Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

PENGARUH TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN TERHADAP


NEOVASKULARISASI PADA DECOMPRESSION SICKNESS

Pembimbing :

LETKOL LAUT (K) dr. Akhmad Rofiq, M.Kes

NRP 11774/P

Penyusun :

A.A.Gede.A.Wahyu Parama Arka 20190420049

Andre Halim 20190420050

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

RSAL DR. RAMELAN SURABAYA

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat “PENGARUH TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN TERHADAP


PERKEMBANGAN NEOVASKULARISASI PADA DECOMPRESSION SICKNESS”
telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan
studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian LAKESLA RSAL dr. Ramelan Surabaya.

Surabaya, 19 Desember 2019

Dokter Pembimbing

LETKOL LAUT (K) dr. Akhmad Rofiq, M.Kes

NRP 11774/P

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan
rahmatNya, kami dapat menyelesaikan referat dengan topik “Pengaruh Terapi HBO
Terhadap Perkembangan Neovaskularisasi Pada Decompression Sickness” ini. Referat ini
disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian
LAKESLA RSAL dr. Ramelan Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan sebagai
tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.

Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

a. LETKOL LAUT (K) dr. Akhmad Rofiq, Selaku Pembimbing Referat


b. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya
c. Para perawat dan staff di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya

Kami menyadari bahwa case report yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan. Semoga case report ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, 19 Desember 2019

Penyusun

3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ 2

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 3

DAFTAR ISI....................................................................................................................... 4

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 6

2.1 Decompression Sickness (DCS) ........................................................................ 6

2.1.1 Definisi ............................................................................................................... 6

2.1.2 Klasifikasi .......................................................................................................... 6

2.1.3 Patofisiologi ....................................................................................................... 7

2.1.4 Faktor Risiko ...................................................................................................... 8

2.1.5 Manifestasi Klinis .............................................................................................. 9

2.1.7 Pencegahan ...................................................................................................... 12

2.2 Terapi Oksigen Hiperbarik ............................................................................ 13

2.2.1 Definisi ...................................................................................................... 13

2.2.2 Jenis Ruangan Oksigen Hiperbarik ........................................................... 14

2.2.3 Pemilihan Tipe RUBT ............................................................................ 15

2.2.4 Mekanisme Penggunaan Terapi Hiperbarik ........................................ 15

2.2.5 Indikasi..................................................................................................... 16

2.2.6 Kontraindikasi......................................................................................... 17

2.2.7 Komplikasi ............................................................................................... 17

2.3 Pengaruh Terapi HBO Terhadap Perkembangan Neovaskularisasi Pada


Decompression Sickness .............................................................................................. 19

2.3.1 Peran HBO terapi ................................................................................... 19

2.3.2 Mekanisme Aksi ...................................................................................... 20

BAB III KERANGKA KONSEP ..................................................................................... 22

BAB IV KESIMPULAN .................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 1

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


DCS (Decompression Sickness) dengan nama lain penyakit Caisson
Disease (CD) merupakan patofisioloi yang terjadi pada seseorang yang
terpapar oleh penurunan tekanan (biasanya terjadi setelah peningkatan tekanan
yang besar terlebih dahulu). Penyakit dekompresi merupakan suatu penyakit
yang disebabkan oleh pelepasan dan pengembangan gelembung-gelembung
gas dari fase larut dalam darah atau jaringan akibat penurunan tekanan dengan
cepat di sekitarnya. Tubuh seharusnya beradaptasi terhadap tekanan seiring
dengan kenaikan ketinggian yang cepat. Hal ini merupakan masalah dalam
penyelaman dan gangguan akibat tekanan udara. Penyakit dekompresi
merupakan risiko penyakit akibat pekerjaan terutama di kalangan penyelam
atau nelayan (Wahab et al 2008).
Ketika jumlah gelembung gas melebihi kemampuan tubuh untuk
mengeluarkannya dan apabila gelembung tumbuh atau terdapat pada lokasi
kritikal (seperti sendi), gejala DCS akan muncul. Meskipun patofisiologi DCS
tidak sepenuhnya diketahui, kemungkinan gas tidak aktif yang berlebihan ini
mengakibatkan terbentuknya gelembung gas intravaskuler dan jaringan,
sehinggga menyebabkan disfungsi vaskuler dan inflamasi (Vann et al, 2011).
Berdasarkan beratnya gejala, DCS dibagi menjadi tipe 1 dan tipe 2. DCS
tipe 1 lebih ringan, mengenai sistem integumen atau muskuloskeletal (“the
bends”), dan gejala yang muncul adalah nyeri. DCS tipe 2 dikarakteristikkan
oleh gangguan vestibular, kardiopulmonal, dan neurologi, dengan gejala
seperti rasa kebas, kesemutan, dan paralisis (Bai et al, 2013).

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Decompression Sickness (DCS)

2.1.1 Definisi
Decompression sickness (DCS) merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh pembentukan gelembung dari gas terlarut dalam darah dan/atau
jaringan akibat penurunan tekanan di sekitarnya. DCS paling sering terjadi pada
penyelam setelah naik ke permukaan, namun dapat juga terjadi pada penerbang
yang naik ke ketinggian di dalam pesawat unpressurized atau semipressurized dan
dekompresi astronot untuk space walks. DCS merupakan kelainan yang bervariasi
dan tidak dapat diprediksi dengan presentasi yang luas, di satu sisi dapat sangat
mematikan, di sisi lain dapat bermanifestasi dengan gejala ringan dan tidak
spesifik. DCS merupakan komplikasi medis penyelaman yang paling dikenal luas
dan subjek ketertarikan diantara penyelam dan kedokteran penyelaman (Edmonds
et al, 2016).

2.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan beratnya gejala, DCS dibagi menjadi tipe I dan tipe II. DCS
tipe I lebih ringan, mengenai sistem integumen atau muskuloskeletal (“the
bends”), dan gejala yang muncul adalah nyeri. DCS tipe II dikarakteristikkan oleh
gangguan vestibular, kardiopulmonal, dan neurologi, dengan gejala seperti rasa
kebas, kesemutan, dan paralisis (Bai et al, 2013). Namun klasifikasi tipe I dan tipe
II tidak direkomendasikan lagi. Sindrom klinis yang sebelumnya disebut DCS dan
CAGE digabungkan menjadi satu istilah yaitu decompression illness (DCI),
dengan paradigma deskriptif dimana istilah evolusioner dan sistem organ
diaplikasikan pada setiap gejala. Interpretasi yang sederhana dapat dilihat pada
tabel 2.1 (Edmonds et al, 2016).

6
Tabel 2.1. Sistem klasifikasi deskriptif untuk gangguan dekompresi

2.1.3 Patofisiologi
DCS diawali dengan pembentukan dan peningkatan ukuran gelembung-
gelembung ekstravaskuler dan intravaskuler ketika jumlah dari tekanan gas
terlarut (oksigen, karbon dioksida, nitrogen dan helium) dan uap air melebihi
tekanan absolut lokal. Pada penyelaman dan pekerjaan compressed-air tunnel dan
caisson, keadaan supersaturasi terjadi akibat peningkatan tekanan parsial gas tidak
aktif pada jaringan yang terjadi saat gas (terutama nitrogen, kadang-kadang
helium) direspirasi dalam tekanan tinggi. Supersaturasi terjadi saat dekompresi
bila laju penurunan tekanan sekitar melebihi laju pembuangan gas tidak aktif dari
jaringan.
Gelembung-gelembung tersebut memiliki efek mekanik, embolik, dan
biokimiawi dengan manifestasi bervariasi dari ringan hingga berat. Manifestasi
klinis dapat disebabkan oleh efek langsung dari gelembung ekstravaskuler
(autochthonous) seperti distorsi mekanik jaringan yang menyebabkan nyeri, atau
obstruksi vaskuler yang menyebabkan tanda dan gejala seperti stroke. Efek
sekunder dapat menyebabkan onset gejala yang tertunda hingga 24 jam setelah
muncul ke permukaan (surfacing). Kerusakan
endotel akibat gelembung intravaskuler dapat menyebabkan kebocoran kapiler,
ekstravasasi plasma, dan hemokonsentrasi. Disfungsi endotel, yang dinilai dari
penurunan efek dari zat vasoaktif, telah dilaporkan terjadi pada hewan dan dapat
terjadi pada manusia. Hipotensi dapat terjadi pada kasus yang berat.
Efek lain termasuk aktivasi dan deposisi platelet, adhesi leukosit-endotel,
dan kemungkinan konsekuensi dari oklusi vaskuler terjadi pada stroke
tromboemboli seperti ischaemia-reperfusion injury, dan apoptosis (Vann et al,
2011).

7
Gambar 2.1. Patofisiologi DCS

2.1.4 Faktor Risiko


Berikut adalah faktor risiko terjadinya DCS (James dan Jain, 2017) :
1. Kedalaman dan durasi. Penyelaman lebih dari 10 meter berisiko terjadi
DCS. Secara umum, semakin dalam dan lama penyelaman, gas yang
terabsorbsi semakin banyak, resiko DCS semakin tinggi.
2. Usia. Penyelam yang lebih tua cenderung lebih berisiko terjadi DCS.
3. Obesitas. Obesitas meningkatkan resiko DCS. Penyelam yang memiliki
kelebihan berat badan lebih dari 20% dari berat badan ideal seharusnya
dilarang menyelam hingga menurunkan berat badannya.
4. Debilitation. Faktor yang menyebabkan kondisi penyelam yang tidak baik
seperti dehidrasi, hangover atau kelelahan berpredisposisi terjadi DCS.
5. DCS. Pernah mengalami DCS sebelumnya, terutama DCS neurologis,
akan berisiko terulang kembali.
6. Dingin. Menyelam pada kondisi dingin membuat kecenderungan DCS
lebih besar.
7. Serum kolesterol yang tinggi dan hemokonsentrasi merupakan predisposisi
terbentuknya gelembung.
8. Adanya patent foramen ovale merupakan faktor resiko terjadinya DCS
pada penyelam karena menyebabkan emboli vena masuk ke dalam
sirkulasi sistemik.
9. Mengudara setelah menyelam dan kenaikan yang cepat ke ketinggian.

