Anda di halaman 1dari 81

Ujian Laporan Kasus

ULKUS DIABETIKUM + OSTEOMIELITIS +


HIPONATREMIA

Oleh :
Hersaina Ashriannisa Sembiring, S. Ked
712018056

Penguji
dr. Edi Saputra, Sp.PD, FINASIM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Ujian Laporan Kasus dengan judul

ULKUS DIABETIKUM + OSTEOMIELITIS +


HIPONATREMIA

Dipersiapkan dan disusun oleh:


Hersaina Ashriannisa Sembiring, S. Ked
NIM. 712018056

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI

Palembang, Januari 2021


Dosen Penguji

dr. Edi Saputra, Sp. PD, FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, Zat Yang Maha Pengasih dengan segala Kasih Sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan ujian laporan kasus yang berjudul “Ulkus Diabetikum +
Osteomielitis + Hiponatremia” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang BARI.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Edi Saputra, Sp. PD, FINASIM, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Palembang
BARI yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan selama
penyusunan referat ini.
2. Orang tua dan saudaraku yang telah banyak membantu dengan doa yang tulus
dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi dan bidan bangsal atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Januari 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
BAB II. LAPORAN KASUS
2.1. Identifikasi Pasien............................................................... 4
2.2. Anamnesis........................................................................... 4
2.3. Pemeriksaan Fisik................................................................ 6
2.4. Pemeriksaan Penunjang...................................................... 10
2.5. Diagnosis Banding.............................................................. 16
2.6. Diagnosis Kerja................................................................... 16
2.7. Penatalaksanaan.................................................................. 16
2.8. Prognosis............................................................................. 17
2.9 Follow Up ........................................................................... 17
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Diabetes Melitus.................................................................. 23
3.2 Osteomielitis........................................................................ 44
3.3 Hiponatremia....................................................................... 56
BAB IV. ANALISA KASUS
4.1 Analisa Kasus...................................................................... 60
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan.......................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 73

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabol


ik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi in
sulin, kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berh
ubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan bebera
pa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.1
Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderunga
n peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru
dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan ju
mlah penyandang DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global.
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 j
uta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kal
i lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes Federation (IDF)
memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1
juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.1
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan men
yebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maup
un makroangiopati. Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada se
mua tingkat sel dan semua tingkatan anatomik. Manifestasi komplikasi kron
ik dapat terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) berupa k
elainan pada retina mata, glomerulus ginjal, syaraf dan pada otot jantung (ka
rdiomiopati). Pada pembuluh darah besar, manifestasi komplikasi kronik D
M dapat terjadi pada pembuluh darah serebral, jantung (penyakit jantung ko
roner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah). Komplikasi lain DM da
pat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi dengan akibat mudahnya ter

1
jadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru dan infeksi kaki, yang kemudia
n dapat berkembang menjadi ulkus atau gangren diabetes.1
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang pali
ng ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi
dokter pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Sering kaki dia
betes berakhir dengan kecacatan dan kematian. Menurut The National Instit
ute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, diperkirakan 16 juta oran
g Amerika Serikat diketahui menderita diabetes, dan jutaan diantaranya bere
siko untuk menderita diabetes. Dari keseluruhan penderita diabetes, 15% me
nderita ulkus di kaki, dan 12-14% dari yang menderita ulkus di kaki memerl
ukan amputasi.1
Di Negara maju kaki diabetes memang juga masih merupakan masa
lah kesehatan masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengelol
aan, dan adanya klinik kaki diabetes yang aktif mengelola sejak pencegahan
primer, nasib penyandang kaki diabetes menjadi lebih cerah. Angka kematia
n dan angka amputasi dapat ditekan sampai sangat rendah, menurun sebanya
k 49-85% dari sebelumnya.1
Di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, masalah kaki diabetes masih
merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selal
u menyangkut kaki diabetes. Angka kematian dan angka amputasi masih tin
ggi, masing-masing sebesar 16% dan 25% (data RSUPNCM tahun 2003). N
asib para penyandang DM pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanya
k 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi, dan sebanyak 37%
akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.1
Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetes masih merupakan masala
h yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena sedikit sekali ora
ng berminat menggeluti kaki diabetes. Juga belum ada pendidikan khusus u
ntuk mengelola kaki diabetes (podiatrist, chiropodist belum ada). Di sampin
g itu, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetes masih sangat menco
lok, lagi pula adanya permasalahan biaya pengelolaan yang besar yang tidak
terjangkau oleh masyarakat pada umumnya, semua menambah peliknya mas

2
alah kaki diabetes sehingga untuk itu diperlukan pemahaman lebih lanjut me
ngenai ulkus kaki diabetes ini, itulah sebabnya kasus ini perlu untuk dipelaja
ri.1

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap
kasus Kaki Diabetik, DM tipe 2, Osteomielitis dan Hiponatremia secara
menyeluruh.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi
laporan kasus Kaki Diabetik, DM tipe 2, Osteomielitis dan
Hiponatremia ini dengan pembimbing klinik.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Kaki Diabetik, DM tipe 2,
Osteomielitis dan Hiponatremia terkait pada kegiatan kepaniteraan.

1.3. Manfaat
1.3.1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu
tentang kasus Kaki Diabetik, DM tipe 2, Osteomielitis dan Hiponatremia.
1.3.2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada pasien dengan
Kaki Diabetik, DM tipe 2, Osteomielitis dan Hiponatremia.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identifikasi
Nama Lengkap : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 12 Desember 1969/51 tahun
Alamat : Jl. P.S. Ing Kenayang RT 027/009, Karang Anyar,
Gandus, Palembang
Pekerjaan : Pekerja Bengkel
Agama : Islam
No. Reg. RS : 59.94.86
Tanggal Periksa : 22 Januari 2021
Ruang : Perawatan Laki-laki Infeksi Bed 1
Dokter : dr. Edi Saputra, Sp.PD,FINASIM
Co. Asisten : Hersaina Ashriannisa S
MRS Tanggal : 22 Januari 2021

2.2. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Luka di kaki kanan tidak sembuh-sembuh sejak 1 bulan SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan
luka di kaki kanan yang tidak sembuh sejak 1 bulan SMRS. Awalnya
timbul luka lecet kecil akibat gesekan pada sepatu, namun lama
kelamaan luka semakin membesar, mulanya luka pada kaki dirasakan
kemerahan, kaki terasa panas, kaki bengkak dan pegal, dan nyeri pada
kaki saat digerakan, kemudian keesokan harinya luka berubah menjadi
melepuh dan kehitaman. Keluhan tidak disertai kebas dan kesemutan
pada kaki. Sebelum timbul luka pada kaki, pasien sering mengeluhkan

4
mudah haus, sering lapar meski sudah makan beberapa jam yang lalu,
sering buang air kecil di malam hari, dan berat badan dirasakan
semakin menurun.
Selain keluhan tersebut, pasien juga mengeluh muntah sejak 5
hari SMRS, frekuensi muntah sebanyak lebih dari 10 kali/hari, isi
muntah apa yang dimakan, mual (+), badan lemas (+), perut kembung
(+). Keluhan tidak disertai demam(-), sakit kepala(-), nyeri perut (-),
BAB cair (-), menggigil (-), batuk (-), pilek (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat darah tinggi disangkal
- Riwayat penyakit diabetes melitus ada sejak tahun 2019 dan rutin
konsumsi obat Metformin 2x500 mg dan Glimepiride 1x2 mg.
- Riwayat maag disangkal
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat penyakit ginjal sebelumnya disangkal
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal
- Riwayat penyakit pernapasan (asma) disangkal

b. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat darah tinggi disangkal
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal
- Riwayat penyakit pernapasan (asma) disangkal
- Riwayat penyakit diabetes melitus ada yaitu kakak kandung pasien
- Riwayat keluhan yang sama disangkal

c. Riwayat Kebiasaan
Pasien mempunyai kebiasaan sering konsumsi makanan yang
manis-manis dan jarang berolahraga.

5
d. Riwayat Gizi
Makan 3x sehari dengan porsi satu piring. Pasien teratur pada jam
makan dan tidak memiliki selera menu yang pasti.

2.3. Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum (Awal masuk)
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Berat Badan : 70 kg
d. Tinggi Badan : 160 cm
e. Keadaan Gizi : Gizi berlebih
f. Bentuk Tubuh : Piknikus
g. Tekanan Darah : 140/70 mmHg
h. Nadi
- Frekuensi : 112 x/m
- Irama : reguler
- Isi : cukup
- Tegangan : cukup
- Kualitas : baik
i. Pernapasan
- Frekuensi : 18 x/menit
- Irama : reguler
- Tipe : thorako-abdominal
j. Temperatur : 36,2 oC

2. Keadaan Spesifik
a. Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala : normocephali
- Ekspresi : wajar
- Simetris muka : simetris
- Rambut : hitam, tidak mudah dicabut, tidak rontok

6
b. Pemeriksaan Mata
- Eksoftalmus : tidak ada (-/-)
- Endoftalmus : tidak ada (-/-)
- Palpebra : tidak ada edema (-/-)
- Konjungtiva : tidak anemis (-/-)
- Sklera : ikterik (-/-)
- Pupil : isokor, refleks cahaya (+/+)
- Gerakan : baik ke segala arah

c. Pemeriksaan Telinga
- Liang telinga : normal
- Serumen : ada
- Sekret : tidak ada (-/-)
- Nyeri tekan : tidak ada (-/-)
- Gangguan pendengaran : tidak ada

d. Pemeriksaan Hidung
- Bagian luar : normal
- Septum : tidak ada deviasi (-)
- Deformitas : tidak ada (-)
- Epistaksis : tidak ada (-/-)
- Penyumbatan : tidak ada (-)

e. Pemeriksaan Mulut dan Tenggorokan


- Bibir : tidak ada sianosis (-), kering
- Gigi-geligi : lengkap, karies (+)
- Gusi : hiperemis (-), normal
- Lidah : kotor (-), atrofi papil tidak ada (-)
- Tonsil : T1/T1 tenang
- Faring : hiperemis (-)

7
f. Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : simetris, tidak terlihat benjolan
- Palpasi : pembesaran tiroid dan KGB tidak ada (-)
- JVP : 5-2 cm H2O, distensi vena leher (-)

g. Pemeriksaan Kulit
- Hiperpigmentasi: tidak ada
- Ikterik : tidak adda
- Ptekie : tidak ada
- Sianosis : tidak ada
- Turgor : baik
- Jaringan parut : tidak ada

h. Pemeriksaan Thorax
Paru Depan
Inspeksi : simetris; sela iga melebar (-), retraksi dinding
dada (-)
Palpasi : stem fremitus sama pada kedua lapang paru kanan
kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru kanan kiri
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal , ronki (-/-) dan wheezing
(-/-)

Paru Belakang
Inspeksi : simetris; sela iga melebar (-), retraksi dinding
dada (-)
Palpasi : stem fremitus sama pada kedua lapang paru kanan
kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru kanan kiri
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronki basah (-/-) dan

8
wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
- Bawah : ICS V linea parasternalis dextra
- Kiri : ICS V linea midclavicularis
Auskultasi : BJ I dan II normal,murmur (-),gallop (-)

i. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-), spider nevi (-),
benjolan (-), bekas operasi (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan epigastrium (-),
hepatomegali (-), ballotement (-), nyeri
tekan suprapubic (-), splenomegali (-)
Perkusi : timpani (+), nyeri ketok CVA (-), shifting
dullness (-)
Auskultasi : bising usus normal

j. Pemeriksaan Genitalia
Tidak diperiksa

k. Pemeriksaan Ekstremitas
- Superior Dextra : akral dingin, edema (-), kekuatan (5), nyeri
sendi (-), eritema (-), CRT <2 detik.
- Superior Sinitra : akral dingin, edema (-), kekuatan (5), nyeri
sendi (-), eritema (-), CRT <2 detik.
- Inferior Dextra : Pada status lokalis regio pedis dextra,
terdapat luka berbentuk ulkus pada regio digiti I yang meluas

9
hingga plantar pedis dektra. Luka berukuran 5 cm x 3 cm x 1
cm. Pada luka terdapat edema (+), hiperemis (+), pus (+),
darah (-), jaringan nekrotik (+), bau (+), terlihat jaringan otot
disekitar luka. Nyeri tekan (-), CRT sulit dinilai. Sensorik
sekitar luka normal.

- Inferior Sinistra : akral hangat, pitting edema pretibial (-),


kekuatan (5), nyeri sendi (-), eritema (-), terdapat kuku yang
rapuh pada digiti I, III dan IV.

2.4. Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
(21 Januari 2021, Pukul 19:54 WIB)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Kesan

Darah Rutin

Hemoglobin 11,8 g/dl 14.0 – 16.0 Menurun

Eritrosit 3.91 10*6/u 4.5-5.5 Menurun

Hematokrit 32 % 42.0 – 52.0 Menurun

Jumlah Trombosit 305 10^3/ul 150 – 440 Normal

Jumlah Leukosit 23.0 10^3/ul 4.2 – 11.0 Meningkat

Hitung Jenis

Eosinofil 0 % 1–3 Menurun

Basofil 0 % 0–1 Normal

Batang 1 % 2-6 Menurun

Segmen 87 % 50-70 Meningkat

Limfosit 8 % 20.0 – 50.0 Menurun

Monosit 4 % 2–8 Normal

Kimia Darah

10
Glukosa darah 350 mg/dL <180 Meningkat
sewaktu

Creatinine 1.0 mg/dl 0,9-1,3 Normal

Ureum 36 mg/dl 20-40 Normal

SGOT/AST 28 IU/L <37 Normal

SGPT/ALT 30 IU/L <41 Normal

Elektrolit

Natrium 122 mmol/L 135-155 Menurun

Kalium 3.7 mmol/L 3,6-6,5 Normal

(21 Januari 2021, Pukul 20:52 WIB)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Kesan
Urine Lengkap

Makroskopis

Warna Kuning Normal

Kejernihan Jernih Normal

Reaksi/pH 5.5 5-8.5 Normal

Berat Jenis 1.005 1.000-1.030 Normal

Protein - Negatif Normal

Bilirubin - Negatif Normal

Glukosa 3+ Negatif Meningkat

Keton - Negatif Normal

Darah/Hb - Negatif Normal

Nitrit - Negatif Normal

Urobilinogen + Positif Normal

Leukosit - Negatif Normal

Mikroskopis

Leukosit 1-2 /LPB 0-5 Normal

11
Eritrosit 0-1 /LPB 1-3 Normal

Sel Epitel + /LPK

Silinder - /LPK

Kristal - /LPB

Lain-lain -

Pemeriksaan Elektrokardiogram (21 Januari 2021)

Irama : Sinus Gelombang P : Normal


Ritme : Reguler Kompleks QRS : Normal
Axis : Axis Left Deviation Interval PR : Normal
HR : 115x/menit

12
Pemeriksaan Rontgen Thorax (21 Januari 2021, pukul 21:49 WIB)

Pada pemeriksaan foto Thorax di dapatkan:


- CTR < 50%, Cor tidak membesar
- Corakan bronkovaskuler normal
- Tidak tampak infiltrat
- Diafragma kanan kiri licin
- Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip
- Tulang tulang intak
- Soft tissue baik

13
Kesan: Radiologis tak tampak kelainan Thorax

Pemeriksaan Rontgen Pedis AP + Lateral (22 Januari 2021, pukul


11:54 WIB)

Pada pemeriksaan foto pedis didapatkan:


- Gas Ganggrene dextra dan OM digiti I pedis dextra

Pemeriksaan Laboratorium (23 Januari 2021, Pukul 07:16 WIB)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Kesan
Kimia Klinik

Glukosa Darah 220 mg/dL 70-110 Meningkat


Puasa

Glukosa 2 Jam PP 264 mg/dl <140 Meningkat

14
HbA1c 9.7 % <6.0 Meningkat

2.5. Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan
luka di kaki kanan yang tidak sembuh sejak 1 bulan SMRS. Awalnya
timbul luka lecet kecil akibat gesekan pada sepatu, namun lama kelamaan
luka semakin membesar, mulanya luka pada kaki dirasakan kemerahan,
kaki terasa panas, kaki bengkak dan pegal, dan nyeri pada kaki saat
digerakan, kemudian keesokan harinya luka berubah menjadi melepuh dan
kehitaman. Keluhan tidak disertai kebas dan kesemutan pada kaki.
Sebelum timbul luka pada kaki, pasien sering mengeluhkan mudah haus,
sering lapar meski sudah makan beberapa jam yang lalu, sering buang air
kecil di malam hari, dan berat badan dirasakan semakin menurun.
Selain keluhan tersebut, pasien juga mengeluh muntah sejak 5 hari
SMRS, frekuensi muntah sebanyak lebih dari 10 kali/hari, isi muntah apa
yang dimakan, mual (+), badan lemas (+), perut kembung (+). Keluhan
tidak disertai demam(-), sakit kepala(-), nyeri perut (-), BAB cair (-),
menggigil (-), batuk (-), pilek (-).
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 140/70
mmHg, Nadi 112 kali/menit, RR 18 kali/menit dan temperatur 36,2 oC.
Pada pemeriksaan ekstremitas inferior pada regio pedis dextra, terdapat
luka berbentuk ulkus pada regio digiti I yang meluas hingga plantar pedis
dektra. Luka berukuran 5 cm x 3 cm x 1 cm. Pada luka terdapat edema (+),
hiperemis (+), pus (+), darah (-), jaringan nekrotik (+), bau (+), terlihat
jaringan otot disekitar luka. Nyeri tekan (-), CRT sulit dinilai. Sensorik
sekitar luka normal.
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya kondisi anemia di
mana hemoglobin menurun, eritrositopenia, hematokrit menurun dan
leukositosis. Pada hitung jenis didapatkan neutrofil batang menurun,
neutrofil segmen meningkat, dan limfositopenia. Pada pemeriksaan kimia

15
klinik didapatkan adanya kondisi hiperglikemia yaitu glukosa darah
sewaktu tinggi, Glukosa darah puasa tinggi, Glukosa 2 jam post prandial
tinggi, dan HbA1C tinggi. Pada pemeriksaan elektrolit didapatkan
hiponatremia. Pada pemeriksaan urine lengkap di dapatkan glukosuria
dengan hasil glukosa 3+.
Pada pemeriksaan rontgen pedis AP+lateral didapatkan Gas
Ganggrene dextra dan OM digiti I pedis dextra.

2.6 Diagnosis Banding


1. Ulkus diabetikum pedis dextra
2. Ulkus ec. Peripheral Arterial Occlusive Disease (PAOD)
3. Ulkus Tropikum

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan baterioskopik yaitu dengan pewarnaan Ziel-Neelsen pada
kerokan jaringan kulit
2. Pemeriksaan sensoris dengan garpu tala atau uji monofilament untuk
mengetahui apakah ulkus termasuk kedalam ulkus neuropati
3. Untuk menentukan patensi vaskuler dapat digunakan beberapa
pemeriksaan non invasif seperti; ( ankle brachial index / ABI) dan Doppler
Segmental Pressure. Pada PAOD ABI menurun signifikan yaitu < 0,5

2.8 Diagnosis Kerja


Ulkus Pedis Dextra + Osteomielitis Pedis Dextra ec Diabetes Mellitus
tipe 2 Tidak Terkontrol Overweight + Hiponatremia

2.9 Penatalaksanaan
Non Farmakologis
- Edukasi
- Diet BB 1700 Kkal

16
- Ganti verban tiap pagi dan sore
Farmakologis
- IVFD NaCl 0,9% gtt 20x/menit
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gram/iv (skin test)
- Inj. Omeprazole 1x1 vial/iv
- Inf. Metronidazole 3x500 mg/fls
- Mecobalamin 3x500 mg tab/p.o
- Cilostazole 2x100 mg tab/p.o
- Sliding insulin  12 IU

2.10 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam

2.11 Follow Up
Tanggal Catatan Tindakan
23/1/2021 S: Os mengeluh mual dan muntah, P/
frekuensi muntah sebanyak >5 kali/hari, - IVFD NaCl 0,9% gtt 20x/m
isi muntah apa yang dimakan, nyeri
- Inf. Metronidazole
pada luka di kaki kanan saat
digerakkan, BAK normal dan frekuensi 3x500mg
sering. - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr/iv

O: KU tampak sakit sedang, TD 120/70


- Inj. Novorapid 3x8 IU
mmHg, HR 101x/menit, RR 28 x/menit, - Inj. Omeprazole 1x1 vial/iv
Suhu 37,5 ºC, SpO2 99%
- Inj. Ondansetron 3x4 mg/iv
Leher: dalam batas normal - Cilostazole 2x100 mg
Pulmo: dalam batas normal tab/p.o
Cor: dalam batas normal
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan(-),
- Mecobalamin 3x500 mg
bising usus normal tab/p.o
Ekstremitas : Pada regio pedis dextra, - Ganti verban pagi dan sore
terdapat luka berbentuk ulkus pada
dengan cairan NaCl 0,9%
regio digiti I yang meluas hingga
+gentamicin
plantar pedis dektra. Luka berukuran
5 cm x 3 cm x 1 cm. Pada luka - Diet BB 1700 kkal

17
terdapat edema (+), hiperemis (-),
pus (+), darah (-), jaringan nekrotik Konsul dokter Spesialis
(+), bau (+), terlihat jaringan otot Bedah:
disekitar luka. nyeri tekan (-),
- Amputasi jika keluarga
pulsasi arteri dorsalis pedis lemah,
CRT sulit dinilai. Sensorik sekitar pasien setuju
luka normal. - Jika setuju, rencana operasi
hari Senin pukul 12.00 WIB
A: Ulkus Pedis Dextra + Osteomielitis
Pedis Dextra ec Diabetes Mellitus tipe 2
Tidak Terkontrol Overweight +
Hiponatremia

24/1/2021 S: os mengeluh demam, mual(+),


muntah (+), nyeri pada kaki (+)
-IVFD RL gtt 40x/menit
O: KU tampak sakit sedang, TD 120/60
- Inf. Metronidazole
mmHg, HR 102x/menit, RR 20 x/menit,
Suhu 38,3 ºC. 3x500mg
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr/iv
Mata : dalam batas normal
Leher: dalam batas normal - Inj. Novorapid 3x8 IU
Pulmo: dalam batas normal - Inj. Levemir 1x8 IU
Cor: dalam batas normal
- Inj. Omeprazole 1x1 vial/iv
Abdomen: datar, lemas, nyeri
tekan(-),timpani, bising usus normal - Inj. Ondansetron 3x4 mg/iv
Ekstremitas : Pada regio pedis dextra, - Cilostazole 2x100 mg
terdapat luka berbentuk ulkus pada
tab/p.o
regio digiti I yang meluas hingga
plantar pedis dektra. Luka berukuran - Mecobalamin 3x500 mg
5 cm x 3 cm x 1 cm. Pada luka tab/p.o
terdapat edema (+), hiperemis (-), - Sucralfat syr 3x1 cth
pus (+), darah (-), jaringan nekrotik
- Ganti verban pagi dan sore
(+), bau (+), terlihat jaringan otot
disekitar luka, nyeri tekan (+), dengan cairan NaCl 0,9%
pulsasi arteri dorsalis pedis lemah, +gentamicin
CRT sulit dinilai. Sensorik sekitar - Diet BB 1700 kkal
luka normal.

A: Ulkus Pedis Dextra + Osteomielitis Terapi Tambahan :


Pedis Dextra ec Diabetes Mellitus tipe 2 -Inf. Paracetamol 3x500 mg/fls
Tidak Terkontrol Overweight + (jika demam)

18
Hiponatremia Keluarga Setuju untuk dilakukan
amputasi

25/1/2021 S: mual, muntah, muntah sebanyak P/


2x/hari, isi muntah apa yang dimakan, - IVFD NaCl 0,9% gtt 20x/m
nyeri pada kaki saat ditekan dan
- Inf. Metronidazole
digerakkan, panas, bengkak, demam
berkurang 3x500mg
- Inf. Paracetamol 3x500
O: KU tampak sakit sedang, TD 120/60
mg/iv (jika demam)
mmHg, HR 94x/menit, RR 20 x/menit,
Suhu 37,4 ºC. - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr/iv
- Inj. Novorapid 3x8 IU
Mata : dalam batas normal
Leher: dalam batas normal - Inj. Levemir 1x12 IU
Pulmo: dalam batas normal - Inj. Ranitidin 2x1 amp/iv
Cor: dalam batas normal
Abdomen: datar, lemas, nyeri
- Inj. Ondansetron 3x8 mg/iv
tekan(-),timpani, bising usus normal - Cilostazole 2x100 mg
tab/p.o
Ekstremitas : Pada regio pedis dextra,
- Mecobalamin 3x500 mg
terdapat luka berbentuk ulkus pada
regio digiti I yang meluas hingga tab/p.o
plantar pedis dektra. Luka berukuran - Capsul garam 1x250 mg
5 cm x 3 cm x 1 cm. Pada luka tab/p.o
terdapat edema (+), hiperemis (-),
- Sucralfat syr 3x2 cth
pus (+), darah (-), jaringan nekrotik
(+), bau (+), terlihat jaringan otot - Ganti verban pagi dan sore
disekitar luka, nyeri tekan (+), dengan cairan NaCl 0,9%
pulsasi arteri dorsalis lemah, CRT +gentamicin
sulit dinilai. Sensorik sekitar luka
- Diet BB 1700 kkal
normal.
- Cek ulang elektrolit darah
BSS: 194 mg/dL, CT: 10 menit, BT: 3 (Na dan K)
menit
- Keluarga pasien menyetujui
A: Ulkus Pedis Dextra + Osteomielitis amputasi dan amputasi
Pedis Dextra ec Diabetes Mellitus tipe 2 telah dilakukan
Tidak Terkontrol Overweight + Terapi dari dokter bedah:
Hiponatremia
- Inj. Ketorolac 2x30 mg/iv
- Inj. Ranitidin 2x1 amp/iv

19
- GV 1 kali/hari dengan
larutan NS 0,9%
+Gentamicin

26/1/2021 S: mual, muntah sebanyak 2 kali, isi - P/ - IVFD NaCl 0,9% gtt
muntah air, demam (-), nyeri pada kaki
20x/m
saat digerakan (-), nyeri perut (+) saat
mual, badan lemas. - Inf. Metronidazole
3x500mg
O: KU tampak sakit sedang, TD 150/80
- Inf. Paracetamol 3x500
mmHg, HR 83x/menit, RR 20 x/menit,
Suhu 36,3 ºC. mg/iv (jika demam)
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr/iv
Mata : dalam batas normal
- Inj. Novorapid 3x8 IU
Leher: dalam batas normal
Pulmo: dalam batas normal - Inj. Levemir 1x12 IU
Cor: dalam batas normal
- Inj. Ranitidin 2x1 amp/iv
Abdomen: dalam batas normal
Ekstremitas: Pada regio pedis dextra, - Inj. Ondansetron 3x8 mg/iv
terdapat luka berbentuk ulkus pada - Cilostazole 2x100 mg
regio digiti I yang meluas hingga tab/p.o  ganti CPG 1x75
plantar pedis dektra. Luka berukuran
mg/p.o
5 cm x 3 cm x 1 cm. Pada luka
terdapat edema (+), hiperemis (-), - Mecobalamin 3x500 mg
pus (+), darah (-), jaringan nekrotik tab/p.o
(+), bau (+), terlihat jaringan otot - Capsul garam 1x250 mg
disekitar luka, nyeri tekan (+),
tab/p.o
pulsasi arteri dorsalis lemah, CRT
sulit dinilai. Sensorik sekitar luka - KSR 1x1 tab/p.o
normal. - Aprazolam 1x1 tab/p.o
- Diet BB 1700 kkal
BSS: 201 mg/dL, Na: 126 mmol/L, K:
3,2 mmol/L
Terapi dari dokter Bedah:
A: Ulkus Pedis Dextra + Osteomielitis - Inj. Ketorolac 2x30 mg/iv
Pedis Dextra ec Diabetes Mellitus tipe 2
Tidak Terkontrol Overweight + - Salep Burnazime
Hiponatremia - Sofratulle
- Ganti verban pagi dan sore
dengan cairan NaCl 0,9%
+gentamicin

20
Tambahan:
- IVFD NaCl 3% 250 cc gtt
20x/menit (hari I)
27/1/2021 S: mual, muntah sebanyak 1 kali, isi - P/ - IVFD NaCl 0,9% gtt
muntah air, demam (-), nyeri pada kaki
20x/m
saat digerakan (-), nyeri perut (-), badan
lemas berkurang, belum BAB, BAK - Inf. Metronidazole
normal, nafsu makan menurun. 3x500mg (Stop)
- Inf. Paracetamol 3x500
O: KU tampak sakit sedang, TD 120/70
mmHg, HR 80x/menit, RR 20 x/menit, mg/iv (jika demam)
Suhu 36,5 ºC. - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr/iv
- Inj. Novorapid 3x8 IU
Mata : dalam batas normal
Leher: dalam batas normal - Inj. Levemir 1x12 IU
Pulmo: dalam batas normal
- Inj. Ranitidin 2x1 amp/iv
Cor: dalam batas normal
Abdomen: dalam batas normal - Inj. Ondansetron 3x8 mg/iv
Ekstremitas: Pada regio pedis dextra, - CPG 1x75 mg/p.o
terdapat luka berbentuk ulkus pada
- Mecobalamin 3x500 mg
regio digiti I yang meluas hingga
plantar pedis dektra. Luka berukuran tab/p.o
5 cm x 3 cm x 1 cm. Pada luka - Capsul garam 1x250 mg
terdapat edema (+), hiperemis (-), tab/p.o
pus (+), darah (-), jaringan nekrotik
- KSR 3x1 tab/p.o
(+), bau (+), terlihat jaringan otot
disekitar luka, nyeri tekan (-), - Aprazolam 1x1 tab/p.o
pulsasi arteri dorsalis lemah, CRT - Sucralfat syr 3x1 cth/p.o
sulit dinilai. Sensorik sekitar luka - Diet BB 1700 kkal
normal.

BSS: 143 mg/dL Terapi dari dokter Bedah:


- Inj. Ketorolac 2x30 mg/iv
A: Ulkus Pedis Dextra + Osteomielitis
Pedis Dextra ec Diabetes Mellitus tipe 2 - Inj. Ranitidin 2x1 amp/iv
Tidak Terkontrol Overweight + - Salep Burnazime
Hiponatremia
- Sofratulle
- Ganti verban pagi dan sore
dengan cairan NaCl 0,9%
+gentamicin

21
Tambahan:
- IVFD NaCl 3% 250 cc gtt
20x/menit
28/1/2021 S: mual, muntah berkurang, demam (-), - Stoper
nyeri pada kaki saat digerakan (-), nyeri
- Inf. Paracetamol 3x500
perut (-), badan lemas berkurang, belum
BAB, BAK normal, nafsu makan baik. mg/iv (jika demam)
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr/iv
O: KU tampak sakit sedang, TD 120/70
mmHg, HR 80x/menit, RR 20 x/menit,
- Inj. Novorapid 3x8 IU
Suhu 36,8 ºC. - Inj. Levemir 1x12 IU
- Inj. Ranitidin 2x1 amp/iv
Mata : dalam batas normal
Leher: dalam batas normal - Inj. Ondansetron 3x8 mg/iv
Pulmo: dalam batas normal - CPG 1x75 mg/p.o
Cor: dalam batas normal
Abdomen: dalam batas normal - Mecobalamin 3x500 mg
Ekstremitas: Pada regio pedis dextra, tab/p.o
terdapat luka berbentuk ulkus pada - Capsul garam 1x250 mg
regio digiti I yang meluas hingga
tab/p.o
plantar pedis dektra. Luka berukuran
5 cm x 3 cm x 1 cm. Pada luka - KSR 1x1 tab/p.o
terdapat edema (+), hiperemis (-), - Aprazolam 1x1 tab/p.o
pus (+), darah (-), jaringan nekrotik - Diet BB 1700 kkal
(+), bau (+), terlihat jaringan otot
disekitar luka, nyeri tekan (-),
pulsasi arteri dorsalis lemah, CRT Terapi dari dokter Bedah:
sulit dinilai. Sensorik sekitar luka - Inj. Ketorolac 2x30 mg/iv
normal. - Inj. Ranitidine 2x1 amp/iv

BSS: 182 mg/dL - Salep Burnazime


- Sofratulle
A: Ulkus Pedis Dextra + Osteomielitis
- Ganti verban pagi dan sore
Pedis Dextra ec Diabetes Mellitus tipe 2
Tidak Terkontrol Overweight + dengan cairan NaCl 0,9%
Hiponatremia +gentamicin

22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan
metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek
sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya. Jika tidak ditangani
dengan baik tentu saja angka kejadian komplikasi kronik DM juga akan
meningkat, termasuk komplikasi kaki diabetes. Ulkus kaki diabetes
merupakan salah satu komplikasi kronik dan merupakan salah satu
komplikasi paling serius dari diabetes mellitus. 2,8
Kaki diabetes adalah suatu luka terbuka berbentuk ulserasi, yang
terkait dengan kerusakan pada kulit, kuku, atau bagian dalam jaringan kaki
karena infeksi atau kerusakan jaringan pada ekstremitas bawah yaitu
struktur di bawah maleolus pada penderita diabetes melitus yang terjadi
karena adanya infeksi yaitu keadaan patologis yang disebabkan oleh invasi

23
dan multiplikasi mikroorganisme dalam jaringan disertai dengan
kerusakan jaringan atau respon inflamasi host. 5
Kaki diabetes merupakan gambaran secara umum dari kelainan
tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes melitus yang
diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus berupa luka terbuka
pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan
setempat yang sering disebut dengan ulkus diabetik karena adanya
komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan
neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak
dirasakan dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri
aerob maupun anaerob yang pada tahap selanjutnya dapat dikategorikan
dalam gangren yang pada penderita diabetes melitus disebut dengan
gangren diabetik. 3
2.1.2 Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya kaki diabetes dipengaruhi oleh berbagai
faktor sebagai berikut : 6
1. Usia
Kejadian kaki diabetik pada penderita diabetes melitus tipe 2
meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi kaki diabetes rendah
pada populasi yang lebih muda (1,5-3,5%) dan tinggi pada usia yang
lebih tua (5-10%). Kelompok usia terbanyak terdapat pada rentang usia
45 sampai dengan 59 tahun dan 60 sampai dengan 74 tahun (45,5%).
Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses
aging terjadi sehingga penurunan sekresi atau resistensi insulin dan
kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian glukosa darah yang
tinggi kurang optimal serta menyebabkan penurunan sekresi atau
resistensi insulin yang mengakibatkan timbulnya makroangiopati, yang
akan mempengaruhi penurunan sirkulasi darah yang salah satunya
pembuluh darah besar atau sedang pada tungkai yang lebih mudah
untuk terjadinya kaki diabetes.
2. Dislipidemia

24
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi
lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total dan trigliserida
serta penurunan kadar kolesterol HDL. Pada penderita diabetes melitus
juga sering dijumpai adanya peningkatan kadar kolesterol plasma dan
trigliserida, sedangkan konsentrasi HDL (highdensity-lipoprotein)
sebagai pembersih plak biasanya rendah (≤45mg/dl). Kadar kolesterol
total ≥200mg/dl, trigliserida ≥150mg/dl dan HDL≤45mg/dl akan
mengakibatkan buruknya sirkulasi sebagian besar jaringan dan
menyebabkan hipoksia serta cedera jaringan yang merangsang reaksi
peradangan dan terjadinya aterosklerosis. Konsekuensi adanya
aterosklerosis adalah penyempitan lumen pembuluh darah yang akan
menyebabkan gangguan sirkulasi jaringan sehingga suplai darah ke
pembuluh darah menurun ditandai dengan hilang atau berkurangnya
denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi
nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari
ujung kaki atau tungkai.
3. Hipertensi
Mereka yang menderita hipertensi mempunyai tinggi tekanan
darah yang tidak normal. Penyempitan pembuluh nadi atau
aterosklerosis merupakan gejala awal yang umum terjadi pada
hipertensi. Karena arteri terhalang lempengan kolesterol dalam
aterosklerosis, sirkulasi darah melewati pembuluh darah menjadi sulit.
Ketika arteri mengeras dan mengerut dalam aterosklerosis, darah
memaksa melewati jalan yang sempit itu, sebagai hasilnya tekanan
darah menjadi tinggi. Untuk mengetahui faktor risiko tekanan darah
terhadap kejadian kaki diabetik, maka tekanan darah dibagi menjadi 2
kategori berdasarkan tekanan darah berisiko menurut PERKENI yaitu
hipertensi (TD >130/80mmHg) dan tidak hipertensi (TD ≤130/80
mmHg). Penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan penderita

25
kaki diabetik terbanyak adalah dengan hipertensi (38,92%). Penelitian
studi case control di Iowa menghasilkan bahwa riwayat hipertensi 4
kali lebih besar untuk terjadinya kaki diabetik dengan tanpa hipertensi
pada diabetes melitus tipe 2.
4. Lama Menderita Diabetes Melitus
Kaki diabetik terutama terjadi pada penderita diabetes melitus yang
telah menderita 10 tahun atau lebih dengan kadar glukosa darah tidak
terkendali yang menyebabkan munculnya komplikasi yang
berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami makroangiopati-
mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati yang
mengakibatkan menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan/luka
pada kaki penderita diabetik yang sering tidak dirasakan
5. Kontrol Glikemik
Kontrol glikemik atau pengendalian glukosa darah pada penderita
diabetes melitus dilihat dari dua hal yaitu glukosa darah sesaat dan
Kadar GDP >100 mg/dl atau GD2JPP >144 mg/dl disebut sebagai
kondisi hiperglikemia, yang jika berlangsung terus menerus
menyebabkan berkurangnya kemampuan pembuluh darah untuk
berkontraksi dan relaksasi, sehingga terjadi penurunan sirkulasi darah
terutama pada kaki.

2.1.3 Etiologi
Ulkus kaki diabetes dapat disebabkan oleh beberapa faktor: 7
1. Neuropati
2. Trauma
3. Deformitas kaki
4. Tekanan tinggi pada telapak kaki
5. Penyakit vaskuler perifer

2.1.4 Patofisiologi

26
Berbagai teori dikemukakan untuk menjelaskan pathogenesis
terjadinya komplikasi DM. Di antaranya yang terkenal adalah teori jalur
poliol, teori glikosilasi dan terakhir adalah teori stress oksidatif, yang
dikatakan dapat menjelaskan secara keseluruhan berbagai teori
sebelumnya (unifying mechanism). Apapun teori yang dianut, semuanya
masih berpangkal pada kejadian hiperglikemia.3
Hiperglikemia pada DM dapat terjadi karena masukan karbohidrat
yang berlebih, pemakaian glukosa di jaringan tepi berkurang, akibat
produksi glukosa hati yang bertambah, serta akibat insulin berkurang
jumlah maupun kerjanya. Dengan memperhatikan mekanisme asal
terjadinya hiperglikemia ini, dapat ditempuh berbagai langkah yang tepat
dalam usaha untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah sampai batas
yang aman untuk menghindari terjadinya komplikasi kronik DM.3
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada
penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada
pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan
autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot,
yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada
telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya
kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi
infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut
menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes.3
Meskipun prevalensi dan spektrum masalah kaki diabetes
bervariasi di berbagai wilayah di dunia, pathways ulserasi mungkin sangat
mirip pada kebanyakan pasien. Lesi kaki diabetik sering disebabkan oleh
pasien yang secara bersamaan memiliki dua atau lebih faktor risiko,
dengan neuropati perifer diabetik memainkan peran sentral. Neuropati ini
menyebabkan kaki yang tidak sensitif dan kadang-kadang berubah bentuk,
sering menyebabkan pola berjalan abnormal. Pada orang dengan
neuropati, trauma ringan (misalnya dari sepatu yang tidak cocok, berjalan
tanpa alas kaki atau cedera akut) dapat memicu ulserasi kaki. Kehilangan

27
sensasi, kelainan bentuk kaki, dan mobilitas sendi yang terbatas dapat
menyebabkan pemuatan biomekanis abnormal pada kaki sehingga
menghasilkan tekanan tinggi di beberapa area, tempat tubuh merespons
dengan kulit yang menebal (kalus). Hal ini menyebabkan peningkatan
lebih lanjut dari pembebanan abnormal, sering dengan perdarahan
9
subkutan dan akhirnya ulserasi.

Gambar 1. Ilustrasi Terjadinya Ulserasi karena Tekanan Berulang

a. Deformitas Kaki
Perubahan destruktif yang terjadi pada kaki Charcot menyebabkan
kerusakan arkus longitudinal medius, dimana akan menimbulkan gait
biomekanik. Perubahan pada calcaneal pitch menyebabkan regangan
ligamen pada metatarsal, cuneiform, navicular dan tulang kecil lainnya
dimana akan menambah panjang lengkung pada kaki. Perubahan
degeneratif ini nantinya akan merubah cara berjalan (gait),
mengakibatkan kelainan tekanan tumpuan beban, dimana menyebabkan
kolaps pada kaki. Ulserasi, infeksi, gangren dan kehilangan tungkai
merupakan hasil yang sering didapatkan jika proses tersebut tidak
dihentikan pada stadium awal.

b. Tekanan Tinggi
Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada beberapa sistem
organ termasuk sendi dan tendon. Hal biasanya tejadi pada tendon
achiles dimana advanced glycosylated end product (AGEs)
berhubungan dengan molekul kolagen pada tendon sehingga
menyebabkan hilangnya elastisitas dan bahkan pemendekan tendon.
Akibat ketidakmampuan gerakan dorsofleksi telapak kaki, dengan kata
lain arkus dan kaput metatarsal mendapatkan tekanan tinggi dan lama

28
karena adanya gangguan berjalan (gait). Hilangnya sensasi pada kaki
akan menyebabkan tekanan yang berulang, injuri dan fraktur, kelainan
struktur kaki, misalnya hammertoes, callus, kelainan metatarsal, atau
kaki Charcot; tekanan yang terus menerus dan pada akhirnya terjadi
kerusakan jaringan lunak. Tidak terasanya panas dan dingin, tekanan
sepatu yang salah, kerusakan akibat benda tumpul atau tajam dapat
menyebabkan pengelepuhan dan ulserasi. Faktor ini ditambah aliran
darah yang buruk meningkatkan resiko kehilangan anggota gerak pada
penderita diabetes. 9

c. Neuropati
Neuropati perifer pada diabetes adalah multifaktorial dan
diperkirakan merupakan akibat penyakit vaskuler yang menutupi vasa
nervorum, disfungsi endotel, defisiensi mioinositol-perubahan sintesis
mielin dan menurunnya aktivitas Na-K ATPase, hiperosmolaritas
kronis, menyebabkan edema pada saraf tubuh serta pengaruh
peningkatan sorbitol dan fruktose.
Neuropati disebabkan karena peningkatan gula darah yang lama
sehingga menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik. Peningkatan
kadar sorbitol intraseluler, menyebabkan saraf membengkak dan
terganggu fungsinya. Penurunan kadar insulin sejalan dengan
perubahan kadar peptida neurotropik, perubahan metabolisme lemak,
stres oksidatif, perubahan kadar bahan vasoaktif seperti nitrit oxide
mempengaruhi fungsi dan perbaikan saraf. Kadar glukosa yang tidak
teregulasi meningkatkan kadar advanced glycosylated end product
(AGE) yang terlihat pada molekul kolagen yang mengeraskan ruangan-
ruangan yang sempit pada ekstremitas superior dan inferior (carpal,
cubital, dan tarsal tunnel). Kombinasi antara pembengkakan saraf yang
disebabkan berbagai mekanisme dan penyempitan kompartemen karena
glikosilasi kolagen menyebabkan double crush syndrome dimana dapat
menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan autonomik.

29
Perubahan neuropati yang telah diamati pada kaki diabetik
merupakan akibat langsung dari kelainan pada sistem persarafan
motorik, sensorik dan autonomik. Hilangnya fungsi sudomotor pada
neuropati otonomik menyebabkan anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit
yang terbuka akan mengakibatkan masuknya bakteri dan menimbulkan
infeksi. Berkurangnya sensibilitas kulit pada penonjolan tulang dan
sela-sela jari sering menghambat deteksi dari luka-luka kecil pada kaki.
Neuropati autonomik mengakibatkan 2 hal yaitu anhidrosis dan
pembukaan arteriovenous (AV) shunt. Neuropati motorik paling sering
mempengaruhi otot intrinsik kaki sebagai akibat dari tekanan saraf
plantaris medialis dan lateralis pada masing-masing lubangnya
(tunnel).9

d. Penyakit Vaskular
Penyakit arteri perifer (PAD), umumnya disebabkan oleh proses
aterosklerosis, terdapat hingga 50% dari pasien dengan ulkus kaki
diabetik. PAD adalah faktor risiko penting untuk gangguan
penyembuhan luka dan ekstremitas bawah amputasi. Sebagian kecil
ulkus kaki iskemik; ini biasanya dan disebabkan oleh trauma ringan.
Mayoritas ulkus kaki adalah neuro-iskemik, yaitu yang disebabkan oleh
kombinasi neuropati dan iskemia. Penderita diabetes, kemungkinan
akan menderita penyakit atherosklerosis pada arteri besar dan sedang,
misalnya pada aortailiaca, dan femoropoplitea. Alasan dugaan bentuk
penyakit arteri ini pada penderita diabetes adalah hasil beberapa macam
kelainan metabolik, meliputi kadar Low Density Lipoprotein (LDL),
Very Low Density Lipoprotein (VLDL), peningkatan kadar faktor von
Willbrand plasma, inhibisi sintesis prostasiklin, peningkatan kadar
fibrinogen plasma, dan peningkatan adhesifitas platelet. Secara
keseluruhan, penderita diabetes mempunyai kemungkinan besar

30
menderita atherosklerosis, terjadi penebalan membran basalis kapiler,
hialinosis arteriolar, dan proliferasi endotel Peningkatan viskositas
darah yang terjadi pada pasien diabetes timbul berawal pada kekakuan
mernbran sel darah merah sejalan dengan peningkatan aggregasi
eritrosit, Karena sel darah merah bentuknya harus lentur ketika
melewati kapiler, kekakuan pada membran sel darah merah dapat
menyebabkan hambatan aliran dan kerusakan pada endotelial.
Glikosilasi non enzimatik protein spectrin membran sel darah merah
bertanggungjawab pada kekakuan dan peningkatan aggregasi yang telah
terjadi. Akibat yang terjadi dari dua hal tersebut adalah peningkatan
viskositas darah. Mekanisme glikosilasi hampir sama seperti yang
terlihat dengan hemoglobin dan berbanding lurus dengan kadar glukosa
darah. Penurunan aliran darah sebagai akibat perubahan viskositas
memacu meningkatkan kompensasinya dalam tekanan perfusi sehingga
akan meningkatkan transudasi melalui kapiler dan selanjutnya akan
meningkatkan viskositas darah. Iskemia perifer yang terjadi lebih lanjut
disebabkan peningkatan afinitas hemoglobin terglikolasi terhadap
molekul oksigen. Efek merugikan oleh hiperglikemia terhadap aliran
darah dan perfusi jaringan sangatlah signifikan. 9

2.1.5 Klasifikasi
Menurut International Working Group on Diabetic Foot, kaki diabetes
diklasifikasikan menjadi empat:3
1. Tidak terinfeksi :Tidak ada gejala atau tanda sistemik atau lokal
infeksi.
2. Infeksi Ringan :Terdapat minimal 2 tanda berikut ini pembengkakan
atau indurasi lokal; eritema> 0,5 cm di sekitar luka; nyeri atau nyeri
lokal; kehangatan lokal; discharge purulen. Penyebab lain dari
peradangan respons kulit harus dikeluarkan (mis., trauma, asam urat,
Charcot akut neuro-osteoarthropathy, fraktur, trombosis, stasis vena).

31
Semua eritema yang ada memanjang <2 cm* sekitar luka. Tidak ada
tanda atau gejala infeksi sistemik
3. Infeksi Sedang :Infeksi melibatkan struktur yang lebih dalam daripada
kulit dan jaringan subkutan (misalnya tulang, sendi, tendon, otot) atau
eritema memanjang> 2 cm * dari luka batas. Tidak ada tanda atau
gejala sistemik infeksi
4. Infeksi Berat: Setiap infeksi kaki dengan systemic inflammatory
response syndrome (SIRS), seperti yang ditunjukkan oleh ≥2 berikut
ini: suhu> 38 atau <36oC; Detak jantung > 90 denyut / menit; • Laju
pernapasan> 20 napas / menit atau PaCO2 <4,3 kPa (32 mmHg);
Jumlah sel darah putih >12.000 atau < 4.000 / mm3, atau > 10%
immature (band).
Sedangkan dengan klasifikasi pada ulkus diabetik menurut Klasifikasi
PEDIS (Perfusion, Extent/size, Depth/tissue loss, Infection, and Sensation)
dari International Consensus on the Diabetic Foot 2003. Dengan
klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan,
vaskular, infeksi atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat
tertuju dengan lebih baik misalnya suatu ulkus gangren dengan critical
limb ischemia (P3) tentu lebih memerlukan tindakan untuk mengevaluasi
dan memperbaiki keadaan vaskularnya dahulu. Sebaliknya kalau faktor
infeksi menonjol (I4), tentu pemberian antibiotic harus adekuat. Demikian
juga kalau faktor mekanik yang dominan (insensitive foot, S2), tentu
koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus diutamakan.3

Impaired Perfusion 1= Tidak ada

2= PAD + tetapi tidak kritis


3= Ischemia ekstrerimitas kritis
Size/Extent in mm2
Tissue Loss/Depth 1= Superfisial tidak lebih dalam dari dermis
2= Ulserasi dalam dibawah dermis,

32
menyebar ke struktur subkutan,
pembuluh darah, otot atau tendon.
3= Semua lapisan kaki dan menyebar hingga
ke tulang atau sendi.
Infection 1= Tidak ada gejala atau tanda infeksi
2= Hanya infeksi kulit dan jaringan
subkutan
3= Eritema > 2 cm atau infeksi menyebar ke
struktur subkutan, tidak ada tanda-tanda
SIRS
4= Infeksi dengan manifestasi sistemik
seperti demam, leukositosis, shift to the
left, gangguan metabolik, hipotensi,
azotemia.
Impaired Sensation 1= Tidak ada

2= Ada

Klasifikasi Wagner (klasifikasi yang saat ini masih banyak dipakai)

Grade 0 Tidak terdapat ulkus


Grade 1 Ulkus superficial mengenai seluruh lapisan kulit tapi tidak
mengenai jaringan dibawahnya
Grade 2 Ulkus dalam, penetrasi ke dalam sampai ligamentum dan otot,
tapi tidak mengenai tulang atau terdapat abses
Grade 3 Ulkus dalam dengan selulitis atau abses, sering dengan
osteomielitis
Grade 4 Gangren yang terlokalisasi pada fore foot
Grade 5 Gangren yang mengenai seluruh kaki

2.1.6 Manifestasi Klinis

33
Gejala kaki diabetes melitus seperti sering kesemutan, nyeri pada
kaki ketika berdiri, berjalan atau beraktivitas fisik; kaki teraba dingin; kaki
terasa nyeri pada waktu istirahat dan malam hari; telapak kaki terasa sakit
setelah berjalan; luka sukar sembuh; tekanan nadi menjadi kecil atau tidak
teraba; perubahan warna kulit, kaki tampak pucat atau kebiru- biruan
ketika dielevasikan,dan sensasi rasa berkurang. 7

2.1.7 Diagnosis Klinis


Penyebab ulkus diabetes dapat ditentukan secara tepat melalui
anamnesa riwayat dan pemeriksaan fisik yang cermat.3
1. Anamnesis
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
seperti: 1) Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya; 2)
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Gejala neuropati perifer meliputi hipesthesia, hiperesthesia,
paresthesia, disesthesia, radicular pain dan anhidrosis. sebagian besar
orang yang menderita penyakit atherosklerosis pada ekstremitas
bawah tidak menunjukkan gejala (asimtomatik), Penderita yang
menunjukkan gejala didapatkan claudicatio, nyeri iskemik saat
istirahat, luka yang tidak sembuh dan nyeri kaki yang jelas. Kram,
kelemahan dan rasa tidak nyaman pada kaki sering dirasakan oleh
penderita diabetes karena kecenderungannya menderita oklusi
aterosklerosis tibioperoneal.

2. Pemeriksaan Fisik
Mengingat diabetes mellitus merupakan penyakit sistemik, oleh
karena itu pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada pasien sangat
penting untuk dilakukan.

34
Pada pemeriksaan ekstremitas, ulkus diabetes mempunyai
kecenderungan terjadi pada beberapa daerah yang menjadi tumpuan
beban terbesar, seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak, ujung
jari yang menonjol (pada jari pertama dan kedua). Ulkus dapat timbul
pada malleolus karena pada daerah ini sering mendapatkan trauma.
Kelainan-kelainan lain yang ditemukan pada pemeriksaa fisik: seperti
callus hipertropik, kuku yang rapuh atau pecah, hammer toes dan
fissure.

3. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan Darah: leukositosis mungkin menandakan adanya
abses atau infeksi lainnya pada kaki. Penyembuhan luka dihambat
oleh adanya anemia. Adanya insufisiensi arterial yang telah ada,
keadaan anemia menimbulkan nyeri saat istirahat.
 Profil metabolik: pengukuran kadar glukosa darah,
glikohemoglobin dan kreatinin serum membantu untuk menentukan
kecukupan regulasi glukosa dan fungsi ginjal
 Pemeriksaan laboratorium vaskuler noninvasif : pulse volume
recording (PVR), atau plethymosgrafi.

4. Pemeriksaan Radiologi
 Pemeriksaan foto polos pada kaki diabetik dapat menunjukkan
demineralisasi dan sendi Charcot serta adanya ostomielitis.
 Computed Tomographic (CT) scan dan Magnetic Resonance
Imanging (MRI): mendiagnosis abses dengan pemeriksaan fisik,
CT scan atau MRI dapat digunakan apabila pada pemeriksaan fisik
tidak jelas.
 Bone scaning masih dipertanyakan kegunaannya karena besarnya
hasil false positif dan false negatif. Penelitian mutakhir
menyebutkan 99mTc-labeled ciprofolxacin sebagai penanda
(marker) untuk osteomielitis.

35
 Arteriografi konvensional: apabila direncanakan pembedahan
vaskuler atau endovaskuler, arteriografi diperlukan untuk
memperlihatkan luas dan makna penyakit.

2.1.8 Penatalaksanaan
Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar,
yaitu pencegahan terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus
(pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan pada kulit) dan pencegahan
agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan
pengelolaan ulkus atau gangren diabetik yang sudah terjadi).3
A. Pencegahan Primer
Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes mellitus (DM)
sangat penting untuk pencegahan kaki diabetes. Penyuluhan ini harus
selalu dilakukan pada setiap kesempatan pertemuan dengan
penyandang DM, dan harus selalu diingatkan kembali tanpa bosan.
Anjuran ini berlaku untuk semua pihak terkait pengelolaan DM, baik
para ners, ahli gizi, ahli perawatan kaki, maupun dokter sebagai
dirigen pengelolaan. Khusus untuk dokter, sempatkan selalu melihat
dan memeriksa kaki penyandang DM sambil mengingatkan kembali
mengenai cara pencegahan dan cara perawatan kaki yang baik.
Berbagai kejadia atau tindakan kecil yang tampak sepele dapat
mengakibatkan kejadian yang mungkin fatal. Demikian pula
pemeriksaan yang tampaknya sepele dapat memberikan manfaat yang
sangat besar. Periksalah selalu kaki pasien setelah mereka melepaskan
sepatu dan kausnya. 3
Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan berdasar risiko
terjadinya dan risiko besarnya masalah yang mungkin timbul.
Penggolongan kaki diabetes berdasar risiko terjadinya masalah
(Frykberg): 3
1. Sensasi normal tanpa deformitas
2. Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi

36
3. Insensivitas tanpa deformitas
4. Iskemia tanpa deformitas
5. Kombinasi atau complicated:
a. Kombinasi insensivitas, iskemia dan / atau deformitas
b. Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan
terjadinya tukak, disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai
usaha pencegahan dilakukan sesuai dengan tingkat besarnya risiko
tersebut. Peran ahli rehabilitasi medis terutama dari segi ortotik sangat
besar pada usaha pencegahan terjadinya ulkus. Dengan memberikan
alas kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor
mekanik akan dapat dicegah.3
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut :
Untuk kaki yang kurang merasa atau insensitive (kategori 3 dan 5),
alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang
insensitive tersebut. Kalau sudah ada deformitas (kategori risiko 2 dan
5), perlu perhatian khusus mengenai sepatu/ alas kaki yang dipakai,
untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan
dengan kategori risiko 4 (permasalahan vascular), latihan kaki perlu
diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus
yang complicated, tentu saja semua usaha dan dana seyogyanya perlu
dikerahkan untuk mencoba menyelamatkan kaki dan usaha ini masuk
ke usaha pencegahan sekunder. 3

B. Pencegahan Sekunder
 Pengelolaan holistik ulkus atau gangren diabetik 3
Dalam pengelolaan kaki diabetes, kerja sama multidisipliner
sangat diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangai dengan baik
agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan
sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama :
1. Mechanical control-pressure control

37
2. Wound control
3. Microbiological control-infection control
4. Vascular control
5. Metabolic control
6. Educational control
Untuk pengelolaan ulkus atau gangren diabetik yang optimal,
berbagai hal di bawah ini merupakan penjabaran lebih rinci dari
keenam aspek tersebut pada tingkat pencegahan sekunder dan
tersier, yaitu pengelolaan optimal ulkus atau gangren diabetik.
1. Kontrol Metabolik
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki.
Konsentrasi glukosa darah diusahakan agar selalu senormal
mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait
hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka.
Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi konsentrasi
glukosa darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki.
Nutrisi yang baik jelas membantu kesembuhan luka. Berbagai
hal lain harus juga diperhatikan dan diperbaiki, seperti
konsentrasi albumin serum, konsentrasi HB dan derajat
oksigenisasi jaringan. Demikian juga fungsi ginjalnya. Semua
faktor tersebut tentu akan dapat menghambat kesembuhan luka
sekiranya tidak diperhatikan dan tidak diperbaiki. Kontrol
vascular. Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat
kesembuhan luka. Berbagai langkah diagnostic dan terapi dapat
dikerjakan sesuai keadaan pasien dan juga sesuai kondisi.
Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali
melalui berbagai cara sederhana seperti : warna dan suhu kulit,
perabaan arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior serta
ditambah pengukuran tekanan darah. Di samping itu saat ini
juga tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi
keadaan pembuluh darah dengan cara non-invasif maupun yang

38
invasive dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial
index, ankle pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan
ekhodopler dan kemudian pemeriksaan arteriografi. 3
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya dapat
dilakukan pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer
dari sudut vaskular, yaitu berupa modifikasi faktor risiko:
a) Stop merokok
b) Memperbaiki berbagai faktor risiko terkait aterosklerosis
- Hiperglikemia
- Hipertensi
- Dislipidemia
c) Walking Program
Latihan kaki merupakan domain usaha yang dapat diisi oleh
jajaran rehabilitasi medik.

2. Terapi Farmakologis
Kalau mengacu pada berbagai penelitian yang sudah
dikerjakan pada kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain
(jantung,otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain
sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat
pula untuk pembulu darah kaki penyandang DM. Tetapi sampai
saat ini belum ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan
pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi pada
penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM.
Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk
mengurangi mikroba pada luka, seperti cairan salin sebagai
pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver sebagai
bagian dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara
debridemen non surgical dapat dimanfaatkan untuk
mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti
preparat enzim. 3

39
3. Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jikalau ada
klaudikasio interment yang hebat, tindakan revaskularisasi
dapat dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi diperlukan
pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan gambaran
pembuluh darah yang lebih jelas, sehingga dokter ahli bedah
vascular dapat lebih mudah melakukan rencana tindakan dan
mengerjakannya.3
Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas
terbuka. Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk
prosedur endovascular-PTCA. Pada keadaan sumbatan akut
dapat pula dilakukan trombo-arterektomi. Dengan berbagai
teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat
diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih
baik. Paling tidak faktor vascular sudah lebih memadai,
sehingga kesembuhan luka tinggal bergantung pada berbagai
faktor lain yang juga masih banyak jumlahnya.3
Terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk
memperbaiki vaskularisasi dan oksigenisasi jaringan luka pada
kaki diabetes sebagai terapi ajuvan. Walaupun demikian masih
banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara
rutin pada pengelolaan umum kaki diabetes.3

4. Wound Control.
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang
merupakan hal yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti.
Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin. Klasifikasi
ulkus PEDIS dilakukan setelah debridemen yang adekuat. Saat
ini terdapat banyak sekali macam dressing (pembalut) yang
masing-masing tentu dapat dimanfaatkan sesuai dengan

40
keadaan luka, dan juga letak luka tersebut. Dressing yang
mengandung komponen zat penyerap seperti carbonated
dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada keadaan luka
yang masih produktif. Demikian pula hydrophilic fiber dressing
atau silver impregnated dressing akan dapat bermanfaat untuk
luka produktif dan terinfeksi. Tetapi jangan lupa bahwa
tindakan debridemen yang adekuat merupakan syarat mutlak
yang harus dikerjakan dahulu sebelum menilai dan
mengklasifikasi luka. Debridement yang baik dan adekuat tentu
akan sangat mebantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus
dikeluarkan tubuh, dengan demikian tentu akan sangat
mengurangi produksi pus atau cairan dari ulkus atau gangrene.
3

Jika luka sudah lebih baik dan tidak terinfeksi lagi, dressing
seperti hydrocolloid dressing yang dapat dipertahankan
beberapa hari dapat digunakan. Tentu saja untuk kesembuhan
luka kronik seperti pada luka kaki diabetes, suasan sekitar luka
yang kondusif untuk penyembuhan harus dipertahankan.
Yakinkan bahwa luka selalu dalam keadaan optimal, dengan
demikian penyembuhan luka akan terjadi sesuai dengan
tahapan yang harus selalu dilewati dalam rangka proses
penyembuhan. Selama proses inflamasi masih ada, proses
penyembuhan luka tidak akan beranjak pada proses selanjutnya
yaitu proses granulasi dan kemudian epitelialisasi.3
Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka
dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin. Cara
tersebut saat ini dipakai di banyak sekali tempat perawatan kaki
diabetes.
Berbagai sarana dan penemuan baru dapat dimanfaatkan
untuk wound control seperti : dermagraft, apligraft, growth
factor, protease inhibitor dsb, untuk mempercepat kesembuhan

41
luka. Bahkan ada dilaporkan terapi gen untuk mendapatkan
bakteri E coli yang dapat menghasilkan berbagai faktor
pertumbuhan. Ada pula dilaporkan pemakaian maggot
(belatung) lalat (lalat hijau) untuk membantu membersihkan
luka. Berbagai laporan tersebut umunya belum berdasar
penelitian besar dan belum cukup terbukti secara luas untuk
dapat diterapkan dalam pengelolaan rutin kaki diabetes.

5. Microbiological Control
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala
untuk setiap daerah yang berbeda. Di RS Dr Cipto
Mangunkusumo Jakarta, data terakhir menunjukkan bahwa
pada pasien yang datang dari luar, umumnya didapatkan infeksi
bakteri yang multiple, anaeob dan aerob. Antibiotik yang
dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman
dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di
RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, umumnya didapatkan
pola kuman yang polimikrobial, campuran gram positif dan
gram negative serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan
berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik
harus diberikan antibiotic dengan spectrum luas, mencakup
kuman gram positif dan negative (seperti misalnya golongan
sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat
terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metronidazole).3

6. Pressure Control
Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki dipakai untuk
menahan berat badan-weight bearing), luka yang selalu
mendapat tekanan tidak akan sempat menyembuh, apalagi
kalau luka tersebut terletak di bagian plantar seperti luka pada

42
kaki Charcot. Peran jajran rehabilitasi medis pada usaha
pressure control ini juga sangat mencolok.
Berbagai cara untuk mencapai keadaan non weight-bearing
dapat dilakukan antara lain dengan :3
1. Removable cast walker
2. Total contact casting
3. Temporary shoes
4. Felt padding
5. Crutches
6. Wheelchair
7. Electric carts
8. Craddled insoles

Berbagai cara surgical dapat dipakai untuk mengurangi


tekanan pada luka seperti :
1. Dekompresi ulkus/ abses dengan insis abses
2. Prosedur koreksi bedah seperti operasi untuk hammer toe,
metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening,
partial calcanectomy.

7. Educational Control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan
kaki diabetes. Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM
dan ulkus/ gangrene diabetic maupun keluarganya diharapakan
akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang
diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal.Rehabilitasi
merupakan program yang sangat penting yang harus
dilaksanakan untuk pengelolaan kaki diabetes. Bahkan sejak
pencegahan terjadinya ulkus diabetic dan kemudian segera
setelah perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat
diperlukan untuk mengurangi kecacatan yang mungkin timbul

43
pada pasien. Keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut
sampai jauh sesudah amputasi, untuk memberikan bantuan bagi
para amputee menghindari terjadinya ulkus baru. Pemakaian
alas kaki/ sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar
akan sangat membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus
yang terjadi berikut memberikan prognosis yang jauh lebih
buruk daripada ulkus yang pertama.3

2.2 Osteomielitis

2.2.1 Definisi
Osteomyelitis berasal dari kata osteon (tulang) dan muelinos (sumsum)
yang berarti infeksi sumsum tulang. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
osteomyelitis merupakan proses inflamasi pada sumsum tulang (cavitas
medullaris) yang kemudian dapat menyebar sampai ke cortex dan
periosteum. Pus dan edema yang terbentuk di cavita medullaris inilah yang
kemudian akan menekan periosteum sehingga menimbulkan obstruksi
pembuluh darah, iskemi maupun nekrosis sebagai dasar patomekanisme
osteomyelitis.11

2.2.2 Epidemiologi
Insiden osteomielitis vertebrae hematogenous adalah 0,5-
2,4/100.000 penduduk. Osteomyelitis akut dengan penyebaran hematogen l
ebih sering menyerang anak-anak karena daerah metafisis (daerah pusat per
tumbuhan tulang pada anak) memiliki vaskularisasi yang banyak dan renta
n terhadap trauma. Lebih dari 50% kejadian osteomyelitis pada anak terjadi
pada pasien kurang dari 5 tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala-gejal
a sistemik meliputi demam, iritabilitas selama 2 minggu. Selain itu, didapat
kan gejala lokalis seperti eritem, bengkak, dan kekakuan (tenderness) pada

44
tulang yang mengalami infeksi. Osteomyelitis kronis jarang terjadi pada an
ak.11
Osteomyelitis kronis dapat terjadi akibat fraktur terbuka, bakterimia, a
tau infeksi perkontinuitatum dari jaringan lunak sekitar tulang. Pada opera
si elektif post fraktur tertutup, osteomyelitis kronis terjadi pada 1 – 5% pas
ien, dan 3 – 50% pada pasien-pasien dengan fraktur terbuka. Sebanyak 10
– 30% pasien osteomyelitis akut berlanjut menjadi kronis. Osteomyelitis m
elalui penyebaran hematogen (balterimia) dapat terjadi di vertebrae, tulang
panjang, pelvis, maupun klavikula dan risikonya meningkat apabila terdap
at underlying disease seperti diabetes mellitus, keganasan atau gagal ginjal.
Angka kejadian osteomyelitis kronis akibat infeksi perkontinuitatum dari j
aringan lunak sekitar tulang meningkat seiring dengan meningkatnya prev
alensi ulkus diabetikum (neuropati dan vaskulopati diabetikum). Manifesta
si klinis osteomyelitis kronis dapat meliputi nyeri kronis, luka persisten, bu
ruknya penyembuhan luka, malaise, dan demam.16

2.2.3 Etiologi
Bakteri piogenik penyebab osteomyelitis bergantung pada usia pasien.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering
menjadi penyebab osteomyelitis (akut maupun kronis) dengan penyebaran
hematogen pada dewasa. Streptococcus β hemolithicus grup A dan
Streptococcus pneumonia merupakan bakteri patogen tersering yang
menyebabkan osteomyelitis pada anak, Streptococcus β hemolithicus grup
A merupakan pakteri penyebab tersering pada bayi baru lahir.
Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, dan Eschericgia
coli juga bisa menyebabkan osteomyelitis namun dengan angka
kejadiannya jarang. Jamur dan mikobakterium biasanya dapat
menyebabkan osteomyelitis pada individu dengan defisiensi sistem
imun.11,16,18
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen mayoritas
penyebab osteomyelitis. Staphylococcus aureus dapat diinternalisasi oleh

45
osteoblas dan sel endotel secara in vitro dan bertahan di dalam sel tersebut
dari sistem imun tubuh maupun antibiotik. Selain itu, Staphylococcus
aureusmerupakan bakteri dengan laju metabolism yang rendah sehingga
mudah resisten terhadapt antibiotik. 11,16,18

2.2.4 Klasifikasi
Pembagian osteomyelitis akut dan kronis ialah berdasar pada gambara
n histopatologi dibandingkan dengan durasi perjalanan penyakit. Osteomye
litis akut menunjukkan adanya inflamasi tulang yang disebabkan oleh bakte
ri patogen dan gejalanya muncul 4 minggu setelah infeksi. Osteomyelitis kr
onis ditandai dengan adanya nekrosis tulang. Terdapat sub klasifikasi pada
osteomyelitis kronis, yakni osteomyelitis kronis primer dan sekunder (Gam
bar 1.).11,16,18

Gambar 1. Subklasifikasi osteomyelitis kronik primer dan sekunder.

Osteomielitis kronik sekunder dapat timbul sebagai penyakit osteomy


elitis yang rekuren/timbul berulang dengan durasi yang berbeda-beda setia
p kali kambuh (Gambar 2.). Terminologi osteomyelitis kronik primer men
unjukkan sebuah penyakit inflamasi yang jarang dan ditandai oleh adanya
inflamasi kronik non-supuratif (ketiadaan pus, fistula maupun sejuester). K
eadaan ini menunjukkan bahwa pasien tidak pernah menunjukkan fase aku
t dan belum mendapatkan terapi. 11,16,18

Kronifikasi dari osteomyelitis kronik sekunder menunjukkan ketidak


mampuan dari host untuk mengeradikasi bakteri patogen akibat dari inade
kuatnya terapi. Elevasi periosteum akibat proses inflamasi masih mengand
ung sel-sel vital di dalamnya. Setelah melewati fase akut, sel-sel ini memb
entuk sel-sel tulang yang baru (involukrum) yang menyelebungi sekuester.
Namun involukrum ini dapat dipenetrasi oleh sinus (cloacae), sehingga me

46
mbentuk fistula dapat dapat dimasuki oleh bakteri patogen ataupun pus. K
ejadian ini dapat terjadi berulang dan menyebabkan osteomyelistis kronis.
11,16,18

Gambar 2. Proses perjalanan ostemyelitis akut menjadi osteomyelitis kronik se


kunder.

Adapun etiologi sumber infeksi, diklasifikasikan menjadi etiologi endo


gen (penyebaran hematogen) yang biasanya hanya disebabkan oleh 1 agen
patogen dan biasanya diterapi secara konsevatif, serta etiologi eksogen (dar
i paparan luar akibat trauma terbuka atau intervensi) yang seringnya diseba
bkan oleh polimikrobial dengan first line terapinya berupa pembedahan.
11,16,18

2.2.5 Patofisiologi
Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi invasi bakteri ke cavitas medull
aris dan cortex tulang. Keempat faktor ini apabila berada dalam keadaan eq
uilibrium (seimbang) tidak akan menimbulkan infeksi (Gambar 9.). Namun
apabila equilibrium ini terganggu karena minimal 1 faktor, maka infeksi tul
ang yang dalam dapat terjadi. Keempat faktor tersebut ialah:14,17,18

a. Jumlah bakteri patogen

47
Semakin banyak jumlah bakteri yang sampai ke host, semakin besar pula
kemungkinan untuk lolos dari sistem imun dan menimbukan infeksi pada
tulang.
b. Virulensi bakteri patogen
Pada osteomyelitis, fokus infeksi dibatasi oleh membran piogenik
atau dinding abses yang membatasi penyebaran infeksi. Apabila agen
patogen memiliki jumlah dan virulensi yang tinggi, barier ini dapat rusak
dan menyebabkan invasi sampai ke tulang. Invasi ini kemudian
mengaktivasi respon inflamasi dan menyebabkan hiperemis, peningkatan
permeabilitas capiler, dan pengeluaran enzim proteolitik. Enzim
proteolitik ini dapat menyebabkan nekrosis jaringan tulang dan destruksi
dari agen-agen patogen sehingga membentuk pus (Gambar 7. Dan 8.).
Destruksi tulang juga diperparah oleh proses osteolisis yang disebabkan
oleh aktivitas osteoklas akibat stimulasi dari endotoksin bakteri, protein
permukaan bakteri, dan beberapa sitokin inflamasi (IL-1 dan TNF).
Akumulasi pus di dalam cavitas medullaris yang berisi jaringan
nekrosis, dan bakteri-bakteri mati di dalam sel darah putih menyebabkan
peningkatan tekanan intra medullaris. Keadaan ini menyebabkan kolaps
vascular, stasis vena, thrombosis, dan lokal iskemi. Pus mengalir melalui
kanalis sistem haver dan kanalis nutrisi yang kemudian terakumulasi di
ruang subperosteum dan menyebabkan elevasi periosteom, terpisah dari
cortex tulang. Elevasi ini lebih sering terjadi pada anak karena pelekatan
yang belum begitu kuat. Ketika akumulasi pus terus terjadi, dapat timbul
perforasi dan menyebabkan abses mukosa atau kutan.

