
(Indayani 2018). Beberapa tindakan mandiri yang dapat di laksanakan
perawat untuk membantu klien yaitu dengan menggunakan Manajemen Nyeri
untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri dan meningkatkan rasa
nyaman. Menggunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien yaitu dengan menggunakan teknik distraksi, relaksasi
(Menggunakan napas dalam), kompres air hangat, teknik relaksasi otot
progresif dalam.
1. Teknik relaksasi nafas
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien
bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi
secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan.
Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga
dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah
(Smeltzer dan Bare, 2002 dalam Wijayanti dan Dirdjo 2015). Karena relaksasi
nafas dalam yang digunakan untuk proses terapi tersebut sangat membantu
meringankan nyeri yang dialami pasien oleh karena itu memudahkan dalam
proses penyembuhan. (Waluyo & Suminar 2017).
Menurut (Shin et al. 2012) pengendalian pengaturan pernapasan
secara sadar dilakukan oleh korteks serebri, sedangkan pernapasan yang
spontan atau automatik dilakukan oleh medulla oblongata. Napas dalam
lambat dapat menstimulasi respons saraf otonom melalui pengeluaran
neurotransmitter endorphin yang berefek pada penurunan respons saraf
simpatis dan peningkatkan respons parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis
meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respons parasimpatis lebih banyak
menurunkan ativitas tubuh atau relaksasi sehingga dapat menurukan aktivitas
metabolik (Shirbeigi et al. 2015).
2. Teknik Kompres Hangat
PROSES KEPERAWATAN
Abdomen
Inspeksi : Keadaan kulit : warna, elastisitas, lembab,
bentuk abdomen rata. Jika pasien melipat lutut sampai dada
sering merubah posisi, menandakan pasien nyeri.
Auskultasi : Distensi bunyi usus sering hiperaktif selama
perdarahan dan hipoaktif setelah perdarahan
Perkusi : Pada penderita gastritis suara abdomen
ditemukan hypertimpani (bising usus meningkat)
Palpasi : Kadang kala terdapat nyeri tekan ringan
daerah epigastric (terjadi karena distruksi asam lambung). Pada
pasien gastritis dinding abdomen tegang.
Ekstremitas
4.1. KESIMPULAN
Gastritis bukan merupakan penyakit tunggal, tetapi terbentuk dari beberapa kondisi
yang kesemuanya itu mengakibatkan peradangan pada lambung. Biasanya, peradangan
tersebut merupakan akibat dari infeksi oleh bakteri yang sama dengan bakteri yang dapat
mengakibatkan borok di lambung yaitu Helicobacter pylori. Tetapi factor – factor lain seperti
trauma fisik dan pemakaian secara terus menerus beberapa obat penghilang sakit dapat
juga menyebabkan gastritis. Walaupun banyak kondisi yang dapat menyebabkan gastritis,
gejala dan tanda – tanda penyakit ini sama antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan
hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa sebagian besar lansia mempunyai pola
makan tidak teratur hampir seluruhnya, Ada hubungan pola makan dengan frekuensi
kekambuhan penyakit pada penderita gastritis. Penatalaksanaan gastritis bisa dilakukan
dengan cara farmakologis dan non farmakologis.
4.2. SARAN
Disarankan kepada para lansia untuk memperbaiki pola makan yang teratur dan
menghentikan kebiasaan merokok untuk mencegah kejadian gastritis, tubuh merupakan
sistem otomatisasi tubuh yang berjalan sesuai dengan kebiasaan yang kita lakukan dan bila
kita mengabaikan hal tersebut, misalnya kita makan terlambat, maka asam lambung akan
mengiritasi lambung karena makanan yang seharusnya datang/dikonsumsi pada waktu
tertentu yang berfungsi menetralisir asam lambung ini tidak ada (terlambat), maka masalah
yang akan dihadapi adalah gastritis.
DAFTAR PUSTAKA
(Aritonang, 2021)Aritonang, M. (2021). Pengaruh Stress Dan Pola Makan Dengan Frekuensi
Kekambuhan Penyakit Pada Penderita Gastritis Di RSUD DR. Pirngadi Medan Tahun
2020. Jurnal Pandu Husada, 2(2), 84. https://doi.org/10.30596/jph.v2i2.6685
Muhith, A., & Siyoto, S. (2016). Pengaruh Pola Makan dan Merokok Terhadap Kejadian
Gastritis Pada Lansia. Jurnal Keperawatan, 9(3), 136–139.
Saputra, M. A. S., & Tamzil, E. (2020). Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Gastritis
pada Pasien di Puskesmas Pembina Palembang. 1(1).
https://doi.org/10.31219/osf.io/ykq42
(Utami & Kartika, 2018)Utami, adinna dwi, & Kartika, imelda rahmayunia. (2018). Terapi
Komplementer Guna Menurunkan Nyeri Pasien Gastritis: REAL in Journal, 1(3), 123–
132. https://dx.doi.org/10.32883/rnj.v1i3.341.g109
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik,Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI
PPNI (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
keperawatan,Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI