Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun Oleh:
Dian Kurnia Dwi Saputri
1810029037
Pembimbing:
dr. Anrih Roi Manthurio, Sp. A
i
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Oleh:
Dian Kurnia Dwi Saputri NIM. 1810029037
Pembimbing:
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul gastroenteritis akut
(GEA). Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda.
Penulisan referat ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp.A selaku kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. William S. Tjeng, Sp.A selaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Anrih Roi Manthurio, Sp. A, sebagai pembimbing dalam penyusunan
tugas tutorial ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan
untuk memberikan bimbingan.
6. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan referat ini, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.
Samarinda, Agustus 2018
Penulis
DAFTAR ISI
iii
Halaman Sampul.......................................................................................................i
Lembar Pengesahan.................................................................................................ii
Kata Pengantar........................................................................................................iii
Daftar Isi...................................................................................................................v
BAB I Pendahuluan..................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan.....................................................................................2
BAB II Tinjauan Putaka...........................................................................................3
2.1. Definisi....................................................................................................3
2.2. Epidemiologi...........................................................................................3
2.3. Etiologi....................................................................................................4
2.4. Patofisiologi.............................................................................................6
2.5. Manifestasi Klinis..................................................................................10
2.6. Diagnosis...............................................................................................12
2.7. Diagnosis Banding.................................................................................15
2.8. Penatalaksanaan.....................................................................................16
2.9. Komplikasi.............................................................................................19
2.10. Prognosis...............................................................................................21
BAB III Penutup....................................................................................................22
3.1. Kesimpulan............................................................................................22
3.2. Saran......................................................................................................23
Daftar Pustaka........................................................................................................24
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
menyerang 50 juta penduduk Indonesia dan dua pertiganya adalah bayi dengan
korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Puspitaningrum C, Rahayu YSE, &
Rusana, 2006).
Banyak hasil diperoleh di bidang penanggulangan diare, namun hingga kini
diare masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada bayi dan balita di
negara sedang berkembang. Episode diare setiap tahun di Indonesia masih
berkisar sekitar 60 juta dengan kematiannya sebanyak 200.000-250.000. Menurut
survei kesehatan rumah tangga tahun 1986 angka kematian karena diare
merupakan 12% diantara seluruh angka kematian kasar yang besarnya 7/1000
penduduk. Angka ini merupakan angka tertinggi diantara semua penyebab
kematian. Sekitar 15% penyebab kematian bayi dan 26% penyebab kematian anak
balita disebabkan oleh diare. Gastroenteritis dengan dehidrasi merupakan
penyebab utama morbiditas pada anak-anak, dengan angka kejadian sebesar 1,5
miliar per tahun dan diperkirakan setiap tahunnya angka kematian sebesar 1,5
sampai 2,5 juta diantara anak-anak berusia dibawah 2 tahun ( King, Glass, &
Bresee, 2004). Dari data-data diatas menunjukkan bahwa diare pada anak masih
merupakan masalah yang memerlukan penanganan yang komprehensif dan
rasional.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.Definisi
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Diare merupakan buang air besar encer lebih
dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan
darah (IDAI, 2011).
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir
dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI
sering frekuensi buang air besarnya lebih dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini tidak
dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal. Selama berat
badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi merupakan
intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran
cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis
adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair
yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada
seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair,
keadaan ini sudah dapat disebut diare (IDAI, 2008)
Diare akut menurut Cohen adalah keluarnya buang air besar sekali atau lebih
yang berbentuk cair dalam satu hari dan berlangsung kurang 14 hari. Sedangkan
American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan diare dengan
karakteristik peningkatan frekuensi dan/atau perubahan konsistensi, dapat disertai
atau tanpa gejala dan tanda seperti mual, muntah, demam atau sakit perut yang
berlangsung selama 3 – 7 hari. .
3.2. Epidemiologi
Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang
termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan
kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak
3
6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian besar kejadian
tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai gambaran 17% kematian anak di
dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia, hasil Riskesdas 2007
diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak
yaitu 42% dibanding pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun penyebab
kematian karena diare 25,2% dibanding pneumonia 15,5% (IDAI, 2011).
