Anda di halaman 1dari 19

GASTROENTERITIS

REFERAT

Disusun oleh:
Cindy Christian
406202096

Pembimbing:
dr. Samuel Halim, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 27 JANUARI – 19 MARET 2022
RUMAH SAKIT ROYAL TARUMA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

Gastroenteritis didefinisikan sebagai infeksi pada lambung dan usus, dimana diare akut
merupakan gejala utama pada sebagian besar kasus. Diare sendiri adalah BAB cair atau tidak
berbentuk dengan jumlah dan frekuensi yang meningkat. Diare yang disebabkan oleh infeksi
dan disertai dengan mual, muntah, dan nyeri abdomen disebut sebagai diare infeksius.1
Menurut WHO dan UNICEF, ada 2 miliar kasus diare tiap tahunnya, dan 1.9 miliar
anak usia di bawah 5 tahun meninggal akibat diare tiap tahun, terutama pada negara
berkembang. Dari sekian banyak anak yang meninggal akibat diare, 78% terjadi di daerah
Afrika dan Asia Tenggara. Di Amerika Serikat, gastroenteritis infeksius dapat menyebabkan
morbiditas yang signifikan, terutama pada pasien muda atau lansia, dan negara yang
tertinggal.2,3
Penyebab penyakit gastroenteritis meliputi virus, bakteri, dan parasit. Virus
bertanggung jawab pada sekitar 70% episode gastroenteritis akut pada anak. Gastroenteritis
viral biasanya ditularkan melalui rute fecal oral atau terjadi saat ada wabah akibat kontaminasi
makanan atau air. Penyebab lain yang penting adalah bakteri seperti Clostridium perfringens
dan enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC). Bakteri dikaitkan dengan infeksi yang lebih
serius dibanding agen lainnya. Gastroenteritis akibat parasit lebih jarang terjadi, namun, ia
dapat menyebabkan gastroenteritis yang kronik. Salah satunya adalah Giardia yang dapat
ditemukan pada air terkontaminasi (contoh kolam renang) dan menyebabkan keluhan kembung
serta diare berwarna pucat dan sangat bau.4-6
Kasus yang diakibatkan oleh virus dapat sembuh dengan sendirinya. Pemberian
rehidrasi oral sama efektifnya dengan pemberian cairan melalui intravena pada kasus dehidrasi
ringan sampai sedang pada gastroenteritis. Antibiotik empirik dapat digunakan jika ada
indikasi (contoh: imunokompromais). Pencegahan dari gastroenteritis adalah melakukan
teknik pengolahan makanan yang baik, cuci tangan, menggunakan air bersih, dan vaksinasi
pada bayi.4,6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gastroenteritis adalah peradangan pada lambung, usus halus, atau usus besar, yang
menyebabkan kombinasi dari nyeri perut, kram perut, mual, muntah, dan diare. Berdasarkan
durasinya, gastroenteritis dibagi menjadi akut (berlangsung <14 hari), persisten (14-30 hari),
dan kronis (>30 hari).7

2.2 Epidemiologi
Gastroenteritis akut merupakan penyakit yang umum terjadi pada semua usia di seluruh dunia.
Di seluruh dunia, penyakit ini melibatkan 3-5 miliar anak per tahunnya, sedangkan di Amerika
Serikat terdapat 350 juta kasus gastroenteritis yang dilaporkan tiap tahun dan 48 juta kasus di
antaranya adalah akibat bakteri yang terbawa dalam makanan. Penyakit ini dikatakan juga
menyumbang 1.5–2.5 juta kematian per tahunnya.5,8
Menurut Riskesdas 2018, prevalensi diare di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan sebesar 6,8% dan berdasarkan gejala yang pernah dialami sebesar 8%. Kelompok
umur dengan prevalensi diare tertinggi pada 1‒4 tahun sebesar 11,5% dan bayi sebesar 9%.
Kelompok umur 75 tahun ke atas juga merupakan kelompok umur dengan prevalensi tinggi,
yaitu 7,2%. Selain itu, diare masih menjadi penyebab utama kematian pada bayi dan anak.9-10

2.3 Etiologi & Manifestasi Klinis


Gastroenteritis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit. 50-70% kasus didominasi oleh
virus, 15-20% akibat bakteri, dan yang lebih jarang adalah parasit dimana ia berperan hanya
pada 10-15% kasus.7
2.3.1 Virus
Beberapa virus seperti meliputi norovirus, rotavirus, adenovirus, dan astrovirus
berperan dalam menyebabkan gastroenteritis akut.
a. Norovirus
Norovirus adalah single-stranded RNA dari keluarga Calicivirus dan merupakan
penyebab diare yang paling umum dan dapat terjadi pada semua umur. Sekitar 90%
gastroenteritis viral di Amerika disebabkan oleh Norovirus dan kira-kira 50% kasus
diare di dunia juga disebabkan olehnya.
Virus pada umumnya ditransmisikan melalui jalur fecal-oral namun dapat juga
muncul pada muntah/vomitus. Metode transmisi lainnya meliputi aerosol, kontak
dengan fomites (barang yang terkontaminasi), serta kontak langsung dengan orang
sakit.
Karakteristik dari gastroenteritis akibat Norovirus adalah onsetnya mendadak
dengan masa inkubasi sekitar 12-72 jam. Masa berlangsungnya penyakit adalah
sekitar 12-60 jam dan dikarakteristikan dengan satu atau lebih gejala: mual, muntah,
kram perut, dan diare. Muntah lebih umum terjadi pada anak, sedangkan pada orang
dewasa lebih sering terjadi diare. Gejala konstitusional seperti sakit kepala, demam,
menggigil, dan myalgia juga umum menyertai gastroenteritis Norovirus. Untuk
karakteristik dari tinja yang dihasilkan adalah cair, tanpa darah, lendir, dan tidak
ditemukan leukosit pada pemeriksaan tinja. Umumnya penyakit ini sembuh sendiri
tanpa ada gejala sisa.3,8
b. Rotavirus
Rotavirus adalah virus RNA double-stranded dari keluarga Reoviridae. Ada 7
kelompok besar dari rotavirus yaitu A sampai G. Kelompok A merupakan
kelompok utama yang menyebabkan sakit pada manusia, selanjutnya diikuti oleh
kelompok B dan C. Infeksi rotavirus sangat umum terjadi pada manusia dan hampir
semua anak memiliki antibodi terhadapnya di usia 3 tahun. Patogenesis rotavirus
berkomplikasi dengan beberapa mekanisme seperti malabsorpsi akibat kerusakan
mukosa, sekresi enterotoksin, dan sekresi enteric sebagai respon terhadap virus.
Manifestasi klinis dari infeksi ini berupa diare, nyeri dan kram perut, anoreksia,
serta demam yang tidak terlalu tinggi. Infeksi rotavirus lebih sering dikaitkan
kejadian dehidrasi dibandingkan patogen lainnya. Masa inkubasinya adalah 1-3
hari, memiliki onset tiba-tiba, dengan muntah yang muncul lebih dahulu dari diare.
BABnya bersifat cair dan jarang terdapat sel darah putih atau merah. Umumnya
gejala gastrointestinal membaik dalam 3-7 hari. Orang dewasa lebih mungkin
asimptomatik dengan peningkatan titer antibodi, sedangkan, individu yang
imunokompromais dapat mengalami masa sakit lebih lama dan lebih berat.8,11
Pada tahun 2006 ditemukan vaksin untuk Rotavirus. Sejak saat itu angka
gastroenteritis dan beratnya penyakit menurun drastis. Meskipun angkanya
menurun karena vaksin, Rotavirus masih menjadi penyebab utama diare pada bayi.8
c. Lain-lain
Virus lain yang menyebabkan gastroenteritis akut termasuk Adenovirus, Sapovirus,
dan Astrovirus. Masing-masing virus dapat menyebabkan 2-9% kasus
gastroenteritis, dengan negara berkembang yang memiliki angka sedikit lebih tinggi
pada gastroenteritis akibat kelompok Astrovirus. Virus-virus ini lebih sering
menyerang anak dibandingkan orang dewasa.8

2.3.2 Bakteri
a. Traveller’s diarrhea
40-60% Wisatawan yang datang ke negara berkembang mengalami ini. Bakteri
menjadi penyebab utama dari diare dan transmisinya melalui air atau makanan yang
terkontaminasi. Bakteri yang paling umum terlibat adalah Enterotoxigenic E coli
(ETEC), Salmonella, Campylobacter jejuni, dan Shigella. 7
Masa inkubasi mulai dari 4-14 hari setelah kedatangan di negara terkait. Gejala
klinis penyakit ini berupa malaise, anoreksia, nyeri perut, kram perut, diare cair,
mual, muntah, dan demam dengan suhu tidak terlalu tinggi. Jika diakibatkan oleh
Campylobacter jejuni atau Shigella maka gejala akan berkembang menjadi colitis,
diare berdarah, dan tenesmus. Umumnya penyakit berlangsung selama 1-5 hari dan
bersifat sembuh sendiri, namun, pada 8-15% kasus penyakit berlangsung >15
minggu. Jika rasa kembung, mual, atau gejala gastrointestinal lainnya bertahan >14
hari, dapat dipikirkan diagnosis lain seperti infeksi parasit.
Traveller’s diarrhea dibagi menjadi 3:
• Klasik: 3 kali atau lebih BAB cair per 24 jam + 1 gejala (mual, muntah,
demam, nyeri perut, BAB berdarah
• Sedang: 1-2 kali BAB cair per 24 jam + 1 gejala di atas atau > 2 kali BAB
cair
• Ringan: 1-2 kali BAB cair7
b. Foodborne gastroenteritis
Berdasarkan patogenesisnya, foodborne gastroenteritis dibagi menjadi:
• Preformed toxin – patogen membuat toksin di makanan sebelum
dikonsumsi
contoh:
o S. aureus tumbuh di produk susu, telur, dan salad
o Bacillus cereus: tumbuh di makanan bertepung seperti roti, juga
ditemukan di daging sapi, babi, dan sayur-sayuran
Masa inkubasi 1-6 jam. Gejala yang muncul adalah mual dan muntah
yang tiba-tiba setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi.7
• Patogen membuat patogen di dalam traktus gastrointestinal (setelah
makanan dikonsumsi)
contoh:
o C. perfringens, sporanya berkembang di daging sapi, babi, makanan
kaleng, dan unggas
o ETEC (Enterotoxigenic E coli), transmisi melalui air atau makanan
yang terkontaminasi feses. Masa inkubasi 24-72 jam, menghasilkan
diare cair yang sangat banyak.7
• Patogen yang menginvasi dinding pencernaan dan secara langsung merusak
lapisan epitel, mengeluarkan faktor-faktor yang menyebabkan diare
inflamasi
o Salmonella, transmisi melalui konsumsi telur setengah matang,
daging, susu yang tidak dipasteurisasi (raw milk), es krim, kacang,
buah, dan sayur. Transmisi lain melalui kontak dengan binatang
yang terinfeksi (contoh: kura-kura, bebek). Masa inkubasi 6-48 jam
dan gejalanya berupa mual, muntah, demam, kram perut, terkadang
BAB berdarah.7
o Shigella, biasanya menyerang anak di bawah 5 tahun. Transmisi
melalui makanan atau air yang terkontaminasi, rute fecal-oral, dan
kontak langsung dengan orang yang terinfeksi. Masa inkubasi 1-6
hari, gejalanya adalah demam, kram perut, diare berdarah.7
o Campylobacter jejuni, menyerang anak usia di bawah 5 tahun.
Transmisi melalui konsumsi makanan mentah, keju, air yang
terkontaminasi, dan kontak dengan hewan yang terkontaminasi.
masa inkubasi 1-10 hari, gejalanya berupa demam, menggigil, nyeri
kepala, malaise, mual, muntah, diare berdarah. Bakteri ini dikaitkan
dengan komplikasi Guillain-Barré syndrome post-infeksi.7
c. Diare akibat penggunaan antibiotik
Diare ini disebut juga colitis C. difficile. Infeksi ini biasanya terjadi pada pasien
yang dirawat di rumah sakit. Pemakaian antibiotik multipel dan durasi
pemakaiannya berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi C. difficile. Pasien
yang berusia > 65 tahun dan mereka yang imunokompromais memiliki risiko lebih
tinggi terkena kolitis C. difficile.
Antibiotik yang sering dikaitkan dengan infeksi ini meliputi flourokuinolon,
clindamycin, sefalosporin, dan penicillin. Berikut yang lebih jarang berhubunga
dengan C. difficile: doksisiklin, aminoglikosida, vancomycin, dan metronidazole.
Pemakaian proton pump inhibitor juga dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi
C. difficile.
Gejala dapat muncul saat penggunaan antibiotik atau sampai 3-4 minggu setelah
selesainya penggunaan antibiotik. Gejalanya meliputi nyeri perut dan diare cair
ringan sampai sedang. Demam, mual, diare yang sangat banyak, bahkan diare
berdarah juga dapat ditemukan pada infeksi C. difficile.7

