Dibuat oleh:
dr. Alexander Giovanni
Pendamping:
dr. Padmi Bektilestari, SpPD
dr. Yuliati
2019-2020
BORANG PORTOFOLIO
Obyektif Presentasi :
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik di bangsal Melati, dilakukan tanggal 31 Januari 2020.
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis, GCS E4 V5 M6
3. Tanda vital
Tekanan darah : 101/65 mmHg
Nadi : 125 kali/menit
Laju napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,5 oC
4. Status Generalis
a. Pemeriksaan kepala
a. Bentuk kepala : mesocephal (+)
b. Mata : Conjuctiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
exophtalmus (+/+), lid lag (+/+), lid retraction (+/+)
c. Telinga : discharge (-/-), deformitas (-), massa (+/-)
d. Hidung : discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
e. Mulut : sianosis (-)
b. Pemeriksaan Leher
Inspeksi: Deviasi trakea (-), pembesaran limfonodi (-), tampak benjolan
di leher, bergerak saat menelan, simetris (+)
Palpasi : benjolan di leher teraba besar ± 3 cm di lobus kiri dan kanan
tiroid, simetris
Auskultasi: bruit tiroid (-)
c. Pemeriksaan thorax
Bentuk normochest, simetris, artrofi m. pectoralis (-/-), spider nevi (-),
retraksi interkostalis (-), retraksi supraklavikula (-),pernapasan thorako
abdominal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening
aksilla (-)
Jantung
Paru
• Perkusi
Kanan : Sonor, batas absolut paru hepar SIC V linea
midclavicularis dekstra
Kiri : Sonor, mulai redup pada batas paru jantung dan lobus
inferior pulmo dextra dan sinistra , batas paru lambung
SIC VI linea axillaris anterior sinistra
d. Pemeriksaan Abdomen
Total 26 (Toksik)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
CBC
Diff Count
Neutrofil L 29.6 % 42 – 74
Limfosit H 50.6 % 17 – 45
Monosit H 17.2 % 2.0 – 8.0
LED
LED 1 jam 22.0 mm/jam < 15
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 126 mg/dl <140
Ureum 30.0 mg/dl 10 – 50
Creatinin 1.00 mg/dl 0.8 - 1.3
Interpretasi:
Irama Sinus, reguler Kompleks QRS:
HR: 100x/menit
• Q patologis (-)
P wave: 1,5 kk (normal)
• RVH (-); LVH (-)
Interval PR: 4 kk (0.16 s)
• ST Segmen: normal
Aksis: Normal • Interval QT: 3 kk (0.12s)
T wave: normal
Kesan: Sinus takikardia
3. Urin Rutin (01/02/2020)
Makroskopis
Mikroskopis Urine
Epitel Squamous 0–2 /LPK
Epitel Transisional Negatif /LPK
Epitel Kuboid Negatif /LPK
Leukosit 0–1 /LPK < 10
Eritrosit 0–1 /LPK <5
Bakteri Negatif
Lain - Lain Negatif
E. DIAGNOSIS KERJA
F. PENATALAKSANAAN
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Terminologi tirotoksikosis dan hipertiroid sering digunakan, bahkan secara
bergantian untuk mendefinisikan manifestasi fisiologis akibat kadar hormon tiroid
yang berlebihan. Tirotoksikosis merupakan suatu kondisi klinis akibat kerja hormon
tiroid secara berlebihan yang secara umum disebabkan kadar hormon jaringan tiroid
yang berlebih.1,2 Hipertiroid merupakan bagian dari tirotoksikosis yang disebabkan
peningkatan kerja kelenjar tiroid melalui reseptor TSH dan mutasi reseptor TSH,
selain itu dapat juga disebabkan karena adanya pelepasan hormon tiroid secara pasif,
inflamasi kelenjar tiroid akibat autoimun, infeksi virus atau diinduksi obat.1,2,5,6
