Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue/ dengue hemorrhagic fever adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan
nyamuk Aedes Aegypty.1 Penderita yang terinfeksi akan memiliki gejala berupa
demam ringan sampai tinggi, disertai dengan sakit kepala, nyeri pada mata, otot
dan persendian, hingga perdarahan spontan.1,2 Dengue hemorrhagic fever
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Asia tropik termasuk
Indonesia. Beberapa dekade terakhir ini, insiden demam dengue menunjukkan
peningkatan yang sangat pesat diseluruh penjuru dunia. Sebanyak dua setengah
milyar atau dua perlima penduduk dunia beresiko terserang demam dengue dan
sebanyak 1,6 milyar (52%) dari penduduk yang beresiko tersebut hidup di wilayah
Asia Tenggara. WHO memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap
tahunnya.3

Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah


tanah air. Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DHF tahun 2010 di Asean,
dengan jumlah kasus 156.086 dan kematian 1.358 orang. Pada tahun 2015,
tercatat terdapat 126.675 penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229
orang diantaranya meninggal dunia. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan
iklim dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan.3 Faktor
kepadatan penduduk memicu tingginya kasus dengue hemorrhagic fever, karena
tempat hidup nyamuk hampir seluruhnya adalah buatan manusia mulai dari kaleng
bekas, ban bekas hingga bak mandi. Karena itu, 10 kota dengan tingkat DBD
paling tinggi seluruhnya merupakan ibukota provinsi yang padat penduduknya.
Berdasarkan tingginya jumlah kasus demam berdarah dengue perlu adanya
pemahaman dan penatalaksanaan yang tepat guna menurunkan akan mortalitas
dan morbiditas.

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dengue Hemorrhagic fever/ DHF adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypty dan Aedes albopictus dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/
atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia
dan diatesis hemoragik.1,4

2.2 Epidemiologi
Dengue hemorrhagic fever (DHF) sebelumnya tahun 1970, hanya 9
negara yang mengalami wabah, namun sekarang menjadi penyakit endemik pada
lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur,
Asia Tenggara dan Pasifik Barat, Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah melewati
1,2 juta kasus di tahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Pada tahun
2013 dilaporkan terdapat sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687
kasus merupakan DHF berat. Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DHF
tahun 2010 di Asean, dengan jumlah kasus 156.086 dan kematian 1.358 orang.
Data menunjukkan bahwa Indonesia endemis DHF sejak tahun 1968 sampai saat
ini. Indonesia terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun 1968 sampai tahun
2015, tercatat terdapat 126.675 penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan
1.229 orang diantaranya meninggal dunia.5
Penyebaran kasus di tingkat kabupaten/kota dalam empat tahun pertama
sebenarnya cukup lambat kemudian meningkat tajam pada tahun 1973 dan tahun
1983 lebih dari 50% kabupaten/kota telah tersebar kasus DHF Angka Kesakitan
atau Incidence Rate (IR) penyakit DHF dari tahun 1968 sampai tahun 2013
cenderunt terus meningkat. Kemudian dari tahun 2010 ke 2011 menurun drastis,
dan meningkat kembali dari tahun 2012 ke 2013 (41,25 per 100.000 penduduk).
Bila dilihat IR DHF per provinsi tahun 2013, terdapat tiga provinsi dengan IR
tertinggi yaitu Bali (168,48 per 100.000 penduduk), DKI Jakarta (96,18 per
100.000 penduduk) dan Kalimantan Timur (92,73 per 100.000 penduduk). IR
terendah adalah Maluku (2,20 per 100.000
2 penduduk), Papua (8,47 per 100.000
3

penduduk) dan Nusa Tenggara Timur (9,34 per 100.000 penduduk). Laju kematian
atau Case Fatality Rate (CFR) DHF pada permulaan terjadinya kasus di Indonesia
sangat tinggi. CFR dari tahun ke tahun dapat ditekan mulai dari 41,4% pada tahun
1968 terus menurun sampai menjadi 0,7% pada tahun 2013. Provinsi dengan CFR
DHF tertinggi adalah Jambi (2,8%), Kepulauan Bangka Belitung (2,7%) dan Nusa
Tenggara Timur (2,2%) pada tahun 2013. Peningkatan dan penyebaran kasus DHF
tersebut dapat disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan
wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi
penduduk.5

2.3 Etiologi
Dengue Hemorrhagic fever disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Keempat
serotipe ini ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.
Virus tersebut ditularkan oleh gigitan vektor nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
albopictus yang terinfeksi ke tubuh manusia dengan masa inkubasi 4-10 hari.
Tempat berkembangnya vector nyamuk adalah air, terutama pada penampungan
dengan air tenang menggenang seperti ember, ban bekas, bak mandi, dan
sebagainya. Biasanya nyamuk Aedes aegypty mengigit pada siang hari.1,3,6

2.4. Patogenesis
Patogenesis Dengue Hemorrhagic fever belum diketahui pasti. Namun,
ada beberapa teori yang diperkirakan berperan dalam munculnya tanda dan gejala
pada penyakit ini. Terdapat 3 sistem organ yang diperkirakan berperan penting
dalam patogenesis Dengue Hemorrhagic fever , yakni sistem imun, hati dan sel
endotel pembuluh darah. Selain itu , respon imun penjamu yang diturunkan
( faktor genetik) juga berperan dalam manifestasi klinis yang ditimbulkan. Virus
dengue diinjeksikan oleh nyamuk Aedes ke aliran darah. Virus ini secara tidak
langsung juga mengenai sel epidermis dan dermis sehingga menyebabkan sel
Langerhans dan keratinosit terinfeksi. Sel-sel yang terinfeksi ini bermigrasi ke
4

nodus limfe, dimana makrofag dan monosit kemudian direkrut dan menjadi target
infeksi berikutnya. Selanjutnya terjadi amplifikasi infeksi dan virus tersebar
melalui darah (viremia primer). Viremia primer ini menginfeksi makrofag
jaringan beberapa organ seperti limpa, sel hati, sel stromal, sel endotel, dan
sumsum tulang. Infeksi makrofag, hepatosit, dan sel endotel mempengaruhi
hemostasis dan respon imun terhadap virus dengue. 6
Sel-sel yang terinfeksi kebanyakan mati melalui apoptosis dan hanya
sedikit yang melalui nekrosis. Nekrosis mengakibatkan melepaskan produk
toksik yang mengaktivasi sistem fibrinolitik dan koagulasi. Bergantung pada
luasnya infeksi pada sumsum tulang dan kadar IL-6, IL-8,IL-10, IL-18,
hemopoiesis ditekan sehingga menyebabkan penurunakan tromobogenisitas
darah. Produk toksis juga menyebabkan peningkatan koagulasi dan konsumsi
trombosit sehingga menjadi trombositopenia. Trombosit memiliki interaksi yang
dekat dengan endotel. Sejumlah trombosit fungsional diperlukan untuk
mempertahankan stabiltas vaskular. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin, dan
FP4. Koagulopati terjadi karena interaksi virus dengan endotel yang memicu
disfungsi endotelnya (jalur ekstrinsik) dan aktivasi faktor XI a (jalur intrinsik).
Namun, sel endotel memiliki tropisme sendiri terhadap virus dengue. Bersamaan
dengan tingginya kadar virus dalam darah, trombositopenia, disfungsi trombosit,
menyebabkan peningkatan kerapuhan kapiler yang bermanifestasi sebagai petekie,
memar, dan perdarahan saluran mukosa pencernaan. 6
Pada waktu yag bersamaan, infeksi menstimulasi berkembangnya antibodi
spesifik dan respon imun seluler terhadap virus dangue. Respon imun seluler yang
timbul berupa stimulasi sel T yang dapat bereaksi silang dengan sel T regulator.
Sel T yang bereaksi silang akan memperlambat bersihan virus dan memproduksi
sitokin pro inflamasi dan mediator lainnya. Tingginya jumlah mediator ini
menginduksi perubahan pada sel endotel sehingga menyebabkan koagulopati dan
kebocoran plasma. 6

