Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN HASIL TUTORIAL

SKENARIO 2
TRAUMA AKIBAT HEWAN LAUT

Nama Anggota Kelompok:

1 Fulqy Fatmala Saesal H1A013025


2 I Made Wikrama Resindra H1A014032
3 Athiyatun Annisa H1A014006
4 Azillatin Ruhul Ma‟ani H1A014007
5 Galan Armadani H1A014027
6 Dilla Elysmasia H1A014017
7 Erly Tibyan Wahyuly H1A014022
8 Jihan Istighfaroh H1A014034
9 Varian Asman H1A014078
10 Ni Made Dhita Yogiswari H1A014053
11 Paulus Taufik H1A014063
12 Muliana H1A014047
13 Opi Yusmaniar H1A014062
14 Vania Shabrina Laksmi H1A014077

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN


MUATAN LOKAL KEDOKTERAN KEPULAUAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial ini sebagai suatu laporan atas
hasil diskusi kami yang berkaitan dengan kegiatan tutorial.
Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam
menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan skenario 2
tentang ”Trauma Akibat Hewan Laut” ini serta Learning Objective yang kami cari. Karena
ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami.
Tidak lupa terimakasih kami ucapkan kepada dr. Dian Puspita Sari, M.Med.Ed
selaku tutor kami atas masukan-masukan beliau selama proses diskusi. Kami berharap
laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kepada para pembaca.

Mataram, Juni 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar ............................................................................................................... 2
Daftar Isi .......................................................................................................................... 3
I. Pendahuluan
1.1 Keterangan Pelaksanaan Tutorial ...................................................................... 4
1.2 Skenario 2 .......................................................................................................... 5
1.3 Mind Map........................................................................................................... 7
1.4 Learning Objective ............................................................................................ 7
II. Pembahasan
2.1 Jenis trauma akibat hewan laut ........................................................................... 8
2.2 Jenis-jenis hewan laut yang menyebabkan trauma ............................................. 11
2.2.1 Envenomasi .................................................................................................. 11
2.2.2 Traumatic Injury .......................................................................................... 37
2.2.3 Seafood Poisioning ...................................................................................... 39
2.3 Faktor yang Memengaruhi trauma akibat hewan laut ........................................ 41
2.4 Tanda Kegawatdaruratan .................................................................................... 41
2.5 Indikasi perujukan akibat trauma akibat hewan laut .......................................... 42
2.6 Kejadian Tetanus ................................................................................................ 43
2.7 Pencegahan dan Edukasi mengenai trauma akibat hewan laut ........................... 43

III. Penutup
Kesimpulan ........................................................................................................... 44
IV. Daftar Pustaka .......................................................................................................... 45

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Keterangan Pelaksanaan Tutorial
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pertemuan ke-1 (Step 1-5)
Hari, tanggal : Rabu, 19 Juni 2019
Waktu : 11.20 – 13.00 WITA
Tempat : Ruang Tramed 13
Pertemuan ke-2 (Step 7)
Hari, tanggal : Kamis, 20 Juni 2019
Waktu : 10.00 – 11.40 WITA
Tempat : Ruang Tramed 13

B. Data Kelompok
Tutor : Dian Puspita Sari, M.Med.Ed
Ketua : Erly Tibyan Wahyuly (H1A014022)
Sekretaris : Fulqy Fatmala Saesal (H1A012025)
Scribber : Galan Armadani (H1A014027)
Anggota : I Made Wikrama Resindra H1A014032
Athiyatun Annisa H1A014006
Azillatin Ruhul Ma‟ani H1A014007
Dilla Elysmasia H1A014017
Jihan Istighfaroh H1A014034
Varian Asman H1A014078
Ni Made Dhita Yogiswari H1A014053
Paulus Taufik H1A014063
Muliana H1A014047
Opi Yusmaniar H1A014062
Vania Shabrina Laksmi H1A014077

4
1.2 SKENARIO 2
Pada Juli 2015 dilaporkan oleh tim SAR Linmas Pantai Parangtritis, Yogyakarta, ada
661 orang tersengat ubur-ubur di Pantai Parangtritis. Peringatan telah diberikan agar
wisatawan tidak mandi di laut karena sedang musim ubur-ubur sekitar Juli - September.
Korban sebagian besar ibu-ibu dan anak-anak. Mereka mengeluhkan panas dan ada dua orang
yang pingsan. Penanganan dari tim SAR menyebutkan bahwa korban terkena sengatan di
kaki, tangan, dan tubuh. Sebagai penanganan awal, diberikan cuka. Menurut tim, stok alkohol
dan amoniak mulai menipis, padahal kedua zat tersebut diperlukan untuk penanganan awal.
https://www.liputan6.com/news/read/2276241/661-orang-tersengat-ubur-ubur-di-pantai-
parangtritis

Dilaporkan oleh Elise Dwi Ratnasari, CNN Indonesia pada Minggu, 20/08/2017 19.54 WIB:

Jakarta, CNN Indonesia -- Puluhan wisatawan yang berkunjung ke objek wisata


pantai di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tersengat ubur-ubur dalam
sepekan terakhir.Anggota SAR Satlinmas Korwil II Pantai Baron Saryanto di Gunung Kidul
mengimbau seluruh wisatawan agar menggunakan alas kaki atau tidak menyentuh biota laut
yang ada."Kami juga meminta agar wisatawan tidak sembarangan memegang biota laut yang
ada. Sering kali binatang laut beracun menyerupai karang dan sulit terlihat," kata Saryanto
seperti dikutip Antara, Minggu (20/8).Data SAR Satlinmas Korwil II Pantai Baron
menunjukkan dalam sepekan terakhir lebih dari 20 wisatawan menginjak berbagai hewan
beracun mulai dari ubur-ubur, bahkan bulu babi. Hewan-hewan beracun ini diakui petugas
SAR sering keluar saat posisi air laut sedang surut. Hewan-hewan itu diduga terbawa air laut
yang menuju ke daratan dan tak bisa kembali ke tengah laut karena terjebak batu karang.
"Kami berharap para wisatawan berhati-hati, dan kami juga berupaya memberikan imbauan,
baik melalui pengeras suara maupun papan peringatan," katanya. Salah seorang wisatawan,
Tulasmin warga Plosokerep, Desa jeruksawit, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten
Karanganyar kesakitan usai terserang ikan beracun atau yang sering disebut oleh warga
pesisir sebagai ikan dook.Ia mengaku merasakan nyeri hebat usai menginjak sesuatu saat dia
tengah mencari ikan bersama sang anak di Pantai Drini."Sakit tidak tahu menginjak apa, tiba-
tiba kaki terasa nyeri," katanya. Tim SAR Satlinmas Korwil II Pantai Baron langsung
melakukan pertolongan pertama dengan memberikan cairan alkohol serta pembersih luka
agar kaki Tulasmin tidak terkena infeksi.
5
Dikutip dari: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170820194919-269-
236060/puluhan-wisatawan-di-gunung-kidul-tersengat-ubur-ubur

Pada 6 September 2015 diberitakan bahwa ada 2 turis asal Jerman yang sedang
berenang di sebuah pantai di Thailand tersengat ubur-ubur. Salah satu turis tersebut
mendapatkan sengatanbeberapa kali yang berakibat pada reaksi sistemik tubuh dan berakhir
pada kematian. Polisi setempat melaporkan bahwa peristiwa sengatan ubur-ubur kotak ini
sudah ketiga kalinya dalam 14 bulan yang berakhir tragis
https://news.okezone.com/read/2015/10/08/18/1228570/turis-di-thailand-tewas-tersengat-
ubur-ubur

Data dari sebuah penelitian di Amerika Serikat (O‟neil et al., 2007), menyebutkan
bahwa trauma akibat hewan laut dari tahun 2001 – 2004 di Amerika Serikat sebanyak 4012,
dengan rincian 724 akibat sengatan ubur-ubur, 459 akibat sengatan ikan pari (sting ray), dan
829akibat hewan lain. Total kejadian tersebut adalah sekitar 0,4% dari seluruh kasus
kegawatdaruratan akibat gigitan atau sengatan hewan secara umum. Hewan-hewan lain yang
juga perlu diwaspadai saat snorkeling di laut selain hewan-hewan yang sudah disebutkan di
atas adalah bulu babi, ikan batu (stone fish), bulu seribu, dan ular laut.

O‟neil, ME., Mack, KA., Gilchrist, J., 2007. Epidemiology of Non-canine Bote and Sting
Injuries Treated in U.S. Emergency Departments, 2001 – 2004. Public Health Reports, 122.

6
1.3 MIND MAP

TRAUMA AKIBAT HEWAN LAUT

JENIS HEWAN JENIS TRAUMA


TATALAKSANA
LAUT AKIBAT HEWAN
LAUT

- MORFOLOGI
- CARA MENYEBABKAN
TRAUMA

ENVENOMASI TRAUMATIC SEAFOOD


INJURY POISIONING

1.4 Learning Objective (LO)


1. Perbedaan morfologi ular laut atau tidak
2. Ikan Pari (Manta ray vs Sting ray)
3. Trauatic Injury dan Seafood Poisioning
4. Outcome tatalaksana terkait larutan yang digunakan
5. Apakah ada resiko tetanus pada tusukan bulu babi
6. Pengaruh pemberian urine terhadap tusukan bulu babi
7. Tanda kegawatdaruratan dan indikasi rujukan
8. Faktor yang memengaruhi gejala
9. Cara pencegahan

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Trauma akibat hewan laut


Trauma akibat hewan laut dapat menimbulkan gejala yang bervariasi dan dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti tipe cedera, perbedaan reaksi tiap individu, penatalaksanaan
awal, dan keterlambatan penanganan. Faktor tambahan lain yang dapat berpengaruh seperti
status dan tipe kesehatan individu, potensi dan kuantitas racun yang terkena atau terkonsumsi,
dan kerusakan jaringan.

Trauma akibat hewan laut yang berbahaya dibagi menjadi tiga kelompok besar:
a. Envenomasi (sengatan atau tusukan beracun)
Envenomasi merupakan suatu proses dimana suatu bisa atau racun dimasukkan
atau disuntikkan ke organisasi lain melalui gigitan, tusukan, atau sengatan. Beberapa
ikan (contohnya lionfish) menggunakan racun sebagi mekanisme perlindungan diri.
Cedera terjadi akibat kontak langsung dengan duri atau sirip ikan tersebut. Hal itu dapat
terjadi pada kontak yang tidak sengaja dilakukan saat naik atau turun atau saat mengatasi
biota laut lainnya.
Envenomasi dapat menimbulkan reaksi alergi, dan pada beberapa kasus yang
berat dapat menyebabkan penyempitan saluran pernafasan. Pertolongan pertama yang
dapat dilakukan termasuk Basic Life Support dengan menjaga jalan nafas serta
kemungkinan pemberian CPR.
Luka yang diakibatkan oleh hewan laut membawa resiko infeksi bakteri seperti
adanya tetanus. CDC merekomendasikan untuk dilakukannya booster tetanus setiap 10
tahun, atau 5 tahun pada luka yang sangat beresiko tinggi terkena tetanus.
Kriteria hewan yang dapat mengakibatkan envenomasi pada cedera akibat biota laut
dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Vertebrata
Hewan vertebrata dikarakteristikan dengan adanya tulang belakang dan columna
spinalis. Pada kelompok ini termasuk ikan, amfibi, reptile, burung, dan mamalia.
Envenomasi dari spesies ikan menyebabkan trauma local dari terbentuknya luka
tusukan atau robekan.

8
2) Invertebrata
Hewan invertebrata merupakan hewan tanpa adanya tulang belakang dan mencakup
lebih dari 98% dari spesies hewan di dunia. Cedera yang terjadi mengakibatkan
envenomasi dan trauma jaringan lokal (iris dan goresan). Yang termasuk kelompok
ini adanya luka tusukan dan sengatan.
b. Traumatic Injury/Cedera traumatik (fisik)
Gigitan akibat hewan laut merupakan kasus tersering yang masuk ke dalam
cedera traumatik akibat biota laut. Beruntungnya, kasus ini jarang terjadi dan biasanya
terjadi akibat reaksi pertahanan hewan tersebut atau salah interpretasi bagian tubuh
sebagai sumber makanan. Gigitan dapat terjadi ketika penyelam mencoba memberi
makan hewan seperti belut moray, barakuda, dan bahkan ikan hiu. Kasus gigitan hampir
semuanya adalah kecelakaan dan jarang mengancam nyawa.
Semua gigitan yang terjadi beresiko tinggi untuk terjadinya infeksi dan harus
mendapatkan penanganan berupa pembersihan luka yang optimal. Keparahan cedera
yang terjadi bergantung beberapa faktor seperti lokasi gigitan, ukuran hewan yang
menggigit, kehilangan darah yang terjadi, dan keterlambatan pemberian penanganan.
Penanganan pertama yang harus dilakukan adalah kontrol perdarahan dan mengurangi
resiko dari infeksi.
c. Seafood Poisioning/Keracunan makanan laut
Kebanyakan komplikasi gastrointestinal pada manusia terjadi akibat
mengkonsumsi makanan laut yang telah disimpan. Penyimpanan dan penyajian makanan
laut yang kurang baik biasanya ditandai dengan bau amis yang menyengat akibat
pemecahan asam lemak tertentu. Namun, bau amis saja tidak menandakan bahwa
makanan tersebut mengandung racun dan tidak dapat dikonsumsi.
Terdapat beberapa spesies laut, terutama di daerah tropis, yang menyimpan racun
spesifik di kulit, otot, jaringan, dan bahkan alat kelamin hewan tersebut. Keracunan
makanan laut terjadi ketika mengkonsumsi makanan atau cairan yang terkontaminasi
oleh bakteri, parasite, virus, atau toksin tertentu.
Terdapat tiga syndrome utama yang berhubungan dengan keracunan makanan,
yaitu:
1) Ciguatera
Merupakan kondisi serius, dan beberapa menjadi fatal, yang bisa sembuh dengan
sendirinya, yang mempengaruhi sistem gastrointestinal dan neurologis akibat
9
konsumsi beberapa jenis spesies ikan tropis. Penyebabnya diyakini berupa
dinoflagelata, sejenis protozoa, yang memproduksi ciguatoksin. Organisme ini tinggal
di alga dan permukaan koral yang sudah mati dan kemudian dikonsumsi oleh ikan-
ikan karang. Ikan-ikan tersebut kemudian dimakan oleh predator yang lebih besar dan
terjadilah bioakumulasi dari toksin tersebut. Ikan besar yang sudah mengalami
bioakumulasi dari racun tersebut, jika dimakan oleh manusia, akan menimbulkan
gejala.
Gejala toksisitas yang timbul bergantung pada paparan dan dosis dari toksin yang
terkandung. Onset biasanya muncul dalam 2-6 jam setelah konsumsi.
Beberapa spesies ikan yang sering mengandung ciguatoksin seperti barakuda, snaper,
belut muray, grouper, dan ikan kakak tua. Toksin ini jarang didapatkan pada spesies
ikan tuna, marlin, lumba-lumba, atau ikan pari. Konsentrasi tertinggi didapatkan
dibagian hati, intestinal, dan alat kelamin. Ciguatoksin merupakan toksin yang tahan
terhadap panas, sehingga tidak terpengaruh ketika dibekukan, dimasak, atau terkena
asam lambung.
2) Keracunan tetrodotoksin (tetrodotoksisme)
Tetrodotoksin adalah agen pemblokir neuromuscular yang kuat yang merupakan salah
satu bentuk keracunan yang paling serius. Tetrodotoksin larut dalam air dan tahan
terhadap panas.
Keracunan toksin ini berasal dari konsumsi ikan-ikan tertentu dan hewan laut
invertebrate, seperti ikan fugu, porcupinefish, ocean sunfish, dan triggerfish.
Beberapa spesies katak dan cacing juga diketahui mengandung toksin ini.
Tetradotoksin sering kali ditemui terbanyak pada bagian hati, intestinal, alat kelamin,
dan kulit dari hewan-hewan tersebut. Onset dari gejalanya muncul sekitar 30 menit
sampai beberapa jam setelah dikonsumsi.
3) Keracunan ikan skrombroid (sindrom histaminoid)
Skombroid disebabkan oleh konsumsi ikan yang mengandung histamine yang tinggi.
Sering dibingungkan dengan alergi makanan laut. Perbedaannya, pada skombroid
histamine yang ada berasal dari makanan laut tersebut. Bukan dari reaksi tubuh
individu tersebut.
Histamine pada makanan laut akan muncul pada penyimpanan dalam ruang dingin
(lemari es) yang tidak langsung dilakukan setelah ikan ditangkap. Paparan matahari
dan penyimpanan dalam lemari es yang tidak adekuat akan menyebabkan invasi
10
bakteri dari saluran pencernaan ikan tersebut. Saat bakteri sudah mencapai daging dari
ikan tersebut, bakteri tersebut akan merubah histidin menjadi histamine. Jenis hewan
laut yang menyebabkan keracunan ini berasal dari family Scombroidae, yang
didalamnya termasuk ikan tuna, bonito, mackerel, mahi-mahi, ikan teri, sardine, dan
herring. Jenis keracunan memiliki onset gejala sekitar 10-30 menit setelah konsumsi,
dan biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam 8-12 jam.

2.2 Jenis-Jenis Hewan Laut yang dapat Menyebabkan Trauma

2.2.1 Envenomasi

a. Ubur-Ubur/Jellyfish

1) Morfologi
Ubur-ubur atau jelly fish termasuk dalam Phylum Cnidaria. Binatang ini hidup
di laut/daerah pantai dengan bentuk seperti bel/lonceng dengan jari-jarinya yang
disebut tentakel. Ubur-ubur termasuk kelompok hewan invertebrata dengan tubuh
bergelatin, sehingga mirip dengan agar-agar/jeli. Tubuhnya mengandung 95% air.
Cnidaria pada tentakelnya memiliki organel yang disebut nematocyst.

Gambar 2.1 Struktur dan mekanisme Nematocyst


11
Racun yang dihasilkan merupakan campuran kompleks protein yang
mengandung bradikinine, hemolysine, serotonine, histamine, prostaglandine,
adenosine triphosphatase, nucleotidas, fibrinolysine, RNAse, DNAse,
dermatoneurotoksin, kardiotoksin, neurotoksin, miotoksin dan protein antigen.
Walaupun banyak perbedaan morfologi antara tiap jenisnya, semua ubur-ubur
memiliki bagian tubuh yang sangat kecil (mirip balon air) yang dinamakan dengan
nematocyst. Setiap nematocyst mengandung benang tajam yang telah dilumuri oleh
bisa (racun). Setiap benang mengandung duri di bagian ujungnya dan dapat
menembus kulit manusia ketika "ditembakkan" oleh ubur-ubur. Nematocyst berada di
suatu kantung luar (cnidoblast) yang berjajar sepanjang tentakel ubur-ubur. Ketika
cnidoblast terbuka karena adanya tekanan hidrostatik, kontak fisik (dengan semua
benda, termasuk manusia), perubahan osmolalitas, atau karena dari stimulasi zat
kimia, cnidoblast mengeluarkan nematocyst yang kemudian "menembakkan" suatu
benang tajam yang dapat menembus kulit manusia dan menyebarkan bisanya. Jenis
toksin yang umumnya terkandung dalam bisa uburubur adalah neuromuscular toxins,
cardiotoxins, hemolysins, dermonecrotoxins, dan senyawasenyawa mirip histamin.

Ubur – ubur atau jellyfish terbagi menjadi beberapa kelas:


1. Kelas Scyphozoa atau Scyphozoan yang merupakan ubur-ubur „sejati‟, tersebar
luas di seluruh dunia. Ubur-ubur jenis ini mempunyai tentakel (organ tubuh yang
dapa memanjang dan fleksibel) yang muncul dengan interval waktu yang teratur
dari seluruh bagian tubuhnya yang seperti bell/lonceng. Kejadian fatal akibat
envenomasi jenis uburubur ini terjadi di Filipina sebanyak 100 kasus, Australia 66
kasus, Kalimantan 6 kasus, Jepang 2 kasus dan Malaysia 2 kasus.
2. Kelas Cubozoa (Cubozoans). Bentuknya kubus/kotak dengan tentakel di bagian
sudutsudutnya. Umumnya hidup di perairan Australia Utara dan sepanjang
perairan Indo Pasifik. Tipe ini sangat berbahaya dan menyebabkan ribuan kasus
kematian pada manusia. Tipe ini terdiri dari 2 famili, yaitu: - Carybdeids,
tentakelnya hanya di setiap sudut bagian bawah „bell‟ - Chirodropids
(multitentacled box jelly fish), mempunyai lebih dari 1 tentakel pada setiap sudut
bell
3. Kelas Hydrozoa terdiri dari: - Physalia sp atau Portuguese man-o-war atau
„bluebottle‟ Spesies ini berada di daerah tropis sepanjang Indo Pasifik, memiliki

12
panjang 33 cm dan panjang tentakelnya 30 m. Biasanya ubur-ubur jenis ini berada
di perairan tropis atlantis3. Ubur-ubur ini beracun, memiliki penyengat berupa
tentakel sebagai alat pertahanan diri dalam keadaan terancam. Physalia physalis
banyak ditemukan di pantai selatan Indonesia, di antaranya di Pantai Papuma
Jember.

Bagan 2.1. Kelas Phylum Cnidaria

2) Patofisiologi
Pada bagian patofisiologi ini, akan dibahas jenis ubur-ubur yang paling sering
menyebabkan trauma, yaitu Hydrozoa (Physalia physalis), Cubozoa (Carukia barnesi
yang menyebabkan Irukandji Syndrome), Schypozoa (Pelagia Noctiluca, Chrysaora
quenquechira).
a. Physalia physalis (Portugese Man-O-War dan Physalia Urticulus/Blue Bottle)

Gambar 2.2 Physalia physalis


13
Venomnya memiliki efek neurotoksik dan kardiovaskular toksik.
Venomnya akan merusak membrane plasma sel sehingga menyebabkan influks
kalium ke dalam sel dan pembengkakan sel, sehingga kemudian akan terjadi lisis
sel.

Mekanisme kerja dari bisa (racun) spesies Physalia physalis adalah dengan
menghambat masuknya kalium ke dalam retikulum sarkoplasma (pada jaringan
otot). Bisa dari Physalia physalis juga terbukti dapat memblokir impuls syaraf
skiatika (punggung bawah hingga ke paha, betis, tumit dan telapak kaki) serta
terbukti mengakibatkan ektopi ventrikular, kolaps kardiovaskular, hiperkalemia
dan hemolisis.

Beberapa penelitian mengatakan bahwa ubur-ubur jenis ini dapat


menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat dan lambat.

b. Cubozoa

Gambar 2.3 Cubozoa

Ubur-ubur jenis ini memiliki venom yang dapat diabsorpsi dengan cepat
kedalam otot dan jaringan saraf, sehingga dapat menimbulkan kegagalan sistem
kardiovaskular dengan manifestasi klinis henti jantung dalam waktu kurang dari 3
menit setelah sengatan. Venom dari ubur-ubur ini dapat merusak membran miosit
dengan menyebabkan terbentuknya pori-pori sehingga menyebabkan influks Ca
ke dalam sel sehingga menyebabkan kegagalan sistem kardiovaskular.

Calcium Channel Blocker (CCB) dapat menjadi salah satu alternatif terapi
untuk mencegah influks Ca ke dalam otot jantung.
14
c. Carukia Barnesi

Gambar 2.4 Carukia Barnesi

Irukanji syndrome merupakan manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan oleh


ubur ubur jenis ini. irukandji sindrom ditandai dengan berkeringat, anxietas, kram
otot, hipertensi berat yang kemudian dapat berlanjut menjadi hipotensi. Venom
dari ubur ubur jenis Carukia barnesii ini akan menyebabkan peningkatan
pelepasan katekolamin sehingga menyebabkan vasokonstriksi arteriola. Hal ini
akan menyebabkan timbulnya hipertensi berat dan nyeri akibat vasokonstriksi
arteriola. Nyeri yang timbul disebabkan oleh iskemia jaringan karena
vasokonstriksi arteriola.

Tatalaksana yang dapat diberikan adalah pemberian MgSO4 intravena untuk


menurunkan pelepasan katekolamin sehingga dapat segera mengatasi gejala
hipertensi berat dan nyeri yang timbul.

d. Pelagia noctiluca dan Chrysaora quenquechira

Gambar 2.5 Pelagia noctiluca dan Chrysaora quenquechira

15
Gejala yang dapat ditimbulkan oleh Pelagia noctiluca berupa pruritus dan
wheezing. Selain itu juga dapat menimbulkan anafilaksis, hal ini disebabkan
karena basofil segera melepaskan histamine sebagai respon terhadap venom yang
berasal dari tentakel ubur-ubur. Sementara bias (racun) spesies Chrysaora
quenquechira mengandung polipeptida yang dapat bersifat hepatotoksik, dapat
menginduksi blokade AV, iskemik miokard, hipertensi dan blokade konduksi
syaraf.
3) Tanda dan Gejala Klinis
Secara umum, sengatan Cnidarian dibagi menjadi ringan, iritasi yang dapat
sembuh sendiri sampai cedera yang serius dan sangat nyeri, tergantung pada toksin dari
spesies yang terlibat dan jumlah racun. Sengatan spesies tertentu seperti cubomedusae
atau box jellyfish dapat berakibat fatal.
Pertama korbannya akan merasakan nyeri seperti terbakar pada daerah yang
kontak dengan tentakel. Beberapa menit kemudian di daerah yang tersengat timbul pola
seperti bekas cambuk dengan tanda merah yang zigzag sebesar 2 - 3 mm. Durasi nyeri
bervariasi, tetapi seringkali mulai berkurang setelah 30 menit. Urtika umumnya berkurang
dalam 1 jam tetapi petekie ungu kecoklatan dan pigmentasi pasca-inflamasi dapat
menetap selama beberapa hari.
a. Cubomedusae (Class Cubozoa): Box Jellyfish
Gejala dan Tanda
Awalnya sengatan terlihat bengkak linear dengan gambaran seperti
bekas cambuk. Sengatan C. fleckeri yang masih baru mudah dikenali karena
memiliki gambaran seperti tangga atau menyilang dan tampak membeku
.Diagnosis mikroskopik mungkin dapat dilakukan dari kerokan kulit atau
dengan menempelkan selotip pada tempat sengatan. Nyeri yang hebat dapat
menetap selama beberapa jam. Area yang paling berat tersengat memberikan
gambaran sianotik yang samar dan dapat terbentuk bula dan nekrosis. Proses
penyembuhan berjalan lambat dan dapat disertai komplikasi superinfeksi
bakteri dan skar.
Kematian dapat terjadi dalam beberapa menit disebabkan karena agen
– agen kardiotoksik dan neurotoksik dalam racun yang dapat menyebabkan
aritmia ventrikular dan gagal jantung, serta gagal pernapasan.Hemolisis

16
intravaskular yang disebabkan oleh toksin dapat mempresipitasi gagal ginjal
akut..
Sindrom Irukandji adalah respons yang berat dan terlambat (umumnya
30 menit tapi di antara 5 dan 40 menit) terhadap sengatan dari small box
jellyfish, yang dinamakan Irukandji jellyfish, yang mengakibatkan kematian
pada 2 turis di Cairns-Port Douglas, Australia. Sindrom klasik terdiri dari
tanda lokal inflamasi bersamaan dengan nyeri punggung berat, kram otot,
piloereksi, berkeringat, nausea, vomitus, sakit kepala, dan palpitasi.Pada kasus
yang paling berat dapat progresi menjadi hipertensi yang ekstrim dan gagal
jantung. Hanya satu spesies, Carukia Barnesi, yang berhubungan dengan
sindrom ini, tapi setidaknya ada 6 spesies berbeda dari small jellyfish yang
mungkin menjadi penyebab.Hampir semua sengatan terjadi di perairan yang
dalam.

Gambar 2.6 Tanda Sengatan Box Jellyfish

17
Gambar 2.7 Gambar Tanda Sengatan Box Jellyfish
b. Kelas Hydrozoa (Physallia)
Venomnya memiliki efek neurotoksik dan kardiovaskular toksik.
Venomnya akan merusak membrane plasma sel sehingga menyebabkan
influks Ca ke dalam sel dan pembengkakan sel, sehingga kemudian akan
terjadi lisis sel.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa ubur-ubur jenis ini dapat
menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat dan lambat. Manifestasi klinis
yang timbul segera setelah sengatan, seperti sinkop, hilangnya denyut nadi,
dan pupil tidak reaktif diduga diakibatkan oleh karena rekasi alergi.
Manifestasi klinis lain seperti urtikaria, edema, dan bronkospasme yang timbul
segera setelah sengatan dapat berespon dengan pemberian epinefrin.
Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat respon imun tipe lambat adalah
pruritus,
Physalia memiliki dua spesies yang cukup terkenal yaitu Physalia
physalis (Portuguese Man-O‟-War) banyak ditemukan di north atlantic,
berukuran lebih besar dengan tentakel berukuran 10m – 30m sering
menimbulkan gejala sistemik yang lebih berat dan Physalia utriculus (The
Blue Bottle) banyak ditemukan di indo-pacific, indian ocean, south atlantic,
memiliki tentakel berukuran 2m – 5m jarang menimbulkan gejala sistemik,
18
hanya sebatas nyeri lokal saja. Manifestasi klinik yang umum dari bisa atau
racun Physalia physalis adalah rasa sakit yang hebat, bullae, nekrosis kulit.
Sebagian korban pernah merasakan kelumpuhan dan mati rasa pada daerah
yang tersengat. Gejala sistemiknya adalah badan lemas, mati rasa, cemas, sakit
kepala, nyeri perut dan punggung, diaforesis, vertigo, hemolisis, sianosis,
gagal ginjal, syok dan kematian (jarang). Gejala dari spesies ini muncul secara
cepat dan hilang dalam hitungan jam hingga hari. Gejala umum yang
ditimbulkan adalah:
- Gastrointestinal : nyeri perut, mual dan muntah
- Muscular spasm
- Neurologi : sakit kepala hingga hilang kesadaran
- Cardio-respiratory syndrome : dispnea
4) Tatalaksana
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada pasien yang terkena gigitan
atau sengatan ialah menyingkirkan penyebab gigitan atau sengatan tersebut dengan
handuk, sebaiknya penolong menggunakan sarung tangan, cuci area yang digigit atau
disengat dengan air asin, rendam luka di air panas selama 30 – 90 menit. Penanganan
termasuk pemberian cuka untuk melepaskan nematosit dan membawa korban untuk
mendapatkan penanganan medis termasuk antinyeri dan blokade α, karena racun
diketahui berperan sebagai agonis presinaptik neuron sodium dan menstimulasi
pelepasan norepinefrin.
Reaksi sistemik dapat terjadi dan penanganan untuk ini termasuk menunjang
fungsi vital dengan resusitasi kardiopulmonal, oksigen, dan cairan intravena. Aplikasi
bebat yang menimbulkan kontriksi pada vena-limfatik proksimal dari area luka dapat
dipertimbangkan pada kasus dengan sengatan yang berat ketika terjadi atau akan
terjadi reaksi sistemik, jika deaktivasi tentakel secara topikal tidak memberikan hasil,
dan ketika transportasi untuk mendapatkan antiracun spesifik untuk sengatan C.
fleckeri telah tersedia. Antiracun diambil dari serum domba dan kemungkinan dapat
menyebabkan risiko terjadinya reaksi alergi pada individu yang sensitif.Cara yang
dipilih adalah intravena, tetapi antiracun juga dapat diberikan intramuskular.Pada
sengatan yang berat telah dibuktikan dapat menyelamatan nyawa.
Penanganan ini juga dapat mengurangi intensitas nyeri dan inflamasi pada
tempat sengatan dan menurunkan kemungkinan terjadinya skar.Verapamil intravena
19
dapat diberikan sebagai pengobatan dan profilaksis aritmia.Untuk nyeri pada sengatan
yang berat, analgesik narkotik parenteral dan kompres es, begitu juga dengan anti
racun harus dipertimbangkan.Reaksi lokal dapat diobati dengan anestesi topikal salep,
krim, losion, atau spray untuk mengurangi gatal atau nyeri terbakar.Untuk reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, glukokortikoid topikal, anti histamin, dan glukokortikoid
sistemik dapat digunakan jika perlu.
Infeksi sekunder harus diterapi dengan antibiotik parenteral yang sesuai, dan
terapi antitetanus harus dipertimbangkan.Pemberian es atau kompres dingin dapat
mengurangi nyeri sengatan yang ringan sampai sedang, dan aspirin atau asetaminofen,
sendiri atau kombinasi dengan kodein, dapat digunakan untuk nyeri yang menetap.

b. Ular Laut/Sea Snake

1) Morfologi

Gambar 2.7 Ular Laut (Sea Snake)


Ular laut adalah hewan reptil yang sangat berbisa yang beradaptasi dengan baik
dengan lingkungan laut. Mereka memiliki ekor yang berbentuk seperti dayung, dan ular
laut dewasa dapat mencapai panjang 3-4,5 kaki (90-110 cm). Mereka adalah perenang
yang mahir dan anggun dan telah dikenal untuk mencapai kedalaman hingga 130 kaki
(40 meter) atau lebih. Namun, tidak seperti belut, ular laut memiliki sisik tetapi tidak
memiliki insang atau sirip. Meskipun mereka menghabiskan banyak waktu di bawah air,
mereka harus muncul secara teratur untuk bernapas. Habitat mereka terutama di perairan
tropis dan subtropis di Samudra Hindia dan Pasifik.
Umumnya, ular laut tidak agresif dengan disposisi yang lembut. Mereka tidak
berpikir untuk menggigit manusia kecuali diprovokasi, dan mereka biasanya tidak aktif
20
mengejar mangsa berenang. Ular laut telah dicatat menjadi sangat agresif, ketika mereka
dikeluarkan dari air, menunjukkan gerakan yang tidak menentu dan menyerang apa saja
di dekat mereka yang bergerak. Ular laut dapat menghasilkan rata-rata 10 hingga 15mg
racun, ketika 1,5mg cukup untuk membunuh manusia dewasa rata-rata.
2) Patofisiologi
Ular laut dapat menghasilkan rata-rata 10 hingga 15mg racun, ketika 1,5mg
cukup untuk membunuh manusia dewasa rata-rata. Racun ular laut jarang mengandung
senyawa racun jaringan dalam jumlah besar, oleh karena itu gigitan jarang akan
menyebabkan nyeri lokal. Racun yang secara klinis relevan dalam racun ular laut adalah
neurotoksin dan myotoxins. Neurotoxin primer menyebabkan paralisis perifer dengan
mengikat secara kompetitif pada reseptor nicotinic acetylcholine postsynaptic pada
sambungan neuromuskuler. Myotoxins yang poten dapat menyebabkan nekrosis otot
yang signifikan, dengan konsekuensi myoglobinemia dan hiperkalemia yang mungkin
terjadi setelah envenomation. Racun ular laut tidak mempengaruhi koagulasi darah
hingga tingkat yang signifikan.
Gejala biasanya muncul dalam dua jam setelah gigitan, keracunan yang lebih
serius bisa terjadi lebih cepat. Korban gigitan harus diobservasi di fasilitas kesehatan.
Jika korban gigitan tetap bebas gejala selama lebih dari delapan jam, envenomation
mungkin tidak terjadi, tetapi pengawasan medis lanjutan mungkin masih diperlukan.
Korban kematian terkait Snakebite tidak diketahui di antara para penyelam, tetapi
gigitan fatal telah terjadi di antara nelayan Asia Tenggara selama upaya untuk
memisahkan ular laut yang terperangkap dari jaring ikan.
3) Tanda dan Gejala
Gejala biasanya muncul dalam dua jam setelah gigitan, keracunan yang lebih
serius bisa terjadi lebih cepat. Korban gigitan harus diobservasi di fasilitas kesehatan.
Jika korban gigitan tetap bebas gejala selama lebih dari delapan jam, envenomation
mungkin tidak terjadi, tetapi pengawasan medis lanjutan mungkin masih diperlukan.
Korban kematian terkait Snakebite tidak diketahui di antara para penyelam, tetapi
gigitan fatal telah terjadi di antara nelayan Asia Tenggara selama upaya untuk
memisahkan ular laut yang terperangkap dari jaring ikan.
Tanda dan Gejala Klinis
 Laserasi kecil atau tusukan
 Berdarah
21
 Situs gigitan tanpa rasa sakit
 Retained material pada luka
Tanda-tanda gejala neurologis dini
 Kesulitan menelan (disfagia)
 Mengantuk kelopak mata bagian atas (ptosis)
 Dilatasi pupil (midriasis)
 Penglihatan ganda (diplopia)
 Pidato yang sulit atau menyakitkan (dysphonia)
 Twitch lidah (fasikulasi lingual)
4) Tatalaksana
Perawatan awal bersifat simptomatis, dan responden pertolongan pertama harus
fokus pada tiga tugas utama:
a. Teknik tekanan immobilisasi dianjurkan untuk anggota badan yang terkena.
Membatasi semua gerakan sebanyak mungkin juga disarankan.
b. Jagalah agar korban terhidrasi.
c. Mengangkut korban ke rumah sakit yang mampu mendukung kehidupan lanjut dan
mungkin pemberian antivenom.
d. Hindari insisi, es, atau tindakan pendinginan lainnya.
Perawatan Departemen Gawat Darurat
Perawatan awal adalah sebagai berikut:
 Stabilisasi jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABC)
 Akses intravena
 Pemantauan jantung dan oksimeter denyut kontinu
 Profilaksis tetanus
Kelola semua envenomasi ular laut simtomatik secara rawat inap. Mengingat sifat
envenomation yang berpotensi serius dan risiko yang terkait dengan pemberian
antivenom, sebagian besar pasien memerlukan masuk ke unit perawatan intensif.
Pemberian anti venom diindikasikan untuk setiap pasien dengan tanda-tanda
envenomasi. Agen pilihan adalah antivenom ular laut polivalen (Commonwealth Serum
Laboratories, Melbourne, Australia).
Indikasi untuk penggunaan anti venom termasuk syok, gangguan pernapasan atau
kegagalan, mialgia menyeluruh, trismus, nyeri sedang hingga berat dengan gerakan pasif

22
ekstremitas, mioglobinuria, peningkatan tingkat kreatin kinase (> 600 IU/l), tingkat
kesadaran yang berubah, hiperkalemia, atau leukositosis.
Berikan anti venom sesegera mungkin. Manfaat dapat diamati hingga 36 jam
setelah gigitan. Untuk envenomasi ringan hingga sedang, gunakan satu ampul anti
venom (1000 U). Enestiasi lambat atau parah biasanya membutuhkan 3-10 ampul (3000-
10.000U) anti venom, masing-masing. Jika anti venom tidak tersedia, pertimbangkan
dialisis.
c. Bulu Babi/Sea Urchins

1) Morfologi

Gambar 2.8. Anatomi Bulu Babi

Bulu babi adalah echinodermata, filum hewan laut yang sama dengan
bintang laut, sand dollar, dan teripang. Bulu babi memiliki kaki berbentuk tabung
yang disebut pedicellariae, yang memungkinkan pergerakan. Dalam satu genus
babi laut – babi laut bunga, beberapa pedicellariae telah berevolusi menjadi cakar
beracun. Pada spesies ini, duri pendek dan tidak berbahaya, tetapi cakar beracun
ini dapat menyebabkan envenomasi. Bulu babi memakan bahan organik di dasar
laut. Mulut mereka terletak di dasar cangkang mereka, dan anus mereka ada di
atas. Warna bulu babi bervariasi tergantung pada spesies, umumnya berwarna
hitam, merah, coklat, hijau, kuning dan merah muda.

23
Gambar 2.9 Jenis Bulu Babi

Bulu babi bunga (Toxopneustes spp.) Adalah yang paling beracun dari
semua bulu babi. Duri pendeknya tidak berbahaya, tetapi pedicellariae-nya, yang
terlihat seperti bunga kecil, adalah cakar kecil (Toxopnueustes berarti "kaki
beracun"). Cakar ini mengandung racun yang dapat menyebabkan rasa sakit yang
mirip dengan sengatan ubur-ubur, pusing pingsan, kesulitan bernapas, bicara tidak
jelas, kelemahan umum, dan mati rasa pada bibir, lidah, dan kelopak mata.

Bahaya utama yang terkait dengan bulu babi berasal dari kontak dengan
duri. Meskipun tidak selalu beracun, bulu babi memiliki duri tajam yang mudah
menembus kulit, pakaian selam maupun sepatu, dan cukup rapuh begitu tertanam.
Sifat rapuh duri-duri ini juga dapat membuat pengangkatan menjadi sulit, karena
mereka cenderung putus atau hancur dengan traksi. Meskipun luka tusukan tidak
harus terinfeksi, mereka dapat merangsang reaksi benda asing pada tubuh. Trauma
tertusuk duri yang melibatkan persendian mungkin memerlukan pembedahan.
Pencegahan adalah kuncinya. Kontak fisik dengan bulu babi harus selalu dihindari
kecuali memiliki pengetahuan, peralatan, atau pengalaman untuk menanganinya
dengan aman. Jika spesies yang bertanggung jawab atas cedera itu beracun, luka
dengan cepat menjadi sangat menyakitkan, eritematosa, dan bengkak. Gejala
sistemik jarang terjadi dan biasanya ringan dan sembuh sendiri.

24
2) Epidemiologi

Ada spesies bulu babi di semua samudera, dari perairan tropis hingga
arktik. Sebagian besar insiden antara manusia dan bulu babi terjadi di perairan
tropis dan subtropis. Meskipun sedikit data epidemiologis yang tersedia, luka
tusuk bulu babi umum terjadi di antara penyelam, terutama ketika di perairan
dangkal, dekat pantai berbatu atau dekat dengan puing-puing dan permukaan keras
lainnya.

3) Mekanisme Cedera

Bulu babi ditutupi duri, yang dapat dengan mudah menembus sepatu bot
dan pakaian selam, menusuk kulit dan pecah. Duri-duri ini terbuat dari kalsium
karbonat, zat yang sama yang terdiri dari kulit telur. Duri bulu babi biasanya
berlubang dan bisa rapuh, terutama dalam hal pengambilan duri yang rusak dari
kulit. Cedera biasanya terjadi ketika orang-orang menginjaknya sambil berjalan
melintasi dasar berbatu yang dangkal atau kolam pasang. Penyelam dan perenang
snorkel sering terluka saat berenang di permukaan di perairan dangkal serta ketika
memasuki atau keluar air dari penyelaman pantai.

4) Tanda dan gejala

- Nyeri tajam, menyengat


- Pembengkakan local
- Kemerahan (eritema)
- Kerusakan jaringan dan/atau duri yang menonjol dari kulit
- Dalam kasus yang parah, terdapat kelemahan otot, mual, muntah, dan
parestesia.
- Sangat jarang timbul komplikasi yang membahayakan jiwa.

5) Pertolongan pertama

Belum ada perawatan yang diterima secara universal untuk luka tusukan
bulu babi. Baik pertolongan pertama dan perawatan definitif simptomatis. Berikut
pertolongan pertama yang dapat dilakukan:

25
- Benamkan area yang terkena dalam air panas (batas atas 113 ° F / 45 ° C)
selama 30 hingga 90 menit. Jika Anda membantu korban sengatan, cobalah air
pada diri Anda terlebih dahulu untuk menilai tingkat panas yang dapat
ditoleransi. Jangan mengandalkan penilaian korban, karena rasa sakit dapat
merusak kemampuannya untuk mengevaluasi tingkat panas yang dapat
ditoleransi. Jika Anda tidak bisa mengukur suhu air, aturan praktis yang baik
adalah menggunakan air terpanas yang bisa Anda toleransi tanpa mendidih.
Perhatikan bahwa area tubuh yang berbeda memiliki toleransi terhadap panas
yang berbeda, jadi uji air di area yang sama di mana penyelam terluka. Ulangi
jika perlu.
CATATAN: Sangat sedikit spesies bulu babi yang mengandung racun. Jika ada
racun, perendaman air panas juga dapat membantu denaturasi racun yang ringan.
- Ambil semua duri yang terlihat dipermukaan. Pinset dapat digunakan untuk
tujuan ini; namun, duri bulu babi berlubang dan bisa sangat rapuh saat diambil
dari samping.
CATATAN: Jangan mencoba menghilangkan duri yang tertanam lebih dalam di
kulit; biarkan para profesional medis menangani itu. Duri yang tertanam dalam
dapat terurai menjadi potongan-potongan kecil, mempersulit proses pengambilan.
- Cuci area tersebut dengan sabun dan air bersih secara menyeluruh, tetapi
hindari menggosok dengan keras jika menduga masih ada duri yang menempel
di kulit.
- Berikan larutan antiseptik atau salep antibiotik jika ada.
- Jangan menutup luka dengan selotip atau lem; ini dapat meningkatkan risiko
infeksi.
CATATAN: Luka tusukan dalam adalah lingkungan yang sempurna untuk
membiakkan infeksi, terutama tetanus. Dapat direkomendasikan pemberian anti
tetanus.
- Apa pun pertolongan pertama yang diberikan, selalu cari evaluasi medis
profesional.
Terdapat teori lama tentang pertolongan terhadap bulu babi dapat
dilakukan dengan menggunakan urin (air kencing). Namun, hal tersebut ternyata
tidak direkomendasikan dan tidak terbukti secara ilmiah membantu dalam
menangani kasus bulu babi.
26
6) Pengobatan

Berlawanan dengan kepercayaan umum, sangat sedikit spesies bulu babi


yang sebenarnya beracun. Nyeri dan pembengkakan sering merupakan akibat dari
reaksi tubuh terhadap berbagai antigen yang ada di permukaan duri. Duri biasanya
ditutupi dengan pigmen yang kuat, sehingga luka tusukan individu sering terlihat
jelas dan dapat menyebabkan kecurigaan bahwa setiap tusukan mengandung
fragmen duri. Meskipun ini mungkin, itu mungkin tidak selalu demikian. Lebih
mudah untuk menilai setiap tusukan individu begitu proses inflamasi akut sudah
mulai reses. Keputusan apakah perlu dilakukan operasi pengangkatan duri yang
ditahan biasanya didasarkan pada keterlibatan lapisan otot atau sendi dan apakah
ada rasa sakit dengan gerakan atau tanda-tanda infeksi.

Duri biasanya akan mengendap dalam waktu singkat, tetapi mereka


mungkin tidak selalu larut. Granuloma reaktif adalah reaksi umum terhadap sisa
benda asing kecil. Lokalisasi radiologis, fluoroskopi atau USG mungkin berguna
untuk menghindari ekstraksi bedah buta yang dapat menyebabkan fraktur duri
lebih lanjut. Penggunaan anti-inflamasi dan terapi fisik sering merupakan kunci
untuk mengelola cedera ini, terutama ketika mereka melibatkan sendi kecil karena
proses inflamasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan fibrosis, yang dapat
membatasi rentang gerak. Jika ada tanda-tanda infeksi, dokter dapat meresepkan
antibiotik dan anti tetanus.

7) Pencegahan
Waspada saat memasuki atau keluar air dari penyelaman pantai, terutama
ketika bagian bawahnya berbatu. Jika berenang, snorkeling, atau menyelam di
perairan dangkal, di dekat pantai berbatu atau di dekat puing-puing dan
permukaan keras lainnya, pertahankan jarak yang hati-hati dan kontrol daya
apung. Hindari memegang hewan-hewan ini.

d. Ikan Pari

1) Morfologi Sting Ray


Ikan Pari mendiami perairan pesisir tropis dan subtropis yang hangat dan
beberapa diantaranya dapat dijumpai di perairan tawar. Seringkali Pari dijumpai

27
berenang di perairan dangkal, atau bahkan berdiam diri di dalam pasir. Ikan Pari
masuk ke dalam Kelas Elasmobranchii dan dikenal sebagai Ikan Batoid, yaitu
kelompok ikan bertulang rawan yang dilengkapi ekor panjang seperti cemeti atau
cambuk, namun bukan berbentuk sirip. Biasanya pada pangkal ekor Pari terdapat satu
sampai lima duri yang mempunyai jaringan kelenjar racun di sebelah bawahnya. Pada
beberapa jenis Pari, duri tajam tersebut terdapat di bagian ventral dan dorsal.
Keberadaan duri tajam itulah yang membuat Pari disebut sebagai Ikan Sting Rays atau
Ikan Duri Penyengat. Pari tidak segan-segan untuk melukai lawannya atau
melumpuhkan mangsanya dalam keadaaan terancam, bahkan apabila tidak segera
ditangani dikhawatirkan dapat menyebabkan kematian.

