Anda di halaman 1dari 24

TINJAUAN PUSTAKA

PERTUSSIS
Pembimbing:

dr. Meiharty B. Zulkifli, Sp.A


dr. Tjahaya Bangun, Sp.A

Disusun oleh:

03015042 Berka Phillia Ningrum


03015115 Moh Nahdiyin Mangku Alam
03015051 Cindy Mustika Pratiwi
03016072 Intan Nurul Qisti

KEPANITRAAN KLINIK RSUD KARDINAH TEGAL


PJJ PERIODE 24 AGUSTUS – 18 SEPTEMBER 2020
PENDAHULUAN
● Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu penyakit
menular saluran pernapasan
● Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella pertussis
● Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang
dari 5 tahun
● Perlu dilakukan diagnosis dini kasus pertusis sehingga klinisi mampu memberikan
penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak
menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut
DEFINISI
● Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough dan
batuk seratus hari
● Pertusis berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit
infeksi saluran napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti
anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun
EPIDEMIOLOGI
● Pada masa sebelum vaksinasi, pertusis menyerang anak prasekolah, dan kurang dari
10% kasus terjadi pada bayi usia kurang 1 tahun.
● Setelah mulai dilakukan imunisasi (tahun 1940), kejadian pertusis menurun drastis,
dari 200.000 kasus/tahun menjadi 1.010 kasus pada tahun 1976
● Data Riskesdas 2013 menunjukkan data cakupan imunisasi dasar lengkap Indonesia
adalah 59,2%,
● kejadian pertusis memuncak pada anak-anak usia 1 sampai 5 tahun dan lebih jarang
terjadi pada mereka yang lebih muda dari 1 tahun dan lebih dari 10 tahun
EPIDEMIOLOGI
ETIOLOGI

● Bordetella pertussis adalah coccobacillus gram negatif fastidious


● Masa inkubasi biasanya adalah 7 hingga 10 hari, tetapi bisa juga selama 21 hari.
PATFISOLOGI
● Toksin pertusis, hemagglutinin berfilamen, pertaktin, dan aglutinogen memungkinkan
organisme untuk menempel pada epitel bersilia saluran pernapasan, di mana ia
memberikan efeknya.
● Toksin pertusis juga menginduksi sitoksisitas sel, menghambat respon neutrofilik dan
monositik, dan menunda induksi respon imun spesifik  bertanggung jawab atas
manifestasi sistemik dari pertusis
PATFISOLOGI
● Faktor virulensi diduga mensensitisasi sel-sel b-islet di pancreas  hiperinsulinisme,
yang jarang bermanifestasi sebagai hipoglikemia pada bayi muda
● Zat lain yang diuraikan oleh organisme termasuk adenylate cyclase dan trakea
cytotoxin  kerusakan pada epitel pernapasan dan menghindari sistem kekebalan
tubuh dengan mengubah fungsi leukosit
● Komplikasi sistem saraf pusat dari pertusis dianggap sekunder akibat hipoksemia
yang disebabkan oleh batuk dan apnea yang terkait dengan infeksi
DIAGNOSIS
Catarrhal Stage
● 1 hingga 2 minggu setelah terpapar B. pertussis
● Gejala saat ini tidak spesifik (batuk, coryza, dan demam ringan)
● individu dapat menularkan tanpa menyadari bahwa mereka menderita pertusis.
● Bayi mungkin mengalami
● fase catarrhal yang sangat singkat sebelum melanjutkan ke tahap berikutnya
DIAGNOSIS
Paroxysmal Stage
● Gejala klasik batuk rejan mulai terlihat pada tahap ini, yang bisa berlangsung kurang
lebih 1 bulan
● Anak-anak mengalami episode batuk paroksismal yang diikuti dengan suara "whoop"
inspirasi di akhir episode.
● Selama episode batuk, sering terjadi sianosis, terutama sianosis perioral pada anak
kecil, dan emesis posttusif
● kelelahan karena kurang tidur dan penurunan nafsu makan akibat batuk terus-
menerus. Demam secara khas tidak ada
DIAGNOSIS
Convalescent Stage
● Keparahan dan frekuensi batuk paroxysms yang berkurang mencirikan tahap ini,
yang menandakan pemulihan dari pertusis
● tahap ini dapat berlangsung dari beberapa minggu hingga bulan dan sering
diperburuk oleh penyakit pernapasan yang menyertai, terutama pada bayi.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan penunjang
● Kultur
● Polymerase chain reaction (PCR)
● Tes serologi
● Pewarnaan direct fluorescent antibody (DFA)
DIAGNOSIS BANDING
● Adenovirus
● Mycoplasma pneumonia
● Chlamydia trachomatis
● Respiratory Syncytial Virus
● Spesies Bordetella lain
TATALAKSANA
● dirawat di rumah sakit untuk memantau perkembangan penyakit dan komplikasi
terkait dan untuk mendidik anggota keluarga sebelum keluar
● Makrolida (azitromisin, klaritromisin, dan eritromisin)
● Trimethoprim-sulfamethoxazole dapat digunakan sebagai agen alternative dalam
situasi klinis yang jarang terjadi ketika makrolida tidak ditoleransi
TATALAKSANA
● Kemoprofilaksis pasca pajanan direkomendasikan untuk kontak dekat tanpa gejala
dan individu berisiko tinggi
● CDC mendefinisikan kontak dekat sebagai “orang yang memiliki eksposur tatap
muka dalam jarak 3 kaki dari pasien yang bergejala; kontak langsung dengan sekresi
pernapasan, mulut atau hidung; atau berbagi ruang terbatas yang sama di dekat
pasien bergejala selama ≥1 jam.
KOMPLIKASI
● pneumonia bakterial sekunder,
● Apnea
● Bradikardia
● hipertensi pulmonal
● Kejang
● ensefalopati
● sudden infant death syndrome
● otitis media
● Dehidrasi
● perdarahan konjungtiva / skleral,
● Petechiae
● Patah tulang rusuk
● emfisema subkutan
● pneumotoraks
PENCEGAHAN

● Rasional Vaksin DTPw-HB-Hib pada anak Indonesia memberikan seroproteksi yang


baik pada pemberian usia 2, 3, dan 4 bulan
● Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan
PROGNOSIS
● Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik.
● Pada bayi kematian (0,5-1%) disebabkan ensefalopati.
● Pada observasi jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan
intelektual di kemudian hari
DAFTAR PUSTAKA
1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181: 960-965
2. Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro S, dkk. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi ke 2. Badan penerbit IDAI.
Jakarta. 2008
3. Kandun I N. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Dirjen P2PL Departemen Kesehatan. Jakarta; 2000
4. Centers for Disease Control and Prevention. Guidelines for the Control of Pertussis Outbreaks. Atlanta, GA: Centers for
Disease Control and Prevention; 2000. Pediatr Infect Dis J. 2005;24(6 suppl):S109–S116
5. Poerwanto IA. Case Report: A Papuan infant with severe pertussis from the low coverage of immunization. Med Hosp.
2012; 1 (1) : 60
6. Balitbangkes Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar masyarakat 2013
7. Centers for Disease Control and Prevention. Notice to readers: final 2015 reports of nationally notifiable infectious diseases
and conditions. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2016;65(46):1306–1321
8. Daniels HL, Sabella C. Bordetella Pertussis (Pertussis). American Academic of Pediadtrics.2018;39(5):247-57
9. Hewlett EL, Burns DL, Cotter PA, et al. Pertussis pathogenesis: what we know and what we don’t know. J Infect
Dis. 2014;209(7):982–985
10. Long SS, Edwards KM, Mertsola J. Bordetella pertussis (pertussis) and other Bordetella species.
In: Long S, Pickering L, Prober C, eds. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. 4th ed. Philadelphia,
PA: Saunders; 2012:865–87
DAFTAR PUSTAKA
11. Pertussis. Vaccine Preventable Diseases Surveillance Standards. WHO. Available at:
https://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/WHO_SurveillanceVaccinePreventable_16_Pertus
sis_R1.pdf?ua=1 accessed on September 5 2020
12. Winter K, Zipprich J, Harriman K, et al. Risk factors associated with infant deaths from pertussis: a case-control study. Clin
Infect Dis. 2015;61(7):1099–1106
13. Tiwari T, Murphy TV, Moran J; National Immunization Program, CDC. Recommended antimicrobial agents for the
treatment and postexposure prophylaxis of pertussis: 2005 CDC Guidelines. MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR-14):1–16
14. Eberly MD, Eide MB, Thompson JL, Nylund CM. Azithromycin in early infancy and pyloric stenosis. Pediatrics.
2015;135(3):483–488
15. Cherry JD. Pertussis in young infants throughout the world. Clin Infect Dis. 2016;63(suppl 4):S119–S122
16. Blain AE, Lewis M, Banerjee E, et al. An assessment of the cocooning strategy for preventing infant pertussis-united states,
2011. Clin Infect Dis. 2016;63(suppl 4):S221–S226
17. Heininger U, Kleemann WJ, Cherry JD. Sudden Infant Death Syndrome Study Group. A controlled study of the relationship
between Bordetella pertussis infections and sudden unexpected deaths among German infants. Pediatrics. 2004;114(1):e9–
e15
18. Tiwari T, Murphy TV, Moran J; National Immunization Program, CDC. Recommended antimicrobial agents for the
treatment and postexposure prophylaxis of pertussis: 2005 CDC Guidelines. MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR-14):1–16
19. Gunardi H, Kartasasmita CB, Hadinegoro SRS. Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 tahun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2017. Sari Pediatri. 2017;18(5):417-22
20. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, dkk. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke 5. Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2014
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai