DISUSUN OLEH :
Muhamad Wilianto
1102014164
PEMBIMBING :
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmatnya serta karunia-Nya, sehingga syukur Alhamdulillah penulis dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Gambaran Radiologi CHRONIC KIDNEY
DISEASE”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Radiologi di RSUD Kabupaten Bekasi.
Akhirnya semoga refrat ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan setiap
pembaca pada umumnya. Amin.
Maret 2019
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik adalah kehilangan
atau penurunan fungsi ginjal yang sudah lanjut dan bertahap serta bersifat
menahun sehingga ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan perlu dilakukan
perawatan dan pengobatan yang serius. CKD dapat berkembang cepat 2-3 bulan dan
dapat pula berkembang dalam waktu yang sangat lama 30-40 tahun.
Chronic Kidney Disease telah menjadi kekhawatiran yang berkembang di
dunia karena prevalensinya yang meningkat serta hasil akhirnya yang buruk. Di
Amerika serikat penderita CKD mencapai 20 juta yang berarti 1 dari 9 orang
dewasa. Meskipun teknik dialisis dan transplantasi makin berkembang namun
prognosis gagal ginjal tetap buruk. Sistem pendataan ginjal di Amerika Serikat
pada tahun 2001 menunjukkan angka lebih dari 76.500 kematian pasien dengan
End Stage Renal Disease (ESRD), angka ini seakan tidak berubah selama satu
dekade terakhir. Morbiditas gagal ginjal juga cukup tinggi di mana pasien yang
menjalani dialysis rata-rata 4 (empat) kondisi komorbid, 15 (lima belas) hari
perawatan Rumah Sakit (RS) per tahun, dan kualitas hidup yang lebih rendah dari
rata-rata populasi. Jumlah pasien dengan tingkat CKD yang lebih dini lebih besar
namun mortalitas, morbiditas, hari perawatan RS per tahun, dan kualitas hidup
belum diteliti lebih lanjut. Sebagian besar penderita tidak menyadari penyakit
tersebut karena CKD asimtomatik sampai ia berkembang dengan signifikan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia
lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10
populasi global mengalami PGK pada stadium tertentu. Hasil systematic review
dan metaanalysis yang dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi
global PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil Global Burden of Disease tahun 2010,
PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan
meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Hasil Riskesdas 2013, populasi
umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar 0,2%. Angka ini
lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di negara-negara lain, juga hasil
penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006, yang
mendapatkan prevalensi PGK sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013
hanya menangkap data orang yang terdiagnosis PGK sedangkan sebagian besar
PGK di Indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir. Hasil Riskesdas
2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun dibandingkan
kelompok umur 25-34 tahun. (Kemenkes RI, 2017).
5
2.1.3 Klasifikasi dan Etiologi
KDIGO merekomendasikan pengelompokan CKD berdasarkan Glomerullus refill
time (GFR), diagnosis etiologi dan albuminuria. Kalsifikasi berdasarkan atas dasar
GFR, dihitung berdasarkan rumus Cockcroft-Gault sebagai berikut: GFR=
(140−𝑢𝑚𝑢𝑟)𝑥 𝐵𝐵
72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎
6
Cystic dan Alport sindrom, fabry Kerurenal dysplasia,
kongenital disease podocytopathies
Tabel 2 diagnosis etiologic
KDIGO 2012
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung penyakit yang mendasari, tapi
dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sclerosis nefron yang masih
tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktifitas
aksis renin-anigotensin-aldosteron (RAA) intrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sclerosis dan progresifitas tersebut. Aktifitas
jangka panjang aksis RAA, sebagian diperantarai oleh growth factors seperti
transforming growth factors β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas PGK adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
7
sclerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial (Wudoyo Aru.W et al.
2009).
Pada stadium paling dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve), pada keadaan mana basal GFR masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada GFR dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas maupun
saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Pada GFR di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai stadium gagal ginjal (Wudoyo Aru.W et al. 2009).
8
2.1.6 Diagnosis
Kriteria CKD adalah salah satu atau lebih dari beberapa hal di bawah ini yang
berlangsung selama 3 bulan (KDIGO, 2012)
a. Tanda kerusakan ginjal
- Albuminuria AER ≥ 30 mg/ 24 jam, ACR ≥ 30 mg/g (≥ 3 mg/mmol)
- Abnormalitas sedimen urin
- Abnormalitas elektrolit akibat kelainan tubuler
- Abnormalitas struktur ginjal dari pemeriksaan pencitraan.
- Riwayat transplantasi ginjal
b. Penurunan GFR
GFR <60 ml/min/1,73m2
9
Pielografi retrograde adalah pemasukan zat kontras
melalui kateter ke dalam ureter dan pelvis ginjal yang dapat
dilakukan selama sistoskopi. Dilakukan untuk mendeteksi batu
ginjal, tumor, hyperplasia prostat, penyebab dari hematuria dan
infeksi saluran kemih, dan mengeluarkan batu ginjal.
BNO-IVP
10
Ultrasonografi (USG)
11
Gambar 2. Pasien pria lansia ini mengalami gejala penyakit ginjal medis.
Sonografi ginjal mengungkapkan:
1) ginjal echogenik bilateral (korteks ginjal hyperechoic)
2) kedua ginjal tampak berukuran kecil (atrofi)
3) mengurangi ketebalan (penipisan) korteks ginjal (10mm.)
4) pengurangan diferensiasi kortiko-meduler
Gambar-gambar USG ini merupakan diagnostik penyakit ginjal medis kronis (atau
gagal ginjal kronis). Semua gambar USG di atas (diambil menggunakan sistem
pencitraan Doppler Warna Toshiba Nemio-XG, oleh Joe Antony, MD, India.
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PGK meliputi (Wudoyo Aru.W et al. 2009).:
Terapi spesifik terhadap penyakit dasar
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardivaskuler
12
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal
13
Tabel 4 pembatasan asupan protein dan fosfat
Wudoyo Aru.W et al. 2009
- Kontrol Glukosa
Target HbA1c adalah 7% untuk mencegah komplikasi mikroangiopati
diabetes termasuk penyakit ginjal diabetik. Pasien dengan HBA1c ≤ 7%
karena berisiko mengalami hipoglikemia.
14
- asam folat : 5 mg/hari
- vitamin B6: 100-150 mg
- vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
- vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi
fungsional yang mendapat terapi EPO.
- vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritrosit
- vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang
diakibatkan terapi besi intravena.
b. Transfusi Darah
Indikasi transfusi adalah
a. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
b. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dL
c. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
d. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO
ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat,
sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan
transfusi darah dengan hati-hati
e. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9 g/dL (tidak
sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara
bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik
(asidosis), dan hiperkalemia.
15
Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui IWL antara 500-800
ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk
dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian
obat-obat yang mengandung kalium dan makanan tinggi kalium dibatasi.
Pemberian kalium dianjurkan 3.5-5-5 mEq/l. pembatasan natrium
dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam
natrium yang diberikn, disesuaikan dengan tekanan darah dan derajat
edema yang terjadi.
2.1.8 Prognosis
Prognosis penyakit ginjal kronis tergantung pada penyebab, GFR, kadar
albuminuria dan kondisi komorbid lainnya. Penyakit ginjal kronis tidak dapat
disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk. Penatalaksanaan yang
dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progesivitas penyakit
(KDIGO, 2012)
16
DAFTAR PUSTAKA
Aisara Sitifa, Syaiful Azmi, Mefri Yanni. 2018. Gambaran Klinis Penderita Penyakit
Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)
Eknoyan, et al. (2012). KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. Volume 3 Issue 1
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Infodatin Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Wudoyo Aru.W et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing
Purwahyudi, Ari. Chronic Kidney Disease. Chronic Kidney Disease 2010 Mar 28 (citied
2012 Jan 30). Available at http://aripurwahyudi.com/intensive-care/chronic-kidney-
disease.htm
Hukari, Dwi. Leaflet Chronic Kidney Disease. Leaflet Manajemen Nyeri 2010 Apr 04
(citied 2012 Jan 30). Available at http://rentalhikari.word-press.com/2010/04/04/leaflat-
chronic-kidney-disease.htm
Nurdin HM. Chronic Kidney Disease. Be Smart and Educated 2010 Aug 16 (citied 2012
Jan 30). Available at http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/chronic-kidney-
disease.html
17