Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

AKUT KIDNEY INJURY

Pembimbing :
dr. Dewi Kartikasari, SpPD

Disusun oleh :
Siti Nurdianti
1102014253

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RUMAH SAKIT DR. DRAJAT PRAWIRANEGARA SERANG

PERIODE MARET 2019 – MEI 2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya penyusunan presentasi
kasus dengan judul “Acute Kidney Injury” dapat saya selesaikan penyusunannya
dalam rangka memenuhi salah satu tugas sebagai ko-asisten yang sedang menjalani
kepaniteraan klinik ilmu penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Dr. Drajat
Prawiranegara Serang.
Dalam menyelesaikan presentasi kasus ini, saya mengucapkan terima kasih
kepada dr. Dewi Kartikasari, SpPD selaku pembimbing dalam penyusunan
presentasi kasus dan sebagai salah satu pembimbing selama menjalani kepaniteraan
ini.
Apabila terdapat kekurangan dalam menyusun presentasi ini, saya akan
menerima kririk dan saran. Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi kita
semua.

Serang, Maret 2019

Siti Nurdianti
Penyusun

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Umur : 48 tahun 7 bulan
Jenis kelamin : Laki - laki
TTL : Serang, 15 Juli 1970
Agama : Islam
Alamat : Bulakan, Cikedungg RT 002 RW 001
Pendidikan : Tamat SD
Masuk RS : 06 Maret 2019

II. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1 tahun terakhir dan bertambah
parah sejak 1 minggu Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Sesak di kedua
paru dan tidak dipengaruhi oleh aktvitas. Sesak bertambah parah apabila pasien
tidur dengan posisi berbaring 180 derajat dan berkurang apabila posisi pasien
duduk 90 derajat. Keluhan disertai dengan batuk berdahak warna putih, tidak
disertai dengan darah. Batuk dirasakan apabila pasien merasa sesak. Pasien
mengatakan tidak pernah mempunyai riwayat penyakit paru ataupun meminum
obat selama 6 bulan. Riwayat penyakit asma disangkal. Pasien merupakan
perokok dan sudah berhenti merokok sejak 2 tahun terakhir.
Pasien juga mengeluh bengkak di bagian perut, ekstremitas bawah dan
scrotum. Bengkak berawal dari perut yang dirasakan sejak 6 bulan SMRS
disertai dengan nyeri di bagian pinggang , lalu bertambah ke ekstremitas
inferior sejak 3 bulan SMRS. 1 bulan SMRS pasien mengatakan kedua
scrotumnya mulai bengkak. Di rumah sakit, kedua lengan mulai membengkak,
dan scrotum semakin membesar. Pasien tidak mempunyai penyakit hepatitis.

3
Riwayat minum minuman beralkohol disangkal, minum jamu atau obat-obatan
tertentu disangkal.
Pasien mengatakan BAB masih bisa , tidak terdapat darah, lendir ataupun
cair. BAK dirakan pasien mulai berkurang sejak 3 bulan terakhir disertai
dengan sulit dan nyeri ketika BAK. Urin tidak terdapat darah, berwarna seperti
teh. Keluhan mual ataupun muntah disangkal. Pasien sulit tidak mau makan,
minum hanya sedikit.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien mengatakan 12 sampai 18 bulan yang lalu pernah di rawat dengan
keluhan yang sama. Akan tetapi bengkak hanya di rasakan diperut dan
membaik. Pasien juga mempunyai riwayat hipertensi tetapi tidak rutin
meminum obat dan tidak kontrol ke poli jantung. Pasien juga mengatakan
mempunyai riwayat penyakit jantung. Riwayat diabetes disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga:


(-)

III. Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : Tampak lemah.
 Kesadaran : Composmentis
 Tanda Vital : Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 75x/menit
Pernafasan : 38x /menit
Suhu : 36,3° C
SpO2 : 95% dengan O2
Status Generalis
a) Kepala : Normocephale
b) Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
c) Hidung : Nafas cuping hidung (+/+), sekret (-/-), darah (-/-)
d) Mulut : Bibir kering (-), perioral sianosis (-), gusi berdarah (-/-)

4
e) Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP tidak meningkat
f) Thorax : Simetris, retraksi (-)
g) Cor : Bunyi jantung I & II reguler, Gallop (+), Murmur (-)
h) Pulmo : Sonor, suara nafas vesikuker, rhonki (+/+), wheezing (-/-)
i) Abdomen : Membesar, BU (-), distensi, asites (+), lien dan hepar tidak
dapat diperiksa.
j) Genitalia : Terdapat bengkak pada daerah scrotum
k) Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Akral sianosis -/- -/-
Edema +/+ +/+
Capillary Refill < 2 detik < 2 detik