8
2.1.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DCS dikategorikan berdasarkan sistem organ. Skema
untuk mengklasifikasikan manifestasi klinis DCS dapat dilihat pada gambar 2.1,
dimana DCS termasuk dalam konteks yang lebih luas yaitu DCI (Edmonds et al,
2016).

Gambar 2.2. Skema Klasifikasi Manifestasi Klinis DCS

2.1.5.1 Mild DCS


Gejala DCS ringan terangkum dalam gambar 2.2 (Edmonds et al, 2016).

Gambar 2.3. Gejala DCS ringan oleh remote DCS workshop tahun 2004.

9
2.1.5.2 Pulmonary DCS
Sering disebut sebagai cardiopulmonary DCS, manifestasi ini jarang dan
berpotensi mematikan. Onset biasanya cepat setelah menyelam dan sering terjadi
akibat provocative profile (contoh dimana penghentian dekompresi tidak
dilakukan karena suatu alasan). Penyelam mengeluh batuk dan sesak, yang
dikenal dengan istilah “the chokes”. Dapat juga terjadi nyeri dada retrosternum
dan progresi dari kebingungan hingga kehilangan kesadaran dan kolaps, yang
merefleksikan hipotensi progresif. Cardiac arrest dan kematian dapat terjadi
(Edmonds et al, 2016).
2.1.5.3 Cutaneous DCS
Bercak kemerahan superfisial dan gatal sebagai bagian dari gejala DCS
ringan telah dibahas sebelumnya. Manifestasi kulit yang disebut cutis marmorata
tidak termasuk gejala ringan karena sering berhubungan dengan manifestasi yang
lebih serius. Bercak dapat berkembang secara cepat dan dapat berubah warna
dalam waktu singkat. Bercak dapat terasa gatal pada awalnya, tetapi semakin
progresif menjadi kurang iritatif atau kadang-kadang menjadi nyeri. Signifikansi
dari cutis marmorata adalah sering berhubungan dengan manifestasi lain yang
lebih serius seperti spinal DCS (Edmonds et al, 2016).
2.1.5.4 Spinal DCS
Semua tingkat medulla spinalis dapat terlibat, walaupun distribusi
thoracolumbar merupakan yang paling sering. Kelainan ini secara tipikal
menyebabkan gejala dalam 30 menit pertama setelah menyelam, dan gejala
pertama biasanya terjadi perubahan sensoris bilateral, yang mana sering dimulai
dari distal ke proksimal, diikuti oleh ascending paraplegia. Kelainan ini sering
berhubungan dengan hilangnya sensasi dan tonus kandung kemih dan hilangnya
tonus anus. Keterlibatan servikal dapat menyebabkan perubahan sensoris dan
kelemahan pada ekstremitas atas. Natural history dari DCS spinal bervariasi.
Perbaikan spontan mungkin terjadi, khususnya dengan pemberian
oksigen. Namun, sekuel permanen sering terjadi bahkan setelah diterapi dengan
rekompresi dan oksigen hiperbarik. Hal ini membuat DCS spinal adalah penyakit
disbarik yang paling ditakuti (Edmonds et al, 2016).

10
2.1.5.5 Inner ear DCS
Inner ear DCS bermanifestasi dengan gejala vestibular (vertigo, nausea,
muntah, ataksia) atau gejala cochlear (tinnitus, ketulian) atau kedua-duanya.
Keduanya dapat membaik dengan spontan dan responsif terhadap rekompresi dan
oksigen hiperbarik. Baik diterapi maupun tidak diterapi, kemungkinan dapat
terjadi long-term injury, khususnya ketulian permanen (Edmonds et al, 2016).
2.1.5.6 Cerebral DCS
DCS dapat bermanifestasi dengan sindrom diseksekutif dimana penyelam
mengeluh gangguan pada konsentrasi, memori, mood, dan fungsi kognitif lainnya.
Manifestasi ini biasanya disadari terlambat ketika penyelam kembali ke rumah
atau pekerjaan ((Edmonds et al, 2016).
2.1.5.7 Lymphatic DCS
Gejala limfatik yaitu terjadinya pembengkakan subkutan yang terlokalisir.
Dapat terjadi pada tempat dimana terdapat nyeri muskuloskeletal atau pada lokasi
lain. Kelainan biasanya terjadi beberapa jam setelah menyelam dan pada akhirnya
akan membaik meskipun tidak dilakukan rekompresi (Edmonds et al, 2016).
2.1.5.8 Combined presentations
Kombinasi gejala dapat terjadi dan berguna untuk membantu menegakkan
diagnosis. Sebagai contoh, isolated monoarthropathy setelah menyelam
meningkatkan kecurigaan diagnosis alternatif seperti strain otot. Monoarthropathy
yang dikombinasi dengan parestesia patchy dan bercak kemerahan akan lebih
memastikan diagnosis DCS (Edmonds et al, 2016).
2.1.5.9 Fulminant DCS
Pada fulminant DCS terdapat bukti yang jelas penyebaran efek sistemik
gelembung secara luas seperti hemokonsentrasi, syok dan koagulopati. Bentuk
penyakit ini seringkali fatal kecuali terdapat intervensi expert dan komprehensif.
Terapi suportif seperti sedasi, airway management, resusitasi cairan, dan
dukungan farmakologi untuk hemodinamik menjadi prioritas utama dibandingkan
rekompresi (Edmonds et al, 2016).
2.1.6 Penatalaksanaan
Sebagai tambahan terhadap penatalaksanaan suportif secara umum,
diantaranya resusitasi cairan, proteksi jalan napas, dan mempertahankan tekanan

