Anda di halaman 1dari 51

CASE REPORT

ANESTESI UMUM PADA PERITONITIS DIFUSA

Disusun Oleh:
Hasna Luthfiah Fitriani 1102015090
Indira Maycella 1102015098

Pembimbing :
dr. Dhadi Ginanjar Daradjat, Sp. An
dr. Muhammad Ibnu, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT UMUM Dr. SLAMET GARUT
2021
BAB I
IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. W
Umur : 49 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kecamatan Malangbong
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 19 Januari 2021
Tanggal Pemeriksaan : 19 Januari 2021

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri seluruh lapang perut

Riwayat Penyakit Sekarang


Tn.W datang ke IGD RSUD dr.Slamet Garut dengan keluhan nyeri pada seluruh
lapang perut sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan terus-menerus
dan semakin lama memberat. Pasien kesulitan berjalan sehingga menganggu
aktivitasnya sehari-hari. Pasien juga mengeluh tidak bisa BAB dan buang angin sejak
4 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku biasanya BAB dengan
rutin yaitu satu hari sekali. Selain itu, pasien mengeluh demam naik turun sejak 4 hari
yang lalu. Sebelumnya pasien sudah berobat ke klinik dan diberikan obat nyeri perut,
dipasang infus dan kateter namun keluhan nyeri perutnya tidak berkurang dan masih
tidak bisa BAB. Sebelumnya pasien mengaku sering nyeri perut apabila telat makan.

2
Selain itu, pasien mengaku jarang mengkonsumsi makanan berserat seperti buah dan
sayur dan mengkonsumsi setiap hari.
Riwayat Penyakit Penyerta
Pasien memiliki riwayat maag sebelumnya. Riwayat hipertensi, alergi, penyakit
jantung, paru-paru, penyakit ginjal, penyakit liver, dan penyakit diabetes melitus
disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga pasien tidak ada penyakit diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung,
ginjal, paru-paru serta belum pernah ada yang mengalami hal yang serupa dengan
pasien.

Riwayat Operasi Sebelumnya


Pasien tidak pernah mendapatkan Tindakan operasi sebelumnya.

PEMERIKSAAN FISIK
 Tanda Vital
 Kesadaran : Composmentis
 TD : 130/70 mmHg
 Nadi : 70 x/menit
 RR : 60 x/menit
 Suhu :36,9 °C
 SpO2 : 98%

STATUS GENERALIS
 Kepala : Normosefali, tidak tampak lesi, tidak ada massa.
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Palpebra edem (-/-)
 Leher : JVP meningkat, dan tidak ditemukan pembesaran KGB

3
 Thorax : Tampak simetris, tampak ada retraksi

Jantung:
 Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tampak di sela iga 4 linea mid clavicula sinistra.
 Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga 4 linea mid clavicular sinistra
 Perkusi :
o Batas jantung kanan di sela iga 3 parasternal dextra
o Batas jantung kiri di sela iga 4 linea mid clavicula sinstra
o Batas jantung atas di sela iga 3 linea parasternal sinistra.
 Auskultasi : S1,S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
Paru:
 Inspeksi : Simetris dan tampak retraksi interkosta
 Palpasi : Taktil fremitus simetris
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen:
 Inspeksi : Bentuk cembung, distensi (+)
 Palpasi : Nyeri tekan seluruh abdomen, hepar dan lien tidak teraba, nyeri lepas
(-), defence muscular (+), massa (-)
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+) menurun

Ekstermitas:
Akral hangat, edema tungkai (-/-), capillary refill time <2 detik

STATUS FISIK (ASA)


ASA V E

4
DIAGNOSA KERJA
Peritonitis difusa ec suspect perforasi viscus hollow
RENCANA TINDAKAN BEDAH
Laparatomi eksplorasi

RENCANA TINDAKAN ANESTESI


General Anestesi

5
BAB II
STATUS ANESTESI

A. Pre – Operatif
1. Informed Consent : Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien
mengenai rencana, resiko, komplikasi, durasi dan waktu pemulihan pasien
2. Anamnesis
 Riwayat asma/alergi : disangkal
 Riwayat darah tinggi : disangkal
 Riwayat sakit jantung : disangkal
 Riwayat sakit lambung : Sejak 10 tahun yang lalu
 Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
 Riwayat merokok : 2-3 bungkus/hari
 Riwayat minum alkohol : Sudah berhenti sejak 10 tahun yang
lalu
 Makan Terakhir : Tidak diketahui
 Minum Terakhir : Tidak diketahui
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : E4 M6 V5
Kesan Gizi : Cukup
Tanda Tanda Vital
 Tekanan Darah : 130/70 mmHg
 Nadi : 70 x/menit
 RR : 60 x/menit

6
 Suhu : 36,90C
Airway
 Mallampati : Grade I ( Pilar faring, uvula, dan palatum mole
terlihat jelas, seluruh tonsil terlihat jelas).
 Gigi patah (-), gigi goyang (-), gigi palsu (-)

Breathing
 Paru-paru : Vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
 Pola pengembangan dada tampak simetris dan cepat serta terlihat retraksi
pada dinding dada.

Circulation
 Jantung : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Perifer : Akral hangat, edema tungkai -/-
Sistem Hepatobilier : jaundice (-), hepar dan lien tidak teraba
Sistem Genitourinaria : dalam batas normal
Sistem Muskuloskeletal : dalam batas normal
Klasifikasi ASA : IV E

B. Peri Operatif
Status Medis Saat Masuk Kamar Operasi
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : E4 M6 V5
Tanda Tanda Vital
 Tekanan Darah : 130/70 mmHg
 Nadi : 70 x/menit
 RR : 60 x/menit
 Suhu : 36,90C

7
 Spo2 : 98%
 BB : 65 Kg

Premedikasi
Ondansentron IV 4 mg
Jam : 11.40 WIB
Jenis Anestesi : GA

Medikasi
1. Fentanyl 100 mcg
2. Propofol 120 mg
3. Roculax 30 mg
4. Midazolam HCL 15 mg
5. Fentanyl 200 mcg
6. Norepinefrin 2 mg
Pemberian Cairan
1. RL 500 ml
2. Natrium Klorida 0,9% 500 ml

C. Keadaan Selama Operasi


Letak Penderita : Supine
Airway : Single Lumen ETT
Ukuran : 7.5 Balon
Lama Operasi : 120 menit

D. Cairan
Total asupan cairan

8
1. Kristaloid : 500 mL
Total Keluaran darah
1. Pendarahan (EBL) : 750 cc
2. Cairan asites :-
3. Diuresis : 130 cc
LAMPIRAN MONITORING TINDAKAN OPERASI

Jam Tindakan TD Nadi SpO2


11.00  Pasien masuk ke kamar 125/90 97 93%
operasi, dan
dipindahkan kemeja
operasi
 Pemasangan
monitoring, TD,
nadi,saturasi O2
 Infuse RL terpasang
pada tangan kiri.
11.15  Injeksi Ondansetron 4mg 123/90 95 99%
 Injeksi Midazolam 10
mg
 Injeksi Roculax 30 mg
 Injeksi Fentanyl 100
mcg
 Injeksi Norepinefrin 2
Ampul dalam 500 cc
Nacl 0,9 pada vena
jugularis interna kanan
 Dilakukan intubasi –
pemasangan ETT
 Anastesi inhalasi :
isoflurane 2%
11.20  Operasi dimulai 128/90 148 99%
11.35  Pembedahan abdomen 150/90 138 99%
 Pemasangan NGT
 Proses eksplorasi

9
abdomen
11.50  Penemuan 142/90 130 99%
pneumoperitoneum
 Penemuan cairan
peritoneum bercampur
dengan feses
 Penemuan adhesi grade
I-II di seluruh interloop
usus
 Penemuan perforasi
ileum kurang lebih 30
cm dari ileocaecal value
 Penemuan organ hollow
viscous lainnya dalam
batas normal
 Penemuan organ solid
lainnya dalam batas
normal
 Dilakukan kompresi
interloop usus disertai
ileostomy
 Dilakukan pemasangan
drain (stoma)
 Dilakukan penutupan
luka operasi

12.50  Operasi Selesai 130/95 123 99%


 Isoflurane stop
 Suction
 Ex-tube

 Lama Operasi : 120 menit


 Lama Anastesi : 150 menit

PERHITUNGAN CAIRAN
Diketahui :

10
 Berat Badan : 65 kg
 Perdarahan : 750 cc
 Lama anastesi : 150 menit

CAIRAN PEMELIHARAAN SELAMA OPERASI


Jumlah kebutuhan cairan pemeliharaan untuk dewasa 2 cc/kgBB/jam

Maka untuk pasien dengan BB 65 kg.