Gambar 2.10 Sting Ray


Secara umum Pari mempunyai bentuk tubuh sangat pipih, gepeng melebar
(depressed) sehingga menyerupai piringan cakram yang lebarnya ditambah sirip dada
yang lebar seperti sayap yang bergabung dengan bagian depan kepala (Gambar 1).
Apabila dilihat dari bagian atas (anterior) dan bawah (posterior), tubuh Pari tampak
oval atau membundar Lebar atau luasan piringan cakram tersebut dapat mencapai 1,2
kali dari panjangnya dan umumnya diduga dapat untuk melihat pola pertumbuhan
serta ukuran pada saat ikan matang gonad.

28
Gambar 2.11 Akematik Sting ray

Mata Ikan Pari cenderung menonjol dan terletak di bagian samping kepala.
Pada bagian belakang mata terdapat lubang yang berfungsi untuk bernafas . Udara
hasil pernafasan dibuang melalui celah insang (gill opening atau gill slits) yang
berjumlah lima sampai enam pasang, dan terdapat di sisi kepala bagian ventral atau
bawah. Bentuk mulutnya terminal, dengan posisi di bagian bawah tubuh. Sirip
punggung hampir dikatakan tidak ada atau tidak jelas terlihat.
Dalam hal mencari makan, Pari bersifat predator yang memangsa jenis-jenis
ikan berukuran kecil, kepiting, kerang dan beberapa invertebrata. Keagresifan Pari
dalam mencari mangsa, membuat Pari didaulat sebagai salah satu predator teratas
untuk jenis-jenis ikan pelagis. Ikan Pari bersifat dioecious, yaitu alat kelamin jantan
dan betina dapat dibedakan dengan jelas. Pari jantan mempunyai sepasang alat
kelamin terletak di pangkal ekor yang dinamakan clasper, yang bila telah berukuran
panjang melebihi dari sirip perut maka Pari tersebut dapat dikatakan telah dewasa.
Sedangkan untuk betina tidak mempunyai clasper namun alat atau lubang kelaminnya
dapat terlihat.
2) Morfologi Manta Ray
Secara ilmiah, pari manta (2 spesies) dan mobula (9 spesies), berasal dari satu
suku, yaitu suku obulidae. Kesemuanya merupakan filter feeder, menggunakan mulut
dan tapis insangnya untuk menyaring plankton dan ikan-ikan kecil pada kolom air.
29
Secara umum, pari genus mobula berukuran lebih kecil dibandingkan pari manta, dan
dapat dibedakan dari perbedaan morfologi pada mulut dan cuping kepala. Pari genus
mobula mempunyai ukuran panjang rahang bagian bawah, setengahnya dibandingkan
rahang bagian atas, sehingga ketika menutup mulut, ujung rahang bagian bawah
posisinya berada lebih ke belakang dari rahang bagian atas. Sedangkan pari manta,
kedua rahangnya berada sejajar.

Gambar 2.12 Manta Ray


Perbedaan morfologi lainnya adalah pada bentuk cuping kepala. Pada pari
genus mobula, ketika cuping tersebut apabila digulung terlihat seperti bentuk dua
buah tanduk yang menonjol, sehingga dinamakan juga “pari setan /devil rays”. Fungsi
utama dari cuping ini adalah untuk mengarahkan plankton ke dalam mulut mereka
yang menganga pada waktu makan. Cuping kepala pada pari manta berukuran lebih
besar dan lebar menyerupai dayung yang bertemu di bagian tengah mulut, membentuk
seperti cerobong di daerah mulut.
Perbedaan antara Manta birostris dan Manta alfredi terletak pada warnanya,
pada Manta birostris terdapat tanda warna yang jelas di bagian dorsal (punggung),
sedangkan pada Manta alfredi terdapat gradasi warna. Pada bagian ventral (perut)
Manta birostris tidak terdapat noktah di antara kedua baris insang dan memiliki warna
hitam di dekat mulut sementara Manta alfredi memiliki noktah, diantara kedua baris
insang namun bagian mulut tetap berwarna terang. Perbedaan lainnya adalah pada
bagian pangkal ekor Manta birostris terdapat tonjolan tulang belakang sedangkan
30
pada Manta alfredi tidak ada. Pada penampakan sekilas Manta birostris memilki
ukuran relatif besar, setidaknya memiliki lebar 700 cm dan maksimum 910 cm,
sedangkan Manta alfredi kira-kira hanya memiliki lebar 500 cm.

Gambar 2.13 Gambar perbedaan Manta alfredi dengan Manta birostris


Pari manta memiliki bentuk tubuh hidrodinamis, sayap yang besar,
memiliki kemampuan untuk berenang jarak jauh, tercatat lebih dari 250
kilometer per minggu, dengan kecepatan berenang lebih dari 14 knot, dan
dapat menyelam lebih dari kedalaman 200 meter. Pari manta harus berenang
terus menerus untuk mendapat oksigen dari air, sama seperti ikan hiu.
Tingkah laku pari manta dapat dibagi menjadi :
a. Berenang / Cruising : Ketika pengamatan, pari manta hanya berenang.
b. Makan / Feeding : Pari manta membuka mulut melawan arus, melakukan
gerakan menghisap di perairan, atau melakukan gerakan mengambil makanan
ke permukaan.

31
c. Membersihkan diri / Cleaning :Pari manta berenang berputar di Cleaning
station, dimana ikan-ikan kecil memakan kotoran yang menempel di tubuh
pari manta.
d. Kawin / Mating : Pari manta jantan dan betina melakukan perkawinan, seekor
betina dikejar puluhan jantan.
e. Lainnya / Others : Terkadang pari manta melakukan manuver berputar berkali
kali di air, atau melakukan lompatan ke udara (Breaching). Hal inibelum
diketahui tujuannya, namun ilmuwan menduga pari manta berkomunikasi,
membersihkan parasit atau bahkan hanya bermain. Hal ini sangat
memungkinkan mengingat pari manta adalah ikan yang memiliki ukuran otak
yang paling besar dibandingkan dengan rasio tubuh.
Pari manta merupakan planktivora atau hewan yang memakan organisme
mikroskopis terutama zooplankton. Pada penelitian di perairan Meksiko dan Karibia,
pari manta diketahui memakan ikan dan udang kecil, serta telur ikan. Pari manta
makan dengan cara menyaringnya lewat insang / filter feeder. Sirip depan (cephalic
lobes) membantunya dalam meningkatkan efisiensi, dengan mengalirkan air kedalam
mulut dan memasukkan lebih banyak plankton. Insang mengalirkan air ke luar,
menyaring plankton dan mendistribusikannya ke dalam tubuh.
3) Perbedaan Sting Ray dan Manta Ray
Berikut tabel yang membedakan kedua jenis spesies tersebut :
Manta Ray Sting Ray

Bentuk Tubuh Pipih Pipih

Komposisi Tubuh Terdiri dari tulang rawan Terdiri dari tulang rawan

Birth to Live Young Ya Ya

Tail Stinger Tidak Ya

Habitat Terutama di habitat air Tersebar luas di seluruh


asin tropis dan subtropis habitat tropis dan subtropis
dan sedang serta beberapa
spesies yang hidup di

32
habitat air tawar

Letak Mulut Mulut terletak di bagian Mulut terletak di bagian


depan menghadap ke bawah tubuh
depan dari tubuhnya

Ukuran Sangat besar ukurannya Ukurannya relatif kecil,


mencapai lebar 7m. Lebar biasanya panjangnya
proporsional lebih besar mencapai 2m. Panjangnya
daripada panjangnya. lebih besar secara
proporsional daripada
lebarnya.

Cephalic Fins Memiliki dua Cephalic Tidak memiliki Cephalic


Fins 'seperti tanduk' di Fins
kepalanya

Makanan Zooplankton Krustasea dan Moluska

4) Tanda dan Gejala


Ikan pari adalah salah satu ikan beracun yang sering dijumpai sebagai
penyebab sengatan pada manusia, dilaporkan terjadi serangan ikan pari sekitar 1500 –
2000 setiap tahun di Amerika Serikat. Hampir semua cedera karena ikan pari terjadi
saat berenang, menyelam, atau nelayan yang tidak sengaja menginjak ikan pari yang
terbaring ditutupi pasir di air yang dangkal. Laserasi berat dan luka tusuk sering
disebabkan ikan pari yang membela diri dengan mangayunkan ekor ke muka dan ke
belakang pada saat terinjak atau terancam. Sebagian besar luka terletak di punggung
kaki atau tungkai bawah. Luka tembus di lokasi yang lain biasanya terjadi pada
nelayan yang mencoba mengangkat ikan pari dari tali atau jala. Gejala-gejala biasanya
dirasakan oleh korban yang mengalami sengatan ikan pari adalah nyeri sedang, tajam
dan seperti ditusuk-tusk, luka berdarah, area disekitar luka biasanya bengkak, dan
kemerahan atau membiru, adanya pembesaran kelenjar getah bening, mual, muntah,
demam, kram otot, tremor, peningkatan heart rate, penurunan tekanan darah mungkin
terjadi bahkan kematian.

