OLEH :
Dewi Kholifatul Ummah ( 16710355 )
PEMBIMBING :
dr. Laksitarini Sp.S
Puji syukur saya panjatkan atas limpahan rahmat serta hidayahNya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas laporan kasus dengan judul Tuberous Sclerosis Complex sebagai salah
satu syarat untuk mengikuti ujian dibidang Ilmu Saraf dalam menyelesaikan pendidikan Dokter
Muda di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Laporan kasus ini dibuat selain sebagai tugas, juga diharapkan dapat membantu teman
sejawat yang ingin mengetahui tentang Tuberous Sclerosis Complex dan juga membantu saya
mempelajari lebih dalam mengenai TSC tersebut.
Selain itu saya juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya
kepada :
2. dr. Laksitarini Sp.S, selaku kepala bagian Ilmu Saraf RSUD Bangil dan juga selaku
pembimbing saya untuk laporan kasus ini.
3. Semua pihak yang telah membantu saya dalam menyusun tugas ini, serta seluruh dokter
spesialis saraf beserta staff yang telah memberikan peranan dalam menyelesaikan tugas ini.
Laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan
segala kritik dan saran demi sempurnanya tugas ini. Saya berharap semoga tugas laporan kasus
ini bermanfaat bagi pihak terkait. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.
Penulis
STASUS PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : Nn. Khusnul Khotimah
No.Medrec : 00315842
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat/Tgl lahir : Pasuruan / 09 Agustus 2001
Umur : 16 Tahun
Status : belum menikah
Agama : Islam
Alamat : sidowaya RT/RW 03/01 oro oro pule kejayan , Pasuruan
Pekerjaan :
Pendidikan : tidak sekolah
Tanggal masuk : 25 April 2017
Tanggal Pemeriksaan : 28 April 2017
2. Anamnesa
a. Keluhan Utama :
Pasien datang dari Poli IPD dengan keluhan muntah (25 April 2017)
e. Riwayat Pengobatan
Pasien adalah pasien poli saraf dengan diagnosa Epilepsi dan
riwayat minum obat epilepsi.
f. Riwayat Kelahiran
Lahir cukup bulan, berat badan lahir lupa, panjang badan lahir lupa, lahir
spontan pervaginam, saat lahir anak langsung menangis, ibu tidak pernah sakit
dan minum obat-obatan.
g. Riwayat Alergi
- Tidak ada riwayat alergi obat/makanan.
h. Riwayat Psikososial
- Merokok (-)
- Alkohol (-)
- Pasien tidak sekolah
3. Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Kesadaran : Somnolen
GCS : 325
Tensi : 100/60 mmHg
Nadi : 98x/menit
Suhu : 37,6C axilar
RR : 18 x/menit
Kepala :
Bentuk : Bulat
Mata : DBN
Sklera : Ikterus (-/-)
Konjunctiva : Anemis (-/-)
Telinga/Hidung : Dyspneu (-)
Mulut : Sianosis (-)
Tampak ada benjolan kecil berukuran kurang lebih 0,5cm lebih dari satu di sekitar
area hidung dengan warna lebih gelap dan bergerombol.
Leher
Bendungan vena : Tidak didapatkan peningkatan, bruit A.Karotis (-)
Deviasi Trakea :-
Kelenjar getah bening : Tidak teraba/tidak ditemukan pembesaran
Nyeri Telan :-
Thoraks
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Thrill tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : S1, S2 Tunggal reguler
Paru-Paru :
- Inspeksi : Gerak nafas simetris
- Palpasi : Tidak ditemukan deviasi
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi : Vesikuler, Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen
Flat, Soefl, BU + (Normal)
Hepar : Tidak ditemukan pembesaran
Limpa : Tidak ditemukan pembesaran
Ekstremitas
Superior : Akral hangat + +
+ +
Oedem - -
- -
Inferior : Sianosis (-), Atrofi (-)
Status Neurologis
Keadaan umum
Kesadaran
Kwalitatif : Somnolen
Kwantitatif : 325
Pembicaraan
Afasia : motorik :-
sensorik :-
Kepala
Asimetris :-
Muka
Mask :-
Full Moon :-
Pemeriksaan Khusus
1. Rangsangan Selaput Otak
- Kaku kuduk :+
- Kernig :-
- Brudzinski I :-
- Brudzinski II :-
- Brudzinski III :-
- Brudzinski IV :-
2. Saraf Otak
N.II
- Visus : TDE
N. III, IV, VI
Kanan Kiri
- Pupil
- Lebar : 3mm/3mm
- Refleks cahaya : +/+
N. V
- Cabang motorik
- Cabang sensorik
N. VII
- Waktu diam
- Waktu gerak
- Mencucu-bersiul : SDE
N.IX, N.X
Bagian motorik
N. XI
N.XII
Ekstremitas
Motorik SDE
Refleks Fisiologis
- BPR : ++/++ - KPR : ++/++
- TPR : ++/++ - APR : ++/++
Refleks Patologis
Babinsky : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Gonda : -/-
Schaffer : -/-
Stransky : -/-
Mendel bechtrew : -/-
Rosolimo : -/-
Hoffman : -/-
Tromner : -/-
Ekstremitas Kanan Kiri
atas
Postur tubuh Baik Baik
Kekuatan otot SDE (M:5) SDE (M:5)
Tonus otot Menurun Menurun
Gerak (-) (-)
involunter
Rigiditas (-) (-)
Ekstremitas
bawah
Postur tubuh Baik Baik
Kekuatan otot SDE (M:5) SDE (M:5)
Atrofi otot Normal Normal
Tonus otot Menurun Menurun
Gerak (-) (-)
involunter
4.
Pemeriksaan Penunjang
a. Lab Lengkap
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Leukosit (WBC) 7,52 3,70-10,1
Hemoglobin (HGB) 12,30 12,0-16,0
Hematokrit (HCT) 35,30 38-47
Trombosit (PLT) 107 155-366
SGOT 23 <31
SGPT 19 <39
BUN 8 7,8-20,23
Kreatinin 0,660 0,6-1,0
Gula Darah acak 84 <200
Natrium (Na) 139,60 135-147
Kalium (K) 4,23 3,5-5
Klorida (Cl) 95,70 95-105
Kalsium Ion 1,131 1,16-1,32
b. EKG
c. Photo Thorax
Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Photo Thorax , didapatkan COR membesar dengan
CTR 46%, apex rounded, conus pulmonalis menonjol, aortic knob mengecil,
double contour (-), apulmonalis sedikit melebar. Sedangkan Pulmo tidak tampak
infiltrat/nodul, sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam dan tulang-tulang tampak
baik. Kesimpulan dari bacaan curiga congenital heart disease
d. Foto Klinis
Gambar 3. Foto Klinis Pasien tanggal 28 April 2017
5. Diagnosa
Diagnosa Klinis : akut DOC, hemiparese dextra dan sinistra LMN, riwayat kejang,
akut vomiting, temuan mayor : nodul diwajah, temuan minor : lesi
kulit di bawah hidung.
Diagnosa Topis : genetik, salah satu gen TSC1 atau TSC2 yang mengalami mutasi
DNA petogenik
Diagnosa Etiologi : Tuberous Sklerosis Complex
7. Penatalaksanaan
1. Infus Asering 20tpm
2. Injeksi OMZ 1x40mg
3. Injeksi Ondansentron 2x4mg
4. Sucraltat Syryp 3xIIcth
8. Follow up:
Tanggal 26 April 2017
S : pasien muntah (+) badannya lemas (+) kejang (-) demam (-)
O : - GCS : 325
- Tensi : 100/80
- Nadi : 80
- RR : 20
- Motorik : SDE
A : Epilepsi
P:- Cek lab SE : (- Na : 134,70 - K : 3,42 - Clorida 95,71- kalsium ion : 1,155)
- Infus RL 14tpm
- Injeksi Pumpicell 40mg 1x1
- Injeksi Ondansentron 3x4mg
- Phenytoin 3x1tab
- Clobazam 2x1tab
- Depakote ER 500mg 2x1tab
- B6 2x1tab
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberous sclerosis complex (TSC) merupakan sindrom neurokutan autosom dominan
yang bercirikan munculnya tumor jinak kongenital pada beberapa organ. Penyakit ini merupakan
kelainan genetik yang sangat kompleks dengan variasi manifestasi klinis yang tinggi. Beberapa
penderita TSC kadangkala tidak menunjukkan gejala sama sekali dan dapat menjalani kehidupan
sehari-hari tanpa terdiagnosis sebagai penderita TSC.
Tuberous sclerosis complex sendiri disebut demikian karena munculnya suatu bentukan
mirip tuberkel pada otak, mengalami kalsifikasi dan mengeras seiring bertambahnya usia.
Tuberkel ini dapat terlihat dengan pemeriksaan penunjang radiologi.
Pemahaman dan penegakan diagnosis kelainan TSC sangatlah penting. Meskipun angka kejadian
kelainan ini rendah, namun morbiditas dan mortalitas yang mungkin ditimbulkan bisa sangat
berat dan komplikasi yang ditimbulkan bisa berujung kematian. Biasanya pada bayi dan anak-
anak, TSC teridentifikasi sebagai penyebab epilepsi, autisme, dan penyakit jantung. Pada orang-
orang dewasa atau lanjut usia bermanifestasi menjadi gagal ginjal, kelainan pulmoner, kulit dan
kondisi neurologis lainnya.
Variabilitas tampilan klinis dan tingkat keparahan penyakit yang tinggi menyebabkan
penegakan diagnosis menjadi sulit, terutama pada individu muda dengan temuan klinis yang
kurang jelas. Pada tahun 2012 diadakan konferensi internasional TSC untuk menyempurnakan
konsesus panduan penegakan diagnosis sebelumnya pada tahun 1998. Konsesus penegakan
diagnosis ini mengutamakan kriteria genetik dan kriteria klinis baik mayor ataupun minor.
Dengan pembaharuan kriteria penegakan diagnosis diharapkan dapat membantu pemahaman
manifestasi klinis, mekanisme genetik dan molekular kelainan TSC.1,2
Alasan pengambilan kasus adalah kejadian penyakit TSC jarang ditemui. Tujuan
penulisan makalah ini untuk melaporkan dan membahas sebuah kasus TSC pada seorang anak
berusia 16 tahun. Diharapkan pemahaman dan pengetahuan kelainan TSC semakin baik,
terutama dari gejala klinis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Tuberous sclerosis complex (TSC) adalah sebuah sindrom neurokutan autosom dominan
yang bercirikan munculnya tumor jinak kongenital pada beberapa organ. Diagnosis biasanya
ditegakkan pada temuan klinis dan radiologis. Temuan trias klasik berupa epilepsi, retardasi
mental dan adenoma sebaseum yang menjadi karakteristik yang khas, namun tidak selalu muncul
pada pemeriksaan klinis, sehingga pemeriksaan radiologis memainkan peran penting dalam
penegakan diagnosis dan pengobatan tuberous sclerosis.3
Penyakit TSC pertama sekali dijelaskan oleh Friedrich von Recklinghausen pada tahun
1862 yang mengidentifikasikan seorang bayi dengan kelainan tumor rhabdomyoma di jantung
dan lesi sklerotik di otak. Kelainankelainan yang ditemukan tersebut belum dapat dipahami
dengan jelas berhubungan dengan kematian bayi. Pada tahun 1880, Desire Bourneville
mendokumentasikan gejala-gejala neurologis seorang bayi dengan kelainan lesi massa yang
keras pada korteks otak seperti kentang yang keras. Selanjutnya kelainan tersebut diberi istilah
tubeorous sclerosis.4
Satu abad kemudian, John Pringle menemukan hubungan antara kelainan neurologis
dengan kelainan pada kulit, dijelaskan kelainan adenoma sebaseum pada pasien retardasi mental.
Perkembangan penelitian lebih lanjut semakin mengetahui penyakit TSC mencakup kelainan
kulit, sistem saraf pusat, jantung, paru-paru, ginjal, tulang dan darah.4
B. ETIOLOGI
Dua lokus genetik yang menjadi penyebab kejadian TSC telah teridentifikasi, yang
pertama pada pita kromosom 9q34 (disebut juga TSC1) dan yang kedua pada pita kromosom
16p13 (disebut juga TSC2). Mutasi pada kedua gen tersebut akan menyebabkan kelainan
neurokutan yang disebut tuberous sclerosis complex.3,4,5
C. EPIDEMIOLOGI
Tubero sclerosis terjadi pada kelompok ras dan etnik, serta pada semua jenis kelamin.