IV. Pemeriksaan Anjuran


Pemeriksaan laboratorium tanggal 6 Maret 2019
Hemoglobin : 13,2 g/dl
Leukosit : 8.000 /ul
Hematokrit : 39,1 %
Trombosit : 327.000 /ul
TP : 8,9 g/dl
ALBG : 4,1 g/dl
Globulin : 4,8 g/dl
Ureum : 92 mg/dl
Creatinin : 1,8 mg/dl
Glucosa : 108 mg/dl
ALT : 25 U/L
AST : 39 U/L

5
Pemeriksaan laboratorium tanggal 7 Maret 2019
Hemoglobin : 12,2 g/dl
Leukosit : 7.420 /ul
Hematokrit : 35,2 %
Trombosit : 259.000 /ul
Natrium : 133,40 mmol/L
Kalium : 4,95 mmol/L
Klorida : 100,60 mmol/L
ALT : 27 U/L
AST : 42 U/L
Ureum : 98 mg/dl
Creatinin : 1,8 mg/dl
UA : 11,4 mg/dl
Gula darah puasa : 75 mg/dl
Cholesterol : 79 mg/dl
TGA : 81 mg/dl
LDL indirect : 50 mg/dl
UHDL : 12 mg/dl

Pemeriksaan laboratorium tanggal 8 Maret 2019


HbsAg : (-) negatif
ASTO : (-) negatif

6
Pemeriksaan Foto Thorax

V. Diagnosis
Cardiac Heart Failure
Edema anasarka ec Acute Kidney Injury ec CHF
Chronic liver disease

VI. Penatalaksanaan
 O2 Nasal canul 2-4 lpm
 IVFD NaCl 500 cc 0,9 %
 Lasix 10 Ampul /24 jam
 PMP 2 x 250 mg
 Digoxin 1 x 0,25 mg
 Dopamin 2 mg/kg/menit

7
 Dorner2 x ½ Tablet
 MST 1 x 1

VII. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam

8
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu)
laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal
(AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di
atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang
seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan
berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan
antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-
analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan
spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat
menggambarkan prognosis pasien.
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang
beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney
diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan
penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan
patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut
beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata
mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi
penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang
seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4) penetapan gangguan ginjal
berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda
biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di
mana saja. ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang

9
terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan
LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan
2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat
pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007


Kategori Peningkatan kadar Cr Penurunan LFG Kriteria UO
serum
Risk ≥ 1,5 kali nilai dasar ≥ 2,5% nilai dasar < 0,5 mL/kg/jam,
≥ 6 jam
Injury ≥ 2,0 kali nilai dasar ≥ 50% nilai dasar < 0,5 mL/kg/jam,
≥ 12 jam

Failure ≥ 3,0 kali nilai dasar atau ≥ 75% nilai dasar < 0,5 mL/kg/jam,
≥ 4 mg/dl dengan ≥ 24 jam atau
kenaikan akut ≥ 0,5 mg/dl anuria ≥ 12 jam

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu


End stage Penurunan Fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan


kegunaaan dalam aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan
perjalanan penyakit dan prediksi mortalitas.

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi
nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE.
AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan
merekomendasikan (1) kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai
ambang definisi AKI karena dengan kenaikan tersebut telah didapatkan
peningkatan angka kematian 4 kali lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-5,5); (2) penetapan
batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut, disepakati selama

10
maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam kriteria RIFLE) untuk
melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan kadar Cr serum; (3) semua
pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan dalam AKI
tahap 3; (4) pertimbangan terhadap penggunaan LFG sebagai patokan klasifikasi
karena penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam keadaan kritis.
Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara
berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori LE pada
kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan
dalam tahapan. Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2. Sebuah
penelitian yang bertujuan membandingkan kemanfaatan modifikasi yang dilakukan
oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE gagal menunjukkan peningkatan sensitivitas,
dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN dibandingkan dengan kriteria RIFLE.

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN, 2005.


Tahap Peningkatan Kadar Cr Serum Kriteria UO
1 ≥ 1,5 kali nilai dasar atau peningkatan ≥0,3 <0,5 mL/kg/jam, ≥6
mg/dL jam
2 ≥2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥12
jam
3 ≥3,0 kali nilai dasar atau ≥4 mg/dL dengan <0,3 mL/kg/jam, ≥24
kenaikan akut ≥0,5 mg/dL atau inisiasi terapi jam atau anuria ≥12
pengganti ginjal jam

1.2 Klasifikasi Etiologi


Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis
AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,55%); (2) penyakit yang secara
langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,40%);
(3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,5%).
Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah
satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada tabel 3.

11
Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI
AKI Prarenal
I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, kerusakan jaringan (pankreatitis),
hipoalbuminemia, obstruksi usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan keluar tubuh melalui saluran cerna (muntah, diare,
drainase), melalui saluran kemih (diuretic, hipoadrenal, diuresis
osmotic), melalui kulit (luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katub jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh:
barbituriat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal local
Stenosis a. renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK
(penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin
(penggunaan OAINS, COX-2 inhibitor), vasokonstriksi arteriol aferen

12
(sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus,
radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol aferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Myeloma multiple, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal/Intrinsik
I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a. renalis (plak arterosklerosis, thrombosis, emboli, diseksi
aneurisma, vasculitis), obstruksi v. renalis (thrombosis, kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonephritis, vasculitis
III. Nekrosis tubular akut (acute tubular necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prerenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut
organic, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam urat,
oksalat, myeloma)
IV. Nefritis interstitial
- Alergi (antibiotic, OAINS, diuretik, Kaptopril), infeksi (bakteri, viral,
jamur), infiltrasi (limfoma, leukemia, sarcoidosis), idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein myeloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfomida
VI. Rejeksi aloraf ginjal
AKI Pascarenal
I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papilla ginjal, keganasan, kompresi eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenic, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah

13
III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis

Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan
tahun 2005-2006, didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah
sepsis (42%), disusul dengan gagal jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik
(PGK) (8%), luka bakar dan gastroenteritis akut (masing-masing 3%).

1.3. Pendekatan Diagnosis


Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang
telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut
memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa
patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat
etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia,
neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran
ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya
berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar
seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan
diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan
komplikasi.

1.4. Gambaran Klinis AKI

Gejala klinis yang terjadi pada penderita AKI, yaitu :


a. Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah,
diare, pucat (anemia), dan hipertensi.
b. Nokturia (buang air kecil di malam hari).
c. Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang
menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).
d. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
e. Tremor tangan.

14
f. Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
g. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat
dijumpai adanya pneumonia uremik.
h. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
i. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah,
berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
j. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju
endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi
renal, serta asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan
glomerulus.
k. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih
menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif,
edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-
kejang dan kesadaran menurun sampai koma.

1.5. Pemeriksaan Klinis


Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO
dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan
OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda
hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP),
penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi
portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi
tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI.
Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat
nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat).
Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang
menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi
maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau
suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih.
Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi
ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan

15
pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi
akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan
pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom.

1.6. Pemeriksaan Penunjang


Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal,
sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan.
AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria
dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI
renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab
AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang mengandung
epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan
glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy
brown” granular cast pada nefritis interstitial. Hasil pemeriksaan biokimiawi darah
(kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin)
secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat
pada tabel 4).

Tabel 4. Kelainan Analisis Urin


Indeks diagnosis AKI prarenal AKI renal
Urinalisis Silinder hialin Abnormal
Gravitasi spesifik > 1,020 1,010
Osmolaritas urin (mmol/kgH20) > 500 300
Kadar natrium urin (mmol/L) < 10 > 20
Fraksi ekskresi natrium (%) <1 >1
Fraksi ekskresi urea (%) < 35 > 35
Rasio Cr urin/ Cr plasma > 40 < 20
Rasio urea urin/urea plasma >8 <3

16
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh
darah ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus
hingga mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin)
terakumulasi di dalam darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan
fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin
x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang dari
35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang
menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na
oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama juga berlaku
untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik
dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa keadaan spesifik
seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi
berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus ginjal yang masih
baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%.
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal
adalah pemeriksaan urin residu pasca berkemih. Jika volume urin residu kurang dari
50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya
dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal.
Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan
angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan biopsi ginjal
diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas, namun
penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut
terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non- ATN yang memiliki tata laksana
spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain.

1.7. Tata Laksana


Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi
(kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal
penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini
meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis,

17
penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan menghindari
penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus
dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal
perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti,
sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit
harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan
pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum.
Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya
dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (tabel 5).

