Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus dan Telaah Kritisi Jurnal

Varicella Pada Pasien Systemic Lupus


Erythematosus

Disusun oleh:
Amirul Haidi Al-Siddiq
Nurul Nazira
Fazliah

Pembimbing:
dr. Arie Hidayati, M.Ked (DV), Sp.DV

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis
syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus
ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad
SAW, atas semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya.
Tugas laporan kasus ini berjudul “Varicella Pada Pasien Systemic Lupus
Erythematosus” diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala RSUD dr. Zainoel Abidin – Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Arie Hidayati, M.Ked (DV), Sp.DV
yang telah meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan
penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran
dan bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, 1 Februari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS..................................................................................3
2.1 Identitas Pasien.........................................................................................3
2.2 Anamnesis (autoanamnesis dan alloanamnesis dari ibu pasien)...............3
2.3 Pemeriksaan Fisik.....................................................................................5
2.4 Diagnosis Banding....................................................................................6
2.5 Pemeriksaan Penunjang............................................................................6
2.6 Resume......................................................................................................7
2.7 Diagnosa Klinis.........................................................................................7
2.8 Tatalaksana...............................................................................................7
2.9 Edukasi......................................................................................................7
2.10 Prognosis...................................................................................................7
BAB III ANALISA KASUS..................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18
Jurnal Ilmiah........................................................................................................20
Kritisi Jurnal........................................................................................................31
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Gambaran Lesi pada Pasien................................................................6


Gambar 3.1 Patogenesis Tinea Kapitis..................................................................11
Gambar 3.2 Pola Invasi Rambut Pada Tinea Kapitis.............................................12
Gambar 3.3 Respon Inflamasi Keratinosit.............................................................13
Gambar 3.4 Mekanisme Obat Anti Jamur.............................................................14
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Kriteria mayor dan minor diagnosis Kerion...........................................8


Tabel 3.2. Diagnosis Banding..................................................................................9
BAB I
PENDAHULUAN

Varicella adalah infeksi akut primer yang disebabkan oleh varicella-zoster


virus (VZV), yang menyerang kulit dan mukosa. Manifestasi klinis didahului
gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral
tubuh.[1][2] Varicella tidak menyebabkan kematian. Sejak lama disepakati bahwa
varicella dapat sembuh sendiri. Namun, varicella termasuk penyakit yang
kontagius (menular) dan penularan terjadi dengan cepat secara airbom infection,
terutama pada orang serumah dan pada orang dengan imunokompremais. Pada
orang dengan imunokompremais (misalnya pasien dengan HIV) dan kelompok
tertentu (ibu hamil, neonatus) biasanya gejala lebih berat dan mudah mengalami
komplikasi.[3]
Prevalensi serologis meningkat dengan bertambahnya usia, mulai dari
86% di antara anak-anak usia 6 hingga 11 tahun hingga 99% di antara orang
dewasa yang berusia 40 tahun atau lebih. Meskipun varicella dianggap sebagai
penyakit ringan, ia menyebabkan rata-rata 11.000 hingga 13.500 rawat inap (4,1-
5,0 kasus per 100.000 orang) dan 100 hingga 150 kematian per tahun (0,04-0,06
kasus per 100.000 orang).[3] Estimasi WHO pada 2014 memperkirakan beban
penyakit varicella tiap tahunnya mencapai 4,2 juta komplikasi, termasuk 4.200
kematian.[4] Serokonversi di negara-negara Asia beriklim tropis terjadi pada usia
yang lebih tua, sehingga menimbulkan risiko morbiditas dan mortalitas yang
lebih tinggi.[5] Angka kejadian varisela di Indonesia belum pernah diteliti
sedangkan berdasarkan data dari penelitian di Poli Kulit Kelamin RSUP Prof
DR. Kandou Manado tahun 2015, menemukan 33,3% kasus varisela terjadi
pada kelompok usia 15-24 tahun.[6]

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)


merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya,
memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit
yang beragam. Kekeliruan dalam mengenali penyakit ini sering terjadi. Gambaran
kinik yang sangat bervariasi dari kelainan berupa rash (kemerahan) pada kulit,

1
2

anemia, trombositopenia, glomerulonephritis, dan dapat juga mengenai organ


lainnya di tubuh, tetapi ada satu hal yang sama, yaitu berupa berupa produksi Anti
Nuclear Antibodi (ANA) dan anti ds DNA.[7]
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,
sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.
Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun,
manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam
malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik
19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai
adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi
subkutaneus akut 6,7%.[8] Umumnya SLE lebih seing menyerang wanita
dibandingkan laki-laki dengan rasio wanita banding pria 12 : 1. SLE dapat
menyerang segala usia dengan insidens puncak pada usia 15-45 tahun, di amerika
ras non kaukasian lebih banyak dibandingkan ras kulit putih juga pada wanita
keturunan kulit hitam bila dibandingkan ras kulit putih wanita kulit hitam 3-4 kali
lebih banyak.[8]
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat
data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus
SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5%
dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
Penelitian restrospektif deskriptif dilakukan di Departemen IKA RSCM periode 1
Januari 1995 - 31 Desember 2008. Data diperoleh dari rekam medis dengan
kriteria inklusi, usia 0-18 tahun dan didiagnosis sebagai LES. Selama 14 tahun
terdaftar 60 pasien dengan diagnosis LES namun hanya 27 pasien yang memenuhi
kriteria inklusi penelitian. Jumlah subjek perempuan dibandingkan laki-laki, 24:3
dan usia terbanyak antara 6-12 tahun. 3 Terapi SLE (Systemic Lupus
Erythematosus) tergantung dari berat ringannya penyakit dan menerapkan sistem
3

multidisipliner yaitu pendidikan, sosial, reumatologi, dermatovenereologi,


psikiatri, psikologi dan neurologi.[8]
BAB II
LAPORAN KASUS

II.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. NS
Usia : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Aceh
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Status Pernikahan : Belum menikah
Berat Badan : 47 kg
Tinggi Badan : 153 cm
Alamat : Gampong Lam Ara Cut, Kuta Malaka, Aceh Besar
Tanggal Pemeriksaan : 28 Januari 2022
Nomor CM : 1-23-70-01

II.2 Anamnesis (autoanamnesis dan alloanamnesis dari ibu pasien)

Keluhan Utama
Gelembung berair di seluruh tubuh sejak ±1 minggu yang lalu.
Keluhan Tambahan
Demam dan tubuh lemas sejak ±1 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSUDZA dengan keluhan muncul gelembung berair yang


tersebar di seluruh tubuh sejak ±1 minggu SMRS. Keluhan ini disertai rasa gatal
terus menerus dan rasa perih pada daerah munculnya gelembung berair, tidak ada
faktor yang memperberat dan memperingan keluhan. Pada awalnya pasien
mengalami demam dan tubuh lemas, namun masih sanggup beraktivitas. Lalu, 2
hari kemudian muncul gelembung berair kecil yang gatal pada leher dan sebagian
wajah yang pasien kira adalah jerawat, pasien memecahkannya yang hingga
meninggalkan luka kering kekuningan di atas bibir. Keesokannya, gelembung
berair muncul semakin banyak dan menjalar ke bagian tubuh lainnya. Setelah itu,

4
5

pasien mengonsumsi telur yang dicampur dengan kelapa untuk mengatasi


keluhan, namun gelembung semakin membesar dan muncul semakin banyak di
seluruh tubuh. Pasien juga mengeluhkan nyeri tenggorokan saat menelan dan
dinding rongga mulut muncul ruam-ruam kecil kemerahan yang membuat nafsu
makan pasien berkurang. Sesekali pasien mengalami nyeri sendi pada tangan dan
kaki, dan nyeri kepala berdenyut yang dirasakan hilang timbul. Pasien juga
mengeluhkan nyeri ulu hati seperti terbakar yang hilang timbul disertai mual dan
muntah. Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan dan obat, dan juga tidak
ada riwayat atopi. BAB dan BAK pasien dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien terdiagnosa
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang sudah dialami sejak tahun 2020 dan
menjalani pengobatan secara rutin dengan dokter penyakit dalam.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan ini juga dialami oleh saudara kandung pasien. Awal mulanya, keluhan
gelembung berair dialami oleh adik pasien dan telah sembuh. Setelah beberapa
hari kemudian, keluhan dialami oleh kedua kakak pasien dan masih dialami
hingga saat ini.

Riwayat Pemakaian Obat


- Riwayat obat untuk kondisi SLE sejak tahun 2020:
1. Myfortic 360 mg (1 tablet, 2 kali/hari)
2. Rheu-trex 2,5 mg (3 tablet, 1 kali/minggu)
3. HCQ 200 mg (1 tablet/hari)
4. Calporosis D 500 mg (1 tablet, 2 kali/hari)
5. Meloxicam 15 mg (1 tablet/hari)
6. Cefixime 100 mg (1 tablet, 2 kali/hari)
7. Metil Prednisolone 8 mg (1 tablet, 2 kali/hari)
8. Asam Folat 1 mg (1 tablet/hari)
9. Ca Lactat 500 mg

- Riwayat obat untuk nyeri ulu hati:


6

1. Lansoprazole tablet 30 mg (1 tablet, 2 kali/hari)


2. Domperidone tablet 10 mg (1 tablet, 3 kali/hari)
3. Sucralfat syrup 500 mg/5 ml (2 sendok takar, 4 kali/hari)

Riwayat kebiasaan sosial yang terkait


Pasien merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara. Orang tua pasien mengatakan
bahwa pasien mendapatkan imunisasi dasar lengkap saat kecil sampai berusia 9
tahun. Pendidikan terakhir pasien adalah SMA, kemudian pasien menjadi santri
selama 2 tahun dan keluar karena keluhan dari SLE yang diderita pasien sejak
tahun 2020. Dalam beberapa bulan terakhir pasien hanya di rumah, tidak bisa
terlalu terpapar sinar matahari, dan hanya beraktivitas ringan di rumah.
7

II.3 Pemeriksaan Fisik

Tanda Vital
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 108/78 mmHg
Frekuensi Nadi : 86 kali/menit
Frekuensi Nafas : 20 kali/menit
Suhu : 36,9 ̊C
Saturasi Oksigen : 98% on room air
Skala Nyeri : 5 NRS

Status Generalisata
Sistem Deskripsi
Kulit Warna sawo matang, pucat (+), makulopapula eritematosa dan
vesikel disertai erosi tersebar di seluruh tubuh
Kepala Normosefali, benjolan (-), deformitas (-)
Rambut Warna hitam, distribusi merata, sukar dicabut
Conjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
Mata
bulat isokor (3 mm/3 mm), RCL (+/+), RCTL (+/+)
Hidung Simetris, sekret (-/-), napas cuping hidung (-)
Telinga Normotia, deformitas (-/-), serumen (-/-)
Mulut Simetris, sianosis (-), makula eritematosa di dinding rongga
mulut, krusta kekuningan di atas bibir

Leher Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar getah bening (-), jejas (-)

Bentuk normal, simetris saat statis dan dinamis, retraksi dinding


Thoraks-Paru
dada (-), benjolan/massa (-), jejas (-), fremitus taktil normal, perkusi
sulit dinilai, auskultasi suara vesikuler (+/+) di semua lapangan paru,
wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Jantung Iktus cordis teraba di ICS 5 linea midklavikularis sinistra


8

BJ 1 > BJ 2 (bikuspid dan trikuspid), regular, bising (-)

BJ 2 > BJ 1 (aorta dan pulmonal), regular, bising (-)


Simetris, soepel, benjolan/massa (-), hepar/lien/ginjal sulit dinilai,
Abdomen
perkusi sulit dinilai, peristaltik dalam batas normal

Akral hangat, Capillary Refill Time < 2 detik, edema (-), sianosis
Ekstremitas
perifer (-), kelemahan anggota gerak (-)

Status Dermatologis
9

Gambar II.1. Gambaran Lesi pada Pasien


10

Deskripsi Lesi
Regio : Seluruh tubuh

Tipe Lesi :

- Lesi Primer : Makulopapula eritematosa dan vesikel berbatas


tegas tepi reguler
- Lesi Sekunder : Erosi dan krusta kekuningan

Jenis Lesi : Polimorf

Jumlah Lesi : Multiple

Ukuran : Milier – lentikular

Susunan : Diskret

Konfigurasi : Tidak khas

Distribusi : Universal

II.4 Diagnosis Banding


1. Varicella
2. Herpes Zoster
3. Hand, Foot, and Mouth Disease
4. Pityriasis Lichenoides et Varioliformis Acuta (PLEVA)
5. Skabies Impetigenisata

II.5 Pemeriksaan Penunjang


Pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang yang berkaitan dengan
diagnosa pasien. Namun, pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
pasien ini diantaranya:
1. Pemeriksaan Tzank
2. Analisa cairan vesikel dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)
11

JENIS PEMERIKSAAN
HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
( 27-01-2022)

HEMATOLOGI

DARAH RUTIN

Hemoglobin 10,7 12,0-15,0 g/dL

Hematokrit 33 37 - 47 %

Eritrosit 4,4 4,2 – 5,4 106/mm3

Leukosit 6,95 4,5 - 10,5 103/mm3

Trombosit 230 150 - 450 103/mm3

MCV 74 80 - 100 fL

MCH 24 27 - 31 Pg

MCHC 33 32 - 36 %

RDW 15,9 11,5 -14,5 %

MPV 8,1 7,2-11,1 fL

PDW 8,0

HITUNG JENIS

Eosinofil 0 0-6 %

Basofil 0 0-2 %

NetrofilBatang 0 2-6 %

NetrofilSegmen 80 50-70 %

Limfosit 17 20-40 %

Monosit 3 2-8 %

KIMIA KLINIK

Albumin 3,50 3,5 – 5,2 g/dL

Kalsium (Ca) 8,0 8,6 – 10,3 mg/dL

Ureum 20 13 – 43 mg/dL
12

Kreatinin 0,60 0,51 – 0,95 mg/dL

Natrium (Na) 132 132 – 146 mmol/L

Kalium (K) 3,60 3,7 – 5,4 mmol/L

Klorida (Cl) 99 98 - 106 mmol/L

Tabel 2.1. Hasil pemeriksaan hematologi dan kimia klinik pasien

Hasil pemeriksaan ANA Test


13

II.6 Resume
Pasien perempuan berusia 20 tahun datang dengan keluhan muncul
gelembung berair yang tersebar di seluruh tubuh sejak ±1 minggu, disertai rasa
gatal dan perih pada daerah munculnya gelembung berair. Pada awalnya pasien
mengalami demam dan tubuh lemas, kemudian muncul gelembung berair pada
leher dan sebagian wajah, lalu gelembung berair muncul semakin banyak dan
menjalar ke bagian tubuh lainnya. Pasien mengeluhkan nyeri tenggorokan dan
dinding rongga mulut muncul ruam-ruam kecil kemerahan. Pasien sesekali
mengalami nyeri sendi pada tangan dan kaki, dan nyeri kepala. Pasien juga
mengeluhkan nyeri ulu hati seperti terbakar disertai mual dan muntah.

II.7 Diagnosa Klinis


Varicella dengan Systemic Lupus Erythematous (SLE)

II.8 Tatalaksana
1. Kompres NaCl
2. PO Asiklovir tablet 800 mg 5 kali sehari (selama 7 hari)
3. PO Cetirizine tablet 10 mg/12 jam
4. Drip Clinimix 1 fls/24 jam
5. IV Metil Prednisolon 125 mg/12 jam
6. PO Calporosis D tablet 500 mg/12 jam
7. PO Asam Folat 0,4 mg/12 jam
8. PO HCQ tablet 200 mg/24 jam
II.9 Edukasi
1. Menjelaskan tentang penyakit yang dialami pasien dan penggunaan obat
2. Menjaga kebersihan area lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder
3. Apabila pasien mandi, harus hati-hati agar vesikel tidak pecah
4. Tidak menggaruk dan dijaga agar vesikel tidak pecah, biarkan hingga
mengering dan lepas sendiri
14

5. Istirahat pada masa aktif sampai semua lesi sudah mencapai stadium
krustasi
6. Makan makanan lunak, jika terdapat banyak lesi di mulut
7. Khusus keluarga dan orang terdekat pasien, menghindari kontak langsung
dengan pasien karena dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit.

II.10 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad Bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
15

BAB III
ANALISA KASUS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik telah dilakukan terhadap pasien


perempuan usia 20 tahun pada tanggal 28 Januari 2022 di ruang rawat Aqsa 1,
kamar ISO 2, Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin.
Berdasarkan anamnesis, pasien datang dengan keluhan muncul gelembung
berair yang tersebar di seluruh tubuh sejak ±1 minggu SMRS, disertai rasa gatal
dan perih pada daerah munculnya gelembung berair. Pasien awalnya mengalami
demam dan tubuh lemas, kemudian setelah dua hari muncul gelembung berair
kecil yang gatal pada sebagian wajah dan leher, dan keesokannya gelembung
berair muncul semakin banyak dan menjalar ke bagian tubuh lainnya. Selain itu,
pasien juga mengeluhkan dinding rongga mulut muncul ruam-ruam kemerahan
dan nyeri tenggorokan saat menelan yang membuat nafsu makan pasien
berkurang. Dari hasil anamnesis tersebut, manifestasi klinis yang dialami pasien
telah memberi sedikit gambaran bahwa pasien dicurigai mengalami varicella atau
disebut juga cacar air (chickenpox).
Varicella atau cacar air (chickenpox) adalah suatu infeksi akut primer
disebabkan oleh varicella-zoster virus (VZV) yang menginvasi kulit dan mukosa,
dengan manifestasi klinis didahului gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf,
terutama di bagian sentral tubuh.[9] VZV merupakan jenis virus double-stranded
DNA (dsDNA) dari anggota famili alpa herpes virus neurotropik, dengan
morfologi berbentuk pleomorfik hingga bulat, berdiameter 150 – 200 nm, DNA
terletak di antara nukleokapsid, dan dikelilingi oleh selaput membran luar dengan
sedikitnya terdapat tiga tonjolan glikoprotein mayor.[10,11] Glikoprotein tersebut
yang menjadi target imunitas humoral dan seluler.[9] Infeksi dari VZV secara
primer menyebabkan varicella dan membentuk latensi di neuron ganglion sensoris
radiks dorsalis, ganglion saraf kranial, dan ganglion saraf otonom, serta sel
kelenjar adrenal. Jika terjadi reaktivasi infeksi laten VZV akan menyebabkan
16

herpes zoster dengan manifestasi yang menyebar di sepanjang serabut saraf


perifer ke kulit (dermatom).[11]

Gambar 3.1. Struktur partikel dan genom varicella-zoster virus. (A) Gambaran
VZV dari mikroskop elektron. (B) Representasi skematis dari virion VZV. (C)
Representasi skematis dari struktur genom VZV dan konten G + C. (D) Profil
transkriptom VZV selama infeksi litik pada sel ARPE-19 (jalur luar) dan infeksi
laten pada ganglia trigeminal (jalur dalam).[10,12]

Varicella tersebar secara kosmopolit menyerang terutama anak-anak


sekitar 90%, tetapi juga dapat menyerang orang dewasa sekitar 2%. Insidensi
varicella berbeda-beda bergantung dari iklim dan populasi yang telah mendapat
vaksin varicella di suatu negara. Di negara beriklim tropis dan subtropis, insiden
varicella usia dewasa lebih tinggi daripada negara beriklim sedang. Sekitar 4 juta
kasus varicella dilaporkan setiap tahunnya di Amerika Serikat, dengan 100 – 150
kematian dan lebih dari 10.000 kasus rawat inap. Di Indonesia, varicella kurang
mendapatkan perhatian sebagai penyakit menular, sehingga angka insidensi
varicella di Indonesia masih belum pernah diteliti walaupun outbreak terjadi
17

secara sporadis. Transmisi penyakit ini secara aerogen dengan masa penularan
lebih kurang 7 hari dihitung dari timbul gejala kulit. Morbiditas terjadi
peningkatan seiring bertambahnya usia. Tingkat mortalitas varicella diperkirakan
1 dari 100.000 kasus di antara anak umur 1 – 14 tahun, 6 dari 100.00 kasus di
antara umur 15 – 19 tahun, dan 21 dari 100.000 kasus di antara orang dewasa.
Varicella umumnya memberikan kekebalan seumur hidup, meskipun paparan
virus berikutnya akan meningkatkan respon imun humoral dan seluler.[9,12–14]

Infeksi primer dimulai melalui paparan cairan vesikel yang sangat menular
dari lesi kulit atau melalui inhalasi droplet pernapasan yang menular dari individu
dengan varicella.VZV diperkirakan memulai infeksi pada mukosa epitel saluran
pernapasan bagian atas, di mana virus mendapatkan akses ke sel-sel kekebalan di
tonsil dan jaringan limfoid lokal. Sel dendritik merupakan jenis sel kekebalan
pertama yang terinfeksi di mukosa pernapasan, yang kemudian berinteraksi secara
ekstensif dengan sel lain melalui kontak langsung, yang akan menyediakan
mekanisme agar VZV ditransmisikan ke sel imun lain di tonsil, terutama sel
limfosit T. Selain itu, virus juga menyebar ke kelenjar limfoid regional (2 – 4 hari
setelah paparan), dan selanjutnya terjadi fase viremia primer yang menyebarkan
virus melalui aliran darah dan jaringan limfoid seluruh tubuh (4 – 6 hari setelah
paparan). Virus mencapai sel retikuloenditelial hepar, limfa, dan organ internal
lainnya seminggu kemudian (14 – 16 hari setelah paparan) yang disebut viremia
sekunder. Virus juga menginfeksi sel mononuklear yang berfungsi sebagai sistem
fagosit selama masa inkubasi. Selama fase infeksi ini, terjadi perpanjangan masa
inkubasi biasanya 14 – 16 hari dengan tidak menunjukkan gejala. Ini diikuti
dengan infeksi berkembang kembali ke mukosa pernapasan dan menyebar ke
kulit, jika pertahanan tubuh gagal mengeliminasi virus. Di kulit ini gejala
berkembang, terutama melalui infeksi keratinosit yang menghasilkan eksantema
vesikulopustular dengan lesi yang sangat menular, terutama di bagian sentral
tubuh, kemudian menyebar ke seluruh tubuh, serta selaput lendir seperti rongga
mulut. Selama infeksi primer, penyebaran VZV ke seluruh tubuh difasilitasi oleh
migrasi sel limfosit T yang terinfeksi.[9,15]
18

Gambar 3.2. Patogenesis infeksi primer dari varicella-zoster virus (VZV)[15]

Varicella primer diselesaikan oleh respon imun host biasanya dalam 1 - 2


minggu. Namun, jika respon imun tidak berfungsi maksimal, VZV dapat
menyebar ke tempat lain termasuk sistem saraf pusat dan paru-paru. penyebaran
infeksi dapat mengakibatkan beberapa komplikasi, seperti ensefalitis VZV,
ataksia serebelar, neuropati demielinasi, mielitis, dan pneumonia. Selama infeksi
19

primer, meskipun respon imun kuat, VZV tidak sepenuhnya hilang dari host
melainkan virus memperoleh akses ke neuron di ganglia sensorik dan
menimbulkan infeksi laten seumur hidup. Virus menyebar ke ganglia sensorik
melalui transpor aksonal retrograde dari ujung saraf bebas di kulit, dan berpotensi
melalui penyebaran hematogen dalam sel imun yang menginfiltrasi ganglia
sensorik.[15]

Gejala klinis dimulai dengan gejala prodromal, yaitu demam ringan 2 – 3


hari, malaise, menggigil, nyeri kepala, dan anoreksia. Kemudian disusul dengan
timbulnya erupsi kulit berupa makula eritematosa yang berprogresi secara cepat
dalam waktu 12 jam menjadi papula, dan selanjutnya menjadi vesikel. Bentuk
vesikel ini khas mirip tetesan embun (tear drop) di atas dasar yang eritematosa.
Vesikel tersebut akan berubah menjadi keruh menyerupai pustula dan kemudian
kering menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-
vesikel baru sehingga pada suatu saat tampak gambaran polimorf. Penyebaran
terutama di daerah badan, kemudian menyebar secara sentrifugal ke wajah, dan
ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas
bagian atas. Krusta akan terkelupas secara spontan dalam waktu 1 – 3 minggu,
meninggalkan erosi dangkal dengan dasar merah muda yang secara bertahap
menghilang. Jaringan parut jarang terjadi, kecuali lesi mengalami trauma atau
sengaja dipecahkan oleh pasien atau adanya superinfeksi bakteri. Lesi yang
sembuh dapat meninggalkan makula hipopigmentasi yang menetap selama
mingguan hingga bulanan. Jika terjadi infeksi sekunder akan ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening regional. Penyakit ini biasanya disertai dengan
rasa gatal pada lesi. Infeksi pada wanita hamil di trimester pertama dapat
menimbulkan kelainan kongenital, sedangkan infeksi yang terjadi beberapa hari
menjelang kelahiran dapat menyebabkan varicella kongenital pada neonatus.
Diagnosis varicella dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala prodromal,
dan manifestasi klinis sesuai tempat predileksi dan morfologi yang khas pada
varicella.[9,13]

Dari hasil anamnesis, kondisi yang dialami pasien sesuai dengan


kepustakaan yang ada mengenai patogenesis dan manifestasi klinis dari varicella.
Pasien mengalami gejala klinis dan progresivitas gejala seperti pada pembahasan
20

di atas, yang diawali dari gejala prodromal hingga munculnya erupsi pada kulit
dan mukosa dari bagian sentral hingga menyebar ke seluruh tubuh. Pasien tidak
pernah menderita kondisi seperti ini sebelumnya, dan keluhan yang serupa juga
dialami terlebih dahulu oleh saudara kandung pasien. Awal mulanya, keluhan
gelembung berair dialami oleh adik pasien, dan kemudian kedua kakak pasien
mengalami keluhan yang sama, sehingga dapat disimpulkan pasien mendapat
penularan penyakit dari saudara kandung pasien.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan hasil yang sangat mendukung


diagnosa varicella pada pasien. Status generalisata menunjukkan pasien dalam
kondisi sakit sedang, kulit tampak pucat dan ditemukan lesi makulopapula
eritematosa hingga vesikel disertai erosi di seluruh tubuh, mukosa mulut terdapat
lesi makula eritematosa, serta krusta kekuningan di atas bibir. Tidak ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening pada pasien, dan yang lain dalam batas normal.
Status dermatologis menunjukkan pada regio seluruh tubuh terdapat lesi primer
berupa makulopapula eritematosa dan vesikel berbatas tegas tepi reguler, lesi
sekunder berupa erosi dan krusta kekuningan, jenis lesi polimorf, jumlah multiple,
ukuran milier hingga lentikular, tersusun diskret, konfigurasi tidak khas, dan
terdistribusi universal.