48
Gambar 7. Proses inflamasi dan perusakan jaringan tulang.

Gambar 8. Patomekanisme osteomyelitis.


c. Imunitas lokal dan sistemik host
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas (Tabel
2.)
Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas.

49
d. Perfusi lokal jaringan
Perfusi lokal jaringan mempengaruhi kemampuan sel imun dan oksigen
mencapai area infeksi, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan
penyebaran bakteri patogen terutama yang bersifat anaerob. Berikut ini
adalah kondisi-kondisi yang mengganggu perfusi lokal jaringan (Tabel 3.)
14,17,18

Tabel 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perfusi lokal jaringan.

Gambar 9. Ilustrasi patogenesis osteomyelitis akut dan kronis.

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis osteomyelitis akut dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesi
s, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, didapatk

50
an adanya riwayat trauma, riwayat luka terbuka sampai tulang, maupun riwayat
infeksi di tempat lain yang tidak spesifik, serta adanya gejala infeksi sistemik s
eperti demam dan malaise maupun gejala infeksi lokal seperti bengkak, rasa pa
nas, kemerahan, penurunan kemampuan gerak, kekakuan tulang, dan rasa sakit
pada lokasi infeksi. Pemeriksaan fisik pun menunjukkan hal-hal seperti yang a
da dalam anamnesis yakni berupa tanda-tanda infeksi sistemik dan infeksi lokal
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah pemeriksaan labor
atorium yang menunjukkan adanya leukositosis, pemeriksaan kultur darah/tula
ng, serta pemeriksaan histopatologi tulang yang mengalami infeksi. Pemeriksaa
n radiologi pada daerah yang diduga infeksi pun dapat dilakukan. Kata akut pa
da ostemyelitis akut menunjukkan bahwa tanda dan gejala yang muncul memili
ki onset yang cepat, yakni kurang dari 4 minggu. 14,17,18

Kriteria diagnosis ostemyelitis kronik pun meliputi manifestasi klinis (yan


g didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan laboratorium da
n pemeriksaan radiologi (Tabel 1.). Pemeriksaan laboratorium memang tidak s
pesifik untuk osteomyelitis, tetapi kadar C reactive protein (CRP) yang normal
dapat menyingkirkan diagnosis osteomyelitis kronis. Pemeriksaan paling meya
kinkan untuk mendiagnosis osteomyelitis kronis adalah kultur tulang dan peme
riksaan histopatologi. Kultur terhadap jaringan superfisial luka tidak dapat men
deteksi bakteri penyebab osteomyelitis secara akurat karena biasanya osteomye
litis disebabkan oleh polimikrobial. Selain itu, anamnesis yang mendalam men
genai manifestasi sistemik (letargi, malaise, nyeri pada tulang, demam) dan fak
tor predisposisi (diabetes mellitus, penyakit pembuluh darah perifer, dan riway
at trauma) juga penting dalam menunjang proses penegakkan diagnosis. 14,17,18

Tabel 1. Kriteria diagnosis osteomyelitis kronik.

51
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah foto rontgen maupun
MRI. Foto rontgen baru menunjukkan adanya abnormalitas setelah 2 minggu p
asca infeksi karena 50% mineral tulang telah hilang (Gambar 3. Dan 4.). Seda
ngkan MRI dapat mendeteksi osteomyelitis setelah 3-5 hari pasca infeksi denga
n sensitivitas dan spesifisitas sekitar 90% (Gambar 5. Dan 6.). CT scan jarang d
igunakan karena kurangnya kemampuan CT scan untuk mendeteksi nekrosis.
Modalitas radiologi lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis osteom
yelitis (seperti leukocyte or bone scintigraphy, positron emission tomography)
yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%, namun modalitas-m
odalitas tersebut tidak rutin digunakan di Indonesia karena harga yang mahal d
an ketersediaan alat. 14,17,18

Gambar 3. Reaksi periosteal dan osteolisis pada distal metatarsal 4 dan


distal phalanges 3 dan 4 menunjukkan adanya osteomyelitis.

52
Gambar 4. Gambaran rontgen femur dari seorang wanita 39 tahun dengan riwa
yat osteomyelitis berulang selama 20 tahun. Terjadi deformitas da
n sklerosis sumsum tulang.

53
Gambar 5. MRI femur menunjukkan deformitas dari bagian distal os. Femur da
n gambaran inhomogenisitas tulang.

Gambar 6. Gambaran disrupsi kortikal inferior dan edema menunjukkan


adanya osteomyelitis pada os. Calcaneus.

2.2.7 Tatalaksana
Terapi pada osteomyelitis akut melalui penyebaran hemato
gen dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik parenteral (Tabel
4.) selama 4 hari dan dilanjutkan dengan antibiotik oral sampai 4 m
inggu tebukti mencegah rekurensi. Pada pasien-pasien immunocom
promised, transisi menuju antibiotik oral ditunda dan lama terapi di
tambah menjadi 6 minggu.13,15,19

Tabel 4. Pilihan terapi antibiotik pada kasus osteomyelitis.

54
Terapi osteomyelitis kronis terdiri dari terapi antibiotik dan
pembedahan (Gambar 10).. Pilihan antibiotik disesuaikan dengan h
asil kultur, namun jika tidak ada informasi hasil kultur, antibiotik s
pektrum luas dapat diberikan. Antibiotik ini diberikan parenteral se
lama 2 – 6 minggu yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik or
al sampai total waktu terapi 4-8 minggu (table 4.). Adapun indikas
i dilakukannya terapi pembedahan ialah terapi antibiotik tidak men
unjukkan perbaikan, terdapat peralatan yang terpasang pada tulang
dan mengalami infeksi, serta osteomyelitis kronis dengan nekrosis
tulang dan jaringan lunak. 13,15,19

55
Gambar 10. Algoritme penatalaksanaan osteomyelitis kronik.

2.3 Hiponatremia
2.3.1 Definisi
Hiponatremia adalah penurunan kadar natrium (Na) plasma
<135 meq/L.20

2.3.2 Etiologi
Hiponatremia terjadi bila: a) Jumlah asupan air melebihi
kemampuan ekskresi, b) Ketidakmampuan menekan sekresi ADH
misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran cerna atau gagal
jantung atau sirosis hati atau pada SIADH (Syndrome of
Inappropriate ADH-secretion).20
Berdasarkan prinsip di atas maka hiponatremia dapat
dikelompokkan atas:20
 Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah serta ADH
meningkat
 Pada keadaan ini terjadi gangguan pemekatan di nefron
sehingga osmolalitas urin meningkat, lebih daari 100
mOsm/kg H2O. ADH yang meningkat oleh karena deplesi
volume sirkulasi efektif seperti pada muntah, diare,
perdarahan, jumlah urin meningkat, pada gagal jantung,
sirosis hati, insufisiensi adrenal, hipotiroidisme, ADH yang
meningkat pada SIADH.
 Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah serta ADH
tertekan secara fisiologis.

56
 Pada keadaan ini tidak ada gangguan pemekatan di nefron
sehingga osmolalitas urin rendah, kurang dari 100mOsm/kg
H2O.
 Polidipsia primer atau gagal ginjal merupakan keadaan
dimana ekskresi air lebih rendah dibanding dengan asupan air
yang menimbulkan respons fisiologis menekan sekresi ADH.
 Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau tinggi.
Tingginya osmolalitas plasma pada keadaan hiperglikemia
atau pemberian manitol intravena menyebabkan air intrasel
keluar dari sel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel yang
menyebabkan hiponatremia. Pemberian cairan isoosmotik
tidak mengandung natrium ke dalam cairan ekstrasel dapat
menimbulkan hiponatremia disertai osmolalitas plasma
normal. Pseudohiponatremia pada keadaan hiperlipidemia
atau hiperproteinemia dimana menyebabkan volume air
plasma berkurang. Jumlah natrium tetap, osmolalitas normal
akan tetapi secara total dalam cairan intravaskular kadar
natrium jadi berkurang.
 Pada hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah serta
ADH meningkat, dapat dibagi dalam:
o Volume sirkulasi efektif turun
- Na keluar berlebihan dari tubuh. 1) Melalui ginjal:
diuretik akut, renal salt wasting, muntah akut,
hipoaldosteron. 2) Melalui non-ginjal: diare dan
muntah lama
- Peningkatan volume air bebas elektrolit
(hipervolemia). 1) Gagal jantung. 2) Sirosis Hati. 3)
Hipoalbuminemia.
o Volume sirkulasi efektif tidak turun
Pada keadaan SIADH, insufisiensi adrenal, dan
hipotiroidisme.

57
2.3.3 Manifestasi Klinis
Umumnya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang
dikeluhkan berhubungan dengan difungsi susunan saraf pusat
seperti mual, muntah, sakit kepala, perubahan kepribadian,
kelemahan, keram otot, agitasi, disorientasi, kejang, bahkan koma.
Pada kasus asimptomatik dapat mulai bermanifestasi kehilangan
kestabilan sehingga berisiko jatuh.20

2.3.4 Klasifikasi
Menurut waktu terjadinya hiponatremia, maka dibagi dalam:20
1. Hiponatremia Akut
Disebut akut bila kejadian hiponatremia berlangsung cepat yaitu
kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat
seperti penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini terjadi akibat
adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel
yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut
hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat.

2. Hiponatremia Kronik
Disebut kronik bila kejadian hiponatremia berlangsung lambat
yaitu lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini gejala yang terjadi hanya
ringan seperti lemas atau mengantuk. Kelompok ini disebut juga
sebagai hiponatremia asimptomatik.

2.3.5 Penatalaksanaan
Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari sebab terjadinya
hiponatremia dengan cara:20
- Anamnesis yang teliti (antara lain riwayat muntah,
penggunaan diuretik, penggunaan manitol)

58
- Pemeriksaan fisik yang teliti (apakah ada tanda-tanda
hipovolemia atau tidak)
- Pemeriksaan gula darah, lipid darah
- Pemeriksaan osmolalitas darah (antara lain osmolalitas
rendah atau tinggi)
- Pemeriksaan osmolalitas urin atau dapat juga dengan
memeriksaan berat jenis urin (interpretasi terhadap adakah
ADH yang meningkat atau tidak, gangguan pemekatan)
- Pemeriksaan natrium, kalium, klorida dalam urin untuk
melihat jumlah ekskresi elektrolit dalam urin.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pengobatan yang tepat
sasaran.20
- Perlu dibedakan apakah kejadian hiponatremia akut atau
kronik.
- Tanda atau penyakit lain yang menyertai hiponatremia perlu
dikenali (hipovolemia dan hipervolemia seperti pada gagal
jantung dan gagal ginjal).
- Hiponatremia akut, koreksi Na dilakukan secara cepat dengan
pemberian larutan natrium hipertonik intravena. Kadar
natrium plasma dinaikkan sebanyak 5 meq/L dari kadar
natrium awal dalam waktu 1 jam. Setelah itu, kadar natrium
plasma dinaikkan sebesar 1 meq/L setiap 1 jam sampai kadar
natrium darah mencapai 130 meq/L. Rumus yang dipakai
untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium
hipertonik yang diberikan adalah 0,5 x berat badan (kg) x
delta Na. Delta Na adalah selisih antara kadar natrium yang
diinginkan dengan kadar natrium awal.
- Hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan
yaitu sebesar 0,5 meq/L setiap 1 jam, maksimal 10 meq/L
dalam 24 jam. Bila delta Na sebesar 8 meq/L, dibutuhkan
waktu pemberian selama 16 jam. Rumus yang dipakai adalah

59
sama dengan di atas. Natrium yang diberikan dapat dalam
bentuk natrium hipertonik intravena atau natrium oral.

60
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada laporan kasus ini membahas tentang pasien Tn. D usia 51 tahun datang
ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan luka pada kaki kanan yang tidak
sembuh-sembuh sejak 1 bulan SMRS. Awalnya timbul luka lecet kecil akibat
gesekan pada sepatu, namun lama kelamaan luka semakin membesar, mulanya
luka pada kaki dirasakan kemerahan, kaki terasa panas, kaki bengkak dan pegal,
dan nyeri pada kaki saat digerakan, kemudian keesokan harinya luka berubah
menjadi melepuh dan kehitaman. Keluhan tidak disertai kebas dan kesemutan
pada kaki. Sebelum timbul luka pada kaki, pasien sering mengeluhkan mudah
haus, sering lapar meski sudah makan beberapa jam yang lalu, sering buang air
kecil di malam hari, dan berat badan dirasakan semakin menurun.
Berdasarkan anamnesis, keluhan yang diderita pasien mengarah ke komplikasi
diabetes melitus yaitu ulkus kaki diabetik. Menurut teori, ulkus diabetik adalah lu
ka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau akibat adanya sumbatan ya
ng terjadi di pembuluh sedang atau besar di tungkai. Gejala tipikal yang sering dir
asakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (s
ering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula mu
ncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesem
utan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu
(pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.3
Faktor-faktor yang berpengaruh atas terjadinya ulkus diabetikum dibagi menj
adi faktor endogen dan ekstrogen. Faktor endogen antara lain genetik, metabolic,
angiopati diabetic, dan neuropati diabetic. Sedangkan faktor ekstrogen yaitu traum
a, infeksi, dan obat. Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik
DM akibat hiperglykemia yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi.3
a) Teori Sorbitol
Hyperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan
jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang
berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis,

61
tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktasi akan diubah menjadi
sorbitol. Sorbitol akan menumpuk dan menyebabkan kerusakan dan perubahan
fungsi.
b) Teori Glikosilasi
Akibat hyperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada semua
protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi
pada protein membrane basal dapat menjelaskan semua komplikasi baik makro
maupun mikrovaskuler. Terjadinya ulkus diabetikum sendiri disebabkan oleh
faktor-faktor yang disebutkan dalam etiologi. Faktor utama yang berperan pada
timbulnya ulkus diabetikum adalah angiopati, neuropati danbinfeksi. Adanya
neuropati perifer akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada
kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan
terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya
atrofi pada otot kaki sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan ulsestrasi
pada kaki klien. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih
besar maka penderita akan merasa sakit pada tungkainya sesudah ia berjalan pada
jarak tertentu. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan
asupan nutrisi, oksigen serta antibiotika sehingga menyebabkan terjadinya luka
yang sukar sembuh.
Selain keluhan tersebut, pasien juga mengeluh muntah sejak 5 hari SMRS,
frekuensi muntah sebanyak lebih dari 10 kali/hari, isi muntah apa yang dimakan,
mual (+), badan lemas (+), perut kembung (+). Keluhan tidak disertai demam(-),
sakit kepala(-), nyeri perut (-), BAB cair (-), menggigil (-), batuk (-), pilek (-).
Pada anamnesis, pasien menderita gangguan motilitas gastrointestinal akibat
keadaan hiperglikemia. Pada penderita DM dapat menyebabkan neuropati otonom
dimana memiliki struktur mielin yang tipis atau tidak ada sama sekali sehingga
rentan terhadap gangguan vaskular dan metabolik. Akibat gangguan neuropati
otonom menyebabkan perlambatan pengosongan lambung yang mengarah kondisi
dispepsia dengan adanya keluhan mual, muntah, dan kembung.23
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 140/70 mmHg, Nadi 1
12 kali/menit, RR 18 kali/menit dan temperatur 36,2 oC. Pada pemeriksaan
ekstremitas inferior pada regio pedis dextra, terdapat luka berbentuk ulkus pada

