Oleh :
Hersaina Ashriannisa Sembiring, S. Ked
712018056
Pembimbing
dr. H. Ahmad Restu Iman, MKR., Sp. PD
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, Zat Yang Maha Pengasih dengan segala Kasih Sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Terapi Steroid pada Sistemik Lupus
Eritematosus” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan
Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang BARI.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. H. Ahmad Restu Iman, MKR., Sp. PD, selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang BARI yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan
selama penyusunan referat ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi dan bidan bangsal atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ................................................................................ 3
2.2 Epidemiologi ....................................................................... 3
2.3 Etiologi dan Faktor Resiko.................................................. 4
2.4. Patogenesis .......................................................................... 5
2.5. Manifestasi Klinis ............................................................... 8
2.6. Diagnosis ............................................................................ 9
2.7. Pemeriksaan Penunjang ...................................................... 11
2.8. Derajat SLE ........................................................................ 13
2.9. Penatalaksanaan .................................................................. 14
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ......................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………........... 28
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek
samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan
imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan
masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi
berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya. 1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan kelainan autoimun
multisistem dengan karakteristik disregulasi sistem imun, pembentukan
autoantibodi dan kompleks imun yang menghasilkan inflamasi dan menyebabkan
kerusakan pada berbagai organ tubuh.2
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan selsel oleh auto antibodi
patogen dan kompleks imun. Sistemik Lupus Eritomatosus (SLE) merupakan
penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta
manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam.1-9
Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi sebagai “SLE
mengenai kulit seperti warna kemerahan pada wajah seperti gambaran “kupu-
kupu”, perikarditis, kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala-gejala susunan
saraf pusat.3
2.2. Epidemiologi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk, dengan rasio gender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat
data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus
SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5%
dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,
sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.
Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun,
manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam
3
malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik
19,4% dan demam 16,6%, sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai
adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi
subkutaneus akut 6,7%.4
Morbiditas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut
kesintasan (survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-
97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%. Kesintasan 5 tahun pasien SLE di
RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat
dari tahun 1990-2002. Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih
tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE
berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis,
virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan
penyakit vaskular aterosklerosis.5
4
dengan kejadian SLE berat. Salah satu komponen penentu dari jalur-jalur ini
adalah TNFAIP3 yang telah diketahui berperan dalam 6 (enam) kelainan
autoimun termasuk SLE.6
b) Efek epigenetic
Risiko untuk penyakit SLE dapat dipengaruhi oleh efek epigenetik seperti
metilasi DNA dan modifikasi histon pasca translasi yang dapat terjadi baik
diturunkan atau modifikasi oleh lingkungan. Epigenetik menggambarkan adanya
perubahan yang diwariskan dalam ekspresi gen yang disebabkan oleh mekanisme
selain perubahan urutan basa DNA. Beberapa penelitian juga telah menunjukkan
hubungan metilasi DNA pada SLE.6,7
c) Faktor lingkungan
Sinar ultraviolet merupakan pemicu SLE yang berasal dari lingkungan.
Paparan UVA2 dan UVB melalui proses tanning kulit untuk kecantikan dapat
mengeksaserbasi peyakit kulit pada pasien dengan kelainan ini. Namun, akibat
dari tidak terpapar matahari adalah defisiensi vitamin D dimana berkaitan juga
dengan aktivitas penyakit. Faktor lingkungan lainnya adalah merokok, infeksi,
estrogen eksogen, obat-obatan, agen biologis dan pestisida, alkohol, dan
vaksinasi.6,7
d) Faktor hormonal
Insiden SLE meningkat setelah pubertas dan menurun setelah menopause.
Tingkat keparahan penyakit beragam saat hamil dan siklus menstruasi. Pada studi
kohort terhadap 238.308 wanita yang diamati secara prospektif antara tahun 1976
dan 2003, faktor-faktor seperti menarch dini, pemakaian kontrasepsi oral,
menopause dini, menopause surgikal, dan penggunaan hormon pasca menopause
berkaitan dengan meningkatnya risiko dari penyakit SLE. 8,9
2.4. Patogenesis
Sebelumnya disebutkan bahwa terjadinya SLE merupakan hasil dari
interaksi berbagai jenis faktor dengan faktor lingkungan sebagai pencetus. Oleh
sebab itu, proses terjadinya SLE atau rentetan patogenesis dimulai dengan paparan
faktor lingkungan seperti sinar ultraviolet terhadap sel tubuh. Sinar ultraviolet
dapat memicu kerusakan sel terutama DNA. Sel-sel yang tidak dapat memperbaiki
5
kerusakan tersebut akhirnya melakukan apoptosis atau kematian sel
terprogram.18,19,20
Akibat apoptosis adalah terpaparnya bagian sel atau antigen ke lingkungan
tubuh atau milieu interseluler. Sejatinya pada individu normal, antigen dari proses
apoptosis ini dapat secara cepat dibersihkan baik oleh sel makrofag dan dibantu
dengan komplemen. Pada individu dengan gen yang berisiko menjadi SLE, proses
pembersihan apoptosis ini tidak berjalan dengan sempurna. Baik karena makrofag
tidak mampu secara cepat membersihkan hasil apoptosis ataupun akibat defisiensi
atau kekurangan komplemen. Akibatnya, antigen sel tubuh bertahan lebih lama.
Hal ini bisa dikenali oleh sel antigen presenting cell seperti sel dendritik. Sel
dendritik kemudian memproses antigen ini dan menjadi teraktivasi untuk
membawa antigen tersebut ke kelenjar getah bening regional. 18,19,20
Meningkatnya sisa produk apoptosis ini juga dapat memicu makrofag
mengeluarkan sitokin berupa IFN-α. IFN-α ini dapat mempercepat proses
maturasi sel dendritik sehingga pengenalan antigen dari apoptosis berlangsung
lebih cepat.18,19,20
6
menjadi sel B memori yang akan mengingat antigen seumur hidup atau menjadi
sel plasma. Sel plasma ini yang kemudian akan memproduksi autoantibodi yang
pada gilirannya akan bereaksi dengan antigen tubuh dan menimbulkan kerusakan.
Proses aktivasi tersebut dapat disimak pada bagain di bawah ini: 18,19,20
Gambar 2. Proses Aktivasi APC. Setelah APC masuk ke KGB, APC akan mengaktivasi sel CD4
imatur menjadi sel T helper yang matur. Sel T helper dengan MHC class II dan CD40 serta IL-21
akan mengaktivasi sel B. Sel B yang teraktivasai akan mengekspresikan BCR dan berubah
menjadi sel T memori atau menjadi sel plasma. Sel plasma kemudian akan memproduksi
autoantibodi yang kemudian menyerang antibodi tubuh penderita sehingga muncul gejala
SLE18,19,20
Autoantibodi yang diproduksi oleh sel plasma akan beredar dalam darah
dan mulai menyerang antigen tubuh penderita. Autoantibodi yang menangkap
antigen yang beredar dalam darah, hasil apopotsis, juga akan membentuk
kompleks antigen-antobodi. Autoantibodi ini akan mengaktivasi sistem inflamasi
sehingga kemudian akan menyebabkan kerusakan organ yang ditagetkannya.
18,19,20
7
lebih banyak lagi autoantibodi sehingga reaksi peradangan dan gejala SLE
semakin berat. 18,19,20
Adakalanya ketika SLE sudah mereda, kerusakan yang dipicu misalkan
terkena sinar matahari atau terkena infeksi virus akan menyebabkan apoptosis
baru. Apoptosis ini kemudian membangunkan kembali sel B memori dan
timbulah flare atau kekambuhan dari penyakit lupus atau SLE. 18,19,20
8
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik.
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen.
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik mielitis
transversus,gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
2.6. Diagnosis
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini
diartikan sebagai terpenuhinya kriteria minimum (definitif) atau banyak kriteria
terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of
Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997. Terkait dengan dinamisnya perjalanan
penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap
awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid,
gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan
pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting. 1
Tabel 1. Kriteria Diagnosis SLE10
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratolitik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofi
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
9
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia
Serositis Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang
Perikarditis didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura. Atau Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif, atau
b. Silinder seluler : -dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit)., atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit).
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau
hematologik b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih, atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih, atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat- obatan
Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
imunologik yang abnormal, atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang
didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG
atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
10
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi
antibodi treponema
Antibodi anti Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
nuklear positif pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
(ANA) pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.
Sumber : Hochberg Mc, 199710
Dijumpai 4 atau lebih dari kriteria di atas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. 1
11
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin
time. Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
12
spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak
menyingkirkan diagnosis.1,11
13
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 20.000/mm3 , purpura
trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.
2.9 Penatalaksanaan
I. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu
dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan
pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah
kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet)
dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur.
Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar
tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan
informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas
penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien
SLE terlihat pada tabel 2.1
Tabel 2. Butir-butir Edukasi Terhadap Pasien SLE1
No. Butir-butir Edukasi terhadap Pasien SLE
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat
bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian
kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien
SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait
dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa
nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya.
Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang
dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis
lainnya termasuk antibiotikum.
14
6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah
kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE
dan sebagainya.
15
meningitis,
nefrotoksik.
Kortikoste Tergantung Cushingoid, Gula darah, Tekanan Glukosa
roid derajat SLE hipertensi, profil lipid, darah
dislipidemi, DXA,
osteonekrosis, tekanan
hiperglisemia, darah
katarak,
oesteoporosis
Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Fundusko
(3,5-4 keluhan GIT, mata, G6PD pi dan
mg/kg rash, mialgia, pada pasien lapangan
BB/hr sakit kepala, berisiko pandang
anemi hemolitik mata
Hidroksik 200-400 pada pasien setiap 3-6
lorokuin* mg/ hari dengan bulan
defisiensi G6PD
Azatiopri 50-150 mg Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
n per hari, hepatotoksik, lengkap, mielosupr lengkap tiap
dosis gangguan kreatinin, esif. 1-2 minggu
terbagi 1-3, limfoproliferatif AST/ALT dan
tergantung selanjutnya
berat badan. 1-3 bulan
interval.
AST tiap
tahun dan
pap smear
secara
teratur
Siklofosfa Per oral: 50- Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
mid 150 mg per gangguan lengkap, mielosupr lengkap dan
hari. IV: limfoproliferatif, hitung jenis esif, urin
16
500-750 keganasan, leukosit, hematuria lengkap tiap
mg/m2 imunosupresi, urin dan bulan,
dalam sistitis lengkap. infertilitas. sitologi urin
Dextrose hemoragik, hidup. dan pap
250 ml, infertilitas smear tiap
infus sekunder tahun
selama 1 seumur
jam.
Metotreks 7.5 – 20 mg Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
at / minggu, fibrosis hepatik, lengkap, mielosupr lengkap
dosis sirosis, infiltrat foto toraks, esif, sesak terutama
tunggal atau pulmonal dan serologi nafas, hitung
terbagi 3. fibrosis. hepatitis B mual dan trombosit
Dapat dan C pada muntah, tiap 4-8
diberikan pasien ulkus minggu,
pula melalui risiko mulut. AST / ALT
injeksi. tinggi, AST, dan albumin
fungsi hati , tiap 4-8
kreatinin. minggu,
urin
lengkap dan
kreatinin.
Siklospori 2.5–5 Pembengkakan, Darah tepi Gejala Kreatinin,
nA mg/kg BB, nyeri gusi, lengkap, hipersensit LFT, Darah
atau sekitar peningkatan kreatinin, ifitas tepi
100 – 400 tekanan darah, urin terhadap lengkap.
mg per hari peningkatan lengkap, castor oil
dalam 2 pertumbuhan LFT. (bila obat
dosis, rambut, diberikan
tergantung gangguan fungsi injeksi),
berat badan. ginjal, nafsu tekanan
makan menurun, darah,
17
tremor. fungsi hati
dan ginjal.
Mikofenol 1000 – Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi
at mofetil 2.000 mg leukopenia. lengkap, gastrointes lengkap
dalam 2 fese tinal terutama
dosis. lengkap. seperti leukosit dan
mual, hitung
muntah. jenisnya.
OAINs: obat anti inflamasi non steroid, AST/ALT: aspartate serum transaminase/ alanine serum
transaminase, LFT:liver function test
*hidroksiklorokuin saat ini belum tersedia di Indonesia.
Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek
samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan
imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan
masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi
berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.1,13
Tabel 4. Terminologi Pembagian Kortikosteroid1,13
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah :
Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari
Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison
atau setara perhari
Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison
atau setara perhari
Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari
untuk 1 hari atau beberapa hari
18
Indikasi Pemberian Kortikosteroid
Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik.
Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis
sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan
terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas,
nephritis lupus, lupus cerebral.1,13
Tabel 5. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid Pada Reumatologi1,13
Ekivalen Aktivit Aktivitas Ikatan Waktu Waktu
dosis as relatif protein paruh di paruh
glukokor relatif mineralo plasma biologi
tikoid glukok korticoid (jam) (jam)
(mg) ortikoid *
Kerja pendek
Kortison 25 0.8 0.8 - 0.5 8-12
Kortisol 20 1 1 ++++ 1.5-2 8-12
Kerja menengah
Metilprednisol 4 5 0.5 - >3.5 18-36
on
Prednisolon 5 4 0.6 ++ 2.1-3.5 18-36
Prednison 5 4 0.6 +++ 3.4-3.8 18-36
Triamcinolon 4 5 0 ++ 2- >5 18-36
Kerja panjang
Deksametason 0.75 20-30 0 ++ 3-4.5 36-54
Betametason 0.6 20-30 0 ++ 3-5 36-54
*Klinis; retensi natrium dan air, kalium berkurang Simbol : - =tidak; ++ tinggi, +++ tinggi ke
sangat tinggi; ++++=sangat tinggi
19
Tabel 6. Efek Samping Yang Sering Ditemui Pada Pemakaian Kortikosteroid
Sistem Efek Samping
Skeletal Osteoporosis, osteonekrosis, miopati
Gastrointestinal Penyakit ulkus peptikum (kombinasi dengan OAINS),
Pankreatitis, Perlemakan hati
Immunologi Predisposisi infeksi, menekan hipersensitifi tas tipe lambat
Kardiovaskular Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan aterosklerosis,
aritmia
Ocular Glaukoma, katarak
Kutaneous Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka terganggu,
jerawat, buff alo hump, hirsutism
Endokrin Penampilan cushingoid, diabetes melitus, perubahan
metabolisme lipid, perubahan nafsu makan dan meningkatnya
berat badan, gangguan elektrolit, Supresi HPA aksis, supresi
hormon gonad
Tingkah laku Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek kognitif
HPA, hypothalamic-pituitary-adrenal; OAINS, obat anti in lamasi non steroid.
20
Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari
maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan
penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya
diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari.
Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol aktivitas
penyakit.1,13
Sparing agen kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan
menurunkan dosis KS dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat
yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat
mofetil, siklofosfamid dan metotrexate. Pemberian terapi kombinasi ini adalah
untuk mengurangi efek samping KS.1,13
Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya14
a. Pengobatan SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di
atas tercapai, yaitu:14
Obat-obatan
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi
ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin
250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal
akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis
5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-
kurangnya 15 (SPF 15)
21
b. Pengobatan SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali
pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan
tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis
yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara. Lihat algoritme terapi
SLE.14
22
Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan SLE15
TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh KS adalah kortikosteroid setara prednison,
MP metilprednisolon, AZA azatioprin, OAINS obat anti in lamasi steroid, CYC siklofosfamid,
NPSLE neuropsikiatri SLE.
23
2. Medikamentosa: a) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu
tidak melebihi 7,5 mg/hari prednison atau setara. Sedangkan pada ibu menyusui
boleh sampai 20 mg/hari.
24
Prosedur Whipple pada hari prosedur diturunkan
Reseksi hepar dengan cepat dalam 1 - 2 hari ke
Pancreatitis dosis awal.
Kondisi kritis 50 mg hidrokortison intravena setiap
Syok septik 6 jam dengan 50 μg
Hipotensi yang disebabkan oleh sepsis fludrokortison/hari selama 7 hari
Pulse Metilprednisolon
Indikasi:1
1. Neuro psikiatri lupus berat (kejang, penurunan kesadaran, mielitis
transversa, cerebrovaskular accident, psikosis, sindrom otak organic,
mononeuritis multipleks)
2. Nefritis lupus WHO kelas III, IV atau V dengan progresivitas aktivitas
penyakit
3. Gangguan hematologi (Trombositopenia refrakter berat dengan perdarahan,
anemia hemolitik)
4. Hemoragik pulmonal yang berat
5. Vaskulitis generalisata
Kontraindikasi:1
1. Diketahui hipersensitivitas / alergi terhadap obat pulse terapi
2. Sedang mengalami infeksi akut (merupakan kontraindikasi relatif), jika
sangat dibutuhkan, pemberian pulse dilakukan segera setelah pemberian
antibiotik
3. Hipertensi (jika tekanan darah sudah diturunkan dengan obat antihipertensi
pemberian pulse dapat dilakukan)
Prosedur tindakan:1
1. Periksalah penderita dengan seksama, jika terdapat infeksi, pastikan inisial
antibiotik telah diberikan.
2. Periksa tanda vital dan keadaan pasien sebelum pemberian pulse terapi
3. Jelaskan kepada penderita tentang makna pemberian pulse metilprednisolon
dan kemungkinan efek sampingnya, jika penderita/ keluarga menyetujui
mintalah tanda tangan pada surat persetujuan tindakan (informed consent).
4. Pasang infus pada penderita sesuai prosedur
25
5. Masukkan methylprednisolon (500 atau 1000 mg) ke dalam NaCl 0,9 %
100 cc dan diberikan dalam 1 jam
6. Monitor tekanan darah dan tanda vital lain setiap 15 menit selama
pemberian pulse terapi
7. Jika didapatkan tekanan darah meningkat atau menurun drastis, pemberian
dihentikan sementara, atasi tekanan darah. Jika tekanan darah telah teratasi
pemberian dapat dilanjutkan dengan kecepatan yang lebih perlahan, dan
tetap dimonitor
8. Bilas dengan NaCl 0,9% 10-20 cc setelah infus selesai
9. Pemberian diulang pada hari berikutnya dengan cara dan dosis yang sama,
total pemberian 3 hari berturut-turut.
26
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan kelainan autoimun
multisistem dengan karakteristik disregulasi sistem imun, pembentukan
autoantibodi dan kompleks imun yang menghasilkan inflamasi dan menyebabkan
kerusakan pada berbagai organ tubuh. Seringkali terjadi kebingungan dalam
proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa
dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada
pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai
kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan
SLE. Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam
nyawa. Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek
samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan
imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga bervariasi.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
12. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus
erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96.
13. Jacobs JWG, Bijlsma JWJ. Glucocorticoid therapy. In: Firestein GS, Budd
RC, Harris ED, McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS. Editors. Kelley’s
Textbook of rheumatology. 8th ed. Philadelphia. WB Saunders Elsevier.
2009:863-881.
14. Lahita RG. The clinical presentation of systemic lupus erythematosus.
In:Lahita RG, Tsok.os G, Buyon J, Koike T. Editors. Systemic Lupus
erythematosus, 5th ed. San Diego. Elsevier; 2011: 525-540.
15. Ntali S, Tzabakakis M, Bertsias G, Boumpas DT. What’s new in clinical
trials in lupus. Int J Clin Rheum. 2009;4(4):473-485.
16. Ruiz-Irastorza G. Khamashta MA. Lupus and pregnancy: ten questions
and some answers. Lupus 2008; 17; 416-420.
17. Kelly Zarnke. Canadian Journal of General Internal
Medicine.2007;2(4):36-8.
18. Bertsias George et al. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and
Clinical Features. Eular On-line Course Rheum Dis. 2012;(1909):476–
505.
19. Choi J, Kim ST, Craft J. The Pathogenesis of SLE – an Update. Curr Opin
Immunol. 2013;24(6):651–7.
20. Moulton VR, Suarez-Fueyo A, Meidan E, Li H, Mizui M, Tsokos GC.
Pathogenesis of Human Systemic Lupus Erythematosus: A Cellular
Perspective. Trends Mol Med. 2017 Jul;23(7):615–35.
29