Anda di halaman 1dari 26

1

PENDAHULUAN

Tuberous sklerosis kompleks adalah kelainan genetik multisistem dengan ekspresi
fenotipik bervariasi yang memiliki karakteristik adanya pembentukan tumor jinak non
invasif, yang sangat jarang berkembang menjadi lesi metastatik, pada berbagai organ seperti
otak, paru-paru, kulit, jantung dan ginjal.
1
Hasil dari mutasi pada gen TSC1 di wilayah
kromosom 9q34 atau gen TSC2 di daerah kromosom 16p13, diwariskan dalam pola
autosomal dominan, meskipun sampai dua pertiga kasus merupakan hasil dari mutasi genetik
spontan.
1-4
Manifestasi neurologis utama tuberous sklerosis kompleks adalah kejang, autisme,
keterlambatan perkembangan, termasuk keterbelakangan mental dan perilaku, serta gangguan
kejiwaan.
1,2,3,5

Epilepsi adalah gejala yang paling umum pada tuberous sklerosis kompleks dan juga
merupakan gangguan kesehatan yang paling umum pada tuberous sklerosis kompleks.
Sampai dengan 80 sampai 90% dari individu dengan tuberous sklerosis kompleks akan
mengembangkan epilepsi selama hidup mereka, dengan onset biasanya dalam masa kanak-
kanak.
1,3
Mayoritas anak-anak dengan tuberous sklerosis kompleks memiliki onset kejang
selama tahun pertama kehidupan, dan sampai sepertiga dari anak-anak dengan tuberous
sklerosis kompleks akan mengembangkan spasme infantil.
1,4,6
Epilepsi, terutama dengan
onset selama masa bayi dan spasme infantil dianggap faktor risiko untuk gangguan
neurokognitif dan keterbelakangan mental pada anak-anak dengan tuberous sklerosis
kompleks.
1,7

Studi menunjukkan insiden autisme yang lebih tinggi pada anak-anak dengan
tuberous sklerosis kompleks yang memiliki epilepsi intraktabel awitan dini dan spasme
infantil.
1,6
Bolton et al. menemukan bahwa peningkatan risiko autisme dikaitkan dengan
epilepsi anak, termasuk keberadaan discharge epileptiform lobus temporal pada EEG, usia
yang lebih muda saat onset aktivitas kejang, dan riwayat spasme infantil.
1,7
Evolusi klinis dan
gambaran EEG awal pada anak-anak yang kemudian berkembang menjadi TSK dibahas
dengan penekanan khusus pada variabilitas individu terhadap manifestasi epileptik,
perubahan kulit, dan kecacatan mental. Abnormalitas EEG cenderung masih merupakan
gambaran kasar selama 2 tahun pertama kehidupan, namun pada evolus berikutnya terdapat
perubahan multifokal pada beberapa area yang relatif menggambarkan suatu aktivitas ritmik
yang bertahan lama.
8
2

TINJAUAN PUSTAKA

TUBEROUS SKLEROSIS KOMPLEKS
DEFINISI
Tuberous sklerosis kompleks (TSK) adalah kelainan genetik multisistem dengan
ekspresi fenotipik yang bervariasi, dapat menyebabkan pertumbuhan tumor jinak pada otak
dan organ vital lainnya seperti ginjal, jantung, mata, paru, dan kulit. TSK biasanya mengenai
sistem saraf pusat dan menghasilkan kombinasi gejala termasuk seizure, developmental
delay, masalah perilaku, kelainan kulit, dan penyakit ginjal.
1,2
Nama tuberous sklerosis berasal dari karakteristik tuber atau nodul potato-like di
otak, yang mengkalsifikasi sejalan dengan usia dan mengeras atau sklerotik. Kelainan ini,
dulu dikenal sebagai epiloia atau Bournevilles disease, pertama kali diidentifikasi oleh
ilmuwan Perancis lebih dari 100 tahun yang lalu.
2
EPIDEMIOLOGI
Tuberous sklerosis kompleks merupakan penyakit genetik yang jarang terjadi dengan
angka kejadian sekitar 1 dalam 6800 kelahiran hidup di seluruh dunia. Sebuah studi berbasis
populasi di Inggris melaporkan frekuensi TSC berkisar 1/12.000 sampai 1/14.000 pada anak
berusia di bawah 10 tahun. Penyakit ini mengenai sebanyak 25.000 sampai 40.000 orang di
Amerika Serikat dan sekitar 1 sampai 2 juta orang di seluruh dunia. TSK dapat terjadi pada
semua kelompok ras dan suku, dan pada kedua jenis kelamin.
1,2,5

PATOFISIOLOGI
TSK disebabkan oleh defek atau mutasi, pada dua gen yaitu TSC1 dan TSC2. Hanya
satu dari gen yang harus terkena untuk bisa terjadi TSK. Gen TSC1, ditemukan pada tahun
1997, yaitu gen pada kromosom 9 dan menghasilkan protein yang disebut hamartin. Gen
TSC2, ditemukan pada tahun 1993, adalah gen pada kromosom 16 dan menghasilkan protein
tuberin. Protein ini bekerja dalam kompleks sebagai penekan pertumbuhan dengan
menghambat aktivasi kinase disebut mTOR. Hilangnya regulasi mTOR terjadi pada sel yang
kekurangan baik hamartin atau tuberin, dan ini menyebabkan diferensiasi dan perkembangan
3

abnormal, dan pada pertumbuhan sel yang membesar, seperti terlihat pada lesi otak TSK.
TSK diwariskan dalam pola autosomal dominan, meskipun dua pertiga kasus dihasilkan dari
mutasi genetik spontan.
2

Gambar 1. Interaksi kompleks TSC1-TSC2 dengan jalur seluler multipel
2

GAMBARAN KLINIS
Banyak pasien TSK menunjukkan bukti gangguan pada tahun pertama kehidupannya.
Namun, gambaran klinis dapat samar pada awalnya, dan banyak tanda-tanda dan gejala
membutuhkan beberapa tahun untuk berkembang. Akibatnya, TSC dapat tidak dikenali atau
salah didiagnosis selama bertahun-tahun. TSK memiliki spektrum klinis yang luas, dan
banyak pasien memiliki tanda dan gejala yang minimal tanpa defisit neurologis. Wanita
dikatakan cenderung terdapat gejala yang lebih ringan dibandingkan laki-laki. Semua sistem
organ dapat terkena pada TSK.
1
Gejala klinis yang paling sering muncul adalah kejang pada saat bayi atau awal masa
kanak-kanak, dimana yang paling sering adalah spasme infantil.
3
Kejang parsial dan umum,
atonik (drop attack), dan myoklonik sering pula ditemukan selama masa kanak-kanak.
3

Sebuah studi berbasis populasi memperkirakan sekitar 80% anak-anak dengan TSC
menderita epilepsi.
3
Studi yang sama mengemukakan prevalensi retardasi mental adalah 44%
dimana duapertiga kasus sangat berat dengan IQ<21. Terdapat hubungan yang kuat antara
retardasi mental dengan epilepsi sehingga gangguan belajar sangat jarang dijumpai pada
4

pasien tanpa riwayat kejang. Faktor risiko untuk retardasi mental meliputi onset kejang
sebelum 12 bulan, kontrol epilepsi yang buruk, dan spasme infantil. Masalah perilaku juga
sangat umum dijumpai pada penderita TCS, terutama autism, autistic spectrum disorder dan
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Gangguan tidur juga masalah yang sering
muncul pada anak-anak.
3

Kulit. Seseorang dengan TSK 100% kulitnya akan terkena. Lesi kulit termasuk: makula
hipomelanotik (87%-100%), angiofibroma fasial (47%-90%), shagreen patches (20%-80%),
plak fibrosa fasial, dan fibroma ungual (17%-87%). Di antara kelainan kulit tersebut,
angiofibroma fasial adalah yang terberat. Tak satupun lesi kulit tersebut menimbulkan
masalah medis yang serius.
7




B.
C.
A.
D. Gambar 2. A. makula hypomelanotic dan
poliosis (dalam hal ini, daerah hipopigmentasi
dan poliosis luar biasa besar; lebih khas pada
makula hypomelanotic lesi kanan bawahnya); B.
angiofibroma facial (adenoma sebasea); C.
Ungual fibroma; D. Shagreen patch.
7

5

Tabel 1. Manifestasi kulit TSK
8


Mata. Lesi retina pada TSK adalah hamartoma (elevated mulberry lesions atau plaque-like
lesions) dan achromic patches (mirip dengan lesi kulit hipopigmentasi). Salah satu atau lebih
kelainan ini dapat muncul pada lebih dari 75% individu yang terkena TSK. Meskipun lesi ini
biasanya asimtomatik, hanya sedikit pasien dengan TSK terdapat hamartoma astrositik retinal
yang membesar secara progresif dengan lepasnya retina total yang eksudatif dan glaukoma
neovaskuler.
8

6


Gambar 3. Retina hamartoma dan retina acromic patch
Sistem saraf pusat. Tumor di SSP adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
TSK. Kelainan otak dapat berupa subependymal nodules (SEN), cortical tubers, and
subependymal giant cell astrocytomas (SEGA), dapat dibedakan dengan studi neuroimajing.
SEN terjadi pada 90% kasus dan tuber kortikal atau subkortikal pada 70% kasus. SEGA
dapat membesar, menyebabkan tekanan dan obstruksi dan mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan.
9,10

Displasia kortikal adalah kelainan bawaan yang disebabkan, setidaknya sebagian,
ketika sekelompok neuron gagal untuk bermigrasi ke daerah yang tepat dari otak selama
perkembangan. Tuber kortikal diamati pada 90% pasien TSK dan temuan patologis pada
gangguan tersebut tipe focal displasia kortikal. Migrasi radial grisea alba serebri timbul dari
proses patologis yang sama seperti tuber kortikal dan bentuk lain dari displasia kortikal dan
di TSK bukan hal yang biasa untuk menemukan kelainan migrasi tuber dan grisea alba
secara bersama-sama. Kedua jenis displasia kortikal di TSK umumnya dikaitkan dengan
epilepsi dan kesulitan belajar di TSK. Patologis dan klinis tumpang tindih antara "tuber
kortikal" sebagai gambaran utama dan "garis migrasi radial grisea alba otak"sebagai
gambaran minor di kriteria diagnostik tahun 1998 yang dirasakan tidak lagi mewakili proses
yang terpisah dan diganti dengan fitur utama tunggal dalam klasifikasi baru "Displasia
kortikal." Namun, daerah tunggal fokal kortikal dysplasia atau bahkan dua dapat terdapat
pada individu yang tidak memiliki TSK, dengan demikian, di kriteria diagnostik baru, daerah
multiple kortikal fokal dysplasia dianggap hanya sebagai salah satu fitur utama dan
tambahan gambaran klinis yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa pasti TSK.
9

Nodul Subependymal (SEN) dan subependymal giant cell astrocytoma (SEGA)
mewakili dua gambaran utama yang terpisah. Kedua lesi ini juga termasuk dalam Kriteria
7