= (2 cc/jam)*(65 kgBB)
= 135 cc/jam

E. Post Operatif
Pasien masuk ke ruang pemulihan dalam keadaan
Tekanan Darah : 156/84 mmHg
Nadi : 105 x/menit
Respirasi : 25 x/menit

Modified Aldrete’s Scoring System

Tanda Criteria Nilai 30’ 60’ 90’ 120’ Saat


Keluar
Aktivitas  Dapat menggerakan ke-4 2
anggota badan sendiri /
dengan perintah
 Dapat menggerakan ke-2 1 1
anggota badan sendiri /
dengan perintah
 Tidak dapat 0
menggerakan anggota
badan
Respirasi  Dapat nafas dalam dan 2
batuk bebas
 Dyspnoe atau nafas 1 1

11
terbatas
0
 Apnoe
Sirkulasi  TD ± 20% dari per 2
anestesi
 TD ± 20-50% dari per 1 2
anestesi
 TD ± 50% dari per 0
anestesi
Kesadaran  Sadar penuh 2
 Dapat dibangunkan bila 1
dipanggil 1
 Tidak bereaksi 0
Saturasi  > 90% dengan udara 2
O2 bebas
 Memerlukan tambahan 1
O2 untuk menjaga SpO2 1
> 90%
 SpO2 > 90% dengan 0
tambahan O2
Skor >8, Pasien diperbolehkan pindah dari Total Scor : 6
ruang pemulihan
Lamanya pasien di Ruangan Pemulihan Pindah Ke : ICU

F. Instruksi Pasca Bedah


 F : Puasa, Infus Ringer lactate 2000 cc/24 jam
 A : Phentanyl 12,5 c/jam, Parasetamol 3x1 gram IV
 S : Midazolam 2,5 mg/jam
 T : Heparin 250 unit/jam
 H : Head up 30
 U : Omeprazole 2x40 mg
 G:-
 Antibiotik Meropenem loading 2 gr dalam 1 jam dilanjutkan 1 gr/8
jam
 Metronidazole 1x1,5 gr

12
 Noradrenalin 0,3 mcr/KgBB/menit

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Peritonitis

Peritonitis merupakan suatu proses inflamasi peritoneum (membrane serosa


yang melapisi rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) yang dapat
bersifat lokal atau generalisata (difus). Kasus terbanyak pada peritonitis
disebabkan oleh masuknya bakteri ke dalam kavitas peritoneum. 1 Peritonitis
merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ
abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme
yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon (pada
kasus ruptura appendik) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides.
Sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering kali masuk dari luar.2,3

2. Apa Penyebab Peritonitis?

A. Berdasarkan Agen Terbagi Atas :

1. Peritonitis Kimia

Peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan empedu, cairan


pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.

2. Peritonitis Septik

Peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada perforasi usus,


sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan menimbulkan
peradangan.

14
B. Berdasarkan Sumber Kuman

1. Peritonitis Primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis)

Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada


cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh
perforasi atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan
inokulasi bakterial pada rongga peritoneum.
Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri
gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus), bakteri
gram positif ( streptococcus pneumonia, staphylococcus.
Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Spesifik : misalnya Tuberculosis


b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko
tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik,
lupuseritematosus sistemik, dan sirosis hepatis.
2. Peritonitis Sekunder

Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, diantaranya


adalah :

 Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau


traktus genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi
appendiks, perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus,
kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk. Luka/trauma penetrasi, yang
membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.

 Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum

15
saat terjadi pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada
traktus biliaris.

 Benda asing, misalnya peritoneal dialisis kateter.

Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non


operatif :

 Secara Non Operatif

Dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan dengan


efektif sebagai terapi, bila suatu abses dapat dikeringkan tanpa disertai
kelainan dari organ visera akibat infeksi intra-abdomen

 Cara Operatif

Dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera akibat
infeksi intra abdomen. Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis
sekunder antara lain adalah syok septik, abses, perlengketan intraperitoneal.
3. Peritonitis Tersier
Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise.
Organisme penyebab biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu
coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili, dan
candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah dengan
ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon,
dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan dengan antibiotika IV atau
ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan berdasarkan tipe
kuman yang didapat pada tes laboratorium.
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis berulang, abses
intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya kateter dialisis
dilepaskan.

16
B. Berdasarkan Lokasi

Pada tingkat lokalisasi proses infeksi, peritonitis biasanya diklasifikasikan


menjadi peritonitis lokal (intra-peritoneal abses) atau difus. Risiko kematian
secara langsung berkaitan dengan tingkat disfungsi organ.11
1. Peritonitis Lokal
Terjadi jika inflamasi masih dalam area yang terbatas. Peritonitis lokal sering
bermanifestasi sebagai abses dengan jaringan debris, bakteri, neutrofil,
makrofag, dan cairan eksudat yang terkandung dalam kapsul fibrosa.
Apendisitis dan divertikulitis adalah penyebab paling umum dari abses intra-
peritoneal lokal.6
2. Peritonitis Difus
Peritonitis ini disebut juga peritonitis generalisata dan terjadi ketika inflamasi
menyebar ke seluruh rongga peritoneum dan terjadi perlengketan organ-organ
intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya
perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul
ileus paralitik.. Perforasi usus kecil dan perforasi gaster adalah penyebab
paling umum dari peritonitis ini. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan
lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.
Gejala klinis yang dapat timbul dapat berupa:
 Early Onset
Pada onset ini nyeri abdomen bersifat severe dan bertambah berat
apabila melakukan gerakan dan bernafas. Dalam kondisi ini, pasien
hanya bisa terbaring saja dimana aktivitas sehari-hari pasien
terganggu. Rasa tidak nyaman dan nyeri pada abdomen yang muncul
apabila peritonitis mengenai dinding anterior abdomen.

17
 Late Onset
Keadaaan ini terjadi apabila proses penyembuhan dari peritonitis
generalisata tidak terjadi. Tanda yang muncul diantaranya
abdomennya menjadi kaku (generalised rigidity), distensi abdomen
serta bising usus yang dapat menurun ataupun menghilang. Selain itu,
terdapat gangguan sirkulasi, mata cekung, lidah kering, nadi ireguler
dan pasien bisa menjadi cemas.
3. Bagaimana Perubahan Patologis pada Peritonitis?
Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang
berbeda dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya
peritonitis tidak berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya
terjadi tidak berhubungan langsung dengan gangguan organ
gastrointestinal),3,8 sedangkan pada sekunder ditemukan adanya kerusakan
integritas traktus (perforasi) tersebut baik akibat strangulasi maupun akibat
infeksi.3
Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang
steril terhadap mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.8
Dalam keadaan fisiologis tidak ada hubungan langsung antara lumen
gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun apabila terjadi kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti
appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum),
perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, sampai volvulus, kanker, dan
strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau obturator).2 Akibat kontaminasi
tersebut, flora normal usus seperti Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae
(serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk dalam rongga
peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat

18
polimikrobial (gram negatif aerob dan anaerob). Adanya invasi dari bakteri-
bakteri tersebut menyebabkan reaksi peradangan seperti yang mengaktifkan
seluruh mekanisme pertahanan peritoneum (dari eliminasi mekanik sampai
pembentukan eksudat). Eliminasi mekanik menjadi salah satu jalur utama bagi
bakteri-bakteri masuk dalam pembuluh darah (bakteremia) yang pada
akhirnya dapat berlanjut menjadi sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan MODS
(Multiple Organ Dysfunction Syndrome). Reaksi peradangan lokal
menyebabkan peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah kapiler
sehingga terjadi perpindahan cairan ke “rongga ketiga” yang dapat berlanjut
menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut dapat berlanjut menjadi
SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana dapat ditemukan
dua tanda berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90 kali/menit,
laju nafas >20 kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000 sel/mm3 or
<4000 sel/mm3, or <10% imatur (neutrofil batang). Proses inflamasi akut
dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan
supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan terganggu
sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum, tetapi juga
dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan pertumbuhan
mikroorganisme yang tidak terkontrol.
4. Bagaimana Cara Menentukan Diagnosis pada Peritonitis?
A. Anamnesis
Anamnesa dilakukan secara hati-hati. Riwayat penyakit harus menjelaskan
berapa lama pasien sakit, adakah demam, adakah nyeri perut dan di mana
lokasinya, bagaimana gambaran nyeri tersebut (kram, tumpul, seperti
terbakar, dsb), apakah lokasinya berpindah, intensitasnya, dan apakah
berhubungan dengan anoreksia, muntah, atau ileus. Riwayat penyakit yang
lalu, riwayat masuk rumah sakit, pengobatan, penyakit kronik, dan operasi
sebelumnya merupakan informasi yang penting.

19
Riwayat penyakit penting untuk diketahui seperti sirosis hepatis dan sindroma
nefrotik pada anak- anak yang berpotensi menjadi peritonitis primer. Riwayat
operasi sebelumnya harus menimbulkan kecurigaan terhadap komplikasi oleh
karena prosedur itu sendiri (misalnya kebocoran dari anastomosis usus).
Mekanisme injury yang tidak diketahui pada pasien trauma juga dapat
menimbulkan infeksi intra-abdominal. Adanya tanda hipotensi menunjukkan
kemungkinan terjadinya iskemia atau infark usus.11

Pasien dengan peritonitis umumnya mengeluh nyeri abdomen yang difus.


Nyeri pada peritonitis bersifat konstan dan akan bertambah berat saat menarik
nafas dalam, batuk, maupun bergerak, sehingga pasien lebih memilih dalam
posisi berbaring. Pasien juga mengeluh anoreksia, mual dan muntah. (Mandel,
et al., 2009; Hau, 2003; Awori, et al., 1999). Hampir selalu ditemukan gejala
anoreksia. Gejala mual sering ditemukan dan jarang disertai dengan muntah.
Pasien juga mungkin mengeluh demam, kadang-kadang dengan menggigil,
haus, buang air kecil yang sedikit, ketidakmampuan untuk buang air besar
atau flatus, dan perut yang makin distensi.7

Pada pasien dengan asites, tanda dan gejala peritonitis mungkin tidak begitu
jelas, dengan demam sebagai satu-satunya manifestasi infeksi. Pasien dengan
ascites, gejala yang ditemukan seperti nyeri abdomen, mual, muntah, dan
perubahan status mental mungkin tidak spesifik. Oleh karena itu, pasien asites
dengan demam harus dilakukan parasintesis, kecuali ada penjelasan lain
terhadap demam yang terjadi. Inokulasi dari cairan asites ke dalam botol
kultur darah harus dilakukan di tempat tidur pasien.7

B. Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan peritonitis biasanya tampak berbaring tenang di tempat tidur,
telentang, dengan lutut tertekuk dan sering dengan pernapasan interkostal

20
yang terbatas karena gerakan apapun akan memperberat nyeri abdomen
Keadaan umum pasien tampak lemah.3
Suhu tubuh berkisar antara 38 ͦC - 40 ͦC, bahkan bisa mencapai 42°C. Suhu
subnormal 35°C merupakan klinis pasien dengan sepsis intraabdomen atau
syok septik. Demam adalah mekanisme endogen dasar untuk membantu
melawan infeksi. Bahkan, peningkatan suhu tubuh yang biasanya ditemukan
selama infeksi bakteri, termasuk peritonitis, tampaknya menjadi penting untuk
mengoptimalkan pertahanan host terhadap bakteri. Pemeriksaan denyut nadi
menunjukkan takikardia yang lemah. and a diminished palpable peripheral
pulse volume are indicative of hypovolemia. Tekanan darah dipertahankan
dalam batas normal pada awal proses penyakit, kemudian seiring berlanjutnya
proses peritonitis tekanan darah turun ke tingkat shock. Respirasi semakin
cepat dan dangkal untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan dan untuk
mengoreksi asidosis yang timbul.6
Sklera dan konjungtiva dapat terlihat ikterus atau pucat. Dada
diperkusi dan diauskultasi untuk menyisihkan pneumonia, khususnya pada
lobus bawah, yang dapat mengakibatkan temuan abdominal. Pemeriksaan
jantung harus dapat menyisihkan ada tidaknya gagal jantung kongestif atau
penyakit katup jantung, meskipun terapi cairan yang agresif diperlukan dan
gagal jantung kongestif yang akut dengan pembesaran hepar dan peregangan
kapselnya dapat menyebabkan nyeri perut. Pada pemeriksaan abdomen
biasanya ditemukan tanda-tanda inflamasi peritoneum.7
Inspeksi dan Auskultasi. Abdomen diinspeksi untuk mencari tanda-
tanda distensi dan jejas. Perut akan tampak distensi, seiring dengan
perkembangan ileus atau asites. Pasien diminta untuk menunjukkan titik yang
paling nyeri pada perutnya dengan satu jari. Auskultasi dimulai dari kuadran
yang berlawanan dari titik tersebut. Auskultasi dilakukan untuk menentukan
apakah bising usus hilang, normal, atau meningkat. Bising usus yang

21
meningkat menandakan obstruksi sebagai proses primer penyakit atau sebagai
bagian dari proses inflamasi lokal. Sering kali sebuah fokus inflamasi
sebagian ditutup oleh usus kecil. Ileus lokal muncul sebagai hasil dari
obstruksi fungsional. Pada peritonitis bising usus akan menurun dan hampir
tidak terdengar.9
Palpasi dan Perkusi. Palpasi pada abdomen dilakukan pada tahap
terakhir dari pemerikaan, adalah untuk mengetahui apakah nyeri yang
dihasilkan oleh proses intraabdomen menyebabkan inflamasi peritoneum
parietal. Pemeriksaan abdomen pada pasien dengan asites menunjukkan
adanya tanda shifting dullness. Palpasi dimulai dari kuadran paling jauh dari
titik yang paling nyeri. Kegunaan dari palpasi abdomen adalah untuk
mengkonfirmasi lokasi yang paling nyeri dan tekanan dari berbagai bagian
dari dinding abdomen anterior. Untuk melakukan hal ini, pemeriksa mulai
dari bagian perut yang tidak menunjukkan gejala dan menekan sampai daerah
yang paling nyeri. Pada pasien dengan peritonitis akut akan ditemukan
kekakuan pada otot dinding abdomen dengan tanpa perbedaan yang berarti
dari satu kuadran dengan kuadran yang lain. Pasien dengan nyeri lokal dan
peningkatan tonus dinding abdomen yang terlokalisasi, pertahanan volunter
dan involunter harus dibedakan.11
Kekakuan dari otot-otot abdomen dihasilkan oleh pertahanan volunter
dan juga refleks spasme otot. Refleks spasme otot dapat menjadi sangat kuat
sehingga perut dapat kaku seperti papan, seperti yang biasa tampak pada
peritonitis yang disebabkan oleh perforasi dari ulkus peptikum. Pertahanan
volunter pada penemuan nyeri tekan sedang dapat salah diinterpretasikan
sebagai kekakuan jika pasien tampak begitu gelisah dan palpasi terlalu kuat.
Biasanya tidak perlu terburu-buru untuk memeriksa rebound tenderness pada
saat palpasi, jika sudah dapat ditemukan pada saat dilakukan auskultasi dan
perkusi. Palpasi yang terlalu kuat dapat menyebabkan pasien kesakitan

22
sehingga mereka kemudian tidak mau bekerja sama untuk pemeriksaan
selanjutnya.8
Hiperesonan disebabkan oleh gas yang terakumulasi pada usus yang
distensi, biasanya terdengar pada perkusi. Tidak adanya pekak hati pada
perkusi menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga peritoneum.
Pneumoperitoneum akibat ruptur organ berongga dapat menyebabkan
menurunnya pekak hati pada perkusi.10

C. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium
Leukositosis adalah hal yang biasa terjadi pada infeksi intraabdomen,
tetapi total leukosit saja tanpa hitung jenis dapat menyesatkan. Jumlah
leukosit di atas 25.000/mm3 atau leukopenia dengan leukosit kurang dari
4.000/mm3 dihubungkan dengan angka mortalitas yang tinggi. Hitung jenis
menunjukkan inflamasi akut dengan menunjukkan limfopenia relatif dan
sedikit pergeseran ke kiri, meskipun jumlah leukosit normat atau subnormal.
Tes laboratorium lain yang diperlukan diantaranya haematocrit, hitung sel
darah, elektrolit, albumin, urea dan kreatinin, amilase dan fungsi hati.
Albuminuria berat ditemukan pada pasien dengan sindroma nefrotik. Fungsi
respirasi dinilai dengan penentuan gas darah arteri yang berulang, sedangkan
pada pasien sakit kritis, arteri radial menyediakan akses sampel arteri untuk
analisa gas darah dan catatan konstan untuk MAP (mean arterial pressure).12

2. X-Ray
Foto polos abdomen dapat menunjukkan gambaran udara bebas, yang
merupakan indikator terjadinya perforasi visceral yang belum ditangani.
Udara bebas dapat dilihat pada foto abdomen posisi setengah duduk atau
dekubitus lateral bila terdapat ruptur organ berongga yang menyebabkan

23
peritonitis. Udara di bawah diafragma dapat ditemukan pada foto dada bila
pasien berdiri tegak selama 5 menit atau lebih sebelum dilakukan
pengambilan gambar. Penemuan lain pada gambaran radiografi yang
mendukung diagnosis infeksi intraabdomen termasuk pneumatosis intestinal,
obstruksi usus, dan gambaran massa. Pneumatosis jarang terjadi. Penemuan
yang lebih dramatis tetapi tidak umum adalah gambaran udara pada vena
porta atau ektraluminal, indikasi dari adanya abses, tanda radiografi ini
cukup spesifik untuk menentukan perlunya intervensi yang segera.11

Gambar 1. Rontgen Thorax Peritonitis11


Cukup sering, jauh sebelum peritonitis ditegakkan, pada pasien ditemukan
tanda radiologi dari pneumonia dan atelektasis basal oleh karena terjadi
peningkatan tekanan intra-abdominal. Gambaran radiologis
dari Infeksi intraabdomen yang lain adalah gambaran ileus
paralitik. Eksudat inflamasi dan edema dari dinding usus menyebabkan
gambaran usus dengan jarak yang melebar. Bayangan garis lemak peritoneal
dan psoas retroperitoneal di film terhambat oleh edema. Bayangan garis

24
lemak di pelvis dapat terhambat menunjukkan terdapatnya cairan di rongga
pelvis.13

3. USG dan CT-Scan


Pemeriksaan dengan USG dan CT Scan dapat dilakukan untuk mencari
penyebab peritonitis. Pemeriksaan abdomen dengan USG dapat membantu
untuk mengevaluasi patologi dari kuadran kanan atas (contohnya kolesistitis,
pancreatitis), kuadran kanan bawah, dan pelvis (appendicitis, abses tuba-
ovarium, abses cavum douglas). Namun pemeriksaan dengan USG ini kadang
terbatas oleh karena ketidaknyamanan pasien, distensi abdomen, dan
interferensi gas usus. Pemeriksaan CT Scan abdomen dan pelvis tetap menjadi
pilihan pemeriksaan diagnostic untuk infeksi intra-abdominal dan dapat
dilakukan jika pasien stabil. CT Scan dapat mendeteksi cairan dengan jumlah
yang sedikit, area terjadinya inflamasi, dan patologi gastrointestinal lainnya
dengan sensitivitas yang sangat tinggi. Adanya iskemia usus dapat
ditunjukkan dengan tidak adanya aliran, adanya bekuan darah dalam
pembuluh darah besar dalam rongga peritoneum, gas dalam dinding usus
(Pneumatosis) atau dalam vena porta yang menunjukkan kemungkinan
terjadinya iskemia usus. Pemeriksaan MRI digunakan sebagai alternatif
modilatas diagnostic, tapi bukan pemeriksaan yang superior dibandingkan CT
Scan.11

4. Parasintesis
Pemeriksan untuk menegakkan diagnosis peritonitis primer. Paracintesis
merupakan punksi surgical untuk aspirasi rongga peritoneum. Setelah injeksi
obat anastesi lokal, sebuah jarum atau trocar dan kanul dimasukkan melalui
dinding anterolateral abdomen ke dalam rongga peritoneum. Cairan yang
diperoleh dari parasintesis diperiksa dengan mikroskop dengan pewarnaan

25
Gram dan dkultur. Cairan tersebut bersifat asam (pH 7,3 atau kurang) dan
mengandung lebih dari 500 sel darah putih/ml, dimana lebih dari 25% adalah
sel polimorfonuklear.5

5. Bagaimana Manajemen Anestesi Pada Peritonitis?


1. Perioperatif
Perawatan keadaan umum pasien adalah untuk mengatasi hipovolemia dan
syok, serta menjaga oksigenasi jaringan yang adekuat, membunuh bakteri
dengan pemberian antibiotika, menopang system organ, dan pemberian nutrisi
yang adekuat yang dilakukan dengan:11
a. Pasien Dipuasakan
Pasien dipuasakan karena pada peritonitis terjadi gangguan fungsi usus
sampai terjadinya ileus paralitik, sehingga seluruh kebutuhan cairan, elektrolit
dan kalori harus melalui parenteral.
b. Koreksi Volume Sirkulasi dan Ketidakseimbangan Elektrolit
Pasien biasanya mengalami hipovolemik dengan gangguan elektrolit. Jumlah
cairan yang dibutuhkan untuk mencapai stabilitas hemodinamik adalah
variabel, dan sering cukup besar, oleh karena kehilangan cairan ke ruang
ketiga dan ke dalam saluran pencernaan akibat ileus. Dilakukan resusitasi
dengan pemberian sejumlah cairan yang adekuat untuk mengembalikan
volume intravaskular, sehingga dapat mengoptimalkan pengiriman oksigen ke
jaringan. Tidak ada bukti kuat dari superioritas satu jenis cairan di atas yang
lain. Resusitasi harus dipandu oleh seringnya penilaian denyut jantung dan
tekanan darah. Volume plasma harus digantikan dan konstrasi elektrolit harus
dikoreksi. Menurunnya protein plasma sebagai akibat inflamasi peritoneum
sehingga banyak protein yang bocor juga perlu dikoreksi. Jika penyembuhan
pasien terhambat lebih dari 7 sampai 10 hari, maka diperlukan pemberian
nutrisi melalui intravena. Begitu ditemukan tanda hipotensi atau untuk

26
mengantisipasinya perlu dilakukan resusitasi volume dengan EGDT.
Pemasangan dan pemantauan CVP dapat membantu. Pemberian produk darah
diperlukan pada kasus anemia berat atau koagulopati, dengan maksud untuk
mencapai mean arterial pressure (MAP) > 65 mmHg dan tekanan vena sentral
12-15 mmHg dalam 6 jam pertama. Jika tidak dicapai MAP > 65 mmHg
dengan resusitasi cairan saja, maka dapat digunakan vasopresor, dengan
pilihan norepinefrin atau dopamine. Pada kasus terjadinya curah jantung yang
rendah atau peningkatan tekanan pengisisan yang mengindikasikan terjainya
disfungsi miokard yang berat, maka dapat digunakan agen inotropik, seperti
dobutamin untuk memeperoleh MAP yang adekuat.
Penting untuk tidak mengabaikan hilangnya cairan sebelumnya. Penggantian
cairan yang hilang tersebut dengan kristaloid harus memperhitungkan
kebutuhan untuk pemeliharaan (maintenance) cairan, hilangnya cairan yang
terus menerus melalui pipa lambung (NGT), cairan yang hilang sebelumnya
termasuk dehidrasi dari muntah yang berkepanjangan, dan hilangnya cairan ke
ruang ketiga ke dalam rongga peritoneum dan lumen usus. Penggantian cairan
secara cepat meliputi menggunakan cairan kristaloid yang ditambah dengan
cairan koloid dan dimonitor secara kontinyu dengan perbedaan antara
tekanan vena central dan tekanan artery pulmonal. Apabila didapatkan
hematokrit yang rendah pada pasien
sepsis, transfuse darah merupakan penambahan yang tepat terhadap
kristaloid, sebagai pengganti cairan dan koreksi dari anemia. Sebuah grafik
keseimbangan cairan harus dimulai sehingga output harian dengan aspirasi
lambung dan urine dapat diketahui. Kehilangan lain dari paru- paru, kulit dan
dalam tinja juga dinilai, sehingga persyaratan asupan dapat dihitung.10
Pemasangan kateter perlu dilakukan untuk dapat mengukur output urine, yang
merupakan pengukuran sederhana dan sensitive terhadap pegisian
intravskular dan fungsi organ, dan juga untuk memonitor apakah cairan yang

27
diberikan sudah mencukupi dan memantau perfusi jaringan. Produksi urine
dianggap cukup bila mencapai 1 cc/KgBB/jam.
Peningkatan serum haematokrit dan urea dalam darah merupakan indikator
yang berguna dari untuk menilai tingkat dehidrasi dan kehilangan ke ruang
ketiga (third-space loss). Tujuan utama dari manajemen cairan adalah untuk
pemeliharaan tekanan darah normal dan pembentukan urin output yang
mendekati 30 mL per jam. Output urin 30-50 30– 50 ml/kg per jamnya
minimal harus menjadi target terapi.11

c. Dekompresi Gastrointestinal
Dilakukan pemasangan pipa lambung (nasogastric tube) yang bertujuan untuk
dekompresi, mencegah terjadinya muntah, dan perkembangan distensi usus
lebih lanjut.. Nasogastric tube (NGT) dimasukkan sampai ke lambung dan
diaspirasi.. Pemasangan pipa lambung ini penting untuk pengosongan
lambung. Aspirasi yang intermiten adalah untuk menjaga sampai ileus
paralitik hilang. Mengukur volume air lewat oral diperbolehkan jika hanya
sejumlah kecil yang teraspirasi. Jika abdomen tidak kaku dan sudah terdengar
bising usus, maka pemberian nutrisi lewat oral dapat segera dilakukan.
Penting untuk tidak memperpanjang ileus dengan melewati pemberian nutrisi
secara oral.12

d. Pemantauan Hemodinamik, Pemberian Oksigen


Pemantaun tanda-tanda vital pasien dilakukan secara kontinu. Evaluasi
biokimia sebelum operasi harus meliputi pemeriksaan elektrolit serum,
glukosa, kreatinin, bilirubin, dan alkalin fosfatase, dan urinalisis. Sepanjang
proses pemulihan, elektrolit dan hematokrit serum dan urea harus diperiksa
secara teratur.9,8

28
Hypoxaemia sering menjadi komplikasi dalam peritonitis generalisata yang
disebabkan karena peningkatan permeabilitas vascular paru-paru dengan
transudasi cairan ke alveoli dan menurunya pertukaran oksigen. Kondisi ini
ditangani dengan meningkatkan oksigen menggunakan 40 % ventimask dan
menilai respon dengan analisis gas darah secara reguler. Intubasi endotrakeal
dan tekanan positif respirasi dengan tekanan volume respirasi yang dikontrol
diindikasikan jika pasien tetap hipoksia.16

e. Obat-obatan
1. Antibiotik
Pemberian antibiotik dapat mencegah multiplikasi dari bakteri dan pelepasan
endotoksin, dan untuk meurunkan komplikasi infeksi peritonitis baik lokal
maupun sistemik. Terapi awal adalah dengan pemberian antibiotik broad
spectrum secara parenteral, yang dapat melawan bakteri aerob dan anaerob.
(Mieny & Mennen, 2013; William, et al., 2008). Antibiotik mulai diberikan
sebelum operasi dan setelah didapatkan hasil kultur dan uji sensitivitas,
rejimen antimikroba harus disesuaikan untuk mempersempit spektrum pada
spesies yang menginfeksi.11,15
Hasil terbaik saat ini diperoleh dengan terapi awal terapi antibiotik empiris
tiga kali lipat untuk mengeleminasi 3 kelompok bakteri utama yang biasanya
terisolasi, meliputi coliform, enterococci, dan anaerob. Aminoglikosida
bersifat bakterisidal untuk organism gram negative fakultatif dan indikasikan
untuk peritonitis yang disebabkan oleh bakteri ini. Aminoglikosida di
ekskresikan di urine dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal perlu untuk
menurunkan dosisnya untuk mencegah kerusakan ginjal. Volume distribusi
dan tingkat ekskresi bervariasi pada setiap individu dan kebutuhan dosis harus
berdasarkan melalui dan puncak untuk meminimalisir tingkat komplikasi
setelah pemberian melalui intravena.14

29
Pada pasien dengan gangguan ginjal yang signifikan, generasi ketiga
sefalosporin menyediakan pengganti yang efektif untuk aminoglikosida.
Kebanyakan anaerobes, termasuk spesies Bacteroides, resisten terhadap
aminoglikosida. Metronidazol merupakan agen anti-anaerob pilihan. Pada
eksperimental peritonitis, Enterococcus sering ditemukan dan merupakan
mitra sinergis yang penting dengan anaerobes. Enterococcus biasanya sensitif
terhadap ampicillin dan dianjurkan untuk pengobatan pasien dengan
peritonitis bakteri sekunder.12
Lamanya penggunaan antibiotik yang optimal harus berdasarkan patologi
yang mendasari, beratnya infeksi, keefektifan source control, dan respon
pasien terhadap terapi yang diberikan. Antibiotik dapat dihentikan jika tanda
klinis infeksi telah hilang. Jika terjadi rekuren dengan beberapa infeksi,
seperti infeksi dari Candida dan Staphylococcus aureus, maka terapi
dilanjutkan sselama 2-3 minggu. Untuk pasien dengan peritonitis tersier,
peran terapi antimikroba sistemik adalah buruk. Ada sedikit bukti bahwa
antibiotik secara signifikan mengubah perjalanan klinis, selain itu organisme
yang menginfeksi cenderung resisten terhadap penggunanan antibiotik
empiris. Bebera peneliti mendukung penggunaan
antibiotik spektrum sempit, yang dipilih berdasarkan hasil kultur dan
sensitivitas dan menghindari antibiotik dengan aktivitas anti- anaerobik.12,14

