Tifoid Ensefalopati
Penyaji
dr. Luther Theng
Pembimbing
dr. Selly Marisdina, Sp.S
dr. Harun Hudari, Sp.PD
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella
paratyphi. Salmonella adalah kuman gram negatif yang berflagela, tidak membentuk
spora, dan merupakan anaerob fakultatif yang memfermentasikan glukosa dan
mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi memiliki antigen H yang terletak pada flagela,
O yang terletak pada badan, dan K yang terletak pada envelope, serta komponen
endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding sel.
Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa.
Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik, dan ini
belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Insidens demam tifoid yang
tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan
kemungkinan Afrika Selatan (lnsidens > 100 kasus per 100.000 populasi per tahun).
Insiden demam tifoid yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per
tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan
Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per
tahun) di bagian dunia lainnya. Di Indonesia, insiden demam tifoid banyak dijumpai
pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga
berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat
terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan
piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam
rumah. Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI tahun
2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola penyakit
terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia (41.081 kasus).
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi
otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati yang
terjadi sejak dini dapat menyebabkan gangguan perkembangan neurologis. Pasien
2
dengan ensefalopati dapat mengalami kemunduran dalam fungsi kognitif umum,
prestasi akademis, fungsi neuropsikologik dan kebiasaan. Skor intelegensi pasien
yang mengalami ensefalopati juga rendah jika dibandingkan anak seusianya. Dari
segi prestasi akademis, pasien akan mengalami kesulitan untuk membaca, mengeja
dan aritmatik. Sedangkan fungsi neuropsikologikal dapat menjadi hiperaktif maupun
autis.
Gejala demam tifoid diikuti oleh suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, stupor
atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh
beberapa peneliti disebut tifoid toksik, ada juga yang menyebutnya sebagai demam
tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atau demam tifoid dengan toksemia. Insidensi
ensefalopati tifoid yang dilaporkan bervariasi antara 10-30%. Dalam ketiadaan terapi
yang tepat, case fatality ensefalopati tifoid tinggi, dimana dilaporkan sebanyak 56%.
Patogenesis yang jelas mengenai komplikasi ini belum diketahui. Gangguan
metabolik, toksemia, hiperpireksia dan perubahan otak non spesifik seperti edema
dan perdarahan telah menjadi hipotesis sebagai mekanisme yang kemungkinan terjadi
Berikut akan disajikan sebuah laporan kasus seorang perempuan 18 tahun
yang dirawat di bagian penyakit dalam dengan deman tifoid , anemia, dan elektrolit
imbalans dikonsulkan ke bagian neurologi oleh karena mengalami penurunan
kesadaran, kejang umum tonik klonik yang dicurigai terdapat tifoid ensefalopati atau
suatu infeksi intrakranial. Kasus ini diangkat untuk penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat. Semoga kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
3
BAB II
ILUSTRASI KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. ES
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 18 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Tempat Tinggal : Palembang
Tanggal MRS : 12 Februari 2016
2. Anamnesis
Penderita dirawat di bagian Penyakit Dalam RSMH dengan demam tifoid,
pansitopenia, elektrolit imbalans dan hipolabuminemia dikonsulkan ke bagian
neurologi oleh karena mengalami penurunan kesadaran dan kejang - kejang.
Sejak kurang lebih 5 hari yang lalu penderita mengalami penurunan
kesadaraan secara perlahan – lahan berupa mengantuk, sulit diajak berkomunikasi,
bicara meracau dan sampai sulit dibangunkan. Sebelumnya mengeluh nyeri kepala
ada yang disertai demam hilang timbul terutama menjelang sore dan malam hari,
nyeri kepala seperti berat di seluruh bagian kepala, frekuensi tidak tentu waktu, durasi
tidak tentu waktu, interval antar nyeri tidak tentu waktu, hilang sebentar dengan obat
penghilang nyeri biasa. Muntah ada 2-3x per hari, berupa sisa makanan. Kejang tidak
ada, pandangan ganda tidak ada, kelemahan sesisi tubuh tidak ada, gangguan
sensibilitas tidak ada. Bicara pelo dan mulut mengot tidak ada. Kurang lebih 30 menit
yang lalu penderita mengalami kejang umum tonik klonik sebanyak lebih dari lima
kali, durasi kurang dari 3 menit, interval antar kejang tidak diketahui, sebelum,
selama dan sesudah kejang penderita tidak sadar. Selama kejang mata mendelik ke
atas ada, lidah tergigit tidak ada, mengompol tidak diketahui karena terpasang kateter,
4
lidah tergigit tidak ada, demam ada, muntah tidak ada. Kelemahan sesisi tubuh tidak
ada. Penderita sudah tidak dapat berkomunikasi lagi baik secara lisan, tulisan,
maupun isyarat.
Riwayat demam kurang lebih 3 minggu hilang timbul turun dengan penurun
panas biasa tetapi yang memberat 10 hari tidak turun dengan obat penurun panas
biasa .Riwayat nyeri perut ada. Riwayat diare disangkal. Riwayat infeksi gigi
disangkal,.Riwayat infeksi telinga disangkal. Riwayat kejang sebelumnya disangkal.
Riwayat batuk – batuk lama yang disertai penurunan berat badan dan keringat dingin
disangkal, Riwayat trauma kepala disangkal. Riwayat bepergian keluar kota
disangkal.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Kesadaran : E3M5V3 Keadaan umum : Sedang
Tekanan darah : 120/70 mmHg Keadaan gizi : Cukup
Nadi : 98 kali/menit Tinggi Badan : 155 cm
Pernapasan : 24x/.menit Berat Badan : 45 kg
Temperatur : 40.1C
b. Status Neurologis
Nervi Kranialis
N.I : Belum dapat dinilai
N.II : Belum dapat dinilai
N.III : Pupil bulat, isokor, Reflek Cahaya +/+ , diameter pupil 3 mm
N.III,IV,VI : Doll’s Eye ada
N.V : Belum dapat dinilai
NVII : Plica nasolabialis simetris, sudut mulut tidak ada yang
Tertinggal (dengan rangsang nyeri)
NIX NX : Refleks okulokardiak (+), refleks sinus karotikus (+), lain –
lain belum dapat dinilai
5
NXI : Belum dapat dinilai
N XII : Deviasi lidah tidak ada (dalam mulut), disartria belum dapat
dinilai
6
5. Tatalaksana Awal
Saran
Medikamentosa
- IVFD NaCl 0,9% gtt 20 makro /menit
- Injeksi Diazepam ampul 10 mg IV Bolus Pelan (Jika Kejang)
Non medikamentosa
- Oksigenasi adekuat
- Head up 300
- Pasang Naso Gastric Tube (NGT) dan Kateter
- Diet Cair TKTP 1700 Kcal via NGT
- Lumbal Punksi
- Elektroensefalografi (EEG)
- CT – Scan Kepala
- Ro Thorax AP
- Pemeriksaan laboratorium lengkap: darah rutin, darah kimia , elektrolit
7
SGPT : 16 U/L
GDS : 135 mg/dL
Ureum : 12 mg/dL
Kreatinin : 0.43 mg/dL
Natrium : 131 mEq/L
Kalium : 2,1 mEq/L
Kalsium : 8,0 mg/dL
Albumin : 2,7 g/dL
Dengue IgM : Negatif
Dengue IgG : Positif
Widal
S. Typhi O : 1/320
S. Typhi H : 1/320
Kesan : Pansitopenia, Hiponatremia, Hipokalemia,
Hipokalsemia
8
Sedimen Urine
Epitel : Positif (+)
Leukosit : 1-2/lpb
Eritrosit : 0-1/lpb
Silinder : Negatif (-)
Kristal : Negatif (-)
Bakteri : Negatif (-)
Mukus : Negatif (-)
Kesan: Normal
Hasil EKG
9
Hasil Rontgen Thorax AP
CT – Scan Kepala
Kesan : Tak tampak perdarahan, infark maupun SOL pada saat ini.
10
6. Diagnosis Akhir
11
PERKEMBANGAN SELAMA PERAWATAN (FOLLOW UP)
12
P: Istirahat
Nonfarmakologis Diet BB
Edukasi
13
Eritrosit : 2.970.000/mm³
Leukosit : 5.900/mm³
Hematokrit : 26%
Trombosit : 150.000/mm³
MCV : 86,9 fL
MCH : 29 pg
MCHC : 33 g/dL
LED : 22 mm/jam
Hitung Jenis : 0/0/58/34/8 %
Retikulosit : 1,4%
Natrium : 146 mEq/L
Kalium : 3,5 mEq/L
Kalsium : 8,6 mg/dL
Kesan : anemia normokrom normositer
14
Saran: CT Scan kepala
Injeksi Diazepam 10 mg (IV) bolus pelan jika kejang
Phenytoin 2x100 mg (PO) via NGT
Neurobion 1x1 (IM)
Rencana: Lumbal pungsi
Elektroensefalografi (EEG)
Konsul Divisi Kesan:
Tropik Infeksi Penurunan kesadaran ec. Tifoid ensefalopati
Saran:
Inf. Ciprofloxacin 2x200 mg IV
Inj. Meropenem 2x1 gr IV
Inj. Dexamethasone 3x5 mg IV
Gaal kultur
A: Penurunan kesadaran dan bangkitan umum tonik klonik ec
tifoid ensefalopati, demam tifoid, anemia normokrom
normositer, hipoalbuminemia
Diagnosis banding Penurunan kesadaran dan bangkitan umum tonik klonik ec
ensefalitis, demam tifoid, anemia normokrom normositer,
hipoalbuminemia
15
Tanggal 18-21 Februari 2016
S Badan pegal – pegal dan lemas
16
Kalsium : 8,3 mg/dL
Albumin : 3,2 g/dL
Kalsium terkoreksi:
= Kalsium serum + 0,8 (Δ albumin)
= 8,3 + 0,8 (4-3,2)
= 8,3 + 0,64
= 8,94 mg/dL
A: Post penurunan kesadaran dan observasi bangkitan umum
tonik klonik ec tifoid ensefalopati, demam tifoid, anemia
normokrom normositer, hipokalsemia, hipoalbuminemia
Diagnosis banding Post penurunan kesadaran dan observasi bangkitan umum
tonik klonik ec ensefalitis, demam tifoid, anemia normokrom
normositer, hipokalsemia, hipoalbuminemia
P:
Nonfarmakologis Istirahat
Diet BB ekstra putih telur
Edukasi
17
CaCO3 3x500 mg PO
Tranfusi PRC 300 ml
Rencana Lumbal punksi
Elektroensefalografi (EEG)
Gaal kultur
18
Kalsium : 9,6 mg/dL
Albumin : 3,6 g/dL
Hasil LCS
Pemeriksaan BTA : (-) / Negatif
Kultur MO dan resistensi : Steril
Hasil Makroskopis : Bakteri (-) / negatif
Leukosit 0-1/lp
Epitel 0-1 /lp
Biakan Salmonella : Negatif
19
Kultur Feces : Tidak ditemukan
A: Post penurunan kesadaran dan observasi bangkitan umum
tonik klonik ec tifoid ensefalopati, anemia normokrom
normositer
P:
Nonfarmakologis Istirahat
Diet NB
Edukasi
20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1.1. Definisi
III.1.2. Epidemiologi
Didaerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan yang
tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah
21
nonendemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus
mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun.
Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-
kuman S. typhi berada didalam batu empedu atau dalam dinding kandung empedu
yang mengandung jaringan ikat, akibat radang menahun.
III.1.3. Etiologi
III.1.4. Patogenesis
22
makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah ( mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik ) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk lagi
ke dalam sirkulasi darah dan mengakibatkan bakteremia kedua dengan tanda-tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
diekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan empedu. Sebagian dari kuman ini
dikeluarkan melalui feses dan sebagian lainnya menembus usus lagi. Proses yang
sama kemudian terjadi lagi, tetapi dalam hal ini makrofag telah teraktivasi. Kuman
salmonella di dalam makrofag yang sudah teraktivasi ini akan merangsang makrofag
menjadi hiperaktif dan melepaskan beberapa mediator ( sitokin ) yang selanjutkan
akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Sepsis
dan syok septik dapat terjadi pada stadium ini.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah plague
peyeri yang mengalami hiperplasia dan nekrosis atau akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang
hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.
23
III.1.5. Diagnosa
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari tidak terdiagnosis
hingga gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi hingga kematian.
Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama ditemukan
keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relatif, lidah yang berselaput ( kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor ),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang
indonesia. Bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1 derajat celcius tidak diikuti
dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit.
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan leukopenia, dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfepenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
24
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid. Akibat
infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi ( aglutinin ) yaitu :
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Makin tinggi titernya makin besar kemungkinan menderita
demam tifoid.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi
selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian
diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap
25
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12
bulan. Oleh karena itu uji widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan
kesembuhan penyakit.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal :
1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif.
2. Volume darah yang kurang ( diperlukan kurang lebih 5 cc darah ), bila darah
yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (
oxgall ) untuk pertumbuhan kuman.
26
3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi ( agluinin ) ini dapat menekan bakteremia hingga
biakan darah dapat negatif.
4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, di mana pada saat itu
aglutinin semakin meningkat.
III.1.7. Tatalaksana
Pengobatan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu :
27
3. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman.
Dosis diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.
Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak di
28
anjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri.
Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya
anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol
adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke 5 sampai hari ke 6.
Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang
dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg
trimetoprin ) diberikan selama 2 minggu.
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/KgBB dan
digunakan selama 2 minggu.
Sefalosporin generasi ke 3
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang tebukti efektif untuk
demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3
hingga 5 hari.
Golongan fluorokuinolon
29
4. Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
5. Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke 3 atau menjelang hari ke 4.
Hasil penurunan demam sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin yang
merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik
fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja
antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, septik syok, dimana pernah terbukti
ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman salmonella.
Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang
mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
III.1.8. Komplikasi
2. Komplikasi ekstraintestinal :
30
c. Paru : Pneumonia, empiema, pleuritis
Perdarahan intestinal
Pada plague peyeri usus yang terinfeksi ( terutama ileum terminalis ) dapat
terbentuk tukak / luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila
luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.
Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain
karena faktor luka perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah
(KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25 % penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Tetapi
perdarahan yang hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Bila transfusi
yang diberikan dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi biasanya perdarahan ini
merupakan suatu proses yang self limiting, maka tindakan pembedahannya tidak
diperlukan.
Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3 % dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum
demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perorasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising
usus melemah pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena
adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
31
tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
dapat menyokong adanya perforasi.
Bila pada gambaran foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada
rongga peritoneum, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan
terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.
Penatalaksanaan
Hematologik
32
Penyebab KID pada demam tifoid belum jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi,
dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin, dan histamin menyebabkan
vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya
mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi, oleh karena itu KID dapat
bermanifestasi secara klinis atau hanya sekedar penemuan hasil laboratorium.
1. Perdarahan > 3 hari, berlangsung lebih hebat dan berwarna lebih segar
Bila terjadi KID, dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan atau
faktor-faktor koagulasi. Ada yang mengatakan bahwa heparin kurang bermanfaat
pada demam tifoid.
Manifestasi hepatobilier
Manifestasi kardiovaskular
III.1.9. Pencegahan
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid :
33
1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid
maupun kasus karier tifoid
Vaksinasi
Indikasi vaksinasi :
Jenis vaksin :
Kontraindikasi :
Efek samping :
34
2. Vaksin parenteral ViCPS : demam ( 0,25% ), malaise ( 0,5% ), sakit kepala (
1,5% ), rush ( 5% ), nyeri lokal ( 17% ).
Efektivitas :
III.1.10 Prognosis
III.2. ENSEFALOPATI
35
Ensefalopati hipoksia, yaitu ensefalopati akibat kekurangan oksigen pada
otak;
Ensefalopati wernicke, yaitu ensefalopati akibat kekurangan zat tiamin
(vitamin B1), biasanya pada orang yang keracunan alkohol;
Ensefalopati hipertensi, yaitu ensefalopati akibat penyakit tekanan darah
tinggi yang kronis;
Ensefalopati salmonela, yaitu ensefalopati yang diakibatkan bakteri
Salmonella penyebab sakit tifus.
36
sudah bertumbuh dan lebih sering terjadi pada kelompok usia lebih muda terutama
usia antara 6-14 tahun.
Patogenesis yang jelas mengenai komplikasi ini belum diketahui. Gangguan
metabolik, toksemia, hiperpireksia dan perubahan otak non spesifik seperti edema
dan perdarahan telah menjadi hipotesis sebagai mekanisme yang kemungkinan
terjadi. Proses patologis di otak yang menyebabkan ensefalopati tifoid mungkin
berhubungan dengan ensefalomyelitis diseminata akut.8
Pengobatan utamanya adalah antibiotik, dimana kloramfenikol masih
merupakan pilihan pertama. Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4
kali pemberian selama 10 – 14 hari atau sampai 5 – 7 hari setelah demam turun.
Selain itu, dapat diberikan ampisilin (namun memberikan respons klinis yang kurang
bila dibandingkan dengan kloramfenikol). Dosis yang dianjurkan adalah
200mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian intravena. Amoksisilin juga dapat
diberikan dengan dosis 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian per oral.
Namun, di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten
terhadap kloramfenikol. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap sefalosporin
generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson
100mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gr/hari) selama 5-7 hari
atau sefotaksim 150-200mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Akhir-akhir ini
sefiksim oral 10-15mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternatif.2
Untuk kasus tifoid toksik, pengobatan antibiotik ini ditambahkan dengan
pemberian deksametason intravena (3mg/kgBB diberikan dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan dengan 1mg/kgBB tiap 6 – 48 jam). Mekanisme aksi deksametason
dalam pengobatan ensefalopati tifoid belum diketahui. Endotoksin yang dikeluarkan
oleh S. typhi menstimulasi makrofag untuk memproduksi monokin, asam arakidonat
dan metabolitnya, dan spesies oksigen bebas yang kemungkinan bertanggung jawan
pada terjadinya efek toksik, secara khusus pada pasien dengan ensefalopati tifoid.
Deksametason mungkin menurunkan efek fisiologis yang ditimbulkan dari produk
makrofag dan bertindak sebagai antioksidan sehingga menurunkan fatalitas. Edema
37
serebelar dan kongesti vena otak sering ditemukan pada ensefalopati tifoid, dan
deksametason diperkirakan berperan dalam menurunkan kondisi ini.
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dengan munculnya komplikasi
seperti tifoid toksik, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Namun,
terapi antibiotik dengan deksametason IV dapat menurunkan angka mortalitas dari
35-55% menjadi 10%.
38
BAB IV
RESUME
Telah diperiksa penderita atas nama Nn.ES, perempuan, 18 tahun, alamat Jl.
Slamet Riyadi Lrg. Sei Jeruju No. 613 Kuto Batu IT II, Palembang. Dirawat di bagian
Penyakit Dalam RSMH, bangsal Yasmin A 3.4 pada tanggal 13 Februari 2016 pukul
12.00 WIB dengan keluhan utama demam sejak 10 hari SMRS dikonsulkan ke bagian
neurologi pada tanggal 14 Februari 2016 dengan keluhan penurunan kesadaran dan
kejang et causa suspect Tifoid Ensefalopati DD/ Malaria Cerebral.
IV.1. Bagian Penyakit Dalam
Pada anamnesis didapatkan ± 10 hari yang lalu pasien mengeluh demam,
yang berangsur naik, tinggi menjelang sore dan malam hari, dan kembali turun pada
pagi dan siang hari, menggigil tidak ada, sakit kepala ada, nyeri di belakang bola
mata tidak ada, badan terasa ngilu, nyeri sendi tidak ada, badan lemas ada,
berkeringat banyak tidak ada, mimisan ada, gusi berdarah tidak ada, timbul bintik
kemerahan di tubuh tidak ada, mual ada, muntah ada, frekuensi 2-3 kali / hari, isi apa
yang dimakan dan diminum, BAK kemerahan tidak ada, BAK biasa, BAB cair 2-3
kali / hari, masih ada ampas, lendir tidak ada, darah tidak ada, nyeri perut ada. Pasien
lalu berobat ke mantri dan praktek dokter umum, dikatakan sakit demam gejala tifus,
mendapat obat yang pasien tidak tahu namanya, keluhan tidak berkurang, pasien
tampak gelisah dan kadang tangan pasien terasa gemetar. Pasien lalu memutuskan
untuk berobat ke IGD RSMH.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital TD 120/80 mmHg, N 98x/m,
RR 24x/m, suhu 40,1 C. Dari pemeriksaan kepala didapatkan konj.anemis, bibir
kering. Dari pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigatrium. Dari
pemeriksaan ekstremitas didapatkan palmar pucat.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan pansitopenia, hiponatremia,
hipokalemia, hipokalsemia, IgG Dengue positif, dan widal S.Typi O 1/320.
39
IV.2. Bagian Neurologi
Setelah 2 hari dirawat di bangsal penyakit dalam penderita dikonsulkan
kebagian Neurologi oleh karena mengalami penurunan kesadaran dan kejang.
Pada Anamnesis didapatkan ± 5 hari yang lalu penderita mulai mengalami
penurunan kesadaran yang terjadi secara perlahan – lahan, diawali gelisah,
mengantuk, bicara meracau sampai sulit dibangunkan. Demam tinggi ada. Nyeri
kepala ada terasa berdenyut, berat hampir di seluruh bagian kepala, frekuensi, durasi
dan interval tidak tentu waktu. Muntah ada 2-3 x per hari berupa sisa makanan,
kejang tidak ada, pandangan kabur tidak ada. Kelemahan sesisi tubuh tidak ada ± 30
menit yang lalu penderita mengalami kejang umum tonik klonik sebanyak lebih dari
5 kali, durasi kurang dari 3 menit, interval antar kejang tidak diketahui, sebelum,
selama dan sesudah kejang penderita tidak sadar. Selama kejang mata mendelik ke
atas ada, lidah tergigit tidak ada, mengompol tidak diketahui karena terpasang kateter,
lidah tergigit tidak ada, demam ada, muntah tidak ada. Kelemahan sesisi tubuh tidak
ada. Penderita sudah tidak dapat berkomunikasi lagi baik secara lisan, tulisan,
maupun isyarat.
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan penurunan kesadaran, bangkitan
umum tonik klonik dan peningkatan dari reflek fisiologis.
Pada pemeriksaan CT – Scan Kepala didapatkan hasil tidak tampak infark,
perdarahan maupun SOL.
1. Tifoid Ensefalopati
2. Pansitopenia
3. Elektrolit imbalans (hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia)
4. Hipoalbuminemia
40
IV.4. PENGKAJIAN MASALAH
IV.4.1. Tifoid Ensefalopati
Pada anamnesis didapatkan ± 10 hari yang lalu pasien mengeluh demam, yang
berangsur naik, tinggi menjelang sore dan malam hari, dan kembali turun pada pagi
dan siang hari, menggigil tidak ada, sakit kepala ada, nyeri di belakang bola mata
tidak ada, badan terasa ngilu, nyeri sendi tidak ada, badan lemas ada, berkeringat
banyak tidak ada, mimisan ada, gusi berdarah tidak ada, timbul bintik kemerahan di
tubuh tidak ada, mual ada, muntah ada, frekuensi 2-3 kali / hari, isi apa yang dimakan
dan diminum, BAK kemerahan tidak ada, BAK biasa, BAB cair 2-3 kali / hari, masih
ada ampas, lendir tidak ada, darah tidak ada, nyeri perut ada. Pasien lalu berobat ke
mantri dan praktek dokter umum, dikatakan sakit demam gejala tifus, mendapat obat
yang pasien tidak tahu namanya, keluhan tidak berkurang, pasien tampak gelisah dan
kadang tangan pasien terasa gemetar. Pasien lalu memutuskan untuk berobat ke IGD
RSMH. Selama perawatan 2 hari di bangsal penyakit dalam penderita mengalami
penurunan kesadaran secara perlahan – lahan yang disertai kejang umum tonik klonik
sebanyak lebih dari 5 kali, durasi kurang dari 3 menit, interval antar kejang tidak
diketahui, sebelum, selama dan sesudah kejang penderita tidak sadar. Selama kejang
mata mendelik ke atas ada, lidah tergigit tidak ada, mengompol tidak diketahui
karena terpasang kateter, lidah tergigit tidak ada
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bibir kering (+), pada abdomen didapatkan
dari inspeksi datar, dari palpasi lemas, dan nyeri tekan epigastrium (+).
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan penurunan kesadaran dengan
bangkitan umum tonik klonik dan peningkatan dari reflek fisiologis.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan widal S.Typhi O 1/320.
Rencana Diagnostik
Lumbal punksi
Elektroensefalografi (EEG)
41
Ro Thorax , BNO, CT – Scan Kepala
IgM Salmonella Typhii
Kultur Feses
Rencana Pengobatan
Non Farmakologis
Istirahat
Diet Bubur biasa
Edukasi
Farmakologis
IVFD NaCl 0,9% gtt 20/menit
Inf. Ciprofloxacin 2x200 mg IV
Paracetamol 3x1000 mg IV
Omeprazole 1x40 mg IV
Dexametason 3x5 mg IV
Neurobion 1x5000 mcg IM
Rencana Edukasi
Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita, rencana
pengobatan dan pemeriksaan yang akan dilakukan
IV.4.2. Pansitopenia
Pada anamnesis didapatkan ± 1 minggu yang lalu pasien mengeluh demam,
yang berangsur naik, tinggi menjelang sore dan malam hari, dan kembali turun pada
pagi dan siang hari, sakit kepala ada, badan terasa ngilu, badan lemas ada, mimisan
ada, mual ada, muntah ada, frekuensi 2-3 kali / hari, isi apa yang dimakan dan
diminum, BAB cair 2-3 kali / hari, masih ada ampas, lendir tidak ada, darah tidak
ada, nyeri perut ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan konj.anemis dan palmar pucat.
42
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 7,3 g/dL, leukosit 2.900/mm3,
trombosit 86.000/µL.
Kondisi anemia, leukopenia, dan trombositopenia dapat terjadi pada kasus
demam tifoid. Leukopenia merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada
demam tifoid, namun anemia ringan dan trombositopenia dapat pula ditemukan.
Beberapa kasus dilaporkan demam tifoid mengakibatkan timbulnya kondisi
pansitopenia. Dipikirkan penyebab lain dari pansitopenia pasien ini adalah kondisi
anemia aplastik.
Rencana Diagnostik
Darah perifer lengkap
Gambaran darah tepi
BMP
Rencana Pengobatan
Non Farmakologis
Istirahat
Diet Bubur biasa
Edukasi
Farmakologis
Tranfusi PRC 450 ml
IVFD NaCl 0,9% gtt 20/menit
Rencana Edukasi
Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita, rencana
pengobatan dan pemeriksaan yang akan dilakukan.
43
pagi dan siang hari, sakit kepala ada, badan terasa ngilu, badan lemas ada, mimisan
ada, mual ada, muntah ada, frekuensi 2-3 kali / hari, isi apa yang dimakan dan
diminum, BAB cair 2-3 kali / hari, masih ada ampas, lendir tidak ada, darah tidak
ada, nyeri perut ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bibir kering (+)
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Natrium 131 mEq/L, Kalium 2,1
mEq/L, Kalsium 8,0 mg/dL.
Rencana Diagnostik
Cek ulang natrium, kalium, kalsium post koreksi
Rencana Pengobatan
Non Farmakologis
Istirahat
Diet BB
Edukasi
Farmakologis
IVFD NaCl 0,9% + KCl 2 fls gtt 20/menit
CaCO3 3x500 mg
Rencana Edukasi
Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita, rencana
pengobatan dan pemeriksaan yang akan dilakukan.
IV.4.4. Hipoalbuminemia
Pada anamnesis didapatkan ± 1 minggu yang lalu pasien mengeluh demam,
yang berangsur naik, tinggi menjelang sore dan malam hari, dan kembali turun pada
pagi dan siang hari, sakit kepala ada, badan terasa ngilu, badan lemas ada, mimisan
ada, mual ada, muntah ada, frekuensi 2-3 kali / hari, isi apa yang dimakan dan
44
diminum, BAB cair 2-3 kali / hari, masih ada ampas, lendir tidak ada, darah tidak
ada, nyeri perut ada.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan albumin 2,7 g/dL
Rencana Diagnostik
Cek albumin ulang post koreksi
Rencana Pengobatan
Non Farmakologis
Istirahat
Diet BB
Edukasi
Farmakologis
Inf. Albumin 25% 100 ml selama 3 hari
Rencana Edukasi
Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita, rencana
pengobatan dan pemeriksaan yang akan dilakukan.
45
Penurunan kesadaran dan bangkitan umum tonik klonik e.c. Epilepsi
Simptomatik dengan pansitopenia ec. anemia aplastik, elektrolit imbalans
(hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia), hipoalbuminemia
Penurunan kesadaran dan bangkitan umum tonik klonik e.c. Malaria Cerebral
dengan pansitopenia e.c. anemia aplastik, elektrolit imbalans (hiponatremia,
hipokalemia, hipokalsemia), hipoalbuminemia
IV.7. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
Istirahat
Diet BB
Edukasi
Observasi penurunan kesadaran dan kejang
Farmakologis
IVFD NaCl 0,9% gtt 20/menit
IVFD NaCl 0,9% + KCl 2 fls gtt 20/menit
Inf. Ciprofloxacin 2x200 mg IV
Omeprazole 1x40 mg IV
Dexametason 3x5 mg IV
Neurobion 1x5000 mcg IM
Inf. Albumin 25% 100 ml selama 3 hari
Paracetamol 31000 mg IV
CaCO3 3x500 mg PO
Tranfusi PRC 450 ml
46
IV.8. RENCANA PEMERIKSAAN
Lumbal punksi
Elektroensefalografi (EEG)
Ro Thorax, BNO dan CT Scan Kepala
IgM Salmonella Typhii
Kultur Feses
Darah perifer lengkap
Gambaran darah tepi
BMP
Cek albumin, natrium, kalium, dan kalsium ulang post koreksi
47
BAB V
ANALISIS KASUS
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella Typhi. Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, gram negatif, tidak
berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 °C,
bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu.
Isolat kuman Salmonella Typhi memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi fermentasi
terhadap manitol dan sorbitol positif, sedangkan hasil negatif pada reaksi indol,
fenilalanin deaminase, urease dan DNase. Bakteri Salmonella Typhi memiliki
beberapa komponen antigen antara lain antigen dinding sel (O) yang merupakan
lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup. Antigen flagella (H) yang merupakan
komponen protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik spesies. Antigen virulen
(Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh
permukaan sel. Antigen ini menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O
serum dan melindungi antigen O dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin. Salmonella Typhi menghasilkan
endotoksin yang merupakan bagaian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O
yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A. Antibodi O, H dan Vi akan
membentuk antibodi agglutinin di dalam tubuh. Sedangkan, Outer Membran Protein
(OMP) pada Salmonella Typhi merupakan bagian terluar yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan
lingkungan sekitarnya. OMP sebagain besar terdiri dari protein purin, berperan pada
patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun
host. OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan ke
membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan
bakteriosin.
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi.
48
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus
dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (lgA) usus
kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epltel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang aslmtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik. Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mlalgia, sakit kepala, sakit
perut, gangguan vaskular, mental, dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri makrofag
hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis
organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plaque Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-
sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
49
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan
gangguan organ lainnya.
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang
sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas
dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang
mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala
sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi
gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit
penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Masa inkubasi rata-rata 10
– 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1- 2 hari
menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena Streptococcus
atau Pneumococcus daripada S.typhi. Sakit kepala hebat yang menyertai demam
tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S.typhi juga dapat menembus
sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut
kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Penderita pada tahap lanjut dapat
muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus. Gejala klinis yang biasa
ditemukan, yaitu :
1. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu
tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi
hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu
tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
50
2. Gangguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak
sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih
kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor.
Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus).
Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak
berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau
gelisah.
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis
dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat
ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis
leukosit dapat terjadl aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada
demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus. Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji
Widal dan kultur salmonella shigella. Sampai sekarang, kultur masih menjadi standar
baku dalam penegakkan diagnostik. Selain uji widal, terdapat beberapa metode
pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta
memiliki sensitivitas dan speslfisitas lebih baik dari antara lain pemeriksaan serologi
lgM/lgG salmonella.
Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji Widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:
51
a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman), dan c).
Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H
yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir
minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak
pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut
mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang
telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin
H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji
Widal yaitu:1). Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan
antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah
endemik atau nonendemik, 5). Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik, yaitu
peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam
tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium,
akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi
antigen.
Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi lgM dan lgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi lgM dan lgG
terhadap antigen S. typhi seberat 50 kD yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi
uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) yang
dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
Olsen dkk, didapatkan sensitifitasbdan spesfisitas uji ini hampir sama dengan uji
Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%. Pada kasus reinfeksi, respons imun
sekunder (lgG) teraktivasi secara berlebihan sehingga lgM sulit terdeteksi. lgG dapat
52
bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian lgG saja tidak dapat digunakan untuk
membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus
infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji i ni kemudian dimodifikasi
dengan men g inaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan
nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan lgM spesifik
yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada
tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif
(sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan
dengan kultur.
53
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal seperti
berikut: 1). Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif; 2). Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5
cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang
diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu
(oxgall) untuk pertumbuhan kuman; 3). Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau
menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negatif; 4). Waktu pengambilan darah setelah
minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.
Sampai saat ini trilogi penatalaksanaan demam tifoid, adalah: 1). lstirahat dan
perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan; 2).
Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan
rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal; 3).Pemberian antimikroba, dengan
tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid
adalahbsebagai berikut:
. Kloramfenikol. Di lndonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan untuk
mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat
diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan
obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan
penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari ke-5. Pada penelitian yang
dilakukan selama 2002 hingga 2008 oleh Moehario LH dkk didapatkan 90% kuman
masih memiliki kepekaan terhadap antibiotik ini.
54
. Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis
tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
. Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol
400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
. Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih
rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara
50-150 mglkgBB dan digunakan selama 2 minggu.
. Sefalosporin Generasi Ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3
yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan
adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama 1/z jam perinfus
sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
. Fluorokuinolon.
Golongan Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan
pemberiannya :
- Norfloksasin dosis 2x400mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Levofloksasin dosis 1 x 500 mg/hari selama 5 hari
. Azitromisin. Azitromisin 2x500 mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika
dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan mengurangi
kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika penelitian mengikutsertakan
pula strain MDR (multi drug resistance) maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant
S.typhi). Jika dibandingkan dengan seftriakson, penggunaan azitromisin dapat
mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam
55
jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah.
Antibiotika akan terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal
untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typhi yang merupakan kuman
intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral
maupun suntikan intravena.
Pansitopenia adalah masalah penting di bidang hematologi yang kita hadapi
dalam praktek klinis sehari-hari. Terdapat penurunan ketiga unsur seluler darah
perifer yang menyebabkan anemia, leukopenia dan trombositopenia. Pansitopenia
biasanya tampil dengan gejala kegagalan sumsum tulang seperti pucat, dispneu,
perdarahan, memar, dan peningkatan kecenderungan untuk infeksi. Diagnosis
laboratorium pansitopenia terbukti dengan didapatkan nilai-nilai rendah pada
hemoglobin (≤10.0 g / dl), leukosit (≤4.0 × 10 / L) dan jumlah trombosit (≤150 × 10 /
L). Insiden berbagai kelainan yang menyebabkan pansitopenia bervariasi sesuai
dengan distribusi geografis dan mutasi genetik. Infeksi dilapokan menjadi salah satu
penyebab terjadinya pansitopenia. Obat-obatan seperti kloramfenikol dan NSAID
juga dapat memicu kejadian pansitopenia. Walaupun sebagian besar pansitopenia
biasanya diakibatkan oleh anemia aplastik.
Pada pasien ini dipikirkan suatu tifoid ensefalopati, dari anamnesis didapatkan
± 10 hari yang lalu pasien mengeluh demam, yang berangsur naik, tinggi menjelang
sore dan malam hari, dan kembali turun pada pagi dan siang hari, menggigil tidak
ada, sakit kepala ada, nyeri di belakang bola mata tidak ada, badan terasa ngilu, nyeri
sendi tidak ada, badan lemas ada, berkeringat banyak tidak ada, mimisan ada, gusi
berdarah tidak ada, timbul bintik kemerahan di tubuh tidak ada, mual ada, muntah
ada, frekuensi 2-3 kali / hari, isi apa yang dimakan dan diminum, BAK kemerahan
tidak ada, BAK biasa, BAB cair 2-3 kali / hari, masih ada ampas, lendir tidak ada,
darah tidak ada, nyeri perut ada. Pasien lalu berobat ke mantri dan praktek dokter
umum, dikatakan sakit demam gejala tifus, mendapat obat yang pasien tidak tahu
namanya, keluhan tidak berkurang, pasien tampak gelisah dan kadang tangan pasien
terasa gemetar. Pasien lalu memutuskan untuk berobat ke IGD RSMH.
56
Selama perawatan di RSMH pasien mengalami penurunan kesadaran, tampak
gelisah, dan sempat mengalami kejang lebih dari lima kali. Gejala demam tifoid
diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut
(kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa
disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam
batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai toksik
tifoid, sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam
tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital TD 120/80 mmHg, N 98x/m,
RR 24x/m, suhu 40,1 C, . Dari pemeriksaan kepala didapatkan konj.anemis, bibir
kering. Dari pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigatrium. Dari
pemeriksaan ekstremitas didapatkan palmar pucat.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan pansitopenia, hiponatremia,
hipokalemia, hipokalsemia, widal S.Typi O 1/320, dan Tubex +10
Rencana pemeriksaan yang akan dilakukan pada pasien ini adalah lumbal
punksi, elektroensefalografi, CT – Scan kepala, kultur feses, dan gall kultur.
Pada penderita ini dengan demam tifoid dan didapatkan penurunan kesadaran
akut dan bangkitan umum tonik klonik dapat dipikirkan merupakan suatu tifoid
ensefalopati dimana kita menyingkirkan dengan ensefalitis, epilepsi simptomatik dan
malaria serebral. Pada penderita ini sewaktu kejang mendapatkan tatalaksana
diazepam 10 mg (IV) bolus pelan untuk menghentikan kejang secara cepat short
acting. Namun karena setelah pemberian dua kali injeksi diazepam (IV) penderita
masih mengalami kejang kami dari bagian neurologi memberikan obat anti kejang
yaitu golongan Phenytoin dengan dosis 2x100 mg (PO) via NGT. Ternyata setelah
pemberian Phenytoin 2x100 mg (PO) dan tatalaksana tifoid ensefalopati dengan
pemberian dexametason 3x5 mg (IV) didapatkan hasil yang cukup baik. Penderita
membaik secara klinis dalam waktu 24 – 48 jam.
Untuk menyingkirkan diagnosis ensefalitis pada penderita ini dilakukan
lumbal punksi dan didapatkan hasil yang normal . Untuk menyingkirkan diagnosis
57
epilepsi simptomatik ataupun idiopatik pada penderita ini dilakukan pemeriksaan
Elektroensefalografi dan CT- Scan kepala. Hasil EEG yang normal dan CT- Scan
kepala yang tidak tampak kelainan dapat dipikirkan suatu Tifoid Ensefalopati.
