Oleh :
Gadieh Kasih Muharrom Jr
1102014112
Pembimbing :
dr. Ida Widayanti, Sp. Rad
JANUARI 2019
KATAPENGANTAR
Assalamu’alaikum.
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Karena atas rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus
penyakit dalam ini dengan judul “Gambaran Radiologi Radang Sendi pada CT
Scan, USG dan MRI” ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam menempuh
kepanitraan klinik di bagian Radiologi di RSUD dr. Drajat Prawiranegara.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini tidak akan terwujud
tanpa adanya bantuan, dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu, terutama kepada dr. Ida Widayanti, Sp. Rad yang telah memberikan
arahan serta bimbingan ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas beliau.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
guna perbaikan di kemudian hari. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran.
Penyusun
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
Potensi dari inflamasi yang terjadi pada cairan sendi dapat menyebabkan
kerusakan kartilago, erosi pada tulang, dan perubahan yang lebih lanjut pada integritas
sendi sebagai tanda khas pada penyakit ini. Walaupun berpotensi merusak, artritis
reumatoid cukup bervariasi. Beberapa penderita hanya menunjukkan penyakit
oligoartikular yang ringan dengan durasi yang singkat disertai dengan kerusakan sendi
yang minimal, sedangkan pada penderita yang lain dapat menunjukkan poliartritis
progresif yang ditandai kerusakan fungsional.1,5
Diagnosis infeksi tulang dan sendi biasanya dapat dibuat dari tanda-tanda yang
tampak pada pemeriksaan fisik. Pada lokasi perifer seperti efusi sendi dan nyeri pada
metafisis yang terlokalisir, dan atau tanpa pembengkakan, membuat diagnosis relative
mudah. Namun pada panggul, pinggul, tulang belakang, tulang belikat dan bahu,
penegakan diagnosis terjadinya infeksi sulit ditentukan. Sehingga pemeriksaan
penunjang dalam hal ini pencitraan dapat memudahkan dan menegakkan dari arthritis
yaitu rheumatoid arthritis, gout arthritis dan osteoarthritis. Pemeriksaan pencitraan
radiografi yang dapat dilakukan ialah foto polos, Ultrasonography (USG) Computed
Tomografy (CT) scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI).3,5
3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
REUMATOID ARTHRITIS
A. DEFINISI
Artritis reumatoid adalah penyakit multisistem kronis yang penyebabnya
tidak diketahui. Terdapat berbagai manifestasi sistemik pada penyakit ini,
karakteristiknya adalah peradangan yang menetap pada cairan sendi (sinovitis),
biasanya menyerang area sekitar sendi dengan distribusi yang simetris. 1,2,3
B. ETIOLOGI
Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui. Dikatakan bahwa artritis
reumatoid mungkin merupakan manifestasi dari respon terhadap agen infeksius
pada orang-orang yang rentan secara genetik. Karena distibusi artritis reumatoid
yang luas, hal ini menimbulkan hipotesis bahwa jika penyebabnya adalah agen
infeksius, maka organisme tersebut haruslah tersebar secara luas. Beberapa
kemungkinan agen penyebab tersebut diantaranya termasuk mikoplasma, virus
Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubella, tapi
berdasarkan bukti-bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius yang lain yang
menyebabkan artritis reumatoid tidak muncul pada penderita artritis reumatoid.1
Walupun etiologi dari artritis reumatoid belum diketahui, namun nampaknya
multifaktorial. Terdapat kerentanan genetik yang jelas, dan penelitian pada orang
kembar mengindikasikan indeks sekitar 15-20%. Sebanyak 70% dari pasien
artrirtis reumatoid ditemukan human leucocyte antigen-DR4 (HLA-DR4),
sedangkan faktor lingkungan seperti merokok dan agen infeksius dikatakan
memiliki peranan penting pada etiologi, namun kontribusinya sampai saat ini
belum terdefinisikan.1,6,8
5
C. PATOFISIOLOGI
Artritis reumatoid adalah proses inflamasi kompleks yang merupakan hasil
reaksi dari berbagai populasi sel imun dengan aktivasi dan proliferasi dari fibroblas
sinovial. Respon inflamasi ini menyerang cairan sinovial pada persendian, bursa
dan tendon, serta jaringan lain di seluruh tubuh. Orang-orang yang menderita
penyakit ini menunjukkan tanda-tanda klinik yang bermacam-macam dan
distribusinya pada muskuloskeletal. Dalam jaringan sinovial, proses inflamasi
terjadi secara jelas, menimbulkan edema dan proliferasi kapiler dan sel mesenkim.
Pada jaringan sendi dan cairan sinovial, terjadi akumulasi dari leukosit yang
menghasilkan enzim lisosom dan proinflamasi lain, serta mediator-mediator
toksik. Kemudian, dengan teraktivasinya sel-sel imun dan fibroblas sinovial,
mediator ini dapat merusak kartilago persendian yang bedekatan. Jika proses ini
terus berlanjut dan tidak dikendalikan, permukaan sendi akan hancur, dan secara
bertahap terjadi fibrosis pada jaringan fibrosa kapsul persendian dan jaringan sendi
atau terlihat ankilosis pada tulang.10
Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi
akibat proses pencernaan oleh karena produksi protease, kolagenase dan enzim-
enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon
dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama dengan radikal oksigen dan
metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan sinovial.
Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun terhadap antigen yang
diproduksi secara lokal. Kedua adalah, destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja
panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk
dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi. Disepanjang pinggir
panus, terjadi destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel
di dalam panus tersebut.11
Hiperplasia sinovial dan formasi ke dalam panus merupakan patogenesis
artritis reumatoid yang fundamental. Proses ini dimediasi oleh produksi dari
berbagai sitokin, contohnya tumor necrosis factor α (TNF-α) dan interleukin-1
6
(IL-1) oleh antigen presenting cells dan sel T. TNF-α dan IL-1 juga memiliki
peranan penting dalam destruksi tulang.6,8
D. DIAGNOSIS
Diagnosis dari artritis reumatoid dengan anamnesis dan pemeriksaan yang
dikorelasikan dengan data laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Karakteristik
pasien, termasuk umur, jenis kelamin dan etnis, sangat penting, karena hal tersebut
berhubungan dengan resiko dan tingkat keberatan dari penyakit.2
1. Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita
artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat
yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang
bervariasi.11
a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya
b. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
c. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat generalisata
tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung
selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam
d. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi
tulang.
e. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat
7
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan subluksasi
metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami
pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak
f. ekstensi.
g. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau
sepanjang permukaan ekstensor dari lengan. Walaupun demikan, nodul-
nodul ini dapat juga timbul pada tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini
biasanya merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih
berat.
h. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis),
mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis
reumatoid dari American Rheumatism Association tahun 2010
Tabel 1: Revised American Rheumatism Association Criteria for the
Classification of Rheumatoid Arthritis 2010 [dikutip dari kepustakaan 2]
Kriteria Definisi
Artritis pada tiga kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri
8
Artritis pada sendi Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,
2. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada pasien dengan artritis reumatoid adalah penilaian
standar untuk peradangan pada sendi, kelemahan dan keterbatasan gerak. Selain
itu, pada pemeriksaan fisis juga menunjukkan adanya gejala-gejala ekstra-
artikular seperti skleritis, nodul-nodul, garukan perikardial, efusi pleura,
splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas bawah.2
9
Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan
deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal
interfalangs (DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas
yang lain merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu deformitas
swan-neck, dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan fleksi dari sendi
DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk
menggantinya dengan protesa silikon.12
3. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis
artritis reumatoid. Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis artritis reumatoid. Sekitar 85% pasien artritis reumatoid
memiliki autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor reumatoid.
Autoantibodi ini adalah imunoglobulin M (IgM) yang beraksi terhadap
perubahan imunoglobulin G (IgG). Keberadaan dari faktor reumatoid bukan
merupakan hal yang spesifik pada penderita artritis reumatoid. Faktor reumatoid
10
ditemukan sekitar 5% pada serum orang normal, insiden ini meningkat dengan
pertambahan usia, sebanyak 10-20% pada orang normal usia diatas 65 tahun
positif memiliki faktro reumatoid dalam titer yang rendah.1,11
Laju endap darah (LED) eritrosit adalah suatu indeks peradangan yang
tidak spesifik. Pasien dengan artritis reumatoid nilainya dapat tinggi (100
mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa LED dapat dipakai untuk
memantau aktivitas penyakit.11
Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita dengan
artritis rematoid yang aktif melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia
ini tidak berespon pada pengobatan anemia yang biasa dan dapat membuat
seseorang merasa kelelahan.1.11
Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi,
walaupun tidak ada satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk artritis
reumatoid. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun,
peningkatan kandungan protein, dan konsentrasi glukosa yang mengalami sedikit
penurunan atau normal. Hitung sel leukosit (WBC) meningkat mencapai
2000/µL dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik
peradangan pada artritis, walaupun demikian, temuan ini tidak mendiagnosis
artritis reumatoid.1
4. Pemeriksaan Radiologi
A. Foto Polos
Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelah
sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang
sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi
sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya
irreversibel.11
11
Gambar 3 : Artritis erosif yang mengenai tulang karpal dan sendi
metakarpofalangs. [dikutip dari kepustakaan 12]
12
Gambar 4: A. Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B. Erosi komplit pada
pergelangan tangan. [dikutip dari kepustakaan 13]
Gambar 5: C. Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D. Nodul subkutaneus multipel
pada tangan [dikutip dari kepustakaan 13]
Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan
periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi
dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan
lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar
pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat diatas
prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini
berkembang sekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada
penyakit lain, sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis.7
B. CT Scan
Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam
mendiagnosis artritis reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalam
13
memperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yang
sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto polos dan MRI.14
CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki
kerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikan
letak destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada
pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang.5
C. Ultrasonografi (USG)
Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi
digunakan untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis reumatoid. Efusi
dari sendi adalah hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada sinovium lebih
ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan yang memenuhi area
kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat terlihat sebagai
irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari arthritis reumatoid,
seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat divisualisasikan dengan
menggunakan ultrasonografi. Hal ini sangat berguna pada sendi MCP dan IP.
Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik karena
konfigurasinya yang tidak rata dan lokasinya yang dalam.15
14
Gambar 7 : (A) Gambaran normal bagian longitudinal dari sendi
metakarpofalangs. (B) Sendi metakarpofalangs pada pasien artritis reumatoid.
FP, bantalan lemak; M dan MC,kaput metakarpal; P, falangs; S, sinovitis.
[dikutip dari kepustakaan 15]
Sonografi telah digunakan dalam mendiagnosis artritis reumatoid dengan
tujuan meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi konvensional.
Ultrasonografi, terkhusus dengan menambahkan amplitude color doppler (ACD)
Imaging, juga menyediakan informasi klinis yang berguna untuk dugaan artritis
reumatoid. ACD imaging telah diaplikasikan untuk artritis reumatoid dengan
tujuan mengevaluasi manifestasi dari hiperemia pada peradangan jaringan sendi.
Hiperemia sinovial merupakan ciri patofisiologi yang fundamental untuk artritis
reumatoid.15
D. MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang baik
dengan penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakan
kartilago, dan erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid.15
15
Gambar 8: koronal T1-weighted pada sendi metakarpofalangs 2-4,
memperlihatkan erosi radial yang luas pada kaput metakarpal 2 dan 3
[dikutip dari kepustakaan 15].
Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama pada
artritis reumatoid. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas MRI dalam
mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk perubahan
edema tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan penolong untuk
mendiagnosis awal penyakit artritis reumatoid. MRI juga memberikan gambaran
yang berbeda pada abnormalitas dari artritis reumatoid, sebagai contoh, erosi
tulang, edema tulang, sinovitis, dan tenosinovitis.15
16
GOUT ARTHRITIS
A. DEFINISI
Artritis pirai (gout) merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai
akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi
asam urat didalam cairan ekstraseluler. Masalah akan timbul jika terbentuk kristal
– kristal monosodium urat monohidrat pada sendi – sendi dan jaringan sekitarnya.
Kristal – kristal berbentuk seperti jarum ini mengakibatkan reaksi peradangan
yang jika berlanjut akan menimbulkan nyeri hebat yang sering menyertai serangan
gout.(17,18)
B. ETIOLOGI
Penyebab hiperurisemia dan gout dapat dibedakan dengan hiperurisemia
primer, sekunder. Hiperurisemia dan gout primer adalah hiperurisemia dan gout
tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain. Hiperurisemia primer terdiri dari
kelainan molekuler yang masih belum jelas dan hiperurisemia karena adanya
kelainan enzim spesifik. Hiperurisemia kelainan molekular yang belum jelas
terbanyak didapatkan yaitu 99% terdiri dari hiperurisemia karena underexcretion
(80 – 90%) dan overproduction (10-20%). Underexcretion kemungkinan
disebabkan karena faktor genetik dan menyebabkan gangguan pengeluaran AU
dan menyebabkan gangguan pengeluaran AU sehingga menyebabkan
hiperurisemia. Hiperurisemia primer karena kelainan enzim spesifik diperkirakan
hanya 1%, yaitu karena peningkatan aktivitas dari enzim phoribosylpyro-
hosphatase (PRPP) synthetas. (17,18,21)
Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia atau gout yang
disebabkan oleh penyakit lain atau penyebab lain,1,2 seperti penyakit glycogen
storage disease tipe I, menyebabkan hiperurisemia yang bersifat automal resesif,
glycogen storage disease tipe III, V, VI akan terjadi hiperurisemia miogenik.
17
Hiperurisemia sekunder tipe overproduction disebabkan penyakit akut yang berat
seperti pada infark miokard, status epileptikus.(18,19,20)
C. PATOFISIOLOGI
Onset serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat
serum, meninggi atau menurun. Pada keadaan asam urat stabil jarang mendapat
serangan.(18,21)
Perkembangan dari serangan akut gout umumnya mengikuti serangkaian
peristiwa. Mula – mula terjadi hipersaturasi dari urat plasma dan cairan tubuh.
Selanjutnya diikuti oleh penimbunan di dalam dan sekeliling sendi – sendi.
Serangan gout seringkali terjadi sesudah trauma local atau ruptura tofi (timbunan
asam urat), yang mengakibatkan peningkatan cepat konsentrasi asam urat lokal.
Tubuh mungkin tidak dapat mengatasi peningkatan ini dengan baik, sehingga
terjadi pengendapan asam urat di luar serum. Kristalisasi dan penimbunan asam
urat akan memicu serangan gout. Krital – kristal asam urat memicu respon
fagositik oleh leukosit, sehingga leukosit memakan Kristal – Kristal asam urat dan
memicu mekanisme respon peradangan lainnya. Respon peradangan ini
diperngaruhi oleh lokasi dan banyaknya timbunan Kristal asam urat. Reaksi
peradangan dapat meluas dan bertambah sendiri, akibat dari penambahan timbuan
Krista serum. (18,21)
18
Gambar 3. Patofisiologi Artritis Gout (21)
Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monodium urat
dari depositnya dalam tofi (crystals shedding). (19)
Terdapat peranan temperature, PH dan kelarutan urat untuk timbul
serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperature lebih
rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan mengapa
krital MSU diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi umum untuk
pengendapan kristal MSU metatarsofalangeal-1 (MTP-1). Berhubungan juga
dengan trauma ringan yang berulang – ulang pada daerah tersebut.(19)
19
D. DIAGNOSIS
1. Gambaran klinik
a. Stadium hiperurisemia asimtomatik
Nilai normal asam urat serum pada laki-laki adalah 5,1 kurang kebih 1,0
mg/ dl, dan pada perempuan adalah 4,0 kurang 1,0 mg/dl. Nilai-nilai ini
meningkat sampai sampai 9-10 mg/dl pada seseorang dengan gout.
