Anda di halaman 1dari 41

Pengalaman Belajar Lapangan

KOLANGITIS AKUT

Disusun oleh:
I Gusti Ayu Made Dewi Tusiantari (1102005114)
I Kadek Herry Dwipayana (1102005126)

Pembimbing:
dr. Gede Somayana, Sp.PD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
2016

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kasus Pengalaman
Belajar Lapangan (PBL) yang berjudul “Kolangitis Akut” ini tepat pada
waktunya. Kasus PBL ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik
Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan bimbingan
maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD - KHOM selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
3. dr. Gede Somayana, Sp.PD, selaku dosen pembimbing atas segala
bimbingan, saran-saran dan bantuan dalam penyusunan kasus PBL ini.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan kasus PBL ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa kasus PBL ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis
mengharapkan semoga kasus PBL ini dapat bermanfaat di bidang ilmu
pengetahuan dan kedokteran.

Denpasar, November 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi 2
2.2 Anatomi.............................................................................................. 2
2.3 Epidemiologi 3
2.4 Etiologi 4
2.5 Faktor Resiko........................................................................................... 5
2.6 Patofisiologi 6
2.7 Diagnosis 7
2.8 Pemeriksaan Penunjang 8
2.9 Penatalaksanaan 11

BAB III LAPORAN KASUS 16


BAB IV PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN 28
BAB V KESIMPULAN 36
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

3
BAB I
PENDAHULUAN

Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam, ikterus,
dan nyeri perut kanan atas yang berkembang sebagai akibat dari sumbatan dan
infeksi di saluran empedu. Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi
saluran bilier dan pertumbuhan bakteri dalam empedu. Penyebab paling sering
obstruksi bilier adalah koledokolitiasis.1 Penyakit ini perlu diwaspadai karena
insiden batu empedu di Asia Tenggara cukup tinggi, serta kecenderungan penyakit
ini untuk terjadi pada pasien berusia lanjut, yang biasanya memiliki penyakit
penyerta yang lain yang dapat memperburuk kondisi dan mempersulit terapi. 2
Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan resiko terjadinya
kolangitis akut simtomatik dilaporkan sekitar 0.2%. Kolangitis akut dapat pula
disebabkan adanya batu primer di saluran bilier, keganasan dan striktur. 1,3 Proporsi
kasus didiagnosis sebagai berat sesuai dengan kriteria penilaian keparahan pada
Tokyo Guideline 2007 adalah 12,3% atau 23 dari 187 kasus kolangitis akut karena
saluran batu empedu.3
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis
bilier jinak, striktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas.
Koledokolitiasis digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi baru-
baru ini kejadian kolangitis akut yang disebabkan oleh penyakit ganas, sklerosis
kolangitis, dan instrumentasi non-bedah saluran empedu telah meningkat.4
Diagnosis secara klinis dapat ditegakan dengan trias Charcot, yaitu adanya
demam, ikterus dan nyeri perut kanan atas. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
meliputi pemeriksaan darah rutin, fungsi hati (aspartate transaminase & alinine
transaminase), alkali fosfatase, dan bilirubin serum, dan kultur bakteri dari sampel
darah. Studi pencitraan juga dapat membantu dalam menegakan diagnosis
kolangitis akut.4
Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik dan drainase bilier.
Derajat kolangitis akut menetukan perlu tidaknya pasien dirawat di rumah sakit.
Bila klinis penyakitnya ringan, dapat berobat jalan, terutama jika kolangitis akut
ringan yang berulang.5

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam, ikterus,
dan nyeri perut kanan atas yang berkembang sebagai akibat dari sumbatan dan
infeksi di saluran empedu. Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh Charcot
sebagai penyakit yang serius dan mengancam jiwa, sekarang diketahui bahwa
keparahan yang muncul dapat berkisar dari ringan hingga mengancam nyawa.
Koledokolitiasis atau adanya batu diadalam saluran empedu/bilier merupakan
penyebab utama kolangitis akut.1,3
Istilah kolangitis akut, kolangitis bakterialis, kolangitis asending dan
kolangitis supuratif semuanya umumnya merujuk pada infeksi bakterial saluran
bilier, serta untuk membedakannya dari penyakit inflamasi saluran bilier seperti
kolangitis sklerosis.3

2.2 Anatomi
Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang
panjangnya sekitar 10 cm, terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas
anatomi antara lobus hati kanan dan kiri.4,5 Kandung empedu merupakan
kantong berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah advokat tepat di bawah
lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, dan kolum.
Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit
memanjang di atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung
empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak
antara korpus dan daerah duktus sistika.6
Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk
dua saluran lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri yang segera bersatu membentuk duktus hepatikus
komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk
duktus koledokus.1,6

5
2.3 Epidemiologi
Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan resiko terjadinya
kolangitis akut simtomatik dilaporkan sekitar 0.2%. Kolangitis akut dapat pula
disebabkan adanya batu primer di saluran bilier, keganasan dan striktur.1,6
Dilaporkan angka kematian sekitar 13-88%. Kolangitis ini dapat ditemukan pada
semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan perbandingan antara laki-laki
dan perempuan tidak ada yang dominan diantara keduanya.1 Berdasarkan usia
dilaporkan terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60 tahun.3
Kasus yang parah di laporkan Tokyo Guideline 2007 (TG07) merujuk kepada
mereka yang memiliki faktor prognosis yang buruk termasuk syok, gangguan
kesadaran, kegagalan organ, dan disseminated intravascular coagulation. Definisi
itu masih diragukan sebelum penerbitan TG07, yang setelah dilakukan penelitian
terhadap frekuensi kolangitis akut, melaporkan bahwa kejadian kasus yang parah
adalah 7-25,5% terjadi syok, 7-22,2% terjadi gangguan kesadaran, dan 3,5-7,7%
terjadi Pentad Reynold. Proporsi kasus didiagnosis sebagai berat (grade III) sesuai
dengan kriteria penilaian keparahan TG07 adalah 12,3% atau 23 dari 187 kasus
kolangitis akut karena saluran empedu batu.6
Di Amerika Serikat, kolangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi
bersamaan dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan infeksi
bakteri empedu (misal: setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami
kolangitis).7 Resiko tersebut meningkat apabila cairan pewarna diinjeksikan secara
retrograd. Insidensi Internasional kolangitis adalah sebagai berikut: kolangitis
pyogenik rekuren, kadangkala disebut sebagai kolangio hepatitis iriental, endemik
di Asia Tenggara. Kejadian ini ditandai oleh infeksi saluran bilier berulang,
pembentukan batu empedu intrahepatik dan ekstrahepatik, abses hepar, dan
dilatasi dan striktur dari saluran empedu intra dan ekstrahepatik. 6
Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kanan atas, demam dan ikterik,
dapat digunakan untuk mendiagnosa kolangitis akut secara klinis. Umumnya
pasien-pasien dengan kolangitis akut menunjukan respon dan terjadi resolusi
dengan antibiotik, namun demikian pembersihan saluran bilier secara endoskopi
pada akhirnya tetap diperlukan untuk mengatasi terapi penyebab obstruksi.

6
Meskipun umumnya pasien dapat berespon dengan terapi antibiotik dan drainase
bilier, penelitian-penelitian melaporkan angka morbiditas dari kolangitis akut
mencapai 10% .2

2.4 Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi saluran bilier dan
pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi empedu). Kolangitis akut
membutuhkan kehadiran dua faktor:1,4
(1) obstruksi bilier
(2) pertumbuhan bakteri dalam empedu (bakterobilia)
Cairan empedu biasanya normal pada individu yang sehat dengan anatomi
bilier yang normal. Bakteri dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril
melalui ampula vateri (karena adanya batu yang melewati ampula), sfingterotomi
atau pemasangan sten (yang disebut kolangitis asending) atau bacterial portal,
yaitu terjadinya translokasi bakteri melalui sinusoid-sinusoid hepatik dan celah
disse. Bakterobilia tidak dengan sendirinya menyebabkan kolangitis pada individu
yang sehat karena efek bilasan mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri
garam empedu, dan produksi IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat
mengakibatkan kolangitis akut karena berkurangnya aliran empedu dan produksi
IgA, menyebabkan gangguan fungsi sel kupffer dan rusaknya celah membran sel
sehingga menimbulkan refluks kolangiovena.1
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis
bilier jinak, striktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas.
Koledokolitiasis digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi baru-
baru ini kejadian kolangitis akut yang disebabkan oleh penyakit ganas, sklerosis
kolangitis, dan instrumentasi non-bedah saluran empedu telah meningkat. Hal ini
dilaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30% menyebabkan kasus akut
kolangitis.2
Berikut adalah beberapa penyebab terjadinya kolangitis akut, antara lain:2,4
 Kolelitiasis
 Benign biliary stricture
 Faktor kongenital

7
 Faktor post-operatif (kerusakan ductus bilier, strictured choledojejunostomy,
etc.)
 Faktor inlamasi
 Oklusi keganasan
 Tumor duktus bilier
 Tumor kandung empedu
 Tumor ampula
 Tumor pankreas
 Tumor duodenum
 Pankreatitis
 Tekanan eksternal
 Fibrosis papila
 Divertikulum duodenal
 Bekuan darah
 Faktor iatrogenic
 Parasit yang masuk ke duktus bilier (Biliary ascariasis)
 Sump syndrome setelah anastomosis enterik bilier

2.5 Faktor Resiko


Empedu dari subyek sehat umumnya bersifat aseptik. Namun, kultur
empedu positif mengandung mikroorganisme pada 16% dari pasien yang
menjalani operasi non-bilier, 72% dari pasien kolangitis akut, 44% dari pasien
kolangitis kronis, dan 50% dari mereka dengan obstruksi bilier.5 Bakteri dalam
empedu teridentifikasi pada 90% pasien dengan koledokolitiasis disertai dengan
ikterus.8 Pasien dengan obstruksi tidak lengkap dari saluran empedu menyajikan
tingkat kultur empedu positif yang lebih tinggi dibandingkan dengan obstruksi
lengkap dari saluran empedu. Faktor resiko untuk bakterobilia mencakup berbagai
faktor, seperti dijelaskan di atas. Faktor resiko lain terjadinya kolangitis yang
disebut riwayat infeksi sebelumnya, usia >70 tahun dan diabetes.7,8

8
2.6 Patofisiologi
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak
mengalami hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier.
Kolangitis terjadi akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai
oleh bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh
batu common bile duct (CBD), striktur, stenosis, atau tumor, serta manipulasi
endoskopik CBD. Dengan demikian aliran empedu menjadi lambat sehingga
bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke sistem bilier melalui
vena porta, sistem limfatik porta ataupun langsung dari duodenum.3,4
Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara ascenden menuju duktus
hepatikus, yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi
dan melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik
empedu yang berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika
dan limfatik perihepatik, sehingga akan terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut
menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan tersebut disertai dengan
pembentukan pus maka terjadilah kolangitis supuratif.9
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kolangitis, yaitu:1,8
1. Kolangitis dengan kolesistitis
Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada sistem bilier, maupun
pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal. Keadaan ini sering
disebabkan oleh batu CBD yang kecil, kompresi oleh vesica felea /kelenjar
getah bening/inflamasi pankreas, edema/spasme sfinkter Oddi, edema
mukosa CBD, atau hepatitis.
2. Kolangitis non-supuratif akut
Terdapat bakterobilia tanpa pus pada sistem bilier yang biasanya
disebabkan oleh obstruksi parsial.
3. Kolangitis supuratif akut
Pada CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namuntidak terdapat obstruksi
total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.
4. Kolangitis supuratif akut dengan obstruksi
Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga melampaui tekanan
normal pada sistem bilier yaitu melebihi 250mm H20 sehingga terjadi

9
bakterimia akibat reflluk cairan empedu yang disertaidengan influks
bakteri ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika.
5. Syok sepsis
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu
sepsis berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului
oleh gagal ginjal yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati
piogenik (sering multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat
komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.

2.7 Diagnosis
Diagnosis kolangitis akut dapat ditegakan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta melalui pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis penderita
kolangitis secara klinis dapat ditemukan trias Charcot yaitu adanya keluhan
demam, ikterus, dan sakit pada perut kanan atas. Beberapa penderita hanya
mengalami dingin dan demam dengan gejala perut yang minimal. Ikterus atau
perubahan warna kuning pada kulit dan mata didapatkan pada sekitar 80%
penderita. 1,4
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam, hepatomegali,
ikterus, gangguan kesadaran (delirium), sepsis, hipotensi dan takikardi. Adanya
tambahan syok septis dan delirium pada trias Charcot dikenal sebagai Pentad
Reynold.3
Morbiditas dari kolangitis akut dikaitkan dengan terjadinya
cholangiovenous dan cholangiolymphatic refluks bersama dengan tekanan tinggi
di saluran empedu dan infeksi empedu akibat obstruksi saluran empedu yang
disebabkan oleh batu dan tumor. Kriteria diagnostik menurut Tokyo Guideline
2013 (TG13) kolangitis akut adalah kriteria untuk menegakkan diagnosis ketika
kolestasis dan peradangan berdasarkan tanda-tanda klinis atau tes darah di
samping manifestasi empedu berdasarkan pencitraan yang hadir.9,10

10
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium
Kriteria untuk diagnosis definitif kolangitis akut adalah sebagai berikut :
adanya trias Charcot atau bila tidak lengkap, adanya 2 unsur trias Charcot
ditambah adanya bukti laboratorium terjadinya respons inflamasi (leukosit yang
abnormal, meningkatnya CRP atau perubahan-perubahan lain yang
mengindikasikan adanya inflamasi), test fungsi hati abnormal (Alkaline
Phosphatase/ALP, Gamma Glutamil Transpeptidase/GGT, Aspartate
Transaminase.AST/SGOT, Alanine Transaminase/ALT/SGPT) dan temuan-
temuan pencitraan dilatasi bilier atau bukti etiologi (misalnya adanya batu, striktur
atau stenosis). TG13 mendefinisikan suatu diagnosis suspek kolangitis akut bila
terdapat 2 atau lebih dari salah satu kriteria berikut: riwayat penyakit bilier,
demam dan/atau menggigil, ikterik dan nyeri abdomen bagian atas atau kanan
atas. Pedoman tersebut menunjukkan adanya kemajuan dan suatu upaya yang
jarang dalam standarisasi definisi kolangitis kaut, namun pedoman tersebut
dirasakan kurang teliti. Misalnya tidak definiskannya berapa tingkat demam atau
ikterik, begitu juga nyeri abdomen kuadran kanan atas.11
Pada TG13 mendefinisikan kolangitis akut dalam kategori ringan (merespon
terhadap terapi suportif dan antibiotik), sedang (tidak merespon terhadap terapi
medikal namun tidak terjadi disfungsi organ), atau berat (adanya paling tidak 1
tanda disfungsi organ). Tanda tanda disfungsi organ meliputi hipotensi, sehingga
memerlukan pemberian dobutamin atau dopamine, delirium, rasio PaO 2/FiO2
<300, kreatinin serum >1,5mg/dl, INR >1.5 atau kadar trombosit <100000/µl. 11,12
Adapun kriteria diagnosis kolangitis akut apat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria diagnosis kolangitis akut12
A. Inflamasi sistemik
A-1. Demam
A-2. Hasil pemeriksaan laboratorium, menunjukan adanya respnon
inflamasi
B. Kolestasis
B-1. Ikterus
B-2. Hasil laboratorium menunjukan tes fungsi hati yang abnormal

11
C. Pencitraan
C-1. Dilatasi Bilier
C-2. Bukti dari etiologi dilakukan pencitraan (penyepitan, batu, sumbatan
dan lainnya)
Diagnosis suspek : satu dari item di A + satu dari item B maupun C
Diagnosis definitif : satu dari item A, satu dari B and satu dari C
Catatan:
A-2: nilai hitung abnormal sel darah putih, peningkatan serum level C-reaktif
protein, dan perubahan lain dari indikator inflamasi.
B-2: peningkatan serum ALP, Gamma GT, AST dan ALT.
Faktor lain yang dapat membantu diagnosis kolangitis akut termasuk nyeri
abdomen kanan atas dan adanya riwayat dari penyakit bilier sebelumnya
seperti gallstones, proses bilier sebelumnya, dan pemasangan sten bilier.
Dalam hepatitis akut penanda respon sistemik inflamasi juga dipantau.
Batasan :
A-1 Demam TaxSuhu tubuh >380C
A-2 Adanya bukti respon inflamasi WBC (x1000/µ𝐿) <4.or>10
CRP (mg/dl) ≥1

B-1 Ikterus T-bil≥2mg/dL


B-2 Fungsi liver abnormal ALP (IU) >1.5xSTD
GGT (IU) >1.5xSTD
AST (IU) >1.5xSTD
Ket: White Blood Cell (WBC), C-reaktif protein (CRP), Alkaline Phosphatase
(ALP), Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), Aspartate Transaminase
(AST/SGOT) dan Alanine Transaminase (ALT/SGPT)
Tingkat keparahan kolangitis akut dibagi kedalam tiga kelompok 12 :
1. Derajat ringan, yaitu kolangitis fase awal yang tidak memenuhi kriteria
derajat sedang maupun berat.
2. Derajat sedang, yaitu kolangitis yang diikuti dua dari empat gejala yaitu:
a. Jumlah leukosit yang abnormal (>18.000/mm3)
b. Teraba masa pada kuadran kanan atas.

12
c. Durasi keluhan >72 jam
d. Terdapat tanda inflamasi lokal (abses hepar, peritonitis bilier,
empisematus kolesisitis)
3. Derajat berat, yaitu kolangitis akut yang diikuti minimal satu disfungsi
organ lainya yaitu
a. Disfungsi kardiovaskular
b. Disfungsi neurologi
c. Disfungsi respiratori
d. Disfungsi renal
e. Disfungsi hepatik
f. Disfungsi hematologi

2.8.2 Pemeriksaan penunjang Lainnya


Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik kolangitis akut dapat dilakukan
dengan mendeteksi dilatasi bilier dan pemeriksaan penyebab kolangitis akut
adalah EUS (endoscopic ultrasonography), MRCP (magnetic resonance
cholangiopancreotography) dan ERCP (endoscopic retrograde
cholangiopancreotography). Diantara semuanya hanya MRCP yang tidak bersifat
invasif, namun tidak praktis hanya dapat digunakan pada pasien yang dapat
dibawa keruang radiologi, umumnya studi menunjukkan sensivitas >90% untuk
MRCP dalam mendeteksi batu di CBD dan sensivitasnya makin berkurang untuk
batu yang kecil. ERCP selain memiliki sensivitas untuk mendeteksi juga memiliki
potensi untuk terapeutik, dalam mendiagnosis batu CBD, EUS lebih baik dari
ERCP, dalam hal keganasan EUS sama dengan ERCP. Dilatasi intrahepatik tanpa
adanya dilatasi CBD, menunjukkan kesan suatu striktur jinak, sindrom mirri atau
lesi di daerah hilus duktus biliaris seperti tumor ganas.11,13
Sebaliknya dilatasi CBD dengan atau tanpa dilatasi intrahepatik konsisten
dengan obstruksi distal seperti batu CBD atau kanker pancreas. Mengetahui
penyebab dilatasi meminimalisai kebutuhan injeksi kontras yang dapat
meningkatkan tekanan bilier cukup kuat untuk menimbulkan refluks cairan bilier
kedalam sirkulasi sistemik dan menghindarkan resiko injeksi yang tidak
diinginkan kedalam segmen yang tidak terdrainase (misalnya pasien dengan

13
striktur daerah hilus yang kompleks) yang secara potensial dapat menyebabkan
terjadinya kolangitis berat. MRCP dapat meberikan informasi serupa dengan EUS
dan ERCP, namun kurang akurat untuk mendeteksi batu ukuran kecil dan harus
dilakukan sebagai prosedur terpisah. Meskipun USG transabdominal relatif tidak
sensitif untuk mendeteksi batu CBD (biasanya <30%), namun tersedia mudah dan
dapat membantu bila batu atau tumor ditemukan. CT scan lebih sensitive dari
USG transabdominal untuk mendeteksi batu CBD, dan sensitivitas helical CT
tampaknya sebanding dengan MRCP atau EUS pada beberapa studi. Namun EUS
lebih sensitif dari CT dan MRCP untuk mendiagnosis batu dengan diameter
<1cm.12,13

2.9 Penatalaksanaan
Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus diberikan segera
setelah akses vena didapatkan untuk koreksi kekurangan volume/dehidrasi dan
menormalkan tekanan darah. Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian
antibiotik dan drainase bilier. Beratnya kolangitis akut menetukan perlu tidaknya
pasien dirawat di rumah sakit. Bila klinis penyakitnya ringan, dapat berobat jalan,
teruma jika kolangitis akut ringan yang kambuh/berulang (misalnya pada pasien
dengan batu intrahepatik). Namun demikian umumnya dokter menyarankan
perawatan rumah sakit pada kasus kolangitis akut. Kolangitis ringan sampai
sedang dapat ditatalaksana di ruangan umum, akan tetapi pada kolangitis berat
sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit)3,12,13
Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik intravena harus diberikan sesegera mungkin. Pedoman
pemberian antibiotik sebaiknya berdasarkan pola infeksi spesifik dan resistensi
lokal rumah sakit. Beberapa panduan menyarankan pada kolangitis akut ringan
sebaiknya pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan sefalosporin generasi
pertama atau kedua, penisilin dan penghambat β laktam. Sedangkan kolangitis
sedang sampai berat sebaiknya pemberian antibiotik minimal 5-7 hari dengan
sefalosporin generasi ketiga atau keempat, non baktam dengan atau tanpa
metronidazol untuk kuman anaerob, atau karbapenem. Rekomendasi lain
menyarankan regimen berikut pada pasien kolangitis akut ringan sampai sedang