Tabel 5 Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI


Variabel Katabolisme
Ringan Sedang Berat
Contoh keadaan Toksik karena Pembedahan +/- Sepsis ARDS,
klinis obat infeksi MODS
Dialisis Jarang Sesuai kebutuhan Sering
Rute pemberian Oral Enteral +/- Enteral +/-
nutrisi parenteral parenteral
Rekomendasi 25 kkal/kg 25- 30 kkal/kg 25- 35 kkal/kg
energi BB/hari BB/hari BB/hari
Sumber energi Glukosa 3-5 Glukosa 3-5 g/kg Glukosa 3-5 g/kg
g/kg BB/hari BB/hari BB/hari
Lemak 0,5-1 Lemak 0,8-1,2
kgBB/hari kgBB/hari
Kebutuhan 0,6-0,8 0,8-1,2 g/kgBB/hari 1,0-1,5 g/kgBB/hari
protein g/kgBB/hari
Pemberian Makanan Formula enteral Formula enteral
nutrisi Glukosa 50-70% Glukosa 50-70%

18
Lemak 10-20% Lemak 10-20%
AA 6,5-10% AA 6,5-10%
Mikronutrien Mikronutrien

Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin


Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah
digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat
kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin.
Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel,
menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai
penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan
dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha
mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya
mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan
dialisis. Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan
kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan
dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan
penggunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97;
CI: 1,00-15,78). Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik
dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa
hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata
laksana AKI adalah:
1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau
dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam
15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada
AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap
awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat
tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali

19
dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1
gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan
koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut
tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain.
Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan
toksisitas.
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan
ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan
menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian
manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun
dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki
prognosis pasien.
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan
dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di
ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah
ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh
terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis
yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat
tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien
serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus,
aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia
nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam
penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons

20
selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan
untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk
memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-obatan lain seperti agonis
selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis
multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis
adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI.

1.7.1. Tata Laksana Komplikasi


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara
konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan
komplikasi juga dapat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan
pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l), asidosis berat
(pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema paru, ensefalopati uremikum,
perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia berat
(Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang dapat
didialisis. Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk menghentikan
terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi yang menjadi
indikasi sudah teratasi.

21
Tabel 6 Tata Laksana Konservatif Komplikasi AKI
Komplikasi Tatalaksana
Kelebihan cairan  Batasi garam (1-2 g/hari)dan air (<1 L/hari)
intravaskular  Penggunaan diuretik
Hiponatremia  Batasi cairan (<1 L/hari)
 Hindari pemberian infus hipotonik
Hiperkalemia  Batasi asupan K (<40 mmol/hari)
 Hindari suplemen K dan diuretik hemat K
 Beri resin potassium-binding ion exchange
 Beri dekstrosa 50% 50cc + insulin 10 unit
 Beri Natrium bicarbonat 50-100 mmol
 Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1 mg
iv
 Kalsium glukonat 10 % (10 cc dalam 2-5 menit
Asidosis metabolik  Batasi asupan protein (0,8-1 g/kgBB/hari)
 Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum
bikarbonat plasma >15 mmol/L dan pH arteri
>7,2)
iperfosfatemia  Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
 Beri pengikat fosfat
Hipokalsemia  Beri kalsium carbonat atau calsium glukonat 10%
(10-20 cc)
Hiperurisemia  Terapi jika kadar asam urat >15 mg/dL

22
23
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagshaw SM, George C, Bellomo R. A comparison of the RIFLE and AKIN


criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant.
2008;23:1569-74.
2. Basuki B Purnomo, Dasar-dasar Urologi, ( Jakarta:2003)
3. Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s principle
of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
4. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi V. Hal: 1025
5. Roesli R. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk menegakkan
diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi.
2007;7(1):18-24.
6. Roesli RMA, Martakusumah AH, Suryanto. Terapi dialisis pada penderita sakit
kritis dengan gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):12-17.
7. Roesli RMA. Pengelolaan konservatif (suportif). Dalam Roesli RMA,
Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan
ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin; 2008.p.79-96.
8. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions,
diagnosis, pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest. 2004;114:5-14.
9. Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH,
editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.
10. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time
for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87.
11. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al.
Acute kidney injury network: report of an initiative to improve outcomes in
acute kidney injury. Critical Care. 2007,11:R31.
12. Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiology and outcomes of
acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:844-861.

24
13. Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure. Indian J Urol.
2000;16:175.

25

Anda mungkin juga menyukai