Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

Tuberous Sclerosis Complex

OLEH :
Dewi Kholifatul Ummah ( 16710355 )
PEMBIMBING :
dr. Laksitarini Sp.S

SMF Ilmu Saraf


Rumah Sakit Umum Daerah Bangil
Jawa Timur
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas limpahan rahmat serta hidayahNya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas laporan kasus dengan judul Tuberous Sclerosis Complex sebagai salah
satu syarat untuk mengikuti ujian dibidang Ilmu Saraf dalam menyelesaikan pendidikan Dokter
Muda di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

Laporan kasus ini dibuat selain sebagai tugas, juga diharapkan dapat membantu teman
sejawat yang ingin mengetahui tentang Tuberous Sclerosis Complex dan juga membantu saya
mempelajari lebih dalam mengenai TSC tersebut.

Selain itu saya juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya
kepada :

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

2. dr. Laksitarini Sp.S, selaku kepala bagian Ilmu Saraf RSUD Bangil dan juga selaku
pembimbing saya untuk laporan kasus ini.

3. Semua pihak yang telah membantu saya dalam menyusun tugas ini, serta seluruh dokter
spesialis saraf beserta staff yang telah memberikan peranan dalam menyelesaikan tugas ini.

Laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan
segala kritik dan saran demi sempurnanya tugas ini. Saya berharap semoga tugas laporan kasus
ini bermanfaat bagi pihak terkait. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Bangil, 11 Mei 2017

Penulis
STASUS PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : Nn. Khusnul Khotimah
No.Medrec : 00315842
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat/Tgl lahir : Pasuruan / 09 Agustus 2001
Umur : 16 Tahun
Status : belum menikah
Agama : Islam
Alamat : sidowaya RT/RW 03/01 oro oro pule kejayan , Pasuruan
Pekerjaan :
Pendidikan : tidak sekolah
Tanggal masuk : 25 April 2017
Tanggal Pemeriksaan : 28 April 2017

2. Anamnesa
a. Keluhan Utama :
Pasien datang dari Poli IPD dengan keluhan muntah (25 April 2017)

b. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang pada tanggal 25 April 2017 dari poli IPD dengan keluhan
muntah setelah makan, terasa mual, nyeri pada ulu hati dan demam. Pasien
merupakan pasien rutin poli saraf dengan diagnosa Epilepsi. Dan Pada tanggal 26
April 2017 pasien dikonsulkan ke Bagian Saraf dengan diagnosa Epilepsi. Pada
tanggal 26 April 2017 pasien tampak lemas, riwayat kejang terakhir bulan
desember 2016. Pasien mulai kejang sejak umur 1 tahun, kejang di kedua kaki
dan kedua tangan. saat berusia 8 tahun muncul benjolan kecil disekitar hidung
dengan ukuran kurang lebih 0,5cm bergerombol dan warnanya lebih gelap dari
warna disekitarnya awalnya benjolan timbul di dekat hidung, yang makin lama
bertambah banyak. Benjolan kadang terasa gatal namun tidak nyeri dan tidak
mudah berdarah. Pasien sudah pernah berobat ke dokter ahli penyakit kulit dan
kelamin dan diberikan obat minum (pasien tidak tahu nama obatnya), namun saat
itu benjolan hanya berkurang sedikit.
Kejang (-) mual (-) mual (+) demam (-) pusing (-) sesak (+)

c. Riwayat Penyakit Dahulu :


- Pasien adalah pasien poli saraf dengan diagnosa Epilepsi, awal kejang sejak
umur 1 tahun dan terakhir kejang Bulan Desember 2016.
- Pasien adalah pasien poli kulit karena benjolan di sekitar hidungnya.

- Riwayat penyakit Hipertensi (-)


- Riwayat penyakit Diabetes Melitus (-)
- Riwayat penyakit Epilepsi (+)

d. Riwayat Penyakit Keluarga :


- Tidak ada keluarga pasien yang sakit seperti ini
- Riwayat penyakit Hipertensi (-)
- Riwayat penyakit Diabetes Melitus (-)
- Riwayat penyakit kolesterol (-)
- Riwayat penyakit Stroke (-)
- Riwayat penyakit Epilepsi (-)

e. Riwayat Pengobatan
Pasien adalah pasien poli saraf dengan diagnosa Epilepsi dan
riwayat minum obat epilepsi.

f. Riwayat Kelahiran
Lahir cukup bulan, berat badan lahir lupa, panjang badan lahir lupa, lahir
spontan pervaginam, saat lahir anak langsung menangis, ibu tidak pernah sakit
dan minum obat-obatan.

g. Riwayat Alergi
- Tidak ada riwayat alergi obat/makanan.

h. Riwayat Psikososial
- Merokok (-)
- Alkohol (-)
- Pasien tidak sekolah

3. Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Kesadaran : Somnolen
GCS : 325
Tensi : 100/60 mmHg
Nadi : 98x/menit
Suhu : 37,6C axilar
RR : 18 x/menit

Kepala :
Bentuk : Bulat
Mata : DBN
Sklera : Ikterus (-/-)
Konjunctiva : Anemis (-/-)
Telinga/Hidung : Dyspneu (-)
Mulut : Sianosis (-)
Tampak ada benjolan kecil berukuran kurang lebih 0,5cm lebih dari satu di sekitar
area hidung dengan warna lebih gelap dan bergerombol.
Leher
Bendungan vena : Tidak didapatkan peningkatan, bruit A.Karotis (-)
Deviasi Trakea :-
Kelenjar getah bening : Tidak teraba/tidak ditemukan pembesaran
Nyeri Telan :-
Thoraks
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Thrill tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : S1, S2 Tunggal reguler
Paru-Paru :
- Inspeksi : Gerak nafas simetris
- Palpasi : Tidak ditemukan deviasi
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi : Vesikuler, Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen
Flat, Soefl, BU + (Normal)
Hepar : Tidak ditemukan pembesaran
Limpa : Tidak ditemukan pembesaran
Ekstremitas
Superior : Akral hangat + +
+ +
Oedem - -
- -
Inferior : Sianosis (-), Atrofi (-)
Status Neurologis
Keadaan umum
Kesadaran
Kwalitatif : Somnolen
Kwantitatif : 325
Pembicaraan
Afasia : motorik :-
sensorik :-
Kepala
Asimetris :-
Muka
Mask :-
Full Moon :-

Pemeriksaan Khusus
1. Rangsangan Selaput Otak
- Kaku kuduk :+
- Kernig :-
- Brudzinski I :-
- Brudzinski II :-
- Brudzinski III :-
- Brudzinski IV :-
2. Saraf Otak

N.II

- Visus : TDE

- Lapang pandang : SDE

- Melihat warna : TDE

N. III, IV, VI

Kanan Kiri

- Kedudukan bola mata : DBN DBN

- Pergerakan bola mata :

- Ke nasal : SDE SDE

- Ke Lateral : SDE SDE

- Ke temporal atas : SDE SDE

- Ke bawah : SDE SDE

- Ke atas : SDE SDE

- Ke temporal bawah : SDE SDE

- Pupil

- Bentuk : Bulat, isokor

- Lebar : 3mm/3mm
- Refleks cahaya : +/+

N. V

- Cabang motorik

- Otot massester : SDE

- Otot temporal : SDE

- Cabang sensorik

- Refleks kornea : DBN

N. VII

- Waktu diam

- Tinggi alis : simetris

- Sudut mata : simetris

- Sudut bibir : simetris

- Waktu gerak

- Mengerutkan dahi : SDE

- Menutup mata : DBN

- Mencucu-bersiul : SDE

- Pengecapan depan lidah : SDE

- Sekresi air mata : SDE

N.IX, N.X

Bagian motorik

- Suara biasa/ parau/ tak bersuara : parau

- Kedudukan arcus pharynx : DBN

- Kedudukan uvula : DBN

- Pergerakan arcus pharynx/ uvula : SDE


- Menelan : SDE

Bagian sensorik (pengecapan belakang lidah)

- Refleks muntah : TDE

- Refleks pallatum molle : TDE

N. XI

- Mengangkat bahu : SDE

- Memalingkan kepala : SDE

N.XII

- Kedudukan lidah : DBN

Ekstremitas
Motorik SDE

Refleks Fisiologis
- BPR : ++/++ - KPR : ++/++
- TPR : ++/++ - APR : ++/++
Refleks Patologis
Babinsky : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Gonda : -/-
Schaffer : -/-
Stransky : -/-
Mendel bechtrew : -/-
Rosolimo : -/-
Hoffman : -/-
Tromner : -/-
Ekstremitas Kanan Kiri
atas
Postur tubuh Baik Baik
Kekuatan otot SDE (M:5) SDE (M:5)
Tonus otot Menurun Menurun
Gerak (-) (-)
involunter
Rigiditas (-) (-)

Ekstremitas
bawah
Postur tubuh Baik Baik
Kekuatan otot SDE (M:5) SDE (M:5)
Atrofi otot Normal Normal
Tonus otot Menurun Menurun
Gerak (-) (-)
involunter

4.
Pemeriksaan Penunjang
a. Lab Lengkap
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Leukosit (WBC) 7,52 3,70-10,1
Hemoglobin (HGB) 12,30 12,0-16,0
Hematokrit (HCT) 35,30 38-47
Trombosit (PLT) 107 155-366
SGOT 23 <31
SGPT 19 <39
BUN 8 7,8-20,23
Kreatinin 0,660 0,6-1,0
Gula Darah acak 84 <200
Natrium (Na) 139,60 135-147
Kalium (K) 4,23 3,5-5
Klorida (Cl) 95,70 95-105
Kalsium Ion 1,131 1,16-1,32

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

b. EKG

Gambar 1. Hasil Elektrokardiografi

c. Photo Thorax
Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Photo Thorax , didapatkan COR membesar dengan
CTR 46%, apex rounded, conus pulmonalis menonjol, aortic knob mengecil,
double contour (-), apulmonalis sedikit melebar. Sedangkan Pulmo tidak tampak
infiltrat/nodul, sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam dan tulang-tulang tampak
baik. Kesimpulan dari bacaan curiga congenital heart disease

d. Foto Klinis
Gambar 3. Foto Klinis Pasien tanggal 28 April 2017

5. Diagnosa
Diagnosa Klinis : akut DOC, hemiparese dextra dan sinistra LMN, riwayat kejang,
akut vomiting, temuan mayor : nodul diwajah, temuan minor : lesi
kulit di bawah hidung.
Diagnosa Topis : genetik, salah satu gen TSC1 atau TSC2 yang mengalami mutasi
DNA petogenik
Diagnosa Etiologi : Tuberous Sklerosis Complex

6. Diagnosa banding : Fahr Disease dan Kalsifikasi Intracerebri OK Infeksi


Kongenital.