Penyakit grave/Grave’s disease merupakan salah satu penyakit autoimun dengan
organ spesifik pada tiroid yang diakibatkan stimulasi pertumbuhan dan fungsi
kelenjar tiroid melalui antibodi yang beredar melawan thyroid-stimulating hormone
(TSH) dan mengalami fungsi yang mimikri dengan fungsi TSH.5-7
2. Epidemiologi
Prevalensi hipertiroid di dunia memiliki range antara 0.2% hingga 1.3% pada
negara-negara yang memiliki kecukupan intake iodium. Di benua Asia, prevalensi
kejadian hipertiroid terbanyak terjadi di Tiongkok dengan prevalensi mencapai ±
1.25% dan di India dengan prevalensi mencapai ± 0.12%. Penyebab tersering
hipertiroid di negara-negara tersebut ialah Grave’s disease. Hampir 70-80% pasien
dengan hipertiroid merupakan Grave’s disease, sedangkan di negara-negara dengan
kecukupan intake iodium, sekitar 50% kasus hipertiroidnya adalah Grave’s disease
dan sisanya adalah penyakit tiroid noduler.3
Gambar 2.1 Sebaran Kasus Hipertiroid secara Global3
b) Infeksi
Infeksi dapat memicu terjadinya Grave’s disease melalui konsep mimikri
molekuler. Berbagai mikroba penyebab penyakit infeksius seperti H. pylori dan
Y. enterolitica dikaitkan dengan terjadinya Grave’s disease. Infeksi pada
kelenjar tiroid dapat diasosiasikan dengan penyakit autoimun, namun belum
prediktif untuk terjadinya Grave’s disease. Infeksi diduga memilili
karakteristik epigenetik terhadap kerentanan gen masih menjadi hipotesis
terjadinya Grave’s disease.
c) Stres
Kejadian tirotoksikosis seringkali meningkat dengan tingkat stress individu,
terutama stress emosional yang berat, seperti kehilangan seseorang baik asmara
maupun kecelakaan. Stres emosional mampu menyebabkan supresi imun
melalui mekanisme nonspesifik sehingga pada orang-orang yang rentan
terhadap autoimun, penyakit autoimun dapat muncul.
d) Jenis Kelamin
Wanita memiliki risiko Grave’s disease sekitar 4-5x dibandingkan dengan pria.
Diduga kecenderungan terjadinya penyakit tersebut terkait dengan hormon seks
wanita. Kadar hormon estrogen dan progesteron pada wanita mempengaruhi
sistem imun terkait dengan sel B. Selain itu 2 kromosom X yang dimiliki
wanita, meningkatkan risiko kerentanan gen menjadi 2x lipat.
e) Kehamilan
Hipertiroidisme memiliki kecenderungan menurunkan fertilitas. Pada wanita
dengan hipertiroid derajat ringan memiliki risiko untuk mengalami keguguran
dan kehamilan berisiko akibat tingginya kadar hormon tiroid. Hormon tiroid
bersifat toksik langsung terhadap janin. Pada kondisi hamil, wanita mengalami
kondisi imunosupresi sehingga kejadian Grave’s disease selama hamil jarang
karena fungsi sel B dan sel T terhambat. Namun, risiko kembali meningkat
setelah terminasi kehamilan.
f) Obat-obatan
Obat-obatan yang mengandung iodine, seperti amiodaron dan media kontras
mengandung iodin dapat mempresipitasi terjadinya Grave’s disease. Iodine
meningkatkan kerja TRAbs dan menstimulasi pembentukan hormon tiroid.
g) Radiasi
Autoantibodi tiroid lebih sering muncul pada populasi yang terpapar dengan
radiasi dan meningkatkan kejadian tiroiditis autoimun. Pengobatan dengan
iodine radioaktif dapat meningkatkan kadar TRAb, dibandingkan dengan
pemberian obat antitiroid ataupun pembedahan.
5. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang timbul pada Grave’s disease terbagi atas dua kelompok, yaitu
gejala tiroid dan ekstratiroid. Gejala tiroid pada Grave’s disease dapat tampak pada
tirotoksikosis lain. Kelenjar tiroid pada Grave’s disease membesar secara simetris,
namun tidak menutup kemungkinan kelenjar berukuran normal.5,7 Pada kondisi
dengan goiter atau pembesaran kelenjar, ukuran kelenjar dapat menjadi dua sampai
tiga kali ukuran normalnya dengan konsistensi bervariasi dari lunak hingga teraba
padat, permukaan yang rata dan terkadang lobuler.5-7 Beberapa kasus Grave’s
disease berat dapat teraba thrill pada pole atas atau bawah lokasi a. thyroidalis
superior dan inferior. Bruit dapat diketahui dengan auskultasi leher dengan volume
yang lebih keras pada kelenjar tiroid dibandingkan dengan area superolateral kiri
sternum.6-7
6. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Grave’s disease dapat ditegakkan secara klinis dan dikonfirmasi dengan
beberapa pemeriksaan penunjang. Pasien-pasien dengan klinis hipertiroid perlu
dilakukan pemeriksaan untuk membedakan antara tirotoksikosis dengan hipertiroid
atau tanpa hipertiroid. Berdasarkan guideline dari NICE, pemeriksaan TSH
receptor antibodies (TRAbs) dilakukan untuk konfirmasi Grave’s disease dan
pemeriksaan scan technetium kelenjar tiroid bila TRAbs negatif, serta
ultrasonografi tiroid pada pasien dengan nodul tiroid yang terpalpasi.5,6,9
Berdasarkan pedoman PERKENI 2017 tentang penatalaksanaan penyakit
hipertiroid, beberapa modalitas pemeriksaan penyakit hipertiroid yang dapat
dilakukan antara lain:9
Intepretasi Skor
> 19 = toksik
11-19 = equifoval
<11 = eutiroid/non-toksik
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertiroid dilakukan untuk menekan sekresi hormon baik
melalui zat kimia yang menghambat sintesis dan pelepasan hormon atau dengan
mengurangi kuantitas jaringan tiroid. Terdapat tiga metode dalam
penatalaksanaan untuk hipertiroid, khususnya untuk penatalaksanaan Grave’s
disease, antara lain dengan pemberian antitiroid (ATD), pemberian iodin
radioaktif, dan pembedahan.5-7,9-10
a) Obat Anti-Tiroid (ATD)
Anti-tiroid untuk Grave’s disease adalah obat golongan thionamid, yang
terdiri atas methimazole, carbimazole, dan propiltiourasil (PTU).
Mekanisme utama golongan tiroid adalah untuk menghambar organifikasi
iodine dan coupling iodotyrosine serta menghambat sintesis hormon. PTU
memiliki efek lain untuk menghambat konversi T4 dan T3 pada jaringan
perifer, sedangkan methimazole memiliki kemampuan yang 10x lebih
poten dari PTU. Pemberian ATD untuk Grave’s disease dapat diberikan
dalam jangka panjang selama satu hingga dua tahun. Indikasi pemberian
ATD, antara lain: untuk pasien dengan kecenderungan remisi yang tinggi
(jenis kelamin perempuan, derajat penyakit ringan, goiter dengan ukuran
kecil dan titer TRAb rendah atau negatif); usia tua atau dengan komorbid,
pasien geriatri, atau yang tidak dapat melakukan terapi radiasi, riwayat
operasi atau terapi radiasi di leher, dan oftalmopati Grave aktif derajat
sedang-berat. 5-7,9-10
Pemberian ATD dapat dilakukan secara titrasi dan block-supplement.
Metode titrasi dilakukan dengan pemberian methimazole 20-30 mg/hari
atau PTU 300-600 mg/hari sampai tercapai keadaan eutiroid kemudian
perlahan diturunkan hingga 2.5 mg untuk methimazole dan 100 mg untuk
PTU. Metode block-supplement dilakukan saat keadaan eutiroid.
Pemberian levotiroksin 100-150 mcg/hari bertujuan untuk mencegah
terjadinya hipotiroid pasca pemberian ATD. Remisi tercapai apabila kadar
TSHs, fT4 dan total T3 normal setelah satu tahun ATD dihentikan. 5-7,9-10
ATD lain yang dapat diberikan, antara lain:
• Cholestyramine digunakan untuk penurunan kadar hormon tiroid
secara cepat)
• Iodine anorganik, seperti larutan Lugol atau saturated solution of
potassium iodide (SSKI) menurunkan transport iodide ke dalam
jaringan tiroid, serta menghambat organifikasi iodine serta
menghambat pelepasan T4 dan T3. Iodine juga mampu
menurunkan vaskularisasi tiroid pada Grave’s disease. Dosis
pemberian larutan Lugol 3-5 tetes 3x/hari, dan SSKI 1-3 tetes
3x/hari.
• Litium karbonat berfungsi untuk menghambat sekresi hormon
tiroid, namun tidak mengganggu akumulasi radioiodine. Dosis 300-
450 mg/8 jam untuk kontrol tirotoksikosis sementara, serta dapat
digunakan pada pasien yang alergi terhadap thionamide atau iodine.
• Dexamethasone, dosis 2 mg/6 jam bertujuan menghambat konversi
T4 menjadi T3 serta bersifat imunosupresan.
• Beta blocker merupakan obat-obat yang berespon terhadap kadar
katekolamin pada reseptor, terutama propranolol, dan mengatasi
gejala-gejala tirotoksikosis yang berkaitan dengan kardiovaskuler.
Beta blocker dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 melalui
pensinyalan katekolamin, dengan dosis 10-60 mg/6-8 jam.
b) Iodine Radioaktif
Radioisotop iodine diperkenalkan pertama kali untuk penanganan Grave’s
131
disease sekitar tahun 1940. Iodine radioaktif menggunakan I yang
131
merupakan pilihan untuk hiperfungsi tiroid. I diminum peroral,
kemudian akan terserap dan secara cepat terkonsentrasi, teroksidasi dan
teroganifikasi oleh sel folikuler tiroid. Efek biologisnya, antara lain
nekrosis sel-sel folikuler serta oklusi vaskuler yang dapat berkembang
secara penuh dalam waktu minggu sampai bulanan setelah single dose.
Dosis iodine radioaktif ditentukan dengan menggunakan rumus: W (berat)
kelenjar (g) x 150-200 uCi/g x 1/24 jam uptake dalam %. Berat kelenjar
ditentukan dengan USG atau sidik tiroid. Semakin tinggi dosis, maka
semakin cepat kondsi eutiroid tercapai. 5-7,9-10
c) Pembedahan
Pembedahan direkomendasikan bila iodine radioaktif merupakan
kontraindikasi, terutama pada kondisi-kondisi sebagai berikut;
terkonfirmasi adanya kanker tiroid atau kecurigaan nodul tiroid, usia muda,
berencana untuk hamil dengan durasi <6 bulan setelah memulai
pengobatan, alergi terhadap obat anti-tiroid, struma/goiter besar (berat
mencapai >80g) sehingga menyebabkan kompresi, dan pasien yang tidak
mau mendapatkan terapi radioaktif. Tujuan pembedahan pada pasien
Grave’s disease adalah untuk mengendalikan penyakit secara komplet dan
permanen dengan morbiditas seminimal mungkin.12
Pada masa persiapan operasi, pasien harus benar-benar dalam keadaan
eutiroid. Pemberian larutan Lugol atau larutan saturated potassium iodide
diberikan selama 7-10 hari praoperasi dengan dosis 3 tetes 2 kali perhari
yang bertujuan mengurangi vaskularisasi dan mencegah krisis tiroid.12
Berdasarkan pedoman dari American Thyroid Association tentang
terapi bedah pada Grave’s disease direkomendasikan metode near-total
atau total thyroidectomy dengan ahli bedah yang berpengalaman. Risiko
rekurensi dengan metode total thyroidectomy mencapai hampir 0% dan
untuk metode subtotal thyroidectomy risiko rekurensinya mencapai 8%.
Komplikasi tersering pasca total atau near-total thyroidectomy adalah
hipokalsemia akibat hipoparatiroidisme, cedera n. laryngeus recurrent atau
n. laryngeus superior, perdarahan pasca operasi, dan komplikasi akibat
anestesi umum.1,12
8. Komplikasi
Grave’s disease yang tak tertangani dapat menimbulkan komplikasi yang serius,
berupa krisis tiroid. Krisis tiroid merupakan eksaserbasi akut dari seluruh gejala
tirotoksikosis dengan kondisi yang mengancam nyawa. Krisis tiroid dapat
dipresipitasi oleh adanya trauma, infeksi, atau pembedahan pada pasien dengan
hipertiroid. Gejala klinis yang dapat ditemui adalah peningkatan gejala hipertiroid,
demam tinggi hingga hiperpireksia, mual, muntah serta diare secara berlebih,
gangguan hemodinamik, hingga gangguan kesadaran. Pemantauan krisis tiroid
dapat dilakukan dengan skoring Burch-Wartofsky Point Scale.
Pemeriksaan penunjang untuk krisis tiroid, antara lain peningkatan fT4 dan T3
serta TSH yang tidak terdeteksi, disertai adanya anemia, leukositotsis,
hiperglikemia, hiperkalsemia dan peningkatan fungsi hepar.
9. Prognosis
Prognosis Grave’s disease umumnya baik. Remisi sempurna dapat dicapai apabila
kadar hormon tiroid dalam batas normal dengan pengobatan, serta pengangkatan
kelenjar dengan iodine radioaktif atau dengan pembedahan. Risiko relaps pada
Grave’s disease cenderung tinggi pada penggunaan obat-obat oral ATD,
dikarenakan pengendalian faktor risiko yang masih kurang.
BAB 3
PEMBAHASAN
Seorang wanita usia 36 tahun datang ke IGD RSUD Kab. Batang dengan keluhan dada
terasa berdebar-debar sejak 1 minggu SMRS. Keluhan berdebar-debar dirasakan
memberat sehingga saat ini mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Keluhan dada
berdebar-debar disertai dengan tangan yang seringkali gemetaran, merasa gerah dalam
kondisi udara dingin, nafsu makan meningkat namun berat badan semakin menurun.
Keluhan disertai dengan nyeri perut di ulu hati terasa panas/perih tanpa penjalaran,
membaik dengan makan, dan memburuk dalam keadaan perut kosong.
Pemeriksaan didapatkan eksopthalmus dengan lid lag dan lid retraction,
pembesaran kelenjar tiroid secara simetris, baik secara inspeksi maupun palpasi, fine
tremor. Pemeriksaan penunjang didapatkan hasil EKG sinus takikardi, laboratorium
menunjukkan hipertiroid, Indeks Wayne menunjukkan angka 26 (toksik). Diagnosis
diffuse toxic goitre ec Grave’s disease dapat ditegakkan.
Tatalaksana pada pasien ini diberikan terapi berupa PTU (propyltiourasil)
sebagai obat anti-tiroid. Propanolol yang merupakan golongan beta bloker untuk
mengatasi manifestasi kardiovaskuler Grave’s disease dengan bekerja melalui reseptor
katekolamin. Golongan PPI (lansoprazol maupun pantoprazol) dan ondansetron
diberikan untuk mengatasi keluhan nyeri perut dan mual/muntah. Paracetamol sebagai
obat antiinflamasi dan keluhan febris. Dexamethasone, obat golongan glukokortikoid
untuk menghambat konversi T4 menjadi T3.
DAFTAR PUSTAKA
Tanggal S O P
Nadi : 84 kali/menit
Laju pernapasan : 24 kali
Suhu : 36,6o C
PF Tiroid:
Palpasi teraba massa difus ± 3
cm, NT (-)
Auskultasi: Bruit (-)
Inspeksi: Exophtalmus (+/+),
fine tremor (+/+)
Thorax : dbn
Cor : dbn
Pulmo : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn
GDS 21: 211 mg/dl
GDS 06: 183 mg/dl
Pulmo : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn