Pembimbing :
dr. Dewi Kartikasari, SpPD
Disusun oleh :
Siti Nurdianti
1102014253
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya penyusunan presentasi
kasus dengan judul “Acute Kidney Injury” dapat saya selesaikan penyusunannya
dalam rangka memenuhi salah satu tugas sebagai ko-asisten yang sedang menjalani
kepaniteraan klinik ilmu penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Dr. Drajat
Prawiranegara Serang.
Dalam menyelesaikan presentasi kasus ini, saya mengucapkan terima kasih
kepada dr. Dewi Kartikasari, SpPD selaku pembimbing dalam penyusunan
presentasi kasus dan sebagai salah satu pembimbing selama menjalani kepaniteraan
ini.
Apabila terdapat kekurangan dalam menyusun presentasi ini, saya akan
menerima kririk dan saran. Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi kita
semua.
Siti Nurdianti
Penyusun
2
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Umur : 48 tahun 7 bulan
Jenis kelamin : Laki - laki
TTL : Serang, 15 Juli 1970
Agama : Islam
Alamat : Bulakan, Cikedungg RT 002 RW 001
Pendidikan : Tamat SD
Masuk RS : 06 Maret 2019
II. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1 tahun terakhir dan bertambah
parah sejak 1 minggu Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Sesak di kedua
paru dan tidak dipengaruhi oleh aktvitas. Sesak bertambah parah apabila pasien
tidur dengan posisi berbaring 180 derajat dan berkurang apabila posisi pasien
duduk 90 derajat. Keluhan disertai dengan batuk berdahak warna putih, tidak
disertai dengan darah. Batuk dirasakan apabila pasien merasa sesak. Pasien
mengatakan tidak pernah mempunyai riwayat penyakit paru ataupun meminum
obat selama 6 bulan. Riwayat penyakit asma disangkal. Pasien merupakan
perokok dan sudah berhenti merokok sejak 2 tahun terakhir.
Pasien juga mengeluh bengkak di bagian perut, ekstremitas bawah dan
scrotum. Bengkak berawal dari perut yang dirasakan sejak 6 bulan SMRS
disertai dengan nyeri di bagian pinggang , lalu bertambah ke ekstremitas
inferior sejak 3 bulan SMRS. 1 bulan SMRS pasien mengatakan kedua
scrotumnya mulai bengkak. Di rumah sakit, kedua lengan mulai membengkak,
dan scrotum semakin membesar. Pasien tidak mempunyai penyakit hepatitis.
3
Riwayat minum minuman beralkohol disangkal, minum jamu atau obat-obatan
tertentu disangkal.
Pasien mengatakan BAB masih bisa , tidak terdapat darah, lendir ataupun
cair. BAK dirakan pasien mulai berkurang sejak 3 bulan terakhir disertai
dengan sulit dan nyeri ketika BAK. Urin tidak terdapat darah, berwarna seperti
teh. Keluhan mual ataupun muntah disangkal. Pasien sulit tidak mau makan,
minum hanya sedikit.
4
e) Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP tidak meningkat
f) Thorax : Simetris, retraksi (-)
g) Cor : Bunyi jantung I & II reguler, Gallop (+), Murmur (-)
h) Pulmo : Sonor, suara nafas vesikuker, rhonki (+/+), wheezing (-/-)
i) Abdomen : Membesar, BU (-), distensi, asites (+), lien dan hepar tidak
dapat diperiksa.
j) Genitalia : Terdapat bengkak pada daerah scrotum
k) Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Akral sianosis -/- -/-
Edema +/+ +/+
Capillary Refill < 2 detik < 2 detik
5
Pemeriksaan laboratorium tanggal 7 Maret 2019
Hemoglobin : 12,2 g/dl
Leukosit : 7.420 /ul
Hematokrit : 35,2 %
Trombosit : 259.000 /ul
Natrium : 133,40 mmol/L
Kalium : 4,95 mmol/L
Klorida : 100,60 mmol/L
ALT : 27 U/L
AST : 42 U/L
Ureum : 98 mg/dl
Creatinin : 1,8 mg/dl
UA : 11,4 mg/dl
Gula darah puasa : 75 mg/dl
Cholesterol : 79 mg/dl
TGA : 81 mg/dl
LDL indirect : 50 mg/dl
UHDL : 12 mg/dl
6
Pemeriksaan Foto Thorax
V. Diagnosis
Cardiac Heart Failure
Edema anasarka ec Acute Kidney Injury ec CHF
Chronic liver disease
VI. Penatalaksanaan
O2 Nasal canul 2-4 lpm
IVFD NaCl 500 cc 0,9 %
Lasix 10 Ampul /24 jam
PMP 2 x 250 mg
Digoxin 1 x 0,25 mg
Dopamin 2 mg/kg/menit
7
Dorner2 x ½ Tablet
MST 1 x 1
VII. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
8
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu)
laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal
(AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di
atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang
seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan
berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan
antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-
analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan
spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat
menggambarkan prognosis pasien.
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang
beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney
diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan
penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan
patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut
beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata
mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi
penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang
seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4) penetapan gangguan ginjal
berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda
biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di
mana saja. ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang
9
terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan
LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan
2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat
pada tabel 1.