7. Penatalaksanaan
1. Infus Asering 20tpm
2. Injeksi OMZ 1x40mg
3. Injeksi Ondansentron 2x4mg
4. Sucraltat Syryp 3xIIcth

8. Follow up:
Tanggal 26 April 2017
S : pasien muntah (+) badannya lemas (+) kejang (-) demam (-)
O : - GCS : 325
- Tensi : 100/80
- Nadi : 80
- RR : 20
- Motorik : SDE
A : Epilepsi
P:- Cek lab SE : (- Na : 134,70 - K : 3,42 - Clorida 95,71- kalsium ion : 1,155)
- Infus RL 14tpm
- Injeksi Pumpicell 40mg 1x1
- Injeksi Ondansentron 3x4mg
- Phenytoin 3x1tab
- Clobazam 2x1tab
- Depakote ER 500mg 2x1tab
- B6 2x1tab

Tanggal 27 April 2017


S : badannya lemas (+) kejang (-) demam (-)
O : - GCS : 325
- Tensi : 100/80
- Nadi : 83
- RR : 22
- Motorik : SDE
A : Epilepsi
P:- Infus RL 14tpm
- Injeksi Pumpicell 40mg 1x1
- Injeksi Ondansentron 3x4mg
- Phenytoin 3x1tab
- Clobazam 2x1tab
- Depakote ER 500mg 2x1tab
- B6 2x1tab

Tanggal 28 April 2017


S : Kejang (-) Muntah (-) Lemas (+) demam (-)
O : - GCS : 326
- Tensi : 130/80
- Motorik :
5 3
2 3
A : Tuberous Sclerosis Complex + Congenital Heart Disease
P:- Terapi Tetap
- Konsul Jantung pro echocardiography

Tanggal 29 April 2017


S : Susah makan dan minum, demam (+) , kejang (-), muntah (-), lemas (+)
O : - GCS : 326
- Tensi : 90/60
- Suhu : 40,1C
- Motorik :
5 3
2 3
A : Tuberous Sclerosis Complex + Congenital Heart Disease
P : - Terapi Tetap
- Pasang NGT
- Skin Test Ceftriaxone (-)

Tanggal 30 April 2017


S : melemah, kejang (-), demam (+), muntah (-), sulit minum (+)
O : - GCS : 326
- Tensi : 100/70
- Suhu : 39,5C
- Motorik :
2 2
2 2
A : Tuberous Sclerosis Complex + Congenital Heart Disease
P : - Infus RL 14tpm
- Injeksi Pumpicell 1x40mg
- Injeksi Ondansentron 3x4mg
- Injeksi Ceftriaxhone 2x1gr
- Injeksi Antrain 3x1gr
- PO PCT 3x1
- PO Impepsa Syrup 3xIIcth
- PO depacote 2x500mg
- PO B6 2x1
- PO Clobazam 2x1
- PO Fenitoin 3x1
- PO Loratadin 1x1
- PO Ambroxol Syrup 3x1

Tanggal 1Mei 2017


S : melemah, cenderung tidur, demam (+)
O : - GCS : 323
- Tensi : 100/70
- Suhu : 39,5C
- Motorik : SDE
A : Tuberous Sclerosis Complex + Congenital Heart Disease
P : - Infus RL 14tpm
- Injeksi Pumpicell 1x40mg
- Injeksi Ondansentron 3x4mg
- Injeksi Ceftriaxhone 2x1gr
- Injeksi Santagesik 3x1gr
- PO PCT 3x1
- PO Impepsa Syrup 3xIIcth
- PO depacote 2x500mg
- PO B6 2x1
- PO Clobazam 2x1
- PO Fenitoin 3x1
- PO Ambroxol Syrup 3x1

Tanggal 2Mei 2017


S : melemah, kesadaran menurun, panas (+) sesak (+) O : - GCS : 212
- Tensi : 100/70
- Suhu : 39,0C
- Motorik : SDE
- Rhonki +/+
A : Tuberous Sclerosis Complex + Epilepsi + Susp Pneumonia Aspirasi
P : - Tx Tetap
- Konsul Paru Cito
- Infus Metronidazole 3x500mg

Tanggal 3Mei 2017


S : melemah, kesadaran menurun, panas (+) sesak (+)
O : - GCS : 113
- Tensi : 121/56
- Suhu : 38,7C
- Motorik : SDE
- Rhonki +/+
A : Tuberous Sclerosis Complex + Epilepsi + Susp Pneumonia Aspirasi
P : - Tx Tetap
- Konsul Paru Cito
- Infus Pamol 3x1fl
- Injeksi Dexamethasone 3x1amp

Tanggal 3Mei 2017 18.30


S : melemah, kesadaran menurun, panas (+) sesak (+)
O : - GCS : 111
A : Tuberous Sclerosis Complex + Epilepsi+ Susp Pneumonia Aspirasi
P : pasien meninggal

BAB I

PENDAHULUAN
Tuberous sclerosis complex (TSC) merupakan sindrom neurokutan autosom dominan
yang bercirikan munculnya tumor jinak kongenital pada beberapa organ. Penyakit ini merupakan
kelainan genetik yang sangat kompleks dengan variasi manifestasi klinis yang tinggi. Beberapa
penderita TSC kadangkala tidak menunjukkan gejala sama sekali dan dapat menjalani kehidupan
sehari-hari tanpa terdiagnosis sebagai penderita TSC.

Tuberous sclerosis complex sendiri disebut demikian karena munculnya suatu bentukan
mirip tuberkel pada otak, mengalami kalsifikasi dan mengeras seiring bertambahnya usia.
Tuberkel ini dapat terlihat dengan pemeriksaan penunjang radiologi.

Pemahaman dan penegakan diagnosis kelainan TSC sangatlah penting. Meskipun angka kejadian
kelainan ini rendah, namun morbiditas dan mortalitas yang mungkin ditimbulkan bisa sangat
berat dan komplikasi yang ditimbulkan bisa berujung kematian. Biasanya pada bayi dan anak-
anak, TSC teridentifikasi sebagai penyebab epilepsi, autisme, dan penyakit jantung. Pada orang-
orang dewasa atau lanjut usia bermanifestasi menjadi gagal ginjal, kelainan pulmoner, kulit dan
kondisi neurologis lainnya.

Variabilitas tampilan klinis dan tingkat keparahan penyakit yang tinggi menyebabkan
penegakan diagnosis menjadi sulit, terutama pada individu muda dengan temuan klinis yang
kurang jelas. Pada tahun 2012 diadakan konferensi internasional TSC untuk menyempurnakan
konsesus panduan penegakan diagnosis sebelumnya pada tahun 1998. Konsesus penegakan
diagnosis ini mengutamakan kriteria genetik dan kriteria klinis baik mayor ataupun minor.
Dengan pembaharuan kriteria penegakan diagnosis diharapkan dapat membantu pemahaman
manifestasi klinis, mekanisme genetik dan molekular kelainan TSC.1,2

Alasan pengambilan kasus adalah kejadian penyakit TSC jarang ditemui. Tujuan
penulisan makalah ini untuk melaporkan dan membahas sebuah kasus TSC pada seorang anak
berusia 16 tahun. Diharapkan pemahaman dan pengetahuan kelainan TSC semakin baik,
terutama dari gejala klinis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI

Tuberous sclerosis complex (TSC) adalah sebuah sindrom neurokutan autosom dominan
yang bercirikan munculnya tumor jinak kongenital pada beberapa organ. Diagnosis biasanya
ditegakkan pada temuan klinis dan radiologis. Temuan trias klasik berupa epilepsi, retardasi
mental dan adenoma sebaseum yang menjadi karakteristik yang khas, namun tidak selalu muncul
pada pemeriksaan klinis, sehingga pemeriksaan radiologis memainkan peran penting dalam
penegakan diagnosis dan pengobatan tuberous sclerosis.3

Penyakit TSC pertama sekali dijelaskan oleh Friedrich von Recklinghausen pada tahun
1862 yang mengidentifikasikan seorang bayi dengan kelainan tumor rhabdomyoma di jantung
dan lesi sklerotik di otak. Kelainankelainan yang ditemukan tersebut belum dapat dipahami
dengan jelas berhubungan dengan kematian bayi. Pada tahun 1880, Desire Bourneville
mendokumentasikan gejala-gejala neurologis seorang bayi dengan kelainan lesi massa yang
keras pada korteks otak seperti kentang yang keras. Selanjutnya kelainan tersebut diberi istilah
tubeorous sclerosis.4

