Anda di halaman 1dari 33

Long Case

ULKUS KORNEA CUM HIPOPION OD

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSMH Palembang

Oleh:

Dewi Arsinta, S.Ked 04054821821035


Nabilla Oktavia Kesumadanoe, S.Ked 04084821921141
Odhiva Zelika Maharani, S.Ked 04084821921099
Ria Anindita, S.Ked 04084821820037
Shagnez Dwi Putri, S.Ked 04084821921102

Pembimbing:
dr. Ramzi Amin, SpM(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


ULKUS KORNEA CUM HIPOPION OD

Oleh:
Dewi Arsinta, S.Ked
Nabilla Oktavia Kesumadanoe, S.Ked
Odhiva Zelika Maharani, S.Ked
Ria Anindita, S.Ked
Shagnez Dwi Putri, S.Ked

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 20 Mei 2019 s.d 24 Juni
2019.

Palembang, Juni 2019

dr. Ramzi Amin, SpM(K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya Long Case yang berjudul “Ulkus Kornea Cum Hipopion
OD” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah
satu syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Ramzi Amin, SpM(K)
atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan
Long Case ini. Oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk penulisan
yang lebih baik di masa yang akan datang.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN..................................................................................... 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 9
2.1 Anatomi Kornea ........................................................................................ 9
2.2 Ulkus Kornea ........................................................................................... 13
2.3.1 Definisi .......................................................................................... 13
2.3.2 Epidemiologi ................................................................................. 13
2.3.3 Etiologi .......................................................................................... 14
2.3.4 Faktor Risiko ................................................................................. 14
2.3.5 Patofisiologi ................................................................................... 15
2.3.6 Tanda dan Gejala ........................................................................... 16
2.3.7 Diagnosis ....................................................................................... 18
2.3.8 Diagnosis Banding......................................................................... 18
2.3.9 Penatalaksanaan ............................................................................. 19
2.3.10 Komplikasi .................................................................................... 21
2.3.11 Prognosis ....................................................................................... 22
BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................... 24
BAB V KESIMPULAN ....................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 28

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian


jaringan kornea. Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan oleh
adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang.

Di Amerika, ulkus kornea merupakan penyebab tersering kebutaan dengan


insidensi 30.000 kasus pertahun. Di Indonesia, Insiden ulkus kornea tahun 2013 adalah
5,5 persen dengan prevalensi tertinggi di Bali (11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta
(10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan
di Papua Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta (3,1%). Prevalensi kekeruhan kornea pada
laki‐laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan.
Prevalensi kekeruhan kornea yang paling tinggi (13,6%) ditemukan pada kelompok
responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi kekeruhan
kornea tertinggi (9,7%) dibanding kelompok pekerja lainnya. Prevalensi kekeruhan
kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan
dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian
alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.

Ulkus kornea dapat disebabkan oleh karena infeksi dan non infeksi, serta
terdapat beberapa faktor risiko penyebab ulkus kornea antara lain trauma, pemakaian
lensa kontak, riwayat operasi kornea, penyakit permukaan okular, pengobatan topikal
lama dan penyakit imunosupresi sistemik. Pekerjaan sebagai petani, tukang kebun,
peternak juga memiliki faktor risiko yang lebih tinggi untuk mengalami ulkus kornea.

Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani oleh spesialis
mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea maka dari itu diperlukan
ketepatan dalam mendiagnosis. Menurut SKDI, ulkus kornea adalah kompetensi 2 yang
berarti sebagai dokter umum harus mampu membuat diagnosis klinik dan menentukan
rujukan yang tepat.

1
BAB II

STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien
Nama : Ny. Satini Binti Lakoni
Umur : 59 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Muara Enim
Tanggal Pemeriksaan : 29 Mei 2019

2. Anamnesis (Autoanamnesis)
a. Keluhan Utama
Nyeri pada mata kanan sejak 1 minggu yang lalu

b. Riwayat Perjalanan Penyakit

± 2 minggu SMRS pasien mengeluh timbul benjolan seperti bisul pada


kelopak mata kanannya dan benjolan terasa nyeri. Kemudian, pasien mengoleskan
getah pepaya 2 kali sehari pada kelopak mata kanannya, dan pasien sering
menggosok-gosok matanya. Keesokan hari setelah dioleskan, keluhan benjolan
dan nyeri hilang, lalu pasien juga mengoleskan getah kelapa2 kali sehari pada
matanya. Setelah 1 hari dioleskan getah kelapa, pasien mengeluh timbul bitnik
putih di mata kanan yang semakin lama semakin membesar. Keluhan ini disertai
dengan mata merah (+), pandangan kabur (+), mata berair (+), kotoran mata (+)
putih kental, silau (+), sulit membuka mata (+).
Lalu pasien berobat ke RS Bunda prabumulih dan diberi obat LFX
(Levofloxacin 5 mg), Natacen (natamycin), Sulfas Atropin 1%, cendo lyteers

2
(sodium chloride 4.40 mg + potassium chloride 0.80 mg), kemudian di rujuk ke
RSMH.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
- Riwayat trauma (-)
- Riwayat alergi obat-obatan dan/atau makanan disangkal
- Riwayat memakai kacamata (-)
- Riwayat kencing manis (-)
- Riwayat darah tinggi (-)
- Mencuci mata dengan getah papaya dan kelapa (+)

3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 78 kali/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas : 18 kali/menit
Suhu : 36,7oC

b. Status Oftalmologis

Okuli Dekstra Okuli Sinistra

Visus VOD: 1/60, ph (-) VOS : 6/21, ph (-)

Tekanan
P= N+0 P = N+0
intraocular

3
KBM Ortoforia

GBM
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0

Palpebra Blefarospasme (+) Tenang

Konjungtiva Mixed injection (+) Tenang

Secret (+)

Kornea Tampak defek beragaung (+) Jernih


di sentral, ukuran 5x5 mm,
dengan kedalaman < 1/3
stroma. FT (+)

BMD Hipopion <1/3 BMD Sedang

Iris Gambaran baik Gambaran baik

Pupil Atropinisasi Bulat, Central,


Refleks cahaya (+),
diameter 3 mm

Lensa Detail sulit dinilai Jernih

Segmen Posterior

Reflek
RFOD (+) RFOS (+)
Fundus

Papil Detail sulit dinilai Bulat, batas tegas, warna


merah normal, c/d ratio

4
0.3, a/v 2:3

Makula Detail sulit dinilai Refleks fovea (+)

Kontur pembuluh darah


Retina Detail sulit dinilai
baik

4. Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan Slitlamp
- Flourescent test
Didapatkan hasil pemeriksaan fluorescent positif
- Pemeriksaan Kultur
- Pemeriksaan Gram dan KOH
Hasil pemeriksaan gram pada pasien ini didapatkan bakteri gram (+)
berbentuk coccus . Hasil pemeriksaan KOH pada pasien ini didapatkan hifa
(+).

5. Diagnosis Banding

- Ulkus kornea cum hipopiom OD et causa jamur


- Ulkus kornea cum hipopion OD et causa bakteri

6. Diagnosis Kerja
Ulkus kornea cum hipopion OD et causa susp. infeksi jamur dan bakteri

7. Tatalaksana
Non farmakologis
- Menjelaskan kepada pasien mengenai kondisi mata dan tentang
prognosisnya sehingga pasien tidak mengalami kecemasan yang berlebih
- Meminta pasien untuk menjaga hygiene diri terutama tangan
- Menjelaskan pada pasien untuk tidak menggosok-gosok mata karena akan
memperparah kondisi mata

5
- Menjelaskan pada pasien tentang pentingnya keteraturan penggunaan obat
dan memeriksakan diri ke dokter jika mata ada gangguan penglihatan

Farmakologis

- Giflox (gatifloxacin hemihydrate) ED 1 gtt/jam OD

- Natacyn (natamycin ophthalmic suspension 5%) ED 1 gtt/jam OD

- Sulfas Atropin 1% 1 gtt/8 jam OD

- Cendo Lyteers (sodium chloride 4.40 mg + potassium chloride 0.80 mg)


ED 1 gtt/ jam OD

- Itrakonazole tab 100 mg/12 jam PO

8. Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

6
Lampiran

Gambar 1. Kedua mata pasien dalam keadaan terbuka

Gambar 2. Kedua mata pasien dalam keadaan tertertutup

Gambar 3. Mata kanan pasien dalam keadaan terbuka

7
Gambar 4. Mata kanan pasien setelah di fluoresein test

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kornea


Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea terdiri dari
lima lapis, yaitu:1

1. Epitel
 Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
 Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
 Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma.
 Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di
antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan
serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.1

9
4. Membrane descement
 Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.
 Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40µm.1
5. Endotel
 Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm.
endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan
zonula okluden.1

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya.
Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.
Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.1

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel
tidak mempunyai daya regenarasi. Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya
dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh
kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh
kornea.1

10
Gambar 5. Anatomi Kornea2

2.2 Ulkus Kornea


2.2.1 Definisi
Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea. Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak
ditemukan oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel
radang.3
Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya
infiltrate supuratif disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea
yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.1