Konferensi Konsensus tahun 1998 sebagai gambaran utama. Secara histologi, kedua lesi
mirip dan keduanya relatif spesifik pada TSK. Nodul Subependymal adalah pertumbuhan
jinak yang berkembang di sepanjang garis dinding lapisan ependymal dari ventrikel lateral
dan ventrikel ketiga. Terdapat pada 80% dari pasien TSK dan sering terdeteksi sebelum lahir
atau setelah lahir. Pada TSK insiden SEGA 5-15% dan juga dapat dideteksi prenatal atau saat
lahir, meskipun lebih sering muncul selama masa kanak-kanak atau remaja dan bukan hal
yang biasa untuk seseorang muncul setelah usia 20 tahun jika sebelumnya belum ada. Hal
ini dapat diterima secara luas bahwa SEGA biasanya muncul dari SEN, terutama di dekat
foramen Monro. Meskipun jinak dan biasanya tumbuh lambat, dapat menyebabkan masalah
neurologis serius termasuk hidrosefalus obstruktif. SEN dan SEGA keduanya mengalami
kalsifikasi dari waktu ke waktu. Walaupun karakteristik dari giant cell merupakan campuran
dari turunan sel-sel glia, namun SEGA diklasifikasikan dalam astrositoma. Secara histologis
jinak, meskipun lokasinya diventrikel 4 dan di level foramen Monro seringkali menyebabkan
hidrosefalus.
10

Manifestasi neurologis utama tuberous sklerosis kompleks adalah kejang, autisme,
keterlambatan perkembangan, termasuk keterbelakangan mental dan perilaku dan gangguan
kejiwaan.
10


Gambar 4. Gambaran tuber kortikal dengan MRI
8



Gambar 6. Subependymal Giant Cell Astrocytoma
Epilepsi
Epilepsi adalah gejala yang paling umum pada TSK. Individu dengan TSK sekitar 80
- 90% akan mengembangkan epilepsi selama hidup mereka, dengan onset biasanya dalam
masa kanak-kanak.
1,3
Mayoritas anak-anak dengan TSK memiliki onset kejang selama tahun
pertama kehidupan, dan sampai sepertiga dari anak-anak dengan TSK akan mengembangkan
spasme infantil.
1,4,6

Epilepsi pada TSK diduga berkaitan dengan keberadaan tuber kortikal dan fitur
neuropatologis lainnya, meskipun hubungan ini tidak dipahami dengan baik.
1
Tuber kortikal
terdiri dari neuron displastik dan sel raksasa, serta komponen glial, dan terdapat hipotesis
bahwa aktivitas abnormal pada sel-sel menyebabkan epileptogenesis.
1,7,8
Meskipun
mekanisme molekuler epileptogenesis tidak diketahui, kelainan pada reseptor sub-unit
glutamatergik dan asam -aminobutyric (GABA) telah diidentifikasi dalam sampel tuber
kortikal, dan transportasi glutamatergik abnormal pada astrosit telah diamati pada model tikus
TSK.
1
Beberapa studi telah menandai adanya aktivitas neurofisiologis tuber kortikal pada saat
operasi epilepsi, dengan beberapa penelitian yang menemukan tuber kortikal secara elektrik
Gambar 5. Tuber subependimal
9

diam tetapi yang lain menemukan aktivitas epileptiform sering dikaitkan dengan tuber atau
wilayah sekitar tuber-nya.
1
Penelitian menunjukkan bahwa jumlah tuber kortikal, seperti
yang diidentifikasi oleh MRI, lebih tinggi pada individu dengan TSK dengan penyakit
berat.
1,2
Gangguan Perilaku dan Psikiatri
Individu dengan TSK berada dalam risiko yang signifikan untuk terjadi gangguan
neurodevelopmental dan behavioral. Gangguan behavioral dan psikiatrik yang sering terlihat
adalah bagian dari gangguan spektrum autisme. Ehninger dan Silva (2011) melaporkan
bahwa 20%-60% pasien dengan TSK terdapat gangguan spektrum autisme. Hiperaktivitas
atau ADHD (Attention deficit hyperactivity disorder) dan agresi juga biasanya dijumpai pada
individu dengan TSK. Sistem otak bagian frontal disebutkan paling terganggu berkaitan
neuropatologi TSK yang menimbulkan abnormalitas pada pengaturan dan perilaku
berorientasi tujuan.
2

Zaroff et al. melaporkan bahwa bangkitan awitan dini dan peningkatan jumlah tuber
adalah factor risiko untuk gangguan kognitif, dan penilaian behavioral secara dini dan
intervensi terapetik, termasuk kendali bangkitan, akan meningkatkan keluaran
neurobehavioral yang lebih baik.
1
Ginjal. Penyakit ginjal adalah penyebab kedua terbanyak terjadinya kematian dini (27.5%)
pasien dengan TSK. Sekitar 80% anak dengan TSK terdapat gangguan ginjal yang dapat
diidentifikasi pada rata-rata usia 10.5 tahun. Kelainan ginjal yang dapat terjadi pada TSK:
angiomyolipoma benigna (70%); kista epithelial (20%-30%); oncocytoma (adenomatous
hamartoma benigna) (<1%); angiolipoma maligna (<1%); dan renal cell carcinoma (<3%).
Angiomyolipomas di ginjal dapat menyebabkan masalah serius dengan pendarahan karena
sifat vaskularnya dan dapat menyebabkan kebutuhan untuk dialisis ginjal dan bahkan
transplantasi.
8

10


Jantung. Rhabdomyomas kardiak adalah tumor jinak jantung yang jarang diamati di individu
non - TSC. Lesi ini biasanya tidak menyebabkan masalah medis yang serius, tetapi sangat
spesifik untuk TSC dan sering manifestasi pertama yang tercatat pada penyakit ini, dan oleh
karena itu tetap menjadi gambaran utama . Tumor yang paling sering terletak di ventrikel, di
mana dapat membahayakan fungsi ventrikel dan akhirnya dapat mengganggu fungsi katup
atau mengakibatkan obstruksi outflow. Rhabdomyoma kardiak terdapat pada 47%-67%
individu dengan TSK. Tumor ini disebutkan dapat beregresi sejalan waktu dan bahkan
menghilang.
5

Paru. Lymphangiomyomatosis (LAM) paru yang sering mengenai wanita diperkirakan
terjadi sekitar 30% individu dengan TSK. Rata-rata usia didiagnosis LAM pada TSK adalah
28 tahun dibandingkan LAM yang sporadic pada usia 35 tahun. LAM berkaitan TSK
klinisnya lebih ringan dibandingkan LAM sporadik. Namun, pasien TSK dengan LAM yang
terdapat kista paru, klinisnya lebih berat dibandingkan LAM sporadik.
1

DIAGNOSIS
Gambar 7. AML renal
Gambar 8. High-res CT
menunjukkan gambaran paru dari
pasien TSK dengan LAM. Catatan
beberapa ruang cyst-like pada kedua
paru.
11

Diagnosis TSK didasarkan pada temuan klinis. Mutasi dapat diidentifikasi pada
sekitar 85% dari individu yang memenuhi kriteria diagnostik untuk TSK. Di antara mereka
yang mutasinya dapat diidentifikasi, mutasi pada TSC1 ditemukan sebanyak 31% dan TSC2
69%. Pengujian genetik molekuler untuk kedua gen tersedia secara klinis.
1
Kriteria diagnostik untuk TSK telah direvisi (Roach dan Sparagana 2004). Dengan kriteria:
Kenali individu dengan isolated lymphangioleiomyomatosis (LAM) yang juga
bersamaan memiliki renal angiomyolipoma bukanlah TSK.
Telah mengeliminasi gambaran non spesifik (misal: spasme infantile dan mioklonik,
bangkitan tonik atau atonik) dan dan telah membuat gambaran klinis tertentu lebih
spesifik (misal: fibroma ungula atau periungual nontraumatik; tiga atau lebih macula
hipomelanotik).
Namun kini terdapat kriteria diagnostik terdepan untuk TSK secara temuan klinis dan
radiologis.
Tabel 2. Kriteria diagnostik untuk TSC (Rekomendasi dari the 2012 International Tuberous Sclerosis
Complex Consensus Conference)
6

A. Genetic diagnostic criteria
The identification of either a TSC1 or TSC2 pathogenic mutation in DNA from normal tissue is sufficient to make a
definite diagnosis of tuberous sclerosis complex (TSC). A pathogenic mutation is defined as a mutation that
clearly inactivates the function of the TSC1 or TSC2 proteins (e.g.,out-of-frame indel or nonsense mutation),
prevents protein synthesis (e.g., large genomic deletion), or is a missense mutation whose effect on protein
function has been established by functional assessment (www.lovd.nl/TSC1, www.lovd/TSC2, and Hoogeveen-
Westerveld et al., 2012 and 2013). Other TSC1 or TSC2 variants whose effect on function is less certain do not
meet these criteria, and are not sufficient to make a definite diagnosis of TSC. Note that 10% to 25% of TSC
patients have no mutation identified by conventional genetic testing, and a normal result does not exclude TSC, or
have any effect on the use of clinical diagnostic criteria to diagnose TSC.

B. Clinical diagnostic criteria
Major features
1. Hypomelanotic macules (>3, at least 5-mm diameter)
2. Angiofibromas (>3) or fibrous cephalic plaque
3. Ungual fibromas (>2)
4. Shagreen patch
5. Multiple retinal hamartomas
6. Cortical dysplasias*
7. Subependymal nodules
8. Subependymal giant cell astrocytoma
9. Cardiac rhabdomyoma
10. Lymphangioleiomyomatosis (LAM)


11. Angiomyolipomas (>2)


Minor features
1. Confetti skin lesions
2. Dental enamel pits (>3)
3. Intraoral fibromas (>2)
4. Retinal achromic patch
5. Multiple renal cysts
6. Nonrenal hamartomas
12

Definite diagnosis: Two major features or one major feature with >2 minor features
Possible diagnosis: Either one major feature or >2 minor features
* Includes tubers and cerebral white matter radial migration lines.

A combination of the two major clinical features (LAM and angiomyolipomas) without other features does not
meet criteria for a definite diagnosis.

PENATALAKSANAAN
Evaluasi Setelah Diagnosis Awal
Untuk menentukan luasnya penyakit pada individu didiagnosis dengan TSK, evaluasi
berikut direkomendasikan oleh Clinical Issues Panel di Konsensus Konferensi Tuberous
Sclerosis pada bulan Juli 1998 (revisi Roach & Sparagana [2004]:
Riwayat medis, terutama untuk tanda klinis TSK
Riwayat keluarga, terutama untuk tanda klinis TSK
Pemeriksaan fisik dengan penggunaan lampu Woods (sinar ultraviolet) di ruang yang
gelap dan perhatian khusus untuk temuan dermatologi
CT / MRI cranial
Ultrasonografi ginjal
Pemeriksaan Oftalmologis
Elektrokardiografi dan ekokardiografi jika menunjukkan gejala jantung
Electroencephalography Jika terdapat masalah kejang
Evaluasi neurodevelopmental dan perilaku
CT thoraks untuk wanita dewasa
Konsultasi genetika medis
Pengobatan bangkitan pada TSK mirip dengan epilepsi dari penyebab lain, dan obat
antikonvulsan adalah pilihan utama pengobatan.
2,3,6,10
Adanya peningkatan penggunaan obat
antikonvulsan baru, terutama pada populasi anak, sedang dikembangkan dalam pengobatan
epilepsi karena TSK dan penyebab lainnya.
1,6
Beberapa laporan menunjukkan kemanjuran
obat antikonvulsan tertentu dalam pengobatan jenis bangkitan yang berhubungan dengan
TSK. Topiramate, lamotrigin, oxcarbazepine, dan levetiracetam semuanya telah ditemukan
efektif dan ditoleransi dengan baik pada populasi kecil dari individu dengan TSK dan
epilepsi. Karena kecilnya ukuran studi, belum memungkinkan untuk diidentifikasi obat
antikonvulsan tertentu sebagai "obat pilihan" pada bangkitan yang berhubungan dengan TSK
selain spasme infantil.
1,11

13

Kendali bangkitan yang dini dapat mencegah terjadinya ensefalopati epileptic dan
mengurangi konsekuensi gangguan kognitif dan perilaku. Efikasi berbagai pengobatan untuk
infantile spasme bervariasi antara individu. Review retrospektif terkini menemukan bahwa
vigabatrin dapat mengendalikan spasme infantile pada 73% anak-anak dengan TSK.
Bangkitan pada TSK dapat resisten terhadap politerapi dengan antikonvulsan. Salah satu
mekanisme epilepsi refrakter pada TSK mungkin berhubungan dengan mekanisme seluler
resistensi obat baik karena multidrug resistance transporter MDR1 dan multidrug resistance
terkait protein 1 telah ditunjukkan diekspresikan dalam beberapa tuber kortikal.
1
Pengobatan
alternatif selain obat antikonvulsan harus dipertimbangkan pada pasien dengan TSK ketika
kejang tidak dapat dikontrol secara efektif. Perawatan nonfarmakologis saat ini termasuk
stimulator saraf vagus, diet ketogenik, dan bedah epilepsi resektif
.11
Sejumlah studi kecil telah
melaporkan hasil yang memuaskan dengan operasi epilepsi.
1
Surveilans aktif dengan neuroimaging serial dianjurkan bahkan pada pasien tanpa
gejala, karena SEGA memiliki potensi untuk tumbuh seiring dengan berjalannya waktu.
Reseksi bedah telah menjadi pilihan pengobatan standar untuk gejala SEGA. Morbiditas
pascaoperasi bervariasi dan dapat terjadi pada ~ 50 % pasien. Komplikasi meliputi
peningkatan prevalensi kejang, hidrosefalus, gangguan penglihatan, sakit kepala, stroke,
hemiparesis, dan autism.
Kekambuhan tumor selalu dijumpai apabila tidak dilakukan reseksi total. Dapat
terjadi pertumbuhan tumor yang sangat besar, invasif secara lokal, atau lesi bilateral. Waktu
intervensi bedah untuk SEGA masih kontroversial, beberapa ahli bedah menganjurkan
operasi awal, sementara ahli lain menunggu lesi simptomatik atau pengembangan
hidrosefalus, sehingga dapat memfasilitasi pendekatan transcortical terhadap lesi. Jika operasi
yang dipilih, pembentukan bertahap koridor operasi menggunakan teknik dilatasi balon
adalah contoh dari teknik minimal invasive. Pendekatan ini telah menghasilkan total reseksi
dengan resolusi ventrikel dilatasi dan disrupsi kortikal minimal. Rekomendasi klinis yang
dibuat oleh sebuah diskusi panel para ahli Eropa yang bertemu di Roma, pada bulan Maret
2012, mendukung operasi pada pasien bergejala dan pasien asimtomatik dengan pertumbuhan
tumor yang terdokumentasi. Panel juga merekomendasikan everolimus (Afinitor , Novartis,
East Hanover, NJ, USA) untuk pengobatan orang dewasa dan anak-anak > 3 tahun dengan
SEGA terkait dengan TSK yang memerlukan intervensi terapeutik tetapi tidak setuju untuk
operasi. Kontraindikasi operasi meliputi ketidakmampuan untuk mentolerir anestesi dan
kasus-kasus di mana risiko operasi lebih besar daripada manfaat (reseksi total tidak dapat
14

tercapai atau menimbulkan risiko yang signifikan untuk pasien). Prosedur Endoskopi
berhubungan dengan morbiditas yang lebih rendah , tetapi mereka terbatas pada lesi dengan
diameter < 2 cm. Gamma Knife radiosurgery stereotactic telah digunakan, namun perannya
dalam mengobati SEGA belum jelas karena data efikasi dan keamanan yang belum cukup.
Kemoterapi standard tidak dianjurkan, terkait fakta bahwa data terapeutik sedikit dan risiko
jarak jauh dari kemoterapi, peningkatan malignansi sekunder.
12
Manajemen angiomyolipomas yang tepat ditentukan oleh ukuran dan gejala lesi.
Hubungan antara ukuran angiomyolipoma (> 4 cm), ukuran aneurisma (> 5 mm), dan risiko
perdarahan telah dicatat. Embolisasi lebih disukai dalam kasus perdarahan baru atau aktif,
atau ketika dijumpai aneurismayang besar atau beberapa aneurisma. Embolisasi mungkin
memerlukan beberapa prosedur dari waktu ke waktu dan berhubungan dengan pengurangan
yang tidak terlalu signifikan dari ukuran tumor. komplikasi embolisasi termasuk kondisi yang
disebut sindrom postembolisasi, yang ditandai dengan nyeri, demam, dan malaise yang
dihasilkan akibat adanya jaringan nekrotik di retroperitoneum. Hal ini dapat dicegah dengan
penggunaan steroid profilaksis.
11

Saat ini, pengobatan untuk lesi kulit seperti angiofibroma wajah termasuk dermabrasi,
cryosurgery, kuretase, chemical peeling, electrodesiccation, eksisi, dan terapi laser. Namun,
terapi ulangan seringkali dibutuhkan karena lesi dapat muncul kembali.
Bronkodilator digunakan untuk membantu mengendalikan gejala pada pasien dengan
obstruksi aliran udara reversible akibat LAM paru. Pendekatan pengobatan lainnya termasuk
dukungan oksigen dan pengobatan dengan antagonis estrogen. Namun, pilihan pengobatan
yang efektif untuk kondisi ini masih kurang.
12


Tabel 3. Penatalaksanaan umum SEGA, angiomyolipoma, lesi kulit dan LAM

15

Peran penting dari jalur mTOR dalam etiologi TSK dan kondisi terkait memberikan
alasan yang kuat untuk penggunaan inhibisi mTOR sebagai terapi yang ditargetkan. Inhibitor
dari jalur mTOR , seperti rapamycin, memiliki sifat imunosupresif dan tindakan. Mereka
bertanggung jawab untuk normalisasi fungsi jalur ini dalam sel yang kekurangan TSK1 atau
TSK2.
Everolimus merupakan turunan rapamycin yang menghambat jalur mTOR dengan
bertindak pada mTORC1. Everolimus mengikat FKBP-12, membentuk kompleks dengan
penghambatan mTORC1, sehingga menghambat aktivitas kinase mTOR dan jalur di
bawahnya. Everolimus mengurangi fosforilasi efektor hilir mTOR, seperti translasi represor
eukariotik faktor elongasi protein 4E dan S6 protein ribosom kinase 1, yang terlibat dalam
translasi protein.
2,10

Obat ini efektif dalam mengurangi volume tumor pada pasien dengan TSK, seperti
angiomyolipoma ginjal, SEGA dan LAM sporadik.
2



Gambar 9. Target kerja Everolimus

PROGNOSIS
Prognosis untuk individu dengan TSK sangat bervariasi dan tergantung pada
keparahan gejala. Orang-orang dengan gejala ringan biasanya baik dan memiliki harapan
hidup normal, dengan memperhatikan permasalahan spesifik TSK. Individu yang terkena
16

dampak parah bisa menderita keterbelakangan mental yang berat dan epilepsi persisten.
Semua individu dengan TSK beresiko untuk kondisi yang mengancam jiwa yang
berhubungan dengan tumor otak, lesi ginjal, atau LAM (lymphangioleiomyomatosis).
Pemantauan lebih lanjut oleh dokter berpengalaman dengan TSK adalah penting. Dengan
perawatan medis yang tepat, sebagian besar individu dengan gangguan tersebut dapat
berharap untuk harapan hidup normal.
13
GAMBARAN ELECTROENCEPHALOGRAM PADA TUBEROUS SKLEROSIS
KOMPLEKS
Electroencephalogram (EEG) harus dilakukan pada individu dengan TSK saat
didapatkan adanya kejang. EEG secara berkala dilakukan sesuai dengan indikasi klinis.
Beberapa individu dengan TSK memiliki keadaan yang koeksisten dengan sindrom epilepsi
tertentu yang kita kenal seperti sindrom West (WS) (yaitu, pada spasme infantil) atau
sindrom Lennox-Gastaut (LGS). Jika demikian, EEG long-term mungkin berguna untuk
membantu:
14

Mendeteksi temuan EEG untuk sindrom spesifik
Menangkap dan mengklasifikasikan setiap beberapa tipe kejang
Mendidik orang tua mengenai kapan suatu peristiwa dinyatakan sebagai kejang dan kapan
suatu peristiwa merupakan perilaku non-epilepsi
Telah diketahui bahwa spasme tonik merupakan kejang tipe general, dan pada EEG
iktalnya menunjukkan perubahan pola EEG secara general, seperti atenuasi general dengan
atau tanpa superimposed aktivitas gelombang cepat, gelombang lambat general, dan sharp
wave dengan gelombang lambat yang general, dan seterusnya. Pada kesempatan lainnya
Gaily et al melaporkan adanya spike fokal, sharp waves fokal, dan aktivitas cepat unilateral
atau asinkron sebagai EEG iktal dari spasme tonik. Selain itu Gobbi et al juga melaporkan
adanya spasme periodik yang mirip dengan spasme tonik pada WS namun juga ditemukan
pada pasien dengan epilepsi terlokalisasi. Pola fokal sering ditemukan pada periode awal atau
setelahnya, juga dapat ditemukan di kala pengawasan ketat terhadap terapi dengan ACTH
sintetik atau VPA dosis tinggi. Temuan ini menyarankan bahwa pola iktal fokal muncul di
bawah kondisi dimana terdapat interaksi yang kurang ketat dari kortikal dan subkortikal.
14,15

17

Belakangan banyak perhatian dikerahkan pada mekanisme kortikal pasien WS karena
pd pasien ini memiliki kejang baik yang partial maupun yang simultan. Selain itu, spasme
infantiltelah disupresi oleh operasi pengangkatan dari lesi kortikal dimana dideteksi adanya
hipometabolisme fokal oleh PET. Karena adanya hubungan antara mekanisme kortikal dan
subkortikal pada WS, Dulac et al mengemukakan bahwa spasme tonik dan kejang parsial
muncul dari dua lokasi penghasil kejang yang berbeda karena kejadian dari spasme tonik
tidak dimodifikasi oleh kejang parsial sebagai kejang yang simultan. Sedangkan Gaily et al
mengatakan bahwa regio epileptogenik kortikal yang melibatkan area sensorimotor primer
dapat berfungsi sebagai penghasil primer untuk spasme infantil dikarenakan lesi patologik
fokal pada area tersebut yang terdeteksi oleh MRI dan PET scan, dan spasme asimetris dan
asinkron yang terjadi secara signogenik seiring ifikan berasosiasi dengan discharge
kontralateral pada EEG iktal. Chugani et al menyatakan bahwa pada studi PET didapatkan
spasme tonik yang disebabkan adanya discharge dari batang otak dan nukleus lentiformis
bilateral, yang dipicu oleh discharge kortikal dari lesi kortikal. Pada kasus dimana spasme
tonik diikuti atau diselingi dengan kejang parsial, kemungkinan yang terjadi adalah discharge
yang terjadi dari batang otak memfasilitasi lesi kortikal epileptogenik dan pada akhirnya
menimbulkan kejang parsial.
Kejang parsial pada TSK dinyatakan memiliki karakteristik berikut:
a. Beberapa pasien mengalami perubahan fokus epileptogenik seiring bertambahnya usia
b. Beberapa tipe yang berbeda dari kejang parsial dapat berada pada periode yang sama
pada satu individu
c. Kejang parsial yang berbeda dapat terjadi beriringan pada kejadian di waktu
bangkitan yang sama
d. Jumlah dari fokus epileptogenik dapat meningkat selama perjalanan klinis.
Walaupun masih belum jelas tuber yang mana yang menyebabkan epileptogenik,
namun dilaporkan bahwa kortikal displasia secara intrinsik epileptogenik karena discharge
epileptogenik seringkali terekam dari lesinya. Diketahui pula bahwa perubahan patologis
pada TSK sesuai dengan lesi kortikal displasianya, sehingga semua kortikal tuber terdapat
kemungkinan untuk menjadi epileptogenik. Diungkapkan bahwa besar ukuran dari tuber
berkaitan dengan epileptogenisitas. Masih diteliti apakah banyaknya tuber kortikal
merupakan marker terbaik untuk memprediksi outcome epilepsi dari pasien TSK.
18

Pada pasien dengan epilepsi parsial berat, reseksi awal pada lesi kortikal
epileptogenik akan menghentikan perkembangan dari fokal epileptogenik sekunder.
Keputusan untuk reseksi kortikal pada pasien TSK tetap harus diambil secara hati-hati karena
tuber yang tersisa dapat menjadi epileptogenik beberapa tahun setelah operasi.
15
Epileptogenisitas luas yang tidak terbatas pada kelainan struktural yang terlihat pada
MRI mungkin terkait dengan sulitnya menemukan wilayah yang layak operasi. Studi
neuroimaging fungsional memberikan bukti bahwa epileptogenisitas tidak terbatas pada tuber
kortikal tetapi juga dapat mempengaruhi area fungsional terkait (Perreson et al, 1998; Asano
et al, 2000.). Rekaman EEG intrakranial mengungkapkan bahwa, khususnya, jaringan di
sekitar dan di perbatasan tuber mungkin sangat epileptogenik (Otsubo et al., 2005).
EEG-fMRI simultan adalah alat noninvasif untuk mengevaluasi jaringan
epileptogenik di otak. Metode ini memungkinkan identifikasi daerah dengan perubahan
sinyal Blood Oxigenation Level Dependent (BOLD) berkorelasi dengan interictal epileptic
discharge (IED). Respon BOLD positif maupun respon BOLD negatif dapat menggambarkan
zona iritasi (Gotman et al., 2006). Pada studi di Kanada, dievaluasi pertama kali untuk anak-
anak dengan TSK menggunakan EEG-fMRI. Didapatkan hipotesis bahwa jaringan
epileptogenik pada pasien dengan TSK lebih tersebar luas dibandingkan dengan keberadaan
tuber yang digambarkan pada MRI, dan bahwa jaringan ini dapat diidentifikasi melalui
respon BOLD pada saat IED.
16



Tabel 4. Pola EEG iktal yang berkaitan dengan spasme tonik
15

19







Gambar 10. EEG iktal yang menunjukkan fase awal dari spasme tonik asimetris serial pada anak
perempuan berusia 5 tahun dengan WS. Sisi kanan yang dominan spasme diikuti dengan aktivitas
gelombang fokal yang cepat di regio oksipital kiri.Pada pasien ini, kejang parsial yang berasal dari regio
oksipital kiri terkadang didahului spasme serial, atau spasme tersebut diselingi dengan kejang parsial.
15

Tabel 5. Model tampilan pada kejang parsial
15

20







Gambar 11. A: Tipe A: Spike fokal pada regio oksipital kiri yang diikuti dengan spasme asimetrik
(seperti gambar 10). B: Tipe B: Aktivitas fokal theta pada regio frontal kiri yang didahului dengan
spasme simetris. Pasien ini anak wanita berusia 6 bulan dengan WS yang juga mengalami kejang
parsial yang berasal dari regio posterior kanan dalam periode waktu yang sama.
15

Tabel 6. Ukuran tuber kortikal pada MRI
15

21







Gambar 12. Anak perempuan usia 3 th 4 bulan dengan epilepsi terkait lokasi. Kiri: Saat onset
kejang parsial, 6-7 siklus aktivitas theta terlihat pada regio frontosentral kiri. Anak itu tampak
linglung, dan didapatkan spasme pada wajah kiri. Tengah: Dua puluh enam detik kemudian,
tampak 5 siklus aktivitas theta pada regio frontal kiri. Ia menarik ekstremitas atas kanannya dan
memutar tangan kanannya ke segala arah. Spasme yang dominan di kanan mulai muncul saat
kejang parsial berikutnya. Kanan: Seratus dua puluh detik kemudian, spasme dominan kanan
kontinyu berseri setelah dua tipe dari kejang parsial menghilang.
15