Dalam tahap ini pasien tidak menunjukkan gejala-gejala selain dari
peningkatan asam urat serum. Hanya 20% dari pasien hiperurisemia
asimtomatik yang berlajut menjadi serangan gout akut.(17,18,20). Keadaan
hiperurisemia juga dapat berlangsung seumur hidup tanpa menimbulkan
gejala.(19)
b. Stadium artritis Gout Akut
Pada tahap ini terjadi pembengkakan dan nyeri yang luar biasa,
biasanya pada ibu jari kaki dan sendi metatarsofalangeal. Arthritis bersifat
monoartikular dan menunjukkan tanda – tanda peradangan lokal. Mungkin
terdapat demam dan peningkatan jumlah leukosit. Serangan dapat dipicu oleh
pembedahan, trauma, obat-obatan, alcohol, atau stress emosional. Tahap ini
biasanya mendorong pasien untuk mencari pengobatan segera. Sendi-sendi lain
dapat terserang, termasuk sendi jari-jari tangan dan lutut, mata kaki,
pergelangan tangan, dan siku. Serangan gout akut biasanya pulih tanpa
20
pengobatan, tetapi dapat memakan waktu 10 sampai 14 hari. Perkembangan
dari serangan gout akut umumnya mengikuti serangkaian peristiwa berikutnya.
Mula-mula terjadi hipersaturasi dari urat plasma dan cairan tubuh. Selanjutnya
diikuti oleh penimbunan didalam sekeliling sendi-sendi. Kristalisasi dan
penimbunan asam urat akan memicu serangan gout. Kristal – kristal asam urat
memicu respon fagositik oleh leukosit, sehingga leukosit memakan Kristal –
kristal urat dan memicu mekanisme respon peradangan lainnya. Respon
peradangan ini dapat dipengaruhi oleh lokasi dan banyaknya timbunan Kristal
asam urat.(19,20)
Tofi akan tampak seperti benjolan kecil (nodul) dan berwarna pucat.
Tofi baru ditemukan pada kadar asam urat 10 – 11mg/l. pada kadar >11mg/dl
pembentukan tofi menjadi sangat progresif atau cepat sekali. Tofi juga bisa
menjadi koreng atau ulcerasi atau perlukaan dan mengeluarkan cairan kental
seperti kapur yang mengandung Kristal MSU. (19,20)
c. Stadium interkritik
Tidak terdapat gejala-gejala pada masa ini, yang dapat belangsung dari
beberapa bulan sampai tahun. Kebanyakan orang mengalami serangan gout
berulang dalam waktu kurang dari satu tahun jika diobati.(19,20)
21
Gout dapat merusak ginjal, sehingga ekskresi asam urat bertambah buruk.
Kristal-kristal asam urat dapat terbentuk interstitum medulla papilla dan
pyramid. Batu biasanya berukuran kecil bulat dan tidak terlihat pada
pemerikasaan radiografi.(21)
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Konvensional (X-ray)
22
b. Pemeriksaan dengan USG
23
Gambar 8. Tampak deposit asam urat di kedua sendi metatarsophalangeal
pertama kaki kiri dan kanan, serta pengendapan urat di beberapa sendi pada
kaki dan sendi pergelangan kaki. (28)
24
d. Pemeriksaan dengan MRI
3. Permeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Asam Urat darah (17,19,20)
Didapatakan kadar asam urat yang tinggi dalam darah. Hiperurisemia jika kadar
asam urat darah diatas 7 mg/dl. Kadar asam urat normal dalam serum pria diatas
7mg% dan 6 mg% pada perempuan. Kadar asam urat dalam urin juga tinggi 500
mg%/l per 24 jam. Sampai saat ini, pemeriksaan kadar asam urat terbaik
dilakukan dengan cara enzimatik.
b. Pemeriksaan kadar ureum darah dan kreatinin
Didapatakan kadar urea darah normal 5 – 20 mg/dl. Kadar kreatinin darah normal
pria 0,6 - 1,3 mg/dl dan 0,5 - 1 mg/dl pada perempuan.
25
c. Aspirasi cairan sendi
Merupakan gold standar untuk diagnose gout. Jarum diinsersikan ke dalam sendi
untuk mengambil sampel/jaringan. Pemeriksaan untuk menemukan adanya
Kristal MSU.
E. DIANOSIS BANDING
1. Reumatoid artritis
Artritis reumatoid adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai
sistem organ. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan
ikat difus yang diperantarai oleh imunitas dan tidak diketahui penyebabnya.
Sebagian besar pasien menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul.
(17,19,22)
Gambar 11. Artritis reumatoid nampak erosif yang mengenai tulang karpal
dan sendi metakarpofalangs.(32)
Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan
periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi
dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa
jaringan lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek
26
ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat
diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini
berkembang sekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi
pada penyakit lain, sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis.(22)
2. Pseudogout
Pseudogout merupakan sinovitis mikrokristalin yang dipicu oleh
penimbunan Kristal calcium pyrophosphate dehidrogenase crystal (CPPD), dan
dihubungkan dengan kalsifikasi hialin serta fibrokartilago. Ditandai dengan
gambaran radiologis berupa kalsifikasi rawan sendi dimana sendi lutut dan
sendi – sendi besar lainnya merupakan predileksi untuk terkena radang.
27
Pseudogout memberikan serangan akut, subakut, episodik, dan dapat
menyerupai penyakit gout, di mana inflamasi sinovium merupakan gejala yang
khas. (19)
Pseudogout saat serangan akut didapatkan adanya pembengkakan yang
sangat nyeri, kekakuan dan panas lokal sekitar sendi yang sakit dan disertai
eritema. Gambaran tersebut sangat menyerupai gout.(19)
Pada pemeriksaan darah tidak ada yang spesifik, LED meningkat
selama fase akut (19)
F. PENATALAKSANAAN
Secara umum penanganan arthritis gout adalah memberikan edukasi,
pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara
dini agar tidak terjadi kerusakan ataupun komplikasi lain misalnya pada ginjal.