33
5) Penatalaksanaan
a. Melakukan pemeriksaan luka, jangan lupa melakukan pemeriksaan cermat
kemungkinan luka lain, apabila terjadi perlukaan pada region
thorakoabdominal, segera lakukan rujukan ke fasilitas kesehatan tersier yang
memiliki peralatan dan staf medis yang lengkap.
b. Pastikan kondisi pasien stabil, keluarkan pasien dari air, lakukan pembilasan
luka untuk membuang serpihan duri ekor ikan pari, jaringan kelenjar ikan pari,
namun jika luka yang dihasilkan hanya berupa laserasi superfisial, bukan luka
yang menyebabkan penetrasi ke dada, perut ataupun leher, serta pada duri
yang menancap dalam pada ekstremitas.
c. Jika mengalami perdarahan, lakukan tekanan langsung pada luka, jangan
memberikan ikatan atau torniket untuk menghentikan perdarahan.
d. Bersihkan luka dengan menggunakan larutan irigasi steril atau dengan air
bersih, beberapa rekomendasi lain antara lain dengan merendam luka ke dalam
air hangat ( maksimal 43,3 0C, atau pada suhu yang dapat ditolerir oleh kulit
dan tidak menyebabkan luka bakar) antara 30-90 menit, hal ini karena racun
pada duri ekor ikan pari bersifat heat labile, sehingga racun dari duri ekor
ikan pari dapat mengalami denaturasi dan dapat mengurangi nyeri yang
timbul, namun pada percobaan pada kontrol acak tidak terlalu efektif dan
beresiko menimbulkan perlukaan tambahan akibat panas yang ditimbulkan.
e. Gunakan pinset untuk mencabut duri ekor yang masih menancap, basuh luka
dengan menggunakan air bersih. Lakukan debridemen luka, untuk
membersihkan luka yang ada, untuk menghindari kerusakan jaringan dan
infeksi. Debridemen luka menggunakan larutan salin atau air yang bersih serta
penanganan jaringan nekrosis segera dan secepat mungkin memberikan hasil
penyembuhan yang lebih cepat.
f. Beberapa rekomendasi lain adalah pemberian anastesi lokal dengan lidokain
ataupun bupivakain untuk mengurangi nyeri, lalu selanjutnya memberikan
serum anti tetanus untuk pencegahan. Pemberian anti nyeri juga dapat
dipertimbangkan.
g. Penggunaan antibiotik rutin tidak direkomendasikan pada luka akibat sengatan
ikan pari, antibiotik dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada luka-luka
yang berpotensi menjadi infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan antara lain
34
kloramfenikol, trimetropim/sulfamethoxazole, golongan quinolon, golongan
aminoglikosida ataupun cefalosforin. Biasanya pemberian antibiotik
profilaksis diberikan secara oral dengan jangka waktu minimal 5 hari.
e. Ikan Batu/Stone Fish
1) Morfologi
lkan lepu latu (Synanceia verrucosa) adalah jenis ikan beracun, memiliki duri-
duri yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Famili Synanceiidae berbadan pendek
dan gempal. Kepalanya berukuran besar, berduri, dan tertutup sisik kecil yang
tertanam di dalam kulit. Letak kedua matanya tidak nampak karena ukurannya sangat
kecil, berada di atas kepala. lkan ini mempunyai mulut agak besar menjulang ke atas
dengan gigi tajam. Ketika ada mangsa berada di depan atau di sampingnya langsung
diserang dengan bukaan mulutnya yang Iebar. lkan ini memiliki dua sirip yang besar
di antara kepala dan badannya. Dua sirip lainya di bawah ventral sejajar dengan sirip
dekat ekor yang tajam. lkan ini memiliki racun yang mematikan mampu
melumpuhkan lawan melalui duri di tubuhnya. Secara visual·penampakan ikan ini
sulit untuk dilihat dikarenakan warna dan bentuk tubuhnya mirip dengan tumpukan
batu atau pasir. lkan ini sangat malas dan sangat sedikit bergerak, bahkan sepanjang
hidupnya berada di pecahan karang atau di bawah tumpukan pasir. Selain di bawah
tumpukan pasir, ikan ini juga memanfaatkan celah atau lubang sebagai tempat
persembunyian. Habitatnya aslinya hidup di laut yang dangkal dan di perairan di
dekat pantai. Penyebarannya tersebar di Lampung, Labuan, Teluk Jakarta, Pelabuhan
Ratu,. Binuangeun, Banyuwangi, Bali, dan Flores.

35
Gambar 2.14 stonefish
2) Tanda dan Gejala
a. Nyeri tajam, puncaknya 1-2 jam selama 12 jam
b. Nyeri hebat dapat menyebabkan halusinasi
c. Luka tusuk, bengkak, kemerahan, numbness/tingling, blister, vesikel
d. Reaksi berat: mual, muntah, kram abdomen, tremor, abnormalitas irama
jantung, kelemahan, skit kepala, diare, sesak napas, kejang, penurunan tekanan
darah, pingsan, kelumpuhan, kematian.
3) Tatalaksana
Pertolongan pertama meliputi membersihkan luka, pemberian analgetik
dan memberika antibiotik topikal. Berikut urutan tatalaksana awal sengatan pada
Stonefish:
a. Pindahkan pasien ke tempat aman
b. Primary survey
c. Bersihkan area yang terkena dari benda asing dan beri analgetik
d. Merendam daerah yang terkena dengan air hangat maksimal sekitar
45oC selama 30 sampai 90 menit untuk meredakan nyeri pada pasien
e. Pemberian antibiotik topikal jika perlu
f. Khusus envenomisasi stone fish, terdapat anti venom di Australia
g. Rujuk ke fasilitas kesehatan terdekat

36
2.2.2 Traumatic Injury
Gigitan akibat hewan laut merupakan kasus tersering yang masuk ke dalam
cedera traumatik akibat biota laut. Beruntungnya, kasus ini jarang terjadi dan biasanya
terjadi akibat reaksi pertahanan hewan tersebut atau salah interpretasi bagian tubuh
sebagai sumber makanan. Gigitan dapat terjadi ketika penyelam mencoba memberi
makan hewan seperti belut moray, barakuda, dan bahkan ikan hiu. Kasus gigitan hampir
semuanya adalah kecelakaan dan jarang mengancam nyawa.

Semua gigitan yang terjadi beresiko tinggi untuk terjadinya infeksi dan harus
mendapatkan penanganan berupa pembersihan luka yang optimal. Keparahan cedera
yang terjadi bergantung beberapa faktor seperti lokasi gigitan, ukuran hewan yang
menggigit, kehilangan darah yang terjadi, dan keterlambatan pemberian penanganan.
Penanganan pertama yang harus dilakukan adalah kontrol perdarahan dan mengurangi
resiko dari infeksi.

a. Manajemen Traumatik injury


Semua gigitan berisiko tinggi terhadap infeksi dan harus segera dibersihkan.
Hewan laut yang dikenal menggigit termasuk hiu, barakuda, belut moray, dan
triggerfish. Tingkat keparahan cedera tergantung pada banyak faktor termasuk lokasi
gigitan, ukuran hewan, tingkat kehilangan darah dan keterlambatan pengobatan.
Upaya pertolongan pertama harus fokus pada mengendalikan perdarahan dan
mengurangi risiko infeksi.

b. Pengontrolan perdarahan luar


Tubuh memiliki dua mekanisme untuk membatasi kehilangan darah. Yang
pertama adalah vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah), yang terjadi sebagai
respons terhadap cedera dan membantu mengurangi kehilangan darah. Kedua,
aktivasi trombosit memulai pembekuan darah. Untuk pendarahan ringan, proses ini
bekerja sangat baik dan dengan sedikit dukungan akan menghentikan kehilangan
darah. Ketika perdarahan lebih parah, intervensi tambahan mungkin diperlukan.
1. Bebat tekan
Bebat tekan pada luka menggunakan kain bersih, dilakukan hingga perdarahan
aktif berhenti. Untuk mengecek apakah sirkulasi baik, bisa memeriksa capillary
refill time . jika baik maka CRT akan <2 detik.

37
2. Tourniquets
Jika bebat tekan gagal, bisa menggunakan tourniquets yang berfungsi untuk
mencegah perdarahan massif.
3. Hemostatik dressing
Jika kedua cara tersebut gagal, bisa menggunakan agen hemostatic yang
dikombinasikan dengan bebat tekan, namun disarankan untuk tidak
menggunakannya >24 jam.

2.2.3 Seafood Poisioning


a. Racun Ikan Ciguatera
Keracunan Ciguatera sering terjadi di Hawaii, Pasifik Selatan, Karibia, dan
Indo-Pasifik. Sumber ciguatoxin merupakan kelompok polyethers yang larut dalam
lemak dijumpai di dinoflagelatta laut uniseluler yang melimpah di terumbu karang.
Toksin akan terakumulasi pada jaringan tubuh ikan herbivore dan karnivora yang
hidup di daerah terumbu karang.

Jenis ikan yang paling banyak terakumulasi toksin ini adalah kerapu,
barakuda, dan kakap. Ikan-ikan ini tampak sehat saat tertangkap.Gejala klinis
keracunan Ciguatera adalah gejala pencernaan, saraf, dan kardiovaskuler. Mulut dan
lidah menjadi kaku, dan dampak pencernaan akan bertahan beberapa hari, sedangkan
damapak saraf bertahan berbulan-bulan.

b. Tetrodotoksin
Tetrodotoksin (TTX) jenis racun saraf yang dihasilkan oleh ikan buntal. Racun
ini masuk keadalam tubuh lalu berikatan dengan kanal ion natrium di situs pengikatan
tetrodotoksin. Hal tersebut akan menyebabkan kelumpuhan dikarenakan aksi
potensial yang terhalang dan jika dikonsumsi terlalu banyak akan menyebabkan
kematian.

Tetrodotoksin pertama kali diisolasi tahun 1950 dalam bentuk Kristal prisma
ikan buntal. Toksin menghambat konduksi saraf dan otot secara selektif memblokade
kanal ion natrium sehaingga aliran ion natrium menjadi terhalang. Toksisitas pada
racun ikan buntal dinyatakan dalam satuan MU (mouse lethal units). Dosis letal TTX
adalah 5000-6000 MU/mg. satu MU menyebabkan kematian pada seekor tikus jantan
dengan berat 18-20 gram dalam waktu 30 menit yang diinjeksi secara intraperitoneal.
38
Konsentrasi TTX tertingga didapatkan pada ikan buntal pada organ hati, ovarium, dan
telurnya.

Gejala keracunan TTX yang dapat dirasakan langsung adalah mati rasa pada
bibir dan lidah. Tahap selanjutnya parastesia wajah, kaki, dan tangan, disertai sakit
kepala dan mual muntah. Tahap selanjutnya adalah paralisis, hipoventilasi, disertai
gangguan pernafasan dan jantung. Tahap akhir akan berdampak pada SSP sehingga
menimbulkan kematian.

c. Scombroidae
Ikan tongkol termasuk kedalam keluarga ikan family scombroidae yang
memiliki toksin alamai disebut skrombrotoksin atau disebut racun histamine. Racun
histamine muncul pada kondisi ikan yang tidak segar. Pembentukan histamine pada
tubuh ikan scombroidae akan meningkat setelah ikan mati dan tidak segera dibekukan
atau tidak segera diolah, sehingga dapat menimbulkan keracunan saat dikonsumsi.
Sekali histamine terbentuk, tidak akan hilang walaupun sudah dimasak atau
dibekukan karena sifatnya yang stabil.

Gejala ringan ditandai dengan ruam (gatal, bengkak, dan merah pada kulit);
Keracunan sedang akan menimbulkan flushing (muka, dan leher merah), sakit kepala,
mual, muntah, diare; dan keracunan berat dapat menimbulkan takikardi hingga
gangguan saluran napas. Tingkat keparahan tergantung dari kondisi korban saat
mengkonsumsi ikan, jumlah ikan yang dikonsumsi, serta kandungan histamine yang
terbentuk pada ikan.

Pertolongan pertama yang dapat diberikan adalah memberikan arang


aktif(norit) dengan takaran dewasa 50-100 gram dan untuk anak 1-2 gram/Kgbb.
Arang aktif diberikan jika gejala yang muncul kurang dari 4 jam setelah
mengkonsumsi ikan.

39
2.3 Faktor yang memengaruhi trauma akibat hewan laut
Serangan binatang laut berbahaya merupakan salah satu resiko yang dihadapi
oleh para wisatawan dan orang yang berada/ bekerja di air laut. Di samping itu, resiko
karena sifat alamiah laut seperti arus, pasang surut, ombak, suhu air laut, kondisi di
dasar laut dan jenis pekerjaan/kegiatan yang dilakukan di laut juga menimbulkan
resiko trauma di air laut.

Tingkat venom hewan laut juga merupakan faktor yang berpengaruh. Hewan
laut dengan venom yang kuat mengeluarkan toksin saat dia menyengat atau
menyerang yang menyebabkan terjadinya reaksi envenomasi yang serius dan
memiliki resiko yang berat bila reaksinya hebat bisa menyebabkan kematian.
Kematian bisa terjadi karena efek langsung dari reaksi antigen-antibody, maupun
akibat tidak langsung misalnya korban kesakitan, kejang atau pingsan kemudian
tenggelam. Anti venom yang tepat sangat diperlukan untuk memutus rantai reaksi
antigen-antibody dan efek toksiknya, sehingga idetifikasi jenis binatang yang
menyerang sangat penting untuk menentukan terapi.

Lokasi yang terkena trauma juga berpengaruh. Apabila terkena di area seperti
pada area abdomen atau area thoraks diindikasikan untuk dirujuk segera agar tidak
menimbulkan komplikasi yang lebih berat. Pada kasus sengatan bulu babi, sengatan
pada area sendi memerlukan operasi.

Kecepatan dan ketepatan dalam merujuk juga merupakan faktor yang


menentukan prognosis pasien. Apabila pasien memperlihatkan gejala yg lebih parah
seperti gagal nafas menunjukkan indikasi perawatan intensif, apabila terlambat untuk
ditangani akan mengakibatkan kematian.

Faktor resiko dari pasien sendiri adalah apabila pasien memiliki penyakit
sebelumnya seperti penyakit jantung, stroke, dan DM dapat menentukan prognosis
dari pasien tersebut Luas paparan dari serangan hewan laut juga dapat menentukan
prognosis karena dapat menimbulkan komplikasi yang lebih berat apabila trauma
terjadi pada area yang luas.

40
2.4 Tanda Kegawatdaruratan
Tanda kegawatdaruratan dapat terjadi pada trauma akibat hewan laut,
diantaranya bila berada dalam kondisi:

a. Syok anafilaktik
b. Syok kardiogenik
c. Keracunan ikan yang mengandung tetradotoxin
d. Trauma akibat ular laut
e. Trauma akibat ikan pari
f. Envenomasi akibat Box Jelly Fish

2.5 Indikasi perujukan pada trauma akibat hewan laut


Dokter akan merujuk pasien apabila memenuhi salah satu dari kriteria
“TACC” (Time-Age-Complication-Comorbidity) berikut:
a. Time : jika perjalanan penyakit dapat digolongkan kepada kondisi kronis atau
melewati Golden Time Standard.
b. Age : jika usia pasien masuk dalam kategori yang dikhawatirkan meningkatkan
risiko komplikasi serta risiko kondisi penyakit lebih berat.
c. Complication : jika komplikasi yang ditemui dapat memperberat kondisi pasien.
d. Comorbidity : jika terdapat keluhan atau gejala penyakit lain yang memperberat
kondisi pasien.
Selain empat kriteria di atas, kondisi fasilitas pelayanan juga dapat menjadi
dasar bagi dokter untuk melakukan rujukan demi menjamin keberlangsungan
penatalaksanaan dengan persetujuan pasien.
2.6 Kejadian Tetanus
Luka yang diakibatkan oleh hewan laut membawa resiko infeksi bakteri
seperti adanya tetanus. CDC merekomendasikan untuk dilakukannya booster tetanus
setiap 10 tahun, atau 5 tahun pada luka yang sangat beresiko tinggi terkena tetanus.

2.7 Edukasi dan pencegahan

Ubur-ubur ini sebenarnya bukan hewan pengganggu, ubur-ubur akan


menyengat dalam keadaan terancam sehingga cara mencegah sengatan ubur-
ubur dengan cara menghindari ubur-ubur dan tetap tenang saat menyelam.
Apabila sudah tersengat hindari sengatan berulang dengan perlahan menjauhi
41
ubur-ubur. Untuk Keracunan karena mengkonsumsi hewan laut tindakan
terbaik adalah pencegahan melalui edukasi dan menghindari makanan laut di
daerah endemik.
Pencegahan Iritasi (Bintang laut, bulu babi)

• Hindari kontak.
• Bersihkan area yang terkena dengan sabun dan air.
• Cari pertolongan medis jika duri tertanam kuat atau masuk ke ruang sendi.
• Beri Anti Tetanus Serum dianjurkan.
• Pantau tanda-tanda infeksi.

42
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trauma akibat hewan laut merupakan salah satu resiko yang dihadapi oleh para
wisatawan maupun pekerja di daerah laut. Trauma yang timbul dapat terjadi melalui 3
mekanisme yaitu envenomasi (sengatan atau tusukan), cedera traumatik, hingga keracunan
karena mengonsumsi hasil laut. Hewan laut yang paling sering menimbulkan trauma,
diantaranya ubur-ubur, bulu babi, ikan pari, ikan batu, dan ular laut. Trauma yang
ditimbulkan dapat menyebabkan kegawatdaruratan, untuk itu perlu tatalaksana awal yang
tepat. Pertolongan pertama yang tepat serta terapi definitif sedini mungkin dan mengatasi
kedaruratan akibat trauma (perdarahaan, syok, reaksi antigen-antibodi) dan kecepatan
evakuasi kefasilitas medis terdekat sangat menentukan kehidupan korban. Selain itu perlu
upaya pencegahan terjadinya serangan hewan laut berbahaya dengan mengetahui jenis hewan
laut berbahaya diperairan tersebut, pola hidupnya, pola perilakunya saat mau menyerang
manusia, serta jenis alat pelindung diri yang tepat.

43
DAFTAR PUSTAKA

Backer, L.C., Fleming, L.E., Rowan, A.D. dan Baden, D.G. (2001). Epidemiology and
Public Helath of Human ilnesses Associated with Harmful Marine Phytopankton In:
WHO/UNESCO HANDBOOK, Chapter 26.

Anderson, D.M., dan Lobel, P.S.(1987). The Containing engima of ciguatera. Bilogical
bulletin,172(1):89-107.

Cahyadi A., 2008. ANALISIS INTERAKSI BIOAKUSTIK IKAN LEPU BATU (Synanceia
verrucosa) DENGAN CRUSTACEA PADA SKALA LABORATORIUM dapat
diakses pada http://iktiologi-indonesia.org/wp-content/uploads/2018/07/35.-Agus-
Cahyadi.pdf

Cegolon L, Heymann WC, Lange JH, Mastrangelo G. Jellyfish Sting and Their Management:
A Review of Marine Drugs, 11, pp.523-550. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3640396/

Fenner PJ, Lippmann J, and Gershwin LA. Fatal and Nonfatal Severe Jellyfish Stings in Thai
Waters. Journal of Travel Medicine. 2010 ; 17 (2): 133–138

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Pedoman Pendataan dan Survei Pari Manta.
Dapat diakses pada : https://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-
pendukung/KKHL/PEDOMAN/Pedoman%20Survei%20Pari%20Manta.pdf

Kinakesti, S.M., dan Wahyudewantoro, G. 2017. Kajian Jenis Ikan Pari (Dasyatidae) Di
Indonesia. Vol 16 (2) : 17-25. Dapat diakses pada :
https://mazoin.files.wordpress.com/2018/03/fi-16217-25.pdf

Montgomery L, Seys J, Mees J. To Pee or Not to Pee: A Review on Envenomation and


Treatment in European Jellyfish Species.Marine Drugs, 14(127), pp.1-21. Available
at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4962017/

Suling, P.L., 2011. Cutaneous Lesions From Coastal And Marine Organisms, P2KB
Dermatoses & STIs Associated with Travel to Tropical Countries dapat diakses pada
http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/

44

Anda mungkin juga menyukai