58
BAB VI
KESIMPULAN
59
DAFTAR PUSTAKA
60
13. Levine MM, Tacket CO, Sztein MB. Host-Salmonella interaction: human
trials. Microbes Infect. 2001 Nov-Dec. 3(14-15):1271-9.
14. Vollaard AM, Ali S, van Asten HA, Widjaja S, Visser LG, Surjadi C, et al.
Risk factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta, Indonesia. JAMA.
2004 Jun 2. 291(21):2607-15.
15. Monack DM, Mueller A, Falkow S. Persistent bacterial infections: the
interface of the pathogen and the host immune system. Nat Rev Microbiol.
2004 Sep. 2(9):747-65.
16. Chau TT, Campbell JI, Galindo CM, Van Minh Hoang N, Diep TS, Nga TT,
et al. Antimicrobial drug resistance of Salmonella enterica serovar typhi in
asia and molecular mechanism of reduced susceptibility to the
fluoroquinolones. Antimicrob Agents Chemother. 2007 Dec. 51(12):4315-23.
17. Bunin KV, Tokarenko LG, Kravtsov EG. Comparative evaluation of the
dynamics of physico-chemlcally different serum O and K-antibodies in
typhoid and chronic typhoid carriers. Abstract. Zh Mikrobiol Epidemiol
Immunobiol 1981;(4):67 -9.
18. Bradley D. Jones. SALMONELLOSIS: Host Immune Responses and
Bacterial Viruience Determinants. Annu. Rev. Immunol. 1996.14:533-61.
19. Caygill CP, Braddick M, Hill MJ, Knowles RL, Sharp lC. The association
between typhoid carriage, typhoid inJection and subsequent cancer at a
number of site. Eur J Cancer Prev 1995;4(2):187-93.
20. Caygill CP, Braddick M, Hill MJ, Sharp JC. Cancer mortality in chronic
typhoid and paratyphoid carriers. Lancet 1ee4;343(888e):83-4.
21. Dham SK Thompson RA. Humoral and cell-mediated immune responses in
chronic typhoid carriers. Clin Exp Immunol 1982;50(1):34-40.
22. Departemen Kesehatan RI. Data surveiians tahun 1994. Jakarta,1995 p43.
Data surveilans tahun 1996. Ditjen P2M Direktorat Epidemiologi dan
Imunisasi Subdirektorat Surveilans. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1996.
p.37.
23. Dutta U, Garg Pil Kurnar R, Tandon RK. Typhoid carriers among patients
with gallstones are at increased risk for carcinoma of the ga1lbladder. Am ]
Gastroenlercl 2000 ;95 (3) :7 8 4-7 .
24. Espersen F, Mogensen HH, Hoiby N, Hoj L, Greibe J, Rasmussen SN, et al.
Acta Pathol Micobiol Immunol Scand,1982;90(6):293-9.
61
25. Efta EE. Bukirwa H. Azitromycin for treating uncomplicated typhoid and
paratyphoid fever (enteric fever). Cochrane Database of Systematic Review
2008, Issue 4 Art. No.:CD006083. DOL 10.1002 / 14651858.CD006083.pub2
26. Gasem MH, Smith HL, Nugroho N, Goris MA, Dolmans WMV. Evaluation
of a simpie an rapid dipstick assay for diagnosis of typhoid fever in Indonesia.
Journal of Medical Microbiology 2002;51,:173-7
27. Gopalakhrisnan V, Sekhar WY, Soo EH, Vinsent RA, Devi S. Typhoid fever
in Kuala Lumpur and a comparative evaluation of two commercial diagnostic
kits for the detection of antibodies to Sahnonella typhi. Sing MedJ
2002;43(7):354-8.
28. Hornick RB. Typhoid fever. In: Hoeprick P, Jordan MC, Ronald AR, editors.
In{ectious diseases. a treatise of infectious processes Sth ed. Philadelphia: ]B
Lippincott Co; L994. p.747-53.
29. Handoyo L Diagnosis laboratorium demam tifoid. Jurnal Kimia Klinik
Indonesia 1996;7 (3):L17 -22.
30. Hardi S, Soeharyo, Karnadi E. The diagnostic vaiue of the Widal test in
typhoid fever patients. In: Typhoid fever: Profile, diagnosis and treatment in
the 1990. s. 1st ISAC Internasional Symposium. Acta Medica Indonesiana
1992:L88-95.
31. Hoffman SL. Typhoid fever. In: Strickland GT,editor. Hunter's tropical
medicine. 7 th ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 1991,. p.344-59.
32. L Sherwal, RK Dhamija, VS Randhawa, M Jais, A Kaintura, M Kumar. A
comparative study of typhidot and widal test in Patients of typhoid fever. j
Indian Academy of Clinical Medicine 200 4; 5 (3) : 244-6.
33. Lanata CF, Levine MM, Ristori C, Black RE, Jimenez L, Salcedo M et al. Vi
serology in detection of chronic Salmonella Typhi carriers in an endemic area.
Lancet 1,983;2(8347):44L-3.
34. Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Jegathesan M. One-step 2-minute test to
detect typhoid-specific antibodies based on particle separation in tubes.
Journal of Clinical Microbiology 1998;36(8):2271,-8.
35. Nelwan RHH. Piiihan antimikroba dalam tatalaksana demam tifoid. Dalam
Mansjoer A, Setiati S, Syam AF, Laksmi PW, editor. Naskah Lengkap
Pertemuan Ilmiah Tahunan Penyakit Dalam 13. ]akarta: Pusat Penerbit Iimu
Penyakit Dalam FKUI; 2008. p. 118-23
62