Diperkirkan saat ini terdapat 1.500.000 pasien menderita penyakit TSC.4
D. PATOFISIOLOGI
Secara klinis TSC memiliki pola autosomal dominan dengan tingkat mutasi spontan yang
tinggi. Dua lokus genetik yang berbeda bertanggung jawab pada TSC telah teridentifikasi, yang
pertama pada pita kromosom 9q34 (disebut juga TSC1) dan yang kedua pada pita kromosom
16p13 (disebut juga TSC2). Hamartin, produk dari TSC1, teridentifikasi pada tahun 1997
memiliki fungsi sebagai tumor supressor. Walaupun secara fungsi terpisah, hamartin dan tuberin
telah diketahui memiliki suatu daerah yang saling bergulung-gulung yang berinteraksi satu
sama lain.
Hamartin dan tuberin membentuk suatu kompleks yang menghambat kompleks protein
mTOR (mammalian target of rapamycin) melalui protein aktifator GTP-ase Rheb. mTOR
dinamai demikian karena kemampuannya untuk berikatan dengan obat immunosupresan
Rapamycin (Sirolimus, Rapamune) sebelum fungsi sebenarnya ditemukan. Fungsi lain dari
mTOR adalah sebagai tombol kendali utama anabolisme dan katabolisme sel, dan memiliki
fungsi pengaturan yang penting dalam pertumbuhan sel, volume sel, dan sintesis protein. mTOR
juga diregulasi oleh berbagai faktor lain termasuk insulin dan asam amino.
Gen TSC2 ditemukan pada tahun 1993, dan produk proteinnya bernama tuberin. Tuberin
berfungsi sebagai activator dari GTP-ase dan diduga berfungsi sebagai tumor supressor. Kadar
tertinggi tuberin pada manusia ditemukan pada otak, jantung, dan ginjal. Tuberin juga terdapat
pada arteriol ginjal, kulit, dan jantung, juga pada neuron piramidal dan sel Purkinje cerebellum.
Fungsi yang sebenarnya dari tuberin ini, terutama pada neurogenesis, masih belum jelas. Tuber
terbentuk diperkirakan ketika sel progenitor neural yang sudah bermutasi pada matriks germinal
di subependimal meningkatkan sel-sel anak yang akan menghasilkan tuber. Tuber dapat
mengalami degenerasi kistik atau kalsifikasi, atau tampak sebagai bagian menyangat setelah
pemberian kontras pada neuroimaging, namun hal ini tidak secara langsung menghasilkan
transformasi maligna.
Fungsi produk gen TSC, hamartin dan tuberin, telah banyak diketahui beberapa tahun
terakhir. Bersama-sama, mereka membentuk kompleks tumor supressor, yang melalui fungsi
aktivasi GTPase dari tuberin, menyebabkan GTPase kecil disebut Ras homolog enhanced in the
brain (Rheb) menjadi tahap inaktif terikat-GDP. Rheb yang terikat GTP, tahap aktif, merupakan
efektor positif pada mTOR.
Mutasi pada hamartin atau tuberin menyebabkan Rheb menjadi fase aktif, yang
menyebabkan signaling mTOR. mTOR menjadi mediator banyak efek pada pertumbuhan sel
melalui fosforilasi protein ribosom s6 kinase (s6Ks) dan repressor faktor inisiasi sintesis protein
eIF4E, 4EBPs. S6Ks bekerja meningkatkan pertumbuhan sel dan sintesis protein, mengingat
4EBPs bekerja untuk menghambat proses ini. mTOR berinteraksi dengan s6Ks dan 4EBPs
melalui protein penghubung bernama Raptor. Pada saat mTOR teraktivasi melalui mutasi pada
hamartin atau tuberin, hal ini akan menghasilkan lesi hamartomatosa pada otak, ginjal, jantung,
paru-paru, atau organ lain.4,5
D. GAMBARAN KLINIS
Tuberous sclerosis merupakan kelainan phakomatosis terbanyak kedua setelah
neurofibromatosis tipe 1. Kelainan ini memiliki ciri-ciri terbentuknya tumor hamartoma jinak
dan neoplasma grade rendah pada berbagai sistem organ. Gambaran klasik yang berhubungan
dengan TSC adalah trias Vogt: epilepsi, retardasi mental dan adenoma sebaseum wajah. Trias ini
hanya terlihat 30-40% pasien TSC, sekitar setengah pasien TSC memiliki tingkat intelegensi
normal.10
a. Makula hipomelanotik
Facial Angiofibroma terdapat pada 75% pasien TSC, onset biasanya pada umur 2
dan 5 tahun. Kelainan ini hampir dikatakan merupakan tanda patognomonik. Jumlah lesi
pada kebanyakan kasus adalah banyak, pada kasus TSC yang ringan, jumlah facial
angiofibroma sedikit. Facial Angiofibroma multipel dan neoplasia endokrin tipe 1
(MEN1) biasanya terlihat pada sindrom Birt-Hogg-Dube (BHD).2
Lesi ini pertama kali dijelaskan oleh Pringle dengan istilah adenoma sebaseum.
Penamaan ini sebenarnya keliru, sebab lesi ini tidak memiliki kelenjar sebaseum. Lesi ini
merupakan sebuah hamartoma yang disusun oleh jaringan ikat dan elemen vaskuler,
sehingga penamaan yang tepat adalah angiofibroma. Angiofibroma merupakan papula
berwarna merah muda di regio malar wajah (Gambar 2).4
Forehead plaque merupakan lesi yang sangat mirip dengan facial angiofibroma
(Gambar 3). Terdapat pada 25% pasien TSC. Biasanya terletak pada kening, bersifat
unilateral. Meskipun demikian bisa juga muncul pada lokasi lain di kulit kepala, sehingga
penamaanya direkomendasikan menjadi fibrous cephalic plaque, untuk meningkatkan
kewaspadaan bila kelaianan ini muncul pada kulit kepala.2
c. Ungual Fibroma
Ungual fibroma merupakan lesi nodular atau seperti daging yang menonjol yang
timbul dari dekat atau dari bawah permukaan kuku (Gambar 4). Kelainan ini biasanya
spesifik untuk TSC, meskipun kadangkala bisa muncul pada orang normal yang
mengalami trauma pada kuku. Fibroma ini bisa saja tidak terlihat, hanya terlihat sebagai
lekukan alur longitudinal pada kuku merupakan temuan yang penting. Ungual fibroma
lebih banyak terlihat pada pasien dewasa daripada anak-anak.1
d. Shagreen Patch
Shagreen patch terdapat pada 50% kasus TSC, onsetnya pada dekade pertama. 2
Kelainan kulit ini hampir merupakan tanda spesifik untuk TSC (Gambar 5). Biasanya
terdapat pada punggung bagian bawah atau regio flank, merupakan bercak-bercak kulit
berbentuk ireguler dan sedikit menonjol.1
Gambar 5. Shagreen patch seorang anak laki-laki berusia 16 tahun. Tampak nevus
jaringan ikat (kolagenoma) pada punggung bagian bawah.