11
darah, pemberian oksigen 100% pada ground level (1 atmosfer absolut) selama
beberapa jam meskipun klinis membaik direkomendasikan sebagai pertolongan
pertama semua kasus DCS (Moon, 2014). Oksigen murni mengeluarkan gas tidak
aktif dari paru-paru dan membentuk gradient gas tidak aktif terbesar dari jaringan
hingga gas alveoli. Gradient tersebut menyebabkan pengeluaran secara cepat gas
tidak aktif dari jaringan ke paru melalui perfusi dan dari gelembung ke jaringan
dengan difusi, dan pengeluaran gelembung. Keuntungan lain dari oksigen murni
adalah perbaikan dari hipoksia jaringan yang disebabkan oleh bubble-induced
iskemia, kerusakan mekanik atau biokimiawi. Pada penelitian observasional,
pasien dengan DCS yang menerima oksigen saat pertolongan pertama mengalami
perbaikan gejala setelah beberapa kali rekompresi daripada yang tidak menerima
oksigen (Vann et al, 2011).
Terapi yang direkomendasikan untuk DCS adalah pemberian oksigen pada
tekanan yang lebih besar dari sea level (hyperbaric oxygen). Rekompresi dengan
menghirup oksigen 100% mengurangi volum gelembung dan meningkatkan
gradient tekanan parsial gas tidak aktif antara jaringan dan gas alveoli. Efek ini
menyebabkan resolusi gelembung secara cepat, mengurangi tekanan mekanik
pada jaringan sekitar, dan menyebabkan redistribusi gelembung pada
mikrosirkulasi. Oksigen hiperbarik juga mengoksigenasi jaringan dan
memperbaiki respon inflamasi yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Rekompresi tetap dilakukan meskipun manifestasi klinis membaik dengan
pertolongan pertama karena DCS dapat berulang beberapa hari setelah onset
pertama (Moon, 2014; Vann et al, 2011).

2.1.7 Pencegahan
Terjadinya DCS tidak dapat diprediksi dan bahkan penyelam yang sangat
terlatih dapat mengalaminya. Berikut adalah beberapa anjuran untuk mengurangi
risiko (Edmonds et al, 2012).
1. Waktu dan kedalaman yang akurat
Penyelam penting untuk mengetahui kedalaman dan durasi penyelaman
secara akurat. Alat pengukur kedalaman yang menunjukkan kedalaman
maksimal yang dapat dicapai sangat berguna, karena penyelam sering

12
menyelam lebih dalam dari yang mereka sadari. Jam tangan underwater
dan lebih bagus lagi, bottom timer akan sangat berguna.
2. Laju kenaikan lambat
Naik ke permukaan secara perlahan sangat penting dan penyelam
seharusnya tidak naik lebih cepat dari laju yang direkomendasikan oleh
tabel penyelaman (8-10 meter atau 25-33 kaki per menit merupakan laju
kenaikan yang aman).
3. Penghentian dekompresi rutin
Direkomendasikan penghentian dekompresi minimal secara rutin setiap 3-
5 meter selama 3-5 menit untuk mengeliminasi nitrogen secara parsial dan
emboli vena di pembuluh darah paru.
4. Rencana penyelaman
Ketika penyelaman berulang atau multi-level direncanakan, penyelaman
yang lebih dalam seharusnya dilakukan terlebih dahulu. Penyelaman
rekreasi berulang pada hari yang sama seharusnya memiliki interval
permukaan yang lama diantara penyelam, selama 4 jam atau lebih bila
memungkinkan, dan maksimal 3 penyelaman dalam satu hari.
5. Restriksi setelah penyelaman
Dianjurkan untuk beristirahat selama satu jam atau lebih setelah
penyelaman yang dalam dan lama untuk memastikan eliminasi nitrogen
dari jaringan. Interval permukaan seharusnya lebih dari 2-4 jam. Tidak
dianjurkan untuk mengudara dan berada di ketinggian dalam 24 jam
setelah penyelaman.
2.2 Terapi Oksigen Hiperbarik
2.2.1 Definisi
Terapi oksigen hiperbarik adalah terapi dimana pasien menghirup oksigen
100% yang lebih besar dari 1 ATA (Atmosphere Absolute) atau 760 mmHg
(Buettner & Wolkenhauer, 2007). Terapi ini dapat diaplikasikan didalam suatu
ruangan yang bisa di dalamnya satu orang (monoplace chamber) atau lebih dari
satu orang (multiplace chamber). Secara umum, terapi oksigen hiperbarik dapat
diberikan 1,5 – 6 atmosphere absolute tergantung dari indikasi penyakit tersebut
(Kemenkes, 2008). Dalam kondisi normal, oksigen dibawa oleh sel darah merah

13
keseluruh tubuh. Tekanan udara yang tinggi, akan menyebabkan jumlah oksigen
yang dibawa oleh sel darah merah meningkat Terapi ini merupakan terapi
komplementer yang dilakukan bersama dengan terapi medis konvensional . Sifat
oksidasi kuat yang dimiliki oleh oksigen bertekanan tinggi (oksigen hiperbarik)
mempunyai efek terapi yang sangat berharga dalam beberapa keadaan klinis
(Guyton, 2006).

2.2.2 Jenis Ruangan Oksigen Hiperbarik


Terdapat beberapa jenis ruangan untuk dilakukan terapi oksigen hiperbarik
, dengan Ruangan Udara Bertekanan Tinggi (RUBT) (Kemenkes, 2008),
diantaranya :
1. Kelebihannya adalah mudah dioperasikan, mudah untuk ditempatkan
RUBT Ruang Tunggal (Monoplace)
Merupakan tipe RUBT yang sering digunakan. Pasien dapat dipindahkan
ke dalam RUBT dengan oksigen yang diisi sesuai tekanan, yaitu tidak
lebih dari 3 ATA. Digunakan untuk penanganan pasien individu, kasus
infeksi, dan perawatan intensif., tidak membutuhkan masker muka, mudah
untuk mengobservasi pasien, serta hanya membutuhkan sedikit tenaga
operator.
2. RUBT Ruang Ganda (Multiplace atau “walk-in chamber)
Digunakan untuk pengobatan bersama beberapa pasien, dimana pasien
bernafas melalui masker yang menutup mulut dan hidung. Tekanan yang
digunakan dapat sampai 6 ATA ( untuk indikasi emboli udara dan
penyakit dekompresi).
3. RUBT pengangkut (Mobile / portable)
RUBT yang dapat dipindahkan dan bergerak kemana saja dibutuhkan,
dapat langsung berfungsi di lokasi, bahkan di tempat parkir Rumah Sakit.
Tipe ini sangat ideal untuk mendukung operasional militer.
4. RUBT untuk uji coba dan latihan penyelam
Digunakan untuk melakukan uji coba terhadap penyelam dimana ruangan
tersebut di simulasikan sesuai dengan keadaan penyelaman.
5. Small Hyperbaric Chamber
Digunakan untuk neonatus dan hewan percobaan.

14
2.2.3 Pemilihan Tipe RUBT
Tabel 2 : Pemilihan Tipe RUBT
TIPE TEKANAN TIPE INDIKASI
Sampai 1,5 ATA RUBT Ruang Tunggal dan - Iskemia serebral
RUBT Ruang Ganda - Iskemia kardiak
- Iskemia peripheral
vaskuler
- Pengobatan tambahan
untuk kebugaran,
kedokteran olahraga,
skin flaps, dan trauma
akustik
Sampai 2,5 ATA Non portable dan portable - Crush injury
- Gas gangren
- Luka bakar
Sampai 3 ATA Non portable dan portable - Penanganan darurat pada
penyakit dekompresi
Sampai 6 ATA RUBT Ruang Ganda - Emboli udara
- Dekompresi
(Sumber : Kemenkes, 2008)

2.2.4 Mekanisme Penggunaan Terapi Hiperbarik


Prinsip fisiologis pada penggunaan terapi oksigen hiperbarik adalah bahwa
tidak adanya 𝑂2 pada tingkat seluler akan menyebabkan gangguan kehidupan
pada semua organisme. Oksigen yang berada disekeliling tubuh manusia masuk
kedalam tubuh melalui cara pertukaran gas. Fase-fase respirasi dari pertukaran gas
terdiri dari fase ventilasi, transportasi, utilisasi, dan difusi. Saat pemberian tekanan
oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler yang menipang kehidupan suatu
kehidupan organisme mendapatkan kondisi yang optimal (Buettner, 2006).
Efek fisiologis dapat dijelaskan melalui mekanisme oksigen yang terlarut
di plasma. Pengangkutan oksigen ke jaringan akan meningkat seiring dengan

15
peningkatan oksigen terlarut dalam plasma. Bahkan dengan semakin populernya
khasiat dan manfaat terapi ini, pemakaiannya telah semakin meluas sebagai terapi
kebugaran tubuh serta kecantikan sebagai terapi yang bertujuan memberikan efek
awet muda. Terapi oksigen hiperbarik memiliki mekanisme dengan memodulasi
Nitrit Okside (NO) pada sel endotel. Pada sel endotel ini terapi oksigen hiperbarik
juga meningkatkan Intermediate Vascular Endotel Growth Factor (VEGF).
Melalui siklus krebs terjadi peningkatan NADH yang memicu peningkatan
fibroblas. Fibroblas yang diperlukan untuk sintesis protoglikan dan bersama
dengan VEGF akan memacu sintesis kolagen pada proses remodelling, salah satu
tahapan dalam penyembuhan luka. Prinsip-prinsip pada hukum fisika seperti
Hukum Boyle, Hukum Henry, Hukum Amonton, dan Hukum Fick juga dianut
dalam penerapan terapi ini (Buettner, 2006).

2.2.5 Indikasi
Kelainan atau penyakit yang merupakan indikasi terapi oksigen
hiperbarik diklasifikasikan menurut kategorisasi yang dibuat oleh The
Committee of Hyperbaric Oxygenation of the Undersea and Hyperbaric
Medical Society adalah sebagai berikut (Hariyanto et al, 2016) :
a. Luka yang tidak sembuh-sembuh, skin graft
b. Cedera karena kecelakaan, compartment syndrome, trauma
iskemik
c. Gas gangrene/infeksi clostridial myonecrosis
d. Operasi plastik dan rekonstruktif
e. Infeksi jaringan lunak yang nekrotik
f. Orthopedi: non-union bone, bone graft, osteoradionecrosis
g. Penyakit vascular perifer : syok, iskemik, myocardial, operasi
jantung
h. Neurologi: stroke, multiple sclerosis, migraine, cerebral edema,
dementia
i. Hematologi: anemia karena banyak kehilangan darah
j. Sudden deafness
k. Emboli gas atau udara

16
l. Decompression sickness
m. Keracunan karbon monoksida
n. Penyakit paru: abses paru, emboli paru

2.2.6 Kontraindikasi
1. Kontraindikasi absolut
a. Kontraindikasi absolut adalah pneumothorak yang belum dirawat,
kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat dikerjakan
tindakan bedah untuk mengatasi pneumothorak tersebut
2. Kontraindikasi relatif
Beberapa keadaan yang memerlukan perhatian tetapi bukan merupakan
kontraindikasi absolut pemakaian oksigen hiperbarik adalah sebagai
berikut:
a. Infeksi saluran napas bagian atas
b. Sinusitis kronis
c. Penyakit kejang
d. Emfisema yang disertai retensi CO2
e. Panas tinggi yang tidak terkontrol
f. Riwayat pneumothorax spontan
g. Riwayat operasi dada
h. Riwayat operasi telinga
i. Kerusakan paru asimptomatik yang ditemukan pada penerangan atau
pemotretan dengan sinar X
j. Infeksi virus
k. Spherositosis kongenital
l. Riwayat neuritis optic
(Hariyanto et al, 2018)
2.2.7 Komplikasi
Ketika digunakan dalam protokol standar tekanan yang tidak melebihi
3 ATA (300 kPa) dan durasi pengobatan kurang dari 120 menit, terapi
oksigen hiperbarik aman. Efek samping yang paling umum adalah: (Gill et
Bell, 2004)

17
a. Barotrauma telinga
Sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menyamakan tekanan di
kedua sisi membran timpani akibat tuba eustachius tertutup. Barotrauma
telinga tengah dan sinus dapat dicegah dengan teknik ekualisasi, otitis
media dapat dicegah dengan pseudoephedrine. Barotrauma telinga dalam
sangat jarang, tapi jika membran timpani rupture dapat menyebabkan
gangguan pendengaran permanen, tinnitus dan vertigo.
b. Barotrauma paru
Pneumothoraks dan emboli udara lebih berbahaya pada terapi ini.
Komplikasi akibat robek di pembuluh darah paru karena perubahan
tekanan, tapi jarang terjadi.
c. Barotrauma dental
Menyebabkan nyeri pada gigi berlubang akibat penekanan saraf.
d. Toksisitas oksigen
Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan bernafas selama lima menit
udara biasa di ruang udara bertekanan tinggi untuk setiap 30 menit
oksigen. Hal ini memungkinkan antioksidan untuk menetralisir radikal
oksigen yang terbentuk selama terapi.
e. Gangguan neurologis
Meningkatkan potensi terjadinya kejang akibat tingginya kadar O2
f. Fibroplasia retrolental
Tekanan parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan penutupan
paten ductus arteriosus sehingga pada bayi premature secara teori dapat
terjadi fibroplasia retrolental.
g. Katarak
Komplikasi ini jarang terjadi
h. Transient myopia reversible
Meskipun jarang namun dapat terjadi setelah terapi HBO
berkepanjangan yang menyebabkan perubahan bentuk / deformitas dari
lensa.

18
2.3 Pengaruh Terapi HBO Terhadap Perkembangan Neovaskularisasi Pada
Decompression Sickness
2.3.1 Peran HBO terapi
Terapi oksigen hiperbarik dilakukan pada suatu ruang hiperbarik
(hyperbaric chambers) yang dibedakan menjadi 2, yaitu multiplace dan
monoplace. Multiplace dapat digunakan untuk beberapa penderita pada waktu
yang bersamaan dengan bantuan masker tiap pasiennya, sedangkan pada
monoplace digunakan untuk pengobatan satu orang pasien saja. Pasien dalam
suatu ruangan menghisap oksigen tekanan tinggi (100%) atau pada tekanan
barometer tinggi (hyperbaric chamber). Kondisi kamar terapi harus memiliki
tekanan udara yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan
tubuh (1 ATA). Keadaan ini dapat dialami oleh seseorang pada waktu menyelam
atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi yang dirancang baik untuk
kasus penyelaman maupun pengobatan penyakit klinis. Tekanan atmosfer pada
permukaan air laut sebesar 1 atm. Setiap penurunan kedalaman 33 kaki, tekanan
akan naik 1 atm. Tiap terapi diberikan selama 2 atau 3 ATA, menghasilkan 6 ml
oksigen terlarut dalam 100ml plasma, dan durasi rata-rata terapi sekitar 60-90
menit. Jumlah terapi bergantung dari jenis penyakit. Untuk yang akut sekitar 3-
5 kali dan untuk kasus kronik bisa mencapai 50-60 kali. Dosis yang digunakan
pada perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman untuk
pasienselain berkaitan dengan lamanya perawatan yang dibutuhkan, juga
dikatakan bahwa tekanan di atas 2,5 ATA mempunyai efek imunosupresif
(
Sourabh et all. 2012).
Prinsip kerjanya diawali dengan pemberian oksigen 100% tekanan 2-3
atm. Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompression
sickness. Kondisi ini akan memicu meningkatnya fibroblas dan
angiogenesis yang menyebabkan neovaskularisasi jaringan luka, sintesis
kolagen, dan peningkatan efekfagositik leukosit. Kemudian akan terjadi
peningkatan dan perbaikan aliran darah mikrovaskular. Densitas kapiler
meningkat sehingga daerah yang mengalami iskemia akan mengalami
reperfusi. Sebagai respon, akan terjadi peningkatan nitrit oksida (NO)
hingga 4-5 kali dengan diiringi pemberian oksigen hiperbarik 2-3 ATA

19
selama 2 jam. Pada sel endotel ini, oksigen juga meningkatkan intermediet
vascular endothelial growth factor (VEGF). Melalui siklus Krebs akan
terjadi peningkatan nikotinamid adenin dinukleotida hidrogen (NADH)
yang memicu peningkatan fibroblas. Fibroblas diperlukan untuk sintesis
proteoglikan dan bersama dengan VEGF akan memacu sintesis kolagen
pada proses remodelling, salah satu tahapan dalam penyembuhan luka.
Oksigen penting dalam hidroksilasi lisin dan prolin selama proses sintesis
kolagen dan untuk penyatuan dan pematangan kolagen. Kekurangan
oksigen dalam jumlah yang signifikan akan menyebabkan gangguan
sintesis kolagen. (Schreml et all. 2010).
2.3.2 Mekanisme Aksi
Neovaskularisasi terjadi melalui dua proses. Rangsangan angiogenik
regional mempengaruhi efisiensi pertumbuhan pembuluh darah baru oleh sel
endotel lokal (disebut angiogenesis), dan mereka merangsang perekrutan dan
diferensiasi sel stem / progenitor yang bersirkulasi untuk membentuk pembuluh
de novo dalam proses yang disebut vasculogenesis. Oksigen hiperbarik memiliki
efek pada kedua proses ini (Stephen, 2011)
Oksigen hiperbarik meningkatkan kadar HIF-1 dan HIF-2 pada sel stem /
progenitor vaskulogenik karena peningkatan spesies oksigen reaktif. Salah satu
konsekuensi dari spesies oksigen reaktif yang dimediasi stres adalah peningkatan
produksi antioksidan thioredoxin dan salah satu enzim pengaturnya, thioredoxin
reduktase. (Stephen, 2011)
Thioredoxin dapat bertindak sebagai faktor transkripsi dan pada sel-sel
stem / progenitor tampaknya menjadi spesies proksimal yang bertanggung jawab
untuk mempromosikan ekspresi dan aktivitas HIF (Stephen, 2011)
HIF-1 dan HIF-2 kemudian menstimulasi transkripsi banyak gen yang
terlibat dengan neovaskularisasi. Stres oksidatif fisiologis yang memicu jalur
yang sama adalah metabolisme laktat
Sintesis faktor pertumbuhan endotel vaskular telah terbukti meningkat
pada luka oleh oksigen hiperbarik, dan itu adalah faktor pertumbuhan yang
paling spesifik untuk neovaskularisasi. (Stephen, 2011)

20
Oksigen hiperbarik juga menstimulasi sintesis fibroblast growth factor
dasar dan mengubah growth factor B1 oleh human dermal fibroblast,
angiopoietin-2 oleh sel-sel endotel vena umbilikalis manusia, dan fibroblast
growth factor dasar dan hepatosit growth factor pada anggota badan iskemik;
dan itu mengatur reseptor platelet-derived growth factor pada luka. (Stephen,
2011)
Mekanisme umum untuk mekanisme ini adalah bahwa respon stres
oksidatif meningkatkan kejadian neovaskularisasi. Sel dalam luka menunjukkan
peningkatan sintesis kolagen, produksi growth factor, migrasi sel meningkat, dan
fungsi tube-formation. Mekanisme terpisah berbasis radikal bebas untuk
augmentasi neovaskularisasi oleh oksigen hiperbarik adalah melalui sel stem /
progenitor. Hyperoxia menstimulasi penyebaran sel-sel stem / progenitor
sumsum tulang dan juga meningkatkan fungsi-fungsi mereka setelah mereka
pulang ke situs perifer. (Stephen, 2011)

21
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

Penurunan tekanan sekitar melebihi


HBO2
tingkat pembuangan gas dari tubuh

Peningkatan Hiperbarik
Supersaturasi
level O2 seluler

Gas cepat lepas dari


Peningkatan ROS dan
jaringan dalam
RNS
bentuk tidak larut

Gelembung gas
Peningkatan sintesis Mobilisasi
SPC dari
wound growth factor
Sumsum
tulang Intravaskular Ekstravaskular Intrasel

Improved
Hipoksia seluler, Distorsi jaringan,
neovaskularisasi iskemik jaringan kerusakan sel

22
BAB IV

KESIMPULAN
Dari data-data yang ada, dapat disimpulkan fungsi dan peran terapi HBO
adalah sebagai berikut, antara lain:

1. Angiogenesis atau pembentukan pembuluh darah baru


2. Memperbaiki fungsi platelet
3. Meningkatkan sirkulasi darah, sehingga oksigen dalam darah dapat
terdistribusi dengan baik.
4. Menyeimbangkan imunitas tubuh
5. Membantu produksi Growth Hormone

Manfaat terapi HBO pada Decompression sickness :

1. HBO merupakan satu-satunya treatment definitive yang bisa


menyelamatkan nyawa pada pasien DCS, dan UHMS
merekomendasikan treatment pada 2,8 ATA, dapat diulang sampai
10x jika gejala menetap.
2. HBO melakukan rekompresi pada gelembung gas dan memaksa
gas itu berubah kembali menjadi larut pada saat ascent.
3. Gas Nitrogen inert digantikan oleh oksigen yang bermetabolisme
dengan cepat, dan gelembung gas berpindah ke paru dimana gas itu
di eksresi.
.

23
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. Terapi HBOT (Hyperbaric Oxygen Theraphy). 2015. Cited on : Dec


10th 2018). Available from : http://lakesla.com/artikel/view/6/Terapi%20H
BOT%20(Hiperbaric%20Oxygen%20Theraphy)

Bai Yan et al, 2013. The autonomic effects of cardiopulmonary decompression


sickness in swine using principal dynamic mode analysis. Am J Physiol
Regul Integr Comp Physiol 305: R748–R758.

Bishop, A. (2008) Role of Oxygen in Wound Healing. In Journal of wound care


17(9), 399-402. doi:10.12968/jowc.2008.17.9.30937

Buettner M.F., dan Wolkenhauer D., 2006, Hyperbaric Oxygen Therapy in the
Treatmenet of Open Fracture and Crush Injuries, Emerg Med Clin N Am

Buettner M.F., dan Wolkenhauer D., 2007, Hyperbaric Oxygen Therapy in the
Treatmenet of Open Fracture and Crush Injuries, Emerg Med Clin N Am
25: 178

Djauw, Lukman. Terapi Oksigen Hiperbarik (TOHB) Di Lembaga Kesehatan


Kelautan Angkatan Laut (Lakesla). Surabaya. 2015.

Edmonds C et al, 2016. Decompression Sickness. Di dalam Diving and


Subaquatic Medicine 5th edition. Boca Raton : Taylor and Francis Group.
Edmonds C, McKenzie B, Thomas R, 2012. Decompression Sickness. Di dalam
Diving Medicine for SCUBA Divers 4th edition. New South Wales :
National Library of Australia Catalogue.

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah:
Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2006.

1
Hariyanto et al, 2016, Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik, LAKESLA,
Surabaya

Hariyanto et al, 2018, Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik, LAKESLA,


Surabaya

James PB, Jain KK, 2017. Decompression Sickness. Di dalam Textbook of


Hyperbaric Medicine 6th edition. Basel : Springer International Publishing.

Mahdi, H. et al. (2009). Ilmu kesehatan penyelaman dan hiperbarik. Surabaya.


Lakesla

Moon RE, 2014. Hyperbaric Oxygen Treatment for Decompression Sickness.


UHM 2014 vol.41 no.2.

Papadopoulou V et al, 2013. A critical review of physiological bubble formation


in hyperbaric decompression. Advances in Colloid and Interface Science
191–192 (2013) 22–30.
Schreml S, Szeimies RM, Prantl L, Karrer S, Landthaler M, Babilas P. Oxygen in
acute and chronic wound healing. British Journal of Dermatology. 2010;
163(2):257-68.
Stephen, R.T., 2011., Hyperbaric oxygen its mechanisms and efficacy, Plast
Reconstr Surg., 127(1): 131S-141S

Sourabh B, Guruswamy V. Hyperbaric oxygen and wound healing. Indian J Plast


Surg. 2012; 45(2): 316-24

Vann RD, Butler FK, Mitchell SJ, Moon RE, 2010. Decompression illness.
Lancet 377: 153–164.

2
Wahab, C., Budiningsih, and M. Guritno, Decompression sickness among
Maroami diving fisherman in Jakarta. Med. J. Indonesia, 2008. 17(3):
p.197-201.

Anda mungkin juga menyukai