Pengobatan arthritis gout akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri sendi
dan peradangan dengan obat – obat, antara lain kolkisin, obat anti inflamasi non
steroid (OAINS), kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat
seperti alopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut.
Namun pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat,
sebaiknya tetap diberikan. Pemberian kolkisin dosis standar untuk arthritis gout
akut secara oral 3-4 kali, 0,5-0,6 mg per hari dengan dosis maksimal 6 mg.
Pemberian OAINS dapat pula diberikan. Dosis tergantung dari jenis OAINS
yang dipakai. Disamping efek anti inflamasi obat ini juga mempunyai efek
analgetika. Jenia OAINS yang banyak dipakai pada arthritis gout akut adalah
indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200 mg/hari selama 2 – 3 hari dan
dilanjutkan 75 – 100 mg/hari sampai minggu berikutnya atau sampai nyeri atau
peradangan berkurang. Kortikosteroid dan ACTH diberikan apabila kolkisin
dan OAINS tidak efektif atau merupakan kontra indikasi. Indikasi pemberian
adalah pada arthritis gout akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular).
Pada stadium interkritik dan menahun tujuan pengobatan adalah untuk
28
menurunkan kadar asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah
kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet
rendah purin dan pemakaian obat allopurinol bersama obat urikosurik yang
lain.(19)
29
OSTEOARTHRITIS
A. Definisi
B. Etiologi
Penyakit ini timbul akibat proses penuaan, trauma, atau akibat kelainan lain
diantaranya :
• Umur
• Jenis Kelamin
• Suku Bangsa
• Genetik
• Kegemukan
• Penyakit Metabolik
• Cedera Sendi, Pekerjaan, Olahraga
• Kelainan Pertumbuhan
• Faktor Lain
C. Patofisiologi
Pada OA terdapat proses degenerasi, reparasi dan inflamasi yang terjadi dalam
jaringan ikat, lapisan rawan, sinovium dan tulang subkondral. Pada saat penyakit
aktif, salah satu proses dapat dominan atau beberapa proses terjadi bersama dalam
tingkat intensitas yang berbeda. OA lutut berhubungan dengan berbagai defisit
patofisiologi seperti instabilitas sendi lutut, menurunnya lingkup gerak sendi (LGS)
lutut, nyeri lutut sangat kuat berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
quadriceps yang merupakan stabilisator utama sendi lutut dan sekaligus berfungsi
untuk melindungi struktur sendi lutut. Pada penderita usia lanjut kekuatan
quadriceps bisa menurun 1/3 nya dibandingkan dengan kekuatan quadriceps pada
30
kelompok usia yang sama yang tidak menderita OA lutut. Penurunan kekuatan
terutama disebabkan oleh atrofi otot tipe II B yang bertanggungjawab untuk
menghasilkan tenaga secara cepat.
Perubahan - perubahan yang terjadi pada OA adalah sebagai berikut:
a. Degradasi tulang rawan. Perubahan yang mencolok pada OA biasanya dijumpai
di daerah tulang rawan sendi yang mendapatkan beban. Pada stadium awal, tulang
rawan lebih tebal daripada normal, tetapi seiring dengan perkembangan OA
permukaan sendi menipis, tulang rawan melunak, integritas permukaan terputus
dan terbentuk celah vertikal (fibrilasi). Dapat terbentuk ulkus kartilago dalam yang
meluas ke tulang. Dapat timbul daerah perbaikan fibrokartilaginosa, tetapi mutu
jaringan perbaikan lebih rendah daripada kartilago hialin asli, dalam
kemampuannya menahan stres mekanik. Semua kartilago secara metabolis aktif,
dan kondrosit melakukan replikasi, membentuk kelompok (klon). Namun,
kemudian kartilago menjadi hiposeluler. Proses degradasi yang timbul sebagai
akibat dari ketidakseimbangan antara regenerasi (reparasi) dengan degenerasi
rawan sendi melalui beberapa tahap yaitu fibrilasi, pelunakan, perpecahan dan
pengelupasan lapisan rawan sendi. Proses ini dapat berlangsung cepat atau lambat.
Yang cepat dalam waktu 10 – 15 tahun, sedang yang lambat 20 – 30 tahun.
Akhirnya permukaan sendi menjadi botak tanpa lapisan rawan sendi.
b. Osteofit. Bersama timbulnya dengan degenerasi rawan, timbul reparasi. Reparasi
berupa pembentukan osteofit di tulang subkondral.
c. Sklerosis subkondral. Pada tulang subkondral terjadi reparasi berupa sclerosis
(pemadatan/ penguatan tulang tepat di bawah lapisan rawan yang mulai rusak).
d. Sinovitis.
Sinovitis adalah inflamasi dari sinovium dan terjadi akibat proses sekunder
degenerasi dan fragmentasi. Matriks rawan sendi yang putus terdiri dari kondrosit
yang menyimpan proteoglycan yang bersifat immunogenik dan dapat mengaktivasi
leukosit. Sinovitis dapat meningkatkan cairan sendi. Cairan lutut yang mengandung
bermacam-macam enzim akan tertekan ke dalam celah-celah rawan. Ini
31
mempercepat proses pengerusakan rawan. Pada tahap lanjut terjadi tekanan tinggi
dari cairan sendi terhadap permukaan sendi yang botak. Cairan ini akan didesak ke
dalam celah-celah tulang subkondral dan akan menimbulkan kantong yang disebut
kista subkondral (Parjoto, 2012).
D. Diagnosis
Gejala klinis :
1. Nyeri bertambah dengan gerakan terutama di malam hari pada sendi penopang
tubuh
2. Kekakuan sehingga terjadi gangguan pergerakan (disebabkan oleh adanya
Nodus Heberden dan Bouchard)
3. Pembengkakan dikarenakan adanya deformitas sehingga disertai bunyi krek
ketika bergerak.
Pemeriksaan Fisik
1. Hambatan Gerak
2. Pembengkakan Sendi yang Seringkali Asimetris
3. Krepitasi
4. Tanda Peradangan
5. Deformitas Sendi
6. Perubahan Gait
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna.
Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas – batas normal. Pemeriksaan imunologi
masih dalam batas-batas normal. Pada OA yang disertai peradangan sendi dapat
dijumpai peningkatan ringan sel peradangan ( < 8000 / m ) dan peningkatan nilai
protein.
2. Foto Rontgen
32
• Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris
• Kista tulang
Dengan rontgen kita dapat mengetahui dengan jelas kerusakan atau perubahan-
perubahan yang terjadi pada tulang rawan atau tulang yang diindikasikan
mengalami osteoartritis.
Grade
Osteoarthrit Deskripsi
is
33
Foto Rontgen Lateral Sendi Lutut Normal Foto Rontgen Sendi Lutut Normal Posisi AP
Sumber : Atlas Anatomi Sobotta Edisi 22 Jilid 2
34
- Gambar atas kiri : pandangan anteroposterior menunjukkan
menyempitnya celah sendi (tanda panah)
- Gambar bawah kiri : pandangan lateral menunjukkan sklerosis yang
ditandai terbentuknya osteofit (tanda panah)
- Gambar atas kanan : menyempitnya celah sendi (tanda panah putih)
menyebabkan destruksi padapada kartilago dan
sunchondral (tanda panah terbuka)
- Gambar bawah kanan : ditemukan kista subchondral (tanda panah)
35
Pencitraan radiologis sinar-x pada osteoarthritis panggul
Gambar atas : gambar pertama menunjukkan penyempitan celah
sendi pada panggul (tanda panah putih), sklerosis
subchondral (kepala panah putih), dan terbentuknya
kista (kepala panah transparan).
Gambar bawah : gambar kedua diambil 2 tahun setelah gambar pertama
yang menunjukkan semakin menyempitnya celah sendi
(tanda panah putih) dan sklerosis (kepala panah putih).
36
OA pada jari tangan OA pada jari kaki
Gambaran radiologis posteroanterior menunjukkan penyempitan ruang
sendi interphalangeal, sklerosis subchondral, dan pembentukan osteofit
(panah).
Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis : Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-
747.
37
Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada
lutut
Gambaran radiologis anteroposterior lutut menunjukkan penyempitan
ruang sendi, sklerosis, dan pembentukan osteofit (panah).
Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis : Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-
747.
38
Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada pinggul
Kedua gambar di atas menunjukkan penyempitan ruang superolateral
sendi, sklerosis, kista subkondral, dan pembentukan osteofit (panah).
Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis : Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology.
248(3) : 737-747.
39
Uraian Pemeriksaan:
Foto Genu dekstra et sinistra, AP dan lateral view, kondisi cukup, hasil:
- Tak tampak soft tissue swelling
- Trabekulasi tulang baik
- Tak tampak diskontinuitas
- Fascies articularis licin
- Tak tampak osteofit di condilus lateralis os tibia dekstra
- Eminentia intercondilaris meruncing
- Joint space menyempit
Kesan : OA Genu Bilateral terutama dekstra.
40
- Joint space menyempit
- Pada os patella sinistra tampak fascies articularis irreguler dan joint space menyempit.
Kesan : OA Genu Sinistra
3. USG
Dalam beberapa tahun terakhir, USG telah memperoleh penerimaan sebagai
alat yang berguna untuk penilaian infeksi pada sendi jari pasien dengan rheumatoid
arthritis. Akhir-akhir ini, prevalensi, validitas, dan keandalan fitur USG juga telah
dipelajari pada pasien dengan OA tangan. USG memiliki keuntungan memberikan
gambar dinamis multiplanar dan tidak melibatkan radiasi apa pun dan dapat dilakukan
di ruang pemeriksaan dan pasien dapat dengan nyaman selama pemeriksaan.
Visualisasi optimal dicapai dengan pemindaian longitudinal dan transversal pada aspek
dorsal dengan sambungan penuh dan dari aspek volar dengan sambungan pada posisi
netral (Kellgren, 2011). USG memungkinkan visualisasi spektrum luas OA tangan,
termasuk osteofit, erosi marginal, dan sinovitis (Gambar 2). Oleh karena itu, USG
dapat menjadi alat yang layak untuk visualisasi peradangan pada pasien dengan OA
tangan (Ida K Haugen, 2011).
A B
C D
41
Gambar 2. Ultrasonografi sendi interphalageal proksimal ke-2. Sendi divisualisasikan dalam pemindaian
sagital (a, c) dan aksial (b, d). Dalam skala abu-abu gambar (a), osteofit proksimal dan distal terlihat
(panah). Sinovitis skala abu-abu terlihat pada bidang sagital (a) dan aksial (b). Sinyal Power Doppler
terlihat di (c) dan (d).
42
Radiografi Konvensional pada lutut : MRI : menunjukkan focal grade 3 cartilage
menunjukkan terjadinya defect
penyempitan celah sendi pada
kompartemen lateral (panah merah).
43
A. Radiografi Konvensional : B. Axial CT Scan :
(sunrise pateilar projection) Terdapat kista kecil di bagian apex patela
C. MRI : T1 weighted D. MRI : T2 weighted
Terdapat kista kecil di bagian Terjadi cartilage denudation
apex patella
44
A. Radiografi Konvensional : tampak B. MRI : tampak adanya sclerosis subchondral
adanya sclerosis subchondral,
penyempitan ruang sendi, dan
osteofit
45
A. Radiografi B. CT Scan : tampak C. MRI : osteophytosis
Konvensio adanya terlihat lebih jelas
nal : osteophytosis dan nyata
pembentu pada Terdapat
kan kompartemen intercondylar
osteofit medial dan lateral osteophyte
46
A. Radiografi B. CT Scan : tampak C. MRI : terlihat adanya
Konvensional : kista subchondral kista subchondral
tidak tampak yang kecil yang (panah) yang memiliki
tanda tanda dikelilingi oleh thin intensitas tinggi
pembentukan sclerotic halo
kista
5. Aspirasi sendi ( arthrocentesis )
E. Terapi farmakologis
Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan rasa nyeri yang timbul,
mengoreksi gangguan yang timbul dan mengidentifikasi manifestasi-manifestasi klinis
dari ketidakstabilan sendi ( Felson, 2006 ).
a. Obat Antiinflamasi Nonsteroid ( AINS ), Inhibitor Siklooksigenase-2 (COX-2), dan
Asetaminofen.
Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada OA lutut, penggunaan obat AINS dan
Inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan asetaminofen. Namun
karena risiko toksisitas obat AINS lebih tinggi daripada asetaminofen, asetaminofen
tetap menjadi obat pilihan pertama dalam penanganan rasa nyeri pada OA. Cara lain
47
untuk mengurangi dampak toksisitas dari obat AINS adalah dengan cara
mengombinasikannnya dengan menggunakan inhibitor COX-2 ( Felson, 2006).
b. Chondroprotective Agent
Chondroprotective Agent adalah obat – obatan yang dapat menjaga atau merangsang
perbaikan dari kartilago pada pasien OA. Obat – obatan yang termasuk dalam
kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat,
glikosaminoglikan, vitamin C, dan sebagainya ( Felson, 2006 ).
Terapi pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa
sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang
mengganggu aktivitas sehari – hari.
48
BAB III
KESIMPULAN
Artritis Reumatoid adalah suatu bentuk penyakit sendi yang sering dijumpai,
meliputi bermacam-macam kelainan dengan penyebab yang berbeda. Artritis
Reumatoid merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh
diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan peradangan
dalam waktu lama pada sendi. Penyakit ini menyerang persendian, biasanya mengenai
banyak sendi, yang ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur-
struktur sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang. Destruksi sendi pada AR dimulai
dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan
menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk
melakukan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin. ACRSRA mekomendasikan
bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3 bulan sejak timbulnya
gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs ( Disease-modifying
antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi terapi non farmakologik dan
farmakologik.Tujuan terapi pada penderita AR adalah, mengurangi nyeri,
mempertahankan status fungsional, mengurangi inflamasi, mengendalikan keterlibatan
sistemik , proteksi sendi dan struktur ekstraartikular, mengendalikan progresivitas
penyakit, menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi.
49
ginjal yang menurun, maupun akibat tingginya asupan makanan kaya purin. Gout
disebabkan kondisi cairan tubuh sangat jenuh akan asam urat berkadar tinggi. Gout
ditandai dengan serangan berulang dari arthritis (peradangan sendi) yang akut,
kadang-kadang disertai pembentukan kristal natrium urat besar yang dinamakan
tophus, deformitas (kerusakan) sendi secara kronis, dan cedera pada ginjal. (Juandy,
2007).
Tidak semua penderita dengan AG diindikasikan untuk pemeriksaan radiologi
diagnosis artritis gout dilakukan sesuai dengan kriteria dari The American College of
Rheumatology (ACR) yaitu terdapat kristal urat dalam cairan sendi atau tofus dan/atau
bila ditemukan 6 dari 12 kriteria yaitu, Inflamasi maksimum pada hari pertama,
serangan akut lebih dari satu kali, artritis monoartikuler, sendi yang terkena berwarna
kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada sendi metatarsofalangeal, serangan pada
sendi metatarsofalangeal unilateral, adanya tofus dan hiperurisemia. Pada foto sinar-X
didapatkan tampak pembengkakan sendi asimetris dan kista subkortikal tanpa erosi,
dan kultur bakteri cairan sendi negatif (Fandi, 2014).
50
Diagnosis osteoarthritis didasarkan pada pemeriksaan fisik dan
dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis berupa foto sinar-x
sebagai penunjang/pemastian diagnosis. Gambaran yang ditemukan pada foto sinar-x
pasien dengan osteoarthritis adalah menyempitnya celah antar sendi, terbentuknya
osteofit, terbentuknya kista, dan sklerosis subchondral. Pemeriksaan tambahan lain
yang dapat dilakukan adalah MRI yaitu untuk mengetahui derajat patologisnya, namun
pemeriksaan ini jarang dilakukan sebagai penunjang diagnostik dalam osteoarthritis,
karena sebagian besar gambaran penyakit ini sudah bisa dinilai berdasarkan
pemeriksaan sinar-x. Sampai saat ini belum ada terapi definitif untuk mengobati
osteoarthritis. Terapi yang sudah ada bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri dan
meminimalisasi hilangnya fungsi fisik. Hal ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup
pasien dengan cara membantu pasien agar tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari
51
DAFTAR PUSTAKA
1. Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76
2. Kent PD and Matteson EL, editors. Clinical Feature and Differential Diagnosis.
In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed.