2.2.2 Epidemiologi
Pembentukan parut akibat ulserasi kornea adalah penyebab utama kebutaan
dan gangguan penglihatan di seluruh dunia. Kebanyakan gangguan penglihatan ini
dapat dicegah, namun hanya bila diagnosis penyebabnya ditetapkan secara dini dan
diobati secara memada dengan segera, tetapi juga dengan meminimalkan berbagai
faktor predisposisi.3

11
Di Amerika, ulkus kornea merupakan penyebab tersering kebutaan dengan
insidensi 30.000 kasus pertahun. Sedangkan di California, insidensi terjadinya
ulkus kornea dilaporkan sebesar 27,6/100.000 orang pertahun, dengan perkiraan
sebanyak 75.000 orang yang mengalami ulkus kornea setiap tahunnya.4
Di Indonesia, Insiden ulkus kornea tahun 2013 adalah 5,5 persen dengan
prevalensi tertinggi di Bali (11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan
Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di
Papua Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta (3,1%). Prevalensi kekeruhan kornea pada
laki‐laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan.
Prevalensi kekeruhan kornea yang paling tinggi (13,6%) ditemukan pada
kelompok responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai
prevalensi kekeruhan kornea tertinggi (9,7%) dibanding kelompok pekerja lainnya.
Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan
petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan dengan riwayat trauma mekanik atau
kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja
belum optimal dilaksanakan di Indonesia.5

2.2.3 Etiologi
Ulkus kornea dapat disebabkan karena infeksi dan non infeksi:
1. Infeksi
a. Bakteri
Banyak jenis ulkus kornea bakteri yang mirip satu sama lain dan hanya
bervariasi dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus
yang disebabkan oleh bakteri oportunistik (mis., Streptococcus alfa-
hemolyticus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang menimbulkan ulkus kornea
indolen yang cenderung menyebar perlahan dan superfisial. P.
aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella merupakan
penyebab paling sering pada ulkus kornea karena infeksi bakteri.3

b. Jamur

12
Ulkus karena jamur infiltrate nya berwarna kelabu, sering dengan
hipopion, peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan
lesilesi satelit (umumnya menginfiltrasi tempat-tempat yang jauh dari
daerah ulserasi utama).Dibawah lesi utama-dan juga lesi-lesi satelit-
sering terdapat plak endotel disertai reaksi bilik mata depan yang hebat.
Abses kornea sering dijumpai. Kebanyakan ulkus jamur disebabkan oleh
organisme oportunis, seperti candida, fusarium, aspergillus, penicillium,
cephalosporium, dan lainlain. Tidak ada ciri khas yang membedakan
macam-macam ulkus jamur ini. Kerokan dari ulkus kornea jamur, kecuali
yang disebabkan oleh candida mengandung unsur-unsur hifa; kerokan
dari ulkus Candida, umumnya mengandung pseudohifa atau bentuk ragi,,
yang menampakkan kuncup-kuncup khas.3

c. Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk
khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang
bila pecah akan menimbulkan ulkus.1

d. Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup-bebas yang terdapat di dalam air
tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea
oleh Acanthamoebn biasanya dihubungkan dengan penggunaan lensa
kontak lunak, termasuk lensa hidrogel silikon atau lensa kontak rigid
(permeabel-gas) yang dipakai semalaman, untuk memperbaiki kelainan
refraksi (orthokeratologi). Infeksi ini juga ditemukan pada individu
bukan pemakai lensa kontak setelah terpapar air atau tanah yang
tercemar. Gejala awal adalah rasa nyeri yang tidak sebanding dengan
temuan klinisnya, kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinis yang khas
adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural, tetapi
sering kali hanya ditemukan perubahan-perubahan yang terbatas pada
epitel kornea.3

13
2. Noninfeksi.
Ulkus kornea non infeksi dapat disebabkan karena, defisiensi vitamin A; obat-
obatan (kortikosteroid, idoxiuridine, anestesi topikal, immunosupresif); kelainan
dari membran basal, misalnya karena trauma; pajanan (exposur); dan
neurotropik.1

2.2.4 Faktor Risiko


Faktor predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain trauma, pemakaian
lensa kontak, riwayat operasi kornea, penyakit permukaan okular, pengobatan
topikal lama dan penyakit imunosupresi sistemik. Pekerjaan sebagai petani,
tukang kebun, peternak juga memiliki faktor risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami ulkus kornea, hal ini berkaitan kerena pada pekerjaan tersebut rentan
terjadi trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian
alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.4,5