2.3.3 Parasit
Beberapa parasit yang menyebabkan gastroenteritis meliputi Giardia lamblia
dan Crytosporidium. Infeksi parasit dikaitkan dengan gastroenteritis kronik
terutama pada individu imunokompromais seperti pasien AIDS. Mereka juga
berperan dalam wabah di tempat penitipan anak, kolam renang, dan tempat
dengan sumber air yang terkontaminasi. Salah satu alasan terjadinya wabah
adalah karena oosit parasit resisten terhadap disinfektan sehingga mudah
ditransmisikan melalui kontak antarindividu atau permukaan yang
terkontaminasi.
a. Giardia lamblia, masa inkubasinya minimal 5-6 hari (biasanya 1-3 minggu).
Gejala awal yang menonjol adalah diare yang sangat bau dan berwarna
pucat, nyeri perut, kembung, sendawa, mual, dan muntah. Giardiasis kronik
dapat tampil dengan atau tanpa episode simptomatik akut. Diare tidak
menonjol namun terdapat peningkatan flatus, BAB cair, sendawa yang
berbau sulfur, dan penurunan berat badan.
b. Crytosporidium, diare yang terjadi pada individu imunokompeten bersifat
self-limiting, namun, pada individu imunodefisiensi penyakit dapat menjadi
berat. Masa inkubasi sekitar 1 minggu dengan gejala utamanya diare cair
tanpa darah. Terkadang diare disertai dengan nyeri perut, muntah,
anoreksia, demam, dan atau penurunan berat badan.

2.4 Patofisiologi
a. Virus
Manifestasi klinis gastroenteritis adalah akibat dari virus bersama dengan sitotoksin
yang ada pada enterosit di usus. Virus memakai enterosit untuk bereplikasi,
mempengaruhi produksi enzim di brush border, sehingga terjadi malabsorpsi dan diare
osmotik. Sebagai tambahan, toksin virus menyebabkan kerusakan langsung dan lisis
sel enterosit serta villi usus sehingga terjadi kehilangan cairan secara transudatif ke
usus. Kehilangan fungsi sel dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit akibat
kerusakan dari transporter sehingga dapat terjadi ketidakseimbangan asam basa. Virus
lalu terkumpul di feses dan terkadang pada muntah. Puncak jumlah virus dalam feses
sekitar 24-48 jam setelah gejala muncul. Beberapa studi mengatakan bahwa peluruhan
virus dapat berlangsung selama beberapa minggu sejak gejala muncul pertama kali.3
b. Bakteri
Bakteri di usus menyebabkan diare melalui berbagai mekanisme meliputi penempelan,
invasi mukosa, dan produksi toksin. Salah satu fungsi utama usus halus adalah absorpsi
cairan. Dengan adanya kelainan pada usus halus, cairan tidak dapat diserap dengan
baik, dan toksin yang dihasilkan bakteri menyebabkan dinding usus memproduksi
cairan yang berakibat produksi BAB cair.
Ukuran inokulum menjadi salah satu faktor virulensi penting yang meyebabkan
patologi. Bagi Shigella dan EHEC, minimum 10-100 bakteri dapat menyebabkan
infeksi, sedangkan Vibrio cholerae membutuhkan ratusan sampai ribuan bakteri untuk
menyebabkan infeksi. Oleh karena itu, dosis infektis tiap patogen berbeda-beda dan
juga bergantung dengan keadaan individu yang terlibat.
Penempelan (adherence) juga adalah faktor lain virulensi patogen enterik.
Beberapa bakteri perlu untuk menempelkan dirinya ke dinding mukosa traktus
gastrointestinal. Mereka memproduksi berbagai adhesin dan protein permukaan sel
lainnya untuk membantu menempel pada sel usus. Misalnya pada Enterotoxigenic E.
coli yang memproduksi protein colonization factor antigen. Hal ini penting untuk
kolonisasi organisme di usus halus sebelum akhirnya memproduksi toksin dan
menyebabkan timbulnya gejala.
Produksi sitotoksin, invasi bakteri, dan pengrusakan sel mukosa usus dapat
menyebabkan disentri. Infeksi Shigella dan enteroinvasive E. coli dikarakteristikan
dengan invasi organisme di sel epitel mukosa, multiplikasi intraepitel, dan selanjutnya
menyebar ke sel sekitarnya.
Produksi toksin adalah hal selanjutnya yang berperan sebagai faktor virulensi.
Toksin ini termasuk enterotoksin yang dapat menyebabkan diare cair dengan
menyerang langsung mekanisme sekretori di mukosa usus. Sitotoksin merusak sel
mukosa dan dikaitkan dengan diare inflamasi.5

