Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PERUBAHAN FISIOLOGIS YANG TERJADI PADA LANSIA RHEUMATOID


ARTHRITIS

Mata Kuliah
Keperawatan Gerotik

DOSEN PEMBIMBING
Mizam Ari Kurniyanti., S.Kep., Ners., M.Kep

DISUSUN OLEH

Dwi Rezkiana Sari (181014201622)

Yohanis Dodok (181014201656)

Yuniyanti Pakage (181014201660)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

STIKES WIDYAGAMA HUSADA

MALANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas hadirat Allah SWT, karena dengan rahmat
dan karunia-NYA kami masi di beri kesempatan untuk bekerja bersama untuk
menyelesaikan makalah ini. Di mana makalah ini merupakan salah satu dari
tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik yang berjudul “Perubahan Fisiologis
Yang Terjadi Pada Lansia Rheumatoid Arthritis” yang di sajikan secara sistematis
dan jelas, dan juga kami mengucapkan terima kasih sumber jurnal referensi yang
terkait.
Kami menyadari adanya kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya. Kami penyusun makalah
memohon maaf yang sebesar-besarnya atas semua kesalahan dan kekurangan
kami, penyusun makalah. Semoga bermanfaat dan semoga berguna untuk masa
depan pembaca dan penulis.

Malang, 5 Oktober 2021


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik atau
penyakit autoimun dimana rheumatoid arthritis ini memiliki karakteristik
terjadinya kerusakan pada tulang sendi dan deformitas. Rheumatoid arthritis
dapat menimbulkan tanda dan gejala seperti kekakuan sendi, pembengkakan
sendi, nodul rhematoid, dan nyeri sendi. Nyeri adalah suatu kondisi dimana
seseorang merasakan perasaan yang tidak nyaman atau tidak
menyenangkan yang disebabkan oleh kerusakan jaringan yang telah rusak
atau yang berpotensi untuk rusak.Tanda dan gejala yang ditimbulkan oleh
nyeri yaitu wajah tampak meringis, gelisah, mengeluh nyeri dan merasa
depresi (tertekan) serta tidak mampu menuntaskan aktivitas. Hal tersebut
menjadikan lansia tidak nyaman serta menghambat dalam menjalan aktivitas
hariannya Di dunia semakin meningkat penyakit arthritis reumatoid pada
lansia terutama banyak terjadi pada perempuan. Penelitian dari Mayo Clinic
yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan antara 1995-2005, wanita
penderita Arthritis Reumatoid mencapai 54.000 - 100.000 orang, sedangkan
pria hanya 29.000 dari 100.000 orang (Situmorong, 2017).
Angka kejadian rheumatoid arthritis pada tahun 2016 yang disampaikan
oleh WHO adalah mencapai 20% dari penduduk dunia, 5-10% adalah
mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20% adalah mereka yang berusia 55
tahun (Majdah & Ramli, 2016; Putri & Priyanto, 2019). Pada tahun 2018 yang
dilaporkan oleh organisasi kesehatan dunia WHO mencapai 20% dari
penduduk dunia, dimana 20% tersebut adalah mereka yang berusia 55 tahun
ke atas, sedangkan laporan. prevalensi penyakit Rhematoid Arthritis adalah
24,7%3. Data di Kabupaten Poso pada tahun 2019 jumlah keseluruhan
penderita Rheumatoid Arthritis sebanyak 2.112 pasien (Riskesdas, 2018).
Seiring dengan peningkatan persentase lansia terjadi juga peningkatan
jumlah dan tingkat kejadian penyakit kronis yang disebabkan oleh penurunan
kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan serta
kelemahan pada lansia. Tujuh golongan penyakit yang banyak dilaporkan
terjadi pada lansia adalah arthritis, hipertensi, gangguan pendengaran,
kelainan jantung, sinusitis kronik, penurunan visus, dan gangguan pada
tulang. Masalah muskuloskeletal seperti arthritis dan gangguan pada tulang
menjadi masalah yang sering terjadi pada lansia karena mempengaruhi
aktivitas yang merupakan hal vital bagi kesehatan total lansia. Arthritis
merupak penyebab utama munculnya nyeri sendi. Nyeri sendi merupakan
nyeri yang dirasakan dibagian persendian dan sekitarnya akibat proses
inflamasi maupun terjadi secara idiopatik (Riskesdas,2018).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Rheumatoid Arthritis?
1.3 Tujuan
Mampu Mengetahui Bagaimana Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan
Rheumatoid Arthritis?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI RHEUMATOID ARTHTRITIS


Rheumatoid arthtritis atau biasa yang disebut rematik merupakan
penyakit autoimun yang mengenai jaringan persendian, dan sering juga
melibatkan organ tubuh lainnya yang di tandai dengan terdapatnya sinovitis
erosif sistemik. rheumatoid arthtritis adalah penyakit kronis (jangka panjang)
yang menyebabkan nyeri, kekakuan, pembengkakan serta keterbatasan
gerak dan fungsi banyak sendi (American College of Rheumatology , 2017)

2.2 ETIOLOGI RHEUMATOID ARTHTRITIS


Etiologi rheumatoid arthtritis belum diketahui dengan pasti. Namun,
kejadiannya dikolerasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan lingkungan (Suarjana, 2016).
A. Genetik
Berupa hubungan dengan gen (Human Leukocyte Antigen) HLA-
DRB 1 dan faktor ini memiliki angka kepekaan dan ekspresi sebesar 60%.
Gen ini berperan untuk membedakan antara protein tubuh dengan protein
organisme yang menginfeksi tubuh.
B. Berat badan berlebih atau obesitas
Semakin tinggi berat badan jadi semakin tinggi pula risiko terkena
rheumatoid arthtritis. Karena jaringan lemak yang berlebih akan
melepaskan sitokin, yaitu protein yang dapat menyebabkan peradangan
di seluruh tubuh
C. Jenis kelamin
Wanita disebut lebih berisiko hingga dua atau tiga kali lipat
terkena rheumatoid arthtritis dibandingkan pria. risiko terjadinya
rheumatoid arthtritis juga disebut meningkat pada wanita
pascamenopause. Wanita golongan ini bahkan disebut mengalami
peningkatan risiko hingga dua kali lipat untuk mengembangkan
rheumatoid arthtritis.
D. Heat Shock Protein (HSP)
Merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap
stress. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog,
diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibody dan sel T
mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel host. Sehingga
menyebabkan terjadinya reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga
mencetuskan reaksi imunologis.
E. Faktor lingkungan
Salah satu contohnya adalah merokok. Alasan pasti terkait hal ini
belum sepenuhnya dipahami. Namun, para peneliti menduga merokok
dapat memicu kerusakan fungsi sistem kekebalan, terutama pada orang
yang memiliki genetik terkait dengan rheumatoid arthtritis.

2.3 KLASIFIKASI RHEUMATOID ARTHTRITIS


Buffer (2016) mengklasifikasikan rheumatoid arthtritis menjadi 4 tipe, yaitu:
A. Klasik
Pada tipe ini harus terdapat tujuh kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu enam
minggu.
B. Defisit
Pada tipe ini harus terdapat lima kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu enam
minggu.
C. Probable
Pada tipe ini harus terdapat tiga kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu enam
minggu.
D. Possible
Pada tipe ini harus terdapat dua kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu tiga
bulan. Tujuh kriteria tanda dan gejala sendi adalah kaku di pagi hari,
arthtritis pada tiga daerah persendian atau lebih, arthtritis pada
persendian tangan, arthtritis simetris, nodul rheumatoid, faktor rheumatoid
serum positif, dan perubahan gambaran radiologis (adanya erosi atau
dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi, atau daerah
yangberdekatan dengan sendi).

2.4 MANIFESTASI KLINIS RHEUMATOID ARTHRITIS


Gejala awal terjadi pada beberapa sendi sehingga disebut poli
rheumatoid arthtritis. Persendian yang paling sering terkena adalah sendi
tangan, pergelangan tangan, sendi lutut, sendi siku, pergelangan kaki, sendi
bahu serta sendi panggul dan biasanya bersifat bilateral atau simetris
(Chairuddin, 2013).
A. Stadium awal
Malaise, penurunan berat badan, rasa capek, sedikit demam, dan
anemia. Gejala local yang berupa pembengkakan, nyeri dan gangguan
gerak pada sendi matakarpofalangeal. Pemeriksaan fisik : tenosinofitas
pada daerah ekstensor pergelangan tangan dan fleksor jari-jari. Pada
sendi besar (misalnya sendi lutut) gejala peradangan lokal berupa
pembengkakan nyeri serta tanda-tanda efusi sendi.
B. Stadium lanjut
Kerusakan sendi dan deformitas yang bersifat permanen,
selanjutnya timbul ketidakstabilan sendi akibat rupture tendon atau
ligament yang menyebabkan deformitas rheumatoid yang khas berupa
deviasi ulnar jari-jari, deviasi radial atau volar pergelangan tangan serta
valgus lutut dan kaki.

2.5 KOMPLIKASI RHEUMATOID ARTHRITIS


Menurut dr. Tjin Willy (2019) rheumatoid arthtritis dapat menyebabkan
beberapa komplikasi, yaitu :
1. Cervical myelopathy, kondisi ini terjadi ketika menyerang sendi tulang
leher dan mengganggu saraf tulang belakang.
2. Carpal tunnel syndrome Kondisi ini terjadi ketika menyerang sendi
pergelangan tangan, sehingga menekan saraf di sekitarnya.
3. Sindrom Sjogren Kondisi ini terjadi saat sistem kekebalan tubuh
menyerang kelenjar air mata dan ludah, sehingga menimbulkan keluhan
mata kering dan mulut kering.
4. Sindrom Sjogren Kondisi ini terjadi saat sistem kekebalan tubuh
menyerang kelenjar air mata dan ludah, sehingga menimbulkan keluhan
mata kering dan mulut kering.
5. Limfoma merupakan sejenis kanker darah yang tumbuh pada sistem
getah bening.
6. Penyakit jantung Kondisi ini dapat terjadi bila sistem kekebalan tubuh
menimbulkanperadangan di pembuluh darah jantung.
2.6 PATOFISIOLOGI RHEUMATOID ARTHRITIS
Kerusakan sendi yang dialami oleh penderita dimulai dari adanya faktor
pencetus, yaitu berupa autoimun atau infeksi, dilanjutkan dengan adanya
poliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliverasi sel- sel endotel yang mengakibatkan
terjadinya neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-
bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Inflamasi didukung oleh sitokin yang
penting dalam inisiasi yaitu tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 dan
interleukin-6, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan
iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi. Substansi vasoaktif
(histamin, kinin, prostaglandin) dilepaskan pada daerah inflamasi,
meningkatkan aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan rheumatoid arthritis dengan tanda dan gejala
edema, rasa hangat, kemerahan, nyeri serta membuat granulosis lebih
mudah keluar dari pembuluh darah menuju daerah inflamasi. Inflamasi kronik
pada jaringan lapisan sinovial menghasilkan poliferasi jaringan sehingga
membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi
dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor
petumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan
komplikasi sistemik (Suarjana, 2016).
2.7 WOC RHEUMATOID ARTHRITIS

Reaksi faktor R dengan Gangguan Mobilitas fisik


Kekakuan sendi
antibody, faktor metabolik,
infeksi dengan
kecenderungan virus
Reaksi peradangan Nyeri

Synovial menebal Pannus Kurangnya informasi tentang


proses penyakit

Nodul infiltrasi dalam os. subcondria Defisiensi pengetahuan


Ansietas

Deformitas sendi Hambatan nutrisi pada


Kartilago nekrosis
kartilago

Gangguan citra tubuh


Kerusakan kartilago dan Erosi kartilago
tulang

Mudah luksasi dan subluksasi Tendon dan legamen Adhesi pada permukaan
melemah sendi

Resiko cedera Hilangnya kekuatan otot Ankilosis fibrosa

Keterbatasan gerak sendi Kekuatan sendi Ankilosis tulang

Defisit perawatan diri

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG RHEUMATOID ARTHRITIS


A. Laju endap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP)
Menunjukkan adanya proses inflamasi, akan tetapi memiliki
spesifisitas yang rendah untuk RA. Tes ini berguna untuk memonitor
aktivitas penyakit dan responnya terhadap pengobatan (NHMRC, 2012).
B. Tes RF (Rheumatoid Factor).
Tes ini tidak konklusif dan mungkin mengindikasikan penyakit
peradangan kronis yang lain (positif palsu). Pada beberapa kasus RA,
tidak terdeteksi adanya RF (negatif palsu). RhF ini terdeteksi positif pada
sekitar 60-70% pasien RA. Level RF jika dikombinasikan dengan level
antibodi anti-CCP dapat menunjukkan tingkat keparahan penyakit
(NHMRC, 2012).
C. Tes antibodi anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide)
Tes untuk mendiagnosis rheumatoid arthritis secara dini.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tes tersebut memiliki sensitivitas
yang mirip dengan tes RF, akan tetapi spesifisitasnya jauh lebih tinggi
dan merupakan prediktor yang kuat terhadap perkembangan penyakit
yang erosif (NHMRC, 2012).

2.9 PENATALAKSANAAN RHEUMATOID ARTHRITIS


A. Secara Farmakologi
1. Obat-obatan
Sampai sekarang belum ada obat yang spesifik yang khas untuk
rheumatoid arthritis, karena patogenesisnya yang belum jelas. Obat
yang umumnya diberikan adalah Obat Anti Inflamasi Non Steroid
(OAINS) bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, meningkatkan
mobilitas dan mengurangi ketidakmampuan. Obat-obatan anti
inflamasi nonsteroid bekerja sebagai analgesic dan mengurangi
sinovitis, meskipun tidak dapat memperbaiki atau menghentikan
proses patolosis osteoarthritis.
2. Perlindungan sendi
Mungkin timbul karena mekanisme tubuh yang kurang baik. Jadi,
perlu dihindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang sakit.
Pemakaian tongkat atau alat bantu lain yang dapat meringankan kerja
sendi juga perlu diperhatikan
3. Diet
Penurunan berat badan seringkali dapat mengurangi timbulnya
keluhan dan peradangan.
4. Dukungan psikososial
Dukungan psikososial sangat diperlukan untuk pasien RA karena
sifatnya yang menahun dan ketidakmampuan yang ditimbulkannya.
Pihak pasien ingin menyembunyikan ketidakmampuannya akan
tetapi, dipihak lain dia ingin orang lain memikirkan penyakitnya.
Pasien RA seringkali keberatan untuk memakai alat-alat bantu karena
faktor psikologis.
5. Fisioterapi
Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan RA yang
meliputi pemakaian panas dan dingin dan program latihan yang tepat.
Pemakaian panas yang diberikan sebelum latihan untuk mengurangi
rasa nyeri dan kekakuan. Pada sendi yang masih aktif sebaiknya
diberi dingin dan obat gosok jangan dipakai sebelum pemanasan.
Berbagai sumber panas dapat dipakai seperti hidrokolator, bantalan
elektrik, ultrasonic, inframerah, mandi paraffin, dan mandi dari
pancuran panas. Program latihan bertujuan untuk memperbaiki gerak
sendi dan memperkuat otot yang biasanya atropi pada sekitar sendi.
6. Operasi
Operasi perlu dipertimbangkan untuk pasien RA dengan
kerusakan sendi yang nyata dan nyeri yang menetap dan juga
kelemahan fungsi. Tindakan yang dilakukan adalah osteotomy yang
bertujuan untuk mengoreksi ketidaklurusan atau ketidaksesuaian,
debriment sendi untuk menghilangkan fragmen tulang rawan sendi,
pembersih osteofit.