2.2.5 Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Kornea jernih sebab susunan
sel dan seratnya khusus serta sifatnya avaskuler . Bias cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea,
akan menganggu pembentukan bayangan ke retina. Oleh karenanya kelainan
sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat
terutama bila letaknya di daerah pupil.6
Karena kornea bersifat avaskuler, maka pada waktu terjadi inflamasi sel-sel
leukosit tidak dapat masuk ke jaringan. Maka badan kornea, dan sel-sel lain yang
terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian
disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak
sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi darisel-sel
mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan
timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan

14
batas- batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan
epitel dan timbulah ulkus kornea.6

Infeksi, trauma, Ag-Ab Aktifasi


penyakit kompleks Komplemen
autoimun

Pelepasan enzim Kemotaksis leukosit


lisosom

Destruksi kolagen dan


proteoglikan

Gambar 6. Patofisiologi ulkus kornea

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia.
Rasa sakit juga diperberat dengan adaanya gesekan palpebra pada kornea. Proses
ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel leukosit
dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah
yaitu melebar ke samping atau ke dalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan
superficial maka proses penyembuhan akan cepat terjadi dan daerah infiltrasi
menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian
stroma maka akan terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya
sikatrik.

2.2.6 Tanda dan Gejala


Secara umum ulkus kornea memberikan gejala mata merah ringan hingga
berat, fotofobia, penglihatan menurun, disertai sekret. Ulkus kornea akan
memberikan kekeruhan berwarna putih pada kornea dengan defek epitel yang bila

15
diberi perwarnaan fluoresein akan berwarna hijau ditengahnya. Iris sukar dilihat
karena keruhnya kornea akibat edema dan infiltrasi sel radang pada kornea.1
Gejala yang dapat menyertai adalah terdapat penipisan kornea, lipatan
Descemet, reaksi jaringan uvea (akibat gangguan vaskularisasi iris), berupa suarm
hipopion, hifema, dan sinekia posterior.1
Biasanya kokus gram positif, stafilokokus aureus, dan streptokokus
pneumoni akan memberikan gambaran ulkus yang terbatas, berbentuk bulat atau
lonjong, berwarna putih abu-abu pada anak ulkus yang supuratif. Daerah kornea
yang tidak terkena akan tetap berwarna jernis dan tidak terlihat infiltrasi sel
radang.
Bila ulkus disebabkan oleh pseudomonas, maka ulkus akan terlihat melebar
dengan cepat, purulen berwarna kuning hijau terlihat melekat pada permukaan
ulkus.
Bila ulkus disebabkan oleh jamur maka infiltrat akan berwarna abu-abu di
kelilingi infiltrat halus di sekitarnya (fenomena satelit).
Bila ulkus berbentuk dendrit akan terdapat hipestesi pada kornea. Ulkus
yang berjalan cepat dapat membentuk descemetokel atau terjadi perforasi kornea
yang berakhir dengan membuat suatu bentuk lekoma adheren.
Bila proses pada ulkus berkurang maka akan terlihat berkurangnya rasa
sakit, fotofobia, berkurang infiltrat pada ulkus dan defek epitel kornea menjadi
bertambah kecil.1

2.2.7 Diagnosis
Diagnosis laboratorium tukak kornea :
 keratomalasia dan
 infiltrat sisa karat benda asing.
Pemeriksaan laboratorium :

1. Untuk setiap tukak kornea : pemeriksaan agar darah, sabouraud, triglikolat, dan
agar coklat.

16
2. Untuk tukak yang disebabkan karena jamur : sediaan hapus yang memakai
larutan KOH.

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan
adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang
bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering
kambuh. Hendaknya pula ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien
seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi,
virus terutama keratitis herpes simplek. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat
penyakit sistemik seperti diabetes, AIDS, keganasan, selain oleh terapi
imunosupresi khusus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya injeksi
siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus
berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti :
- Ketajaman penglihatan
- Tes refraksi
- Tes air mata
- Pemeriksaan slit-lamp
- Keratometri (pengukuran kornea)
- Respon reflek pupil
- Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.

Gambar 7. Kornea ulcer dengan fluoresensi

17
- Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau
KOH)
Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula
kimura dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan
pewarnaan KOH, gram atau Giemsa. Lebih baik lagi dengan biopsi
jaringan kornea dan diwarnai dengan periodic acid Schiff. Selanjutnya
dilakukan kultur dengan agar sabouraud atau agar ekstrak maltosa.