Failure ≥ 3,0 kali nilai dasar atau ≥ 75% nilai dasar < 0,5 mL/kg/jam,
≥ 4 mg/dl dengan ≥ 24 jam atau
kenaikan akut ≥ 0,5 mg/dl anuria ≥ 12 jam
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi
nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE.
AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan
merekomendasikan (1) kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai
ambang definisi AKI karena dengan kenaikan tersebut telah didapatkan
peningkatan angka kematian 4 kali lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-5,5); (2) penetapan
batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut, disepakati selama
10
maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam kriteria RIFLE) untuk
melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan kadar Cr serum; (3) semua
pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan dalam AKI
tahap 3; (4) pertimbangan terhadap penggunaan LFG sebagai patokan klasifikasi
karena penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam keadaan kritis.
Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara
berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori LE pada
kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan
dalam tahapan. Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2. Sebuah
penelitian yang bertujuan membandingkan kemanfaatan modifikasi yang dilakukan
oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE gagal menunjukkan peningkatan sensitivitas,
dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN dibandingkan dengan kriteria RIFLE.
11
Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI
AKI Prarenal
I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, kerusakan jaringan (pankreatitis),
hipoalbuminemia, obstruksi usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan keluar tubuh melalui saluran cerna (muntah, diare,
drainase), melalui saluran kemih (diuretic, hipoadrenal, diuresis
osmotic), melalui kulit (luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katub jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh:
barbituriat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal local
Stenosis a. renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK
(penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin
(penggunaan OAINS, COX-2 inhibitor), vasokonstriksi arteriol aferen
12
(sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus,
radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol aferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Myeloma multiple, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal/Intrinsik
I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a. renalis (plak arterosklerosis, thrombosis, emboli, diseksi
aneurisma, vasculitis), obstruksi v. renalis (thrombosis, kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonephritis, vasculitis
III. Nekrosis tubular akut (acute tubular necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prerenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut
organic, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam urat,
oksalat, myeloma)
IV. Nefritis interstitial
- Alergi (antibiotic, OAINS, diuretik, Kaptopril), infeksi (bakteri, viral,
jamur), infiltrasi (limfoma, leukemia, sarcoidosis), idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein myeloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfomida
VI. Rejeksi aloraf ginjal
AKI Pascarenal
I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papilla ginjal, keganasan, kompresi eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenic, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah
13
III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis
Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan
tahun 2005-2006, didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah
sepsis (42%), disusul dengan gagal jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik
(PGK) (8%), luka bakar dan gastroenteritis akut (masing-masing 3%).
14
f. Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
g. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat
dijumpai adanya pneumonia uremik.
h. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
i. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah,
berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
j. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju
endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi
renal, serta asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan
glomerulus.
k. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih
menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif,
edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-
kejang dan kesadaran menurun sampai koma.
15
pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi
akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan
pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom.
16
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh
darah ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus
hingga mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin)
terakumulasi di dalam darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan
fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin
x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang dari
35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang
menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na
oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama juga berlaku
untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik
dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa keadaan spesifik
seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi
berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus ginjal yang masih
baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%.
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal
adalah pemeriksaan urin residu pasca berkemih. Jika volume urin residu kurang dari
50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya
dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal.
Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan
angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan biopsi ginjal
diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas, namun
penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut
terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non- ATN yang memiliki tata laksana
spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain.
17
penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan menghindari
penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus
dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal
perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti,
sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit
harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan
pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum.
Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya
dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (tabel 5).
18
Lemak 10-20% Lemak 10-20%
AA 6,5-10% AA 6,5-10%
Mikronutrien Mikronutrien
19
dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1
gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan
koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut
tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain.
Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan
toksisitas.
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan
ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan
menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian
manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun
dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki
prognosis pasien.
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan
dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di
ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah
ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh
terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis
yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat
tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien
serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus,
aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia
nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam
penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons
20
selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan
untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk
memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-obatan lain seperti agonis
selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis
multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis
adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI.
21
Tabel 6 Tata Laksana Konservatif Komplikasi AKI
Komplikasi Tatalaksana
Kelebihan cairan Batasi garam (1-2 g/hari)dan air (<1 L/hari)
intravaskular Penggunaan diuretik
Hiponatremia Batasi cairan (<1 L/hari)
Hindari pemberian infus hipotonik
Hiperkalemia Batasi asupan K (<40 mmol/hari)
Hindari suplemen K dan diuretik hemat K
Beri resin potassium-binding ion exchange
Beri dekstrosa 50% 50cc + insulin 10 unit
Beri Natrium bicarbonat 50-100 mmol
Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1 mg
iv
Kalsium glukonat 10 % (10 cc dalam 2-5 menit
Asidosis metabolik Batasi asupan protein (0,8-1 g/kgBB/hari)
Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum
bikarbonat plasma >15 mmol/L dan pH arteri
>7,2)
iperfosfatemia Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
Beri pengikat fosfat
Hipokalsemia Beri kalsium carbonat atau calsium glukonat 10%
(10-20 cc)
Hiperurisemia Terapi jika kadar asam urat >15 mg/dL
22
23
DAFTAR PUSTAKA
24
13. Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure. Indian J Urol.
2000;16:175.
25