2. Obat-obatan lain
Analgesik baru dapat diberikan jika diagnosis peritonitis sudah ditegakkan
atau setidaknya tindakan operasi sudah diputuskan. Pasien harus dibebaskan
dari rasa sakit sebelum dan sesudah operasi. Infus epidural dapat memberikan
efek analgesik yang sangat baik. Pasien peritonitis dengan tanda- tanda sepsis
dapat diberikan obat vasoaktif dan steroid. Pasien dengan demam diatas
38,5’C dapat menyulitkan anastesi saat operasi, sehingga perlu diberikan obat

30
salisilat yang efektif untuk menurunkan demam. Untuk menunjang
hemodinamik pada resusuitasi pasien sepsis, dapat digunakan obat-obatan
seperi vasopressor dan inotropik.
Terapi vasopressor (norepinefrin atau dopamin) harus dimulai ketika
penggantian cairan yang adekuat tidak mengembalikan tekanan darah menjadi
normal atau perfusi organ. Terapi inotropik (dobutamin) dalam kombinasi
dengan vasopresor wajib diberikan pada pasien dengan curah jantung rendah
yang persisten meskipun penggantian cairan telah dianggap adekuat.
Tambahan terapi untuk pasien sepsi yang mendapat perawatan di ICU, terdiri
dari profilaksis deep-veinn trombosis (heparin, stoking kompresi), stres
profilaksis ulkus (H, inhibitor reseptor).11

f. Support Sistem Vital


Langkah-langkah khusus mungkin diperlukan untuk mendukung jantung, paru
dan ginjal, terutama jika pasien mengalami syok septic. (William, et al.,
2008). Pasien yang mengalami severe sepsis atau syok septic harus
mendapatkan perawatan di ICU untuk mendapatkan pengawasan yang ketaat
dari tanda-tanda vital dan status volume. (Lopez, et al., 2011). Pasien yang
memiliki faktor komorbiditas, yang hadir dengan ketidakstabilan
hemodinamik, atau yang gagal untuk merespon dengan cepat penggantian
cairan harus mendapatkan perawatan di ICU.11

2.Operatif
Manajemen peritonitis primer pada dasarnya adalah "non-surgical”, yaitu
dengan pemberian antibiotik. Manajemen untuk peritonitis sekunder adalah
dengan melakukan operasi untuk menghilangkan sumber penyebab infeksi
dan mengontrol sumber infeksi dan dilakukan dalam hitungan jam.
(Wittmann, 2010; William, et al., 2008). Operasi merupakan langkah

31
terapeutik yang paling penting untuk mengendalikan infeksi intra-abdominal.
Umumnya, pilihan prosedur tergantung pada sumber anatomi infeksi, pada
tingkat inflamasi peritoneum, dan keadaan umum pasien.8

Sebelum melakukan laparatomi, ahli anestesi melakukan beberapa langkahn


selama periode intraoperative dengan tujuan utama adalah untuk memberikan
perawatan yang aman dan optimal. Intubasi endotrakeal dan ventilasi
terkontrol merupakan salah satu teknik anestesi umum yang menjadi pilihan.
Hampir semua laparotomi dilakukan dalam keadaan darurat. Penilaian jalan
napas yang cepat dan menyeluruh harus dilakukan untuk mengidentifikasi
potensi kesulitan. Selain pemantauan intraoperatif standar, pemantauan
hemodinamik invasif harus dipertimbangkan pada pasien hemodinamik yang
tidak stabil. Perhatian khusus harus diberikan untuk menjaga normotermia dan
keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa. Usia lanjut, penyakit
komorbiditas, keterlambatan presentasi, adanya gambaran sepsis atau
disfungsi organ adalah beberapa prediktor bahwa pasien akan memerlukan
perawatan ICU setelah operasi.7
Induksi Anestesi
De-nitrogenasi paru-paru atau preoksigenasi yaitu menghirup oksigen 100%
melalui sungkup wajah harus dipertimbangkan sebelum induksi anestesi.
Induksi urutan cepat dan intubasi menggunakan suksinilkolin untuk
memfasilitasi intubasi trakea mungkin diperlukan. Jika pasien mengalami
hiperkalemia atau kontraindikasi lain terhadap suksinilkolin, rocuronium
dapat digunakan untuk memfasilitasi relaksasi neuromuskuler. Penggunaan
opioid untuk mencegah respons tekanan terhadap manipulasi jalan napas dan
ventilasi masker (tekanan inspirasi> 20 cm H2O) sebelum intubasi trakea
pada pasien obesitas, anak, hamil dan sakit kritis adalah beberapa dari
konsensus baru yang muncul. Pilihan obat induksi termasuk ketamin,
etomidate, pemberian propofol lambat, atau natrium tiopenton dosis titrasi.

32
Sebagian besar agen anestesi intravena atau inhalasi menyebabkan
vasodilatasi atau gangguan kontraktilitas ventrikel, jadi induksi anestesi harus
menjadi proses yang bijaksana dan menggunakan dosis tambahan kecil yang
dititrasi untuk respon klinis. Ketamine atau midazolam dapat digunakan pada
pasien dengan gangguan hemodinamik atau sakit kritis. Opioid kerja pendek
seperti fentanyl, alfentanil atau remifentanil akan memungkinkan
pengurangan dosis agen induksi anestesi. Resusitasi volume lanjutan dan infus
vasopressor sangat membantu untuk melawan efek hipotensi dari agen
anestesi dan ventilasi tekanan positif.7
Pemeliharaan Anestesi
Ahli anestesi harus memilih teknik yang mereka yakini sesuai dengan
penilaian mereka terhadap faktor risiko dan komorbiditas pasien individu serta
pengalaman dan keahlian mereka sendiri. Agen inhalasi atau agen intravena
dapat digunakan dengan opioid. Konsentrasi alveolar minimum (MAC) dari
agen anestesi inhalasi berkurang pada sepsis berat. [57] Selama pembedahan,
keadaan hemodinamik dapat menjadi lebih rumit dengan kehilangan darah
atau pelepasan bakteri dan endotoksin secara sistemik. Resusitasi volume
intravaskular harus dilanjutkan selama prosedur pembedahan. Nilai CVP
intraoperatif dapat ditingkatkan dengan peningkatan tekanan intra-toraks dan
intra-abdominal. Selama prosedur pembedahan, parameter kardiovaskular
(detak jantung, tekanan pengisian jantung, keadaan inotropik, tekanan arteri
sistemik) dapat disesuaikan untuk mengoptimalkan pengiriman oksigen
jaringan. Apabila pasien mengalami hipoksemia intraoperatif, dapat dikelola
dengan meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi. Konsentrasi oksigen
inspirasi dapat ditingkatkan sampai saturasi oksigen (SpO2) minimal 90% dan
penggunaan PEEP dapat dipertimbangkan. Hipotermia intraoperatif harus
dihindari karena telah ditemukan terkait dengan gangguan trombosit dan
disfungsi faktor koagulasi. Opioid, NSAID dan tramadol dapat menjadi

33
pilihan untuk analgesia dalam dosis titrasi yang diperbolehkan oleh fungsi
ginjal dan hati pasien.7

Manajemen operasi peritonitis atau Bedah “source control” diarahkan pada


pengendalian sumber kontaminasi dengan prosedur yang simpel (misalnya
appendektomi) atau penutupan daerah perforasi, penghapusan inokulum
bakteri dengan pencucian, debridement jaringan nekrotik, reseksi usus yang
iskemik dan pencegahan kambuhnya sepsis. Dilakukan laparotomi dengan
insisi midline yang menyediakan akses yang optimal terhadap seluruh
kuadran di abdomen. Spesimen dari cairan peritoneum harus diambil untuk
kultur aerob dan anaerob. Semua materi purulen dan darah harus dievakuasi
dari rongga peritoneum setelah sumber kontaminasi telah dikendalikan.
Waktu dan kecukupan dari “source control” merupakan masalah yang paling
penting dalam pengelolaan infeksi intra- abdominal, karena operasi yang
terlambat dan tidak adekuat dapat memberikan efek yang negative pada hasil.
Alternatif lain adalah dengan debridemen radikal peritoneum yang merupakan
metode utama pada peritonitis generalisata yang berat, di mana seluruh
rongga peritoneum didebridemen secara cermat dari fibrin, membran, bekuan
darah, dan membrane yang purulen, yang diikuti dengan irigasi menggunakan
saline sampai bersih.14

a. Irigasi atau Pencucian


Pada operasi peritonitis adalah penting bahwa, setelah penyebab peritonitis
ditangani, seluruh rongga peritoneum dieksplorasi dengan pencucian atau
irigasi. Irigasi ini dapat mengurangi jumlah bakteri yang hadir, serta
mengurangi konsentrasi bahan adjuvan. Virulensi infeksi peritoneum juga
dapat tingkatkan oleh adanya bahan asing adjuvant, sehingga semua bahan

34
asing termasuk jaringan nekrotik, feses, darah, atau empedu harus tersedot
keluar setelah irigasi.11
Tiga jenis cairan atau tambahannya untuk pencucian peritoneum yang
digunakan, yaitu cairan fisiologis, antibiotik, atau antiseptik. Biasanya
digunakan lebih dari 3 L cairan fisiologis Saline atau Ringer Laktat hangat
sehingga cairan tersebut dapat mencapai seluruh bagian dalam abdomen,
untuk membersihkan pus, feces, bahan nekrotik, dan kemudian cairan tersebut
dibuang. Prosedur ini diulang sampai cairan yang dibuang bena-benar bersih
dari rongga abdomen. Pada orang dewasa biasnya digunakan cairan total
sebanyak lebih dari 10L. Suatu grup penelitan menunjukkan penggunaan
sekitar 20 liter cairan untuk lavage peritoneum dapat menurunkan komplikasi
infeksi pada pasien perforasi usus kecil akibat trauma tumpul.12

Masih sedikit bukti pada literaratur mengenai lavage peritoneum dengan atau
tanpa antibiotik pada peritonitis. Menurut Matheson, penggunaan volume
besar garam (1-2 liter) yang mengandung antibiotik terlarut (misalnya
tetrasiklin) telah terbukti efektif, dengan penambahan antibiotik dapat secara
spesisfik membunun bakteri pathogen. Tetapi dalam penelitian lain,
penggunaan antibiotik saat irigasi dapat mengurangi komplikasi tanpa
menurunkan angka kematian, atau dengan kata lain irigasi peritoneum dengan
antibiotik tidak menguntungkan. Sebuah penelitian berikutnya menunjukkan
bahwa penamban susbtansi pada pencucian dengan antiseptic, seperti
providone iodine atau chloorhexidine tidak memberikan efek yang
menguntungkan atau bahkan memberikan efek toksik. Penggunaan antibiotik
atau antiseptic unutk irigasi umumya tidak bermanfaat atau bahkan berbahaya
oleh karena dapat menyebabkan adesi. Antibiotik yang diberikan secara
parenteral akan mencapai tingkat bakterisidal dalam cairan peritoneum dan
tidak memberikan manfaat tambahan jika diberikan saat irigasi. Sisa saline

35
yang tersisa di rongga peritoneum setelah irigasi mencairkan opsonins bakteri
dan menahan bakteri dalam media cairan, menurunkan fagositosis dan
menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Oleh karena itu semua cairan
yang tersisa harus dikeluarkan setelah irigasi dan sebelum menutup
abdomen.13

b. Drainage
Drainage dari rongga peritoneum jarang efektif karena drain cepat terisolasi
dan ditutup oleh omentum, eksudat dan lengkung usus. Drain juga dapat
bersifat sebagai benda asing yang berpotensi menyebabkan infeksi
intraperitoneum dan memungkinkan bakteri eksternal untuk masuk ke dalam
rongga peritoneum. Drain hanya efektif jika digunakan untuk mengevakuasi
rongga abses yang sulit dibersihkan atau terdapat perdarahan yang merembes
setelah operasi luas.7,10
Abses tidak dapat diterapi dengan antibiotik saja, oleh karena efek antibiotik
dihambat oleh kondisi hipoksia, pH yang rendah, dan tingginya konsentrasi
toksin dalam abses. Drainase merupakan terapi pilihan untuk abses dan
bertujuan unutk mengevakuasi abses tersebut. Drainage dapat dilakukan
dengan bedah atau secara perkutaneus (percutaneous drainage) dengan
panduan USG atau CT Scan. Teknik perkutaneus dipilih bila abses dapat
sepenuhnya dikeringkan, dan debridement dan perbaikan struktur anatomi
tidak diperlukan. Faktor-faktor yang dapat mencegah kontrol sumber sukses
dengan drainase perkutan termasuk peritonitis difus, kurangnya lokalisasi
proses infeksi, abses multipel, tidak terjangkaunya anatomi, atau kebutuhan
untuk debridement.12

36
Drainage dengan meninggalkan peritoneum terbuka, tanpa menutup dinding
abdomen, telah dianjurkan sebagai sebuah teknik pada beberapa pasien
dengan kontaminasi yang sangat berat dan adanya cacat pada dinding perut.
Pada situasi
tersebut, mesh polipropilen ( marlex ) ini digunakan untuk melindungi usus
dan mencegah eviserasi pada usus. Penutupan luka perut setelah operasi untuk
peritonitis terbaik dicapai dengan hanya approksimasi fasia sebagai lapisan
tunggal penutupan dengan menggunakan baik monofilament suture sintetis
seperti nilon atau prolene, atau suatu diserap polyglycolic asam ( dexon )
suture. Dengan adanya kontaminasi berat kulit dan jaringan subkutan harus
dibiarkan terbuka dan dilapisi dengan kain kasa steril yang diberi cairan
saline. Dressing kasa diganti setiap hari dan, ketika luka bersih telah bersih
dan dengan adanya jaringan granulasi jelas, biasanya dalam waktu empat
sampai lima hari, luka ditutup dengan steril perekat. Dalam beberapa kasus,
penggunaan jahitan retensi mungkin cocok untuk menghindari dehisens luka
dan eviserasi luka operasi.

3. Perawatan Pasca Bedah


Perawatan pasien selama proses pemulihan harus memastikan bahwa perfusi
jaringan (airway, breathing and circulation) kembali adekuat. Tekanan darah,
nadi, dan saturasi oksigen dipantau secara teratur dan dicatat dalam grafik.
Dalam grafik ini dapat dipastikan bahwa pasien proses penyembuhannya baik
atau malah jatuh dalam komplikasi. (William, et al., 2008). Perawatan di
ruang intensif dan pemakaian ventilator adalah wajib untuk pasien dengan
kondisi yang tidak stabil dan lemah. Tujuan yang harus segera dicapai adalah
hemodinamik yang stabil untuk perfusi yang baik ke organ-organ mayor, dan
mungkin diperlukan terapi dengan agent inotropik jantung selain cairan dan
tambahan darah.15.16

37
Perawatan pasca bedah, meliputi pemberian cairan dan elektrolit
secara parenteral, nutrisi (total atau parsial parenteral nutrisi) selama fungsi
usus masih belum kembali normal, pemberian obat-obatan (seperti antibiotika
dan anlgesik). Pemberian cairan pasca operasi harus berdasarkan pada
beberapa kebutuhan berikut : kebutuhan untuk pemeliharaan (maintenance),
kebutuhan ekstra dari factor sistemik (misalnya demam), kebutuhan akibat
hilangnya cairan lewat drain, dan kebutuhan akibat hilangnya cairan ke dalam
ruang ketiga (ileus). Kebutuhan untuk pemeliharaan cairan untuk kehilangan
yang dapat dihitung maupun tidak, tergantung pada usia, jenis kelamin, berat
badan, dan luas permukaan tubuh. Pada pasien dewasa biasanya diberikan
1500-2500 ml. kebutuhan untuk maintanace ini akan meningkat oleh keadaan
seperti demam, hiperventilasi, dan keadaan lain yang meningkatkan
katabolisme. Hilangnya cairan dari pipa lambung biasanya kurang dari 500
ml/hari dan dapat digantikan dengan infuse cairan dengan jumlah yang
sama.14,15
Secara umum pasien dengan peritonitis mengalami disfungsi saluran cerna
(ileus) setelah menjalani operasi dan setelah laparotomi peristaltic
gastrointestinal menuerun sementara. Peristaltis usus kecil akan kembali
normal dalam 24 jam, tetapi peristaltis gaster lebih lambat. Fungsi colon
kanan kembali normal dalam 48 jam, sedangkan colon kiri 72 jam. Setelah
operasi mungkin pipa lambung masih terpasang untuk dekompresi dan baru
akan dilepas 2-3 hari berikutnya atau sampai ada bukti bahwa peristaltik telah
kembali normal. Setelah pipa lambung dilepas, biasanya puasa masih
dilanjutkan 24 jam berikutnya, dan kemudian mulai diberikan diet cair.15
Pemberian nutrisi pasca operasi begitu penting, dikarenakan
kebanyakan pasien kekurangan intake secara enteral untuk beberapa waktu
pada saat preoperative. Pemberian makan secara oral harus ditunda sampai
adanya bukti motilitas gastrointestinal kembali normal, sehingga diperlukan

38
pemberian nutrisi (total atau parsial parenteral nutrisi). Kembalinya peristaltis
usus biasanya ditandai dengan flatus dan kembalinya nafsu makan.15
Pemberian antibiotika diteruskan sampai kurang lebih 7-10 hari. Sebaiknya
diberikan amtibiotika yang sesuai dengan hasil kultur dan tes sensitivitasnya.
Pemberian analgesi diperlukan untuk menghilangkan nyeri
pasca operasi. Kebebasan dari rasa nyeri memungkinkan mobilisasi dini dan
fisioterapi yang adekuat pada periode pasca operasi, yang membantu untuk
mencegah kolapsnya paru basal, deep vein thrombosis dan emboli paru.
Mobilisasi dini dimulai dengan mirng kanan- kiri setiap 30 menit. Pasca
operasi mungkin pasien masih menggunakan ventiasi mekanik atau dengan
masker oksigen atau nasal kanul. Latihan pernapasan diperlukan pasien
setelah di intubasi, tujuannya adalah untuk mencegah ateletaksis. Tingkat
pemulihan bervariasi tergantung dari lama dan beratnya peritonitis. Respon
klinis yang baik ditandai dengan perfusi yang membaik dengan output urine
yang cukup, menurunnya demam dan leukositosis, dan perbaikan ileus .13
Selain itu juga diperlukan pemberian terapi suportif berupa vitamin-vitamin
untuk membantu proses penyembuhan, pemeriksaan berkala untuk
mendeteksi apakah timbul penyulit-penyulit yang perlu segera dilakukan
tindakan antara lain adanya abses intra abdominal, infeksi luka operasi,
kebocoran anastomose atau fistula, dan melakukan fisioterapi pernafasan,
mobilisasi anggota gerak. Selang drainase dilepas pada hari 3 dan 4 pasca-
operasi dan aspirasi lambung dihentikan begitu pasien flatus. Melepas selang
(kateter, pipa lambung) menurunkan risiko terjadinya infeksi dari luar.10

6. Bagaimana Prognosis Peritonitis Perforasi?

Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi peritonitis perforasi,


diantaranya:

1. Usia

39
Prevalensi terjadinya perforasi meningkat terutama pada usia 31-60 tahun,
pada beberapa studi mengatakan bahwa perforasi gastroduodenal merupakan
penyebab mayor dari peritonitis perforasi, dimana prevalensi pada usia
tersebut meningkat disebabkan karena faktor risiko etiologi seperti merokok,
alkoholisme, dan penggunaan NSAID.7

Perforasi appendik lebih sering terjadi pada usia 20-30 tahun. Perforasi ileum
lebih banyak terjadi pada usia 10-30 tahun dimana faktor etiologinya
disebabkan karena typhoid.6

Usia merupakan faktor prognostik yang penting pada perforasi ulkus peptik.
(Testini, et al., 2003). Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun mempunyai
risiko signifikan terjadinya mortalitas setelah pembedahan pada peritonitis
perforasi daripada pasien muda dikarenakan mempunyai banyak faktor
komorbiditas. Pada beberapa pasien yang berusia lebih dari 60 tahun
mempunyai hubungan yang signifikan terjadinya komplikasi urologi, hal ini
biasanya berhubungan dengan terjadinya benign prostat hyperplasia. Namun
pada beberapa analisis, usia bukan merupakan faktor prognostik independen
terjadinya morbiditas pasca operasi.5

2. , p

Adanya faktor komorbiditas mempunyai peranan yang sangat signifikan


terhadap terjadinya kematian pada pasien peritonitis perforasi. Hal ini juga
telah dibuktikan dari beberapa studi yang pernah ada.