Gambar 8. Pewarnaan gram ulkus kornea fungi

Gambar 9a. Pewarnaan gram ulkus Gambar 9b. Pewarnaan gram ulkus
herpes zost
kornea herpes simplex kornea herpes zoster

Gambar 10a. Pewarnaan gram ulkus Gambar 10b. Pewarnaan gram ulkus
kornea Bakteri kornea

18
2.2.8 Diagnosis Banding

1. Keratitis
Keratitis merupakan peradangan kornea yang dapat disebabkan oleh virus,
bakteri (pneumococci, streptococci, atau staphylococci), jamur dan
protozoa. Radang kornea biasanya diklasifikasi dalam lapis kornea yang
terkena, seperti kerattis superfisial dan interstisial atau profunda. Gejala
keratitis dapat ringan sampai berat, terdapat keluhan silau, mata berair dan
kotor, lesi di kornea disertai penglihatan berkurang.1
2. Endoftalmitis
Endoftalmitis merupakan peradangan berat dalam bola mata, akibat infeksi
setelah trauma atau bedah, atau endogen akibat sepsis. Berbentuk radang
supuratif di dalam rongga mata dan struktur di dalamnya. Peradangan
supuratif di dalam bola mata akan memberikan abses di dalam badan kaca.
Penyebab endoftalmitis supuratif adalah kuman dan jamur yang masuk
bersama trauma tembus (eksogen) atau sistemik melalui peredaran darah
(endogen).1

Tabel 1. Diagnosis Banding Ulkus Kornea

Ulkus Keratitis Endopthalmitis


Etiologi Infeksi , trauma Infeksi , alergi Infeksi post operasi
intravitreal atau trauma
Patofisiologi Terjadinya infeksi Terjadinya Terjadinya proses
akibat yang peradangan yang infeksi yang
menyebabkan menyebabkan mata menyebabkan mata
kerusakan lapisan pasien terasa pasien memerah dan
kornea hingga kornea membengkak, edema dengan ukuran
dapat mengalami merah, gatal dan pupil normal.
perforasi dan timbul nyeri.
hipopion.
Pemeriksaan -Kultur goresan mata -Kultur goresan -USG mata
Penunjang -Uji fistel mata
Tatalaksana Antibiotik, Antijamur, steroid, Pembedahan Injeksi vancomycin intra
vitreal, cangkok kornea

19
2.2.9 Penatalaksanaan
Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani oleh spesialis
mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea.7
1. Penatalaksanaan non-medikamentosa:
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya
b. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang
c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin
dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih
d. Menghindari asap rokok, karena dengan asap rokok dapat memperpanjang
proses penyembuhan luka.8

2. Penatalaksanaan medikamentosa
Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan pemberian terapi
yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas
mikroorganisme penyebab. Adapun obat-obatan antimikrobial yang dapat
diberikan berupa:
A. Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang
berspektrum luas diberikan dapat berupa salep, tetes atau injeksi
subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus sebaiknya tidak diberikan salep
mata karena dapat memperlambat penyembuhan dan dapat menimbulkan
erosi kornea kembali. Berikut ini contoh antibiotik: Sulfonamide 10-30%,
Basitrasin 500 unit, Tetrasiklin 10 mg, Gentamisin 3 mg, Neomisin 3,5-5
mg, Tobramisin 3 mg, Eritromisin 0,5%, Kloramfenikol 10 mg,
Ciprofloksasin 3 mg, Ofloksasin 3 mg, Polimisin B 10.000 unit.

B. Anti jamur
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya
preparat

20
komersial yang tersedia. Berdasarkan jenis keratomitosis yang dihadapi bisa
dibagi:
1) Jamur berfilamen: topikal amphotericin B, Thiomerosal, Natamicin,
Imidazol;
2) Ragi (yeast): Amphotericin B, Natamicin, Imidazol, Micafungin 0,1%
tetes mata
3) Actinomyces yang bukan jamur sejati: golongan sulfa, berbagai jenis
antibiotik.

C. Antiviral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid
lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, antibiotik spektrum luas untuk
infeksi sekunder, analgetik bila terdapat indikasi serta antiviral topika
berupa salep asiklovir 3% tiap 4 jam.

D. Anti-acanthamoeba
Dapat diberikan poliheksametilen biguanid + propamidin isetionat
atau salep klorheksidin glukonat 0,02%. Obat-obatan lainnya yang dapat
diberikan yaitu:
a. Sulfas atropin sebagai salep atau larutan. Kebanyakan dipakai sulfas
atropin karena bekerja lama 1-2 minggu. Efek kerja sulfas atropin:
- Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
- Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
- Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi
sehingga mata dalam keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M.
konstriktor pupil, terjadi midriasis sehinggga sinekia posterior yang
ada dapat terlepas dan dapat mencegah pembentukan sinekia posterior
yang baru.7
b. Obat midriatika.
c. Analgetik.

21
Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain, atau
tetrakain tetapi jangan terlalu sering. Dalam sebuah penelitian
menyebutkan bahwa pemberian nerve growth factor (NGF) secara
topikal menginisiasi aksi penyembuhan luka pada ulkus kornea yang
disebabkan oleh trauma kimia, fisik dan iatrogenik serta kelainan
autoimun tanpa efek samping.

3. Tindakan operatif
Tindakan operatif dilakukan apabila pengobatan dengan medikamentosa
gagal. keratoplasti diindikasikan pada ulkus yang mengalami perforasi atau
terjadi descemetocele. Dapat pula dilakukan conjunctival flap untuk
mempercepat penyembuhan apabila terdapat nekrosis superfisial.

2.2.10 Komplikasi
Komplikasi dari ulkus kornea terjadi ketika ulkus tidak ditatalaksana dengan
baik, dapat terjadi nekrosis stroma, perforasi kornea dan kebbutaan. Komplikasi
lainnya yang dapat terjadi ialah perforasi kornea disertai infeksi sekunder, skar
kornea dan katarak sekunder serta glaukoma.

2.2.11 Prognosis
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat
lambatnya pengobatan, jenis dan virulensi mikroorganisme penyebabnya,
vaskularisasi dan deposit kolagen, dan ada tidaknya komplikasi. Ulkus kornea
yang luas memerlukan waktu penyembuhan yang lama,
karena jaringan kornea bersifat avaskular.
Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan
serta timbulnya komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.
Penyembuhan yang lama mungkin juga dipengaruhi ketaatan penggunaan obat.
Dalam hal ini, apabila tidak ada ketaatan penggunaan obat terjadi pada
penggunaan antibiotika maka dapat menimbulkan resistensi. Ulkus kornea dapat
sembuh dengan dua metode; migrasi sekeliling sel epitel yang dilanjutkan dengan

22
mitosis sel dan pembentukan pembuluh darah dari konjungtiva. Ulkus superfisial
yang kecil dapat sembuh dengan cepat melalui metode yang pertama, tetapi pada
ulkus yang besar, perlu adanya suplai darah agar leukosit dan fibroblas dapat
membentuk jaringan granulasi dan kemudian jaringan sikatrik.

23
BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. St bt Lk, usia 59 tahun, dirujuk ke IGD RSMH dari RS AR Bunda Prabumulih
dengan keluhan nyeri pada mata kanan sejak 2 minggu yang lalu. Pasien mengaku 2
minggu SMRS pasien mengeluh timbul benjolan seperti bisul pada kelopak mata
kanannya dan benjolan terasa nyeri. Kemudian, pasien mengoleskan getah pepaya pada
kelopak mata kanannya, dan pasien sering menggosok-gosok matanya. Keesokan hari
setelah dioleskan, keluhan benjolan dan nyeri hilang, lalu pasien juga mengoleskan
getah kelapa pada matanya. Setelah 1 hari dioleskan getah kelapa, pasien mengeluh
timbul bintik putih di mata kanan yang semakin lama semakin membesar. Keluhan ini
disertai dengan mata merah (+), pandangan kabur (+), mata berair (+), kotoran mata (+)
putih kental, silau (+), sulit membuka mata (+). Riwayat mengalami keluhan yang sama
sebelumnya, kencing manis, hipertensi, alergi, trauma bola mata, memakai kacamata
disangkal. Sebelumnya pasien diberi obat Levofloxacin, Natamycin, SA 1%, Sodium
chloride dan potassium chloride, kemudian di rujuk ke RSMH.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal. Pada
pemeriksaan oftalmologi didapatkan VOD 1/60 ph (-) dan VOS 6/12. Nilai tekanan
intraokuler dalam batas normal. Pada segmen anterior OD didapatkan kelainan
blefarospasme, injeksi mix dan sekret pada konjungtiva, di kornea tampak defek
bergaung di sentral ukuran 5x5 mm dengan kedalaman <1/3 stroma dan FT(+), BMD
tampak sedang dan terdapat gambaran hipopion, terdapat atropinisasi pada pupil, dan
lensa sulit dinilai. Pada segmen posterior didapatkan RFODS (+), fundus OD sulit
dinilai.
Gambaran klinis pada penderita dikasus ini sesuai dengan kepustakaan yang
menyebutkan bahwa pada ulkus kornea akan memberikan gejala mata merah, sakit mata
ringan sampai berat, fotofobia, dan penurunan penglihatan. Rasa nyeri yang ditimbulkan
karena kornea memiliki banyak serat nyeri, rasa nyeri ini diperberat oleh adanya
gerakan palpebra terutama palpebra superior diatas kornea. Rasa silau atau sensitif
terhadap cahaya disebabkan oleh kontraksi iris meradang yang nyeri. Ulkus kornea pada
penderita dicurigai disebabkan oleh jamur dan bakteri karena agen penyebab ulkus

24
berupa trauma dengan kontaminasi bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan
tanah serta pada pemeriksaan gram didapatkan adanya bakteri gram positif.
Ulkus pada kornea dikenal dalam dua bentuk yaitu ulkus kornea sentral dan
marginal atau perifer. Ulkus kornea perifer dapat disebabkan oleh reaksi toksik, alergi,
autoimun dan infeksi. Sedangkan ulkus kornea sentral biasanya disebabkan oleh bakteri
(Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus beta-hemoliticus, Moraxella liquefaciens,E.
coli), virus (Herpes simpleks, Herpes zoster), jamur Candida, Fussarium sp.,
Penicillium sp., dan Cephalosporium sp.).
Untuk menentukan penyebab pasti dari ulkus kornea perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Pada ulkus kornea yang dicurigai akibat bakteri dilakukan pemeriksaan
kultur dengan teknik pengambilan sampel scraping dengan menggunakan spatula steril
dan kemudian sampel diletakkan pada agar saboraund atau darah. Selain itu dapat
dilakukan teknik swab kapas untuk mengambil sampel dan kemudian dikultur. untuk
ulkus kornea yang dicurigai akibat jamur, dilakukan pemeriksaan sediaan hapus yang
memakai larutan KOH. Hasil scraping pada ulkus kornea jamur mengandung unsur-
unsur hifa, kecuali pada candida yang mengandung unsur pseudohifa atau bentuk ragi,
yang menampakkan kuncup-kuncup khas. Disamping dilakukannya pemeriksaan
laboratorium, pasien juga diberikan pengobatan sambil menunggu hasil kultur. Jika
pengobatan sesuai dengan organisme penyebab ulkus kornea maka akan didapati
perbaikan pada ulkus kornea pasien.
Pada pasien ini diberikan antibiotik yaitu gatifloxacin eye drop 1 tetes per jam.
Pada pengobatan ulkus sebaiknya tidak diberikan salep mata karena dapat
menimbbulkan erosi kornea kembali. Diberikan juga antijamur berupa natamycin
eyedrop dan itrakonazol per oral untuk menghambat pertumbuhan sel jamur. Sulfas
atropine dipakai 1 tetes per 8 jam. Obat ini berguna sebagai penghilang rasa sakit,
menurunkan tanda-tanda radang dan menyebabkan paralisis m. siliaris dan m.
konstriktor pupil. Dengan lumpuhnya m. siliaris, mata tidak mempunyai daya
akomodasi sehingga mata dalam keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya m. konstriktor
pupil, terjadi midriasis sehingga sinekia posterior yang ada dapat terlepas dan dapat
mencegah pembentukan sinekia posterior yang baru. Sodium chloride dan potassium
chloride digunakan sebagai pelumas mata agar tidak kering.

25
Komplikasi yang sering timbul pada ulkus kornea berupa kebutaan parsial atau
komplit karena endoftalmitis, endoftalmitis dan panoftalmitis karena perforasi kornea
berlanjut, cumhipopion, prolaps iris, sikatrik kornea, katarak dan glaukoma sekunder.
Pada pasien ini ulkus kornea yang dialami telah menimbulkan suatu komplikasi berupa
cumhipopion. Cumhipopion adalah pus steril yang terdapat pada bilik mata depan yang
menandakan adanya infeksi jamur atau bakteri. Cumhipopion terjadi akibat penurunan
permeabilitas dari blood aqueous barrier dan terjadi peningkatan protein, fibrin serta sel
radang dalam cairan aqueous, sehingga memberikan gambaran hipopion. Jika proses
ulserasi yang dialami pasien berlanjut maka ulserasi dapat mencapai membran
descement dan menyebabkan membran descement mengeras dan membengkak,
sehingga cairan aqueous humor keluar, tekanan intraokuler menurun dan terjadi prolaps
iris.

26
BAB V
KESIMPULAN

Ulkus kornea dapat disebabkan oleh karena infeksi dan non infeksi, serta
terdapat beberapa faktor risiko penyebab ulkus kornea antara lain trauma, pemakaian
lensa kontak, riwayat operasi kornea, penyakit permukaan okular, pengobatan topikal
lama dan penyakit imunosupresi sistemik. Pekerjaan sebagai petani, tukang kebun,
peternak juga memiliki faktor risiko yang lebih tinggi untuk mengalami ulkus kornea,
hal ini berkaitan kerena pada pekerjaan tersebut rentan terjadi trauma mekanik atau
kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja
belum optimal dilaksanakan di Indonesia

Secara umum ulkus kornea memberikan gejala mata merah ringan hingga berat,
fotofobia, penglihatan menurun, disertai sekret. Ulkus kornea akan memberikan
kekeruhan berwarna putih pada kornea dengan defek epitel yang bila diberi perwarnaan
fluoresein akan berwarna hijau ditengahnya.

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.
Diagnosis banding ulkus kornea adalah keratitis dan edoftalmitis. Keratitis merupakan
peradangan kornea yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri (pneumococci,
streptococci, atau staphylococci), jamur dan protozoa. Sedangkan endoftalmitis
merupakan peradangan berat dalam bola mata, akibat infeksi setelah trauma atau bedah,
atau endogen akibat sepsis.

Pengobatan umumnya untuk ulkus kornea adalah dengan sikloplegik, antibiotika


yang sesuai dengan topikal dan subkonjungtiva, dan pasien dirawat bila mengancam
perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat perbaikan dari obat,
dan perlunya obat sistemik. Pengobatan pada ulkus kornea bertujuan menhalangi
hidupnya bakteri dengan antibiotika dan mengurangi reaki radang dengan steroid.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas SH dan Sri, RY. 2012. Anatomi dan fisiologi mata, Dalam: Ilmu Penyakit
Mata. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, hal. 1-11.
2. Riordan-Eva Paul. 2007. Anatomi dan embriologi mata, Dalam: Vaughan &
Asbury Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta. EGC, hal. 8-19.
3. Taban M, Behrens A, Newcomb RL, Nobe MY, Saedi G, Sweet PM, et al.
Acute endophthalmitis following cataractt surgery: a systematic review of the
literature. Archives of ophthalmology. 2005;123(5):613-20.
4. Barry P, Cordoves L, Gardner S. ESCRS Guidelines for Prevention and
Treatment of Endophthalmitis Following Cataractt Surgery: Data, Dilemmas
and Conclusions. 2013:1-24
5. Pandya HK. 2016. Postoperative Endophthalmitis
(http://emedicine.medscape.com/article/1201260-overview, diakses tanggal 7
Mei 2019).
6. American Academy of Ophthalmology. 2014-2015. Endophthalmitis, Dalam:
Intraocular Inflammation and Uveitis, hal: 269-271
7. Jensen MK, Fiscella RG, Moshirfar M, et al.. Third-and fourth-generation
fluoroquinolones: retrospective comparison of endophthalmitis after cataract
surgery performed over 10 years. J Cataract Refract Surg. 2008; 34: 1460–1467
8. Pambudy IM dan Irawati Y. 2014. Endoftalmitis. Dalam: Tanto, C., Liwang, F.,
Hanifati, S., dan Pradipta, E.A. (eds) Kapita Selekta Kedokteran Essensial of
Medicine (Edisi 4). Jakarta: Media Aesculapius.
9. Panduan Praktik Klinik (PPK) RRCM KIRANA 2012.
10. Endophthalmitis Vitrectomy Study Group. Results of the Endophthalmitis
Vitrectomy Study: a randomized trial of immediate vitrectomy and of
intravenous antibiotics for the treatment of postoperative bacterial
endophthalmitis. Arch Ophthalmol. 1995; 113: 1479–1496.
11. Lalwani GA, Flynn HW Jr, Scott IU et al. Acute-onset endophthalmitis after
clear corneal cataractt surgery (1996–2005). Clinical features, causative
organisms, and visual acuity outcomes. Ophthalmology 2008; 115: 473–476.
12. Taban M, Behrens A, Newcomb RL et al. Acute endophthalmitis following
cataractt surgery: a systematic review of the literature. Arch Ophthalmol 2005;
123: 613–620.
13. Johnson MW, Doft BH, Kelsey SF, et al.. The Endophthalmitis Vitrectomy
Study. Relationship between clinical presentation and microbiologic spectrum.
Ophthalmology. 1997; 104: 261–272.
14. Clark WL, Kaiser PK, Flynn HW Jr, et al.. Treatment strategies and visual
acuity outcomes in chronic postoperative Propionibacterium acnes
endophthalmitis. Ophthalmology. 1999; 1 (06); 1665–1670.
15. Doshi RR, Arevalo JF, Flynn HW Jr, et al.. Evaluating exaggerated, prolonged
or delayed postoperative intraocular inflammation. Am J Ophthalmol. 2010;
150: 295–304.

28
16. Durant ML. Review Endophthalmitis. Clinical Microbiology and Infection.
2013;19 (3):1-8.
17. Speaker MG, Menikoff JA. Prophylaxis of endophthalmitis with topical
povidone-iodine. Ophthalmology. 1991; 98: 1769–1775.

29

Anda mungkin juga menyukai