14
atau community acquired: (misalnya Ampisilin sulbactam iv 3 gram setiap 6 jam,
atau ertepenem 1gram sekali sehari, atau ampisilin iv 2 gram setiap 6 jam plus
gentamicin iv 1.7 mg/kgbb setiap 8 jam atau golongan fluorokuinolon (misalnya
siprofloksasin iv 400 mg setiap 12 jam, levofloksasin iv 500 mg sekali sehari, atau
moxiflokasain iv atau oral 400 mg sekali sehari) ditambah metronidazol iv 500mg
setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. Untuk pasien kolangitis akut berat atau
nosokomial (hospital acquired), direkomendasikan pemberian antibiotik sebagai
berikut: piparisilin-tazobaktam (3.375 gr iv stiap 6 jamatau 4.5 gr iv setiap 8 jam),
stau 3.1 gr iv tikarsilin-klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin (100 mg iv bolus,
diteruskan 50 mg iv sekali sehari) atau sefalosporin generasi ketiga (misalnya
seftriakson 1-2 gr sekali sehari atau cefepim 1-2 gr setiap 12 jam) dengan
metronidazol iv 500 mg setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. 11,12,13
Pada pasien yang resiko tinggi terkena pathogen resistensi antibiotik dapat
diberikan imipenem iv 500 mg setiap 6 jam, meropenem iv 1 gr setiap 8 jam atau
doripenem iv 500 mg setiap 8 jam. Pengecualian terdapat pada semua panduan,
misalnya sefalosporin generasi pertama tidak mencakup infeksi enterococcus spp.
Walaupun cefazolin disetujui untuk terapi kolangitis akut. Karena itu pemilihan
terapi antibiotik sebaiknya berdasarkan sejumlah faktor meliputi sensitivitas
antibiotik, beratnya penyakit, adanya disfungsi ginjal atau hati, riwayat pemakaian
antibiotik sebelumnya, pola resistensi kuman lokal dan penetrasi bilier dari
antibiotik. Pilihan antibiotik harus disesuaikan dengan hasil kultur darah dan
cairan empedu begitu diperoleh, namun pemberian antibotik tidak boleh
terhambat/tertunda karena menunggu hasil kultur. Pada akhirnya yang lebih
penting dari pemilihan terapi antibiotik adalah drainase bilier efektif, karena
adanya obstruksi menghambat ekskresi bilier antibiotik. Pada suatu studi, dimana
pasien mendapat satu antibiotik (ceftazime, cefoperazone, imipenem, netilmisin
atau siprofloksasin), hanya siproflokasasin diekskresi kedalam sistem bilier yang
obstruksi dan hanya 20% dari konsentrasi serum10.11.12
Drainase bilier
Drainase bilier biasanya diperlukan pada pasien kolangitis akut untuk
menghilangkan sumber infeksi dan juga karena obstruksi dapat menurunkan
ekskresi bilier antibiotik. Beratnya penyakit menetukan dan menegaskan saatnya

15
untuk dilakukan drainase. Drainase dapat dilakukan secara elektif pada pasien
kolangitis akut ringan, dalam 24-28 jam pada pasien kolangitis sedang, dan segera
(dalam beberapa jam) pada pasien kolangitis berat karena tidak akan merespon
dengan pemberian antibiotik saja. Beratnya kolangitis ditentukan oleh respon
klinik terhadap terapi medical sebagaimana diuraikan dalam TG13, sehingga
penggolangan derajat beratnya penyakit kolangitis akut menuntut observasi untuk
mengetahui pasien-pasien mana akan respons baik terhadap terapi. Pada suatu
studi didapatkaan bahwa sekitar 80% pasien kolangitis akut merespon terhadap
terapi medical saja dan resolusi infeksi.11,12 Namun semua pasien tersebut
akhirnya memerlukan tindakan pembersihan saluran bilier untuk mencegah
kekambuhan kolangitis. Suatu studi dari Hongkong melakukan ERCP emergency
pada 225 pasien kolangitis. 13

Table 2. Rekomendasi antimikrobial untuk infeksi bilier akut6,12


Community-acquired biliary infections Healthcare-
associated biliary
infections
Severity Grade I Grade II Grade III

Antimicrobial Cholangitis Cholangitis & Cholangitis & Healthcare-


agents cholecystitis cholecystitis associated
cholangitis &
cholecystitis
Penicillin Ampicilin/Sulabctam is Piperacillin Piperacillin Piperacillin
based therapy not recommended /tazobactam /tazobactam /tazobactam
without an
aminoglycoside
Cephalosporin- Cefazolin, or cefotiam, Ceftriaxon, or Cefepime, or Cefepime, or
based therapy or cefuroxime,or cefotaxime, or ceftazidime, ceftazidime,
ceftriaxone,or cefepim, or or or
cefotaxime ± cefozopran, or cefozopran ± cefozopran ±
metronidazol ceftazidime ± metronidazol metronidazol
d
metronidazol

Cefmetazole, cefoxitin,
Flomoxef, Cefoperazone/

Cefoperazone/sulbactam sulbactam

16
Carbapenem- Ertapenem Ertapenem Imipenem/cilastatin, Imipenem/cilastatin,
based therapy meropenem, meropenem,
doripenem, doripenem,
ertapenem ertapenem
Monbactam- - - Aztreonam ± Aztreonam ±
based therapy metronidazol metronidazol
Fluoroqui Ciprofloxacin, or Ciprofloxacin, or - -
Nolone based levofloxacin, or levofloxacin, or
therapy pazufloxacin ± pazufloxacin ±
metronidazol metronidazol

Moxifloxicam Moxifloxicam

Frekuensi denyut jantung >100 x/menit, kadar albumin <30 g/l, kadar
bilirubin >50 µmol/l dan masa protrombin > 14 detik pada saat masuk rumah sakit
signifikan berkaitan dengan diperlukannya ERCP, serta menunjukkan terapi
endoskopi lebih aman dibandingkan pembedahan dalam tatalaksana kolangitis
akut, sehingga dekompresi surgical tidak mempunyai peranan dalam managemen
kolangitis akut. Sebuah studi secara random mengalokasikan 82 pasien dengan
kolangitis akut berat kedalam 2 grup, endoskopi atau dekompresi bilier surgical,
kelompok surgical signifikan lebih banyak mengalami komplikasi dan mortalitas
selama di rumah sakit dibandingkan kelompok endoksopi (66% vs 34%, p >0.05
dan 32% vs 10%, p<0.03 secara berurutan). Dengan demikian, pasien dengan
kolangitis akut sebaiknya masuk dirawat diruangan medical untuk terapi antibiotik
intravena dan dekompresi endoskopi. Dekompresi bilier surgical sebaiknya
dihindari pada pasien kolangitis akut.12
ERCP lebih jadi pilihan dibandingkan PTBD (percutaneus biliary drainage)
karena lebih tidah invasif, lebih aman, dapat dilakukan bedside dan dapat
membersihkan batu saluran empedu, tidak perlu koreksi koagulopati dan dapat
dilakukan tanpa paparan radiasi jika perlu (pada pasien yang hamil). Keberhasilan
ERCP lebih tinggi dibandingkan PTBD untuk tatakasana obstruksi CBD, namun
PTBD dipertimbangkan pada obstruksi hilar, bila ahli endoskopi tidak tersedia.
PTBD biasanya dilakukan pada pasien yang gagal dengan ERCP awal atau bila
terdapat anatomi yang abnormal akibat prosedur pembedahan sebelumnya seperti

17
koledokoyeyunostomi, kecuali bila ahli endsokopi utntuk tatalaksana pasien
seperti itu ada.13,14
Pasien dengan kolangitis akut dimana kontras tidak terdrainase setelah gagal
ERCP dapat memerlukan drainase bilier perkutan mendesak untuk menghindari
perburukan sepsis. Kolangitis akut yang terjadi stelah manipulasi saluran bilier
merupakan faktor resiko prognosis buruk pada kolangitis akut. Karena itu tidak
direkomendasikan injeksi kontras tanpa terlebih dahulu menempatkan guidwire
kedalam sistem bilier. Pada umumnya pusat endoskopi, keberhasilan ERCP untuk
drainase bilier lebih dari 90%, jika tidak demikian sebaiknya dirujuk pada
unit/pusat layanan endoskopi yang lebih baik. EUS terbatas, bila tersedia
sebaiknya dilakukan sebelumnya untuk evaluasi dilatasi saluran bilier intrahepatik
dan ekstrahepatik, adanya batu, massa pankreas atau hilus atau batu kandung
empedu. Aspirasi jarum halus pada suatu massa sebaiknya dilakukan hanya jika
pasien stabil dan tidak memerlukan dekompresi bilier mendesak.13,14

Gambar 1.Alur penatalaksanaan kolangitis akut menurut Tokyo Guidline 2013.11

18
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : TH
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 47 tahun
Alamat : Jalan Dukuh Sari, Gang Kaliasem, No.3, Denpasar
Status : Menikah
Bangsa : Indonesia
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Supir Taksi
Pendidikan terakhir : Tamat SMA
Nomor Rekam Medis : 16022013
Tanggal MRS : 2 November 2016
Tanggal Pemeriksaan : 10 November 2016

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah pada tanggal 2 November 2016
diantar keluarga mengeluh nyeri perut kanan atas. Nyeri perut kanan atas yang
dirasakan pertama kali kurang lebih sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri perut kanan atas tersebut dikatakan berlangsung hilang timbul, dan terasa
seperti tertusuk benda tumpul. Nyeri dirasakan menyebar sampai punggung dan
bahu kanan. Keluhan nyeri dirasakan memburuk sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri dikatakan memberat apabila pasien menarik nafas dan tidak
berkurang bila merubah posisi seperti posisi duduk atau tidur. Tidak jarang
menurut pasien, nyeri muncul setelah pasien makan, sehingga pasien takut untuk
makan terlalu banyak

19
Pasien juga mengeluhkan mual sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit bersamaan dengan keluhan nyeri perut. Mual disertai dengan muntah
dikatakan memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Muntah dialami
pasien terutama ketika mengkonsumsi makanan. Muntah berisikan makanan dan
minuman yang dikonsumsi dengan volume setengah gelas air mineral per hari.
Pasien juga mengeluh panas badan yang sumer-sumer semenjak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit dan dirasakan memberat sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Panas dirasakan diseluruh tubuh. Panas dikatakan tidak terlalu tinggi,
namun pasien tidak sempat mengukur. Panas badan dikatakan membaik dengan
pemberian Parasetamol namun naik kembali beberapa jam setelahnya.
Mata berwarna kuning disertai warna kuning pada kulit juga dirasakan
pasien sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Mata kuning tersebut
dirasakan muncul secara perlahan-lahan, semakin lama semakin kuning dan
menetap. Warna kuning di mata tersebut tidak hilang meskipun dikucek-kucek
dan dibilas dengan air. Pasien mengatakan keluhan warna kuning pada mata
diikuti dengan perubahan warna kuning pada kulit pasien yang berlangsung
perlahan – lahan.
Kencing dikatakan berwarna gelap seperti teh sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan tersebut dikatakan terus-menerus sampai pasien tiba
di Rumah Sakit. Pasien mengaku buang air kecil 3-4 kali per hari dengan volume
kurang lebih 1 gelas air mineral. Buang air besar dikatakan berwarna putih pucat
dengan konsistensi lembek sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Buang air
besar pucat dirasakan sebanyak 2 kali dengan volume setengah gelas air mineral
setiap buang air besar.
Pasien juga mengatakan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir merasakan
badannya semakin kurus. Namun pasien tidak mengetahui pasti penurunan berat
badan yang dialaminya.

Riwayat Pengobatan dan Penyakit Sebelumnya


Pasien mengatakan 10 tahun yang lalu sempat didiagnosis dengan penyakit
Hepatitis B di Rumah Sakit Wangaya. Saat itu pasien mengaku mengeluh

20
badannya terasa lemas dan matanya berwarna kuning. Pasien sempat diberikan
pengobatan namun pasien lupa nama obatnya.
Pada bulan Mei 2016 pasien mengaku sempat pergi ke Puskesmas dengan
keluhan demam, nyeri pada perut kanan disertai dengan mual. Pasien mengaku di
diagnosis dengan Maag dan diberikan obat berupa Antasida dan Paracetamol.
Pasien mengaku keluhan yang dirasakannya tidak membaik setelah
mengkonsumsi obat yang diberikan dari Puskesmas. Kemudian pada bulan Juli
2016, pasien datang ke RSUP Sanglah dengan keluhan yang sama disertai dengan
mata berwarna kuning. Pasien mengaku sempat dirawat di RSUP Sanglah selama
17 hari dikatakan karena terdapat sumbatan pada kandung empedunya.
Penyakit sistemik lainya, penyakit diabetes, hipertensi, asma, penyakit
jantung, penyakit ginjal disangkal oleh Pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat penyakit yang sama
dengan pasien saat ini. Riwayat penyakit kuning dalam keluarga penderita
dikatakan tidak ada oleh keluarga pasien. Riwayat kencing manis, darah tinggi dan
penyakit jantung pada keluarga dikatakan tidak ada oleh keluarga pasien.

Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien adalah seorang supir taksi namun semenjak sakit pasien mengambil
cuti dari pekerjaannya. Pasien mengaku tidak memiliki jadwal teratur untuk
makan kadang melewatkan jadwal makanya. Pasien memiliki kebiasaan yang
tergolong tidak baik, pasien mengaku sering makan mengkonsumsi makanan
berlemak, goreng-gorengan, atau santan selama bekerja. Pasien juga mengaku
sering mengkonsumsi minuman penambah stamina seperti “extrajoss” selama
melakukan pekerjannya. Dalam sehari pasien dapat mengkonsumsi extrajoss
sebanyak 4 botol air mineral tanggung dimana tiap botol berisikan 2-3 sachet
“extrajoss”. Pasien juga memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus perhari sejak
berusia 18 tahun. Riwayat mengkonsumsi alkohol maupun jamu-jamuan
disangkal oleh pasien.

21
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Kesan sakit : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Tax : 36,8 0C
VAS : 3/10
Tinggi Badan : 170 cm
Berat Badan : 60 kg
IMT : 20,7 kg/m2

Status General
Mata : anemis-/-, ikterus +/+, refleks pupil +/+ isokor
THT
Telinga : bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ataupun
bekas luka.
Hidung : bentuk normal, tanda-tanda radang (-), ekskoriasi (-)
Tenggorokan : pembesaran tonsil (-), hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Lidah : atrofi papil lidah (-), mukosa bibir kering (-)
Leher : JVP + PR 0 cmH2O, Pembesara kelenjar getah bening
tidak ada
Thorak:
Jantung:
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas atas : ICS II
batas kanan : PSL D
batas kiri : MCL S ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler murmur (-)

22
Paru :
Inspeksi : Simetris (statis dan dinamis)
Palpasi : Tactile fremitus N/N
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronchi -/-, Wheezing -/-
+/+ -/- -/-
+/+ -/- -/-
Abdomen:
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (+) dikanan atas,
Murphy sign (+)
Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Ekstremitas : hangat ,edema ,eritema palmaris

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Darah Lengkap (2 November 2016)
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks
WBC 13,65 103µL 4,10-11,00 Tinggi
% NEUT 81,62 % 47,00-80,00 Tinggi
% LYMPH 12,72 % 13,00-40,00 Rendah
% MONO 5,01 % 2,00-11,00
% EOS 0,16 % 0,00-5,00
% BASO 0,49 % 0,00-2,00
#NEUT 11,14 103µL 2,50-7,50 Tinggi
#LYMPH 1,74 103µL 1,00-4,00
#MONO 0,68 103µL 0,10-1,20
#EOS 0,02 103µL 0,00-0,50
#BASO 0,07 103µL 0,00-0,10
RBC 4,64 106µL 4,00 – 5,90

23
Hemoglobin 13,47 g/dL 13,50-17,50
Hematokrit 42,92 % 41,00-53,00
Platelet 272,10 103µL 150,00-440,00
MCV 92,54 fL 80,00-100,00
MCH 29,05 Pg 26,00-34,00
MCHC 31,39 g/dL 31,00-36,00
RDW 12,90 % 11,60-14,80

b. Kimia Klinik (2 November 2016)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Remarks
SGOT 70,8 U/L 11,00-33,00 Tinggi
SGPT 26,50 U/L 11,00-50,00
Bil Total 6,01 mg/dL 0,30-1,10 Tinggi
Bil Direk 5,78 mg/dL 0,00-0.30 Tinggi
Bil Indirek 0,23 mg/dL 0,00-0.80
Alkali 515 mg/dL 42-98 Tinggi
Phophatase
Total Protein 7,7 g/dL 6,40-8,30
Albumin 4,1 g/dL 3.40-4,80
Globulin 3,62 µg/dL 3,2-3,7
Gamma GT 950 U/L 7,00-32,00 Tinggi
BUN 7,9 mg/dL 8,00-23,00
Creatinin 0,95 mg/dL 0,70-1,20
GDS 115 mg/dL 70,00-140,00
Amilase 22,9 U/L 25-120 Rendah
Lipase 18,0 U/L 13-60
Natrium 131 mmol/L 136,00,145,00 Rendah
Kalium 4,0 mmol/L 3,50-5,10

24
c. Hematologi (2 November 2016)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Remarks


PPT 13,7 detik 10,8-14,4
INR 0,95 0,9 – 1,1
APTT 39,7 detik 24 – 36 Tinggi

d. Analisis Gas Darah (2 November 2016)


Parameter Hasil Satuan Nilai Normal Remarks
pH 7,49 7,35 – 7,45
pCO2 31,2 mmHg 35,00 – 45,00 Rendah
pO2 94,20 mmHg 80,00 – 100,00
BEecf -0,5 mmol/L -2 – 2 Rendah
HCO3- 23,00 mmol/L 22,00 – 26,00
SO2c 97,7 % 95% - 100%
TCO2 23,90 mmol/L 24,00 – 30,00 Rendah
Natrium (Na) 134 mmol/L 136 – 145 Rendah
Kalium (K) 3,28 mmol/L 3,50 – 5,10 Rendah
Klorida (Cl) 101 mmol/L 96 – 108

e. Pemeriksaan Imunoserologi (2 November 2016)


Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

HBeAG# Non Reaktif Non Reaktif

Anti-HBe Reaktif Non Reaktif

HBV-DNA (Real time PCR) Virus terdeteksi = 1,63 x 104 Virus Tidak terdeteksi

25
f. Rontgen Thorax (2 November 2016)

Cor: Besar dan bentuk normal


Pulmo: Tak tampak infiltrate/nodul
Sinus pleura kanan kiri tajam
Diapragma kanan kiri normal
Tulang-tulang tak tampak kelainan
Kesan : Cor dan pulmo tak tampak kelainan

26
g. USG Abdomen (4 November 2016)

Hepar : Ukuran tidak membesar, permukaan licin,sudut tajam, tepi rata, tampak
pelebaran IHBD, EHBD lobus kanan-kiri, sistem Vaskular tampak normal,
echoparenkim normal, tak tampak masa/nodul/kista.

27
Tampak batu di CBD proximal dengan pnp 1,14 cm disertai dilatasi lumen CBD
dan penebalan dinding CBD
Lien : Ukuran normal, echoparenkim normal, tak tampak SOL
Pankreas : Ukuran normal, echoparenkim normal, tak tampak SOL
Ginjal Kanan : Ukuran normal, echoparenkim normal, batas sinus kortex jelas,
PCS tidak melebar, tak tampak batu/massa/kista
Ginjal Kiri : Ukuran normal, echoparenkim normal, batas sinus kortex jelas, PCS
tidak melebar, tak tampak batu/massa/kista
Buli : Terisi urin minimal, sulit dievaluasi, kesan tak tampak kelainan
Uterus : Kesan tak tampak kelainan
Tak tampak echocairan bebas pada cavum abdomen dan cavum pelvis
Kesan :
 Sesuai gambaran Cholangitis dengan batu CBD proximal yang
menyebabkan cholestasis intra dan ekstrahepatal lobus kanan-kiri hepar
 Pankreas/lien/ginjal kanan-kiri saat ini tak tampak kelaianan.

28
d. ERCP ( 9 November 2016)

Duodenoscopy : Papula Vaseri tampak bulging.


Cholangiogram : Tampak pelebaran CBD, CHD, dan IHBD dengan bayangan
beberapa buah batu CBD, ekspasi batu dengan menggunakan Ballon tampak
keluar batu 3 buah, hitam dan batu kecil-kecil disertai pus, empedu keluar lancar.
Kesimpulan : - Batu CBD multiple,- Cholangitis

V. DIAGNOSIS
 Kolangitis Akut
- Batu CBD Multipel
 Suspek Kolesistitis Akut
 Hepatitis B Kronik

29
VI. PENATALAKSANAAN
Terapi :
 IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
 Paracetamol 750 mg @8 jam (po)
 Levofloxacine 500 mg @24 jam (iv)
 Pethidine 50 mg @24 jam (iv)
 Domperidone 10 mg @8 jam (po)
 Diet lunak 1900 kkal rendah lemak
Monitoring :
 Keluhan
 Vital sign

VII. PROGNOSIS
 ad vitam : dubia ad bonam
 ad fungtionam : dubia ad bonam
 ad sanationam : dubia ad bonam

30
BAB IV
PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN

4.1 Alur Kunjungan


Kunjungan yang dilakukan pada tanggal 24 November 2016 bertujuan
untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien serta masalah apa saja yang saat ini
dihadapi berkenaan dengan kesehatannya. Kunjungan diawali dengan berbincang
tentang keseharian pasien setelah keluar RS, menggali faktor-faktor resiko yang
berhubungan dengan kejadian sakit pasien. Kemudian kami meminta ijin
mengabadikan lingkungan rumah pasien.
Berdasarkan kunjungan yang dilakukan, maka kami mencoba memberikan
jawaban dari permasalahan yang ada di pasien. Adapun intervensi yang kami
lakukan adalah:
a. Edukasi pada pasien untuk meningkatkan pengetahuan pasien atau keluarga
tentang kolangitis akut dengan batu CBD dan kolesistitis akut (penyebab,
tanda ,gejala, penanganan dini dan pencegahannya).
b. Memotivasi keluarga untuk ikut terlibat dalam perawatan pasien.
c. Menyadarkan pasien atau keluarga akan pentingnya perilaku hidup sehat.

4.2 Daftar Masalah


Adapun permasalahan yang kami dapatkan adalah sebagai berikut :
1. Pasien belum sepenuhnya mengerti mengenai penyakit yang
dideritanya, antara lain:
- Arti dari penyakit yang dideritanya yakni kolangitis akut,
kolesistitis akut dan batu CBD.
- Faktor resiko yang memungkinkan munculnya batu CBD.
- Pengobatan yang dilakukan, maafaat obat yang diberikaan pada
pasien kolesistitis akut dan batu CBD.
- Komplikasi yang dapat ditimbulkan, gejala-gejala kegawatan
kolangitis akut,kolesistitis akut dan batu CBD.
2. Pasien masih sering merasa mual saat makan sehingga makan sedikit.

31
3. Pasien masih belum tahu betul apa saja pilihan makanan yang bisa
dikonsumsi.
4. Pasien saat ini masih cuti bekerja karena merasa badannya masih lemas.

4.3 Analisis Kebutuhan Pasien


4.3.1 Kebutuhan fisik-biomedis
4.3.1.1 Kecukupan Gizi
Jenis Jumlah Jadwal/hari Jadwal/minggu
Karbohidrat
Nasi 1 piring 2-3x/hari 18-21x/minggu
Roti 2 potong 1x/hari 3x/minggu
Mie Jarang - -
Singkong 2 potong 2x/hari 1x/minggu
Protein
Hewani
Ayam 2 potong 1 kali ± 2 x/ minggu
Telur 1 butir 2 kali ± 3 x/ minggu
Ikan 2 potong 1 kali ± 3 x/ minggu

Nabati
Tahu-tempe 2-4 potong 3 kali ± 3 x/ minggu
Kacang - - -
Susu 1 gelas 1 kali ± 3 x/ minggu
Buah 2 buah 1 kali ± 3 x/ minggu

Sayur 3 porsi 3 kali ± 6 x/ minggu


Lainnya: kopi - - -
Menurut pengakuan pasien, dalam sehari pasien makan dua sampai tiga
kali sehari. Menu makanan bervariasi, dengan uraian menu untuk sarapan berupa
nasi, sayur, tempe, tahu, ayam, ikan sedangkan untuk makan siang dan malam
menunya adalah nasi, sayur, tempe, tahu, ayam, ikan. Kadang-kadang ditambah
buah-buahan.

32
Analisis Kebutuhan Kalori
Kebutuhan kalori pasien dapat dihitung dengan menggunakan rumus Brocca
dengan pertama-tama menentukan berat badan ideal (BBI).
BBI = (TB – 100) – (10% x (TB-100))
= (170-100) – (10% x (170-100))
= 63 kg
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan, berat badan pasien saat
ini adalah 60 kg dengan BMI 20,7 kg/m2. Selanjutnya dilakukan perhitungan
kebutuhan kalori basal dan penyesuaian kebutuhan kalori pasien sesuai kondisi
pasien.
1. Kebutuhan Kalori Basal (jenis kelamin: laki-laki)
= BBI x 30 kalori
= 63 kg x 30 kalori = 1890 kalori
2. Penyesuaian
Tingkat aktivitas  ringan, maka ditambah 20% dari kebutuhan kalori
basal.
20% x 1890 kalori= 378 kalori
Stress metabolik  berat, ditambah 30% dari kebutuhan kalori basal
30% x 1890 kalori = 567 kalori
Total kebutuhan kalori pasien dalam satu hari adalah 1890 kalori + 378 kalori +
567 kalori yaitu 2837 kalori/hari

Distribusi Makanan
Jumlah kalori per hari pasien ini, dibagi dalam 3 porsi makan utama dan 2 porsi
makan selingan, yaitu:
a. Makan Pagi : 20% x 2837 kalori = 567,4 kalori
b. Makan Siang : 30% x 2837 kalori = 851,1 kalori
c. Makan Sore : 25% x 2837 kalori = 709,25 kalori
d. Selingan 1 : 15% x 2837 = 425,55 kalori
e. Selingan 2 : 10% x 2837 = 283,7 kalori

33
Distribusi makanan berdasarkan komponen makanan, adalah:
Waktu Total Karbohidrat Protein Lemak
Makan (kalori) (60% x kalori) (20% xkalori) (20% x kalori)

Makan Pagi 567,4 340,44 kalori 113,48 kalori 113,48 kalori

Makan Siang 851,1 510,66 kalori 170,22 kalori 170,22 kalori

Makan Sore 709,25 425,55 kalori 141,85 kalori 141,85 kalori

Selingan 1 425,55 - - -

Selingan 2 283,7 - - -

Pemilihan Jenis Makanan


Melalui perhitungan tersebut, maka penulis mencoba untuk memberikan suatu
pola jadwal yang mencakup pilihan jenis makanan dan jumlah makanan.
Perhitungan di atas sudah disesuaikan dengan kondisi penyakit pasien. Pemilihan
jenis makanan pun disesuaikan dengan makanan yang tersedia dan terjangkau bagi
pasien. Dalam hal ini pasien sebaiknya diberikan makanan yang rendah lemak.
Bahan makanan yang dianjurkan :
- Sumber Karbohidrat: nasi, bihun, mie, roti, kentang, gula.
- Sumber Protein Hewani: ikan, ayam.
- Sumber Vitamin dan Mineral : semua sayur dan buah.
Bahan makanan yang perlu dihindari :
- Makanan cepat saji, makanan berminyak, dan makanan pedas
- Daging merah, telur dalam jumlah yang banyak
- Kacang-kacangan

Contoh Makanan Sesuai Kebutuhan


Waktu Jumlah Jenis Jenis
Makan ± 20% dari Karbohidrat: 340,44 kal - Nasi putih (1 gelas)
Pagi total asupan Lemak: 113,48 kal - Susu sapi (1 gelas)
harian Protein: 113,48 kal - Telor ayam(1 butir)

34
(567,4
kalori)
Selingan ± 10% dari - Pepaya 2 potong sedang
Pagi total asupan - Susu sapi (1 gelas)
harian
(425,55
kalori)
Makan ± 30% dari Karbohidrat: 510,66 kal - Nasi putih (1,5 gelas)
Siang total asupan Lemak: 170,22 kal - Pepes ayam (1 potong)
harian Protein: 170,22 kal - Telor ayam (1 butir)
(851,1 - Sup/sayur (1 mangkuk)
kalori)
Selingan ± 15% dari - Singkong 2 potong sedang
Siang total asupan - Bubur kacang ijo (1 gelas)
harian
(283,7
kalori)
Makan ± 25% dari Karbohidrat: 425,55 kal - Nasi putih (1 gelas)
malam total asupan Lemak: 141,85 kal - Daging ayam (1 potong
harian Protein: 141,85 kal sedang)
(709,25 - Tahu (1/2 potong sedang)
kalori) - Sayur (1 mangkuk)

4.3.1.2 Kegiatan Fisik


Semenjak sakit pasien mengatakan jarang beraktifitas. Pasien lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk duduk dirumah. Pasien juga jarang keluar rumah
dan melakukan aktivitas berat. Pasien jarang berolahraga karena apabila
melakukan olah raga pasien merasa cepat lelah. Pasien juga tidak terlalu sering
mengikuti berbagai kegiatan di lingkungan rumahnya.

35
4.3.1.3 Akses pelayanan kesehatan
Rumah pasien dapat dikategorikan mudah terjangkau. Untuk mencapai
jalan utama memerlukan waktu sekitar 5 menit dengan kondisi jalan yang relatif
baik. Akses pelayanan kesehatan yang paling dekat adalah Rumah Sakit Sanglah
sekitar 15 menit perjalanan. Pasien memiliki kendaraan pribadi berupa 1 buah
sepeda motor. Apabila pasien mengalami kekambuhan baisanya istri pasien
meninta tolong pada tetangga sebelah rumahnya untuk mengantar ke RSUP
Sanglah. Sedangkan untuk koktrol ke poliklinik setiap 2 minggu, pasien diantar
oleh istrinya dengan mengendarai sepeda motor.
4.3.1.4 Lingkungan
Saat ini pasien tinggal bersama istri dan satu orang anaknya di rumah.
Rumah pasien terdiri atas 1 bangunan yang tidak permanen. Dalam bangunan
terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 dapur, dan 1 kamar mandi. Setiap
ruangan hanya dibatasi dengan menggunakan kayu triplek, atap rumah pasien
masih menggunakan aluminium. Rumah pasien sangat berdekatan dengan rumah
tetangga. Keadaan rumah pasien cukup gelap dan lembab karena kurangnya
ventilasi udara. Lantai rumah pasien berupa plaster semen namun sebagian berupa
keramik. Sumber air untuk mandi dan mencuci baju berasal dari sumur yang
ditimba sendiri. untuk air minum dan keperluan memasak juga menggunakan air
yang berasal dari sumur timba dan dimasak. Pasien memiliki 1 buah kamar mandi
lengkap dengan jamban pribadi. Tempat pembuangan sampah menggunakan
tempat sampah. Dari analisis pasien dapat digolongkan sebagai ekonomi kurang.

4.3.2 Kebutuhan Bio-psikososial


4.3.2.1 Lingkungan Biologis
Pasien adalah penderita kolangitis akut dengan batu CBD dan kolesistitis
akut serta memiliki riwayat hepatitis B kronis, dalam lingkungan
biologis/keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat yang sama dengan
pasien. Keluhan saat ini yang dialami pasien yakni mual dan muntah yang masih
menetap. Pasien mengeluh masih sedikit lemas dan terjadi penurunan aktivitas
sehari-hari.