A. Hipertensi

40
Analisis univariat menemukan bahwa hipertensi mempunyai faktor yang
signifikan terhadap terjadinya morbiditas. Hipertensi juga berhubungan
dengan usia, dimana rata-rata usia pasien dengan hipertensi pada peritonitis
perforasi adalah 71,2 tahun, sedangkan rata-rata pasien dengan normotensi
pada peritonitis perforasi adalah 50,9 tahun. (Kim, et al., 2012). Sebanyak 13
pasien (92,9%) meninggal yang mempunyai faktor komorbid, dimana salah
satu penyebabnya adalah hipertensi yang berkaitan erat dengan terjadinya
penyakit jantung iskemik. (P, 0,05).8.9

Pada pasien dengan hipertensi, secara epidemiologi berhubungan dengan pola


diet, dimana pada orang hipertensi terjadi peningkatan konsumsi garam.
Peningkatan konsumsi garam yang berlangsung lama maka akan
menyebabkan kerusakan mukosa gastric yang dapat berakibat gastritis dan
terjadinya ulkus gastric. Hal ini akan berkembang menjadi intestinal
metaplasia dan mengalami transformasi menjadi keganasan. Gastritis sendiri
akan menyebabkan mukosa mengalami korosi oleh karena asam hydrochloric.
Sehingga dapat di hipotesa bahwa secara umum akan terjadi kerusakan pada
mukosa diantaranya mukosa gastric mengalami ulkus gastric dan myocardium
mengalami iskemik.7

b. Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh


kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
dan atau ganguan fungsi insulin yang terjadi melalui 3 cara yaitu rusaknya sel-
sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll), penurunan
reseptor glukosa pada kelenjar pankreas, atau kerusakan reseptor insulin di
jaringan perifer. Penderita diabetes melitus biasanya mengeluhkan gejala khas
seperti poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria
(banyak kencing/sering kencing di malam hari) nafsu makan bertambah

41
namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu)
mudah lelah, dan kesemutan. Kejadian DM Tipe 2 lebih banyak terjadi pada
wanita sebab wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang
lebih besar. Peningkatan Kejadian Diabetes Melitus di timbulkan oleh faktor
faktor seperti riwayat diabetes melitus dalam keluarga, umur, Obesitas,
tekanan darah tinggi, dyslipidemia, toleransi glukosa terganggu, kurang
aktivitas, riwayat DM pada kehamilan. Untuk menegakkan diagnosis Diabetes
Melitus yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang khas dengan hasil
pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126
mg/dl.4

Pengobatan utama pada pasien dengan diabetes mellitus adalah dengan


pemberian insulin. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi
insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian
besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan
pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian
glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa.4

Pada pasien dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol menyebabkan


cadangan glikogen hepar digunakan, kemudian katabolisme protein pada otot
skeletal ditingkatkan untuk melepaskan rantai cabang asam amino untuk
digunakan miosit sebagai sumber energi. Asam amino lainnya dilepaskan ke
dalam sirkulasi untuk dimanfaatkan dalam glukoneogenesis hepar. Meskipun
kecepatan lipolisis tubuh juga meningkat, pemanfaatan asam lemak bebas
sebagai sumber energi tidak efisisen pada awal periode syok septic. Peritonitis
dapat menyebabkan kompartemen peritoneum terhadap respon inflamasi lokal
jaringan. Ketika infeksi dan infamasi peritoneum tidak terkandung dalam
kompartemen mediator inflamasi abdomen, drainase limfatik dan peningkatan
permeabilitas dari peritoneum yang terinflamasi akan menyebabkan bakteri

42
dan endotoksinnya ditransfer ke dalam kompartemen sistemik. Dalam
sirkulasi, faktor sistemik menyebabkan sel-sel (seperti, endotel, PMN, sel
fagositik mononuclear, dan sel T) menjadi aktif sehingga menyebabkan
terjadinya aktivasi sistemik. Akibatnya yang terjadi adalah meningkatnya
permeabilitas organ, menurunnya oksigenasi, dan terjadi kegagalan organ.5,6

c. Pneumonia

Infeksi merupakan salah satu penyebab penting kematian pasien peritonitis.


Delapan puluh persen kematian pada pasien peritonitis yang terjadi pada 3
hari sampai 3 minggu setelah operasi berhubungan dengan infeksi.
Nasokomial pneumonia merupakan infeksi yang sering terjadi pada pasien
dengan perawatan yang lama. Pneumonia menjadi penyebab mayor kematian
pasien peritonitis perforasi, sehingga identifikasi awal pasien dengan risiko
tinggi dapat menurunkan morbiditas, mortalitas, serta biaya perawatan. Faktor
risiko pneumonia nasokomial pada pasien peritonitis antara lain: penggunaan
ventilator mekanik dalam jangka waktu lama, dan penggunaan nutrisi enteral
secara kontinyu.6

Pneumonia menyebabkan demam, hipotensi, dan


hipoksia yang mengakibatkan peningkatkan efek buruk terhadap
outcome. Kuman penyebab tersering adalah Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenza, dan Streptococcus pneumonia. Faktor risiko
terjadinya pneumonia awitan dini adalah koloni bakteri di saluran nafas
bagian atas, aspirasi, dan pemberian thiopental. Late onset pneumonia
terbentuk setelah 5 hari pasca operasi yang biasanya berhubungan dengan
penggunaan ventilator (ventilator acquired pneumonia). Tipe kuman yang
mengakibatkan ventilator acquired pneumonia adalah organisme gram negatif
dan bakteri yang multiresisten. Pasien peritonitis perforasi yang mendapatkan
perawatan ICU memiliki durasi penggunaan ventilator yang lebih lama,

43
perawatan ICU yang panjang dan terjadinya insiden multi organ failure yang
lebih tinggi. Angka mortalitas secara keseluruhan pada pasien dengan VAP
yang dirawat di ICU secara umum adalah 24-75%.10

3. Onset Lebih dari 24 Jam Mulai Timbulnya Gejala Sampai Dilakukannya


Operasi

Definisi dari Onset lebih dari 24 jam pre operasi disini adalah waktu interval
dari dimulainya gejala akut sampai datang ke Instalasi gawat darurat dan
dilakukan operasi lebih dari 24 jam. Onset >24 jam pre operasi juga
digunakan pada skor PULP dan skor Boey untuk memprediksi mortalitas.
(Manekse, et al., 2015). Studi yang dilakukan oleh Rodolfo L menyebutkan
bahwa pasien yang datang ke IGD dengan onset kurang dari 24 jam sebanyak
49,42% dan onset lebih dari 24 jam sebanyak 54,48%. Sedangkan menurut
Correia MM, onset < 24jam pre operasi sebanyak 34,5% dan onset >24jam
sebanyak 65,5%. Penyebab dari lamanya onset tersebut berhubungan dengan
kurangnya populasi penelitian, layanan rujukan yang tidak tepat,
keterlambatan diagnostik yang disebabkan karena kurangnya alat yang
tersedia di RS seperti CT Scan, jarak yang jauh dari RS rujukan, dan
hemodinamik yang tidak stabil. Beberapa studi literatur menunjukkan bahwa
onset lebih dari 24 jam pre operasi merupakan faktor yang signifikan
terjadinya mortalitas pada pasien peritonitis perforasi. (Tas, et al., 2015).
Mortalitas yang disebabkan karena onset >24 jam pre operasi berhubungan
dengan terjadinya sepsis dan kegagalan fungsi organ.18

44
4. Eksudat

Pada beberapa studi melaporkan sebanyak 20% pasien didapatkan clear


eksudat, 62% dengan eksudat purulent dan 18% dengan faecal eksudat.
Penelitian dari Rodolfo menunjukkan 69,5 clear eksudat dan 21,8% eksudat
purulent. Studi dari jhobta 15% clear eksdat, 71% purulent dan 13% faecal
eksudat. Purulent dan faecal eksudat behubungan dengan onset pre opeasi,
diameter perforasi dan banyaknya jumlah mikroorganisnme anaerob gram
negatif yang berkembang menjadi endotoxaemia dan syok sepsis. Dari
beberapa studi mengatakan bahwa mortalitas berhubungan dengan tipe
eksudat. Clear eksudat berhubungan dengan rendahnya tingkat mortalitas
(7,94%), eksudat purulent berhubungan dengan tingginya tingkat mortaltas
(75%). Studi lain juga menyebutkan bahwa kontaminasi cairan peritoneal
merupakan prediktor yang sangat signifikan terjadinya mortalitas, 81 %
(p<0,0005).16