Satu abad kemudian, John Pringle menemukan hubungan antara kelainan neurologis
dengan kelainan pada kulit, dijelaskan kelainan adenoma sebaseum pada pasien retardasi mental.
Perkembangan penelitian lebih lanjut semakin mengetahui penyakit TSC mencakup kelainan
kulit, sistem saraf pusat, jantung, paru-paru, ginjal, tulang dan darah.4

B. ETIOLOGI

Dua lokus genetik yang menjadi penyebab kejadian TSC telah teridentifikasi, yang
pertama pada pita kromosom 9q34 (disebut juga TSC1) dan yang kedua pada pita kromosom
16p13 (disebut juga TSC2). Mutasi pada kedua gen tersebut akan menyebabkan kelainan
neurokutan yang disebut tuberous sclerosis complex.3,4,5

C. EPIDEMIOLOGI

Kejadian tuberous sclerosis kurang terdiagnosis sebelum tahun 1980, insidensinya


diperkirakan antara 1:100.000 sampai 1:200.000.6,7 Penelitian terakhir memperkirakan frekuensi
kejadian TSC sekita 1:6.000 sampai 1:10.000 kelahiran hidup dan pada populasi diperkirakan
sekitar 1:20.000.8,9

Tubero sclerosis terjadi pada kelompok ras dan etnik, serta pada semua jenis kelamin.
Diperkirkan saat ini terdapat 1.500.000 pasien menderita penyakit TSC.4

D. PATOFISIOLOGI

Secara klinis TSC memiliki pola autosomal dominan dengan tingkat mutasi spontan yang
tinggi. Dua lokus genetik yang berbeda bertanggung jawab pada TSC telah teridentifikasi, yang
pertama pada pita kromosom 9q34 (disebut juga TSC1) dan yang kedua pada pita kromosom
16p13 (disebut juga TSC2). Hamartin, produk dari TSC1, teridentifikasi pada tahun 1997
memiliki fungsi sebagai tumor supressor. Walaupun secara fungsi terpisah, hamartin dan tuberin
telah diketahui memiliki suatu daerah yang saling bergulung-gulung yang berinteraksi satu
sama lain.

Hamartin dan tuberin membentuk suatu kompleks yang menghambat kompleks protein
mTOR (mammalian target of rapamycin) melalui protein aktifator GTP-ase Rheb. mTOR
dinamai demikian karena kemampuannya untuk berikatan dengan obat immunosupresan
Rapamycin (Sirolimus, Rapamune) sebelum fungsi sebenarnya ditemukan. Fungsi lain dari
mTOR adalah sebagai tombol kendali utama anabolisme dan katabolisme sel, dan memiliki
fungsi pengaturan yang penting dalam pertumbuhan sel, volume sel, dan sintesis protein. mTOR
juga diregulasi oleh berbagai faktor lain termasuk insulin dan asam amino.

Gen TSC2 ditemukan pada tahun 1993, dan produk proteinnya bernama tuberin. Tuberin
berfungsi sebagai activator dari GTP-ase dan diduga berfungsi sebagai tumor supressor. Kadar
tertinggi tuberin pada manusia ditemukan pada otak, jantung, dan ginjal. Tuberin juga terdapat
pada arteriol ginjal, kulit, dan jantung, juga pada neuron piramidal dan sel Purkinje cerebellum.
Fungsi yang sebenarnya dari tuberin ini, terutama pada neurogenesis, masih belum jelas. Tuber
terbentuk diperkirakan ketika sel progenitor neural yang sudah bermutasi pada matriks germinal
di subependimal meningkatkan sel-sel anak yang akan menghasilkan tuber. Tuber dapat
mengalami degenerasi kistik atau kalsifikasi, atau tampak sebagai bagian menyangat setelah
pemberian kontras pada neuroimaging, namun hal ini tidak secara langsung menghasilkan
transformasi maligna.

Fungsi produk gen TSC, hamartin dan tuberin, telah banyak diketahui beberapa tahun
terakhir. Bersama-sama, mereka membentuk kompleks tumor supressor, yang melalui fungsi
aktivasi GTPase dari tuberin, menyebabkan GTPase kecil disebut Ras homolog enhanced in the
brain (Rheb) menjadi tahap inaktif terikat-GDP. Rheb yang terikat GTP, tahap aktif, merupakan
efektor positif pada mTOR.

Mutasi pada hamartin atau tuberin menyebabkan Rheb menjadi fase aktif, yang
menyebabkan signaling mTOR. mTOR menjadi mediator banyak efek pada pertumbuhan sel
melalui fosforilasi protein ribosom s6 kinase (s6Ks) dan repressor faktor inisiasi sintesis protein
eIF4E, 4EBPs. S6Ks bekerja meningkatkan pertumbuhan sel dan sintesis protein, mengingat
4EBPs bekerja untuk menghambat proses ini. mTOR berinteraksi dengan s6Ks dan 4EBPs
melalui protein penghubung bernama Raptor. Pada saat mTOR teraktivasi melalui mutasi pada
hamartin atau tuberin, hal ini akan menghasilkan lesi hamartomatosa pada otak, ginjal, jantung,
paru-paru, atau organ lain.4,5

D. GAMBARAN KLINIS
Tuberous sclerosis merupakan kelainan phakomatosis terbanyak kedua setelah
neurofibromatosis tipe 1. Kelainan ini memiliki ciri-ciri terbentuknya tumor hamartoma jinak
dan neoplasma grade rendah pada berbagai sistem organ. Gambaran klasik yang berhubungan
dengan TSC adalah trias Vogt: epilepsi, retardasi mental dan adenoma sebaseum wajah. Trias ini
hanya terlihat 30-40% pasien TSC, sekitar setengah pasien TSC memiliki tingkat intelegensi
normal.10

1. Kelainan Dermatologis dan Dental

a. Makula hipomelanotik

Makula hipomelanotik merupakan temuan yang signifikan karena kelainan kulit


ini terdapat pada 90% pasien, terlihat pada saat lahir maupun masa kanakkanak (sebelum
berusia 2 tahun). Makula hipomelanotik disebut juga ash leaf spot. Jumlah lesi yang
banyak merupakan tanda-tanda TSC. Bila ukurannya kecil, diperlukan pemeriksaan
dibawah lampu khusus. Menurut kriteria penegakan diagnosis terbaru, kelainan makula
hipomelanotik memiliki syarat diameter minimal 5mm, dan dibedakan dengan kelainan
kulit berupa lesi Confetti yang biasanya berjumlah banyak dan berukuran kecil (Gambar
1).2,4

Gambar 1. Makula hipomelanotik pada punggung bagian bawah.

b. Facial Angiofibroma atau Adenoma sebaseum dan Forehead Plaque

Facial Angiofibroma terdapat pada 75% pasien TSC, onset biasanya pada umur 2
dan 5 tahun. Kelainan ini hampir dikatakan merupakan tanda patognomonik. Jumlah lesi
pada kebanyakan kasus adalah banyak, pada kasus TSC yang ringan, jumlah facial
angiofibroma sedikit. Facial Angiofibroma multipel dan neoplasia endokrin tipe 1
(MEN1) biasanya terlihat pada sindrom Birt-Hogg-Dube (BHD).2

Lesi ini pertama kali dijelaskan oleh Pringle dengan istilah adenoma sebaseum.
Penamaan ini sebenarnya keliru, sebab lesi ini tidak memiliki kelenjar sebaseum. Lesi ini
merupakan sebuah hamartoma yang disusun oleh jaringan ikat dan elemen vaskuler,
sehingga penamaan yang tepat adalah angiofibroma. Angiofibroma merupakan papula
berwarna merah muda di regio malar wajah (Gambar 2).4

Gamba r 2. Angiofibroma pada regio malar wajah.

Forehead plaque merupakan lesi yang sangat mirip dengan facial angiofibroma
(Gambar 3). Terdapat pada 25% pasien TSC. Biasanya terletak pada kening, bersifat
unilateral. Meskipun demikian bisa juga muncul pada lokasi lain di kulit kepala, sehingga
penamaanya direkomendasikan menjadi fibrous cephalic plaque, untuk meningkatkan
kewaspadaan bila kelaianan ini muncul pada kulit kepala.2

Gambar 3. Fibrous cephalic plaque, A. Pada kening. B Pada kulit kepala

c. Ungual Fibroma

Ungual fibroma merupakan lesi nodular atau seperti daging yang menonjol yang
timbul dari dekat atau dari bawah permukaan kuku (Gambar 4). Kelainan ini biasanya
spesifik untuk TSC, meskipun kadangkala bisa muncul pada orang normal yang
mengalami trauma pada kuku. Fibroma ini bisa saja tidak terlihat, hanya terlihat sebagai
lekukan alur longitudinal pada kuku merupakan temuan yang penting. Ungual fibroma
lebih banyak terlihat pada pasien dewasa daripada anak-anak.1

Gambar 4. Ungual fibroma pada jari-jari tangan

d. Shagreen Patch

Shagreen patch terdapat pada 50% kasus TSC, onsetnya pada dekade pertama. 2
Kelainan kulit ini hampir merupakan tanda spesifik untuk TSC (Gambar 5). Biasanya
terdapat pada punggung bagian bawah atau regio flank, merupakan bercak-bercak kulit
berbentuk ireguler dan sedikit menonjol.1

Gambar 5. Shagreen patch seorang anak laki-laki berusia 16 tahun. Tampak nevus
jaringan ikat (kolagenoma) pada punggung bagian bawah.
http://www.globalskinatlas.com/imagedetail.cfm

e. Lesi kulit Confetti


Lesi kulit confetti merupakan makula hipopigmentasi berukuran 1-3 mm tersebar
meluas sebagai suatu area yang berbintik-bintik di regio tubuh lengan atau kaki (Gambar
6). Frekuensi temuan ini bervariasi sekitas 2-58% pada anakanak. Meskipun temuan ini
tidak banyak, namun masih dianggap berguna dalam penegakan diagnosis. Pada pasien
dewasa temuan kulit ini kurang begitu signifikan, karena timbul kelainan serupa pada
kulit oleh karena paparan sinar matahari.1,2

Gambar 6. Lesi kulit makula confetti multipel pada perut dan tangan pada seorang anak
laki-laki.

f. Dental Enamel Pit

Dental enamel pit merupakan lubang-lubang kecil pada enamel gigi (Gambar 7).
Lubang pada enamel gigi ini lebih sering terlihat pada pasien TSC. Sebuah penelitian
melaporkan terdapat dental enamel pit pada 100% pasien TSC dewasa, sementara itu
terdapat 7% dental enamel pit pada populasi dewasa.11

Gambar 7. Multipel dental enamel pit


g. Intraoral fibroma

Fibroma ginggiva telah lama diketahui memiliki hubungan dengan penyakit TSC.
Kelainan ini muncul sekitar 20-50% pada pasien TSC, terbanyak pada dewasa
dibandingkan anak-anak (Gambar 8).2

Gambar 8. Fibroma intra oral (ginggiva dan labial fibroma)

2. Kelainan Optalmologik

a. Hamartoma Retina Multipel

Temuan hamartoma retina multipel ditentukan sebagai temuan yang signifikan


dan spesifik. Lesi ini hampir mirip dengan temuan tuberkel-tuberkel di jaringan otak.
Terdapat sekitar 30-50% pasien TSC memiliki kelainan ini. Pada populasi normal sangat
jarang ditemui. Hamartoma retina ini tidak mengurangi visus pasien, dan menjadi
penanda penyakit TSC pada anak-anak yang belum menujukkan manifestasi klinis
lainnya (Gambar 9).2
Gambar 9. Hamartoma retina

b. Retinal Achromic patch

Retinal Achromic patch adalah sebuah area hipopigmentasi pada retina (Gambar
10). Bercak ini terdapat sekitar 39% pasien TSC, sementara itu pada populasi normal
insidensinya sekitar 1:20.000.2

Gambar 10. Retinal achromic patch

3. Kelainan Sistem Saraf Pusat

Kelainan neurologis pada pasien TSC merupakan penyebab morbiditasdan mortalitas


paling tinggi. Kelainan neurologis ini termasuk kejang, pertumbuhan terlambat, masalah
perilaku, dan autisme.12,13 Kejang merupakan gejala terbanyak, sekitar 90%, sekitar 50%
mengalami retardasi mental dan kelompok ini memiliki mutasi pada gen TSC2. 14,15 Autisme
ringan sampai sedang sangat lazim dijumpai pada pasien TSC, dijumpai pada 25-50% pasien. 13
Autisme pada TSC memiliki predominansi yang sama pada laki-laki dan perempuan, sementara
pada populasi umum, autisme kebanyakan ditemui pada laki-laki. Penyebab autisme ini belum
diketahui dengan jelas, bisa saja akibat sekunder timbulnya tuberkel pada lobus temporal atau
akibat fokus epiletipform.13

a. Cortical Dysplasia
Terminologi cortical dysplasia digunakan untuk menggantikan istilah cortical
tuber yang selama ini digunakan. Cortical dysplasia merupakan kelainan bawaan yang
terjadi oleh karena kegagalan migrasi sebagian atau sekelompok neuron ke tempat yang
sesuai pada masa perkembangan otak. Cortical dysplasia mencakup kelainan cortical dan
subcortical tuber dan kelainan jalur migrasi radial substansi putih.2

Tampilan klasik sebuah tuber adalah lesi displastik girus yang memiliki struktur
yang keras, terasa berbenjol-benjol, biasanya muncul pada puncak girus. Munculnya
tuber tidak menimbulkan perbesaran girus bersangkutan.1 Tampilan makro tuber
menyerupai kentang, dengan tekstur yang keras, sehingga kelainan ini dikenal dengan
istilah tuberous sclerosis. Secara patologis, tuber merupakan hamartoma epipleptogenik
yang menunjukkan laminasi kortikal yang kacau. Hamartoma tersebut terdiri atas
komponen glial dan neuron seperti astrosit raksasa atipikal, neuron malorientasi, dan sel
raksasa yang aneh.16 Sekitar setengahnya mengalami kalsifikasi, terlihat jelas pada CT
scan dan kadangkadang terlihat pada foto kepala.17

Kelainan substansi putih pada TSC adalah kegagalan migrasi sebagian atau
sekelompok neuron, terlihat sebagai pita-pita radial yang memanjang dari permukaan
ependim ventrikel menuju ke korteks, kadangkala berakhir pada subcortical tuber. Pita-
pita ini terlihat pada 80% pasien TSC menggambarkan komponen heterotropik neuron
dan glial yang berhenti selama migrasi kortikal.4

b. Nodul Subependimal

Nodul subependimal adalah tumor jinak yang berkembang disepanjang dinding


ependim yang berbatasan dengan ventrikel lateral dan ventrikel ketiga. Nodul
subependimal terdapat pada sekitar 80% kasus TSC, biasa terdeteksi sebelum dan
sesudah kelahiran. Pertumbuhan nodul ini termasuk lambat, meskipun demikian dapat
menyebabkan gangguan neurologis termasuk juga hydrocephalus. Nodul subependimal
mengalami kalsifikasi progresif sepanjang waktu. 18 Kalsifikasi pada nodul subependimal
terlihat sebanyak 90% kasus.4

Jumlah nodul subependimal tidak berkorelasi dengan keparahan klinis TSC, tetapi
penderita yang memiliki banyak nodul subependimal memilik kecenderungan kelemahan
kognitif dan sulit untuk mengendalikan kejang-kejang yang dialami.19,20

c. Subependymal Giant Cell Astocytomas (SEGAs)

Merupakan neoplasma tingkat rendah yang muncul di dekat foramen Monro pada
10-15% kasus TSC. Lebih banyak ditemukan pada saat anak-anak atau remaja, jarang
ditemui setelah usia 20 tahun jika sebelumnya belum ada. Subependimal Giant Cell
Astocytoma diduga berasal dari nodul subependimal, terutama yang terletak dekat
foramen Monro.18 berbeda dengan cortical tuber, SEGAs memiliki kemampuan untuk
tumbuh besar dan dapat menimbulkan gejalagejala seperti peningkatan tekanan intra
kranial, defisit neurologis fokal, dan pemburukan kontrol kejang. Tumor ini bersifat
invasif lokal, dengan pembedahan sedini mungkin merupakan tindakan kuratif.1 Bila
terdapat kecurigaan SEGAs, maka dilakukan pemantauan paling tidak sekali setahun
dengan pemeriksaan MRI kepala.4

4. Kelainan Kardiovaskuler

Rhabdomioma Jantung

Rhabdomioma jantung merupakan tumor hamartoma jinak yang paling banyak


ditemukan pada anak-anak. Meskipun dapat timbul sporadis, sekitar 80% anak yang
memiliki rhadomioma jantung memiliki kelainan TSC, dan dua pertiga penderita TSC
memiliki rhabdomioma jantung.1 Kelainan tumor di jantung ini merupakan temuan
spesifik TSC. Tumor rhabomioma ini lebih sering ditemukan di ruang bilik jantung.
Keberadaan tumor ini biasanya tidak menimbulkan masalah medis yang serius, namun
dapat menggangu fungsi pompa ruang bilik jantung, menggangu fungsi katup jantung dan
pada akhirnya mengakibatkan obstruksi outflow jantung.21 Rhabdomioma jantung
biasanya ditemukan berjumlah lebih dari satu buah.1

5. Kelainan Pulmoner

Lymphangioleiomyomatosis (LAM)

Lymphangioleiomyomatosis merupakan proliferasi sel-sel otot polos atipik pada


saluran limfatik paru-paru, khususnya muncul pada wanita (kecenderungan lima kali
lebih banyak daripada pria).1,22 Lymphangioleiomyomatosis merupakan kelainan khas
paru-paru pada TSC, beberapa penderita TSC memiliki kelainan hiperplasia pneumosit
mikronoduler. Pneumotoraks spontan, dispneu, batuk, dan hemoptisis merupakan gejala
pulmoner khusus TSC.1 Mutasi somatik gen TSC2 berperan penting atas timbulnya
kelainan parenkim paru-paru ini.2,4

Pasien yang memiliki kelainan lymphangioleiomyomatosis ditandai dengan


kesulitan bernafas yang progresif (ekspirasi) dan pneumotoraks berulang pada usia
dekade ketiga dan keempat. Penelitian terakhir menunjukkan hasil, dengan peningkatan
usia penderita TSC wanita akan meningkatan keterlibatan paru-paru.2

6. Kelainan Ginjal

a. Angiomiolipoma (AML)
Merupakan tumor hamartoma jinak yang teridiri atas komponen otot polos,
lemak, dan pembuluh darah abnormal.23 Tumor ginjal ini terlihat pada 75% anak-anak
penderita TSC, biasanya multipel dan bilateral. Meskipun demikian, sekitar 80%
penderita AML, tidak menunjukkan tanda-tanda TSC. Mutasi gen TSC2 diketahui
menyebabkan kelainan AML. Tumor ini dipengaruhi oleh hormon estrogen dan
progesteron, jarang ditemui pada usia sebelum pubertas.4