B. Secara Non Farmakologi


1. Terapi Senam Rematik Terhadap Rheumatoid Akthritis
Salah satu dari olahraga fisik yang sederhana dan mudah
dilakukan adalah senam rematik. Senam rematik merupakan senam
yang befokus pada mempertahankan lingkup gerak sendi secara
maksimal. Tujuan dari senam rematik ini yaitu mengurangi nyeri sendi
dan menjaga kesehatanjasmani penderita rematik. Keuntungan lain
dari senam rematik yaitu tulang menjadi lebih lentur, otot tetap
kencang, memperlancar peredaran darah, menjaga kadar lemak
darah tetap normal, tidak mudah mengalami cidera, dan kecepatan
reaksi sel tubuh menjadi lebih baik.
Pengaruh senam rematik terhadap nyeri sendi pada lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Budimulia 04 Margaguna Jakarta Selatan
melaporkan bahwa manfaat dari senam rematik yaitu dapat
mengurangi nyeri sendi dan menjaga kesehatan jasmani penderita
rematik, tulang menjadi lebih lentur, otot tetap kencang,
memperlancar peredaran darah, menjaga kadar lemak darah tetap
normal, tidak mudah mengalami cidera, dan kecepatan reaksi sel
tubuh menjadi lebih baik. Setelah diajarkan senam rematik pada Ny. P
nyeri berkurang pada daerah kakit kiri dan bahu kanan, yang
sebelumnya dengan skala nyeri 7 Ny. P mengeluh terganggu tidak
bisa melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri dan masih
tergantung pada keluarga. Setelah dilakukan senam rematik selama 2
minggu nyerinya berkurang dengan skala nyeri menjadi 3. Senam
rematik yang dilakukan 2-3 kali dalam seminggu dengan durasi waktu
selama 30-60 menit, badan terasa rileks, dan segar (Pujiati &
Mayasari,2017)
2. Terapi Komplementer Kompres Hangat Jahe
Tanaman jahe merah bisa dijadikan kompres. Kompres jahe
adalah salah satu kombinasi antara terapi hangat dan terapi relaksasi
yang bermanfaat bagi penderita nyeri sendi. Rimpang jahe
mengandung senyawa zingiberin, kamfena, lemonin, zingiberen,
zingiberol, gingeral dan zhogool. Jahe merah juga mengandung
minyak damar, pati, asam organik, asam malat, asam aksolat,
gingerin, dan oleoresin. Jahe berkhasiat sebagai obat pencahar,
rematik dan nyeri sendi, (Putri, 2013)
Kompres jahe hangat merupakan pengobatan tradisional atau
terapi alternative untuk mengurangi nyeri artritis rheumatoid. Kompres
jahe hangat memiliki kandungan enzim siklo-oksigenasi yang dapat
mengurangi peradangan pada penderita artritis rheumatoid, selain itu
jahe juga memiliki efek fakmakologi yaitu rasa panas dan pedas,
dimana rasa panas ini dapat meredakan nyeri, kaku, dan spasme otot
atau terjadinya vasodilatasi pembuluh darah, manfaat yang maksimal
akan dicapai padawaktu 20 menit sesudah aplikasi panas. Desa
Bongor merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Taman Ayu Kabupaten Lombok Barat yang memiliki banyak lansia
dengan Rheumatoid Arthritis atau biasa dikenal oleh masyarakat
dengan sebutan rematik, namun kebanyakan masyarakat disana
masih belum mengetahui tentang penyebab dan bagaiamana
menangani nyeri Rheumatoid Arthritis.
Efek farmakologi yang terdapat dalam jahe sangat bermanfaat.
Jahe menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien, merupakan
dua zat mediator atau subtansi radang yang sangat dikenal disamping
histamine, bradikinin, kalidin, dan serotonin. Peningkatan zat tersebut
akan mengakibatkan terjadinya proses peradangan yang salah satu
tandanya adalah timbulnya rasa nyeri (dolor). Hal ini juga diperkuat
bahwa kandungan lain jahe ialah adanya senyawa gingerol dan
shogol yang berkhasiat untuk mengurangi proses peradangan.
Ransangan panas yang dihasilkan oleh kompres hangat jahe akan
meningkatkan suhu local pada kulit yang akan mengakibatkan kulit
menjadi pucat karena timbul vasokonstriksi akan segera diikuti
vasodilatasi sehingga timbul kemerah-merahan. Apabila terjadi
dilatasi pembuluh darah kulit maka hal ini akan diteruskan oleh
pebuluh darah di jaringan lebih dalam sehingga sirkulasi darah
membaik. Panas tinggi yang terjadi pada kulit dapat
merangsanghipotalamus untuk menghasilkan endhorpin dalam
menurunkan nyeri.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi : Nama, Alamat, Jenis kelamin (nyeri sendi lebih
banyak menyerang wanita daripada pria), Umur (RA dapat terjadi
pada usia berapa pun, namun lebih sering terjadi pada usia 40
sampai 60 tahun), Agama, riwayat pendidikan, pekerjaan, dan
penanggung jawab (Wahid, 2013).
2. Keluhan Utama
Pada RA klien mengeluh nyeri pada persendian yang terkena
yaitu, sendi pergelangan tangan, lutut, kaki (sendi diartrosis),
sendi siku, bahu, sterno klavikula, panggul dan pergelangan kaki.
Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan,
dan nyeri sendi (Putra dkk, 2013).
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat kesehatan sekarang berupa uraian mengenai penyakit
yang diderita oleh klien dari mulai timbulnya keluhan yang
dirasakan sampai klien dibawa ke Rumah Sakit, dan apakah
pernah memeriksakan diri ke tempat lain selain Rumah Sakit
umum serta pengobatan apa yang pernah diberikan dan
bagaimana perubahanya dari data yang di dapatkan saat
pengkajian.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Seperti riwayat penyakit muskuloskeletal sebelumnya, riwayat
penggunaan obat-obatan, riwayat mengkonsumsi alkohol dan
merokok.
5. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Nutrisi
Pada penyakit RA biasanya dianjurkan untuk melakukan
pola diet mediteranian yang dapat memperbaiki inflamasi
pada RA. Mediteranian adalah pola makan yang terutama
mengandung ikan, sayur, dan minyak olive dibandingkan
unsur makanan yang lain. Pada klien RA gangguan
gastrointestinal yang sering adalah mual, nyeri lambung, yang
menyebabkan klien tidak nafsu makan dan terjadi penurunan
berat badan, terutama klien yang menggunakan obat reumatik
dan NSAID. Dan peristaltik yang menurun juga menyebabkan
klien jarang defekasi.
b. Pola Eliminasi
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak
ada keluhan pada sistem perkemihan. Dan umumnya klien
RA tidak mengalami gangguan eliminasi. Meski demikian
perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses dan
urine.
c. Pola Tidur dan Istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi
terhadap energi, jumlah jam tidur siang dan malam, masalah
tidur. Biasanya pada penderita RA rasa nyeri dapat
menganggu pola tidur dan istirahatnya.
d. Pola aktivitas dan latihan
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan,
dan sirkulasi pada penderita RA.
6. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
a. Kesadaran biasanya compos mentis
b. GCS yang meliputi : Eye, Verbal, Motorik
c. TTV : Tekanan darah, nadi mungkin meningkat, respirasi,
dan suhu.
d. Inspeksi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi.
(bilateral), amati warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit,
dan pembengkakan.
e. Lakukan pengukuran passive range of motion pada sendi
sendi synovial
i. Catat bila ada deviasi (keterbatasan gerak sendi),
ii. Catat bila ada krepitasi (suara berderak atau
mendedas),
iii. Catat bila terjadi nyeri saat sendi digerakkan.
f. Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara bilateral
i. Catat bila ada atrofi, tonus yang berkuran,
ii. Ukur kekuatan otot.
g. Kaji tingkat nyeri, derajat, dan mulainya
h. Kaji aktivitas dan kegiatan sehari-hari
i. Neurosensori
Akan timbul gejala kesemutan pada tangan dan kaki,
hilangnya sensasi pada jaringan, dan pembengkakan sendi
simetris.
j. Kelainan di luar sendi
i. Kepala dan Wajah : biasanya ada sianosis
ii. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang di
dapatkan, namun 40% pada autopsy RA didapatkan
kelainan perikard (Putra dkk, 2013).
7. Analisa Data
Data fokus adalah data tentang perubahan-perubahan atau
respon pasien terhadap kesehatan dan masalah kesehatannya
serta hal-hal yang mencakup tindakan yang dilaksanakan
terhadap pasien. Menurut Wilkinson (2011), analisa data dari
diagnosis keperawatan hambatan mobilitas fisik mempunyai data
objektif adalah penurunan waktu reaksi, kesulitan membolak-balik
posisi tubuh, asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti
pergerakan, dispnea saat beraktivitas, perubahan cara berjalan,
pergerakan menyentak, keterbatasan kemampuan untuk
melakukan ketrampilan motorik halus, keterbatasan kemampuan
untuk melakukan ketrampilan motorik kasar, keterbatasan rentang
pergerakan sendi, tremor yang diinduksi oleh pergerakan,
ketidakstabilan postur tubuh, melambatnya pergerakan, dan
gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi.
A. Data Subyektif
Data yang didapatkan dari pasien sebagai suatu pendapat
terhadap suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut
tidak bisa ditentukan oleh perawat, mencakup persepsi,
perasaan, ide pasien tentang status kesehatannya. Misalnya
tentang nyeri, perasaan lemah, kekuatan, kecemasan,
frustasi, mual, perasaan malu.
B. Data Obyektif
Data yang dapat diobservasi dan diukur, dapat diperoleh
menggunakan panca indera (lihat, dengar, cium, raba) selama
pemeriksaan fisik. Misalnya : frekuensi nadi, pernafasan,
tekanan darah, edema, berat badan, tingkat kesadaran.
8. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang
respon manusia terhadap gangguan kesehatan/proses kehidupan,
atau kerentanan respon diri seseorang individu, keluarga,
kelompok, atau komunitas (Herdman, 2015). Menurut Nanda
(2015) diagnosa yang sering muncul pada klien Rheumatoid
Arthritis meliputi :

a.Nyeri akut b.d perubahan patologis oleh Rheumatoid Arthritis.


b.Resiko cidera b.d hilangnya kekuatan otot, rasa nyeri
c.Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan tubuh, sendi,
bengkok, deformitas.
d.Deficit pengetahuan b.d Kurangnya informasi tentang proses
penyakit.
e.Gangguan mobilitas fisik b.d kekakuan sendi
f. Deficit perawatan diri b.d keterbatasan gerak

9. Perencanaan Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI
KEPERAWATAN HASIL

1 Nyeri akut b.d Tingkat nyeri (SLKI, L.08066) MANAJEMEN NYERI


perubahan patologis Setelah dilakukan asuhan (SIKI,1.08238)
oleh Rheumatoid selama 3x24 jam diharapkan
Obsevasi
Arthritis. nyeri dapat teratasi, dengan
kriteria hasil: 1. Identifikasi skala nyeri
2. Identifikasi respons
- Keluhan nyeri
nyeri non verbal
Menurun
3. Identifikasi faktor yang
- Nafsu makan
memperberat dan
membaik
memperingan nyeri
- Pola tidur membaik
4. Identifikasi
pengetahuan dan
keyaninan tentang
nyeri
5. Identifikasi pengaruh
budaya terhadap
respon nyeri
6. Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
7. Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
8. Monitor efek samping
penggunaan analgetik

Terapeutik

1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi
musik, biofeedback,
terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapibermain)
2. Kontrol ireskungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan) dan
3. Fasilitasi Istirahat dan
tidur
4. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri

Edukasi

1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
4. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

2 Resiko cidera b.d Tingkat Cedera Pencegahan cidera


hilangnya kekuatan (SLKI.L.14136) (SIKI.I.14537)
otot, rasa nyeri.
Setelah dilakukan asuhan Tindakan
selama 3x24 jam diharapkan Observasi
risiko cedera dapat teratasi
1. Identifikasi area
dengan kriteria hasil:
lingkungan yang
1. Kejadian cedera Berpotensi
menurun menyebabkan cidera
2. Gangguan mobilitas 2. Identifikasi obat yang
Menurun berpotensi
3. Gangguan kognitif menyebabkan cidera
menurun 3. Identifikasi kesesuain
alas kaki atau
stoking elastis pada
ekstermitas bawah

Terapeutik

1. Diskusikan
mengenai latihan
terapi fisik yang
diperlukan
2. Diskusikan
mengenai alat
bantu mobilitas
yang sesuai
3. Tingkatkan
frekuensi observasi
dan pengawasan
pasien
Edukasi

1. Jelaskan arahan
intervensi pencegaham
jatuh ke pasien dan
keluarga
2. berganti posisi secara
perlahan dan duduk
selama beberapa
menit sebelum berdiri

3 Gangguan citra tubuh Citra tubuh (L. 09067) Promosi citra tubuh (1.09305)
b.d perubahan
Setelah dilakukan asuhan Observasi
penampilan tubuh,
selama 3x24 jam diharapkan
sendi, bengkok, 1. Identifikasi harapan citra
Gangguan citra tubuh dapat
deformitas. tubuh berdasarkan tahap
teratasi dengan kriteria hasil:
perkembangan
- Melihat bagian tubuh
2. Identifikasi budaya, agama,
- Menyentuh bagian
jenis kelamin, dan umur terkait
tubuh
citra tubuh
- Verbalisasi
kecacatan bagian 3. Identifikasi perubahan citra
tubuh tubuh yang mengakibatkan
- Verbalisasi isolasi sosial
kehilangan bagian
4. Monitor frekuensi
tubuh
pernyataan kritik terhadap diri
sendiri

5. Monitor apakah pasien bisa


melihat bagian tubuh yang
berubah

Terapeutik

1. Diskusikan perubahan
tubuh dan fungsinya

2. Diskusikan perbedaan
penampilan fisik terhadap
harga diri

3. Diskusikan perubahan
akibat pubertas, kehamilan
dan penuaan

4. Diskusikan kondisi stres


yang mempengaruhi citra
tubuh (mis. luka, penyakit,
pembedahan)

5. Diskusikan cara
mengembangkan harapan
citra tubuh secara realistis

6. Diskusikan persepsi pasien


dan keluarga tentang
perubahan citra tubuh

Edukasi

1. Jelaskan kepada keluarga


tentang perawatan perubahan
citra tubuh

2. Anjurkan mengungkapkan
gambaran diri terhadap citra
tubuh

3. Anjurkan menggunakan alat


bantu (mis. pakaian, wig,
kosmetik)

4. Latih fungsi tubuh yang


dimiliki

5. Latih peningkatan
penampilan diri

4 Deficit pengetahuan Tingkat pengetahuan (L. Edukasi kesehatan (1.12383)


b.d Kurangnya 12111)
Observasi
informasi tentang Setelah dilakukan asuhan
proses penyakit. selama 3x24 jam diharapkan 1. dentifikasi kesiapan
Deficit pengetahuan dapat dan kemampuan
teratasi dengan kriteria hasil: menerima informasi
2. dentifikasi faktor-faktor
- Perilaku sesuai
yang dapat
anjuran
meningkatkan dan
- Verbalisasi /minat menurunkan motivasi
dalam belajar perilaku hidup bersih
- Kemampuan dan sehat
menjelaskan
Terapeutik
pengetahuan tentang
suatu topik 1. Sediakan materi dan
- Kemampuan media pendidikan
menggambarkan kesehatan
pengalaman 2. Jadwalkan pendidikan
sebelumnya yang kesehatan sesuai
sesuai dengan topik kesepakatan
- Perilaku sesuai 3. Berikan kesempatan
dengan pengetahuan untuk bertanya.
- Persepsi yang keliru
Edukasi
terhadap masalah
1. jekaskan faktor risiko
yang dapat
mempengaruhi kesehatan
2. Ajarkan perilaku hidup
bersih dan sehat:
3. Ajarkan Strategi yang
dapat digunakan untuk
meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat

5 Gangguan mobilitas SLKI Mobilitas fisik (L. Dukungan mobilisasi (SIKI,


fisik b.d kekakuan 05042) 1.05173)
sendi
Setelah dilakukan asuhan Observasi
selama 3x24 jam diharapkan
1. Identifikasi adanya nyeri
Gangguan citra tubuh dapat
atau keluhan fisik lainnya
teratasi dengan kriteria hasil:
2. Identifikasi toleransi fisik
- Pergerakan melakukan pergerakan
ekstremitas 3. Monitor frekuensi jantung
- Kekuatan otot dan tekanan darah
sebelum memulai
- Rentang gerak (ROM) mobilisasi
- Kaku sendi 4. Monitor kondisi umum
- Kelemahan fisik selama melakukan
mobilisasi

Terapeutik

1. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu (mis. pagar
tempat tidur)
2. Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
3. Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan

Edukasi

1. Jelaskan tujuan
dan prosedur
mobilisasi
2. Ajarkan mobilisasi

6 Deficit perawatan diri Perawatan Diri (SLKI. Dukungan perawatan diri


b.d keterbatasan L.11103) (SIKI.I.11348)
gerak
Setelah dilakukan asuhan Tindakan
selama 3x24 jam diharapkan
Observasi
deficit perawatan diri dapat
teratasi, dengan kriteria hasil: - Identifikasi kebiasaan
aktivitas
- Minat melakukan
- perawatan diri sesuai
perawatan diri
usia
- Mempertahankan
- Monitor tingan
kebersihan diri
kemandirian
- Identifikasi kebutuhan
alat bantu kebersihan
diri,berpakaian,berhias,
dan makan

Terapeutik

- Fasilitasi untuk menerima


keadaan ketergantungan

Fasilitasi untuk kemandirian,


bantu jika

tidak mampu melakukan


perawatan diri

- Jadwalkan rutinitas
perawatan diri

Edukasi

- Anjurkan melakukan
perawatan diri
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Artritis Rheumatoid dengan upaya penatalaksanaan yang
dilakukan adalah berbanding lurus. Semakin rendah tingkat
pengetahuan lansia tentang Artritis Rheumatoid semakin rendah pula
upaya penatalaksanaan Artritis Rheumatoid yang dilakukannya dan
sebaliknya, semakin tinggi tingkat pengetahuan lansia tentang Artritis
Rheumatoid semakin tinggi pula upaya penatalaksanaan yang
dilakukan sehingga meningkatkan kualitas hidup lansia.

4.2 Saran
Diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pimpinan
Puskesmas dalam membuat kebijakan dan dapat menambah
pengetahuan mengenai penyakit Rheumatoid arthritis wilayah kerja
UPTD Puskesmas sindang danau. Serta masyarakat dapat
mengetahui pencegahan ataupun penaggulangan Rheumatoid
arthritis.
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Chistianto. “Hubungan Pengetahuan Lansia Tentang Artritis


Rheumatoid Dengan Upaya Penatalaksanaannya.” Jurnal AKP,
vol. 7, no. 1, 2016, pp. 23–29.
Suharto & Nirva Rantesigi, 2019. “Pada Asuhan Keperawatan
Rheumatoid Arthiritis Di Kelurahan Gebangrejo The
Implementation of Rheumatic Gymnastics to Decrease Pain Scale
in Rheumatoid Arthritical Nursing Care in Gebangrejo.” Madago
Nursing Journal, vol. 1, no. 1, 2020.

Anda mungkin juga menyukai