5. Diameter Perforasi

Ukuran perforasi lebih dari 0,5 cm merupakan faktor signifikan terjadinya


mortalitas (p=0,01). (Nomani et al 2014). Diameter perforasi >0,5cm juga
berhubungan erat terhadap terjadinya morbiditas dan mortalitas pada pasien
peritonitis perforasi hal ini berhubungan juga terhadap eksudat yang
dihasilkan. Semakin besar diameter perforasi maka dapat menghasilkan
eksudat yang purulen bahkan fecal eksudat yang dapat berkembang menjadi
mikroorganisme penyebab sepsis. Selain itu diameter perforasi juga dapat
mempengaruhi besarnya tindakan operasi yang akan dilakukan. Sedangkan
lokasi daripada perforasi bukan merupakan suatu prediktor terhadap
terjadinya mortalitas.15

45
6. Multi Organ Disfunction Syndrome (MODS)

MODS memiliki angka kematian yang tinggi, dan pada sebagian besar pasien
tidak akan meningkatkan harapan hidup melainkan memperpanjang proses
kematian dan menghabiskan biaya perawatan di ruang ICU Sejak tahun 1973,
MODS digambarkan sebagai jalur akhir dari suatu proses penyakit. Deskripsi
pertama kali digambarakan di tahun 1940 saat perang dunia II dimana diamati
pada setiap pasien dengan shock hipovolemik akibat dari perdarahan masif
pada umumnya meninggal 10 hari kemudian dengan insufisiensi ginjal
(Varon, 2008). Setahun kemudian, di perang Vietnam, penggunaan cairan
kristaloid dengan jumlah besar menyebabkan penurunan dari fungsi paru,
yang dikenal dengan shock lung.12

Pada awal dan pertengahan tahun 1970an, peneliti mengenali adanya


hubungan antara shock hemoragik atau infeksi dan multiorgan failure. Sejak
saat itu kegagalan multiple organ pada waktu yang bersamaan atau dengan
sekuens yang sama melahirkan hipotesa bahwa ada suatu mekanisme yang
sama yang mendasari proses tersebut10.

Multiple organ dysfunction syndrome adalah sistemik, respon disfungsi


inflamatory yang memerlukan perawatan ICU dengan tingkat mortalitas
antara 27%-100%. Multiple organ dysfunction tidak hanya pada pasien sepsis
tetapi dapat juga berhubungan dengan kondisi klinis yang lain termasuk luka
bakar berat, akut nekrotizing pancreatitis, trauma yang berat dan syok
hemoragikAdapun kriteria MODS menurut Knaus dkk terdiri dari enam organ
yaitu; cardiovascular, respiratori, renal, hematologi, neurologi, dan hepatik.
Kegagalan satu sistem organ lebih dari 3 hari berhubungan dengan tingkat
kematian sebesar 30-40%, kegagalan dua sistem organ lebih dari 3 hari

46
beresiko mengalami kematian sebesar 60% dan bila terjadi tiga kegagalan
sistem organ lebih dari 3 hari beresiko terjadi kematian sebesar 90%.11

Paru-paru merupakan organ primer yang paling sering mengalami kegagalan,


dimanifestasikan sebagai disfungsi pulmonary dimana biasanya terjadi lebih
dahulu sebelum didapatkan disfungsi dari organ yang lain. Sistem organ lain
yang tampak mengalami MODS lebih dini termasuk liver, intestinal, dan
ginjal. Hematologi dan disfungsi myocard merupakan manifestasi lanjut dari
MODS.

Sequel neurologi, biasanya encephalopathy dapat terjadi di awal ataupun


lanjut.9

a. Mekanisme MODS

Disfungsi progresif dari sistem organ yang menjadi karakteristik dari MODS
pada umumnya mengikuti urutan yang dijabarkan pada SOFA yang
dirumuskan pada pertemuan konsensus The European Society of Intensive
Care Medicine (EISCM) menjadi 4 fase sebagai berikut:

 Fase pertama : peningkatan kebutuhan volume dan alkalosis respiratorik


ringan yang diikuti dengan oliguria, hiperglikemia, dan peningkatan
kebutuhan insuliln.
 Fase kedua : pasien menjadi takipnea, hipokapnia, dan hipoksemia,
kemudian berkembang menjadi disfungsi hati dan abnormalitas hematologi
 Fase ketiga : pasien jatuh ke dalam kondisi shock dengan azotemia dan
gangguan asam basa, dengan abnormalitas koagulasi yang signifikan
 Fase keempat: pasien dengan vasopressor dependent dan oliguria atau
anuria, kemudian berkembang menjadi ischemic colitis dan asidosis laktat.

47
BAB IV

DISKUSI

Pada kasus ini pasien laki-laki usia 49 tahun mengalami peritonitis, pasien
mempunyai riwayat penyakit lambung sebelumnya. Pasien tidak sedang mengalami
pengobatan apapun serta tidak punya riwayat anestesi dan operasi sebelumnya.
Pasien di puasakan dan menjalani operasi cito kemudian dilakukan operasi
laparotomi eksplorasi dengan general anestesi. Sesuai dengan tinjauan pustaka hal ini
dilakukan pada pasien dengan situasi emergensi.
Pada saat sebelum operasi, kondisi pasien dengan tekanan darah 130/70
mmHg dengan frekuensi napas 60x/menit dan ditemukan peningkatan tekanan vega
jugularis sehingga pada pasien ini diberikan vasokonstriktor yang dipasang dengan
menggunakan infus vena sentral. Pada kasus ini, pasien didiagnosa dengan peritonitis
karena memenuhi tanda dan gejala peritonitis. Namun, pada pasien ini tidak
dilakukan pemeriksaan rontgen thoraks maupun abdomen.
Pada intraoperatif pasien diberikan injeksi Norepinefrine 2 mg. Hal ini sesuai
dengan teori menurut Surviving Sepsis Campaign International Guidelines 2012 yang
mengatakan untuk menunjang hemodinamik pada resusuitasi pasien sepsis, dapat
digunakan obat-obatan seperti vasopressor dan inotropik. Terapi vasopressor
(norepinefrin atau dopamin) harus dimulai ketika penggantian cairan yang adekuat
tidak mengembalikan tekanan darah menjadi normal atau perfusi organ. Terapi
inotropik (dobutamin) dalam kombinasi dengan vasopresor wajib diberikan pada
pasien dengan curah jantung rendah yang persisten meskipun penggantian cairan
telah dianggap adekuat. Tambahan terapi untuk pasien sepsi yang mendapat

48
perawatan di ICU, terdiri dari profilaksis deep-veinn trombosis (heparin, stoking
kompresi), stres profilaksis ulkus (H, inhibitor reseptor).

Pasien dilakukan intubasi dan pemasangan endotracheal tube. Menurut


literatur pemasangan endotracheal tube tetap dijadikan standar emas untuk
manajemen jalan nafas pada pasien.
Untuk manajemen post operatif pasien diberikan analgetik berupa fentanyl.
Sesuai dengan literatur yang menganjurkan pemberian analgetik yang adekuat pada
post operatif terutama golongan opioid intravena untuk pasca operasi sedang-berat.
Pada post-operatif pemberian antibiotik pada pasien ini diberikan Meropenem
dan metronidazole. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa regimen
antimikroba yang direkomendasikan untuk pasien dengan infeksi intra-abdominal
telah digariskan oleh Surgical Infection Society berdasarkan uji klinis acak prospektif
yaitu diantaranya meropenem dan metronidazole. Semua regimen yang
direkomendasikan efektif melawan mikroorganisme aerobik enterik gram negatif dan
anaerobik. Sebuah tinjauan terbaru dari studi prospektif acak dari rejimen antibiotik
untuk peritonitis sekunder yang berasal dari gastrointestinal pada orang dewasa dari
kelompok kanker kolorektal Cochrane menyimpulkan bahwa kedua regimen
antibiotik tersebut memiliki tingkat keberhasilan klinis yang serupa.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Bailey and Love. 2013. Short Practice of Surgery 26th Edition. United States:
CRC Press Taylor & Francis Group.
2. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam
Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493
3. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
4. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
5. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-abdomen
dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja Kusuma,
Binarupa Aksara, Jakarta
6. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
7. Sharma, K., Kumar, M., & Batra, U. B. (2013). Anesthetic management for
patients with perforation peritonitis. Journal of anaesthesiology, clinical
pharmacology, 29(4), 445–453. https://doi.org/10.4103/0970-9185.119128
(Retraction published J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2014 Apr;30(2):305)
8. Rehatta NM., Hanindito E., Tantri AR., Redjeki IS., Soenarto RF., Bisri DY.,
Musba AM., Lestari MI. (2019). Anestesiologi dan Terapi Intensif Edisi
Pertama Buku Teks KATI-PERDATIN. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
9. Bertleff, M. J. & Lange, J. F., 2010. Perforated peptic ulcer disease: a review
of history and treatment. Dig Surg, Volume 27, pp. 161-169

50
10. Marshall, J. C & Innes, M., 2003. Intensive care unit management of intra-
abdominal infection. Crit Care Med, 31(8), pp. 2228-2237
11. Marshall, J. C., 2004. Current focus. Intra-abdominal infections. Elsevier,
Volume 6, pp. 1015-1025
12. Wittmann, D. H. et al., 1996. Review article: Management of secondary
peritonitis. Annals of surgery, 224(1), pp. 10-18
13. Mieny, C. J. & Mennen, U., 2013. Principles of surgical patient care. Volume
II, pp. 1-96
14. Doherty, Gerard. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment 12nd. USA: The McGraw-Hill. 2006.
15. Cole et al. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-
Century Corp. 2007. Hal 784-795.
16. Schwartz, Seymour I, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, EGC, Jakarta,
2007.h.20-25
17. Schrock, Theodore R, Ilmu Bedah (Handbook Of SurgerY), EGC, Jakarta,
2007.h.12-13
18. Fauci et al. Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw
Hill, Peritonitis. 2008. halaman 808-810, 1916-1917

51

Anda mungkin juga menyukai