Anda di halaman 1dari 30

RESPONSI KASUS INFEKSI TROPIS

MALARIA VIVAX

Oleh:
MAKHYAN JIBRIL A

0810710073

NICO PANGESTU H

0810714048

RICHA OKTA

0810710097

SERAVINA ADILA

0810713037

Pembimbing:
dr. Niniek Burhan Sp.PD-KPTI

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Univarsitas Brawijaya
Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar
Malang
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Malaria merupakan penyakit tropis mayor yang disebabkan oleh parasit (Trager
dan Jensen, 2007). Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh sporozoa dari genus
Plasmodium, yang penularannya melalui gigitan nyamuk Anopheles. Secara klinis ditandai
dengan serangan paroksismal dan periodik, disertai anemia, pembesaran limpa dan
kadang-kadang dengan komplikasi pernisiosa seperti ikterik, diare, black water fever,
acutetubular necrosis, dan malaria cerebral (Millet et al., 2008; Munthe, 2001; Kawai et al.,
2006).
Malaria merupakan penyakit infeksi yang memiliki tingkat prevalensi tertinggi ke
tiga di dunia (Mayer et al., 2009). Sampai pada abad ke-21 ini, malaria masih menjadi
masalah kesehatan utama di dunia. Diperkirakan sekitar 2,5 milyar manusia beresiko dan
diperkirakan 350 500 juta manusia terkena malaria setiap tahun Lebih dari 2400 juta
penduduk atau 40% penduduk dunia tinggal di daerah endemis malaria. Diperkirakan angka
kematian malaria di dunia mencapai 836.000 manusia setiap tahunnya (WHO, 2009). Dari
empat spesies parasit malaria yang menginfeksi manusia yaitu plasmodium falciparum,
plasmodium vivax, plasmodium malariae dan plasmodium oval, dimana dua spesies yang
pertama yakni plasmodium falciparum dan plasmodium vivax merupakan penyebab lebih
dari 95% kasus malaria di dunia (Umar, 1994). Menurut WHO (2006), sekitar 40% populasi
dunia hidup dinegara miskin, populasi tersebut memiliki resiko tinggi terkena malaria..
Kebanyakan disebabkan oleh P.falciparum dan P.vivax. Hal ini mengakibatkan malaria
masih merupakan masalah kesehatan utama negara yang sedang berkembang seperti di
Indonesia.
Di Indonesia penyakit malaria ditemukan tersebar diseluruh kepulauan, terutama
kawasan timur Indonesia. Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama, karena mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita, dan ibu
melahirkan, serta menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) (Munthe, 2001)Prevalensi
Malaria di Indonesia sendiri pada tahun 2001 tercatat sebesar 850 per 100.000 penduduk
dengan 15 juta kasus malaria klinis (Depkes, 2004). Hampir separuh populasi Indonesia
sebanyak lebih dari 90 juta orang tinggal di daerah endemik malaria. Diperkirakan ada 30
juta kasus malaria setiap tahunnya, kurang lebih hanya 10 % saja yang mendapat
pengobatan di fasilitas kesehatan. Menurut data dari fasilitas kesehatan pada 2001,
diperkirakan prevalensi malaria adalah 850,2 per 100.000 penduduk dengan angka yang

tertinggi 20% di Gorontalo, 13% di NTT dan 10% di Papua. Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 2001 memperkirakan angka kematian spesifik akibat malaria di
Indonesia adalah 11 per 100.000 untuk laki-laki dan 8 per 100.000 untuk perempuan.
Prevalensi kasus malaria di Indonesia atau daerah-daerah endemi malaria tidak sama, hal
ini tergantung pada prilaku spesies nyamuk yang menjadi vektor. Di Kalimantan Selatan
sendiri merupakan daerah endemis malaria. Vektor malaria yang terdapat di Kalimantan
adalah Anopheles letifer dan Anopheles balabacensis (SKRT,2001; Gandahusada, 1998)
2007;Selain itu malaria menjadi masalah karena merupakan penyakit yang mampu muncul
kembali

(re-emerging

disease)

sehingga

memerlukan

perhatian

khusus

dalam

menganganinya (Sardjono dan Loeki, 2007).


P.vivax merupakan spesies parasit yang paling dominan di Asia Tenggara, Eropa
Timur, Asia Utara, Amerika tengah dan Selatan (Griffith et al., 2007). Diseluruh dunia, kasus
malaria vivax dibandingkan jenis malaria yang lain sekitar 70 80 juta per tahun (Rodrigues
et al., 2008). Menurut WHO sekitar 40% kasus malaria di dunia disebabkan oleh P.vivax.
Kasus malaria vivax walaupun jarang fatal tapi merupakan penyebab utama morbiditas dan
mempengaruhi ekonomi baik tingkat individu maupun nasional (Rodrigues, 2013)
Di Indonesia dengan adanya program KOPEM (Komando Operasi Pembasmian
Malaria), malaria hanya dapat dikontrol untuk daerah Jawa dan Bali. Sampai sekarang
masih banyak kantung-kantung malaria khususnya daerah Indonesia kawasan Timur (Irian,
Maluku, Timor Timur, NT! Kalimantan dan sebagian besar Sulawesi), beberapa daerah
Sumatera (Lampung, Riau, Bengkulu dan Sumatera Barat dan Utara) dan sebagian kecil
Jawa (Jepara, sekitar Yogya dan Jawa Barat). Walaupun kina merupakan obat pertama
yang digunakan untuk mengobati demam (diduga oleh malaria) pada tahun 1820 oleh
Pelletier dan Caventou, obat untuk malaria baru dapat disintesa secara kimiawi yaitu
primakuin (1924), quinacrine (1930), klorokuin (1934), amodiaquine(1946), primakuin (1950)
dan pirimetamin (1951). Dengan meluasnya resistensi terhadap pengobatan kloroquin,
sulfadoksinpirimetamin serta onat-obatlainnya, WHO melalui RBM (Roll Back Malaria) telah
mencanangkan perubahan pemakaian obat baru yaitu kombinasi artemisinin (Artemisininbase Combination Therapy : ACT) untuk mengatasi masalah resistensi pengabatan dan
menurunkan morbiditas dan mortalitas. Peningkatan malaria di Afrika berkaitan dengan
resistensi pengobatan klorokuin dan sulfapiridoksin pirimetamin, resistensi terhadap
insektisida dan status sosial ekonomi. Tingkat mortalitas malaria pada anak sekitar 1 2
juta setiap tahunnya Millet et al.,2008).

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama
: Tn. Muhaimin
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 40 tahun 2 bulan
Alamat
: DS Pandansari RT 3/8 Ponco Kusumo
Status
: Menikah
Pendidikan
: Siswa SMP
Pekerjaan
: Buruh
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
No. Rekam Medik : 1311502
MRS
: 16April 2013
2.2 KELUHAN UTAMA
Demam
2.3 ANAMNESIS
A. Riwayat Penyakit Sekarang (Autoanamnesa)
Pasien awalnya merasa panas dingin terus-menerus dan semakin memberat
sejak 9 hari yang lalu dan mendadak tinggi, menggigil, dan berkeringat banyak ( 2
hari). Panas muncul hilang timbul. Lalu, pasien pergi ke puskesmas dan diberi obat
berwana coklat kekuningan. Pasien juga mengeluhkan kepalanya pusing sejak 1
minggu yang lalu. Pusing muncul mendadak dan hilang timbu serta pandangan dobel
dan mata kabur. Pasien juga merasa perutnya mengeras.
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah terkena malaria saat 1,5 bulan yang lalu sebanyak 2x saat di
Papua dan diberi obat yang diminum sekaligus 4 tablet dan berwarna coklat.
Kemudian pasien periksa ke dokter dan dirujuk ke RSSA untuk transfusi
kemudian mendapatkan hasil (+) malaria dan dirawat selama 3 hari dan pasien
mendapatkan 2 kantong transfusi darah.
C. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita sakit serupa. Riwayat Hipertensi,
Diabetes Melitus dan Alergi pada keluarga disangkal.
D. Riwayat Psikososial
Pasien beraktivitas sebagai buruh dan pasien pernah bekerja di Papua
selama 6 bulan sebagai pencari kayu dan tinggal di hutan. Teman pasien
banyak yang terkena malaria.
2.3.1 Anamnesis Keadaan Gizi

Makan

: 2-3x/ hari

Jumlah

: Sedang

Jadwal

: Tidak teratur

Berat badan

: 70 kg

2.3.2 Anamnesis Umum (Review of Systems)


Kulit

: Gatal (-), kuning (-)

Kepala

: merasa pusing

Mata

: Kelopak mata bengkak (-), kuning (-), penglihatan kabur/ganda (-)

Telinga

: Tidak ada keluhan

Mulut

: Tidak ada keluhan

Hidung dan sinus : Tidak ada keluhan


Leher

: Tidak ada keluhan

Paru

:Tidak ada keluhan

Jantung

: Tidak ada keluhan

Alat pencernaan

: Tidak ada keluhan

Saluran kencing

: tidak ada keluhan

Alat kelamin

: Tidak ada keluhan

Alat gerak

:Tidak ada keluhan

Sistem saraf

: Tidak ada keluhan

Endokrin

: Nafsu makan baik

2.4 PEMERIKSAAN FISIK


2.4.1 KEADAAN UMUM
Keadaan umum

: Cukup

Kesadaran

: Kompos mentis, GCS 456

Suhu badan (aksiler) : 36,8C


Nadi

: 80 kali/menit, teratur, kuat angkat

Tekanan darah

: 110/80 mmHg, berbaring, lengan kiri

Pernapasan

: 20 kali/menit

Suara bicara

: Normal

Gizi

: Kesan baik

Status dan habitus

:Jalan-jalan

BB

: 70 kg

Kulit
- Tonus

: Normal

- Turgor

: normal

- Peluh

: Normal

- Ikterus

: (-)

2.4.2 KEPALA DAN LEHER


Umum

: Sembab wajah (-)

Mata

- Oedema palpabrae (-)/ (-)


- Konjungtiva Anemis (-)
- Pupil: Bulat, isokor, diameter 3 mm / 3 mm
- Sclera: Ikterus (-)
- Visus: OD >2/60 / OS >2/60
Telinga

:Tidak ada kelainan

Hidung

:Tidak ada kelainan, tidak ada tanda-tanda perdarahan mukosa, maupun


pernafasan cuping hidung

Mulut

: Tidak ada kelainan

Leher
- Umum

: Simetris

- Kelenjarlimfe : Tidak ada pembesaran


- Trakea

: normal

- Tiroid

: Tidak ada pembesaran

- Venajugularis

: Peningkatanjugularvenouspressure (-)

2.4.3THORAX
Umum
Bentuk

: Normal

ICS

: Kanan kiri simetris, tidak melebar

Retraksi

: Tidak tampak

Kulit

: Tidak ada kelainan

Axilla

: Tidak ada kelainan

Paru
Depan

Pemeriksaan
INSPEKSI
Bentuk
Pergerakan
PALPASI
Pergerakan
Fremitus raba

Belakang

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Simetris
Simetris
Simetris
Simetris

+
-

Nyeri
PERKUSI
Suara ketok

Tinggi diafragma

+
-

+
-

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Nyeri ketok
Kronig isthmus

+
-

Normal
ICS V

AUSKULTASI
Suara nafas

Fremitus auditori

Sama

Suara tambahan paru/pleura

Suara Percakapan

Ronkhi

Wheezing

Vesikuler

Vesikuler

Vesikuler

Vesikuler

Vesikuler

Vesikuler

Vesikuler

Vesikuler

Vesikuler
+

Vesikuler
+

Vesikuler
+

Vesikuler
+

+
-

+
-

+
-

+
-

N
-

N
-

N
-

N
-

Jantung dan Sistim Kardiovaskuler


Jantung
Inspeksi
Iktus dan pulsasi

: Tidak tampak

Palpasi
Iktus

: Teraba, padaICS Vmidaxillary line sinistra

Pulsasijantung: Teraba, pada apeks

Getaran (thrill)

: Tidakada

Suara yang teraba

: Tidakada

Perkusi
Batas kanan

: ICS V parasternal line dextra

Bataskiri

: ICS V midaxillary line sinistra

Auskultasi
Suara1, suara 2

: Tunggal

Suara 3, suara 4

: Tidakditemukan

Bisingjantung

:murmur (+) 3/6 pm trikuspid, sistolik

Systolicejection click : Tidakditemukan


Openingsnap

: Tidakditemukan

Bisinggesekperikard : Tidakditemukan
2.4.4 ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk

: soefl

Umbilikus

: Masukmerata

Kulit

: Caput medusa (-), venakolateral (-)

Hernia/ massa : Tidak ada


Auskultasi
Peristaltik usus (bising usus) : (+) 20x/menit, Normal
Perkusi
Timpani
Timpani
Pekak hepar

dullness
dullness
: (+) 11 cm, batas paru hepar ics V

Asites

: (-)

Palpasi
Turgor

: Normal

Tonus

: Normal

Nyeri tekan

: Tidak ada

Krepitasi

: Tidak ada

Hepar

: Tidak teraba

Lien

: teraba, schufnerr 2-3 cm

Ginjal

: Tidak teraba

Kandung empedu

: Murphys sign (-), Courvoisier law (-)

Aorta

: Sulit diraba

2.4.5 INGUINAL-GENITAL-ANUS
Tidak dilakukan
2.4.6 EKSTREMITAS
Ekstremitas Atas
Akral

: Hangat kering kemerahan

Deformitas

: (-) / (-)

Erythema palmaris

: (-) / (-)

Edema

: (-) / (-)

Refleks biceps

: ++ /++

Refleks triceps

: ++ /++

Refleks patologis

: (-) / (-)

Motorik

: 5/5, lateralisasi (-)

Sensorik

: Normal

Ekstremitas Bawah
Akral

: Hangat kering merah

Deformitas

: (-) / (-)

Edema

: (-) / (-)

Refleks lutut

: ++/+ +

Refleks achilles : ++/++


Refleks patologis : (-) / (-)
Sensorik

: Normal

Tulang Belakang
Normal

2.5 Summary of Data Based

Anamnesa

Keluhan

utama:

Penurunan

Kesadaran

Pemeriksaan Fisik (16 April 2013)

Pemeriksaan Laboratorium (16 April 2013)

DESKRIPSI UMUM

DARAH LENGKAP

Kesan sakit

: tampak sakit sedang

Leukosit

Gizi

: cukup

Hemoglobin : 7,30 gr/dL

(3.500 10.000)
(11,0 16,5)

kg

MCV

: 96,10

Tinggi badan :170 cm

MCH

: 32,00

PCV

: 21,90%

Trombosit

: 147.000 /L (150.000-390.000)

TANDA VITAL

Eusinofil

: 2,0 %

menggigil, dan berkeringat banyak ( 2 hari).

Kesadaran : GCS 345,

Basofil

: 0,1 %

Panas muncul hilang timbul. Setiap hari

Nadi

Neutrofil

: 70,0%

dua kali. Lalu, pasien pergi ke puskesmas

Tekanan

Lymphosit

: 22,0%

dan diberi obat berwana coklat kekuningan.

(lengan kanan, berbaring)

Monosit

: 4,0%

Pasien

Tax

: 36,5oC

pusing sejak 1 minggu yang lalu. Pusing

Pernafasan

: 20 x/menit, reguler

Ureum

: 22,00 mg/dl

muncul mendadak dan hilang timbu serta

Kepala/Leher:

Creatinine

:0,81 mg/dl

(0,7 1,5)

pandangan dobel dan mata kabur. Pasien

Conjunctiva anemis -/-, sklera icterik

SGOT

: 23 U/L

(11 41)

juga merasa perutnya mengeras.

-/-, PBI 3cm/3cm,Turgor kulit tidak

SGPT

: 18 U/L

Riwayat penyakit dahulu: Pasien pernah

menurun, Tidak ada pembesaran

GDA

: 844gr/dl

terkena malaria saat 1,5 bulan yang lalu

kelenjar

JVP

Natrium

: 139 mmol/L (136 145)

sebanyak 2x saat di Papua dan diberi obat

R+0cmH2O,

tidak

Kalium

: 3,43 mmol/L (3,5 5,0)

(Heteroanamnesa)
Pasien awalnya merasa panas dingin terus-

Berat badan : 70

: 5200/L

BMI

kg/m2

menerus dan semakin memberat sejak 9


hari

yang

lalu

juga

dan

mendadak

mengeluhkan

tinggi,

kepalanya

: 80 x/menit, reguler
darah

getah

110/8

bening,

kelenjar

tiroid

mmHg

(35 50)

(10 50)

(10 41)
(<200)

yang diminum sekaligus 4 tablet dan

membesar

Clorida

: 111 mmol/L (98 106)

sejak tiga minggu yang lalu, sebelumnya

Thorax:

URINALISIS (tidak diperiksa)

pasien masih bekerja di papua. Kemudian

C/ Ictus invisible palpable at ICS V

SG

:-

pasien periksa ke dokter dan dirujuk ke

MCL (S), RHM at SL (D), LHM at

pH

:-

RSSA

ictus, S1 S2 normal, murmur + 3/6

Lekosit

:-

pm trikuspid, sistolik

Nitrite

:-

Protein

:-

berwarna coklat. Pasien berada di malang

untuk

transfusi

kemudian

mendapatkan hasil (+) malaria dan dirawat


selama 3 hari dan pasien mendapatkan 2
kantong transfusi darah.
Riwayat keluarga : Tidak ada anggota
keluarga yang memiliki penyakit diabetes,
Ayah memiliki riwayat darah tinggi
Riwayat Psikososial : Pasien beraktivitas

P/ Gerakan napas simetris, SF D=S,

Glukosa

:-

suara nafas

Eritrosit

:-

Keton

:-

V
V
V

V
V
V

sebagai buruh dan pasien pernah bekerja

ronkhi

di Papua selama 6 bulan sebagai pencari

kayu dan tinggal di hutan. Teman pasien


banyak yang terkena malaria.

perkusi
S
S
S

S
S
S

wheezing
-

Urobilinogen : Bilirubin

:-

10x Epitel: -40x Eritrosit : Silinder : -

Lekosit : -

Hyaline : -

Kristal : -

Granuler : -

Bakteri : -

Abdomen:

Eritrosit : -

(153,8x103/ml)

Flat, soefl, BU + N, lien teraba

Lekosit : -

schufnerr 2-3 cm, liver span 11 cm,

BGA (tidak diperiksa)

Troube Space dullness

Ph : PCO2 : - mmHg

Extremitas:

PO2 : - mmHg
HCO3 : -

Akral hangat

BE : -

edema

Saturasi 02 : -%

Reflek

GDS : -mg/dl
Tetes tebal malaria : (+) Plasmodium Vivax
fisiologis

(+/+),

Reflek

patologis (-/-) Edema (-/-)

CXR

Pemeriksaan
Pulsasi
A

Kanan
+

Kiri
+

poplitea
Pulsasi

rior
Sensitivitas

Halus
Sensitivitas

Dorsalis
pedis
Pulsasi

TibialisPoste

Kasar

2.6Problem Oriented Medical Record

Conclusion: Normal Chest X Ray

Cue and Clue


Laki-Laki/40 tahun
Demam

dan

Problem List
1. AFI day 9 +

menggigil

selama 9 hari sebanyak


RPD : riw. malaria 1,5
2x,

Papua

dan

- diet TKTP 2100 kkal/day

GCS

PO :

Subj

B6/B12 3X1
Omeprazole 2x20 mg

tinggal

di

OA malaria : Hb > 10 g/dl

Abd : LS 11 cm, traube


space dullness, schuffner
2-3 cm
Lab.:
Tetes tebal malaria : (+)
Plasmodium Vivax

MCHC : 33,30

Monitoring
Vital sign

PCT 3x500 mg

GCS 345

MCV : 96,10

Planning Therapy
-IVFD NS 0,9% 20 tpm

di

Pem. Fisik:

PLT : 147.000

infection

Planning Diagnose

bekerja

hutan.

Hb : 7,30

vivax infection
1.2 Plasmodium
falciparum

2x disertai pusing
bulan

Anemia NN

Initial Diagnose
1.1 Plasmodium

Primaquin H1 3 tab
H 2-14 1 tab
ACT 0-4-0 (H 1-3)

Laki-Laki/ 40 Tahun

2. Anemia

Hb : 7,30

Normochrom

PLT : 147.000

normocyter

MCV : 96,10
MCHC : 33,30

2.1 Dt no 1
2.2 Chronic disease

DL post transfusi

Transfusi PRC 2 labu/ hari

Vital sign

s/d Hb > 10 g/dl

DL

BAB III
PEMBAHASAN
2. Diagnosis
2.1 Epidemiologi
Epidemiologi

merupakan

ilmu

yang

mempelajari

tentang

sifat,

penyebab,

pengendalian dan faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit,


kecacatan, dan kematian dalam populasi manusia. Epidemiologi juga meliputi pemberian ciri
pada distribusi status kesehatan, penyakit atau masalah kesehatan masyarakat lainya
berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, geografi, agama, pendidikan, pekerjaan, perilaku,
waktu , tempat, orang dan sebagainya (Timreck, 2004).
Penyakit malaria hingga kini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat dunia, terutama pada Negara-negara yang tersebar diantara 640 garis lintang
utara dan 320 lintang selatan.1,35 Malaria tersebar disekitar 100 negara miskin di daerah
tropis dan subtropis seperti India, Amerika Selatan (kecuali Cili), Afganistan, Srilangka,
Thailand, Indonesia, Vietnam, Kamboja, China, Filipina, Amerika Tengah, Meksiko, dan
Afrika (Sembel, 2009).
Nyamuk Anopheles hidup di daerah beriklim tropis dan subtropis, meskipun dapat
pula hidup di daerah beriklim sedang. Namun, jarang ditemukan pada daerah dengan
ketinggian lebih dari 2000-2.500 meter diatas permukaan laut. Tempat perindukannya
bervariasi, tergantung spesies, yaitu pada kawasan pantai, pedalaman, dan kaki gunung.
Misalnya, Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus, suka hidup di air payau.
Anopheles aconitus lebih suka pada sawah. Anopheles maculatus, senang air bersih di
pegunungan (Anies, 2006) Hasil wawancara Anggota Rumah Tangga (ART) menunjukan
bahwa kasus baru malaria dalam satu tahun terakhir (2009/2010) adalah: 22,9. Lima
provinsi dengan kasus baru malaria tertinggi adalah Papua (261,5), Papua Barat
(253,4), Nusa Tenggara Timur (117,5), Maluku Utara (103,2) dan Kepulauan Bangka
Belitung (91,9) (Dinkes, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa riwayat pekerjaan pasien di
papua dengan durasi kerja yang cukup lama memiliki korelasi dengan epidemiologi malaria,
mengingat kasus baru terbanyak untuk malaria ada di Papua. Namun, dari data
epidemiologi saja masih belum cukup untuk menentukan jenis malaria mengingat adanya
berbagai macam jenis plasmodium yang bisa menginfeksi.
P. vivax ditemukan di daerah subtropik, seperti Korea Selatan, Cina, Medirtenia
Timur, Turki, beberapa negara Eropa pada waktu musim panas, Amerika Selatan dan Utara.
Di daerah tropik dapat ditemukan di Asia Timur (Cina, daerah Mekong) dan Selatan
(Srilangka dan India), Indonesia, Filipna, serta wilayah Pasifik seperti Papua Nugini,
Kepulauan Solomon dan Vanuatu. Di Afrika, terutama Afrika Barat dan Utara. Di Indonesia P.

vivax tersebar diseluruh kepulauan dan pada musim kering, umumnya didaerah endemik
mempunyai frekuensi tertinggi diantara spesies yang lain (Widoyono, 2008).
Selama periode 2000-2005 situasi malaria di daerah luar Jawa dan Bali berdasarkan
jumlah penderita klinis, sediaan darah (SD) yang diperiksa, SD positif dan jenis parasit (P.
falciparum + Mix) relatif meningkat. Jumlah sediaan darah yang diperiksa tahun 2000
meningkat dari 404.714 menjadi 606.281 pada tahun 2005. Jumlah sediaan darah positif
tahun 2000 sebesar 155.796 kasus meningkat menjadi 309.871 kasus pada tahun 2005.
Begitu juga dengan jenis parasit P. falciparum dan Mix pada tahun 2000 sebesar 30.838
menjadi 145.031 padan tahun 2005 (Depkes, 2006).
2.2 Masa Inkubasi
Penderita malaria akan mengalami serangan demam pertama didahului oleh masa
inkubasi yang bervariasi antara 9-30 hari tergantung pada spesies parasit, paling pendek
pada P. falciparum dan paling panjang pada P. malariae. Masa inkubasi ini tergantung pula
pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya dan tingkat imunitas
penderita. Cara penularan juga mempengaruhi apakah secara alamiah atau bukan alamiah
seperti penularan melalui transfusi darah dan masa inkubasinya tergantung pada jumlah
parasit yang turut masuk bersama darah serta tingkat imunitas penerima darah.7,23,25

Gambar 2.1 Perbandingan masa inkubasi dan manifestasi klinis dari berbagai tipe
infeksi malaria 7
Pada pasien ini, ditemukan riwayat bepergian ke papua saat tiga minggu sebelum
masuk rumah sakit, dimana gejala demam pasien dirasakan saat sembilan hari yang lalu.
Hal ini dapat menunjukkan bahwa masa inkubasi parasit pada pasien tersebut berkisar
antara 12 hari ke atas. Dalam kasus ini masih belum dapat dibedakan penyebab dari infeksi
hanya berdasarkan masa inkubasi

2.3 Manifestasi Klinis

2.3.1 Trias Malaria


Secara garis besar, stadium yang akan dilalui oleh penderita malaria yakni:
a. Stadium Dingin (Cold Stage)
Fase menggigil (15 menit sampai 1 jam), dimulai dengan menggigil, nadi cepat,
tetapi lemah, bibir dan jari tangan membiru, kulit kering dan pucat, kadang disertai muntah
(anak-anak dapat kejang).
b. Stadium Demam (Hot Stage)
Fase panas (puncak demam) berlangsung 2-6 jam, terjadi setelah perasaan dingin
sekali yang berubah menjadi panas sekali, wajah menjadi merah, kulit kering dan panas
seperti terbakar, sakit kepala semakin hebat, mual dan muntah, nadi cepat dan berdenyut
keras, merasa haus sekali (suhu sampai 410 C).
c. Stadium Berkeringat (Sweating Stage)
Fase berkeringat berlangsung 2-4 jam, setelah puncak panas, penderita selanjutnya
berkeringat banyak, suhu turun dengan cepat, kadang berada dibawah normal, penderita
biasanya tidur nyenyak, tetapi setelah bangun tidur merasa lemah tetapi sehat.1,7,23
Trias malaria tersebut secara keseluruhan dapat berlangsung 6-10 jam, sering terjadi
pada infeksi P. vivax. Pada P. falciparum menggigil dapat berat atau tidak ada. Periode tidak
panas berlangsung 12 jam pada P. falciparum, 36 jam P. vivax dan ovale, 60 jam pada
P.malariae (Harijanto, 2009).
Pada pasien ini, pasien awalnya merasa panas dingin terus-menerus dan semakin
memberat sejak 9 hari yang lalu dan mendadak tinggi, menggigil, dan berkeringat banyak
( 2 hari). Panas muncul hilang timbul. Berdasarkan durasi hari, yakni siklus trias malaria
setiap 36 jam (1,5 hari). Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan infeksi P. vivax maupun
P. ovale pada pasien ini.
Pada infeksi plasmodium vivax daur eksoeritrosit berlangsung terus sampai
bertahun-tahun melengkapi perjalanan penyakit yang dapat berlangsung lama (bila tidak
diobati) disertai banyak relaps (Harijanto, 2009). Pada pasien ini telah disebutkan bahwa
pasien telah di diagnosis malaria dua kali saat berada di papua, dan muncul lagi ketika
sudah di Malang. Proses relaps berulang ini dapat dimungkinkan akibat infeksi plasmodium
vivax yang tidak diterapi secara adekuat.
Manifestasi Klinis Malaria Tertianal M.Vivax/ M.Benigna yaitu Inkubasi 12-17 hari,
ladang-kadang lebih panjang 12 20 hari. Pada hari-hari pertama panas iregular,
kadangkadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut perasaan dingin atau menggigil
jarang terjadi. Pada akhir minggu tipe panas menjadi intermiten dan periodik setiap 48 jam
dengan gejala klasik trias malaria. Serangan paroksismal biasanya terjadi waktu sore hari.
Kepadatan parasit mencapai maksimal dalam waktu 7-14 hari. Pada minggu kedua limpa
mulai teraba. Parasitemia mulai menurun setelah 14hari,limpa masih membesar dan panas

masih berlangsung, pada akhir minggu kelima panas mulai turun secara krisis. Pada malaria
vivaks manifestasi klinik dapat berlangsung secara berat tapi kurang membahayakan, limpa
dapat membesar sampai derajat 4 atau 5 (ukuran Hackett). Malaria serebral jarang terjadi.
Edema tungkai disebabkan karena hipoalbuminemia. Mortalitas malaria vivaks rendah tetapi
morbiditas tinggi karena seringnya terjadi relapse. Pada penderita yang semiimmune
perlangsungan malaria vivax tidak spesifik dan ringan saja; parasitemia hanya rendah;
serangan demam hanya pendek dan penyembuhan lebih cepat. Resistensi terhadap
kloroquin pada malaria vivaks juga dilaporkan di Irian Jaya dan di daerah lainnya. Relaps
sering terjadi karena keluarnya bentuk hipnozoit yang tertinggal di hati pada saat status
imun tubuh menurun.
2.3.2. Pembesaran Limpa (Splenomegali)
Pembesaran limpa sering dijumpai pada penderita malaria. Limpa akan teraba tiga
hari setelah serangan infeksi akut. Limpa menjadi bengkak, nyeri, dan hiperemis. Limpa
merupakan organ penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria. Dijumpainya
riwayat demam dengan anemia, splenomegali merupakan petunjuk untuk diagnosis infeksi
malaria khususnya didaerah endemis, dimana kejadian splenomegally paling sering terjadi
pada infeksi P.vivax dan malariae (Sutanto, 2009).
Pada pasien ini, dari pemeriksan fisik didapatkan adanya dullness pada traube
space, selain itu, limpa juga teraba sebagai schuffner 3. Hal ini menunjukkan adanya proses
splenomegally pada pasien tersebut. Splenomegally terjadi karena erubahan pada limpa
disebabkan oleh kongesti. Kemudian limpa berubah bewarna hitam karena pigmen yang
ditimbun dalam eritrosit yang mengandung parasit dalam kapiler dan sinusoid, selain itu,
akan terjadi proses hemolisis sel darah merah yang terinfeksi, sehingga limfa akan bekerja
lebih berat (Muslim, 2009).

Gambar 2.2 Kesan adanya splenomegaly pada pasien (diambil pada 3 Mei 2013)
2.3.3. Anemia
Pada malaria terdapat anemia yang derajatnya tergantung pada spesies penyebab
malaria. Anemia terutama tampak jelas pada Malaria falciparum dan malaria kronis dengan
penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat. Anemia bersifat hemolitik, normokrom, dan
normositik. Pada serangan akut, kadar Hb turun secara mendadak. Faktor penyebab
anemia diantaranyan karena:
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan tidak mengandung parasit terjadi di
dalam limpa (faktor autoimun memegang peranan).
b. Reduced survival time, karena eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak dapat
hidup.
c. Diseritropoeiesis (gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis
dalam sumsum tulang) retikulosit tidak dilepaskan dalam peredaran perifer (Muslim, 2009).
Pada pasien ini, didapatkan adanya kesan anemis pada conjunctiva dan pada ekstrimitas,
selain itu dari hasil pemeriksaan darah lengkap ditemukan Hb : 7,30, MCV : 96,10 dan
MCHC : 33,30. Hal ini sesuai dengan tanda tanda anemia yang terjadi pada proses infeksi
malaria.

Gambar 2.3 Kesan adanya anemia pada pasien (diambil pada 3 Mei 2013)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat
penting untuk menegakkan diagnosa malaria . Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatip
tidakmengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negatip
maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan
olehtenaga

laboratorik

yang

berpengalaman

dalam

pemeriksaan

parasit

malarra.

Pemeriksaan pada saat penderita demam atau panas dapat meningkatkan kemungkinan
ditemukannya parasit. Pemeriksaan dengan stimulasi adrenalin 1:1000 tidak jelas
manfaatnya dansering membahayakan terutama penderita denganhipertensi. Pemeriksaan
parasit malaria melalui aspirasisumsum tulang hanya untuk maksud akademis dan
tidaksebagai cara diagnosa yang praktis. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan
melalui :
Tetesan preparat darah tebal.
Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan
darahcukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaanmudah dibuat khususnya
untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untukmemudahkan
identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang
pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan negatip bila setelah diperiksa
200 lapangpandangan dengan pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit.
Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200
leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnyaialah jumlah parasit dikalikan 50
merupakan jumlah parasitper mikro-liter darah.

Tetesan darah Tpis.


Digunakan untuk identifikasi jenisplasmodium, bila dengan preparat darah tebal sulit
ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitungparasit (p ar a s i t e c oun t), dapat
dilakukan berdasar j umlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel'darah merah.
Bila jumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit
penting untuk menentukan prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi ju ga dapat
timbul dengan jumlah parasit yang minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau
Leishman's, ata:u Field's dan juga Romanowsky.Pengecatan Giemsa yang umum dipakai
pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang
cukup baik.
Tes Antigen : P-F test
Yaitu mendeteksi antigen dari P.Falciparum (Histidine Rich Protein 11). Deteksii
sangat cepat hanya 3 - 5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak
memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar di pasaran yaitu
dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium
(pLDH) dengan cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL.
Optimal dapat mendeteksi dari 0 - 200 parasit/ul darah dan dapat membedakan apakah
infeksi P Falciparum atau P. vivax. Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif salah lebih
rendah dari tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid Test). Tes
ini tersedia dalam berbagai nama tergantung pabrik pembuatnya.
Tes Serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tehnik
indirectfluorescent antibody /est. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi specif,rk
terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang
bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari
parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring
donor darah. Titer > I :200 dianggap sebagai infeksi baru; dan test > l: 20 dinyatakan positip.
Metode-metode tes serologi antara lain indirect haemagglutinolion test, immuno-precipitation
techniques, ELISA test, radio-immunoassay
Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu
dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini
walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai
sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.
Pemeriksaan darah bisa juga menujukan gambaran:
a. Hemoglobin, menurun ( Hb, normal: Pria 13,5-18,0 g/dl; Wanita 11,5-16,5 g/dl)
b. Leukosit, normal atau menurun (leukusit normal 4.000-11.000/cm)

c. Trombosit, menurun. (Trombosit normal: 150.000-450.000/cm)


d. Aspartat amino transferase, meningkat (normal: 8-40 IU/l)
e. Alanin amino transferase, meningkat (normal: 3-60 IU/l)
f. Bilirubin, meningkat (normal total: < 17 mol, direct <5 mo/l).30
Pada pasien ini, hasil hapusan tetes tebal, yakni menunjukkan adanya infeksi p.vivax
, ditandai denganadanya berbagai stadium dari spesies P.vivax, yaitu stadium tropozoit
muda, tropozoit setengah dewasa, tropozoit dewasa, schizoit dan gamet. yang ditunjukkan
dengan hasil sebagai berikut:

Gambar 2.4. Hapusan darah tetes tebal pasien (3 Mei 2013)


3.4 Penatalaksanaan Malaria
3.4.1 Prinsip Penatalaksanaan
Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan ditemukannya
plasmodium aseksual didalam darahnya, malana klinis tanpa ditemukan parasit dalam
darahnya perlu diobati. Prinsip pengobatan malaria : 1) Penderita tergolong malaria biasa
(tanpa komplikasi) atau penderita malaria berat/ dengan komplikasi. "Penderita dengan
komplikasi/malaria berat memakai obat parenteral (lihat bab. Penanganan Malaria berat),
malariabiasa diobati dengan per oral",' 2) Penderita malaria harus mendapatkan pengobatan
yang efektif, tidak terjadi kegagalan pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu
dengan pengobatan ACT (Artemisinin base Combination Therapy); 3). Pemberian
pengobatan dengan ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan malaria yang positif dan
dilakukan monitoring efek/respon pengobatan; 4) Pengobatan malaria klinis/ tanpa hasil
pemeriksaan malaria memakai obat non-ACT.

Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan


memakai obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisinin (ART)
telah dipilih sebagai obatutamakarena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten
dengan pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium dalam
semua stadium termasuk gametosit, Juga efektif terhadap semua spesies , P.falciparum,
P.vivax maupun lainnya. Laporan kegagalan terhadap ART belum dilaporkan saat ini.

Golongan Artemisin
Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam bah. Cina sebagai
Qinghaosu. Obat ini termasuk kelompok seskuiterpen lakton mempunyai beberapa formula
seperti : artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin.
Obat ini bekerja sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja
sebagai obat sizontocidal darah. Karenabeberapa penelitian bahwa pemakaian obat tunggal
menimbulkan terj adinya rekrudensi, maka direkomendasikan untuk dipakai dengan
kombinasi obat lain,. Dengan demikian juga akan memperpendek pemakaian obat. Obatini
cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan penyediaan ada yang oral, parenteral/injeksi dan
suppositoria.

3.4.2

Pengobatan ACT (Artemisinin base CombinationTherapy)


Penggunaan

golongan

artemisinin

secara

monoterapi

akan

mengakibatkan

terjadinya rekrudensi. Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisinin


denganmengkombinasikan dengan obat arrti malaia yang lain. Hal ini disebut Artemisinin
base Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis tetap
ffixed dose) atau kombinasi tidak tetap (non-fixed dose). Kombinasi dosis tetap lebih
memudahkan pemberian pengobatan. Contoh ialah "Co-Artem" yaitu kombinasi artemeter
(20mg)+ lumefantrine (120mg). Dosis Coartem 4 tablet2 x 1 sehari selama 3 hari. Kombinasi
tetap yang lain ialah dihidroartemisinin (40mg) + piperakuin (320mg) yairu "Artekin". Dosis
artekin untuk dewasa : dosis awal 2tablet, 8 jam kemudian 2 tablet,24 jam dan32 jam,
masing masing 2 tablet.
Kombinasi ACT yang tidak tetap misalnya :
-

Artesunat + meflokuin .
Afiesunat + amodiakin .
Artesunat + klorokuin .
Arlesunat + sulfadoksin-pirimeramin .
Arlesunat + pironaridin
Artesunat + chlorroguanil-dapson (CDA/Lapdapplus)
Dihidroartemisinin Piperakuin + Trimethoprim(Arlecom)
Artecom+primakuin(CVS)
Dihidroafiemisinin+naptokuin
Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi artesunate

+ amodiakuin dengan nama dagang "ARTESDIAQUINE" atau Artesumoon. Dosis untuk


orang

dewasa

yaitu

artesunate

(50mg/tablet)

200mg

padahari

I-il

(4

tablet).