Pemeriksaan penunjang umumnya tidak diperlukan pada varicella tanpa


komplikasi, pada sediaan darah tepi dapat ditemukan penurunan leukosit, dan
peningkatan enzim hepatik. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan Tzanck
dengan cara membuat sediaan hapusan yang diwarnai dengan Hematoxylin Eosin,
Giemsa, atau pewarna serupa. Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel dan akan
didapatkan sel datia berinti banyak dan sel epitel yang mengandung badan inklusi
intraseluler eosinofilik. Namun, hasil ini tidak spesifik pada varicella karena ini
juga dapat ditemukan pada herpes zoster. Bila keadaan laboratorium
memungkinkan, dapat dilakukan pemeriksaan cairan vesikel dengan Polymerase
Chain Reaction (PCR) guna membuktikan infeksi DNA VZV, atau serologi untuk
fluoresent-antibody to membrane antigen of VZV dan atau dengan menggunakan
aglutinasi lateks.[9,13]
21

Gambar 3.3. Gambaran histopatologi varicella-zoster virus. (A dan B) Lesi


papular varicella yang berkembang menjadi vesikel intraepitel dalam waktu 12 –
24 jam. Masuknya cairan edema mengangkat stratum korneum membentuk
vesikel yang mengandung sejumlah virus, sel datia berinti banyak, dan badan
inklusi intranuklear eosinofilik. (C) Sel datia berinti banyak yang diidentifikasi
dalam apusan Tzanck. (D) Kultur jaringan fibroblast manusia yang terinfeksi
menunjukkan sel datia berinti banyak yang mengandung badan inklusi
intranuklear eosinofilik.[13,16]

Diagnosis banding varicella yang paling dekat adalah herpes zoster karena
disebabkan juga oleh varicella-zoster virus (VZV). Perbedaan dari varicella dan
22

herpes zoster dalam hal patogenesis dan manifestasi klinis, di mana pada herpes
zoster terjadi reaktivasi infeksi laten yang ada di ganglion sensorik dan erupsi
kulit muncul terlokalisata sesuai dermatom. Varicella juga harus dibedakan
dengan variola (walaupun kasus ini sudah jarang), yang secara klinis lebih berat
dan memberi gambaran monmorf, penyebaran dimulai dari bagian akral tubuh
(telapak tangan dan kaki). Beberapa penyakit lain yang mirip dengan varicella,
yaitu reaksi hipersensitivitas gigitan serangga (insects bite), hand, fooot and
mouth disease, impetigo, eksantema vesikular akibat coxsackie-virus dan
echovirus, pityriasis lichenoides et varioliformis acuta (PLEVA), dan lain-lain.
[9,13]

(Bahas kondisi immunocompromised pada SLE on therapy jadi rentan


terhadap vericella, 1 atau 2 paragraf mencakupi SLE sampai tatalaksana
utamanya)

Hasil anamnesis pada riwayat penyakit menunjukkan bahwa pasien


merupakan penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) sejak tahun 2020.
Pasien mengeluhkan nyeri sendi sesekali pada tangan dan kaki, nyeri kepala
berdenyut yang dirasakan hilang timbul, dan sensitif terhadap paparan sinar
matahari yang membuat pasien sulit untuk beraktivitas di luar rumah. Pasien rutin
menjalani pengobatan untuk SLE yang dikontrol oleh dokter penyakit dalam. Dari
anamnesis juga pasien mengeluhkan nyeri ulu hati seperti terbakar yang hilang
timbul disertai mual dan muntah yang dialami selama pengobatan SLE, yang
dapat dicurigai keluhan ini muncul akibat efek samping dari pengobatan SLE,
yaitu obat kortikosteroid. Obat ini bekerja dengan menekan sistem kekebalan
seorang penderita penyakit autoimun seperti SLE, sehingga sistem kekebalan
tubuh menjadi rendah dan pasien menjadi rentan terhadap infeksi atau penyakit
lainnya (immunocompromised). Pasien ini dapat disimpulkan mengalami kondisi
immunocompromised akibat penggunaan kortikosteroid jangka panjang atas
indikasi pasien mengalami SLE.
23

Varicella umumnya bersifat jinak dan merupakan self-limited disease.


Pengobatan simtomatik dari varicella dapat menggunakan antipiretik dan
analgesik (misalnya parasetamol), untuk mengilangkan rasa gatal dapat diberikan
sedatif, atau antihistamin yang mempunyai efek sedatif. Terapi topikal ditujukan
mencegah agar vesikel tidak pecah teralalu dini, mengurangi nyeri dan pruritus,
karena itu dapat diberikan calamine lotion atau caladryl clear (seng asetat 0,1% +
pramoxine 1%). Hindari pengunaan asam salisilat atau aspirin karena dapat
menimbulkan sindrom Reye, dan hindari penggunaan krim atau lotion yang
mengandung glukokortikoid dan salep oklusif. Jika timbul infeksi sekunder dapat
diberikan antibiotik oral atau salep. Tatalaksana non-medikamentosa pada
varicella dapat dilakukan kompres dingin pada kulit, mandi air hangat dengan
soda kue atau oatmeal koloid (3 cangkir per bak air).[9,13]

Terapi antivirus berupa analog nukleosida seperti asiklovir, famsiklovir,


dan valasiklovir hidrokhlorida, berkhasiat dalam mengobati infeksi VZV dan telah
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA). Berdasarkan penelitian,
famsiklovir merupakan pilihan terapi efektif untuk infeksi VZV yang resisten
terhadap asiklovir. Selain itu, terapi lini kedua dapat diberikan foscarnet yang
merupakan analog anorganik pirofosfat. Indikasi pemberiaan antivirus jika
sebelumnya telah ada anggota keluarga serumah yang menderita varicella, atau
pada pasien immunocompromised, antara lain pasien dengan keganasan, infeksi
HIV/AIDS, atau sedang mendapat pengobatan imunosupresan (kortikosteroid
jangka panjang), atau sitostatik dan pada kehamilan. Menurut kepustakaan
lainnya, antivirus dapat diberikan sesuai dengan kondisi pasien berikut, yaitu:[13,17]
a) Pasien Anak Immunocompetent
Penelitian pada anak-anak sehat berusia 2 – 12 tahun menunjukkan bahwa
pengobatan asiklovir oral (20 mg/kgBB 4 kali/hari selama 5 hari) yang dimulai
dalam 24 jam setelah timbulnya ruam efektif dalam menghambat perkembangan
ruam. Ini juga dikarenakan infeksi varicella relatif jinak pada anak, dan
pengobatan antivirus rutin tidak dianjurkan pada anak immunocompetent. Terapi
antivirus oral direkomendasikan untuk usia >12 tahun, pasien dengan gangguan
kulit atau paru kronis atau penyakit kelemahan lainnya, pasien yang menerima
24

terapi salisilat jangka panjang, atau pasien yang menggunakan kortikosteroid


karena kelompok ini memiliki risiko varicella sedang hingga berat.[13]

b) Pasien Remaja dan Dewasa Immunocompetent

Terapi rutin antivirus sangat direkomendasikan pada remaja dan dewasa


karena komplikasi varicella lebih sering terjadi pada kelompok usia tersebut.
Famsiklovir 500 mg per oral setiap 8 jam atau valsiklovir 1000 mg per oral setiap
8 jam menjadi pengganti asiklovir yang lebih nyaman dan tepat pada remaja dan
dewasa normal.[13]

c) Pasien Immunocompromised

Asiklovir intravena menjadi standar perawatan pada pasien varicella


dengan imunodefisiensi substansial. Namun, terapi oral famsiklovir dan
valasiklovir juga cukup untuk pasien varicella dengan gangguan imunologi derajat
ringan. Pasien yang memulai terapi intravena dapat dialihkan ke terapi oral jika
lesi baru berhenti muncul dan pasien telah stabil.[13]

Pasien Regimen
Normal
Neonatus Asiklovir 10 mg/kgBB atau 500 mg/m2 per 8
jam selama 10 hari
Anak (2 – 18 tahun) Terapi simtomatik saja, atau
Valasiklovir 20 mg/kgBB per 8 jam selama 5
hari (maksimal 3 gram/hari), atau
Asiklovir 20 mg/kgBB per oral 4 kali sehari
selama 5 hari (maksimal 3200 mg/hari).
Remaja (>40 kg) atau dewasa, Valasiklovir 1 gram per oral setiap 8 jam selama
khususnya dengan 7 hari, atau
immunocompromise ringan Famsikolovir 500 mg per oral setiap 8 jam
(misal, menggunakan terapi selama 7 hari, atau
25

glukokortikoid) Asiklovir 800 mg per oral 5 kali sehari selama 7


hari.
Pneumonia Asiklovir 10 mg/kgBB IV setiap 8 jam selama 7
– 10 hari.
Kehamilan Penggunaan rutin asiklovir tidak
direkomendasikan. Jika ada komplikasi (misal,
pneumonia) tatalaksana pneumonia seperti
rekomendasi di atas.
Immunocompromised
Varicella ringan atau Valasiklovir 1 gram per oral setiap 8 jam selama
Immunocompromised ringan 7 – 10 hari, atau
Famsiklovir 500 mg per oral setiap 8 jam selama
7 – 10 hari, atau
Asiklovir 800 mg per oral 5 kali sehari selama 7
– 10 hari.
Varicella berat atau Asiklovir 10 mg/kgBB IV setiap 8 jam selama 7
Immunocompromised berat – 10 hari.
Resisten terhadap asiklovir Foscarnet 40 mg/kgBB IV setiap 8 jam hingga
(AIDS lanjut) sembuh.

Tabel 3.1. Terapi antivirus pada varicella normal dan Immunocompromised.[13]

Sesuai kepustakaan, pasien ini mendapatkan tatalaksana varicella yang


terdiri dari terapi simtomatik dan terapi antivirus. Pada terapi simtomatik, pasien
diberikan cetirizine tablet 10 mg per oral setiap 12 jam yang merupakan
antihistamin untuk mengatasi rasa gatal karena memiliki efek sedatif. Terapi
antivirus disesuaikan dengan kondisi pasien yang mengalami varicella disertai
immunocompromised karena menggunakan terapi glukokortikoid (metil
prednisolone) dalam jangka waktu lama atas indikasi pasien mengalami SLE dari
tahun 2020. Terapi antivirus yang diberikan berupa asiklovir tablet 800 mg per
oral sebanyak 5 kali sehari selama 7 hari. Selain itu, pasien juga dikompres NaCl
secara rutin sebagai tatalaksana non-medikamentosa pada varicella.
26

Selama rawatan, pasien juga mendapatkan beberapa terapi untuk kondisi


SLE yang dialami pasien, yaitu clinimix 1 fls drip per 24 jam yang merupakan
nutrisi parenteral yang diindikasikan jika nutrisi secara oral tidak adekuat; Metil
prednisolon 125 mg intravena per 12 jam adalah jenis kortikosteroid termasuk
golongan glukokortikoid, terapi utama pada SLE; Calporosis tablet 500 mg per
oral setiap 12 jam yang digunakan untuk mencegah dan mengobati gangguan
metabolisme atau defisiensi kalsium; Asam folat 0,4 mg per oral setiap 12 jam
untuk mencukupi kebutuhan asam folat pasien; Hydroxychloroquine (HCQ) tablet
200 mg per oral setiap 24 jam yang memiliki efek antiinflamasi dan menekan
respon sistem imun untuk meredakan gejala SLE.

Pencegahan varicella dapat dilakukan dengan pemberian varicella zoster


immunoglobuline (VZIG) dan vaksinasi. VZIG dapat mencegah dan meringankan
varicella yang dapat diberikan secara intramuskular dalam 4 hari setelah paparan.
Dosis VZIG yang direkomendasikan, yaitu pada neonatus dengan berat badan
lahir <2,0 kg diberikan dosis 125 U, sedangkan neonatus dengan berat badan lahir
>2,0 kg diberikan dosis 250 U.[9,18]

Vaksin varicella berasal dari galur yang telah dilemahkan dan diberikan
pada usia 12 bulan atau lebih. Vaksin diberikan secara subkutan sebesar 0,5 ml
pada anak berusia 12 bulan sampai 12 tahun. Pada usia di atas 12 tahun, juga
diberikan 0,5 ml, steelah 4 – 8 minggu diulangi dengan dosis yang sama. Bila
terpajan kurang dari 3 hari, perlindungan vaksin dapat terjadi, sedangkan antibodi
yang cukup sudah muncul di antara 3 – 6 hari setelah vaksinasi. Vaksin varicella
catch-up dosis kedua direkomendasikan pada anak, remaja, dan dewasa yang
sebelumnya hanya menerima 1 dosis.[9,13]
27
DAFTAR PUSTAKA

1. Kang, S, dkk. Fitzpatrick’s Dermatology, 9th Edition, Volume 1,Halaman


3035-3041. 2019.
2. Adhi, Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Edisi 7.2018. (128–131).
3. Margha NPTM, Wardhana M. Karakteristik Penderita Cacar Air (Varicella)
Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar Periode April 2015 -
April 2016. J Med Udayana 2020;9(8):93–6.
4. World Health Organization. Varicella and herpes zoster vaccines: WHO
position paper, Weekly Epidemiological Record Relevé épidémiologique
hebdomadaire. 2014;89(25):265-87.
5. Wijanarko MSP. Varicella in Adults , Pregnancy , and
Immunocompromised Conditions. J Kedokt Meditek 2021;27(1):81–7.
6. Pangow CC., Pandaleke HEJ, Kandou RT. 217 Profil Pioderma Pada Anak
Di Poliklinik Kulit Dan Kelaminrsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Periode Januari-Desember 2012. e-CliniC 2015;3(1):2–6.
7. Kasjmir YI, Handono K, Wijaya LK, Hamijoyo L, Albar Z, Kalim H, et al.
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. 1–54 p.
8. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin Lupus di Indonesia. Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2017. p. 8.
9. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2018.
10. Depledge DP, Sadaoka T, Ouwendijk WJD. Molecular aspects of varicella-
zoster virus latency. Viruses 2018;10(7):1–21.
11. Bubak AN, Como CN, Blackmon AM, Jones D, Nagel MA. Varicella
zoster virus differentially alters morphology and suppresses
proinflammatory cytokines in primary human spinal cord and hippocampal
astrocytes 11 Medical and Health Sciences 1107 Immunology 11 Medical
and Health Sciences 1108 Medical Microbiolog. J Neuroinflammation
2018;15(1):1–9.
12. Center for Disease Control and Prevention. Chickenpox. 2021;
13. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ,
et al. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. McGraw-Hill Education; 2019.
14. Margha NPTM, Wardhana M. Karakteristik Penderita Cacar Air (Varicella)
Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar Periode April 2015 -

28
29

April 2016. Antimicrob Agents Chemother 2020;9(8).


15. Gerada C, Campbell TM, Kennedy JJ, McSharry BP, Steain M, Slobedman
B, et al. Manipulation of the Innate Immune Response by Varicella Zoster
Virus. Front Immunol 2020;11(January):1–17.
16. Mahalingam R, Gershon A, Gershon M, Cohen I, Arvin A, Zerboni L, et al.
Current In Vivo Models of Varicella-Zoster Virus Neurotropism. 2019;
(Cmi):1–25.
17. Oka T, Hishizawa M, Yamashita K, Shiraki K, Takaori-Kondo A.
Successful treatment with famciclovir for varicella zoster virus infection
resistant to acyclovir. J Infect Chemother 2021;27(5):755–8.
18. Blumental S, Lepage P. Management of varicella in neonates and infants.
BMJ Paediatr Open 2019;3(1):1–6.
30

Jurnal Ilmiah
Terapi Antijamur Sistemik Untuk Tinea
Kapitis pada Anak-Anak: Tinjauan Singkat
Cochrane
Xiaomei Chen, MMS,a Xia Jiang, MMS,a Ming Yang, MD,b Cathy Bennett, PhD,c Urb_a Gonz_alez, MD,d
Xiufang Lin, MMS,b Xia Hua, MMS,a Siliang Xue, MD,a and Min Zhang, MDa
Chengdu, China; Coventry, United Kingdom; and Barcelona, Spain

Latar Belakang: Membandingkan efikasi dan profil keamanan dari obat


antijamur sistemik untuk tinea kapitis pada anak-anak masih belum jelas.
Tujuan: Kami berusaha untuk menilai efek obat antijamur sistemik untuk tinea
kapitis pada anak-anak.
Metode: Kami menggunakan prosedur metodologis Cochrane standar.
Hasil: Kami memasukkan 25 uji coba terkontrol secara acak dengan 4.449
peserta. Terbinafine dan griseofulvin memiliki efek yang sama untuk anak-anak
dengan infeksi campuran Trichophyton dan Microsporum (rasio risiko 1,08,
interval kepercayaan 95% 0,94-1,24). Terbinafine lebih baik daripada griseofulvin
untuk penyembuhan total infeksi T. Tonsurans (rasio risiko 1,47, interval
kepercayaan 95% 1,22-1,77); griseofulvin lebih baik daripada terbinafine untuk
penyembuhan total infeksi yang disebabkan oleh spesies Microsporum (rasio
risiko 0,68, interval kepercayaan 95% 0,53-0,86). Dibandingkan dengan
griseofulvin atau terbinafine, itrakonazol dan flukonazol memiliki efek yang sama
terhadap infeksi Trichophyton.
Keterbatasan: Semua studi yang disertakan berada pada bias yang tidak jelas
atau berisiko tinggi. Rendahnya bukti yang berkualitas menghasilkan kepercayaan
yang lebih rendah dalam perkiraan efek. Heterogenitas klinis yang signifikan ada
di seluruh studi.
Kesimpulan: Griseofulvin atau terbinafine keduanya efektif; terbinafine lebih
efektif untuk T. tonurans dan griseofulvin untuk infeksi M. canis. Itrakonazol dan
flukkonazol adalah pilihan alternatif tetapi tidak optimal untuk infeksi
Trichophyton. Rejimen agen antijamur yang optimal membutuhkan penelitian
lebih lanjut. 

Kata kunci: anak-anak; Cochrane; terapi antijamur sistemik; tinjauan sistematis;


tinea capitis; treatment.
31

Tinea capitis disebabkan oleh jamur dermatofita (biasanya spesies Trichophyton


atau Microsporum; misalnya, T. Tonsurans, T. mentagrophytes, T. violaceum, M.
canis, dan M. audouinii). Penyakit ini dapat mempengaruhi anak-anak praremaja
yang sehat dan jarang terjadi pada orang dewasa. Kejadian ini umum terjadi di
negara dengan berbagai tingkat pendapatan di seluruh dunia; namun,
prevalensinya bervariasi di seluruh populasi penelitian dalam wilayah geografis
yang berbeda. Suatu kerion menggambarkan massa seperti abses yang jika tidak
diobati dapat menyebabkan jaringan parut dan alopesia permanen.
Agen antijamur adalah intervensi utama untuk mengobati tinea capitis (misalnya
griseofulvin, terbinafine, ketokonazol, flukonazol, dan itrakonazol). Terapi ini
banyak digunakan dalam praktek klinis. Penelitian mengenai efikasi dan profil
keamanan untuk agen antijamur ini dengan dosis berbeda atau durasi pengobatan
masih belum jelas. Kami melakukan tinjauan literatur ini untuk membahas efikasi
dan keamanan obat antijamur sistemik untuk tinea capitis pada anak-anak.

METODE
Analisis kami didasarkan pada Cochrane Review yang paling terbaru diperbarui di
Cochrane Library 2016, edisi 5. Rincian lengkap metode dan semua studi yang
disertakan tersedia dari Cochrane Review.

Kriteria inklusi
Kami memasukkan uji coba terkontrol secara acak (randomized controlled
trials/RCT) yang dilakukan pada anak-anak dengan imunitas normal dan dengan
tinea capitis yang dikonfirmasi dengan mikroskop, dikonfirmasi melalui kultur,
atau keduanya. Semua rejimen terapi antijamur sistemik untuk tinea capitis
dimasukkan pada tinjauan ini.

Pencarian
Kami mencari database berikut hingga November 2015: MEDLINE via Ovid (dari
1946), EMBASE via Ovid (dari 1974), LILACS (dari 1982), CINAHL via
EBSCO (dari 1981), CENTRAL (2015, edisi 10), dan Cochrane Skin Group
Specialized Register. Kami juga mencari 5 register percobaan. Kami mencari
bibliografi studi yang disertakan dan dikecualikan untuk referensi lebih lanjut
32

untuk percobaan yang relevan dan kami menghubungi peneliti utama untuk data
yang hilang.

Ekstraksi data
Dua penulis review secara independen mengekstrak informasi dari RCT yang
disertakan, dan penulis lain memeriksa keakuratan formulir ekstraksi data.
Perbedaan diselesaikan dengan diskusi.