http://www.globalskinatlas.com/imagedetail.cfm
Gambar 6. Lesi kulit makula confetti multipel pada perut dan tangan pada seorang anak
laki-laki.
Dental enamel pit merupakan lubang-lubang kecil pada enamel gigi (Gambar 7).
Lubang pada enamel gigi ini lebih sering terlihat pada pasien TSC. Sebuah penelitian
melaporkan terdapat dental enamel pit pada 100% pasien TSC dewasa, sementara itu
terdapat 7% dental enamel pit pada populasi dewasa.11
Fibroma ginggiva telah lama diketahui memiliki hubungan dengan penyakit TSC.
Kelainan ini muncul sekitar 20-50% pada pasien TSC, terbanyak pada dewasa
dibandingkan anak-anak (Gambar 8).2
2. Kelainan Optalmologik
Retinal Achromic patch adalah sebuah area hipopigmentasi pada retina (Gambar
10). Bercak ini terdapat sekitar 39% pasien TSC, sementara itu pada populasi normal
insidensinya sekitar 1:20.000.2
a. Cortical Dysplasia
Terminologi cortical dysplasia digunakan untuk menggantikan istilah cortical
tuber yang selama ini digunakan. Cortical dysplasia merupakan kelainan bawaan yang
terjadi oleh karena kegagalan migrasi sebagian atau sekelompok neuron ke tempat yang
sesuai pada masa perkembangan otak. Cortical dysplasia mencakup kelainan cortical dan
subcortical tuber dan kelainan jalur migrasi radial substansi putih.2
Tampilan klasik sebuah tuber adalah lesi displastik girus yang memiliki struktur
yang keras, terasa berbenjol-benjol, biasanya muncul pada puncak girus. Munculnya
tuber tidak menimbulkan perbesaran girus bersangkutan.1 Tampilan makro tuber
menyerupai kentang, dengan tekstur yang keras, sehingga kelainan ini dikenal dengan
istilah tuberous sclerosis. Secara patologis, tuber merupakan hamartoma epipleptogenik
yang menunjukkan laminasi kortikal yang kacau. Hamartoma tersebut terdiri atas
komponen glial dan neuron seperti astrosit raksasa atipikal, neuron malorientasi, dan sel
raksasa yang aneh.16 Sekitar setengahnya mengalami kalsifikasi, terlihat jelas pada CT
scan dan kadangkadang terlihat pada foto kepala.17
Kelainan substansi putih pada TSC adalah kegagalan migrasi sebagian atau
sekelompok neuron, terlihat sebagai pita-pita radial yang memanjang dari permukaan
ependim ventrikel menuju ke korteks, kadangkala berakhir pada subcortical tuber. Pita-
pita ini terlihat pada 80% pasien TSC menggambarkan komponen heterotropik neuron
dan glial yang berhenti selama migrasi kortikal.4
b. Nodul Subependimal
Jumlah nodul subependimal tidak berkorelasi dengan keparahan klinis TSC, tetapi
penderita yang memiliki banyak nodul subependimal memilik kecenderungan kelemahan
kognitif dan sulit untuk mengendalikan kejang-kejang yang dialami.19,20
Merupakan neoplasma tingkat rendah yang muncul di dekat foramen Monro pada
10-15% kasus TSC. Lebih banyak ditemukan pada saat anak-anak atau remaja, jarang
ditemui setelah usia 20 tahun jika sebelumnya belum ada. Subependimal Giant Cell
Astocytoma diduga berasal dari nodul subependimal, terutama yang terletak dekat
foramen Monro.18 berbeda dengan cortical tuber, SEGAs memiliki kemampuan untuk
tumbuh besar dan dapat menimbulkan gejalagejala seperti peningkatan tekanan intra
kranial, defisit neurologis fokal, dan pemburukan kontrol kejang. Tumor ini bersifat
invasif lokal, dengan pembedahan sedini mungkin merupakan tindakan kuratif.1 Bila
terdapat kecurigaan SEGAs, maka dilakukan pemantauan paling tidak sekali setahun
dengan pemeriksaan MRI kepala.4
4. Kelainan Kardiovaskuler
Rhabdomioma Jantung
5. Kelainan Pulmoner
Lymphangioleiomyomatosis (LAM)
6. Kelainan Ginjal
a. Angiomiolipoma (AML)
Merupakan tumor hamartoma jinak yang teridiri atas komponen otot polos,
lemak, dan pembuluh darah abnormal.23 Tumor ginjal ini terlihat pada 75% anak-anak
penderita TSC, biasanya multipel dan bilateral. Meskipun demikian, sekitar 80%
penderita AML, tidak menunjukkan tanda-tanda TSC. Mutasi gen TSC2 diketahui
menyebabkan kelainan AML. Tumor ini dipengaruhi oleh hormon estrogen dan
progesteron, jarang ditemui pada usia sebelum pubertas.4
Kista epitelial ginjal jinak terlihat kurang dari setengah penderita TSC. Kista
ginjal berhubungan dengan mutasi gen TSC 1 dan TSC2 atau sebagai bagian dari mutasi
gen yang berdekatan pada kromosom 16 yang menyebabkan kelainan TSC dan PKD1.
Kista ini berkembang seiring dengan waktu, ukuran yang besar bisa menimbulkan
terjadinya efek massa, menyebabkan gagal ginjal dan hipertensi.4
7. Kelainan Endokrin
Beberapa temuan kelainan endokrin pada penderita TSC adalah munculnya tumor
hamartoma pada organ-organ endokrin.24 Adrenal angiomiolipoma terdapat pada 25% penderita
TSC, namun jarang menimbulkan perdarahan.25 Adenoma papiler tiroid telah dilaporkan pada
penderita TSC, tetapi tidak menimbulkan disfungsi tiroid.26,27 Beberapa kasus yang jarang
dilaporkan terdapat tumor angiolipoma atau fibroadenoma pada kelenjar pituitari, pankreas atau
kelenjar gonad.24
Manifestasi TSC pada saluran cerna cukup jarang. Sekitar 10-25% penderita TSC
memiliki angiomiolipoma hati.28 Tumor hati angiomiolipoma termasuk temuan penting dalam
penegakan TSC.
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Sampai saat ini penegakan diagnostik TSC berdasarkan kriteria genetik dan klinis.
Konferensi konsensus internasional tuberous sclerosis complex kedua diadakan di kota
Washington, Amerika Serikat pada tanggal 13-14 Juni 2012 telah merumuskan dan
memperbaharui kriteria konsensus sebelumnya (1998). Berbagai ahli dari penjuru dunia telah
bersidang menetapkan kriteria diagnostik, surveilans dan rekomendasi manajemen pasien
penderita TSC. Salah satu perubahan signifikan adalah penggabungan kategori pemeriksaan
genetik. Mutasi patogenik diartikan sebagai mutasi yang menyebabkan berhentinya fungsi
protein TSC1 atau TSC2, mencegah sintesa protein, atau terjadinya mutasi missense yang
berakibat pada fungsi protein.2
F. GAMBARAN RADIOLOGIS
Gambar 12. Seorang anak perrempuan berusia 4 tahun dengan TSC. A imejing T1
menunjukkan hipointensitas (panah hitam) dan B imejing T2 menunjukkan
hiperintensitas sinya (panah putih) di substansi putih subkorteks lobus frontalis kiri dan
lobus parietal kanan. Diferensiasi substansi putih dan abu-abu sebagian mengabur.32
2. Nodul subependimal
Gambar 13. Imejing CT scan seorang anak dengan TSC, terlihat kalsifikasi nodul
subependimal, kalsifikasi lesi parenkimal berukuran besar.1
Gambar 14. Nodul subependimal. A. Imejing MR menunjukkan lesi sebagai titik putih
pada permukaan subependim dinding ventrikel. Adanya kalsifikasi menyebabkan adanya
sinyal yang hilang. B. Pada pasien lainnya, kalsifikasi pada nodul subependimal terlihat
baik pada pemeriksaan CT scan, lesi dengan atenuasi tinggi di sepanjang permukaan
ventrikel.4
3. Subependymal Astocytoma Giant Cell
Tumor astrositoma ini terlihat sekitar 6-14% individu penderita TSC, berkembang
terutama pada masa kanak-kanak. Lokasi tumor ini tumbuh di sekitar foramen Monro.
Ukuran yang membesar dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Disfungsi
neurologis akut dan subakut berasal dari obstruksi tibatiba sistem ventrikuler maupun
oleh karena perdarahan yang berasal dari tumor. Gambaran tumor ini mirip dengan
tampilan nodul subependimal. Pada pemeriksaan kontras, hampir semua menyangat,
sehingga untuk kepentingan praktis, diagnosis tumor ini didasarkan atas ukuran lebih
besar dari 10 cm, pertumbuhan yang terlihat, dan menyebabkan gejala-gejala
hydrochepalus (Gambar 15).1,4
Gambaran garis migrasi radial dipercaya mewakili sel glia dan neuron
heterotropik disepanjang jalur migrasi kortikal.33 Lokasi utama garis migrasi radial ini
terletak di substansi putih subkortikal, dan kadang-kadang berhubungan dengan tuber
(Gambar 16).32
Gambar 16. Imejing MRI kepala seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. Sekuen FLAIR
tampilan axial menunjukkan tuber kortikal dan subkortikal (panah hitam) dan gari
migrasi radial (panah putih).32
5. Microcephaly
Penderita TSC diketahui memiliki volume substansi putih dan abu-abu cerebri yang lebih
kecil dibandingkan orang-orang normal. Hasil statistik mikroenchepaly yang signifikan
ditemui pada pasien TSC dengan atau tanpa riwayat epilepsi (Gambar 17).32
Gambar 17. Seorang anak perempuan berusia 6 tahun penderita TSC. A dan B
rekonstruksi 3 dimensi MRI menunjukkan total volume otak 994 cm3 (A) dibandingkan
dengan pasien yang tidak menderita TSC sebesar 1290 cm3.32
6. Rhabdomioma Jantung
Gambar 19. Rhabdomioma jantung pada usia kehamilan trimester kedua dan setelah lahir.
A. Imejing MR T2 tampilan axial menunjukkan massa jantung dengan beberapa sinyal
yang tinggi (panah) pada janin dengan riwayat keluarga TSC. B Imejing MR post natal
(tampilan 4 ruangan) menunjukkan lesi yang sama (panah). C. Pemeriksaan CT scan
dengan kontras menunjukkan massa jantung yang mengandung jaringan lemak di
ventrikel kiri, diduga AML jantung.4
7. Lymphangioleiomyomatosis (LAM)
Merupakan proliferasi sel-sel otot polos atipik pada saluran limfatik paruparu,
khususnya muncul pada wanita (kecenderungan lima kali lebih banyak daripada pria). 1,22
Lymphangioleiomyomatosis merupakan kelainan khas paru-paru pada TSC, beberapa
penderita TSC memiliki kelainan hiperplasia pneumosit mikronoduler (Gambar 20).
Penegakan kriteria LAM didasarkan atas konsensu pulmonologis: 1. Pemeriksaan
patologi anatomi sejalan dengan LAM; 2. Pemeriksaan CT scan resolusi tinggi sesuai
dengan gambaran LAM dengan kista yang berlimpah (4) tanpa adanya komorbid
pembaur lain pada pasien TSC dengan minimal satu kriteria mayor atau dua kriteria
minor; 3. Pemeriksaan CT scan resolusi tinggi sesuai dengan gambaran LAM dengan
tambahan kriteria salah satu lymphangioleiomyoma abdomen dan toraks, efusi pleura
kilous, dan asites kilous.34
8. Angiomiolipoma Ginjal
9. Kista Ginjal
Pada pemeriksaan sonografi, terlihat sebagai massa anekoik dengan batas tajam,
dinding tipis, dan terdapat peningkatan trasmisi sinyal sonografi. Pemeriksaan CT scan
dan MRI terlihat massa bulat berbatas tegas, dengan pemberian kontras tidak
menunjukkan penyangatan (Gambar 22).35
Gambar 22. Kista ginjal pada penderita TSC. A. CT scan tampilan axial menunjukkan
kista beratenuasi cairan berjumlah banyak pada ginjal kiri, tampak adanya kalsifikasi
pada tepi kista terbesar. B. Tampilan koronal imejing MR T2 menunjukkan kista ginjal
berjumlah banyak menyebabkan pembesaran ukuran ginjal.4
G. DIAGNOSIS BANDING
Fahr's disease atau sindrom Fahr merupakan suatu kelainan neurologis yang
jarang, ditandai dengan penumpukan kalsifikasi abnormal di ganglia basalis dan korteks
cerebri. Deposit kalsium teridiri atas kalsium karbonat dan kalsium posfat dengan lokasi
yang paling sering di ganglia basalis, thalamus, hippocampus, korteks cerebri, substansi
putih subkortikal cerebellum dan nukelus dentata. Prevalensi FD sekitar <1:1.000.000
dengan onset sekitar dekade ketiga sampai keempat. Kelainan ini pertama sekali
dijelaskan oleh ahli saraf Jerman bernama Karl Theodor Fahr pada tahun 1930.
Kebanyakan penderita menunjukkan gejala-gejala ekstra piramidal.
Gambar 23. Fahr's disease. A. Imejing CT scan axial (ketebalan 10 mm) menunjukkan
area deposit kalsium dengan atenuasi tinggi di kedua ganglia basalis (panah) dan di
substansi putih lobus frontal dan lobus occipital.39 B. Kalsifikasi di ganglia basalis pada
penderita Fahr's disease. http://atlas.mudr.org/Case-images-Fahr%27s-disease-morbus-
Fahr-1158
Gambar 24. Imejing Axial CT scan. Kalsifikasi di ganglia basalis dan korteks cerebri post
infeksi toxoplasma.
Ada banyak agen infeksius yang dapat berpengaruh pada sistem saraf pusat janin.
Kelompok terbanyak agen infesius ini dikenal dengan nama TORCH, terdiri dari
toksoplasmosis, rubella, cytomegalovirus (CMV) dan herpes simplex virus (HSV).
Infeksi HSV kongenital menunjukkan destruksi otak yang luas, enchepalomalacia
multikistik dan kalsifikasi yang tersebar luas. 42 Toksoplasmosis kongenital biasanya
berhubungan dengan hidrocephalus dan kalsifikasi nodular acak di periventrikuler,
ganglia basalis, dan area korteks cerebri. Infeksi rubella kongenital berhubungan dengan
meningitis, ventrikulitis dan berlanjut dengan ventikulomegaly. Klasifikasi biasanya
terdapat di periventrikuler, substansi putih, ganglia basalis dan bantang otak. 43 Infeksi
CMV merupakan infeksi kongenital terbanyak, berhubungan dengan terjadinya
microcephaly, chorioretinitis, dan kalsifikasi intrakranial. Kalsifikasi biasanya terlihat di
periventikuler dan lokasi subependimal (Gambar 25).42
Gambar 25. Imejing Axial CT scan non kontras. A. tampak kalsifikasi luas di thalamus
bilateral dan peribentikuler dengan dilatasi asimetri ventrikuler pada penderita
toksoplasmosis kongenital. B Kalsifikasi luas di perientrikuler dan subependimal dengan
hidrocephalus yang nyata pda penderita infeksi CMV.
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan individu yang menderita TSC sama seperti individu yang
menderita kondisi penyakit multi sistem kronik, yaitu menjaga kemungkinan kualitas hidup
terbaik dengan sedikit komplikasi, sedikit efek samping pengobatan dan sebisa mungkin
pemberian obat sedikit mungkin. Manajemen klinis paling penting adalah mengendalikan kejang,
perdarahan dan rasa nyeri yang timbul dari angiolipoma, dan insufisiensi pernafasan akibat
LAM. Penanganan kejang dengan memberikan onat-obatan anti epilepsi. Pada beberapa kasus
dilakukan reseksi kortikal. Penanganan angiolipoma dengan embolektomi bila ukuran tumor
melebihi 3-4 cm. Pengobatan tahap akhir LAM adalah tranplantasi paru-paru. Belum ada
pengobatan sistemik khusus untuk TSC.44 Beberapa pilihan terapetik untuk penderita TSC
berkisar pada manajemen gejala yang timbul. Vigabatrin merupakan inhibitor ireversibel GABA
telah digunakan untuk menghentikan spasme masa kanak-kanak lebih dari 90% penderita TSC. 10
Rapamycin merupakan imunosupresan yang dihasilkan dari bakteri berfungsi untuk menghambat
jalur mTOR dan telah digunakan untuk menekan pertumbuhan SEGA.45,46 Pengobatan
lymphangioleiomyomatosis menggunakan terapi antiestrogen seperti oophorectomi,
progesterone dan tamoxifen. Ahli radiologi sebaiknya familiar dengan pengobatan ini, karena
akan terjadi perubahan tampilan imejing para penderita yang telah diberi agen terapetik.47
BAB III
PEMBAHASAN
Tuberous Sclerosis yang juga dikenal sebagai tuberous sclerosis complex adalah kondisi
medis yang ditandai dengan munculnya tumor jinak pada tubuh. Kondisi ini bersifat herediter
dan disebabkan oleh mutasi genetik. Gejala spesifik akan tergantung di bagian tubuh mana tumor
tersebut muncul; beberapa lokasi yang sering menunjukkan manifestasi antara lain otak, jantung,
ginjal, paru-paru dan kulit. Kejang yang tidak bisa dikendalikan dan masalah perilaku merupakan
akibat yang timbul dari kelainan yang ada di otak. Gangguan pernafasan lebih sering pada pasien
wanita dewasa. Gangguan kerja ginjal diakibatkan adanya tumor dan jaringan abnormal yang
menggantikan struktur ginjal normal, seiring dengan bertambahnya usia gangguan ginjal
semakin berat. Tumor jinak yang muncul di ruang bilik jantung sangat khas sebagai penanda
kelainan TSC, biasanya muncul pada usia neonatus sampai kanak-kanak. Seiring bertambahnya
usia, ukuran tumor jinak jantung ini kan berkurang dan pada beberapa kasus akan hilang.
Secara teoritis kelainan ini diturunkan dari orang tuanya. Meskipun demikian terdapat
banyak kasus TSC tanpa adanya riwayat keluarga yang sama. Hal ini disebabkan munculnya
mutasi spontan pada gen TSC1 dan TSC2. Sebanyak dua pertiga atau tiga perempat kasus timbul
dari mutasi spontan.1 Berdasarkan anamnesis orang tua pasien, tidak didapatkan kelainan serupa
pada keluarga baik dari garis keturunan bapak maupun ibu. Pada kasus ini kemungkinan terbesar
kelainan akibat mutasi spontan. Keluhan utama pasien ini adalah kejang yang tidak teratasi.
Kejang yang dialami pasien sejak berusia 1tahun. Menurut literatur, kejang merupakan tanda
awal yang terlihat sebagai manifestasi kelainan TSC. Trias Vogt berupa epilepsi, retardasi mental
atau intelegensia yang rendah (idiot), dan bercak-bercak adenoma sebaseum sangat dekat dengan
kelainan TSC. Pada pasien ini gejala kejang, retardasi mental terlihat jelas dan terlihat adenoma
sebaseum. Penegakan diagnosis kelainan TSC didasarkan atas temuan genetik dan klinis.
Pasien datang pada tanggal 25 April 2017 dari poli IPD dengan keluhan muntah setelah
makan, terasa mual, nyeri pada ulu hati dan demam. Pasien merupakan pasien rutin poli saraf
dengan diagnosa Epilepsi. Dan Pada tanggal 26 April 2017 pasien dikonsulkan ke Bagian Saraf
dengan diagnosa Epilepsi. Pada tanggal 26 April 2017 pasien tampak lemas, riwayat kejang
terakhir bulan desember 2016. Pasien mulai kejang sejak umur 1 tahun, kejang di kedua kaki dan
kedua tangan. saat berusia 8 tahun muncul benjolan kecil disekitar hidung dengan ukuran kurang
lebih 0,5cm bergerombol dan warnanya lebih gelap dari warna disekitarnya awalnya benjolan
timbul di dekat hidung, yang makin lama bertambah banyak. Benjolan kadang terasa gatal
namun tidak nyeri dan tidak mudah berdarah. Pasien sudah pernah berobat ke dokter ahli
penyakit kulit dan kelamin dan diberikan obat minum (pasien tidak tahu nama obatnya), namun
saat itu benjolan hanya berkurang sedikit.
Kejang (-) mual (-) mual (+) demam (-) pusing (-) sesak (+)
Pasien di berikan Infus RL yang bermanfaat untuk Mengembalikan keseimbangan
elektrolit pada dehidrasi. Diberikan injeksi pumpicell untuk Mengurangi jumlah asam yang
diproduksi di perut. Injeksi Ondansentron digunakan untuk mencegah dan mengobati mual dan
muntah. Therapi per oral Phenytoin digunakan untuk mencegah dan mengontrol kejang (juga
disebut antikonvulsan atau obat antiepilepsi) dia bekerja dengan mengurangi penyebaran
aktivitas kejang di otak. Therapi per oral Clobazam digunakan untuk mengatasi gangguan
kecemasan yang parah serta sebagai terapi tambahan untuk menangani epilepsi. Therapi
Depakote ER 500mg untuk mencegah kemunculan kejang dia bekerja dengan cara menghambat
neurotransmiter di otak. Neurotransmiter ialah partikel kimiawi yang menjadi perantara
komunikasi antar sel-sel saraf. Depakote akan menghambat neurotransmiter yang dapat memicu
timbulnya kejang. Sehingga di harapkan obat-obatan dapat bekerja menghambat kejang yang
akan terjadi sebagai gejala dari TSC.
DAFTAR PUSTAKA
1. Roach E, Sparagana S. Diagnosis of Tuberous Sclerosis Complex. J Child Neurol. 2004;
19:643-9.
2. Northrup H, Krueger DA. Tuberous Sclerosis Complex Diagnostic Criteria Update:
Recommendations of the 2012 International Tuberous Sclerosis Complex Consensus
Conference. Pediatr Neurol. 2013; 49:243-54.
3. Umeoka S, Koyama T, Miki Y, et al. Pictorial Review of Tuberous Sclerosis in Various
Organs. RSNA Annual Meeting. 2008.
4. Henry J, Baskin Jr. The pathogenesis and imaging of the tuberous sclerosis complex.
Pediatri Radiol. 2008; 38:93652.
5. Peter B, Crino MD, Katherine L, Nathanson MD, Henske EP. The Tuberous Sclerosis
Complex. N Engl J Med. 2006; 355:1345-56.
6. Stevenson A, Fischer O. Frequency of epiloia in Northern Ireland. Br J Prev Soc Med.
1956; 10:134-5.
7. Nevin N, Pearse W. Diagnostic and genetical aspects of tuberous sclerosis. J Med Genet.
1968; 5:273-80.
8. OCallaghan F, Shiell A, Osborne J, Martyn C. Prevalence of tuberous sclerosis estimated
by capture-recapture analysis. Lancet. 1998; 352: 318-19.
9. Sampson J, Scahill S, Stephenson J, Mann L, Connor J. Genetic aspects of tuberous
sclerosis in the west of Scotland. J Med Genet. 1989; 26: 28-31.
10. Maria BL, Deidrick KM, Roach ES, et al. Tuberous sclerosis complex: pathogenesis,
diagnosis, strategies, therapies, and future research directions. J Child Neurol. 2004;
19:632-42.
11. Mlynarczyk G. Enamel pitting: a common symptom of tuberous sclerosis. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol. 1991; 71:63-7.
12. Rosser T, Panigrahy A, McClintock W. The diverse clinical manifestations of tuberous
sclerosis complex: a review. Semin Pediatri Neurol. 2006; 13:27-36
13. Wiznitzer M. Autism and tuberous sclerosis. J Child Neurol. 2004; 19:675-9.
14. Prather P, de Vries PJ. Behavioral and cognitive aspects of tuberous sclerosis complex. J
Child Neurol. 2004; 19:666-74.
15. Maria BL, Deidrick KM, Roach ES et al. Tuberous sclerosis complex: pathogenesis,
diagnosis, strategies, therapies, and future research directions. J Child Neurol. 2004;
19:632-42.
16. Webb DW, Clarke A, Fryer A et al. The cutaneous features of tuberous sclerosis: a
population study. Br J Dermatol. 1996; 135:1-5.
17. Altman NR, Purser RK, Post MJ. Tuberous sclerosis: characteristics at CT and MR
imaging. Radiology. 1988; 167:527-32.
18. Crino P, Mehta R, Vinters H. Pathogenesis of TSC in the brain. In: Kwiatkowsi D,
Whittemore V, Thiele E, eds. Tuberous Sclerosis Complex: Genes, Clinical Features, and
Therapeutics. Weinheim: Wiley- Blackwell; 2010: 285-309.
19. Roach ES, Williams DP, Laster DW: Magnetic resonance imaging in tuberous sclerosis.
Arch Neurol. 1987; 44:301-3.
20. Goodman M, Lamm SH, Engel A, et.al. Cortical tuber count: A biomarker indicating
cerebral severity of tuberous sclerosis complex. J Child Neurol. 1997; 11:85-90.
21. Black M, Kadlez M, Smallhorn J, Freedom R. Cardiac rhabdomyomas and obstructive left
heart disease: histologically but not functionally benign. Ann Thorac Surg. 1998; 65:1388-
90.
22. Hancock E, Osborne J. Lymphangioleiomyomatosis: a review of the literature. Respir Med.
2002; 96:1-6.
23. Wagner BJ, Cheong JJ, Davis CJ. Adult renal hamartomas. Radiographics. 1997; 17:155-
69.
24. OCallaghan F, Osborne J. Endocrine, gastrointestinal, hepatic, and lymphatic
manifestations of tuberous sclerosis complex. In: Kwiatkowski D, Whittemore V, Thiele E,
eds. Tuberous Sclerosis Complex: Genes, Clinical Features, and Therapeutics. Weinheim:
Wiley-Blackwell; 2010: 369-385.
25. Compton W, Lester P, Kyaw M, Madsen J. The abdominal angiographic spectrum of
tuberous sclerosis. AJR Am J Roentgenol. 1976;126:807- 13. 26. Perou M, Gray P.
Mesenchymal hamartomas of the kidney. J Urol. 1960; 83:240-61.
26. Verma B, Tailor M. Familial tuberous sclerosis: a review with report of three cases. Indian
Pediatr. 1965; 2: 401-10.
27. Nakhleh RE. Angiomyolipoma of the liver. Pathol Case Rev. 2009; 14: 47-9.
28. Altman NR, Purser RK, Post MJ. Tuberous sclerosis: characteristics at CT and MR
imaging. Radiology. 1988; 167: 527-32.
29. Nixon JR, Houser OW, Gomez MR, et al. Cerebral tuberous sclerosis: MR imaging.
Radiology. 1989; 170: 869-73.
30. Di Paolo D, Zimmerman RA. Solitary cortical tubers. Am J Neuroradiol 1995; 16:1360-4.
31. Kalantari BN, Salamon N. Neuroimaging of Tuberous Sclerosis: Spectrum of Pathologic
Findings and Frontiers in Imaging. AJR. 2008; 190: 304-9.
32. Griffiths PD, Bolton P, Verity C. White matter abnormalities in tuberous sclerosis complex.
Acta Radiol 1998; 39:482-6.
33. Johnson SR, Cordier JF, Lazor R, et al. European Respiratory Society guidelines for the
diagnosis and management of lymphangioleiomyomatosis. Eur Respir J. 2010; 35:14-26.
34. Casper KA, Donnelly LF, Chen B, et al. Tuberous sclerosis complex: renal imaging
findings. Radiology. 2002; 225:451-6.
35. Saleem S, Aslam HM, Anwar M, et al. Fahrs syndrome: literature review of current
evidence. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2013; 8:156.
36. Modrego PJ, Mojonero J, Serrano M, Fayed N. Fahrs syndrome presenting with pure and
progressive presenile dementia. Neurol Sci. 2005; 26:367-9.
37. Moskowitz MA, Winickoff RN, Heinz ER: Familial calcification of the basal ganglions: a
metabolic and genetic study. N Engl J Med. 1971; 285(2): 72-7.
38. Avrahami E, Cohn DF, Feibel M, Tadmor R: MRI demonstration and CT correlation of the
brain in patients with idiopathic intracerebral calcification. J Neurol. 1994; 241(6): 381-4.
39. GG Gerard G, Weisberg L. Tuberous Sclerosis: CT Findings and Differential Diagnosis.
Computerized Radiol. 1987; 11: 189-92.
40. Anvekar, B. Neuroradiology Cases: Intracranial calcifications. Neuroradiology Unit, SP
Institute of Neurosciences, Solapur, Maharashtra, India. Available at:
http://www.neuroradiologycases.com/2011/10/ intracranial-calcifications.html
41. Sze G, Lee SH. Infectious disease. In: Lee SH. Rao KCVG, Zimmerman RA, eds. Cranial
MRI and CT. 4th ed. New York: Mc Graw-Hill, 1999; 453-517.
42. Hedlung GL, Boyer RS. Neuroimaging of postnatal pediatric central nervous system
infections. Semin Pediatr Neurol. 1999; 4: 299317.
43. Henske EP. Tuberous sclerosis. Elsevier. 2006; 303-306. Available from:
http://www.dfhcc.harvard.edu/membership/profile/member/1515/0.
44. Huang S, Bjornsti MA, Houghton PJ. Rapamycins: mechanism of action and cellular
resistance. Cancer Biol Ther. 2003; 2: 222-32.
45. Franz DN, Leonard J, Tudor C, et al. Rapamycin causes regression of astrocytomas in
tuberous sclerosis complex. Ann Neurol. 2006; 59:4908.
46. Bissler JJ, McCormack FX, Young LR, et al. Sirolimus for angiomyolipoma in tuberous
sclerosis complex or lymphangioleiomyomatosis. N Engl J Med. 2008; 358:140-51.
47. Nickerson JP, Richner B, Santy Ky, et al. Neuroimaging of pediatric intracranial infection-
Part 2: TORCH, Viral, Fungal, and Parasitic Infections. J Neuroimaging. 2012; XX: 1-13.