22











Gambar 13. Evolusi gambaran EEG pada anak perempuandengan spasme infantil di usia 3 bulan
dan yang meningkat juga dengan tipe kejang lainnya. A. Pada usia 20 bulan terdapat gelombang
aktivitas perlambatan dengan amplitudo besar iregular dan multifokal, yang lebih sedikit pada obus
frontal (kalibrasi 180 v). B. Saat usia 2 tahun terdapat sejumlah komponen lambat yang iregular
lebih nampak pada posterior, dan elemen sharp muncul fokal di regio temporooksipital kiri (kalibrasi
100 v). C. Di usia 2,5 tahun terdapat lebih banyak lagi gelombang iregular yang lebih lambat
dengan elemen sharp tidak teratur pada regio posterior temporal kiri (kalibrasi 180 v). D. Ssaat usia
3 tahun semakin banyak aktivitas perlambata iregular pada area frontosentral kanan dan
temporooksipital kiri (kalibrasi 100 v). Pada anak ini subnormalitas mental sudah nampak
padaonset usia awal, begitu juga tampaknya area hipopigmentasi pada ekstremitas dan badan.
Tampak juga kalsifikasi intrasereblar multipel pada radiografi tengkorak saat usia 19 bulan.
9

23













Gambar 14. Figur ini menunjukkan semua respon positif dan negatif BOLD dari seorang anak usia
1 tahun. Fokus pada temporooksipital kiri tampak pada scanner EEG. Topografi dari spike terlihat
dengan peta voltase rata-rata dari spike (BESA software). Didapatkan respon positif BOLD pada
oksipital bilateral yang berkorelasi dengan fokus EEG, namun bukan yang berasal dari tuber. Tiga
tuber yang berbeda merupakan bagian dari zona iritatif pasien ini, berada pada area yang agak jauh
dari fokus EEG. Respon BOLD negatif yang kuat terdapat dari tuber frontal bilateral. Kejang yang
dimulai dari lobus frontal kanan berkorelasi baik dengan respon BOLD negatif ini. Batas-batas dari
tuber kortikal ditandai dengan warna hijau terang dan SEGA ditandai dengan warna ungu. Panah
merah menandai respon positif dan negatif BOLD dengan t-value tertinggi dari studi ini.
16

24














Gambar 15. Figur ini menunjukkan semua respon positif dan negatif BOLD. T-value maksimal
untuk respon positif nampak pada tuber di parietal kanan dan nilai maksimum t-value untuk respon
negatif BOLD pada tuber di oksipital kanan. Satu respon positif ditemukan di dalam SEGA.
Totalnya, terdapat enam lesi yang berbeda yang terlibat dengan jaringan epileptogenik pada pasien
ini. Respon BOLD dari tuber di lobus oksipital kanan, lobus parietal kanan, dan lobus frontal kanan
yang mengikuti discharge interiktal merupakan asal dari kejang pada pasien ini, dimana dimulai dari
oksipital kanan, parietal kanan dan kemudian area frontal bilateral. Hasil ini dikonfirmasi oleh
adanya IED multifokal dan onset kejang pada telemetri long-term pasien ini.
16

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Thiele EA. Managing Epilepsy in Tuberous Sclerosis Complex. J Child
Neurology. 2004;19(9):680-686.
2. Inoki K, Guan KL. Tuberous sclerosis complex, implication from a rare genetic
disease to common cancer treatment. Human Molecular Genetics. 2009;18(1).
3. Pagon RA, Bird TD, Dolan CR, et al. Tuberous Sclerosis Complex. Last Update:
November 23, 2011. NCBI Bookshelf. A service of the National Library of Medicine,
National Institutes of Health.
4. Petrova LD. Tuberous sclerosis and epilepsy. Am J Electroneurodiagnostic Technol.
2011 Mar;51(1):5-15.
5. Curatolo P, D'Argenzio L, Cerminara C, Bombardieri R. Management of epilepsy in
tuberous sclerosis complex. Expert Rev Neurother. 2008 Mar;8(3):457-67.
6. Northrup H, Krueger DA. Tuberous Sclerosis Complex Diagnostic Criteria Update:
Recommendations of the 2012 International Tuberous Sclerosis Complex Consensus
Conference. Pediatric Neurology. 2012;49:243-54.
7. Crino PB, Nathansan KL, Henske EP. The Tuberous Sclerosis Complex. N Engl J
Med. 2006; 355: 1345-56.
8. Yeung RS. Tuberous sclerosis as an underlying basis for infantile spasm. IntRev
neurobiol2002;49:315-32.
9. Pampiglione G, Moynahan EJ. The Tuberous Sclerosis Syndrome: Clinical and EEG
Studies in 100 Children. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry.
1976;39:666-73.
10. Umeoka S, Koyama T, Miki Y, Akai M, Tsutsui K, Togashi K. Pictorial Review of
Tuberous Sclerosis in Various Organs. Radiographic; 2008.
11. Holmes GL, Stafstrom CE. Tuberous sclerosis complex and epilepsy: recent
developments and future challenges. Epilepsia; 2007 Apr;48(4):617-30.
12. Connolly MB, Hendson G, Steinbok P. Tuberous sclerosis complex: a review of the
management of epilepsy with emphasis on surgical aspects. Chids Nerv Syst; 2006
Aug;22(8):896-908.
13. Muzykewicz DA, Costello DJ, Halpern EF, Thiele EA. Infantile spasms in tuberous
sclerosis complex: prognostic utility of EEG. Epilepsia 2009 Feb;50(2):290-6.
26

14. Roach ES, Whittemore VH. Diagnosis, Screening, and Clinical Care of Indiiduals
with Tuberous Sclerosis Complex. Tuberous Sclerosis Alliance. 2011.
15. Ohmori I, Ohtsuka Y, Ohno S, Oka E. Analysis of Ictal EEGs of Epilepsy Association
with Tuberous Sclerosis. Department of Child Neurology, Okayama University
Medical School. Japan 1998;39(12):1277-83.
16. Jacobs J, Rohr A, Moeller F, Boor R, Kobayashi E, Meng PLV, et al. Evaluation of
epileptogenic networks in children with tuberous sclerosis complex using EEG-fMRI.
Neuropediatric Department, McGill University. Canada 2008;10:1111.

Anda mungkin juga menyukai