UntukAmodiakuin (200mg/tablet) yaitu 3 tablet hari I dan II dan tll2 tablet hari III. Artesumoon
ialah kombinasi yang dikemas sebagai blister dengan aturan pakai tiap blister/ hari
(artesunate amodiakuin) diminum selama 3 hari. Dosis amodiakuin adalah25 -30 mg/kg BB
selama 3 hari. Pengembangan terhadap pengobatan masa depan ialah dengan tersedianya
formula kombinasi yang mudah bagi penderita baik dewasa maupun anak (dosis tetap) dan
kombinasi yang paling poten dan efektif dengan toksisitas yang rendah. Sekarang sedang
dikembangkan obat semi sinthetik artemisinin seperti artemison ataupun trioksalon sintetik.
3.4.3

Pengobatan Malaria Dengan Obat-obat Non-ACT


Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan nonACT telah dilaporkan

dari seluruhpropinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap
klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin (kegagalan masih kurang 25%). Dibeberapa
daerah pengobatan menggunakan obat standard seperti klorokuin dan sulfadoksinpirimetamin masih dapat digunakan denganpengawasan terhadap respon pengobatan. Obat
non-ACT adalah :

Klorokuin Difosfat/Sulfat, 250 mggaram ( I 50 mg basa),dosis 25 mg basa,kg BB


untuk 3 hari, terbagi 10 mg/kg BBhari I dan hari II, 5 mg /kg BB pada hari III. Pada
orangdewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hari I & II dan 2 tablethari III. Dipakai untuk

P Falciparum maupun P. Wvax.


Sulfadoksin-Pirimetamin(SP), (5 00 mg sulfadoks in + 25mg pirimetamin), dosis
orang dewasa 3 tablet dosis tunggal(1 kali). Atau dosis anak memakai takaran
pirimetamin 1 ,25mg/kg BB. Obat ini hanya dipakai :untuk plasmodium falciparum
dan tidak efektif ulloik P.vivax. Bila terjadi kegagalan dengan obat klorokuin dapat

menggunakan SP.
Primakuin : (1 tablet 15 mg), dipakai sebagai obatpelengkap/pengobatan radical
terhadap P. Falciparum maupun P. Wvax. Pada P Falciparum dosis nya 45mg (3
tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet; sedangkan untuk P Wvax dosisnya

15mgl hari selama 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit (anti-relaps).
Kina Sulfat : (l tablet 220 mg), dosis yang dianjurkan ialah 3 x 10 mg/ kg BB selama 7
hari, dapat dipakai untuk P Falciparum maupun P. Vivax. Kina dipakai sebagai obat
cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini
untuk waktu yang lama (7 hari) menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai

3.4.4

selesai.
Penggunaan Obat Kombinasi Non-act
Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi, dan belum

tersedianya

obat

golongan

artemisinin,

dapat

menggunakan

obat

standar

yang

dikombinasikan. Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus dilakukan monitoring respon
pengobatan sebabperkembangan resistensi terhadap obat malaria berlangsung cepat dan
meluas.Contoh kombinasi ini adalah sebagai berikut :
a). Kombinasi Klorokuin + Sulfadoksin-Pirimetamin.
b). Kombinasi SP + Kina.
c). Kombinasi Klorokuin + Doksisiklin/ Tetrasiklin.
d). Kombinasi SP + Doksisiklin/Tetrasiklin.
e). Kina + Doksisiklin Tetrasiklin.
f). Kina+Klindamisin.

3.5 Penyakit yang Berhubungan dengan Malaria


- Sindrom Splenomegali Tropik (SST)

SST sering dijumpai dinegaratopik yang penyebabnya antara lain malaria, kala-azar,
schistosomiasis, disebut juga Hyperreactive Malarial Splenomegaly (Big Spleen Disease)
SST berbeda dengan splenomegali karena malaria. Splenomegali karena malaria sering
dijumpai di daerah endemik malaria dengan parasitemia intermiten dan ditemukan hemozoin
(pigmen malaria) pada sistem retikulo-endotelial. Sering pada umur dewasa dengan
terbentuknya imunitas, parasitemia menghilang dan limpa mengecil. Pada SST terjadi pada
penduduk daerah endemik biasanya anak-anak, spleen tidak mengecil, bahkan membesar,
terjadi peningkatan serum IgM and antibodi terhadap malaria. Etiologi diduga merupakan
respon imunologik terhadap malaria dimana terj adi peningkatan dari IgM.Gejala klinik
berupa bengkak pada perut karena splenomegali, merasa lemah, anoreksia, berat badan
turun dan anemia. Pembesaran limpa mencapai umbilikus sampai fossa iliaka (derajat 4-5
Hackett). Anemia biasanya normokromik-normositik dengan peningkatan retikulosit. Anemia
hemolitik dapat terjadi pada kehamilan dengan SS! sedangkan trombositopenia jarang
menyebabkan manifestasi perdarahan. Kriteria diagnostik yang dipakai untuk menegakkan
SST yaitu : .
-

splenomegali (limpa > 10 cm bawah arcus costarum) dan anemia.


antibodi terhadap malaria meningkat.
IgM meningkat>2 SD dari normal setempat.
penurunan besamya limpa, IgM dan antibodi setelah 3bulan pengobatan kemoprofi

laktis.
limfositosis pada sinusoid hati.
respons imunitas selluler dan humoral normal terhadapantrgen.
respons limfosit normal terhadap Phytohaemagglutinin(PHA).
hipersplenism terjadi hanya pada beberapa kasus danberhubungan dengan

besarnya splenomegali.
limfositosis perifer dan pada sumsum tulang.
volume plasma meningkat.