Tumor AML bersifat asimptomatis dan berkembang seiring bertambahnya usia


penderita. Ukuran tumor lebih dari 4 cm meningkatkan resiko terjadinya perdarahan.
Manifestasi TSC pada ginjal merupakan salah satu sumber morbiditas dan mortalitas.
Permasalahan ginjal ini merupakan penyebab kematian kedua terbanyak setelah
disabilitas intelektual berat.2

b. Kista Ginjal Multipel

Kista epitelial ginjal jinak terlihat kurang dari setengah penderita TSC. Kista
ginjal berhubungan dengan mutasi gen TSC 1 dan TSC2 atau sebagai bagian dari mutasi
gen yang berdekatan pada kromosom 16 yang menyebabkan kelainan TSC dan PKD1.
Kista ini berkembang seiring dengan waktu, ukuran yang besar bisa menimbulkan
terjadinya efek massa, menyebabkan gagal ginjal dan hipertensi.4

7. Kelainan Endokrin

Beberapa temuan kelainan endokrin pada penderita TSC adalah munculnya tumor
hamartoma pada organ-organ endokrin.24 Adrenal angiomiolipoma terdapat pada 25% penderita
TSC, namun jarang menimbulkan perdarahan.25 Adenoma papiler tiroid telah dilaporkan pada
penderita TSC, tetapi tidak menimbulkan disfungsi tiroid.26,27 Beberapa kasus yang jarang
dilaporkan terdapat tumor angiolipoma atau fibroadenoma pada kelenjar pituitari, pankreas atau
kelenjar gonad.24

8. Kelainan Saluran Cerna

Manifestasi TSC pada saluran cerna cukup jarang. Sekitar 10-25% penderita TSC
memiliki angiomiolipoma hati.28 Tumor hati angiomiolipoma termasuk temuan penting dalam
penegakan TSC.

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Sampai saat ini penegakan diagnostik TSC berdasarkan kriteria genetik dan klinis.
Konferensi konsensus internasional tuberous sclerosis complex kedua diadakan di kota
Washington, Amerika Serikat pada tanggal 13-14 Juni 2012 telah merumuskan dan
memperbaharui kriteria konsensus sebelumnya (1998). Berbagai ahli dari penjuru dunia telah
bersidang menetapkan kriteria diagnostik, surveilans dan rekomendasi manajemen pasien
penderita TSC. Salah satu perubahan signifikan adalah penggabungan kategori pemeriksaan
genetik. Mutasi patogenik diartikan sebagai mutasi yang menyebabkan berhentinya fungsi
protein TSC1 atau TSC2, mencegah sintesa protein, atau terjadinya mutasi missense yang
berakibat pada fungsi protein.2

Kriteria diagnosis tersebut antara lain: 1. Kriteria diagnosis genetik: a. Diagnosis


definitif: identifikasi jaringan normal yang mengandung salah satu gen TSC1 atau TSC2 yang
mengalami mutasi DNA patogenik., b. Variasi mutasi TSC1 dan TSC2 dengan akibat fungsional
kurang jelas, tidak termasuk kriteria ini, belum cukup untuk dijadikan diagnosis definitif. 2.
Kriteria diagnosis klinis: a. Temuan Mayor: makula hipomelanotik (3, diameter minimal 5mm),
angiofibroma (3) atau fibrous cephalic plaque, ungual fibroma (2), shagreen patch,
hamartoma retina multipel, cortical dysplasia, nodul subependimal, subependymal giant cell
astrocytoma, cardiac rhabdomyoma, lymphangioleiomyomatosis dan angiomiolipoma (2). b.
Temuan Minor: lesi kulit confetti, dental enamel pits, intraoral fibroma, retinal achromic patch,
kista ginjal multipel dan non renal hamartoma. Ketentuan diagnosis defenitif bila terdapat dua
temuan mayor atau satu temuan mayor dengan 2 temuan minor. Kemungkinan diagnosis bila
terdapat satu temuan mayor atau 2 temuan minor.2

F. GAMBARAN RADIOLOGIS

1. Cortical dan Subcortical Tuber

Cortical dan subcortical tuber merupakan tumor hamartoma yang bisa


menyebabkan epilepsi. Tuber tumbuh pada saat embriogenesis. Letak tuberkel di korteks
atau subkorteks dan meluas diatas girus. Pada pemeriksaan CT scan, tuber terlihat
sebagai lesi dengan atenuasi rendah dan biasanya tidak menyangat (Gambar 11).29,30
Sekitar setengahnya mengalami kalsifikasi,29 terlihat dengan baik pada CT scan dan
kadang-kadang terlihat pada foto kepala. Tuber biasanya multipel (95%), dalam kondisi
yang jarang ditemukan tuber yang soliter.31 Pemeriksaan MRI menunjukkan lesi ini
berupa area yang memiliki sinyal rendah pada sekuen T1 dan sinyal tinggi pada sekuen
T2 dan FLAIR (Gambar 12). Bila lesi telah mengalami kalsifikasi, akan menyebabkan
timbulnya artefak blooming dan kehihilangan sinyal yang signifikan.29,30
Gambar 11. Seorang anak dengan tuber korteks dan subkorteks. CT scan tanpa kontras
(a) dan imejing MR FLAIR axial (b) menunjukkan tuber subkorteks berukuran besar di
lobus frontal kiri (panah besar). Tuber berukuran kecil multipel juga terlihat pada CT
scan. Hamartoma berukuran kecil juga terlihat di substansi putih posterior kiri (panah
putih b) memiliki gambaran kistik yaitu intensitas sinyal rendah di sentral, dan tepi
perifer terlihat peningkatan sinyal FLAIR. Pada anak lain, tampak mineralisasi difus di
hamartoma lobus frontalis kiri dengan batas tak tegas, terlihat atenuasi berkabut pada CT
scan (c), MRI terlihat hilangnya sinyal sekuen T2-W (d).4

Gambar 12. Seorang anak perrempuan berusia 4 tahun dengan TSC. A imejing T1
menunjukkan hipointensitas (panah hitam) dan B imejing T2 menunjukkan
hiperintensitas sinya (panah putih) di substansi putih subkorteks lobus frontalis kiri dan
lobus parietal kanan. Diferensiasi substansi putih dan abu-abu sebagian mengabur.32

2. Nodul subependimal

Nodul subependimal ditemukan pada dinding ventrikel lateral dan di sepanjang


permukaan ventrikel terutama di lekukan caudo thalamic regio foramen Monro.32 Lesi
terlihat isointens terhadap substansi abu-abu pada pemeriksaan MRI. Nodul yang
mengalami kalsifikasi pada 90% kasus akan menyebabkan artefak blooming pada MRI,
hal ini berbeda dengan pemeriksaan CT scan. Untuk mendiagnosis TSC dengan gejala-
gejala yang tidak tampak, pemeriksaan CT scan sangat berguna. 4 Kalsifikasi nodul
subependimal merupakan karakteristik TSC terlihat sangat baik dengan pemeriksaan CT
scan. Nodul subependimal muncul dari sekitar dinding ventrikel, menonjol ke lumen
ventrikel (Gambar 13 dan 14).1

Gambar 13. Imejing CT scan seorang anak dengan TSC, terlihat kalsifikasi nodul
subependimal, kalsifikasi lesi parenkimal berukuran besar.1

Gambar 14. Nodul subependimal. A. Imejing MR menunjukkan lesi sebagai titik putih
pada permukaan subependim dinding ventrikel. Adanya kalsifikasi menyebabkan adanya
sinyal yang hilang. B. Pada pasien lainnya, kalsifikasi pada nodul subependimal terlihat
baik pada pemeriksaan CT scan, lesi dengan atenuasi tinggi di sepanjang permukaan
ventrikel.4
3. Subependymal Astocytoma Giant Cell

Tumor astrositoma ini terlihat sekitar 6-14% individu penderita TSC, berkembang
terutama pada masa kanak-kanak. Lokasi tumor ini tumbuh di sekitar foramen Monro.
Ukuran yang membesar dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Disfungsi
neurologis akut dan subakut berasal dari obstruksi tibatiba sistem ventrikuler maupun
oleh karena perdarahan yang berasal dari tumor. Gambaran tumor ini mirip dengan
tampilan nodul subependimal. Pada pemeriksaan kontras, hampir semua menyangat,
sehingga untuk kepentingan praktis, diagnosis tumor ini didasarkan atas ukuran lebih
besar dari 10 cm, pertumbuhan yang terlihat, dan menyebabkan gejala-gejala
hydrochepalus (Gambar 15).1,4

Gambar 15. Imejing MRI dengan kontras gadolinium. A.Sekuen T1 menunjukkan


subependymal giant cell astrocytoma yang menyangat menonjol ke ujung depan ventrikel
lateralis kiri. B. Imejing lain pasien dengan TSC menunjukkan tumor berukuran besar
yang mengisi hampir seluruh ventrikel lateralis kanan.1

4. Garis-garis Migrasi Radial

Gambaran garis migrasi radial dipercaya mewakili sel glia dan neuron
heterotropik disepanjang jalur migrasi kortikal.33 Lokasi utama garis migrasi radial ini
terletak di substansi putih subkortikal, dan kadang-kadang berhubungan dengan tuber
(Gambar 16).32
Gambar 16. Imejing MRI kepala seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. Sekuen FLAIR
tampilan axial menunjukkan tuber kortikal dan subkortikal (panah hitam) dan gari
migrasi radial (panah putih).32

5. Microcephaly

Penderita TSC diketahui memiliki volume substansi putih dan abu-abu cerebri yang lebih
kecil dibandingkan orang-orang normal. Hasil statistik mikroenchepaly yang signifikan
ditemui pada pasien TSC dengan atau tanpa riwayat epilepsi (Gambar 17).32

Gambar 17. Seorang anak perempuan berusia 6 tahun penderita TSC. A dan B
rekonstruksi 3 dimensi MRI menunjukkan total volume otak 994 cm3 (A) dibandingkan
dengan pasien yang tidak menderita TSC sebesar 1290 cm3.32

6. Rhabdomioma Jantung

Rhabdomyoma jantung merupakan tumor jantung terbanyak pada anakanak.