Gastroenteritis dengan dehidrasi merupakan penyebab utama morbiditas
pada anak-anak. Di Amerika Serikat setiap tahun diperkirakan >20 juta kejadian
diare pada anak-anak <5 tahun, dengan angka rawat jalan 1,5 juta, angka rawat
inap 220 000 dan jumlah kematian sebanyak 300 sampai 400. Jumlah keseluruhan
lama masa rawat di sebesar 2 miliar dollar Amerika Serikat.
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia,
baik ditinjau dari angka kesakitan dan angka kematian serta kejadian luar biasa
(KLB) di 11 provinsi yaitu dengan jumlah penderita sebanyak 4.204 orang,
jumlah kematian sebanyak 73 orang dengan Case Fatality Rate (CFR) sebanyak
1,74% (Depkes, 2013).
3.3. Etiologi
Diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorbsi (gangguan penyerapan zat
gizi), makanan, dan faktor psikologis
a. Faktor infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada
anak. Jenis – jenis infeksi yang menyerang antara lain:
1. Infeksi oleh bakteri, berupa :
a. Bacillus cereus
b. Shigella
c. Aeromonas
d. Salmonella
e. Campylobacter jejuni
f. Staphylococcus aureus
g. Clostridium perfringens
h. Vibrio cholera
4
i. Clostridium defficile
j. Vibrio parahaemolyticus
k. Escherichia coli
l. Yersinia enterocolitica
m. Plesiomonas shigeloides
2. Infeksi basil (disentri),
3. Infeksi virus, berupa :
a. Rotavirus
b. Astrovirus
c. Calcivirus (Norovirus, Sapovirus)
d. Norwalk virus
e. Enteric adenovirus
f. Herpes simplex virus (umumnya pada penderita immunocompromised)
g. Coronavirus
h. Cytomegalovirus
4. Infeksi parasit, berupa :
a. Balantidium coli
b. Giardia lamblia
c. Blastocystis homonis
d. Isospora belli
e. Cryptosporidium parvum
f. Strongyloides stercoralis
g. Entamoeba histolytica
h. Trichuris trichiura
5. Infeksi amoeba (amebiasis)
6. Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang
tenggorokan, dan
7. Keracunan makanan
5
b. Faktor malabsorpsi
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan
lemak.Pada bayi malabsorbsi karbohidrat dapat terjadi karena kepekaan terhadap
lactoglobulis dalam susu formula dapat menyebabkan diare. Sedangkan
malabsorbsi lemak terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang disebut
trigliserida. Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat
muncul karena lemak tidak terserap dengan baik.
c. Faktor makanan
Makanan yang menyebabkan diare adalah makanan yang tercemar, basi,
beracun, terlalu banyak lemak, mentah, dan kurang matang. Makanan yang
terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak.
d. Faktor psikologis
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan
diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita umumnya terjadi pada anak
yang lebih besar.
3.4. Patogenesis
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi/patomekanisme
sebagai berikut:
1). Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotic;
2). Sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik;
3). Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak;
4). Defek system pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit;
5). Motilitas dan waktu transit usus abnormal;
6). Gangguan permeabilitas usus;
7). Inflamasi dinding usus, disebut diare imflamatorik;
8). Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi.
Diare osmotik: diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan osmotic
intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh obat-obat/zat kimia yang
hiperosmotik (a.l. MgSO4, Mg(OH)2, malabsorbsi umum dan efek dalam absorbsi
mukosa usus missal pada defisiensi disakaridase, malabsorbsi glukosa/galaktosa.
6
Diare sekretorik: diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan
elektrolit dari usus, menurunnya basorbsi. Yang khas pada diare ini yaitu secara
klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe ini
akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum. Penyebab dari
diare tipe ini antara lain karena efek enterotoksin pada infeksi Vibrio cholera, atau
Escherichia coli, penyakit yang menghasilkan hormone (VIPoma), reseksi ileum
(gangguan absorbs garam empedu), dan efek obat laksatif (dioctyl sodium
sulfosuksinat dll).
Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak: diare tipe ini didapatkan pada
gangguan pembentukan/produksi micelle empedu dan penyakit-penyakit saluran
bilier dan hati.
Defek system pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit: diare
tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na+K+ATP ase di
enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal.