Gambar 2.1 Patogenesis gastroenteritis14

2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis
- Keluhan
Pasien gastroenteritis datang dengan berbagai keluhan tergantung etiologi
dasarnya. Keluhan diarenya berlangsung kurang dari 15 hari. Diare karena
penyakit usus halus biasanya berjumlah banyak, diare cair, sering berhubungan
dengan malabsorpsi, dan sering ditemukan dehidrasi. Sedangkan, diare karena
kelainan kolon biasanya berhubungan dengan tinja yang sedikit tetapi sering,
bercampur darah dan ada sensasi ingin ke toilet.
Pasien dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas yaitu
mual, muntah, nyeri abdomen, demam, dan BAB yang sering, bisa air,
malabsorptif, atau berdarah tergantung patogen yang spesifik. Secara umum,
patogen usus halus tidak invasif, dan patogen ileokolon lebih mengarah ke
invasif. Pasien yang memakan toksin atau pasien yang mengalami infeksi
toksigenik secara khas mengalami mual dan muntah sebagai gejala yang
menonjol bersamaan dengan diare cair tetapi jarang mengalami demam. Muntah
yang mulai beberapa jam dari masuknya makanan mengarahkan kita pada
keracunan makanan karena toksin yang dihasilkan. Parasit yang tidak
menginvasi mukosa usus, seperti Giardia lamblia dan Cryptosporidium,
biasanya menyebabkan rasa tidak nyaman di abdomen yang ringan. Giardiasis
mungkin berhubungan dengan steatorea ringan, perut bergas dan kembung.
Bakteri invasif seperti Campylobacter, Salmonella, dan Shigella, dan
organisme yang menghasilkan sitotoksin seperti Clostridium difficile and
enterohemorrhagic E. coli (serotipe 0157: H7) menyebabkan inflamasi usus
yang berat. Organisme Yersinia seringkali menginfeksi ileum terminal dan
caecum dan memiliki gejala nyeri perut kuadran kanan bawah, menyerupai
apendisitis akut. Infeksi Campylobacter jejuni senng bermanifestasi sebagai
diare, demam dan terkadang kelumpuhan anggota badan dan badan (sindrom
Guillain-Barre). 11 Riwayat perjalanan ke daerah tertentu
- Riwayat kontak dengan hewan tertentu
- Riwayat konsumsi susu sapi yang belum dipasteurisasi, keju, daging setengah
matang, babi, unggas
- Kondisi imunokompromais
- Riwayat penggunaan antibiotik
- Keluhan serupa di keluarga/kolega/kontak erat
- Tanda-tanda dehidrasi: haus, penurunan BAK, lemas7

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


- Tanda-tanda vital yang abnormal: demam, tekanan darah ortostatik, takikardi,
nyeri
- Ditemukan nyeri perut (tidak khas, namun membantu untuk diagnosis dan
pemberian tatalaksana yang sesuai). Saat dipalpasi abdomen dapat terasa supel
namun terkadang dapat ditemukan adanya guarding
- Ditemukan tanda dehidrasi: membran mukosa kering, turgor kulit menurun,
hilangnya pulsasi vena jugularis, perubahan status mental.7

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan darah lengkap (tidak membedakan etiologi namun membantu
penilaian kondisi pasien seperti adanya potensi komplikasi, kondisi peyakit
yang berat, dsb). Leukositosis mengindikasikan bakteri invasif, peningkatan
eosinofil dapat mengarahkan kecurigaan infeksi parasit (tidak spesifik). Pada
infeksi virus biasanya memiliki hitung jenis leukosit normal atau limfositosis.
Neutropenia dapat timbul pada salmonellosis.5,7,12
- Pemeriksaan serum elektrolit, serum urea nitrogen, dan kreatinin untuk evaluasi
hidrasi
- Status asam basa
- Pemeriksaan tinja
o Leukosit dan occult blood
Ditemukannya leukosit dan occult blood menunjukkan bakteri sebagai
penyebab gastroenteritis. Sensitifitas pemeriksaan leukosit sangat
bervariasi. Penelitian melaporkan sensitifitasnya 70% dan spesifisitas
terhadap proses inflamasi hanya 50%.
o Laktoferrin
Laktoferrin adalah penanda leukosit yang dihasilkan oleh sel yang rusak
dan meningkat pada kondisi infeksi bakteri. Belum diketahui apakah
pemeriksaan ini lebih superior dari pemeriksaan leukosit, namun karena
pemeriksaan laktoferrin lebih sederhana dan cepat maka ia lebih disukai.
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan ini berkisar 90% - 100%.
o Kultur
Kultur tinja dapat dipertimbangkan jika ada BAB berdarah yang sangat
banyak, demam, dehidrasi berat, gejala yang berlangsung lebih dari 7
hari, kondisi imunosupresi, pasien usia >65 thaun dengan komorbid
(penyakit hati, ginjal, paru stadium akhir, IBD, dsb).7,12,13
- Pemeriksaan toksin A dan B Clostridium difficile
Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk pasien yang mengalami diare 3 hari
setelah dirawat di rumah sakit tanpa sebab yang diketahui. Infeksi oleh C.
difficile meningkat pada pemakaian antibiotik bahkan sampai 3 bulan setelah
pemakaian. Oleh karena itu, pemeriksaan ini juga direkomendasikan bagi yang
mengalami diare setelah menggunakan antibiotik atau 3 bulan berhenti
konsumsi antibiotik.
- Pemeriksaan Enzym-linkedimmunosorbent assay (ELISA) dapat mendeteksi
giardiasis
- Ova dan parasit tinja
Pemeriksaan ini cocok jika gejala dan anamnesis mendukung infeksi akibat
parasit atau protozoa, ditemukan diare berdarah tanpa leukosit feses, diare
persisten yang berhubungan dengan tempat penitipan anak dan wabah yang
penularannya melalui air.7,12,13

2.6 Diagnosis Banding


Penyakit lain yang dapat menyebabkan diare cair adalah Crohn’s disease, pseudomembranous
colitis, microscopic colitis, infeksi HIV akut, irritable bowel disease (IBD), dan intoleransi
laktosa. Penyebab diare berdarah selain disentri adalah kolitis ulseratif. Penyakit Celiac dan
sindrom malabsorpsi juga dapat menyebabkan diare.5

2.7 Tatalaksana
a. Menilai derajat dehidrasi
Dehidrasi dibagi menjadi:
- Dehidrasi Ringan (hilang cairan 2-5% BB): gambaran klinisnya turgor kurang,
suara serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam presyok.
- Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8% BB): turgor buruk, suara serak, pasien
jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan dalam.
- Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10% BB): tanda dehidrasi sedang ditambah
kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis.12

Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan;


1. Keadaan klinis: ringan, sedang dan berat
2. Berat Jenis Plasma: Pada dehidrasi BJ plasma meningkat
a. Dehidrasi berat: BJ plasma 1,032 - 1,040
b. Dehidrasi sedang: BJ plasma 1,028 - 1,032
c. Dehidrasi ringan: BJ plasma 1,025 - 1,028
3. Pengukuran Central Venous Pressure (CVP):
Bila CVP +4 s/d +11 cm H2): normal, syok atau dehidrasi maka CVP kurang dari
+4 cmH2O12
b. Rehidrasi
Tahap pertama dalam menangani diare akut adalah rehidrasi. Cairan rehidrasi dapat
diberikan melalui oral, enteral melalui selang nasogastrik, atau intravena. Rehidrasi oral
lebih diutamakan dan efektif karena usus masih dapat menyerap air tetapi
membutuhkan sodium-glucose cotransport. Oleh karena itu oral rehydration solution
(ORS) harus mengandung campuran garam dan glukosa dikombinasikan dengan air
(contoh: larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g NaCI, 2,5
g Natrium Bikarbonat dan 1,5 g KCI setiap liter).
Bila dehidrasi sedang/berat sebaiknya pasien diberikan cairan melalui infus
pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringan/sedang pada pasien masih dapat diberikan
cairan per oral atau selang nasogastrik, kecuali bila ada kontra indikasi atau oral/saluran
cerna atas tak dapat dipakai.
Salah satu cara untuk menentukan kebutuhan cairan adalah dengan Metode Pierce:
- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x Berat badan (kg)
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x Berat badan (kg)
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan= 10% x Berat badan (kg)

Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas:


• Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan diberikan
langsung dalam 2 jam ini agar tercapati rehidrasi optimal secepat mungkin.
• Satu jam berikut/jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan berdasarkan
kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila
tidak ada syok dapat diganti cairan per oral.
• Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui
tinja dan insensible water loss (IWL).12
c. Antibiotik
Sebagian besar pasien memiliki penyakit yang ringan dan bersifat self-limiting jika
penyebabnya adalah virus atau bakteri non-invasif. Pengobatan empirik dengan
antibiotik harus digunakan dengan hati-hati. Indikasi penggunaannya adalah pasien
yang diduga terinfeksi bakteri invasif, traveller’s diarrhea, kondisi imunokompromais,
BAB >8 kali/hari, dan gejala yang berlangsung lebih dari 1 minggu. Pilihan antibiotik:
- Kuinolon (misal ciprofloxacin 500 mg 2x/hari selama 5-7 hari, levoflocavin 500
mg/hari selama 3-5 hari). Obat ini baik terhadap bakteri patogen invasif seperti
Campylobacter, Shigella, Salmonella, Yersinia, dan Aeromonas species. Di area
yang resisten fluorokuinolon, dapat diberikan azithromycin 500 mg/hari selama
3 hari.
- Alternatifnya yaitu kotrimoksazol (trimetoprim/sulfametoksazol, 160/800 mg 2
x/hari, atau eritromisin 250 - 500 mg 4 x/hari.
- Metronidazol 250 mg 3 x/hari selama 7 hari diberikan bagi yang dicurigasi
giardiasis.
- Profilaksis untuk turis yang bepergian ke daerah risiko tinggi, kuinolon (misal
ciprofloxacin 500 mg/hari). Obat profilaktik lain termasuk trimethoprim
sulfametoksazol dan bismuth subsalisilat.
- Untuk individu imunokompromais, terapi antibiotik dapat diperpanjang sampai
7-10 hari. 7,12,13
Gambar 2.2 Pilihan antibiotik berdasarkan etiologi12
b. Antimotilitas
Loperamide menghambat kontraksi segmental usus yang memperlambat pergerakan
cairan intralumen dan memungkinkan penyerapan yang lebih besar. Dosis inisialnya 4
mg diikuti dengan 2 mg setiap setelah BAB cair dengan dosis maksimal 8 mg/hari.
Penggunaan obat antimotilitas harus hati-hati terutama pada pasien dengan diare
berdarah atau inflamasi (termasuk infeksi Shigella) karena dapat memperlama
penyembuhan penyakit.12,13
c. Pengeras tinja
Obat yang mengeraskan tinja: atapulgite 4 x 2 tab/hari, smectite 3 x 1 saset diberikan
tiap diare/BAB cair sampai diare berhenti.12
d. Obat anti sekretorik atau anti-enkephalinase
- Anti sekretorik: bismuth subsalicylate aman untuk pasien dengan demam dan
diare inflamasi. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien HIV karena dapat
menimbulkan ensefalopati bismuth.
- Anti- enkephalinase: Hidrasec 3 x 1 tab/hari, mengandung racecadotril yang
dikatakan sama efektifnya dengan loperamide.12,13
e. Probiotik
Probiotik dianggap menstimulasi sistem imun dan berkompetisi untuk berikatan di sel
epitel usus. Penggunaannya pada diare akut anak dihubungkan dengan penurunan
derajat dan durasi penyakit.13
f. Suplementasi Zinc
Penelitian pada anak menunjukkan bahwa suplementasi zinc (20 mg/hari selama 10 hari
pada anak usia > 2 bulan) mungkin memainkan peran penting dalam mengobati dan
mencegah diare akut, terutama di negara berkembang. Studi menunjukkan penurunan
risiko dehidrasi, durasi, dan derajat keparahan episode diare sekitar 20% - 40%.
Penelitian tambahan diperlukan untuk mengevaluasi manfaat potensial dari
suplementasi zinc pada populasi orang dewasa.13
g. Diet
Pasien diare tidak dianjurkan puasa, kecuali bila muntah-muntah hebat. Pasien
dianjurkan minum-minuman sari buah, teh, minuman tidak bergas, makanan yang
mudah dicerna seperti pisang, nasi, dan sup. Susu sapi harus dihindari karena adanya
defisiensi lactase transien yang disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Kondisi
intolerans atau malabsorpsi laktosa dapat berlangsung sampai beberapa minggu setelah
sakit. Minuman berkafein dan alkohol harus dihindari karena dapat meningkatkan
motilitas dan sekresi usus. Makanan tinggi lemak juga sebaiknya dihindari sampai
fungsi pencernaan normal kembali.7,12

2.8 Komplikasi
Komplikasi paling sering adalah dehidrasi dan penurunan kadar elektrolit. Komplikasi lainnya
berupa perkembangan diare akut menjadi diare kronik yang dapat menyebabkan intoleransi
laktosa atau pertumbuhan bakteri yang berlebihan di usus. Komplikasi post-diare juga
termasuk eksaserbasi IBD, septikemia, demam enteric, serta Guillain-Barre syndrome
(komplikasi infeksi Campylobacter).5
2.9 Pencegahan
Faktor penting dalam mencegah diare adalah menjaga kebersihan, cuci tangan, persiapan dan
pengolahan makanan yang baik, serta akses yang mudah ke sumber air bersih. Vaksinasi juga
berperan dalam pencegahan. Saat ini sudah ada vaksin untuk rotavirus, demam tifoid, dan
kolera.13
DAFTAR PUSTAKA

1. Kim YJ, Park KH, Park DA, et al. Guideline for the Antibiotic Use in Acute
Gastroenteritis. Infect Chemother. 2019;51(2):217-243. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6609748/
2. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines. Acute diarrhea in adults and
children: a global perspective. 2012. Available from:
https://www.worldgastroenterology.org/guidelines/acute-diarrhea/acute-diarrhea-
english
3. Stuempfig ND, Seroy J. Viral Gastroenteritis. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing. 2022. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK518995/
4. Chow CM, Leung AK, Hon KL. Acute gastroenteritis: from guidelines to real life. Clin
Exp Gastroenterol. 2010;3:97-112. Available from:
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3108653/
5. Sattar SBA, Singh S. Bacterial Gastroenteritis. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing. 2022. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513295/
6. Orenstein R. Gastroenteritis, Viral. Encyclopedia of Gastroenterology. 2020;652-657.
doi:10.1016/B978-0-12-801238-3.65973-1. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7173604/
7. Graves NS. Acute gastroenteritis. Prim Care. 2013;40(3):727-741.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7119329/
8. Kasper DL, Fauci AS. Harrison's Infectious Diseases, 3e. McGraw Hill. 2017. p. 887-
892
9. Kementerian Kesehatan RI. Riskesdas. 2018. Available from:
https://www.litbang.kemkes.go.id
10. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Available from: https://pusdatin.kemkes.go.id
11. Longo DL, Fauci AS. Harrison's Gastroenterology and Hepatology. 3rd ed. McGraw
Hill. 2013. p. 299-305, 313-316
12. K Simadibrata M, Daldiyono. Diare akut. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II, Edisi 6.
Jakarta: Interna Publishing. 2014. p. 1899-1907
13. Barr W, Smith A. Acute Diarrhea in Adults. Am Fam Physician. 2014 Feb 1;89(3):180-
189. Available from: https://www.aafp.org/afp/2014/0201/p180.html
14. Calgary Guide. Gastroenteritis: Pathogenesis and clinical findings. (updated 2015 Aug
28; cited 2022 Feb 27). Available from:
https://calgaryguide.ucalgary.ca/gastroenteritis-pathogenesis-and-clinical-findings/

Anda mungkin juga menyukai