Rhabdomioma dapat ditampilkan melalui pemeriksaan imejing pranatal pada saat usia
kehamilan 22-28 minggu. Dapat terlihat intramural, namun paling sering intraluminal
sebagai massa menonjol ke dalam ruang ventrikel (Gambar 18). Melalui pemeriksaan
sonografi terlihat sebagai massa ekogenik, pada pemeriksaan MRI sekuen T1 terlihat
sebagai massa isointens terhadap otot jantung dan hiperintens pada sekuen T2 (Gambar
19).4

Gambar 18. Pemeriksaan echocardiografi menunjukkan rhabdomioma jantung (panah).2

Gambar 19. Rhabdomioma jantung pada usia kehamilan trimester kedua dan setelah lahir.
A. Imejing MR T2 tampilan axial menunjukkan massa jantung dengan beberapa sinyal
yang tinggi (panah) pada janin dengan riwayat keluarga TSC. B Imejing MR post natal
(tampilan 4 ruangan) menunjukkan lesi yang sama (panah). C. Pemeriksaan CT scan
dengan kontras menunjukkan massa jantung yang mengandung jaringan lemak di
ventrikel kiri, diduga AML jantung.4

7. Lymphangioleiomyomatosis (LAM)

Merupakan proliferasi sel-sel otot polos atipik pada saluran limfatik paruparu,
khususnya muncul pada wanita (kecenderungan lima kali lebih banyak daripada pria). 1,22
Lymphangioleiomyomatosis merupakan kelainan khas paru-paru pada TSC, beberapa
penderita TSC memiliki kelainan hiperplasia pneumosit mikronoduler (Gambar 20).
Penegakan kriteria LAM didasarkan atas konsensu pulmonologis: 1. Pemeriksaan
patologi anatomi sejalan dengan LAM; 2. Pemeriksaan CT scan resolusi tinggi sesuai
dengan gambaran LAM dengan kista yang berlimpah (4) tanpa adanya komorbid
pembaur lain pada pasien TSC dengan minimal satu kriteria mayor atau dua kriteria
minor; 3. Pemeriksaan CT scan resolusi tinggi sesuai dengan gambaran LAM dengan
tambahan kriteria salah satu lymphangioleiomyoma abdomen dan toraks, efusi pleura
kilous, dan asites kilous.34

Gambar 20. Lymphangioleiomyomatosis. A. Foto toraks menujukkan volume paru yang


besar, opasitas retikular berbatas halus difus di kedua paru. Hiperekspansi paru pada
penyakit paru intertisiel merupakan hal jarang, dan patut diduga adanya kelainan LAM.
B. CT scan resolusi tinggi pada wanita penderita TSC. Kista berdinding tipis banyak
ditemui (panah hitam) di seluruh paru. Tampak juga hiperplasia pneumosit mikronoduler
dan pertumbuhan berlebih hamartomatosa tipe 2 pneumosit, dan nodul berukuran 2-5 mm
(panah putih) juga ditemui.4

8. Angiomiolipoma Ginjal

Temuan angiolipoma merupakan kriteria mayor (jumlah 2). Angiolipoma


merupakan temuan relatif spesifik untuk TSC. Imejing khas angimiolipoma berupa massa
fokal, berbatas tegas, mengandung lemak. Biasa terlihat di korteks, dan multipel.
Komponen lemak yang terdapat pada tumor ini menyebabkan tampilan pada sonografi
terlihat sebagai massa ekogenik, terdapat banyak bayangan dibanding RCC lebih. Pola
infiltrasi juga dapat terlihat pada tumor AML, sifat atenuasinya dan sinyal yang
ditampilkan bergantung pada jumlah komponen lemak, jaringan ikat, dan pembuluh
darah (Gambar 21). Tumor AML yang mengandung sedikit komponen lemak sulit
dibedakan dengan RCC. Pemeriksaan dengan menggunakan bahan kontras dapat
membantu membedakannya. Penyangatan homogen dan berlangsung lama merupakan
ciri khas tumor AML.35
Gambar 21. Imejing CT scan abdomen menunjukkan tumor angiolipoma ginjal bilateral.
Tampak area merupakan angiolipoma yang mengandung komponen jaringan lemak.2

9. Kista Ginjal

Pada pemeriksaan sonografi, terlihat sebagai massa anekoik dengan batas tajam,
dinding tipis, dan terdapat peningkatan trasmisi sinyal sonografi. Pemeriksaan CT scan
dan MRI terlihat massa bulat berbatas tegas, dengan pemberian kontras tidak
menunjukkan penyangatan (Gambar 22).35

Gambar 22. Kista ginjal pada penderita TSC. A. CT scan tampilan axial menunjukkan
kista beratenuasi cairan berjumlah banyak pada ginjal kiri, tampak adanya kalsifikasi
pada tepi kista terbesar. B. Tampilan koronal imejing MR T2 menunjukkan kista ginjal
berjumlah banyak menyebabkan pembesaran ukuran ginjal.4
G. DIAGNOSIS BANDING

Fahr's Disease (FD)

Fahr's disease atau sindrom Fahr merupakan suatu kelainan neurologis yang
jarang, ditandai dengan penumpukan kalsifikasi abnormal di ganglia basalis dan korteks
cerebri. Deposit kalsium teridiri atas kalsium karbonat dan kalsium posfat dengan lokasi
yang paling sering di ganglia basalis, thalamus, hippocampus, korteks cerebri, substansi
putih subkortikal cerebellum dan nukelus dentata. Prevalensi FD sekitar <1:1.000.000
dengan onset sekitar dekade ketiga sampai keempat. Kelainan ini pertama sekali
dijelaskan oleh ahli saraf Jerman bernama Karl Theodor Fahr pada tahun 1930.
Kebanyakan penderita menunjukkan gejala-gejala ekstra piramidal.

Penyebaran FD secara umum melalui penurunan sifat autosom dominan, namun


dapat juga diteruskan melalui sifat-sifat autosom resesif yang terjadi secara sporadis.
Sebuah lokus pada kromosom 14q (IBGC1) dipercaya terlibat atas terjadinya FD.36

Penyakit Fahr atau disebut juga kalsifikasi striato-pallido-dentata merupakan


entitas yang berhubungan dengan familial atau kemunculan sporadis, dua pertiga
penderita menunukkan gejala yang khas. Tampilan klinis berupa gangguan gerakan,
demensia, kejang epileptik, berbagai derajat kelemahan neuropsikologikal dan gangguan
perilaku.37

Kriteria diagnosis FD: 1. Kalsifikasi bilateral di ganglia basalis yang terlihat


melalui pemeriksaan neuroimejing. Lokasi otak lainnya juga terdapat kalsifikasi; 2.
Disfungsi neurologis progresif, termasuk kelainan gerakan dengan manifestasi
neuropsikiatrik. Onset dekade keempat dan kelima; 3. Tidak terdapat kelainan biokimia
atau kelaian mitokondria atau kelainan metabolik dan penyakit sistemik lainnya; 4. Tidak
terdapat penyakit infeksi, keracunan, dan akibat trauma; 5. Riwayat kelainan autosom
dominan yang diwariskan pada keluarga.38

Pemeriksaan radiologis sangat berperan penting dalam penegakan diagnosis FD.


Gambaran FD pada pemeriksaan CT scan adalah temuan kalsifikasi cerebri (Gambar 23).
Area yang paling sering terlibat antara lain nukleus lentikular, terutama globus pallidus
interna, girus cereberal, batang otak, centrum semiovale, dan substansi putih subkortikal.
kalsifikasi di putamen, thalamus, nukleus kaudatus dan nukleus dentata juga sering
ditemui. Biasanya kalsifikasi ini dimulai dari regio di luar ganglia basalis. Bila diamati,
kalsifikasi bersifat progresif dan bertahap. Temuan ini sejalan dengan pemeriksaan MRI,
tampak area dengan intesitas sinyal rendah pada sekuen T2, dan intensitas sinyal tinggi
pada sekuen T1. Lesi di regio cerebelar tampak heterogen. Bila terdapat proses gliosis
reaktif atau degenerasi jaringan dengan area berkalsifikasi, maka akan tampak intesitas
sinyal tinggi pada sekuen T1 dan T2. Bila terlihat pada foto kepala, maka akan tampak
sebagai gugusan kalsifikasi pungtata simetris di atas sella tursika dan di lateral garis
tengah, sedangkan kalsifikasi pada regio subkortikal dan cerebelar akan terlihat
bergelombang.39

Gambar 23. Fahr's disease. A. Imejing CT scan axial (ketebalan 10 mm) menunjukkan
area deposit kalsium dengan atenuasi tinggi di kedua ganglia basalis (panah) dan di
substansi putih lobus frontal dan lobus occipital.39 B. Kalsifikasi di ganglia basalis pada
penderita Fahr's disease. http://atlas.mudr.org/Case-images-Fahr%27s-disease-morbus-
Fahr-1158

Kalsifikasi Intracerebri Oleh Karena Infeksi Kongenital Temuan

Kalsifikasi nodul subependimal multipel yang menggangu ventrikel lateralis atau


kalsifikasi nodul subependimal yang berhubungan dengan lesi berupa massa (giant cell
astrocytoma subependimal) di foramen monro, diagnosis TSC hampir pasti tegak.
Penyebab terbanyak kalsifikasi otak pada pasien berusia dibawah satu tahun adalah
infeksi toksoplasma dan cytomegalovirus, namun lebih jarang menggangu ventrikel
lateralis, kelainan ini memiliki hubungan yang lebih kuat dengan kejadian atrofi cerebri
dan microenchepaly. Toksoplamosis yang berhubungan dengan microcephaly, katarak,
atau chorioretinitis bisa dijadikan diagnosis. Rubella dan encephalitis paska herpes
simpleks juga menyebakan terjadinya kalsifikasi.40

Kalsifikasi intracerebri sering dijumpai pada penderita infeksi kongenital, tetapi


penampilannya tidak khas, karena proses kalsifikasi yang terjadi mirip dengan
penampilan trauma otak kronik. Kalsifikasi di ganglia basalis dan di korteks cerebri
kahas untuk infeksi sindrom TORCH (toxoplasmosis, rubella, CMV, dan HSV). Infeksi
CMV dan toxoplasmosis menyebabkan kalsifikasi di periventrikuler dan kalsifikasi di
subependimal (Gambar 24). Akan tetapi, kalsifikasi yang taerjadi pada penderita
toxoplasmosis bisa hilang setelah pengobatan. Infeksi kongenital HIV berhubungan
dengan kalsifikasi periventrikuler frontal dan kalsifikasi susbtansi putih dan cerebelar.
Infeksi kongenital HSV-2 berhubungan dengan kalsifikasi di tahalamus, periventirkuler,
kortikal atau kalsifikasi girus yang luas.41

Gambar 24. Imejing Axial CT scan. Kalsifikasi di ganglia basalis dan korteks cerebri post
infeksi toxoplasma.

Ada banyak agen infeksius yang dapat berpengaruh pada sistem saraf pusat janin.
Kelompok terbanyak agen infesius ini dikenal dengan nama TORCH, terdiri dari
toksoplasmosis, rubella, cytomegalovirus (CMV) dan herpes simplex virus (HSV).
Infeksi HSV kongenital menunjukkan destruksi otak yang luas, enchepalomalacia
multikistik dan kalsifikasi yang tersebar luas. 42 Toksoplasmosis kongenital biasanya
berhubungan dengan hidrocephalus dan kalsifikasi nodular acak di periventrikuler,
ganglia basalis, dan area korteks cerebri. Infeksi rubella kongenital berhubungan dengan
meningitis, ventrikulitis dan berlanjut dengan ventikulomegaly. Klasifikasi biasanya
terdapat di periventrikuler, substansi putih, ganglia basalis dan bantang otak. 43 Infeksi
CMV merupakan infeksi kongenital terbanyak, berhubungan dengan terjadinya
microcephaly, chorioretinitis, dan kalsifikasi intrakranial. Kalsifikasi biasanya terlihat di
periventikuler dan lokasi subependimal (Gambar 25).42
Gambar 25. Imejing Axial CT scan non kontras. A. tampak kalsifikasi luas di thalamus
bilateral dan peribentikuler dengan dilatasi asimetri ventrikuler pada penderita
toksoplasmosis kongenital. B Kalsifikasi luas di perientrikuler dan subependimal dengan
hidrocephalus yang nyata pda penderita infeksi CMV.

H. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan individu yang menderita TSC sama seperti individu yang
menderita kondisi penyakit multi sistem kronik, yaitu menjaga kemungkinan kualitas hidup
terbaik dengan sedikit komplikasi, sedikit efek samping pengobatan dan sebisa mungkin
pemberian obat sedikit mungkin. Manajemen klinis paling penting adalah mengendalikan kejang,
perdarahan dan rasa nyeri yang timbul dari angiolipoma, dan insufisiensi pernafasan akibat
LAM. Penanganan kejang dengan memberikan onat-obatan anti epilepsi. Pada beberapa kasus
dilakukan reseksi kortikal. Penanganan angiolipoma dengan embolektomi bila ukuran tumor
melebihi 3-4 cm. Pengobatan tahap akhir LAM adalah tranplantasi paru-paru. Belum ada
pengobatan sistemik khusus untuk TSC.44 Beberapa pilihan terapetik untuk penderita TSC
berkisar pada manajemen gejala yang timbul. Vigabatrin merupakan inhibitor ireversibel GABA
telah digunakan untuk menghentikan spasme masa kanak-kanak lebih dari 90% penderita TSC. 10
Rapamycin merupakan imunosupresan yang dihasilkan dari bakteri berfungsi untuk menghambat
jalur mTOR dan telah digunakan untuk menekan pertumbuhan SEGA.45,46 Pengobatan
lymphangioleiomyomatosis menggunakan terapi antiestrogen seperti oophorectomi,
progesterone dan tamoxifen. Ahli radiologi sebaiknya familiar dengan pengobatan ini, karena
akan terjadi perubahan tampilan imejing para penderita yang telah diberi agen terapetik.47
BAB III
PEMBAHASAN
Tuberous Sclerosis yang juga dikenal sebagai tuberous sclerosis complex adalah kondisi
medis yang ditandai dengan munculnya tumor jinak pada tubuh. Kondisi ini bersifat herediter
dan disebabkan oleh mutasi genetik. Gejala spesifik akan tergantung di bagian tubuh mana tumor
tersebut muncul; beberapa lokasi yang sering menunjukkan manifestasi antara lain otak, jantung,
ginjal, paru-paru dan kulit. Kejang yang tidak bisa dikendalikan dan masalah perilaku merupakan
akibat yang timbul dari kelainan yang ada di otak. Gangguan pernafasan lebih sering pada pasien
wanita dewasa. Gangguan kerja ginjal diakibatkan adanya tumor dan jaringan abnormal yang
menggantikan struktur ginjal normal, seiring dengan bertambahnya usia gangguan ginjal
semakin berat. Tumor jinak yang muncul di ruang bilik jantung sangat khas sebagai penanda
kelainan TSC, biasanya muncul pada usia neonatus sampai kanak-kanak. Seiring bertambahnya
usia, ukuran tumor jinak jantung ini kan berkurang dan pada beberapa kasus akan hilang.

Secara teoritis kelainan ini diturunkan dari orang tuanya. Meskipun demikian terdapat
banyak kasus TSC tanpa adanya riwayat keluarga yang sama. Hal ini disebabkan munculnya
mutasi spontan pada gen TSC1 dan TSC2. Sebanyak dua pertiga atau tiga perempat kasus timbul
dari mutasi spontan.1 Berdasarkan anamnesis orang tua pasien, tidak didapatkan kelainan serupa
pada keluarga baik dari garis keturunan bapak maupun ibu. Pada kasus ini kemungkinan terbesar
kelainan akibat mutasi spontan. Keluhan utama pasien ini adalah kejang yang tidak teratasi.
Kejang yang dialami pasien sejak berusia 1tahun. Menurut literatur, kejang merupakan tanda
awal yang terlihat sebagai manifestasi kelainan TSC. Trias Vogt berupa epilepsi, retardasi mental
atau intelegensia yang rendah (idiot), dan bercak-bercak adenoma sebaseum sangat dekat dengan
kelainan TSC. Pada pasien ini gejala kejang, retardasi mental terlihat jelas dan terlihat adenoma
sebaseum. Penegakan diagnosis kelainan TSC didasarkan atas temuan genetik dan klinis.

Pasien datang pada tanggal 25 April 2017 dari poli IPD dengan keluhan muntah setelah
makan, terasa mual, nyeri pada ulu hati dan demam. Pasien merupakan pasien rutin poli saraf
dengan diagnosa Epilepsi. Dan Pada tanggal 26 April 2017 pasien dikonsulkan ke Bagian Saraf
dengan diagnosa Epilepsi. Pada tanggal 26 April 2017 pasien tampak lemas, riwayat kejang
terakhir bulan desember 2016. Pasien mulai kejang sejak umur 1 tahun, kejang di kedua kaki dan
kedua tangan. saat berusia 8 tahun muncul benjolan kecil disekitar hidung dengan ukuran kurang
lebih 0,5cm bergerombol dan warnanya lebih gelap dari warna disekitarnya awalnya benjolan
timbul di dekat hidung, yang makin lama bertambah banyak. Benjolan kadang terasa gatal
namun tidak nyeri dan tidak mudah berdarah. Pasien sudah pernah berobat ke dokter ahli
penyakit kulit dan kelamin dan diberikan obat minum (pasien tidak tahu nama obatnya), namun
saat itu benjolan hanya berkurang sedikit.
Kejang (-) mual (-) mual (+) demam (-) pusing (-) sesak (+)
Pasien di berikan Infus RL yang bermanfaat untuk Mengembalikan keseimbangan
elektrolit pada dehidrasi. Diberikan injeksi pumpicell untuk Mengurangi jumlah asam yang
diproduksi di perut. Injeksi Ondansentron digunakan untuk mencegah dan mengobati mual dan
muntah. Therapi per oral Phenytoin digunakan untuk mencegah dan mengontrol kejang (juga
disebut antikonvulsan atau obat antiepilepsi) dia bekerja dengan mengurangi penyebaran
aktivitas kejang di otak. Therapi per oral Clobazam digunakan untuk mengatasi gangguan
kecemasan yang parah serta sebagai terapi tambahan untuk menangani epilepsi. Therapi
Depakote ER 500mg untuk mencegah kemunculan kejang dia bekerja dengan cara menghambat
neurotransmiter di otak. Neurotransmiter ialah partikel kimiawi yang menjadi perantara
komunikasi antar sel-sel saraf. Depakote akan menghambat neurotransmiter yang dapat memicu
timbulnya kejang. Sehingga di harapkan obat-obatan dapat bekerja menghambat kejang yang
akan terjadi sebagai gejala dari TSC.

DAFTAR PUSTAKA
1. Roach E, Sparagana S. Diagnosis of Tuberous Sclerosis Complex. J Child Neurol. 2004;
19:643-9.
2. Northrup H, Krueger DA. Tuberous Sclerosis Complex Diagnostic Criteria Update:
Recommendations of the 2012 International Tuberous Sclerosis Complex Consensus
Conference. Pediatr Neurol. 2013; 49:243-54.
3. Umeoka S, Koyama T, Miki Y, et al. Pictorial Review of Tuberous Sclerosis in Various
Organs. RSNA Annual Meeting. 2008.
4. Henry J, Baskin Jr. The pathogenesis and imaging of the tuberous sclerosis complex.
Pediatri Radiol. 2008; 38:93652.
5. Peter B, Crino MD, Katherine L, Nathanson MD, Henske EP. The Tuberous Sclerosis
Complex. N Engl J Med. 2006; 355:1345-56.
6. Stevenson A, Fischer O. Frequency of epiloia in Northern Ireland. Br J Prev Soc Med.
1956; 10:134-5.
7. Nevin N, Pearse W. Diagnostic and genetical aspects of tuberous sclerosis. J Med Genet.
1968; 5:273-80.
8. OCallaghan F, Shiell A, Osborne J, Martyn C. Prevalence of tuberous sclerosis estimated
by capture-recapture analysis. Lancet. 1998; 352: 318-19.
9. Sampson J, Scahill S, Stephenson J, Mann L, Connor J. Genetic aspects of tuberous
sclerosis in the west of Scotland. J Med Genet. 1989; 26: 28-31.
10. Maria BL, Deidrick KM, Roach ES, et al. Tuberous sclerosis complex: pathogenesis,
diagnosis, strategies, therapies, and future research directions. J Child Neurol. 2004;
19:632-42.
11. Mlynarczyk G. Enamel pitting: a common symptom of tuberous sclerosis. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol. 1991; 71:63-7.
12. Rosser T, Panigrahy A, McClintock W. The diverse clinical manifestations of tuberous
sclerosis complex: a review. Semin Pediatri Neurol. 2006; 13:27-36
13. Wiznitzer M. Autism and tuberous sclerosis. J Child Neurol. 2004; 19:675-9.
14. Prather P, de Vries PJ. Behavioral and cognitive aspects of tuberous sclerosis complex. J
Child Neurol. 2004; 19:666-74.
15. Maria BL, Deidrick KM, Roach ES et al. Tuberous sclerosis complex: pathogenesis,
diagnosis, strategies, therapies, and future research directions. J Child Neurol. 2004;
19:632-42.
16. Webb DW, Clarke A, Fryer A et al. The cutaneous features of tuberous sclerosis: a
population study. Br J Dermatol. 1996; 135:1-5.
17. Altman NR, Purser RK, Post MJ. Tuberous sclerosis: characteristics at CT and MR
imaging. Radiology. 1988; 167:527-32.
18. Crino P, Mehta R, Vinters H. Pathogenesis of TSC in the brain. In: Kwiatkowsi D,
Whittemore V, Thiele E, eds. Tuberous Sclerosis Complex: Genes, Clinical Features, and
Therapeutics. Weinheim: Wiley- Blackwell; 2010: 285-309.
19. Roach ES, Williams DP, Laster DW: Magnetic resonance imaging in tuberous sclerosis.
Arch Neurol. 1987; 44:301-3.
20. Goodman M, Lamm SH, Engel A, et.al. Cortical tuber count: A biomarker indicating
cerebral severity of tuberous sclerosis complex. J Child Neurol. 1997; 11:85-90.
21. Black M, Kadlez M, Smallhorn J, Freedom R. Cardiac rhabdomyomas and obstructive left
heart disease: histologically but not functionally benign. Ann Thorac Surg. 1998; 65:1388-
90.
22. Hancock E, Osborne J. Lymphangioleiomyomatosis: a review of the literature. Respir Med.
2002; 96:1-6.
23. Wagner BJ, Cheong JJ, Davis CJ. Adult renal hamartomas. Radiographics. 1997; 17:155-
69.
24. OCallaghan F, Osborne J. Endocrine, gastrointestinal, hepatic, and lymphatic
manifestations of tuberous sclerosis complex. In: Kwiatkowski D, Whittemore V, Thiele E,
eds. Tuberous Sclerosis Complex: Genes, Clinical Features, and Therapeutics. Weinheim:
Wiley-Blackwell; 2010: 369-385.
25. Compton W, Lester P, Kyaw M, Madsen J. The abdominal angiographic spectrum of
tuberous sclerosis. AJR Am J Roentgenol. 1976;126:807- 13. 26. Perou M, Gray P.
Mesenchymal hamartomas of the kidney. J Urol. 1960; 83:240-61.
26. Verma B, Tailor M. Familial tuberous sclerosis: a review with report of three cases. Indian
Pediatr. 1965; 2: 401-10.
27. Nakhleh RE. Angiomyolipoma of the liver. Pathol Case Rev. 2009; 14: 47-9.
28. Altman NR, Purser RK, Post MJ. Tuberous sclerosis: characteristics at CT and MR
imaging. Radiology. 1988; 167: 527-32.
29. Nixon JR, Houser OW, Gomez MR, et al. Cerebral tuberous sclerosis: MR imaging.
Radiology. 1989; 170: 869-73.
30. Di Paolo D, Zimmerman RA. Solitary cortical tubers. Am J Neuroradiol 1995; 16:1360-4.
31. Kalantari BN, Salamon N. Neuroimaging of Tuberous Sclerosis: Spectrum of Pathologic
Findings and Frontiers in Imaging. AJR. 2008; 190: 304-9.
32. Griffiths PD, Bolton P, Verity C. White matter abnormalities in tuberous sclerosis complex.
Acta Radiol 1998; 39:482-6.
33. Johnson SR, Cordier JF, Lazor R, et al. European Respiratory Society guidelines for the
diagnosis and management of lymphangioleiomyomatosis. Eur Respir J. 2010; 35:14-26.
34. Casper KA, Donnelly LF, Chen B, et al. Tuberous sclerosis complex: renal imaging
findings. Radiology. 2002; 225:451-6.
35. Saleem S, Aslam HM, Anwar M, et al. Fahrs syndrome: literature review of current
evidence. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2013; 8:156.
36. Modrego PJ, Mojonero J, Serrano M, Fayed N. Fahrs syndrome presenting with pure and
progressive presenile dementia. Neurol Sci. 2005; 26:367-9.
37. Moskowitz MA, Winickoff RN, Heinz ER: Familial calcification of the basal ganglions: a
metabolic and genetic study. N Engl J Med. 1971; 285(2): 72-7.
38. Avrahami E, Cohn DF, Feibel M, Tadmor R: MRI demonstration and CT correlation of the
brain in patients with idiopathic intracerebral calcification. J Neurol. 1994; 241(6): 381-4.
39. GG Gerard G, Weisberg L. Tuberous Sclerosis: CT Findings and Differential Diagnosis.
Computerized Radiol. 1987; 11: 189-92.
40. Anvekar, B. Neuroradiology Cases: Intracranial calcifications. Neuroradiology Unit, SP
Institute of Neurosciences, Solapur, Maharashtra, India. Available at:
http://www.neuroradiologycases.com/2011/10/ intracranial-calcifications.html
41. Sze G, Lee SH. Infectious disease. In: Lee SH. Rao KCVG, Zimmerman RA, eds. Cranial
MRI and CT. 4th ed. New York: Mc Graw-Hill, 1999; 453-517.
42. Hedlung GL, Boyer RS. Neuroimaging of postnatal pediatric central nervous system
infections. Semin Pediatr Neurol. 1999; 4: 299317.
43. Henske EP. Tuberous sclerosis. Elsevier. 2006; 303-306. Available from:
http://www.dfhcc.harvard.edu/membership/profile/member/1515/0.
44. Huang S, Bjornsti MA, Houghton PJ. Rapamycins: mechanism of action and cellular
resistance. Cancer Biol Ther. 2003; 2: 222-32.
45. Franz DN, Leonard J, Tudor C, et al. Rapamycin causes regression of astrocytomas in
tuberous sclerosis complex. Ann Neurol. 2006; 59:4908.
46. Bissler JJ, McCormack FX, Young LR, et al. Sirolimus for angiomyolipoma in tuberous
sclerosis complex or lymphangioleiomyomatosis. N Engl J Med. 2008; 358:140-51.
47. Nickerson JP, Richner B, Santy Ky, et al. Neuroimaging of pediatric intracranial infection-
Part 2: TORCH, Viral, Fungal, and Parasitic Infections. J Neuroimaging. 2012; XX: 1-13.

Anda mungkin juga menyukai