Motilitas dan waktu transit usus abnormal: diare tipe ini disebabkan
hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga menyebabkan absorbsi
yang abnormal di usus halus. Penyebab gangguan motilitas antara lain: diabetes
mellitus, pasca vagotomi, hipertiroid.
Gangguan permeabilitas usus: diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus
yang abnormal disebabkan adanya kelainan morfologi membrane epitel spesifik
pada usus halus.
Inflamasi dinding usus (diare inflamatorik): diare tipe ini disebabkan adanya
kerusakan usus karena proses inflamasi, sehingga terjadi produksi mucus yang
berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit kedalam lumen, gangguan absorpsi air-
elektrolit. Inflamasi mukosa usus halus dapat disebabkan infeksi (disentri
Shigella) atau non infeksi (colitis ulseratif dan penyakit crohn).
Diare infeksi: infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare.
Dari sudut kelaianan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif (tidak
merusak mukosa) dan invasive (merusak mukosa). Bakteri noninvasive
menyebabkan diare karena toksin yang disekresi oleh bakteri tersebut, yang
disebut diare toksigenik. Contoh diare toksigenik a.l. kolera. Enterotoksin yang
dihasilkan kuman Vibrio cholare/eltor merupakan protein yang dapat menempel
7
pada epitel usus, lalu membentuk adenosisn monofosfat siklik (AMF siklik) di
dinding usus dan menyebabkan sekresi aktif anion klorida yang diikuti air, ion
bikarbonat dan kation natrium dan kalium. Mekanisme absorpsi ion natrium
melalui mekanisme pompa natrium tidak terganggu karena itu keluarnya ino
klorida (diikuti ion bikarbonat, air, natrium, ion kalium) dapat dikompensasi eleh
mneingginya absorsi ion natrium (diiringi oleh air, ion kalium dan ion bikarbonat,
klorida). Kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian larutan glukosa yang
diabsorpsi secara aktif oleh dinding sel usus.
Yang berperan pada pathogenesis diare akut terutama karena infeksi yaitu
factor kausal (agent) dan factor pejamu (host). Factor pejamu adalah kemampuan
tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang dapat menimbulkan
diri terhadap organism yang dapat menimbulkan diare akut, terdiri dari factor-
fkator daya tangkis atau lingkungan internal saluran cerna a.l keasaman lambung,
motilitas usus, imunitas dan juga lingkungan mikroflora usus. Faktro kausal yaitu
8
daya penetrasi yang dapat masuk sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin
yang memperngaruhi sekresi cairan usus halus serta daya lekat kuman.
Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang
menyebabkan diare pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan
sel-sel ujung-ujung villus pada usus halus. Biopsi usus halus menunjukkan
berbagai tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel bundar pada lamina propria.
Perubahan-perubahan patologis yang diamati tidak berkorelasi dengan keparahan
gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum penyembuhan diare. Mukosa
lambung tidak terkena walaupun biasanya digunakan istilah “gastroenteritis”,
walaupun pengosongan lambung tertunda telah didokumentasi selama infeksi
virus Norwalk.
Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang
villus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu.
Sel-sel epitel usus halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk
kuboid yang belum matang sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami
atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik.
Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap/tercerna akan meningkatkan
tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan
beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus,
menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna.
Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang
terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida
dan fungsi penyerapan seperti transport air dan elektrolit melalui pengangkut
bersama (kotransporter) glukosa dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel
yang tidak terdiferensiasi, yang tidak mempunyai enzim hidrofilik tepi bersilia
dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian infeksi
virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan (1) ketidakseimbangan rasio
penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat
kompleks, terutama laktosa.
Pada hospes normal, infeksi ekstra-intestinal sangat jarang, walaupun
penderita terganggu imun dapat mengalami keterlibatan hati dan ginjal. Kenaikan
kerentanan bayi (dibanding dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa) sampai
9
morbiditas berat dan mortalitas gastroenteritis virus dapat berkaitan dengan
sejumlah faktor termasuk penurunan fungsi cadangan usus, tidak ada imunitas
spesifik, dan penurunan mekanisme pertahanan hospes nonspesifik seperti asam
lambung dan mukus. Enteritis virus sangat memperbesar permeabilitas usus
terhadap makromolekul lumen dan telah dirumuskan menaikkan risiko alergi
makanan.
10
organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti: enterik virus,
bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium.
Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita
tidak panas atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery
diare, menunjukkan bahwa saluran cerna bagian atas yang terkena. Oleh karena
pasien immunocompromise memerlukan perhatian khusus, informasi tentang
adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat penting
3.6. Diagnosis
11
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare,
frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah. Bila
disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau
tidak kencing dalam 6 – 8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan
selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk,
pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare:
memberi oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-
obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi
denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari
tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan
tanda-tanda tambahan lainnya : ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata :
cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah
kering atau basah.
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik.
Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan
ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat
dehidrasi yang terjadi. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan
dengan cara: obyektif yaitu dengan merchandising berat badan sebelum dan
selama diare.
Derajat Dehidrasi
Gejala &
Tanpa dehidrasi Ringan- Sedang Berat
Tanda
Keadaan Normal, Rewel, Apatis, Letargi,
Baik, sadar
Umum Lesu tidak sadar
Sedikit cekung,
Mata saat Cekung,
Normal, air mata ada air mata
menangis Air mata tidak ada
berkurang
Rasa haus Minum normal Haus, ingin Tidak mau minum,
12
minum terus tidak bisa minum
Lambat Sangat lambat
Kulit Cepat kembali
<2 detik > 2 detik
BB % <5 5-10 >10
Estimasi
Pemberian 50% 50-100% >100%
cairan
Penggunaan Rencana terapi Rencana terapi tipe
Rencana terapi tipe A
terapi tipe B C
13
Pemeriksaan mikroskopik
Berguna untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan informasi tentang
penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit
dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa
kolon. Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman
invasif atau kuman yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C.
jejuni, EIEC, C. difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan
Aeromonas atau P. shigelloides. Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah
lekosit PMN, kecuali pada S. typhii lekosit mononuklear. Tidak semua penderita
kolitis terdapat lekosit pada tinjanya, pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica
pada umumnya lekosit pada tinja minimal.
Parasit yang menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi lekosit
dalam jumlah banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari
telur atau parasit kecuali terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko
tinggi, kultur tinja negatif untuk enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau
pada pasien immunocompromised. Pasien yang dicurigai menderita diare yang
disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan strongyloidiasis dimana
pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau yeyunum bagian
atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna bagian atas,
prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi duodenum
adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis,
strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopik tinja segar.
Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic
Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare
dan pada penderita immunocompromised. Secara sederhana, beberapa
pemeriksaan yang dapat dilakukan pada kasus diare berupa :
1. Pemeriksaan darah tepi lengkap: hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung
jenis leukosit, kadar elektrolit serum,
2. Ureum dan Creatinin: memeriksa adanya kekurangan volume cairan dan
mineral tubuh.
14
3. Pemeriksaan tinja: melihat adanya leukosit pada tinja yang menunjukkan
adanya infeksi bakteri, adanya telur cacing dan parasit dewasa.
4. Pemeriksaan ELISA (enzim-linked immunosorbent assay): mendeteksi
giardiasis dan tes serologic amebiasis
Pasien dengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis
leukosit normal atau limfositosis. Pasien dengan infeksi bakteri terutama pada
infeksi bakteri yang invasif ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan
darah putih muda. Neutropenia dapat timbul pada salmonellosis. Untuk
mengetahui mikroorganisme penyebab diare akut dilakukan pemeriksaan feses
rutin dan pada keadaan dimana feses rutin tidak menunjukkan adanya
miroorganisme atau ova, maka diperlukan pemeriksaan kultur feses dengan
medium tertentu sesuai dengan mikroorganisme yang dicurigai secara klinis dan
pemeriksaan laboratorium rutin.
15
Kuman patogen yang dapat menyebabkannya : E. coli, Giardia lamblia,
Rotavirus, virus Norwalk, eksotosin preformed dari S. aureus, Bacillus cereus dan
Clostridium perifringens.
3.8. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan cairan yang hilang melalui
tinja dengan atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan
glukosa atau karbohidrat lain. Dasar pengobatan diare adalah pemberian cairan
(rehidrasi), dietetik, dan obat-obatan (Nelson, 2010).