2.5 Manifestasi Klinis


5

Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau


dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue
atau sindrom syok dengue. Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama
2-7 hari , yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien
sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika
tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Gejala lain seperti mual muntah, diare,
ruam kulit, nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat
menyeluruh atau terpusat pada supraorbita dan retroorbita. Nyeri otot terutama
pada tendon.6
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase
kritis dan fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi
pada hari 1 3 hari mencapai 40o C, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri
seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan
nyeri tenggorok, injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.
Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan
mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan
perdarahan gastrointestinal. Fase kritis, terjadi pada hari 3 6 sakit dan ditandai
dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan
timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 48 jam.
Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai penurunan
hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok. Fase pemulihan , bila fase
kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke
intravaskuler secara perlahan pada 48 72 jam setelahnya. Keadaan umum
penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis
membaik. 6

2.6 Diagnosis
Kriteria klinis: 7,8
1. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema
kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :
- Uji tourniket positif
- Petekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- Hematemesis dan melena
6

3. Syok, dimana terdapat takikardi, nadi lemah, hipotensi, kulit pucat,


dingin, lemah.
Kriteria Laboratoris:
- Trombositopenia (100.000/ mm3 atau kurang)
- Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai
berikut:
o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin.
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapatkan terapi
cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoalbuminemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia atau peningkatan
hematokrit, cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue.
Efusi pleura dan atau hipoalbumin, dapat memperkuat diagnosis terutama pada
pasien anemia dan atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan
hematokrit dan adanya trombositopenia, mendukung diagnosa demam berdarah
dengue.7,8
WHO (2004) membagi demam berdarah dengue menjadi 4 derajat
berdasarkan tingkat keparahan, yaitu: 7,8
1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdarahan lain.
3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
4. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.

DF/DHF Derajat Gejala Laboratorium


DF Demam disertai 2 atau lebih Leukopenia(wbc
tanda: sakit kepala, nyeri retro
5000sel/mm3)
orbital, mialgia, arthralgia
Trombositopenia (Platelet
7

<150 000 cells/mm3).


Peningkatan HCT (5%
10% ).
Tidak ada bukti
kebocoran plasma

DHF I Gejala di atas ditambah uji Trombositopenia


bendung positif, bukti ada (<100.000/ul),
kebocoran plasma Peningkatan HCT 20%
DHF II Gejala di atas ditambah Trombositopenia
perdarahan spontan (<100.000/ul)
Peningkatan HCT 20%
DHF III Gejala di atas ditambah Trombositopenia
kegagalan sirkulasi (kulit dingin (<100.000/ul)
dan lembab serta gelisah) Peningkatan HCT 20%
DHF IV Syok berat disertai dengan Trombositopenia
tekanan darah dan nadi tidak (<100.000/ul)
terukur Peningkatan HCT 20%

*derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian
klinis dengan demam tifoid, campak dan chikungunya. Pada awal perjalanan
penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau infeksi parasit
seperti demam tifoid, campak, malaria dan demam chikungunya. 6
Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya
(DC). Pada demam chikungunya biasanya seluruh anggota keluarga dapat
terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan
DHF, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih
pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi
konjungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif,
petekie dan epistaksis hampir sama dengan DHF. Pada DC tidak ditemukan
8

perdarahan gastrointestinal, syok, dan hematokrit tidak meningkat.1


DHF dengan demam tifoid dibedakan dari jenis demam tifoid yang lama
dan suhu lebih meningkat pada sore hari dan menurun pada pagi hari. Pola demam
berperti anak tangga. Gejala lain sama dengan DHF seperti sakit kepala, mual,
muntah, nyeri otot. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan uji widal. 6
Campak sering muncul dengan gejala klinis berupa bercak merah yang
hilang jika di tekan, timbul pada hari ke-3 sampai 5, kemudian akan berkurang
pada minggu kedua dan menimbulkan bekas terkelupas dan bercak kehitaman.
Bercak diawali dengan keluhan pilek dan batuk ketika demam hari pertama.
Sedangkan bercak yang timbul pada DHF muncul pada hari ke-2 sampai 3. Pada
hari ke-4 dan 5 bercak menghilang tanpa diikuti proses terkelupas dan bercak
kehitaman pada kulit. Selain gejala klinis tersebut yang membedakan penyakit
DHF dengan campak adalah pada DHF terjadi penurunan trombosit /
trombositopenia (<100.000/uL) dan terjadi hemokonsentrasi lebih dari 20%.
Selain itu pada DHF akan tampak hasil positif pada pemeriksaan antibodi IgG dan
IgM.7
Pada penyakit malaria, gejala klinis yang muncul yaitu demam menggigil
secara berkala dan biasanya terjadi sakit kepala secara bersamaan, suhu badan
menurun, terdapat anemia, splenomegali (pembesaran limpa), dan terjadi ikterus
(hemolisis dan gangguan hepar). Namun pada DHF, demam yang terjadi secara
mendadak, dan suhu mencapai 380C - 400C yang terjadi 2 hingga 7 hari, terdapat
manifestasi perdarahan, hepatomegali, terdapat tanda-tanda syok, lemah, mual,
muntah, sakit kepala, diare, dan ruam merah dan sakit pada otot dan persendian.
Pada tes laboratorium DHF biasanya dilakukan uji serologi IgM, IgG, dan ELISA,
dan mendeteksi antigen viral dengan metode PCR serta dengan cara fluorosensi
imunoglobulin. Sedangkan pada malaria, tes laboratorium bisanya ditemukan
parasit dalam darah yang dipulas dengan Giemsa.7

2.8 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. 1 Hemokonsentrasi
9

dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam. Pada DHF yang disertai manifestasi
perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi dapat dilakukan
pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin.1
Untuk membuktikan etiologi DHF, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu.1
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi,
yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3 dan menghilang
setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14,
sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.1
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan USG.1

2.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
10

pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai
apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan
meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan
dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu
yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan
antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan
dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya
dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol
WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:9

1. Penanganan suspek DHF tanpa syok (gambar 1).


2. Pemberian cairan pada suspek DHF dewasa di ruang rawat (gambar 2).
3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar
3).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHFdewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 4).

Gambar 1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok


11

Gambar 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Gambar 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

Tatalaksana perdarahan spontan DHF dewasa jika pemeriksaan hemostasis


dapat dinilai dari PT, APTT, fibrinogen, D-dimer. Dilakukan tranfusi komponen
darah :
- PCR (Hb<10g/dL)
- FFP
12

- TC (trombosit<100.000)
- Heparinisasi 5000-10.000/24 jam drip
- Pemantauan Hb,Ht,Trombosit, tiap 4-6 jam
- Ulang pemeriksaan hemostasis
13

Gambar 4. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa


14

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua
adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi
cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada
dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid
dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada
terapi DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat
dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam
penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman
dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan
memiliki efek alergi yang minimal. Secara umum, penggunaan kristaloid dalam
tatalaksana DHF aman dan efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait
dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas
hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang
singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg
BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu
yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial
(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut
dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular
dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya
terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia
dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah
disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan
yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma
(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi
jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan
yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis,
koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Jumlah cairan yang diberikan sangat
bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh
proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DHF derajat 1 dan 2, cairan
15

diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan


akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa
dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam
(( rumus: 1500+(20x(berat badan dalam kg -20)) ; sedangkan pada kebocoran
plasma yang terjadi sebanyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24
jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DHF dengan hemodinamik yang
stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih
berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau
masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis
pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DHF dengan kondisi
hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau
tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil
secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil
(lihat protokol pada gambar 3 dan 4). Pada kondisi di mana terapi cairan telah
diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan
kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan
terjadinya perdarahan internal.9

BAB III
16

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : SN
Umur : 42 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Status : Menikah
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Jl. Dr. Muardi Gang III E / 52 Denpasar Selatan
Tanggal MRS : 17 Agustus 2017 (11:46 WITA)
Tanggal Pemeriksaan : 18 Agustus 2017 (14:40 WITA)

3.2 ANAMNESIS (18 Agustus 2017)


Keluhan Utama
Demam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan demam ke IGD RSUP Sanglah untuk
mencari pengobatan. Pasien mengeluh demam hilang timbul sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit (SMRS), demam muncul mendadak disertai
menggigil dan dirasakan hampir sepanjang hari. Demam memberat ketika
pasien sedang melakukan pekerjaannya. Pasien belum sempat ke dokter
untuk mencari pengobatan. Demam sangat mengganggu aktivitas dan tidur
pasien.
Selain demam, pasien juga mengeluh nyeri pinggang. Nyeri pinggang
muncul bersamaan dengan demam, nyeri dirasakan hilang timbul, seperti
terikat, sangat sakit ketika duduk maupun tidur. Pasien tidak sempat mencari
pengobatan untuk menghilangkan nyerinya tersebut. Pasien juga mengeluh
mual dan muntah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah muncul
kira-kira dua kali dalam sehari dan tidak disertai darah. Selain itu pasien
16 dan di belakang kedua bola matanya.
juga kadang merasa nyeri pada kepala
17

Pasien belum sempat mencari pengobatan sebelum datang ke IGD RSUP


Sanglah. Saat MRS di RSUP Sanglah, pasien mengaku BAB lancar namun
dengan konsistensi yang sedikit cair. BAK frekuensi dan volume dikatakan
normal, lebih dari 3 kali sehari.
Saat pemeriksaan pasien sudah tidak demam, sudah tidak merasa mual
lagi dan lebih nyaman saat duduk. Rasa sesak, nyeri dada dan riwayat
perdarahan disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah 4 tahun
yang lalu dengan diagnosa Demam Berdarah Dengue. Pasien mengaku tidak
memiliki riwayat penyakit kronis seperti Diabetes Mellitus, hipertensi,
maupun penyakit ginjal. Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat maupun
makanan. Riwayat menerima transfuse darah disangkal.

Riwayat Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat kencing manis. Penyakit hipertensi,
penyakit ginjal, penyakit jantung, dan asma tidak ada dalam keluarga
pasien.

Riwayat sosial
Pasien mengaku merokok mulai dari sekolah menengah atas (SMA),
namun tidak mengkonsumsi alkohol. Pekerjaan pasien adalah supir.
Menurut pasien, dekat dengan rumahnya terdapat satu rumah yang sudah
diabaikan sejak lama (sekitar tahun 2009), dan disana terdapat sumber
genangan air.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


3.3.1 Awal Masuk Rumah Sakit Sanglah (17 Agustus 2017)

1. Pemeriksaan umum
A. Status Present
Keadaan Umum : Sakit sedang
18

Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E4V5M6)


Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 25,71 kg/m2
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit reguler isi cukup
Respirasi : 17 x/mnt tipe pernafasan torakoabdominal reguler
Suhu aksila : 36,4 C
VAS : 0/10

B. Status General
Mata : anemia -/-, ikterus -/-, odem palpebra -/-, refleks pupil +/+
isokor
THT : tonsil T0 T0, faring hiperemis (-), lidah typhoid (-)
Leher : JVP PR + 0 cmH20, pembesaran kelenjar (-)
Thoraks : Simetris
Cor: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V sinistra
Perkusi : Batas atas: setinggi ICS II
Batas bawah: setinggi ICS V
Batas kanan: PSL dekstra
Batas kiri: MCL sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo: Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal fremitus normal normal
normal normal
normal normal

Perkusi : sonor sonor


sonor sonor
sonor sonor

Auskultasi : Vesikuler + +, Rhonki - -, Wheezing - -


19

+ + - - - -
+ + - - - -

Abdomen
Inspeksi : simetris (+), distensi (-), meteorismus (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-)
hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani, asites (-)

Ekstrimitas : Edema - - , Hangat + +


- - + +

3.3.2 Pemeriksaan di Ruang Nusa Indah (18 Agustus 2017)

1. Pemeriksaan umum
A. Status Present
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E4V5M6)
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 25,71 kg/m2
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit reguler isi cukup
Respirasi : 20 x/mnt tipe pernafasan torakoabdominal reguler
Suhu aksila : 36,5 C
VAS : 0/10

B. Status General
Mata : anemia -/-, ikterus -/-, odem palpebra -/-, refleks pupil +/+
isokor
THT : tonsil T0 T0, faring hiperemis (-), lidah typhoid (-)
20

Leher : JVP PR + 0 cmH20, pembesaran kelenjar (-)


Thoraks :
Cor: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V sinistra
Perkusi : Batas atas: setinggi ICS II
Batas bawah: setinggi ICS V
Batas kanan: PSL dekstra
Batas kiri: MCL sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo: Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal fremitus normal normal
normal normal
normal normal

Perkusi : sonor sonor


sonor sonor
sonor sonor

Auskultasi : Vesikuler + +, Rhonki - -, Wheezing - -


+ + - - - -
+ + - - - -
Abdomen
Inspeksi : simetris (+), distensi (-), meteorismus (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-)
hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani, asites (-)
Ekstrimitas : Edema - - , Hangat + +
- - + +
C. Status Lokalis
Uji Tourniquet (+)
21

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Lengkap (17-8-2017)

Parameter Hasil Remark Unit Nilai normal


WBC 3,59 Rendah 103/L 4,1-11,00
NEU% 62,76 % 47-80
LYM% 29,64 % 13-40
MONO% 6,62 % 2,0-11,0
EOS 0,13 % 0-5
BASO 0,86 % 0-2
RBC 6,00 Tinggi 103/L 4,5-5,9
HGB 17,3 g/dl 13,5-17,5
HCT 53,82 Tinggi % 41,0-53,00
MCV 89,68 fl 80,00-100,00
MCH 28,38 pg 26,00-34,00
MCHC 31,65 g/dl 31,00-36,00
RDW 11,77 % 11,60-14,80
PLT 126,90 Rendah 103/L 150-440

Darah Lengkap (18-8-2017)

Parameter Hasil Remark Unit Nilai normal


WBC 3,32 Rendah 103/L 4,1-11,00
NEU% 56,57 % 47-80
LYM% 31,83 % 13-40
MONO% 10,34 % 2,0-11,0
EOS 0,39 % 0-5
BASO 0,87 % 0-2
RBC 5,97 Tinggi 103/L 4,5-5,9
HGB 17,99 Tinggi g/dl 13,5-17,5
HCT 53,95 Tinggi % 41,0-53,00
MCV 90,37 fl 80,00-100,00
MCH 30,13 pg 26,00-34,00
MCHC 33,35 g/dl 31,00-36,00
RDW 11,99 % 11,60-14,80
PLT 112,30 Rendah 103/L 150-440

Darah Lengkap (19-8-2017)

Parameter Hasil Remark Unit Nilai normal


22

WBC 3,32 Rendah 103/L 4,1-11,00


NEU% 20,13 Rendah % 47-80
LYM% 52,37 Tinggi % 13-40
MONO% 23,93 % 2,0-11,0
EOS 2,58 % 0-5
BASO 0,99 % 0-2
RBC 5,64 103/L 4,5-5,9
HGB 16,30 g/dl 13,5-17,5
HCT 50,90 % 41,0-53,00
MCV 90,28 fl 80,00-100,00
MCH 28,91 pg 26,00-34,00
MCHC 32,02 g/dl 31,00-36,00
RDW 11,90 % 11,60-14,80
PLT 119,10 Rendah 103/L 150-440

Darah Lengkap (20-8-2017)

Parameter Hasil Remark Unit Nilai normal


WBC 6,94 103/L 4,1-11,00
NEU% 20,13 Rendah % 47-80
LYM% 48,34 Tinggi % 13-40
MONO% 16,79 % 2,0-11,0
EOS 2,86 % 0-5
BASO 0,92 % 0-2
RBC 5,49 103/L 4,5-5,9
HGB 15,93 g/dl 13,5-17,5
HCT 49,45 % 41,0-53,00
MCV 90,15 fl 80,00-100,00
MCH 29,04 pg 26,00-34,00
MCHC 32,22 g/dl 31,00-36,00
RDW 11,59 % 11,60-14,80
PLT 115,40 Rendah 103/L 150-440

Hasil Serologi (21-08-2017)


Parameter Hasil Remark Unit Nilai normal
IgM positif negatif
IgG positif negatif

V. DIAGNOSIS
Dengue Hemorhagic Fever Grade I Day 6
23

VI. PENATALAKSANAAN
Terapi
Masuk rumah sakit (MRS)
Infus RL 7cc/kg (490cc) lanjut 5cc / kg (350cc) lanjut 3cc / kg (210
cc) dipertahankan 30 tetes
Diet lunak 2000 kcal
Paracetamol 500 mg @8 jam io (jika t.ax 37,5oc)
Domperidon 10 mg @8 jam io

KIE Minum 1,5 2 liter / hari

Planning Diagnostik
- Serologi Dengue Day 7 (tanggal 21/8/2017): hasil positif pada IgG dan IgM
(21/08/2017)

Monitoring
- Vital sign
- Keluhan
- Darah Lengkap post loading
- Darah Lengkap tiap 12 jam

VII. PROGNOSIS
- dubius ad bonam
24

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis
Berdasarkan teori gejala klinis demam berdarah degue memiliki gejala klinis
yang sama dimana pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari,
yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah
tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak
mendapat pengobatan yang adekuat. Gejala lain seperti mual muntah, diare, ruam
kulit, nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat menyeluruh atau
terpusat pada supraorbita dan retroorbita. Nyeri otot terutama pada tendon. Pada
kasus pasien mengeluh demam hilang timbul sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit (SMRS), demam muncul mendadak disertai menggigil dan dirasakan hampir
sepanjang hari. Selain demam, pasien juga mengeluh nyeri otot pinggang, mual
dan muntah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Selain itu pasien juga
kadang merasa nyeri pada kepala dan di belakang kedua bola matanya.
4.2 Pemeriksaan fisik
Berdasarkan teori, satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet
positif pada dengue hemorrhagic fever derajat I. Pada pasien ini , tanda
perdarahan spontan tidak ditemukan pada pasien. Petekie, ekimosis, purpura,
perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi hematemesis dan melena negatif.
Pada pemeriksaan lokalis terdapat uji tourniquet (+).
4.3 Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan teori, demam berdarah dengue ditegakkan minimal terdapat satu
bukti kebocoran plasma yaitu didapatkan hematokrit meningkat lebih dari 20%,
trombositopenia (100.000/ mm3 atau kurang), efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
Berdasarkan hasil laboratorium pasien dimana terdapat gangguan
hemokonsenrasi darah, hematokrit didapatkan meningkat namun tidak lebih dari
20% dan trombosit menurun tidak lebih dari 100.000/mm 3. Tidak terdapat efusi
pleura, ascites dan hipoproteinemia. Berdasarkan teori pemeriksaan untuk
mendiagnosis digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi

25
25

IgM dan IgG-anti dengue. Pada pasien ini , pemeriksaan serologi akan dilakukan
pada hari ke 7 (tanggal 21/8/2017).
4.4 Diagnosis
Penegakan diagnosis dengan manifestasi klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari kriteria klinis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium
dapat menegakkan diagnosis dengue hemorrhagic fever derajat I. Pada pasien ini
terdapat kriteria klinis yang sesuai dan terdapat penurunan trombosit dan
peningkatan hematokrit, serta pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue
positif
4.5 Penatalaksanaan
Berdasarkan teori, penatalaksanaan bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Pemberian cairan kristaloid diberikan 7cc/kg /jam kemudian evaluasi 3-4 jam.
Jika terdapat perbaikan hematokrit menurun kurangi infus kristaloid 5cc/kg/jam.
Evaluasi 2 jam jika terdapat perbaikan diturunkan 3cc/kg/jam. Pada kasus ini
penatalaksanaan pada pasien ini dengan dengue hemorrhagic fever derajat I yaitu:
Rawat inap
Infus RL 7cc/kg (490cc) lanjut 5cc / kg (350cc) lanjut 3cc / kg (210
cc) dipertahankan 30 tetes
Diet lunak 2000 kcal
Paracetamol 500 mg @8 jam io (jika t.ax 37,5oc)
Domperidon 10 mg @8 jam io
KIE Minum 1,5 2 liter / hari

BAB V
26

KESIMPULAN

Dengue Hemorrhagic fever/ DHF adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty
dan Aedes albopictus dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/ atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik.
Diagnosis ditegakkan dengan kriteria klinis yaitu demam akut, tinggi,
naik turun, tanda klinis perdarahan dan ditambah trombositopenia atau
peningkatan hematokrit. Efusi pleura dan atau hipoalbumin, dapat memperkuat
diagnosis terutama pada pasien anemia dan atau terjadi perdarahan.
Penatalaksanaan DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.

DAFTAR PUSTAKA

27
27

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.


Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo
AW dkk. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Jakarta : 2007.
2. Wahono TD. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan; 2004.
3. Hairani LK. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM
UI. 2009.
4. Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah dengue di
Indonesia. Farmaka. 2007; 5:12-29.
5. Kemenkes RI. INFODATIN. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI: Situasi Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta:
2014.
6. Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Media
Aesculapius. Jakarta: 2014.
7. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2011.p.5-45
8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di
sarana pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34
9. Chen,K., Pohan, H. T., Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicinus. 2009; 22 (1)

Anda mungkin juga menyukai