Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

DRUG INDUCED HEPATITIS ET CAUSA OAT

Pembimbing

dr. Abu Bakar El Bahar Sp.P.,M.Kes

Oleh :
TIKA AWALIA KAMAL (08310307)
IRFAN YANUAR HILMI (09310233)
EKO NUZUL ABDILLAH KHAIRUL RIZKI (09310195)

UMF ILMU PARU RSUD CIAMIS


KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI 2015
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. N
Umur : 45 Tahun
Alamat : Kel. Margajaya Kec. Sukadana Kab. Ciamis
Pekerjaan : Dagang
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Tanggal MRS : 9 April 2015
No. RM : 398772

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Ciamis dengan keluhan lemas. Lemas
sudah dirasakan pasien selama 1 bulan, dan terasa semakin memberat dalam
waktu 1 minggu ini. Lemas dirasakan disaat sedang beraktiftas khususnya saat
berjalan dan bekerja. Pasien juga mengeluh adanya batuk yang sudah
dirasakan sejak 2 bulan ini. Batuknya disertai dengan dahak berwarna putih,
dengan dahak yang agak kental. Terkadang pasien merasakan suka
berkeringat di malam hari. Selain itu pasien juga mengeluhkan ada mual,
tetapi tidak disertai muntah. Pasien juga mengeluhkan merasa ada panas
didaerah ulu hati. Nafsu makan agak berkurang, dan mulut terasa pahit. Pasien
juga merasa bahwa berat badannya menurun karena merasakan pakaiannya
melonggar. Pasien juga mengeluh agak pusing, dan demam yang naik turun
akhir-akhir ini.
1 bulan yang lalu pasien sempat berobat ke puskesmas dan disarankan
untuk program pengobatan 6 bulan, dan sekarang pasien sedang dalam

2
pengobatan TB bulan pertama dengan dosis sehari minum 3 tablet merah
setiap pagi.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien belum pernah mengalami gejala serupa sebelumnya.
Riwayat darah tinggi (-) dan penyakit gula (-)
Riwayat alergi (-) dan riwayat asma (-)
Riwayat sakit paru lainnya (-)
Riwayat penggunaan obat paru (-)
Riwayat Penyakit Keluarga:
Keluhan serupa pada keluarga (-)
Sakit paru pada keluarga (-)
Riwayat darah tinggi (-) dan penyakit gula (-)
Riwayat alergi dan riwayat asma (-)
Riwayat Pengobatan:
Pasien sedang mendapatkan pengobatan OAT bulan ke 1
Riwayat Alergi:
Alergi debu, makanan dan obat disangkal
Riwayat Kebiasaan :
Riwayat kebiasaan merokok ?
Riwayat minum alkohol (-)
Riwayat penggunaan narkoba (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : compos mentis

Tanda vital:
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 76 x/menit

3
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 37,5oC

Status generalis:
Kepala : Normocephal
Mata : Refleks cahaya (+/+), pupil isokor
Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Mukosa edema (-/-), hiperemis (-/-), sekret (-/-) Deviasi (-)
Telinga : CAE edema (-/-), sekret (-/-), hiperemis (-/-), MT intak/intak
Leher : Perbesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-)
Thorax
Pulmo :
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dinding dada simetris,
retraksi intercostalis (-), retraksi suprasternal (-), retraksi
Palpasi : Vokal fremitus sama dikedua lapang paru, massa (-
), Nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor dikedua lapang baru
Auskultasi : Vesikular (+/+), Ronkhi basar halus(-/-), Ronkhi
basah kasar (-/-), Wheezing (-/-)
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan; ICS IV linea parasternalis
dekstra
Batas kiri; ICS IV linea midclavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni, regular, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : perut soepel
Palpasi : nyeri tekan (-),
Perkusi : timpani, Ascites Shifting dullnes (-)

4
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Ekstremitas :
Ekstr. Atas : Akral hangat, RCT< 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
Ekstr. Bawah : Akral hangat, RCT< 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium (09-04-2015)
Jenis
Hasil Satuan Nilai Normal
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin 12,4 g/dl P: 12-16; L: 14-18
Hematokrit 35,9 % P: 35-45; L: 40-50
Jumlah Leukosit 4,4 103 /uL Dewasa: 5,0-10,0
Jumlah Trombosit 144 103 /uL 150-350
GDS 128
LED 26
Kimia Darah
SGOT 310 U/L/37^0 C
SGPT 308 U/L/37^0 C
Ureum 15,2
Kreatinin 0,74
Asam urat 12,0

2. Radiologi

5
V. Diagnosis

Drug Induce Hepatitis e.c OAT


TB paru BTA (-) kasus baru dalam pengobatan OAT Bulan ke-1

VI. Penatalaksanaan

 OAT tunda sementara

 IVFD RL 20 gtt/menit + Neurobion drip

 Ranitidine 2 x 1 ampul

 Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab

 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr i.v

 Proliva 2 x 1

 Ulsafat syr 3 x 1 C

 Etambutol 500 mg 1 x 2 tab

 Inj. Streptomisin 750 ml I.M

VII. Follow up

Tanggal Subjective Objective Assessment Planning


10/04/15 Lemas (+), CM, TD 110/70 mmHg, Drug induce OAT ditunda sementara
(hari ke- Batuk (+) , nadi 78x/menit, RR hepatitis  IVFD RL 20 gtt/menit
2) dahak (-) 20x/menit, suhu 36,6 C Tb paru bta (-) + Neurobion drip
Mata : konjungtiva kasus baru dalam  Ranitidine 2 x 1 ampul
anemis -/-, sclera ikterik pengobatan OAT  Paracetamol 500 mg 3
-/- bulan ke-1 x 1 tab

6
Pulmo : I: B & G  Inj. Ceftriaxone 2 x 1
simetris, P: V.F simetris gr i.v
kanan dan kiri P: sonor  Proliva 2 x 1
diseluruh lapang paru,  Ulsafat syr 3 x 1 C
A: Suara napas vesicular  Etambutol 500 mg 1 x
(+/+), RBK (-/-), RBH (- 2 tab
/-), wheezing (-/-)  Inj. Streptomisin 750
ml I.M
11/04/15 Lemas (+), CM, TD 120/80 mmHg, Drug induce OAT ditunda sementara
(hari ke- Batuk nadi 74x/menit, RR hepatitis  IVFD RL 20 gtt/menit
3) berdahak (+) 22x/menit, suhu 36 C Tb paru bta (-) + Neurobion drip
Mata : konjungtiva kasus baru dalam  Ranitidine 2 x 1 ampul
anemis -/-, sclera ikterik pengobatan OAT  Paracetamol 500 mg 3
-/- bulan ke-1 x 1 tab
Pulmo : I: B & G  Inj. Ceftriaxone 2 x 1
simetris, P: V.F simetris gr i.v
kanan dan kiri P: sonor  Proliva 2 x 1
diseluruh lapang paru,  Ulsafat syr 3 x 1 C
A: Suara napas vesicular
 Etambutol 500 mg 1 x
(+/+), RBK (-/-), RBH (- 2 tab
/-), wheezing (-/-)
 Inj. Streptomisin 750
ml I.M
12/04/15 Lemas sudah CM, TD 120/80 mmHg, Drug induce OAT ditunda sementara
(hari ke- berkurang, nadi 80x/menit, RR hepatitis  IVFD RL 20 gtt/menit
4) Batuk 20x/menit, suhu 36,5 C Tb paru bta (-) + Neurobion drip
berkurang Mata : konjungtiva kasus baru dalam  Ranitidine 2 x 1 ampul
anemis -/-, sclera ikterik pengobatan OAT  Paracetamol 500 mg 3
-/- bulan ke-1 x 1 tab
Pulmo : I: B & G  Inj. Ceftriaxone 2 x 1
simetris, P: V.F simetris gr i.v
kanan dan kiri P: sonor  Proliva 2 x 1
diseluruh lapang paru,  Ulsafat syr 3 x 1 C
A: Suara napas vesicular
 Etambutol 500 mg 1 x
(+/+), RBK (-/-), RBH (-
2 tab
/-), wheezing (-/-)
 Inj. Streptomisin 75 ml
I.M
 Ulsafat syr 3 x 1C
13/04/15 Lemas (-), CM, TD 140/80 mmHg, Drug induce OAT ditunda sementara
(hari ke- Batuk nadi 79 x/menit, RR hepatitis  IVFD RL 20 gtt/menit
5) berkurang 22x/menit, suhu 36 C Tb paru bta (-) + Neurobion drip
Mata : konjungtiva kasus baru dalam  Ranitidine 2 x 1 ampul
anemis -/-, sclera ikterik pengobatan OAT  Paracetamol 500 mg 3
-/- bulan ke-1 x 1 tab
Pulmo : I: B & G
simetris, P: V.F simetris

7
kanan dan kiri P: sonor  Inj. Ceftriaxone 2 x 1
diseluruh lapang paru, gr i.v
A: Suara napas vesicular  Proliva 2 x 1
(+/+), RBK (-/-), RBH (-  Ulsafat syr 3 x 1 C
/-), wheezing (-/-)  Etambutol 500 mg 1 x
2 tab
 Inj. Streptomisin 75 ml
I.M
 Ulsafat syr 3 x 1C

BAB II

8
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan

hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena

terpajan obat atau agen non-infeksius lainnya.3 FDA-CDER (2001)

mendefinisikan kerusakan hati sebagai peningkatan level

alanineaminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari batas atas

nilainormal, dan peningkatan level alkaline phosphatase (ALP) lebih dari dua

kalidari batas atas nilai normal, atau peningkatan level total bilirubine (TBL)

lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal jika berkaitan dengan peningkatan

alanine aminotransferase atau alkaline phosphatase.3

Gambar 1. Definisi Drug Induced Liver Injury berdasarkan tipe


kerusakan yang terjadi pada hati4

B. Epidemiologi

9
Angka kejadian DILI (Drug Induced Liver Injury) sebagian besar

tidakdiketahui dengan pasti, hal ini dikarenakan penelitian prospektif pada

populasi yang berhubungan dengan kerusakan hati yang diakibatkan oleh obat

masih relatif rendah. Angka kejadian DILI pada populasi umumdiperkirakan

1−2 kasus per 100.000 orang pertahun. Pada pusat rujukantersier kira-kira

terdapat 1,2% hingga 6,6% kasus penyakit hati akut yangdiakibatkan oleh DILI.

Sedangkan estimasi insiden DILI adalah 14 per100.000 pasien per tahun pada

penelitian prospektif yang dilakukan diPrancis bagian utara, yang berarti 10 kali

lebih tinggi dari rata-rata yangdilaporkan oleh penelitian lain.5 Laporan terbaru

mengindikasikan bahwaDILI terjadi dalam 1/100 pasien yang dirawat di bagian

penyakit dalam.7DILI adalah kejadian yang jarang tetapi terkadang menjadi

penyakit yangserius. Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting di dalam

prakteksehari-hari.6

Di negara-negara barat, penyebab mayoritas DILI adalah obat

antibiotik,antikonvulsan dan agen psikotropika.5 Laporan lain menyebutkan

bahwaAsetaminofen merupakan penyebab utama DILI di negara-negara barat.7

DiAmerika Serikat, amoksisilin/klavulanat, INH, nitrofurantoin

danflorokuinolons adalah penyebab DILI yang terbanyak. Perbedaan

diantarapenelitian di AS dan Eropa dikarenakan terdapat perbedaan di

dalampenggunaan obat-obat yang diterima di masing-masing negara dan

kebiasaandi dalam meresepkan obat. Di negara Asia, herbal dan suplemen diet

adalahpenyebab paling sering dari DILI. Herbal dan suplement diet baru-baru

inimenyebabkan kurang dari 10% kasus DILI di negara-negara barat.5

10
C. Etiologi

Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian

secaraparenteral dari sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat

kuranglebih 900 jenis obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan

dapatmengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati.1 Beberapa diantaranya

sepertipada tabel 1 dibawah ini merupakan penyebab paling sering dari Drug

Induced Liver Injury.

Tabel 1. Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug-Induced

Liver Injury7

Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro Shimizu di Jepang

mengungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Injury diantaranya

11
adalah asetaminofen (16,9%), anti-HIV seperti Stavudine, Didanosine,

Nepirapine, Zidovudine (16,8%), Troglitazone (11,7%), anti konvulsan seperti

Asam Valproat dan phenitoin (10,3%), anti kanker (12,3%) yang meliputi

Flutamide (3,3%), Cyclophosphamide (3,1%), Methotrexate (3,0%) dan

Cytarabine (2,9%), Antibiotik (8,7%) seperti Trovafloxacin(3,2%),

Sulfa/trimethoprim (2,9%) dan Clarithromycin (2,8%), Anestesiseperti Halothane

(4,8%), Obat Anti-tuberculosis, Isoniazid (3,2%),Diklofenak (3,1%) dan

Oxycodone (3,1%).6

Tabel 2. Perubahan terpenting dari morfologi hati yang diakibatkan oleh


beberapa obat dan kimia yang digunakan.8

12
D. Mekanisme Hepatotoksisitas

Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein

transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis

hepatosit imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati

karena gangguan transport pada kanalikuli yang meghasilkan translokasi

fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami

pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu

banyak reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang mengandung

heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat membuat ikatan

kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya

peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-

vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitim ke

sel T, merangsang respon imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan

bebagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek

ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit

toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu.

Cedera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui

konversi xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh

mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai

hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen). (Bayupurnama, Putut,

2006)

13
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan
yang tidak dapat diduga (idiosinkratik).Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang
yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi
idiosinkratiktergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang

menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu


memetabolisme penyebab).(Bayupurnama, Putut, 2006)

Gambar 3. Metabolisme Obat9

14
E. Implikasi Klinis

Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis

dengan penyakit hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat

pemakaian obat-obat atau substansi-substansi hepatotoksiklain harus dapat

diungkap. (Bayupurnama, Putut, 2006)

Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan

bulan, dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran

klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan

dengan hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologist,

sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui

perbedaannya. (Bayupurnama, Putut, 2006)

Beberapa International Consensus Criteria, maka diagnosis

hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan :

1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi

nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel

(kurang dari 5 hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak

lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak

lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari

penghentian obat.

15
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif

(penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas

normal dalam 8 hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati

paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari

untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.

3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti,

termasuk biopsy hati pada tiap kasus

4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama

paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati

Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi

atau jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada

pemaparan ulang obat. (Mehta, Nilesh, 2010)

Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi

kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan

pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap

dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternative lainnya.

Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi

hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab

berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien

tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan

membaik secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal essensial dalam

diagnosis hepatotoksisitas imbas obat. (Mehta, Nilesh, 2010)

16
Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati

akut terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila

jejas hepatosist lebih dominan maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat

hingga paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase

dan bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik

melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan

apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam

beberapa hari atau minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang

bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya. (Mehta, Nilesh, 2010)

Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin

yang berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang

berat. Pemenuhan reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen

tetap bertahan di hepatosit selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Overdosis asetaminofen (lebih dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh

hepatoksisitas obat yang tergantung dosis (dose dependent) yang dengan cepat

menyebabkan jejas hepatosit terutama area sentrilobular. Konsentrasi

aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi 3500 IU/L. (Mehta, Nilesh, 2010)

17
Gambar 4. Ilustrasi yang menggambarkan mekanisme terjadinya
DILI,yang meliputi metabolisme obat, kerusakan hepatosit, aktivasisistem
imun dan menghasilkan terjadinya kerusakan jaringan.CYP (Cytochrome
P450), IFN (Interferon), IL (Interleukin), NL (Natural Killer Cell), NKT
(Natural Killer T Cell), danTNF (Tumor Necrosis Factor).10

F. Faktor Risiko Kelainan Hapatoseluler Imbas Obat

1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda

berdasarkan ras/suku bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik

mungkin lebih rentan terhadap isoniazid (INH). Tingkat metabolisme

berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar individu.

2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada

anak-anak. Orangtua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance

menurun, adanya interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan

18
menurunnya volume hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat

inap yang sering menjadi salah satu alasan penting terjadinya hepatotoksisitas

imbas obat.

3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi

pada wanita.

4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan

terhadap keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati

yang mengubah metabolisme obat. Alkoholmenyebabkan deplesi

penyimpanan glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan

terhadap toksisitas obat.

5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis

mengalami peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450

berkurang, beberapa orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain.

Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus didasarkan pada

pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien

dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan

meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi

antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis beresiko mengalami

peningkatan dekompensasi dengan obat beracun.

6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein.

Perbedaan genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang

19
abnormal terhadap obat. Debrisoquine adalah obat antiaritmiayang

mengalami metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P-450-

II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain

reaction gen mutan. Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi masa

depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi abnormal terhadap suatu

obat.

7. Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi,

dan orang-orang yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena

penyimpanan glutation rendah.

8. Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek

dibandingkan obatshort-acting

9. Faktor Host dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat dan

kemungkinan mendorong terjadinya penyakit hati, yakni:

o Wanita - Halotan, nitrofurantoin, sulindac

o Pria - Asam Amoksisilin-klavulanat (Augmentin)

o Usia Dewasa- Asetaminofen, halotan, INH, asam amoksisilin-klavulanat

o Usia Muda - Salisilat, asam valproik

o Puasa atau malnutrisi - Asetaminofen

o Indeks massa tubuh Besar / obesitas - Halotan

o Diabetes mellitus - Methotrexate, niacin

o Gagal ginjal - Tetracycline, allopurinol

o AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazol

20
o Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamide

o Penyakit Hati sebelumnya - Niasin, tetrasiklin, methotrexate

(Mehta, Nilesh, 2010)

Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama

hampir 50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk

mengatasinya. Namun,masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya.

Penyebab pasti ini tidak diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara

TB dengan infeksi HIV serta terjadinya Multiple Drug ResistantTuberkulosis

(TB-MDR). Setiap tahun diperkirakan ada satu jutakasus baru dan dua juta

kematian terjadi akibat TB di dunia.(Amin dan Asril, 2006)

Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuahancaman

baik untuk dokter dan pasien dalammelanjutkan terapi. Di antara berbagaiefek

yang disebabkan oleh obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan

hati disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya

menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan

TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen

pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH),

Rifampisin (R),Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin(S). (Kishore,

dkk, 2010)

Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/

streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko

hepatotoksisitas:

21
Faktor Klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya

penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang,

hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status

asetilatornya) dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan

HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara

meyakinkan adanya keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada

berbagai populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan

terhadap tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)

Gambar 2. Faktor Resiko yang Berhubungan dengan DILI4

G. Manifestasi Klinis Hepatotoksisitas Imbas OAT

Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkaitmirip

dengan hepatitis virus akut. OAT bisamenyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat

gejala yang bervariasi dariasimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah,

anoreksia, jaundice, dll.Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada

kegagalan hati akut. (Kishore, dkk, 2010).

22
Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan

memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan

acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti

akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan,

muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam

pekat

H. Efek Hepatotoksik OAT

Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine

transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atasbatas atas normal atau paling tidak

terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis.

Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya.Beberapapenulis

menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jikatingkat ALT meningkat

tiga kali atau lebihdibandingkan dengan normal, sementara yang lain

merekomendasikanlima kali. Drug-Induced Hepatitisdapat diklasifikasikan

berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas.

(Kishore, dkk, 2010)

1. Isoniazid (INH)

Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki

disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara

serum AST,ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapapasien, kerusakan hati yang

terjadi dapat menjadi progresif danmenyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin,

23
suatu metabolitdari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH

harusdihentikan apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali

nilai normal.Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang

menerima terapi pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis

lebih rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan

0,15%dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga

dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati di New

York dan Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan

terapi INH. Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis

biasa 300mg per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas

jarang terjadi pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis

retrospektif, kejadian hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10

miligram per kilogram per hari (mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300 mg / hari)

untuk profilaksis pada pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian, kejadian

hepatotoksisitas pada anak-anak yang menerima INH dan rifampisin untuk TB

adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari 430 anak-anak).(Kishore, dkk, 2010)

2. Rifampisin

Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum

pada tahap awal terapi. Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan

hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah

ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah pengobatan dan

memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin menyebabkan peningkatan

24
transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapipada 10-

15% pasien, dengan kurang dari 1% daripasien menunjukkan rifampisin

terbuka-inducedhepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang

menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas

Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkanterjadi pada

pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid,

dan diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan

bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan latentuberculosis.

(Kishore, dkk, 2010)

3. Pirazinamid

Efek samping yang paling utama dari obat iniadalah hepatotoksisitas.

Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dandapat terjadi setiap saat

selama terapi.Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48kasus

hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2bulan

Pirazinamid dan RifampisinantaraOktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasienpulih

dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari 48kasus yang dilaporkan, 33 (69%)

terjadi pada keduabulan terapi. (Kishore, dkk, 2010)

4.Etambutol

Ada sedikit laporan hepatotoksisitas denganEtambutol dalam

pengobatan TB. Tes fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa

25
pasienyang menggunakan etambutol yang dikombinasi dengan OAT lainnya

yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)

5. Streptomisin

Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yangdilaporkan. (Kishore, dkk, 2010)

I. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat

Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat

hepatotoksik (drug induced hepatitis).

Penatalaksanaan:

- Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop

- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop

- Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka

OAT distop

- SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop

- SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan

pengawasan

Paduan obat yang dianjurkan

- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)

- Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium

kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan

Isoniazid (H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama

26
itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis

penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan

Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat

badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES.

- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)

Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko

hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien

dengan karier HBsAg positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat

standard jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau

Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap

bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid mengalami

kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama

terapi yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat.

Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi

aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1%

yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan

pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian. (Xial, Yin Yin, dkk,

2010).

J. Rekomendasi Mengelola OAT

27
Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat

dapat diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi

Nasional untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OATantara lain:

• Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT

tersebut harus dihentikan

• Tunggu sampai jaundicehilang atau sembuhterlebih dahulu

• Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif,

berikan dua bulan

Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan Etambutol.

• Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol

sampai 8bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan

untuk rejimen standar. (Kishore, dkk, 2010)

Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien

hepatotoksisitas

• INH harus diberikandengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai

300 mg / hari setelah 2-3hari.Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.

• Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis

75mg / hari

lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg)

atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untukberat badan pasien. Jika tidak ada reaksi

yang terjadi, lanjutkan.

28
• Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat

menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).

(Kishore, dkk, 2010)

K. Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT

Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB dan

sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko

seperti pasien dengan gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan

kurang gizi. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan

akan tetapi pendidikan kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang

menjalani pengobatan TB secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan

manfaat dari OAT tetapi juga efek samping. Para pasien harus waspada dan

melaporkan segera jika terjadi gejala yang mengarah pada hepatitis seperti

hilangnya nafsu makan, mual, muntah, jaundice, yang terjadi selama pengobatan.

Selanjutmya, kondisi klinis pasien harus dinilai tidak hanya dalam hal pengendalian

penyakit tetapi juga dalam gejala dan tanda-tanda hepatitis pada mereka ikuti. OAT

harus dihentikan segera jika ada kecurigaan klinis reaksi hepatitis. Lalu tes fungsi

hati harus diperiksa seperti ALT, AST dan kadar bilirubin. (Kishore, dkk, 2010)

L. Kriteria yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Perkembangan

Hepatotoksisitas Imbas OAT

1. Periksa kimia normal hati sebelum memulai rejimen obat OAT

2. Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obatsebelum memulai

pemberian OAT

29
3. Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis

standar,sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelumpengembangan kimia

hati yang abnormal.

4. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatanALT dan / atau untuk

AST> 120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl (normal,

1,5 mg / dl).

5. Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati

6. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknyapeningkatan 50%

dari kimia hati yang abnormal. (Jaime, Ungo, dkk, 2010)

M. Uji Test OAT Penyebab Hepatotoksisitas

Masalah terbesar dengan pengobatan TB adalah drug-induced hepatitis, yang

memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Tiga obat-obatan dapat menyebabkan

hepatitis: Pirazinamid, INH dan Rifampicin (dalam urutan penurunan frekuensi).

Hal ini tidak mungkin untuk membedakan antara tiga penyebab murni berdasarkan

yanda-tanda dan gejala. Tes fungsi hati harus diperiksa pada awal pengobatan,

tetapi, jika normal, tidak perlu diperiksa lagi, pasien hanya perlu memperingatkan

gejala hepatitis. Dalam hal ini, tes hanya perlu dilakukan dua minggu setelah

memulai pengobatan dan kemudian setiap dua bulan selanjutnya, kecuali ada

masalah yang terdeteksi. Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi akibat

pemakaian Rifampicin (blok ekskresi bilirubin) dan namun biasanya kembali

normal setalah 10 hari (peningkatan enzim hati untuk mengimbangi produksi).

Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan AST) yang utama di tiga minggu

30
pertama pengobatan. Jika pasien asimtomatik dan elevasi tidak berlebihan maka

tidak ada tindakan yang perlu diambil. Beberapa ahli menganggap pengobatan

harus dihentikan jika penyakit kuning menjadi bukti klinis.

Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat harus

dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB tidak

dapat dihentikan, maka dapat diberikanStreptomycin dan Etambutosampai kadar

transaminase kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis).

Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan

dalam suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat.

Seorang perawat harus hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada

15 interval menit selama minimal empat jam setelah tiap dosis uji diberikan

(masalah yang paling akan terjadi dalam waktu enam jam pemberian dosis uji, (jika

mereka akan terjadi). Pasien dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit dan akses ke

fasilitas perawatan intensif harus tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam

urutan ini.:

* Hari 1: INH pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis

* Hari 2: INH pada 1 / 2 dosis

* Hari 3: INH dengan dosis penuh

* Hari 4: RMP pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis

* Hari 5: RMP jam 1 / 2 dosis

* Hari 6: RMP pada dosis penuh

* Hari 7: EMB pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis

31
* Hari 8: EMB pada 1 / 2 dosis

* Hari 9: EMB pada dosis penuh

Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain harus

dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4,

misalnya, pasien hanya menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan.

Jika pasien melengkapi sembilan hari dosis tes, maka wajar untuk menganggap

bahwa PZA telah menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji PZA perlu

dilakukan.

Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah karena

kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini

adalah diuji pertama: PZA adalah obat yang paling mungkin menyebabkan

hepatitis dan juga merupakan obat yang bisa paling mudah dihilangkan . EMB

berguna ketika pola kepekaan organisme TB tidak diketahui dan dapat

dihilangkan jika organisme diketahui sensitif terhadap INH. Rejimen masing-

masing menghilangkan obat standar tercantum di bawah ini.

Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai

berikut:

1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak

adanya obat-obatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya

2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling

akhir (dan mungkin tidak perlu diuji sama sekali). (Wikipedia, 2008)

32
Daftar Pustaka

1) Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-
UI. Jakarta. 2006.

2) Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit


Dalam Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.

3) Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis


di Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006

4) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta.


Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005

5) Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta. EGC. 2007

6) Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001

7) Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug

Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and

Difficulties in Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007),

Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260

33
8) Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis

Prevention and Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health


9) Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Drug–induced Hepatotoxicity The Role
of Hepatitis C Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The
University of Miami School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases
and Critical Care Medicine

10) Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of


Gastroenterology and Hepatology. 2010

11) World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for


National Program. 2003

34

Anda mungkin juga menyukai