New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.11-23
3. Calleja, Michele. Rheumatoid Arthritis, Spine. [Online]. 2009. [cited 2011 March
3]:[2 screens]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/398955-overview
4. Felson, D. T. 2006. Osteoarthritis of the knee. New England Journal of
Medicine, 354(8), 841-848
5. Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rd ed. London: BMJ Books;
2004.p.50-5
6. Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and Stiskal S.
Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art Imaging, Image
Interpretation, and Clinical Implications. Austria: RadioGraphics; 2005.p.381-
398
7. Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive Radiographic Pathology
4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2003.p.1134-5
8. Coote A and Haslam P, editors. Crash Course Rheumatology and Orthopaedics
1st ed. New York : Mosby; 2004.p.51-9
9. Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology in
Health and Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2001.p.414-5
10. Cothran Jr RL and Matinez S, editors. Radiographic Findings. In: St.Clair EW,
Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.80-9
11. Carter, Michael A. Arthritis Reumatoid. Dalam: Price, SA and Wilson LM,
52
editors. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1385-91
12. Mettler , Fred A. Essentials of Radiology 2nd ed. New York: Elsevier Saunders;
2004.p.310-1
13. Haugen and Bøyesen Arthritis Research & Therapy 2011, 13:248
http://arthritis-research.com/content/13/6/248
14. Brant WE and Helms CA, editors. Fundamentals of Diagnostic Radiology 2nd ed.
New York: Lippicott Williams & Wilkins; 2007.p.1135
15. Berquist, Thomash H. Musculoskeletal Imaging Companion 2nd ed. New York:
Lippicott Williams & Wilkins; 2007.p.803-6
16. Tsou, Ian YY. Rheumatoid Arthritis, Hands. [Online]. 2010. [cited 2011 March
3]:[3screens]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/401271-overview
17. Wakefield RJ, Conaghan PG, and Emery P, editors. Ultrasonography and
Magnetic Resonance Imaging for Diagnosis and Managenet. In: St.Clair EW,
Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.98-104
18. Partojo, S. 2000. Assesment Fisioterapi Pada Osteoartritis Sendi Lutut, TITAFI
XV:Semarang
19. Price S, Wilson L. 2005. Gout. In buku Patofisiologi. Ed 6 vol.2 Penerbit buku
kedokteran , Jakarta. p: 1402 – 1406
20. Misnadiarly. 2007. Penyakit – penyakit akibat hiperurisemia. Rematik : asam urat,
hiperurisemia, artritis gout. Pustaka Obor Populer. Jakarta. p: 19 – 39
21. Stefanus, E.I., 2006, Arthritis Gout. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta,. p:1218 – 1220
22. Mansjoer,A.,dkk, 2004. Reumatologi. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga
Jilid 1 Cetakan Keenam. Media Aesculapius FK UI, Jakarta. p: 542 – 546
23. Robbins kumar. 2007. Sistem Muskuloskeletal. In Buku Ajar Patologi. Edisi 2.
Penerbit buku kedokteran, Jakarta. p: 863 – 869
24. Rozbruch DJ. Orthopaedic Surgery. 2011. Available at
53
http://www.orthopaedicsurgerynyc.com/default.html.
25. Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and Stiskal S. 2005.
Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art Imaging, Image
Interpretation, and Clinical Implications. Austria: RadioGraphics;.p.381-398
26. Smelser C. Gout Imaging. 2011. available at
.http://emedicine.medscape.com/article/389965-overview#a19 diakses tanggal 5
Februari 2015
27. Departement of Radiology. Muskuloskeletal Radiology.available at
http://www.rad.washington.edu/academics/academic-sections/msk/teaching-
materials/online-musculoskeletal-radiology-book/appendicular-arthritis
diaksestanggal 5 Februari 2015
28. Dr. Maulik S Patel. Gout. 2010. Available at
http://radiopaedia.org/images/494592 diakses 5 Februari 2015
29. Sawas N. Dual Source CT - Gout Imaging with Dual Energy. 2007. Available at
http://healthcare.siemens.com/computed-tomography/case-studies/dual-source-
ct-gout-imaging-with-dual-energy diakses tanggal 5 Februari 2015
30. Perez-Ruiz. 2009. Arthritis research & therpary. Available at: http://arthritis-
research.com/content/11/3/232/figure/F2?highres=y diakses 5 Februari 2015
31. Ashman CJ, Klecker RJ, Yu JS. 2001. Forefoot pain involving the metatarsal
region: differential diagnosis with MR imaging. RadioGraphics p;21: 1425–1440.
32. Yu JS, Tanner JR. 2002. Considerations in metatarsalgia and midfoot pain: an MR
imaging perspective. Semin Musculoskelet Radiol p;6:91–104.
33. Shiel CW. Pseudogout. Available at :
http://reference.medscape.com/features/slideshow/diseases-plain-
radiography di akses 5 Februari 2015
34. Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive Radiographic Pathology
4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2003.p.1134-5
35. Juandy, “Gout dan Diet“, http://www.depkes.go.id/index.php?option
54
=articles&task=viewarticle&artid=184&Itemid=3, Printed in November, 2007
36. Kellgren JH, Jeff rey MR, Ball J: The Epidemiology of Chronic Rheumatism.
Volume II: Atlas of Standard Radiographs of Arthritis. Oxford: Blackwell
Scientific Publications; 2011.
37. Fandi Wahyu Widyanto. 2014. Artritis Gout dan Perkembangannya. Volume X
NO II: Artritis Gout dan Perkembangannya. Blitar. Hal 145-150
55