62
regio digiti I yang meluas hingga plantar pedis dektra. Luka berukuran 5 cm x 3
cm x 1 cm. Pada luka terdapat edema (+), hiperemis (+), pus (+), darah (-),
jaringan nekrotik (+), bau (+), terlihat jaringan otot disekitar luka. Nyeri tekan (-),
CRT sulit dinilai. Sensorik sekitar luka normal.
Menurut teori, Ulkus diabetikum akibat mikroangiopatik disebut juga ulkus
panas walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh
peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal. Proses
mikroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut
emboli memberikan gejala klinis 5 P yaitu:3
1) Pain (nyeri)
2) Paleness (kepucatan)
3) Paresthesia (kesemutan)
4) Pulselessness (denyut nadi hilang)
5) Paralysis (lumpuh)
Ulkus pada penderita sesuai dengan kriteria ulkus diabetikum menurut
International Consensus on Diabetic Foot , yaitu : P : Perfusi terganggu : pada
penderita didapatkan palpasi arteri dorsalis pedis lemah pada kaki kanan. E :
Extent in mm2 : Pada pasien ukuran ulkus 5x3x1 cm, D : Depth : kedalaman
mengenai semua lapisan kaki termasuk tulang, Infeksi : pada pasien didapatkan
keluhan demam saat follow up, leukositosis, S : Sensasi: pada penderita tidak
terdapat gangguan sensasi. Sedangkan menurut Wagner pada pasien didapatkan
Wagner IV yaitu ulkus dengan gangren pada 1-2 jari kaki.3
Pada pasien ini, didapatkan dimana hemoglobin menurun, eritrositopenia,
hematokrit menurun dan leukositosis. Anemia yang dapat terjadi akibat gangguan
ginjal kronik yaitu anemia normokrom normositter yang penyebabnya bervariasi,
namun penyebab utama diperkirakan karena terjadi defisiensi relatif dari eritropoi
etin.21 Keadaan hiperglikemia kronis dapat menyebabkan lingkungan hipoksia dala
m interstitium ginjal, Adanya gangguan pada ginjal inilah berpengaruh pada LFG
dan juga menandakan semakin sedikitnya nefron yang berfungsi sehingga terjadi
gangguan produksi eritropoietin yang dihasilkan oleh sel fibroblas peritubular. Eri
tropoietin merangsang sumsum tulang untuk membuat sel darah merah, sehingga j
ika terjadi gangguan dalam pembentukannya, Hb tidak maksimal dibentuk dan ter

63
jadilah anemia. Leukosit darah perifer terdiri atas polimorfonuklear, monosit
maupun limfosit. Leukosit polimorfonuklear dan mononuklear bisa
diaktivasi oleh advanced glycation end products(AGEs), stres oksidatif,
angiotensin II dan sitokin yang ada pada keadaan hiperglikemia. Leukosit
teraktivasi melalui pelepasan sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF),
transforming growth factor-1, superoxide, nuclear factor-B(NF-B),
monocyte chemoattractant protein 1, interleukin-1, dan lain-lain yang
berkaitan dalam patogenesis terjadinya komplikasi mikro dan makrovaskular
diabetes. Keadaan hiperglikemik yang buruk berhubungan dengan terjadinya
peningkatan sitokin (IL-6, IL-8, CRP). Penderita DM mengalami peningkatan
sitokin inflamasi yang kemudian akan memacu produksi sel darah putih atau
leukosit(leukositosis). Peningkatan kadar gula darah akan mengganggu fungsi fa
gosit dalam kemotaksis dan imigrasi sel-sel inflamasi di tempat peradangan.
Kemampuan mobilisasi dan kemotaksis dari PMN menurun. Penderita diabetes
tidak terkontrol respon imunnya menurun. Akibatnya, penderita rentan terkena
infeksi, seperti infeksi saluran kencing, infeksi paru-paru serta infeksi kaki.22
Pada hitung jenis didapatkan neutrofil batang menurun, neutrofil segmen
meningkat, dan limfositopenia. Menurut penelitian Kaplanski G dkk mengatakan I
L-6 merupakan regulator untuk transisi dari aktivasi neutrofil ke limfosit pada pro
ses inflamasi. Pada proses inflamasi akut, neutrofil akan diaktivasi terlebih dahulu
karena konsentrasinya yang lebih tinggi dalam darah dibanding mononuklear dan
gaya kinetic leuko-endothelial adhesion. Tahap awal inflamasi akan meningkatkan
produksi IL-8 untuk memproduksi dan mengaktivasi neutrofil, tetapi pada tahap le
bih lanjut IL-6 akan mengatur produksi sitokin inflamasi dari IL-8 menjadi monoc
yte chemotactic protein-1 (MCP-1) yang akan mengaktivasi mononuklear sel. Tra
nsisi aktivasi dari neutrofil ke limfosit juga diikuti dengan proses apoptosis dan fa
gositosis neutrofil karena neutrofil yang terlalu tinggi akan bersifat toxic bagi jari
ngan sekitar dan menginduksi inflamasi. Apoptosis dan fagositosis neutrofil akan
menurunkan IL-1β, TNF-α, IL-8, GCS-F meskipun secara statistik tidak signifika
n dan meningkatkan TGF-β. Penurunan mediator-mediator proinflamasi ini diseba
bkan bukan karena kurangnya stimulus tetapi karena efek supresi dari TGF-β. Pen
urunan dari IL-1β, TNF-α, IL-8, GCS-F akan menyebabkan penurunan produksi d

64
an aktivasi neutrofil sehingga pada penelitian ini terdapat penurunan jumlah neutr
ofil. Sebagai sel darah putih yang paling banyak beredar di dalam darah, perubaha
n jumlah (pergeseran nilai) dari Neutrofil menggambarkan sebuah proses infeksi a
tau inflamasi yang sedang terjadi. Neutrofil atau yang biasa disebut leukosit polim
orfonuklear (PMN) memiliki beberapa fase dalam proses pematangannya. Pengga
mbaran dari proses pematangan ini diatur dengan sel muda di sisi kiri, dan mengal
ami pematangan ke sisi kanan (mulai dari mieloblast, promielosit, mielosit, meta
mielosit, sampai ke neutrofil non segmen/band dan neutrofil tersegmentasi). Oleh
karena itu, semakin ke kiri maka sel yang terlihat akan semakin muda. Sebaliknya,
semakin ke kanan maka sel matanglah yang terlihat. Neutrofil akan dilepaskan dar
i sumsum tulang sebagai neutrofil imatur yang memiliki ciri inti sel tidak bersegm
en atau inti menyerupai bentuk batang. Peningkatan jumlah dari sel ini dalam sirk
ulasi menunjukan respon tubuh dalam melawan infeksi (“left shift” atau “shift to t
he left”). Neutrofil muda kemudian akan teraktivasi saat terekspos patogen, sehing
ga inti sel akan mengalami segmentasi karena terjadinya peningkatan trankripsi ge
n di dalam sel. Pergeseran nilai leukosit, dapat terlihat pada pemeriksaan hitung je
nis dengan melihat nilai dari neutrofil dengan membandingkan antara neutrofil ya
ng imatur/muda dengan yang matur/matang. “Shift to the left” merupakan sebuah i
stilah yang menunjukan adanya peningkatan dari jumlah sel darah putih muda (les
s-mature bands atau batang) atau imatur (metamielosit) yang dilepaskan ke pereda
ran darah. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah Neutrofil inti batang, dari nila
i referensi. Biasanya kondisi ini dapat muncul pada infeksi atau inflamasi. Sebalik
nya, peningkatan jumlah sel darah putih matur (inti sel sudah tersegmentasi) diken
al dengan “Shift to the right”. Dalam hal ini, jumlah neutrofil inti segmen mening
kat dari nilai referensi. Proses perjalanan infeksi akut akan meningkatkan pelepasa
n sel darah putih, secara umum diawali dengan neutrofil yang imatur (“Shift to the
left”) lalu yang sudah matang. Semakin tinggi kejadian “shift to the left” (nilai neu
trofil imatur meningkat) menandakan bahwa infeksi yang sedang terjadi semakin
berat, karena tubuh berusaha melawan sehingga semakin banyak sel-sel muda yan
g dilepaskan.22
Penurunan jumlah sel limfosit kemungkinan disebakan oleh proses
kematian sel melalui jalur nekrosis atau jalur apoptosis. Hal ini sejalan

65
dengan pernyataan Elsevier (2001) yang menyatakan bahwa penurunan
jumlah sel limfosit pada penderita (DM) disebakan karena adanya proses
kematian sel. Kematian sel terjadi karena kemungkinan sejumlah besar akibat
telah terbentuk radikal bebas dan AGE yang toksik terhadap sel.22

Pada pemeriksaan kimia klinik didapatkan adanya kondisi hiperglikemia yaitu


glukosa darah sewaktu 350 mg/dL, Glukosa darah puasa 220 mg/dL, Glukosa 2
jam post prandial 264 mg/dL, dan HbA1C 9.7%.
Berdasarkan teori, pemeriksaan gula darah menurut PERKENI digunakan
sebagai alur diagnosis DM. Adapun kriteria diagnosis DM yaitu:3

Gambar 1. Kriteria Diagnosis DM

Gambar 2. Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan


Prediabetes

Pada pemeriksaan elektrolit didapatkan hiponatremia. Menurut teori, keadaan


hiponatremia dapat disebabkan karena kondisi hiperglikemia akibat peningkatan
osmolalitas plasma menyebabkan air di intrasel keluar dari sel menyebabkan
dilusi cairan ekstrasel yang menyebabkan hiponatremia. Pada hiponatremia
dengan osmolalitas plasma rendah dapat disebabkan volume sirkulasi efektif turun

66
menyebabkan natrium keluar dari tubuh melalui ginjal (diuretik akut, renal salt
wasting, muntah akut, hipoaldosterone) dan melalui non-ginjal(diare, dan muntah
lama). Menurut waktu terjadinya hiponatremia, maka pasien termasuk dalam
hiponatremia Kronik dimana timbul lebih dari 48 jam, gejala yang dialami hanya
ringan seperti lemas atau mengantuk.20
Pada pemeriksaan urine lengkap di dapatkan glukosuria dengan hasil glukosa
3+. Penyebab glukosuria pada diabetes melitus yaitu kadar glukosa darah yang
tinggi selanjutnya berakibat pada proses filtrasi yang melebihi transpor
maksimum, keadaan ini mengakibatkan glukosa dalam darah masuk ke dalam
urine (glukosuria) sehingga terjadi diuresis osmotik yang ditandai dengan
pengeluaran urin yang berlebihan (poliuria), banyaknya cairan yang keluar
menimbulkan sensasi haus (polidipsia).3
Pada pemeriksaan rontgen pedis AP+lateral didapatkan Gas Ganggrene dextra
dan OM digiti I pedis dextra. Berdasarkan pemeriksaan rontgen pedis, didapatkan
kesan pasien menderita osteomielitis. Osteomielitis merupakan proses inflamasi
yang menyertai proses destruksi tulang yang disebabkan oleh mikroorganisme
yang bersifat infeksius. Klasifikasi osteomielitis berdasarkan durasi sakit yaitu
akut dan kronik, dan berdasarkan mekanisme infeksinya yaitu infeksi hematogen,
atau infeksi sekunder dari fokus contiguous. Infeksi contiguous selanjutnya dibagi
lagi tergantung pada adanya insufisiensi vaskular atau tidak. Osteomielitis yang
berhubungan dengan insufisiensi vaskular biasanya tampak pada penderita
diabetes melitus. Penyebab osteomielitis terbanyak ialah stafilokokus aureus.11,14,16
Osteomielitis contiguous terjadi saat patogen masuk tulang dari sumber
infeksi yang menempel dan mungkin terjadinya mengikuti ulkus pada kulit, paling
sering terjadi pada dewasa dan penyakit penyerta ulkus pada kaki diabetes
melitus, paraplegia dengan lecet akibat tekanan, insufisiensi arteri atau vena
perifer dengan ulkus, fraktur dan fiksasi internal. Osteomielitis dapat ditegakan
diagnosis dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada anamnesis,
biasanya pasien mengeluh nyeri, eritema dan bengkak, kadang-kadang terkait
dengan saluran sinus yang mengering. Ulkus yang dalam atau luas yang gagal
sembuh setelah beberapa minggu dari perawatan ulkus yang tepat seharusnya
menimbulkan kecurigaan osteomielitis. Pemeriksaan foto rontgen biasa masih

67
merupakan pilihan dalam investigasi awal. Pada fase awal osteomielitis akut
seperti misalnya 2-3 hari pertama foto rontgen akan menunjukkan hasil normal
tetapi setelah hari ke 6-7 akan terlihat adanya osteopenia, destruksi tulang hingga
menembus korteks, reaksi periosteal dan terbentuknya involucrum. Sekuestra
akan terlihat pada hari ke-10. Setelah beberapa minggu, seluruh tulang menjadi
osteopenia akibat tidak digunakan, beberapa daerah di korteks tulang yang tersisa
tanpa osteopenia menjadi avaskular. 11,14,16
Penatalaksaan pada pasien ini adalah Non Farmakologis yaitu Edukasi, Diet
BB 1700 Kkal, Ganti verban tiap pagi dan sore.
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup pen
yandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi : 1. Tujuan jangka pendek: me
nghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko ko
mplikasi akut. 2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivita
s penyulit mikroangiopati dan makroangiopati. 3. Tujuan akhir pengelolaan adala
h turunnya morbiditas dan mortalitas DM.3
1) Edukasi

2) Diet3
- Karbohidrat  Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan e
nergi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
- Lemak  Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan t
idak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. o Komposisi yang dianjurk

68
an: ◊ lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.4 ◊ lemak tidak jenuh ganda < 10 %. ◊
selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. o Bahan makanan yang perlu dibatasi a
dalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu fullcream. o Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
- Protein  Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber
protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit,
produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
- Natrium  Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan or
ang sehat yaitu
- Serat  Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacangkacang
an, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat. o Anjuran konsu
msi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai sumber bahan makan
an.
-Alternatif Pemanis  Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, ace
sulfame potassium, sukralose, neotame. Pemanis berkalori perlu diperhitungkan k
andungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol
dan fruktosa.
- Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyand
ang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarn
ya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi berg
antung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan
lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut: § P
erhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang dimodifikasi:
o Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

- Pencegahan kaki diabetik


Pengelolaan kaki diabetik dibagi menjadi 2, yaitu pencegahan terjadinya kaki
diabetes dan terjadinya ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan pada
kulit) dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan
sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi).
1) Pencegahan Primer

69
- Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetik
- Pencegahan kaki diabetik
Penggolongan kaki diabetik berdasarkan risiko terjadinya dan
besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetik
berdsar risiko terjadinya masalah (Frykberg): 1) Sensasi normal tanpa
deformitas; 2) sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar
tinggi; 3) insensitivitas tanpa deformitas; 4) iskemia tanpa deformitas;
5)kombinasi/complicated: a) kombinasi insensitivitas, iskemia dan/atau
deformitas; b) riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Penyuluhan  untuk kaki yang kurang merasa/insensitivits
(kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan benar untuk melindungi
kaki yang insensitif tersebut. Untuk (kategori 2 dan 5) perlu perhatian
khusus mengenai sepatu/alas kaki yang dipakai untuk meratakan
penyebaran tekanan pada kaki. Untuk (kategori 4 permasalahan vaskular),
latihan kaki perlu diperhatikan untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.
Untuk kategori complicated  pencegahan sekunder.

2) Pencegahan Sekunder
a) Kontrol Metabolik
- Perbaiki keadaan umum pasien
- Gula darah usahakan agar selalu normal
- Status nutrisi diperhatikan dan diperbaiki
- Perhatikan dan perbaiki konsentrasi albumin serum, Hb, derajat
oksigenisasi jaringan, fungsi ginjal.
b) Kontrol Vaskular
- Modifikasi faktor risiko  stop merokok, memperbaiki berbgai faktor
risiko terkait aterosklerosis (hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia).
- Perbaikan asupan vaskular (dengan operasi atau angioplasti), biasanya di
butuhkan pada keadaan ulkus iskemik.

c) Wound Control
- Pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur.

70
- Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol infeksi, dengan konsep TIM
E: a) Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati); b) Infla
mmation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi); c) Moisture
Balance (menjaga kelembaban); d) Epithelial edge advancement (mendeka
tkan tepi epitel).
- Pada luka yang produktif dam terinfeksi  dressing yang mengandung
komponen zat penyerap seperti carbonate dressing, alginate dressing,
hydrophilic fiber dressing atau silver impregnated dressing.
- Jika luka sudah lebih baik dan tidak terinfeksi  hydrocolloid dressing
- Terapi topikal  cairan salin atau yodine encer sebagai pembersih luka.

d) Microbiological Control
- Lini pertama : Antibiotik denggan spektrum luas, mencakup kuman gram
positif dan negatif (seperti golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan
obat yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti metronidazole).

e) Pressure Control
- Mengurangi tekanan pada kaki, karena tekanan yang berulang dapat men
yebabkan ulkus, sehingga harus dihindari.
- Mengurangi tekanan merupakan hal sangat penting dilakukan pada ulkus
neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai sepatu dengan ukuran yang s
esuai diperlukan untuk mengurangi tekanan.

Sedangkan tatalaksana Farmakologis diberikan cairan berupa IVFD NaCl 0,9


% gtt 20x/menit, Inj. Ceftriaxone 2x1 gram/iv (skin test), Inj. Omeprazole 1x1
vial/iv, Inf. Metronidazole 3x500 mg, Mecobalamin 3x500 mg tab/p.o,
Cilostazole 2x100 mg tab/p.o, Sliding insulin  12 IU
Penatalaksanaan awal yang diberikan utamanya bertujuan untuk mencegah
infeksi lebih lanjut pada kaki, mengontrol kadar gula darah. Untuk kaki
diabetiknya diberikan drugs combination yang terdiri atas Ceftriaxone dan
Metronidazole. Kombinasi ini dimaksudkan sebagai antibiotik spektrum luas,
yang dapat mencegah berkembangnya bakteri Gram positif, Gram negatif,

71
maupun bakteri anaerob. Pemberian kombinasi antibiotik ini diberikan sebagai
pengobatan awal sementara menunggu hasil kultur dan sensitivitas antibiotik yang
dilakukan. Terapi ini bersifat agresif sebab pada penderita kaki diabetik terdapat
vaskulopati dan hiperglikemi yang merupakan lingkungan kondusif bagi bakteri
untuk berkembang biak dan memperlambat sembuhnya luka. Adapun untuk
kontrol gula darahnya, dapat dilihat bahwa kombinasi obat OHO metformin dan
glimepride tidak cukup berhasil bagi penderita; oleh karena itu perlu
dipertimbangkan pemberian insulin. Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin
sangat meningkat akibat adanya infeksi, stres akut (gagal jantung, iskemi jantung
akut), tanda-tanda defisiensi insulin yang berat (penurunan berat badan yang
cepat, ketosis, ketoasidosis) atau pada kehamilan yang kendali glikemiknya tidak
terkontrol maka pengelolaan farmakologis umumnya memerlukan terapi insulin
dan perawatan di rumah sakit. Pada pasien ini diberikan terapi insulin yang terdiri
atas long-acting insulin dan rapid-acting insulin, dimana karena sudah ada
indikasi pemakaian insulin yaitu kadar HbA1c 9,7% dan adanya infeksi. Untuk
memenuhi kebutuhan insulin basal dapat digunakan insulin kerja
menengah(intermediate acting insulin) atau kerja panjang (long-acting insulin),
sementara untuk memenuhi kebutuhan insulin prandial digunakan insulin kerja
cepat (short acting insulin) atau insulin kerja sangat cepat (rapid acting insulin).
Pada pasien diberikan insulin long acting (Levemir) dengan pemberian 1x12 IU.
Insulin ini memiliki onset 1-3 jam dengan lama kerja 12-24 jam. Pasien juga
diberikan insulin short acting (novorapid) dengan pemerian 3x8 IU. Insulin ini
memiliki onset 5-15 menit dengan lama kerja 4-6 jam.2
Pasien juga diberikan terapi cilostazole, obat cilostazole merupakan obat
antiplatelet yang berfungsi untuk menghilangkan gejala iskemik seperti ulkus,
rasa nyeri dan dingin yang berhubungan dengan oklusi arteri kronis. Cilostazole
menangani iskemik dengan menurunkan agregasi platelet dan menghambat
pembentukan trombus pada pembuluh darah. Cilostazole digunakan pada ulkus
diabetik sebagai kontrol neuropati.25
Pada pasien ini juga diberikan kapsul garam dan cairan NaCl 3% dimana
penderita hiponatremia dapat dikoreksi dengan pemberian infus NaCl 3% pada
saat rawat inap. Estimasi efek infusan terhadap ion Na per 1L larutan infuse

72
adalah bahwa larutan NaCl 3% dapat meningkatkan 13,0 mmol/L Na di dalam
tubuh.24
Omeprazole merupakan obat penghambat pompa proton (PPI) merupakan
penghambat sekresi asam lambung lebih kuat dibanding antihistamin H2. PPI
adalah suatu prodrug yang membutuhkan suasana asam untuk aktivasinya, setelah
diabsorbsi masuk ke sirkulasi sistemik obat ini akan bedifusi ke sel parietal
lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar dan mengalami aktivasi. Bentuk aktif
ini berikatan dengan gugus sulfihidril enzim H+, K+ ATP ase (enzim pompa
proton) dan berada di membran apikal sel parietal, ikatan ini menyebabkan
terjadinya penghambatan enzim tersebut dan produksi asam lambung terhenti
sekitar 80-95%. Ondansetron ialah suati antagonis 5-HT3 yang sangat selektif
yang dapat menekan mual dan muntah, mekanisme kerjanya diduga
dilangsungkan dengan mengantagonisasi reseptor 5-HT yang terdapat pada
chemoreceptor trigger zone di area postrema otak dan mungkin juga pada aferen
vagal saluran cerna.26 Ranitidin merupakan antagoni reseptor H2 yang
menghambat merangsangnya reseptor H2 sehingga menurunkan sekresi asam
lambung.26
Pemberian mecobalamin dapat memicu regenerasi saraf dan/atau remyelinasi
dengan adanya akumulasi vitamin B12 eksogen. Metformin merupakan salah satu
obat yang sering digunakan pasien DM dan penggunaan jangka panjang sering
terkait dengan malabsorbsi vitamin B12 yang menimbulkan defisiensi vitamin
B12 yang memicu munculnya neuropati perifer pada pasien DM.27

73
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus ulkus kaki diabetes pedis dextra pada
seorang laki-laki berusia 51 tahun dengan keluhan luka di kaki kanan yang tidak
sembuh sejak 1 bulan SMRS. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan
darah 140/70 mmHg, Nadi 112 kali/menit, RR 18 kali/menit dan temperatur 36,2
o
C. Pada pemeriksaan ekstremitas inferior pada regio pedis dextra, terdapat luka
berbentuk ulkus pada regio digiti I yang meluas hingga plantar pedis dektra. Luka
berukuran 5 cm x 3 cm x 1 cm. Pada luka terdapat edema (+), hiperemis (+), pus
(+), darah (-), jaringan nekrotik (+), bau (+), terlihat jaringan otot disekitar luka.
Nyeri tekan (-), CRT sulit dinilai. Sensorik sekitar luka normal. Pada pemeriksaan
darah rutin didapatkan adanya kondisi anemia dimana hemoglobin menurun, eritr
ositopenia, hematokrit menurun dan leukositosis. Pada hitung jenis didapatkan
neutrofil batang menurun, neutrofil segmen meningkat, dan limfositopenia. Pada
pemeriksaan kimia klinik didapatkan adanya kondisi hiperglikemia yaitu glukosa
darah sewaktu tinggi, Glukosa darah puasa tinggi, Glukosa 2 jam post prandial
tinggi, dan HbA1C tinggi. Pada pemeriksaan elektrolit didapatkan hiponatremia.
Pada pemeriksaan urine lengkap di dapatkan glukosuria dengan hasil glukosa 3+.
Pada pemeriksaan rontgen pedis AP+lateral didapatkan Gas Ganggrene dextra dan
OM digiti I pedis dextra.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang dapat
disimpulkan bahwa pada ulkus pada penderita sesuai dengan kriteria ulkus
diabetikum menurut International Consensus on Diabetic foot dan termasuk ke
dalam ulkus Wagner IV.

74
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Sudoyo


AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi VI. Jakarta: FKUI, 2007: h. 2323-5.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Dalam: IPD’s CIM: Compendium of Indonesian
Medicine, 1st Edition. Jakarta: IDI, 2009: 13-40.
3. Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al
(eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: FKUI, 2007:
h. 2367-74.
4. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus.
Dalam: Price SA & Wilson LM (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC, 2006: h. 1259-74.
5. International Working Group on the Diabetic Foot. Kaki Diabetes. 2017.
[diakses tanggal 24 Maret 2019]. Tersedia dari:
https://iwgdfguidance.org/guidance/guidance-documents/
6. Doupis J, Veves A. Classification, Diagnosis, and Treatment of Diabetic Foot
Ulcers. Wound. May 2008; 20:117-126
7. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al. Harrison’s Manual of Medicine 17 th
Edition. New York: McGraw-Hill, 2009: h. 942-7.
8. World Health Organization. Diabetes mellitus [internet]. World Health
Organization; 2011 [diakses tanggal 24 Maret 2019]. Tersedia dari:
http://www.who.int/topics/diabetes_mellit us/en/
9. Frykberg RG. Diabetic Foot Ulcer : Pathogenesis and Management. Am Fam
Physician, Vol 66, Number 9. 2002. p 1655-62
10. Chairuddin, M. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Osteomielitis akut dan
kronik. CV.Wiyasana. Makasar.

75
11. Baltensperger, M., G. K. Eyrich. 2009. Osteomyelitis of the Jaws. ISBN: 978-
3-540-28764-3 (Baltensperger, 2009)
12. Ciampolini, J., K. G. Harding. 2000. Pathophysiology of chronic bacterial
osteomyelits. Postgrad Med J, 76: 479-483 (Ciampolini, 2000)
13. Walter, G., M. Kemmere, C., Kappler, R. Hoffmann. 2012. Treatment
Algorithms for Chronic Osteomyelitis. Deutsches Arzteblatt International;
109(14): 257-64 (Walter et al., 2012)
14. Roy, M., J. S. Somerson, K. G. Kerr, J. L. Konroy. 2012. Pathophysiology and
Pathogenesis of Osteomyelitis. ISBN 978-953-51-0399-8 (Roy et al., 2012)
15. Simpson, A. H. R., M. Deakin, J. M. Latham. 2001. The Effect of The Extent
of Surgical Resection on Infection-Free Survival. Journal of Bone and Joint
Surgery; 83(8): 403-407 (Simpson et al., 2001)
16. Rodner, C. M., B. D. Browner, E. Pesanti. 2003. Chronic Osteomyelitis.
USA : Elsevier (Rodner et al., 2003)
17. Juutilainen, V.. 2011. Posttraumatic Osteomyelitis. Suomen Ortopedia ja
Traumatologi; 34(38): 38-41
18. Hofmann, S. R., A. R. Wolff, G. Hahn, C. M. Hedrich. 2012. Update:
Cytokine Dysregulation in Chronic Nonbacterial Osteomyelitis (CNO).
International Journal of Rheumatology; 2012(10): 1-7 (Hofmann et al., 2012)
19. Covington, D. S.. 2011. Wound Healing Perspective. National Healing
Corporation; 8(2): 1-8 (Covington, 2011)
20. Siregar, P. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Gangguan Keseimbangan
Air dan Elektrolit, jilid 2 edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. Hal. 2245-
2246.
21. Mcdougal, et al. Corrects Anemia in Patients with Chronic Kidney Diseae
not on Dialysis: result of randomized clinical trial. Clin J Am Soc
Nephrol2008;3: 337-47.l
22. Singh, et al. Erythropietic Stress and Anemia in Diabetes Mellitus. Nat Rev
Endocrinol. 2009 Apr;5(4):204-10. doi: 10.1038/nrendo.2009.17.
23. Krishnan, Babu, et al. Gastrointestinal Complications of Diabetes Mellitus.
World Journal of Diabetes, 2013, 4.3: 51.

76
24. Tzamaloukas AH, Malhotra D, Rosen BH. Principles of Management of
Severe Hyponatremia. American Heart Association. 2013; (2) 1-11.
25. Decroli, Eva. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Pusat Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas: Padang. Hal. 48-
49.
26. FKUI. Farmakologi dan Terapi, edisi 6. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta. hal. 297,522.
27. Jeentendra, S. & Tushar, B. 2016. Metformin Use and Vitamin B12 Deficiency
in Patients with Type-2 Diabetes Mellitus. Journal of Medical Sciences; 3; 67-
70.

77

Anda mungkin juga menyukai