Cara penanganan diare menurut Depkes berupa Lima langkah tuntaskan diare
(LINTAS DIARE):
a. Berikan oralit
b. Berikan tablet Zinc selama 10 hari berturut-turut. Untuk usia <6bulan
diberikan 10 mg per hari dan usai >6 bulan diberikan 20 mg per hari
c. Teruskan ASI – makan
d. Berikan antibiotik secara selektif. Antibiotik diberikan hanya bila terdapat
indikasi, misalnya disentri (BAB berdarah). Pemberian antibiotik yang
tidak rasional akan mengganggu keseimbangan flora usus sehingga dapat
memperpanjang diare dan Clostridium difficile akan tumbuh dan
menyebabkan diare susah disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik
yang irasional juga dapat menyebabkan resistensi kuman terhadap
antibiotik.
e. Berikan nasehat pada ibu dan keluarga (Depkes RI, 2011)
16
d. Beri Oralit sampai diare berhenti. Bila muntah, tunggu 10 menit dan
dilanjutkan sedikit demi sedikit.
- Umur < 1 tahun diberi 50-100 ml setiap kali berak
- Umur > 1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali berak.
e. Anak harus diberi 6 bungkus oralit (200 ml) di rumah bila:
- Telah diobati dengan Rencana Terapi B atau C.
- Tidak dapat kembali kepada petugas kesehatan jika diare memburuk.
f. Ajari ibu cara mencampur dan memberikan oralit.
2. Beri obat zinc
Beri Zinc 10 hari berturut-turut walaupun diare sudah berhenti. Dapat
diberikan dengan cara dikunyah atau dilarutkan dalam 1 sendok air matang atau
ASI :
- Umur < 6 bulan diberi 10 mg (1/2 tablet) per hari
- Umur > 6 bulan diberi 20 mg (1 tablet) per hari.
3. Beri anak makanan untuk mencegah kurang gizi
a. Beri makan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak
sehat
b. Tambahkan 1-2 sendok teh minyak sayur setiap porsi makan
c. Beri makanan kaya Kalium seperti sari buah segar, pisang, air kelapa hijau.
d. Beri makan lebih sering dari biasanya dengan porsi lebih kecil (setiap 3-4
jam)
e. Setelah diare berhenti, beri makanan yang sama dan makanan tambahan
selama 2 minggu
4. Antibiotik hanya diberikan jika sesuai indikasi. Misalnya diare akibat kolera.
5. Nasehati ibu/pengasuh. Untuk membawa anak kembali ke petugas kesehatan
bila :
• Berak cair lebih sering
• Muntah berulang
• Sangat haus
• Makan dan minum sangat sedikit
• Timbul demam
• Berak berdarah
17
• Tidak membaik dalam 3 hari
18
Rencana terapi tipe C
Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi
dan anak dan menunjukkan gangguan tanda-tanda vital tubuh ( somnolen-koma,
pernafasan Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi ) memerlukan pemberian
cairan elektrolit parenteral. Penggantian cairan parenteral menurut panduan WHO
diberikan sebagai berikut:
Usia <12 bln: 30ml/kgbb/1jam pertama, selanjutnya 70ml/kgbb/5jam
Usia >12 bln: 30ml/kgbb/1/2-1jam, selanjutnya 70ml/kgbb/2-2½ jam
Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan
penderita akan kalori, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya
menyangkut waktu yang pendek. Apabila penderita telah kembali diberikan diet
sebagaimana biasanya. Segala kekurangan tubuh akan karbohidrat, lemak dan
protein akan segera dapat dipenuhi. Itulah sebabnya mengapa pada pemberian
terapi cairan diusahakan agar penderita bila memungkinkan cepat mendapatkan
makanan / minuman sebagai biasanya bahkan pada dehidrasi ringan sedang yang
tidak memerlukan terapi cairan parenteral makan dan minum tetap dapat
dilanjutkan. Dapat dimasukkan cairan per oral bila passien sudah mau dan dapat
minum dimulai dengan 5 mL/kgBB selama proses rrehidrasi.
3.9. Komplikasi
Selama rehidrasi oral, dapat terjadi komplikasi berupa gangguan elektrolit,
yang meliputi :
Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan
pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium
secara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat
berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau
nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman.
Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan
0,5% saline – 5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan
berat badan tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila
19
normal lanjutkan dengan rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa
kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5%
dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500
ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet normal
dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10 ml/kgBB/setiap BAB,
sampai diare berhenti (IDAI, 2011).
Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L).
Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi
berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari hampir semua
anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na dilakukan bersamaan
dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer Laktat atau Normal
Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang diperiksa
dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya
diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam
(IDAI, 2011).
Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan
pemberian kalsium glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5 – 10
menit dengan monitor detak jantung.
Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar
K : jika kalium 2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3
dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus)
diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 2
mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam berikutnya adalah
(3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB).
20
Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan
fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan
kalium dapat dikoreksi dengan menggunakan oralit dan memberikan makanan
yang kaya kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.
Kejang
Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi
kejang sebelum atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat
disebabkan oleh karena : hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak
yang gizinya buruk, hiperpireksia, kejang terjadi bila panas tinggi, misalnya
melebihi 400C, hipernatremi atau hiponatremi
3.10. Prognosis
Diare akut dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi yang mengancam nyawa
dan penurunan berat badan. Prognosis akan semakin buruk jika diare akut
melanjut menjadi diare persisten sebab menimbulkan malabsorpsi, malnutrisi
hingga gangguan pertumbuhan.
BAB III
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Diare masih merupakan angka kejadian infeksi yang cukup sering terjadi
pada anak. Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir
21
dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Kondisi yang dapat
mengancam jiwa pada anak dengan diare akut adalah kekurangan cairan/dehidrasi
sehingga perlu dilakukan evaluasi cairan dan tata laksana yang tepat.
Diare akut dengan dehidrasi merupakan penyebab utama morbiditas pada
anak-anak. Di Amerika Serikat setiap tahun diperkirakan >20 juta kejadian diare
pada anak-anak <5 tahun, dengan angka rawat jalan 1,5 juta, angka rawat inap 220
000 dan jumlah kematian sebanyak 300 sampai 400. Jumlah keseluruhan lama
masa rawat di sebesar 2 miliar dollar Amerika Serikat.
Penyebab diare akut sendiri dapat terbagi menjadi faktor infeksi, faktor
malabsorbsi, faktor makanan, dan faktor psikologis. Penegakan diagnosis
didasarkan dengan anamnesa yang mendalam berkaitan dengan konsistensi dan
lamanya diare serta mencari tanda-tanda dehidrasi. Selain itu, dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan feses dan darah lengkap serta
elektrolit jika dibutuhkan. Tatalaksana diare akut sendiri meluputi berikan oralit,
tablet Zinc selama 10 hari, teruskan ASI – makan, berikan antibiotik, dan berikan
nasehat pada ibu dan keluarga
Komplikasi yang mungkin terjadi dapat berupa gangguan elektrolit dan
kejang akibat dehidrasi yang tidak dapat dikoreksi. Diare akut dapat
menyebabkan terjadinya dehidrasi yang mengancam nyawa dan penurunan berat
badan. Prognosis akan semakin buruk jika diare akut melanjut menjadi diare
persisten sebab menimbulkan malabsorpsi, malnutrisi hingga gangguan
pertumbuhan.
5.2. Saran
Pada diare akut meskipun memiliki prognosis yang baik, namun jika tidak
segera ditangani dapat terjadi komplikasi akibat dehidrasi yang tidak segera
terkoreksi. Hal ini dapat berbahaya hingga menimbulkan kematian pada anak
22
DAFTAR PUSTAKA
King CK, Glass R, Bresee JS, et al. (2004). Acute Diarrhea: Oral Rehydration and
Continued Feeds-The Best Therapy; AAP Grand Rounds. Morbidity and
Mortality Weekly Report Recommendations and Reports. Hal 11(2): 13-
24.
23
IDAI. (2011). Buku Ajar Gastroentero Hepatologi. Jakarta : Ikatan Dokter
Indonesia.
Staf Pengajar IKA .(1985). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI. Hal 285-310
Subagyo, B., & Santoso, BN. (2008). Konsensus Gastroentero Hepatologi. Ikatan
Dokter Indonesia.
Suhardi, Albar, H., Rauf, S., & Daud, D. (2015). The Identification of Acute Post
Streptococcus Glomerulonephritis Risk Factors in Children. International
Journal of Science and Research, 71-75.
24