36
4.3.2.2 Faktor psikososial
Dalam keadaan sakit ini pasien sangat membutuhkan pengertian dan
dukungan dari keluarga. Terutama karena harus menjaga asupan makan pasien,
dan pengawasan minum obat dan keluhan-keluhan pasien. Pasien mengatakan saat
ini dirinya sangat ingin sembuh, pasien memotivasi dirinya untuk semangat dan
kembali bekerja. Jika dibandingkan dengan sakit yang pertama kali pada bulan
Oktober pasien merasa ada perbedaan motivasi yang dirasakan. Pasien mampu
hidup bersama dengan sakitnya dan masih bisa beraktivitas tanpa perasaan
depresi. Pasien mengatakan sangat bersemangat untuk sembuh, pasien selalu
teratur makan dan minum juga mengkonsumsi obat. Istri serta anak pasien juga
sangat mendukung kesembuhan pasien. Istri pasien juga selalu bersiaga terhadap
gejala-gejala yang terjadi pada suaminya yang tampak dari pertanyaan-
pertanyaannya pada pemeriksa tentang sakit yang dialami pasien.

4.4 Saran Dan Pemecahan Masalah


Pemecahan masalah pada pasien harus dilakukan secara
berkesinambungan, dimana harus melibatkan kesadaran dari pasien sendiri dan
dukungan dari banyak pihak, terutama dalam mengatasi masalah yang berkaitan
dengan pola makan pasien. Beberapa saran yang bisa diberikan antara lain:
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya.
Pemahaman yang baik dari pasien, akan memudahkan kita dalam
mencapai kepatuhan terapi.
2. Memberitahukan kepada pasien pentingnya untuk menjaga pola makan
pasien yang teratur dan dengan kadar gizi yang cukup. Memberikan
nasihat kepada pasien untuk makan secara teratur minimal 3 kali sehari
dan keluarga juga diharapkan mengawasi waktu makan pasien. Menjaga
asupan gizi yang seimbang pada pasien terutama mengkonsumsi
makanan kaya akan serat, rendah kolesterol, rendah lemak. Dengan
asupan gizi yang baik dan teratur makan kondisi pasien akan semakin
membaik.
3. Memberikan KIE pada pasien agar segera memeriksakan diri ke dokter
atau pelayanan medis terdekat jika sedang sakit. Terutama apabila ada

37
tanda kegawatan/komplikasi dari batu CBD seperti nyeri hebat di perut
kanan atas, kuning, demam tinggi, dan mual muntah
4. Memberi motivasi kepada pasien dan keluarga untuk selalu semangat
walaupun dalam kondisi sakit. Selalu mendukung dan menemani pasien
dalam kondisi sakitnya, agar pasien tidak jatuh depresi yang malah akan
memperberat kondisi sakit pasien.

4.5 Denah Rumah Pasien

Kamar Dapur Kamar Tidur


Mandi (1)

Ruang Tamu
Kamar Tidur
(2)

38
BAB V
KESIMPULAN

Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam, sakit
kuning, dan nyeri perut kanan atas (Triad Charcod), yang berkembang sebagai
akibat dari stasis/sumbatan dan infeksi di saluran empedu. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan meliputi pemeriksaan darah rutin, fungsi hati (SGOT & SGPT),
alkali fosfatase, dan bilirubin serum, dan kultur bakteri dari sampel darah. Studi
pencitraan yang dapat membantu adalah USG, ERCP, PTC, CT scan Helical
dengan kontras, dan MRCP. Penanganannya harus segera dilakukan berupa
pemberian antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau sesuai pola
kuman di tempat tersebut, dan harus dilakukan tindakan drainase. Pada kasus ini
pasien laki-laki, usia 47 tahun, mengeluhkan nyeri perut, mual muntah, demam
dan lemas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Pasien mendapat perawatan
selama 17 hari di RSUP Sanglah dengan diagnosis kolangitis akut dengan batu
CBD multiple, dan suspek kolesistitis akut.
Pada kunjungan belajar lapangan yang dilakukan, ditemukan beberapa
permasalahan utama yang di identifikasi pada pasien yaitu ; 1) Pasien belum
sepenuhnya mengerti mengenai penyakit yang dideritanya, antara lain: arti dari
penyakit yang dideritanya yakni kolangitis akut dengan batu CBD, faktor resiko
munculnya batu CBD, pengobatan yang dilakukan, manfaat obat yang diberikaan,
komplikasi yang dapat ditimbulkan, gejala-gejala kegawatan dari kolangitis dan
kolesistitis akut dan batu CBD. 2) Pasien masih sering merasa mual saat makan
sehingga makan sedikit. 3) Pasien masih belum tahu betul apa saja pilihan
makanan yang bisa dikonsumsi. 4) Pasien saat ini masih cuti bekerja karena
merasa badannya masih lemas. Dari permasalahan tersebut, diberikan beberapa
solusi dengan memberikan KIE kepada pasien dan keluarga pasien untuk
menemukan solusi pemecahan masalah bersama. Diberikan juga motivasi kepada
pasien dan keluarga untuk selalu semangat dan mendukung dan menemani pasien
dalam kondisi sakitnya.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauzi A. Kolangitis Akut. Dalam: Rani A, Simadibrata M, Syam AF, Editor.


Buku ajar Gastroenterohepatologi. Edisi-1. Jakarta: Interna Publishing;
2011:579-90.
2. Leung JW,et al. Bacteriologic Analysis of Bile and Brown Pigment Stones in
Patients with Acute Cholangitis. Gastrointest Endosc. 2001;54:340-5
3. Kimura Y, Takada T, Karawada Y, Nimura Y, Hirata K, Sekiomto M,et al.
Defenitions, Pathophysiology, and Epidemiology of Acute Cholangitis and
Cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg. 2007;14:15-
26
4. Satapathy SK, Shifteh A, Kadam J, Friedman B, Cerulli M A, Yang SS. Acute
Cholangitis Secondary to Biliary Ascariasis, A Case Report. Practical
Gastroenterology. Maret 2011:44-46
5. Gomi H, Solomkin JS, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Yoshida M. TG13
Antimicrobial Therapy for Acute Cholangitis and Cholecystitis. J
Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:60–70
6. Kimura Y, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Dirk J. Gouma, et al. TG13
Current Terminology, Etiology, and Epidemiology of Acute Cholangitis and
Cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:8–23
7. Attasaranya S, Fogel EL, Lehman GA, Choledocholithiasis, Ascending
Cholangitis, and Gallstone Pancreatitis. Med Clin N Am. 2008;92:925–960
8. Higuchi R, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Gouma DJ, Garden OJ. TG13
Miscellaneous Etiology of Cholangitis and Cholecystitis. J Hepatobiliary
Pancreat Sci. 2013;20:97–105
9. Sung JY, Costerton JW, Shaffer EA. Defense system in the biliary tract
against bacterial infection. Dig Dis Sci. 1992; 37:689.
10. Miura F, Takada T, Strasberg MS, Solomkin JS, Pitt HA, Gouma DJ, TG13
flowchart for the management of acute cholangitis and cholecystitis. J
Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:47–54

40
11. Okamoto K, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Garden OJ.
TG13 management bundles for acute cholangitis and cholecystitis. J
Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:55–59
12. Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Gomi H, Yoshida M, Mayumi
T. TG13: Updated Tokyo Guidelines for the management of acute cholangitis
and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:1–7
13. Kiriyama S, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Mayumi T, Pitt HA,et al.
TG13 Diagnostic criteria and severity grading of acute cholangitis. Tokyo
Guidline. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:24-34
14. Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles
of Surgery, Eight edition, New York ; McGraw-Hill, 2012, p : 1203-1213

41

Anda mungkin juga menyukai