Pengobatan :

pemberian kemoprofilakstis dalam jangka waktupanjang akan menurunkan

besarnya limpa danimmunogolbulin.


splenektomi tidak dianjurkan karena mortalitasyang meningkat karena

memudahkan terjadinyainfeksi.
- tanpa pengobatan prognosis jelek, 50oh meninggaldalamfollow up.
Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) dengan gambaran karakteristik berupa albuminuria,

hipoalbumin, edema dan hiperkolesterolemia, dapat terjadi pada penderita anak-anak


dengan infeksi plasmodium malariae. Gambaran patologi dapat bervariasi berupa
penebalan setempat dari kapiler glomerulus, sklerosis sebagian, dan peningkatan sel-sel
mesangial. Gambaran klinik penderita umumnya < 1 5 tahun, edema, proteinuri a> 3 gl24
jam' serum albumin <3 gldl,dan dijumpai asites. Hipertensi danuremi dijumpai pada
penderita SN dewasa dan jarang pada anak-anak. Komplikasi berupa infeksi, trombosis

yang dapat menyebabkan kematian. Pengobatan secara konservatif dengan pemberian


diuretika, diet, mengkontrol hipertensi dan mencegah infeksi. Pemberian steroid hanya
bermanfaat pada lesi minimal dan biasanya mudah relaps. Apabila steroid tidak berhasil
dapat dicoba dengan siklofosfamid, azathioprin Pemberian hanya obat antimalaria pada SN
oleh karena malaria tidak menunjukkan manfaat, akan tetapi penulis lain menyatakan
perbaikan yang dramatik. Akan tetapi Giles dalam penelitian di Nigeria mengobati SN
dengan anti malaria selama 6 bulan temyata tidak membawa hasil.
-

Burkitt's Limfoma (BL)


Pada daerah hiper atau holo-endemik malaria sering dijumpai Burkitt's limfomayaitu

merupakan tumor limfosit B. Terjadinya tumor ini belum diketahui, diduga gangguanpada
sel-sel penolong/supresi T dipengaruhi oleh P. fa I c ip arum sehingga sel limfo s it T kurang
menghamb at pembiakan virus Epstein Barr. BL sering dijumpai pada usia 2 - 1 6 tahun
dengan puncak pada usia 4 dan 9 tahun, dan pria lebih sering dari wanita. Tumor dijumpai
pada rahang atau massa pada perut, ovarium, ginj al dan kelenjar limfe mesenterial. Tumor
dapat berkembang dengan cepat, ukuran dapat menjadi dobbel dalam 3 hari dan pada
gastro intestinal dapat memberikan tanda-tanda obstruksi. Pengobatan dengan sitostatika
memberikan survival yang panjang kira-kira 50%.

DAFTAR PUSTAKA
Anies., 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah Dan Menanggulangi
Penyakit Menular. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Biggs BA, Goller JL, Jolley D, Ringwald P. Regional differences in the response of P.vivax
malaria to primaquine as anti-relapse therapy. Am.J.Trop.Med.Hyg 2007; 76: 203-7
Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. EGC Jakarta, 2000; 125-126

Depkes RI., 2006. Profil Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2005.
Ditjen P2PL. Jakarta.
Depkes.

2004.

Malaria

dan

Prevalensinya

di

Indonesia

www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Booklet%202005.pdf. Diakses tanggal 30


Agustus 2011 Jam 11.38.
Dinas Kesehatan Prov. Kepulauan Riau., 2007. Profil Kesehatan Kepulauan Riau 2006.
Tanjung Pinang. http://www.Depkes.go.id. Diakses 9 Agustus 2011.
Gandahusada, Srisasi dkk. Parasitologi Kedokteran, Edisi 3. FKUI Jakarta, 1998; 171-209
Griffith KS, Lewis LS, Mali S et al. Treatment of malaria in the United States: a systemic
review. JAMA 2007; 297 (20): 2264 77
Harijanto P.N, dkk., 2009. Malaria Dari Molekuler ke Klinis. Edisi 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Kawai S, Ikeda E, Sugiyama M et al. Enhancement of splenic glucose metabolism during
acute malarial infection: correlation of findings of FDG-PET imaging with pathological
changes in a primate model of sever human malaria. Am. J. Trop. Med. Hyg 2006; 74
(3): 353 - 60
Leslie T, Mayan MI, Hasan MA et al. Sulfadoxine-Pyrimethamine, Chlorpraguanil-Dapson, or
Chloroquine for the treatment of plasmodium vivax malaria in Afganistan and
Pakistan: a randomized controlled trial. JAMA 2007; 297 (20) 2201- 9
Mayer, Ghislaine, Maimuna Bruce, Olga Kochurova, Jennifer K Stewart, Qibing Zhou. 2009.
Antimalarial activity of a cis-terpenone. Malaria Journal 8:139
Millet JP, Ollalla PG, Santisteve PC et al. Imported malaria in a cosmopolitan European city:
a mirror image of the world epidemiological situation. Malaria Journal 2008; 7 (56): 19
Munthe CE. Malaria serebral. Cermin dunia kedokteran 2001; 131: 5-6
Muslim, H. M., 2009. Parasitologi Untuk Keperawatan. EGC, Jakarta.
OH MD, Shin H, Shin D et al. Clinical features of vivax malaria. Am.J.Trop.Med.Hyg 2001;
65 (2) 145-6
Pasvol G. The treatment of complicated and severe malaria. British medical bulletin 2005;
75: 29 47
Rodrigues MHC, Cunha MG, Machado RLD, Ferreira OC, Rodrigues MM, Soares IS.
Serological detection of Plasmodium vivax malaria using recombinant proteins
corresponding to the 19-kDA C-terminal region of the merozoite surface protein-I.
Malaria Journal 2003; 2: 1-7
Sembel, Dantje T., 2009. Entomologi Kedokteran. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Suh KN, Kain KC, Keystone JS. Malaria. JMAC 2004; 170 (11): 1-10

Sukarban, S dan Zunilda. Obat Malaria Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta:
FKUI, 1995; 545-59
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 UNICEF Indonesia, 2000, Multiple Indicator
Cluster Survey Report on the Education and Health of Mothers and Children
Sutanto, Inge., 2009. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedoteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Timmreck, Thomas C., 2004. Epidemiologi Sebagai Suatu Pengantar. Edisi 2. Penerbit Buku
Kedoteran EGC. Jakarta
Trager dan JB Jensen. 2007. Human Malaria Parasites in Continuous Culture.
http://www.sciencemag.org/cgi/content/abstract/sci%3B193/4254/673.

Diakses

September 2011. Jam 09.10


Umar N. Gambaran penyakit malaria di bagian anak Rumah Sakit Umum Langsa Aceh
Timur. Cermin dunia kedokteran 1994; 94: 14-15
WHO. Guidelines fot the treatment of malaria. 2006. Dari URL: www.who.int
WHO: World Malaria Report 2009. Geneva: WHO Press, World Health Organization; 2009
Widoyono.,

2008.

Penyakit

Tropis

Epidemiologi,

Pemberantasanya. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Penularan,

Pencegahan

Dan

Anda mungkin juga menyukai