MALARIA VIVAX
Oleh:
MAKHYAN JIBRIL A
0810710073
NICO PANGESTU H
0810714048
RICHA OKTA
0810710097
SERAVINA ADILA
0810713037
Pembimbing:
dr. Niniek Burhan Sp.PD-KPTI
BAB I
PENDAHULUAN
Malaria merupakan penyakit tropis mayor yang disebabkan oleh parasit (Trager
dan Jensen, 2007). Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh sporozoa dari genus
Plasmodium, yang penularannya melalui gigitan nyamuk Anopheles. Secara klinis ditandai
dengan serangan paroksismal dan periodik, disertai anemia, pembesaran limpa dan
kadang-kadang dengan komplikasi pernisiosa seperti ikterik, diare, black water fever,
acutetubular necrosis, dan malaria cerebral (Millet et al., 2008; Munthe, 2001; Kawai et al.,
2006).
Malaria merupakan penyakit infeksi yang memiliki tingkat prevalensi tertinggi ke
tiga di dunia (Mayer et al., 2009). Sampai pada abad ke-21 ini, malaria masih menjadi
masalah kesehatan utama di dunia. Diperkirakan sekitar 2,5 milyar manusia beresiko dan
diperkirakan 350 500 juta manusia terkena malaria setiap tahun Lebih dari 2400 juta
penduduk atau 40% penduduk dunia tinggal di daerah endemis malaria. Diperkirakan angka
kematian malaria di dunia mencapai 836.000 manusia setiap tahunnya (WHO, 2009). Dari
empat spesies parasit malaria yang menginfeksi manusia yaitu plasmodium falciparum,
plasmodium vivax, plasmodium malariae dan plasmodium oval, dimana dua spesies yang
pertama yakni plasmodium falciparum dan plasmodium vivax merupakan penyebab lebih
dari 95% kasus malaria di dunia (Umar, 1994). Menurut WHO (2006), sekitar 40% populasi
dunia hidup dinegara miskin, populasi tersebut memiliki resiko tinggi terkena malaria..
Kebanyakan disebabkan oleh P.falciparum dan P.vivax. Hal ini mengakibatkan malaria
masih merupakan masalah kesehatan utama negara yang sedang berkembang seperti di
Indonesia.
Di Indonesia penyakit malaria ditemukan tersebar diseluruh kepulauan, terutama
kawasan timur Indonesia. Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama, karena mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita, dan ibu
melahirkan, serta menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) (Munthe, 2001)Prevalensi
Malaria di Indonesia sendiri pada tahun 2001 tercatat sebesar 850 per 100.000 penduduk
dengan 15 juta kasus malaria klinis (Depkes, 2004). Hampir separuh populasi Indonesia
sebanyak lebih dari 90 juta orang tinggal di daerah endemik malaria. Diperkirakan ada 30
juta kasus malaria setiap tahunnya, kurang lebih hanya 10 % saja yang mendapat
pengobatan di fasilitas kesehatan. Menurut data dari fasilitas kesehatan pada 2001,
diperkirakan prevalensi malaria adalah 850,2 per 100.000 penduduk dengan angka yang
tertinggi 20% di Gorontalo, 13% di NTT dan 10% di Papua. Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 2001 memperkirakan angka kematian spesifik akibat malaria di
Indonesia adalah 11 per 100.000 untuk laki-laki dan 8 per 100.000 untuk perempuan.
Prevalensi kasus malaria di Indonesia atau daerah-daerah endemi malaria tidak sama, hal
ini tergantung pada prilaku spesies nyamuk yang menjadi vektor. Di Kalimantan Selatan
sendiri merupakan daerah endemis malaria. Vektor malaria yang terdapat di Kalimantan
adalah Anopheles letifer dan Anopheles balabacensis (SKRT,2001; Gandahusada, 1998)
2007;Selain itu malaria menjadi masalah karena merupakan penyakit yang mampu muncul
kembali
(re-emerging
disease)
sehingga
memerlukan
perhatian
khusus
dalam
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS
Nama
: Tn. Muhaimin
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 40 tahun 2 bulan
Alamat
: DS Pandansari RT 3/8 Ponco Kusumo
Status
: Menikah
Pendidikan
: Siswa SMP
Pekerjaan
: Buruh
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
No. Rekam Medik : 1311502
MRS
: 16April 2013
2.2 KELUHAN UTAMA
Demam
2.3 ANAMNESIS
A. Riwayat Penyakit Sekarang (Autoanamnesa)
Pasien awalnya merasa panas dingin terus-menerus dan semakin memberat
sejak 9 hari yang lalu dan mendadak tinggi, menggigil, dan berkeringat banyak ( 2
hari). Panas muncul hilang timbul. Lalu, pasien pergi ke puskesmas dan diberi obat
berwana coklat kekuningan. Pasien juga mengeluhkan kepalanya pusing sejak 1
minggu yang lalu. Pusing muncul mendadak dan hilang timbu serta pandangan dobel
dan mata kabur. Pasien juga merasa perutnya mengeras.
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah terkena malaria saat 1,5 bulan yang lalu sebanyak 2x saat di
Papua dan diberi obat yang diminum sekaligus 4 tablet dan berwarna coklat.
Kemudian pasien periksa ke dokter dan dirujuk ke RSSA untuk transfusi
kemudian mendapatkan hasil (+) malaria dan dirawat selama 3 hari dan pasien
mendapatkan 2 kantong transfusi darah.
C. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita sakit serupa. Riwayat Hipertensi,
Diabetes Melitus dan Alergi pada keluarga disangkal.
D. Riwayat Psikososial
Pasien beraktivitas sebagai buruh dan pasien pernah bekerja di Papua
selama 6 bulan sebagai pencari kayu dan tinggal di hutan. Teman pasien
banyak yang terkena malaria.
2.3.1 Anamnesis Keadaan Gizi
Makan
: 2-3x/ hari
Jumlah
: Sedang
Jadwal
: Tidak teratur
Berat badan
: 70 kg
Kepala
: merasa pusing
Mata
Telinga
Mulut
Paru
Jantung
Alat pencernaan
Saluran kencing
Alat kelamin
Alat gerak
Sistem saraf
Endokrin
: Cukup
Kesadaran
Tekanan darah
Pernapasan
: 20 kali/menit
Suara bicara
: Normal
Gizi
: Kesan baik
:Jalan-jalan
BB
: 70 kg
Kulit
- Tonus
: Normal
- Turgor
: normal
- Peluh
: Normal
- Ikterus
: (-)
Mata
Hidung
Mulut
Leher
- Umum
: Simetris
: normal
- Tiroid
- Venajugularis
: Peningkatanjugularvenouspressure (-)
2.4.3THORAX
Umum
Bentuk
: Normal
ICS
Retraksi
: Tidak tampak
Kulit
Axilla
Paru
Depan
Pemeriksaan
INSPEKSI
Bentuk
Pergerakan
PALPASI
Pergerakan
Fremitus raba
Belakang
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Simetris
Simetris
Simetris
Simetris
+
-
Nyeri
PERKUSI
Suara ketok
Tinggi diafragma
+
-
+
-
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Nyeri ketok
Kronig isthmus
+
-
Normal
ICS V
AUSKULTASI
Suara nafas
Fremitus auditori
Sama
Suara Percakapan
Ronkhi
Wheezing
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
+
Vesikuler
+
Vesikuler
+
Vesikuler
+
+
-
+
-
+
-
+
-
N
-
N
-
N
-
N
-
: Tidak tampak
Palpasi
Iktus
Getaran (thrill)
: Tidakada
: Tidakada
Perkusi
Batas kanan
Bataskiri
Auskultasi
Suara1, suara 2
: Tunggal
Suara 3, suara 4
: Tidakditemukan
Bisingjantung
: Tidakditemukan
Bisinggesekperikard : Tidakditemukan
2.4.4 ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk
: soefl
Umbilikus
: Masukmerata
Kulit
dullness
dullness
: (+) 11 cm, batas paru hepar ics V
Asites
: (-)
Palpasi
Turgor
: Normal
Tonus
: Normal
Nyeri tekan
: Tidak ada
Krepitasi
: Tidak ada
Hepar
: Tidak teraba
Lien
Ginjal
: Tidak teraba
Kandung empedu
Aorta
: Sulit diraba
2.4.5 INGUINAL-GENITAL-ANUS
Tidak dilakukan
2.4.6 EKSTREMITAS
Ekstremitas Atas
Akral
Deformitas
: (-) / (-)
Erythema palmaris
: (-) / (-)
Edema
: (-) / (-)
Refleks biceps
: ++ /++
Refleks triceps
: ++ /++
Refleks patologis
: (-) / (-)
Motorik
Sensorik
: Normal
Ekstremitas Bawah
Akral
Deformitas
: (-) / (-)
Edema
: (-) / (-)
Refleks lutut
: ++/+ +
: Normal
Tulang Belakang
Normal
Anamnesa
Keluhan
utama:
Penurunan
Kesadaran
DESKRIPSI UMUM
DARAH LENGKAP
Kesan sakit
Leukosit
Gizi
: cukup
(3.500 10.000)
(11,0 16,5)
kg
MCV
: 96,10
MCH
: 32,00
PCV
: 21,90%
Trombosit
: 147.000 /L (150.000-390.000)
TANDA VITAL
Eusinofil
: 2,0 %
Basofil
: 0,1 %
Nadi
Neutrofil
: 70,0%
Tekanan
Lymphosit
: 22,0%
Monosit
: 4,0%
Pasien
Tax
: 36,5oC
Pernafasan
: 20 x/menit, reguler
Ureum
: 22,00 mg/dl
Kepala/Leher:
Creatinine
:0,81 mg/dl
(0,7 1,5)
SGOT
: 23 U/L
(11 41)
SGPT
: 18 U/L
GDA
: 844gr/dl
kelenjar
JVP
Natrium
R+0cmH2O,
tidak
Kalium
(Heteroanamnesa)
Pasien awalnya merasa panas dingin terus-
Berat badan : 70
: 5200/L
BMI
kg/m2
yang
lalu
juga
dan
mendadak
mengeluhkan
tinggi,
kepalanya
: 80 x/menit, reguler
darah
getah
110/8
bening,
kelenjar
tiroid
mmHg
(35 50)
(10 50)
(10 41)
(<200)
membesar
Clorida
Thorax:
SG
:-
pH
:-
RSSA
Lekosit
:-
pm trikuspid, sistolik
Nitrite
:-
Protein
:-
untuk
transfusi
kemudian
Glukosa
:-
suara nafas
Eritrosit
:-
Keton
:-
V
V
V
V
V
V
ronkhi
perkusi
S
S
S
S
S
S
wheezing
-
Urobilinogen : Bilirubin
:-
Lekosit : -
Hyaline : -
Kristal : -
Granuler : -
Bakteri : -
Abdomen:
Eritrosit : -
(153,8x103/ml)
Lekosit : -
Ph : PCO2 : - mmHg
Extremitas:
PO2 : - mmHg
HCO3 : -
Akral hangat
BE : -
edema
Saturasi 02 : -%
Reflek
GDS : -mg/dl
Tetes tebal malaria : (+) Plasmodium Vivax
fisiologis
(+/+),
Reflek
CXR
Pemeriksaan
Pulsasi
A
Kanan
+
Kiri
+
poplitea
Pulsasi
rior
Sensitivitas
Halus
Sensitivitas
Dorsalis
pedis
Pulsasi
TibialisPoste
Kasar
dan
Problem List
1. AFI day 9 +
menggigil
Papua
dan
GCS
PO :
Subj
B6/B12 3X1
Omeprazole 2x20 mg
tinggal
di
MCHC : 33,30
Monitoring
Vital sign
PCT 3x500 mg
GCS 345
MCV : 96,10
Planning Therapy
-IVFD NS 0,9% 20 tpm
di
Pem. Fisik:
PLT : 147.000
infection
Planning Diagnose
bekerja
hutan.
Hb : 7,30
vivax infection
1.2 Plasmodium
falciparum
2x disertai pusing
bulan
Anemia NN
Initial Diagnose
1.1 Plasmodium
Primaquin H1 3 tab
H 2-14 1 tab
ACT 0-4-0 (H 1-3)
Laki-Laki/ 40 Tahun
2. Anemia
Hb : 7,30
Normochrom
PLT : 147.000
normocyter
MCV : 96,10
MCHC : 33,30
2.1 Dt no 1
2.2 Chronic disease
DL post transfusi
Vital sign
DL
BAB III
PEMBAHASAN
2. Diagnosis
2.1 Epidemiologi
Epidemiologi
merupakan
ilmu
yang
mempelajari
tentang
sifat,
penyebab,
vivax tersebar diseluruh kepulauan dan pada musim kering, umumnya didaerah endemik
mempunyai frekuensi tertinggi diantara spesies yang lain (Widoyono, 2008).
Selama periode 2000-2005 situasi malaria di daerah luar Jawa dan Bali berdasarkan
jumlah penderita klinis, sediaan darah (SD) yang diperiksa, SD positif dan jenis parasit (P.
falciparum + Mix) relatif meningkat. Jumlah sediaan darah yang diperiksa tahun 2000
meningkat dari 404.714 menjadi 606.281 pada tahun 2005. Jumlah sediaan darah positif
tahun 2000 sebesar 155.796 kasus meningkat menjadi 309.871 kasus pada tahun 2005.
Begitu juga dengan jenis parasit P. falciparum dan Mix pada tahun 2000 sebesar 30.838
menjadi 145.031 padan tahun 2005 (Depkes, 2006).
2.2 Masa Inkubasi
Penderita malaria akan mengalami serangan demam pertama didahului oleh masa
inkubasi yang bervariasi antara 9-30 hari tergantung pada spesies parasit, paling pendek
pada P. falciparum dan paling panjang pada P. malariae. Masa inkubasi ini tergantung pula
pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya dan tingkat imunitas
penderita. Cara penularan juga mempengaruhi apakah secara alamiah atau bukan alamiah
seperti penularan melalui transfusi darah dan masa inkubasinya tergantung pada jumlah
parasit yang turut masuk bersama darah serta tingkat imunitas penerima darah.7,23,25
Gambar 2.1 Perbandingan masa inkubasi dan manifestasi klinis dari berbagai tipe
infeksi malaria 7
Pada pasien ini, ditemukan riwayat bepergian ke papua saat tiga minggu sebelum
masuk rumah sakit, dimana gejala demam pasien dirasakan saat sembilan hari yang lalu.
Hal ini dapat menunjukkan bahwa masa inkubasi parasit pada pasien tersebut berkisar
antara 12 hari ke atas. Dalam kasus ini masih belum dapat dibedakan penyebab dari infeksi
hanya berdasarkan masa inkubasi
masih berlangsung, pada akhir minggu kelima panas mulai turun secara krisis. Pada malaria
vivaks manifestasi klinik dapat berlangsung secara berat tapi kurang membahayakan, limpa
dapat membesar sampai derajat 4 atau 5 (ukuran Hackett). Malaria serebral jarang terjadi.
Edema tungkai disebabkan karena hipoalbuminemia. Mortalitas malaria vivaks rendah tetapi
morbiditas tinggi karena seringnya terjadi relapse. Pada penderita yang semiimmune
perlangsungan malaria vivax tidak spesifik dan ringan saja; parasitemia hanya rendah;
serangan demam hanya pendek dan penyembuhan lebih cepat. Resistensi terhadap
kloroquin pada malaria vivaks juga dilaporkan di Irian Jaya dan di daerah lainnya. Relaps
sering terjadi karena keluarnya bentuk hipnozoit yang tertinggal di hati pada saat status
imun tubuh menurun.
2.3.2. Pembesaran Limpa (Splenomegali)
Pembesaran limpa sering dijumpai pada penderita malaria. Limpa akan teraba tiga
hari setelah serangan infeksi akut. Limpa menjadi bengkak, nyeri, dan hiperemis. Limpa
merupakan organ penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria. Dijumpainya
riwayat demam dengan anemia, splenomegali merupakan petunjuk untuk diagnosis infeksi
malaria khususnya didaerah endemis, dimana kejadian splenomegally paling sering terjadi
pada infeksi P.vivax dan malariae (Sutanto, 2009).
Pada pasien ini, dari pemeriksan fisik didapatkan adanya dullness pada traube
space, selain itu, limpa juga teraba sebagai schuffner 3. Hal ini menunjukkan adanya proses
splenomegally pada pasien tersebut. Splenomegally terjadi karena erubahan pada limpa
disebabkan oleh kongesti. Kemudian limpa berubah bewarna hitam karena pigmen yang
ditimbun dalam eritrosit yang mengandung parasit dalam kapiler dan sinusoid, selain itu,
akan terjadi proses hemolisis sel darah merah yang terinfeksi, sehingga limfa akan bekerja
lebih berat (Muslim, 2009).
Gambar 2.2 Kesan adanya splenomegaly pada pasien (diambil pada 3 Mei 2013)
2.3.3. Anemia
Pada malaria terdapat anemia yang derajatnya tergantung pada spesies penyebab
malaria. Anemia terutama tampak jelas pada Malaria falciparum dan malaria kronis dengan
penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat. Anemia bersifat hemolitik, normokrom, dan
normositik. Pada serangan akut, kadar Hb turun secara mendadak. Faktor penyebab
anemia diantaranyan karena:
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan tidak mengandung parasit terjadi di
dalam limpa (faktor autoimun memegang peranan).
b. Reduced survival time, karena eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak dapat
hidup.
c. Diseritropoeiesis (gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis
dalam sumsum tulang) retikulosit tidak dilepaskan dalam peredaran perifer (Muslim, 2009).
Pada pasien ini, didapatkan adanya kesan anemis pada conjunctiva dan pada ekstrimitas,
selain itu dari hasil pemeriksaan darah lengkap ditemukan Hb : 7,30, MCV : 96,10 dan
MCHC : 33,30. Hal ini sesuai dengan tanda tanda anemia yang terjadi pada proses infeksi
malaria.
Gambar 2.3 Kesan adanya anemia pada pasien (diambil pada 3 Mei 2013)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat
penting untuk menegakkan diagnosa malaria . Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatip
tidakmengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negatip
maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan
olehtenaga
laboratorik
yang
berpengalaman
dalam
pemeriksaan
parasit
malarra.
Pemeriksaan pada saat penderita demam atau panas dapat meningkatkan kemungkinan
ditemukannya parasit. Pemeriksaan dengan stimulasi adrenalin 1:1000 tidak jelas
manfaatnya dansering membahayakan terutama penderita denganhipertensi. Pemeriksaan
parasit malaria melalui aspirasisumsum tulang hanya untuk maksud akademis dan
tidaksebagai cara diagnosa yang praktis. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan
melalui :
Tetesan preparat darah tebal.
Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan
darahcukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaanmudah dibuat khususnya
untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untukmemudahkan
identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang
pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan negatip bila setelah diperiksa
200 lapangpandangan dengan pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit.
Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200
leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnyaialah jumlah parasit dikalikan 50
merupakan jumlah parasitper mikro-liter darah.
Golongan Artemisin
Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam bah. Cina sebagai
Qinghaosu. Obat ini termasuk kelompok seskuiterpen lakton mempunyai beberapa formula
seperti : artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin.
Obat ini bekerja sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja
sebagai obat sizontocidal darah. Karenabeberapa penelitian bahwa pemakaian obat tunggal
menimbulkan terj adinya rekrudensi, maka direkomendasikan untuk dipakai dengan
kombinasi obat lain,. Dengan demikian juga akan memperpendek pemakaian obat. Obatini
cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan penyediaan ada yang oral, parenteral/injeksi dan
suppositoria.
3.4.2
golongan
artemisinin
secara
monoterapi
akan
mengakibatkan
Artesunat + meflokuin .
Afiesunat + amodiakin .
Artesunat + klorokuin .
Arlesunat + sulfadoksin-pirimeramin .
Arlesunat + pironaridin
Artesunat + chlorroguanil-dapson (CDA/Lapdapplus)
Dihidroartemisinin Piperakuin + Trimethoprim(Arlecom)
Artecom+primakuin(CVS)
Dihidroafiemisinin+naptokuin
Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi artesunate
dewasa
yaitu
artesunate
(50mg/tablet)
200mg
padahari
I-il
(4
tablet).
UntukAmodiakuin (200mg/tablet) yaitu 3 tablet hari I dan II dan tll2 tablet hari III. Artesumoon
ialah kombinasi yang dikemas sebagai blister dengan aturan pakai tiap blister/ hari
(artesunate amodiakuin) diminum selama 3 hari. Dosis amodiakuin adalah25 -30 mg/kg BB
selama 3 hari. Pengembangan terhadap pengobatan masa depan ialah dengan tersedianya
formula kombinasi yang mudah bagi penderita baik dewasa maupun anak (dosis tetap) dan
kombinasi yang paling poten dan efektif dengan toksisitas yang rendah. Sekarang sedang
dikembangkan obat semi sinthetik artemisinin seperti artemison ataupun trioksalon sintetik.
3.4.3
dari seluruhpropinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap
klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin (kegagalan masih kurang 25%). Dibeberapa
daerah pengobatan menggunakan obat standard seperti klorokuin dan sulfadoksinpirimetamin masih dapat digunakan denganpengawasan terhadap respon pengobatan. Obat
non-ACT adalah :
menggunakan SP.
Primakuin : (1 tablet 15 mg), dipakai sebagai obatpelengkap/pengobatan radical
terhadap P. Falciparum maupun P. Wvax. Pada P Falciparum dosis nya 45mg (3
tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet; sedangkan untuk P Wvax dosisnya
15mgl hari selama 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit (anti-relaps).
Kina Sulfat : (l tablet 220 mg), dosis yang dianjurkan ialah 3 x 10 mg/ kg BB selama 7
hari, dapat dipakai untuk P Falciparum maupun P. Vivax. Kina dipakai sebagai obat
cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini
untuk waktu yang lama (7 hari) menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai
3.4.4
selesai.
Penggunaan Obat Kombinasi Non-act
Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi, dan belum
tersedianya
obat
golongan
artemisinin,
dapat
menggunakan
obat
standar
yang
dikombinasikan. Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus dilakukan monitoring respon
pengobatan sebabperkembangan resistensi terhadap obat malaria berlangsung cepat dan
meluas.Contoh kombinasi ini adalah sebagai berikut :
a). Kombinasi Klorokuin + Sulfadoksin-Pirimetamin.
b). Kombinasi SP + Kina.
c). Kombinasi Klorokuin + Doksisiklin/ Tetrasiklin.
d). Kombinasi SP + Doksisiklin/Tetrasiklin.
e). Kina + Doksisiklin Tetrasiklin.
f). Kina+Klindamisin.
SST sering dijumpai dinegaratopik yang penyebabnya antara lain malaria, kala-azar,
schistosomiasis, disebut juga Hyperreactive Malarial Splenomegaly (Big Spleen Disease)
SST berbeda dengan splenomegali karena malaria. Splenomegali karena malaria sering
dijumpai di daerah endemik malaria dengan parasitemia intermiten dan ditemukan hemozoin
(pigmen malaria) pada sistem retikulo-endotelial. Sering pada umur dewasa dengan
terbentuknya imunitas, parasitemia menghilang dan limpa mengecil. Pada SST terjadi pada
penduduk daerah endemik biasanya anak-anak, spleen tidak mengecil, bahkan membesar,
terjadi peningkatan serum IgM and antibodi terhadap malaria. Etiologi diduga merupakan
respon imunologik terhadap malaria dimana terj adi peningkatan dari IgM.Gejala klinik
berupa bengkak pada perut karena splenomegali, merasa lemah, anoreksia, berat badan
turun dan anemia. Pembesaran limpa mencapai umbilikus sampai fossa iliaka (derajat 4-5
Hackett). Anemia biasanya normokromik-normositik dengan peningkatan retikulosit. Anemia
hemolitik dapat terjadi pada kehamilan dengan SS! sedangkan trombositopenia jarang
menyebabkan manifestasi perdarahan. Kriteria diagnostik yang dipakai untuk menegakkan
SST yaitu : .
-
laktis.
limfositosis pada sinusoid hati.
respons imunitas selluler dan humoral normal terhadapantrgen.
respons limfosit normal terhadap Phytohaemagglutinin(PHA).
hipersplenism terjadi hanya pada beberapa kasus danberhubungan dengan
besarnya splenomegali.
limfositosis perifer dan pada sumsum tulang.
volume plasma meningkat.
Pengobatan :
memudahkan terjadinyainfeksi.
- tanpa pengobatan prognosis jelek, 50oh meninggaldalamfollow up.
Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) dengan gambaran karakteristik berupa albuminuria,
merupakan tumor limfosit B. Terjadinya tumor ini belum diketahui, diduga gangguanpada
sel-sel penolong/supresi T dipengaruhi oleh P. fa I c ip arum sehingga sel limfo s it T kurang
menghamb at pembiakan virus Epstein Barr. BL sering dijumpai pada usia 2 - 1 6 tahun
dengan puncak pada usia 4 dan 9 tahun, dan pria lebih sering dari wanita. Tumor dijumpai
pada rahang atau massa pada perut, ovarium, ginj al dan kelenjar limfe mesenterial. Tumor
dapat berkembang dengan cepat, ukuran dapat menjadi dobbel dalam 3 hari dan pada
gastro intestinal dapat memberikan tanda-tanda obstruksi. Pengobatan dengan sitostatika
memberikan survival yang panjang kira-kira 50%.
DAFTAR PUSTAKA
Anies., 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah Dan Menanggulangi
Penyakit Menular. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Biggs BA, Goller JL, Jolley D, Ringwald P. Regional differences in the response of P.vivax
malaria to primaquine as anti-relapse therapy. Am.J.Trop.Med.Hyg 2007; 76: 203-7
Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. EGC Jakarta, 2000; 125-126
Depkes RI., 2006. Profil Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2005.
Ditjen P2PL. Jakarta.
Depkes.
2004.
Malaria
dan
Prevalensinya
di
Indonesia
Sukarban, S dan Zunilda. Obat Malaria Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta:
FKUI, 1995; 545-59
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 UNICEF Indonesia, 2000, Multiple Indicator
Cluster Survey Report on the Education and Health of Mothers and Children
Sutanto, Inge., 2009. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedoteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Timmreck, Thomas C., 2004. Epidemiologi Sebagai Suatu Pengantar. Edisi 2. Penerbit Buku
Kedoteran EGC. Jakarta
Trager dan JB Jensen. 2007. Human Malaria Parasites in Continuous Culture.
http://www.sciencemag.org/cgi/content/abstract/sci%3B193/4254/673.
Diakses
2008.
Penyakit
Tropis
Epidemiologi,
Penularan,
Pencegahan
Dan