Hasil
Berdasarkan protokol tinjauan, 2 hasil utama diidentifikasi: (1) proporsi peserta
dengan kesembuhan total (yaitu, penyembuhan klinis dan mikologis); dan (2)
frekuensi dan jenis efek samping. Kami juga menilai 4 hasil sekunder: (1)
proporsi peserta dengan kesembuhan klinis saja; (2) penilaian kekambuhan
kondisi setelah akhir periode intervensi; (3) persentase drop-out; dan (4) waktu
yang dibutuhkan untuk penyembuhan. Kami menyajikan hasil utama dalam versi
singkat ini. Dua penulis ulasan secara independen menilai risiko bias untuk
masing-masing RCT yang disertakan sesuai dengan metode yang
direkomendasikan di bagian 8.9 hingga 8.15 dari Buku Saku Cochrane for
Systematic Reviews of Interventions. Risiko Cochrane dari domain bias untuk
setiap RCT dinilai sebagai risiko bias yang rendah, tinggi, dan tidak jelas. Kami
menyajikan hasil dikotomis sebagai rasio risiko (RR) dengan interval kepercayaan
95% (CI). Kami menyajikan satu-satunya hasil yang berkelanjutan, waktu yang
dibutuhkan untuk penyembuhan, sebagai rata-rata dengan perbedaan standar.
Ketika kami mengidentifikasi RCT yang serupa secara klinis, kami
mengumpulkan data dikotomi ke dalam meta-analisis menggunakan model
random-effect (metode Mantel-Haenszel) dalam software RevMan 5.3. Kami
melakukan analisis subkelompok menurut variasi spesies dermatofit dan durasi
pengobatan, jika memungkinkan. Durasi pengobatan dikategorikan menjadi 3
kelompok: (1) jangka pendek (paling dekat dengan 2 minggu, tetapi antara 1 dan 4
minggu); (2) jangka menengah (paling dekat dengan 6 minggu, tetapi antara 5 dan
8 minggu); dan (3) jangka panjang (paling dekat dengan 12 minggu, tetapi antara
9 dan 14 minggu).
33

HASIL
Kami memasukkan total 25 RCT dengan 4449 peserta (Gambar 1). Semua studi
kelompok paralel, dan 10 memiliki desain multiarm. Ukuran sampel bervariasi
dari 13-1549 peserta. Masing-masing dari 25 penelitian melaporkan jenis jamur
yang dikultur. Spesies Trichophyton mendominasi spesies Microsporum dalam
studi yang disertakan; T. tonsurans dan M. canis menyebabkan infeksi tertinggi
pada peserta. Kualitas keseluruhan RCT yang disertakan adalah sedang atau
rendah dan dalam beberapa kasus sangat rendah menurut kriteria Grading of
Recommendations Assessment, Development and Evaluation (GRADE). Gambar
2 menjelaskan penilaian kami tentang setiap risiko bias yang disajikan sebagai
persentase di semua yang disertakan pada penelitian. RCT yang disertakan
membandingkan perawatan aktif yang berbeda: baik obat yang berbeda atau
rejimen yang berbeda dari obat yang sama. Tidak ada yang membandingkan
pengobatan aktif dengan plasebo. Secara total, kami mengidentifikasi 5 agen
antijamur yang berbeda dan mengelompokkan data menjadi 13 perbandingan
(Gambar 3).

Terbinafine versus griseofulvin


Data yang dikumpulkan dari 5 RCT menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan antara terbinafine (2-4 minggu) dan griseofulvin (8 minggu) untuk
mencapai penyembuhan total infeksi Trichophyton atau Microsporum setelah
follow up 12 hingga24 minggu (RR 1,08, 95% CI 0,94-1,24; 477 peserta; I 2 =
41%). Kami melakukan analisis subkelompok menurut spesies penyebab infeksi.
Sebuah meta-analisis dari 3 RCT mengungkapkan bahwa terbinafine (4 minggu)
dan griseofulvin (8 minggu) memiliki efek yang sama dalam hal penyembuhan
total infeksi Trichophyton setelah follow up 12 hingga 24 minggu (RR 1,06, 95%
CI 0,98 -1,15; 328 peserta; I2 = 0%). Selain itu, RCT kecil tidak menemukan
perbedaan yang signifikan antara terbinafine (4 minggu) dan griseofulvin (8
minggu) untuk mencapai penyembuhan total infeksi Microsporum setelah follow
up 24 minggu (RR 0,45, 95% CI 0,15-1,35; 21 peserta). Data yang dikumpulkan
dari 2 RCT menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara terbinafine
34

(6 minggu) dan griseofulvin (6 minggu) untuk mencapai penyembuhan total


infeksi Trichophyton setelah follow up 10 minggu (RR 1,18, 95% CI 0,74-1,88;
1006 peserta; I2 = 85%). Namun, analisis subkelompok mengungkapkan bahwa
terbinafine lebih baik daripada griseofulvin dalam hal penyembuhan total infeksi
T. Tonsurans ( RR 1,47, 95% CI 1,22-1,77; 764 peserta). Pada anak-anak yang
terinfeksi T. violaceum, terbinafine dan griseofulvin memiliki efek yang sama
untuk mencapai kesembuhan total (RR 0,91, 95% CI 0,68-1,24; 242 peserta). 2
RCT ini selanjutnya membandingkan terbinafine jangka menengah (6-8 minggu)
dengan griseofulvin (6-12 minggu) pada anak-anak dengan infeksi Microsporum.
Sebuah metaanalisis dari 2 studi menunjukkan bahwa griseofulvin lebih baik
daripada terbinafine jangka menengah untuk mencapai penyembuhan total infeksi
Microsporum setelah follow up 10 hingga 16 minggu (RR 0,68, 95% CI 0,53-
0,86; 334 peserta; I2 = 0%). Selain itu, 1 dari 2 RCT juga membandingkan
terbinafine jangka panjang (10-12 minggu) dengan griseofulvin (12 minggu)
untuk mengobati infeksi Microsporum. Ini menunjukkan bahwa griseofulvin lebih
baik daripada terbinafine jangka panjang dalam hal penyembuhan total setelah
follow up 16 minggu (RR 0,51, 95% CI 0,34-0,76; 95 peserta). Sebuah RCT besar
melaporkan bahwa 9,2% peserta dalam kelompok terbinafine dan 8,3% pada
kelompok griseofulvin mengalami efek samping (RR 1,11, 95% CI 0,79-1,57;
1549 peserta). Efek samping yang paling sering adalah sakit kepala, demam,
batuk, nasofaringitis, dan muntah. Efek samping yang parah jarang terjadi (0,6%
pada kedua kelompok; RR 0,97, 95% CI 0,24-3,88; 1549 peserta). RCT lain
menemukan lebih banyak efek samping pada kelompok terbinafine dan
griseofulvin (33,8% vs 24,3%), tetapi tidak ada perbedaan signifikan yang
diidentifikasi antara 2 kelompok (RR 1,39, 95% CI 0,83-2,34; 147 peserta). RCT
lain melaporkan tolerabilitas yang baik untuk terbinafine dan griseofulvin karena
tidak ada atau sedikit efek samping.

Durasi pengobatan yang berbeda dari terbinafine 


Data yang dikumpulkan dari 4 RCT menunjukkan bahwa terbinafine durasi 4
minggu lebih baik daripada terbinafine 1 hingga 2 minggu untuk mencapai
penyembuhan total infeksi Trichophyton dan Microsporum setelah follow up 12
hingga 20 minggu (RR 0,73, 95% CI 0,62-0,86; 552 peserta; I 2 = 18 %). Namun,
dalam RCT lain, tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara terbinafine
35

jangka menengah (6-8 minggu) dan jangka panjang (10-12 minggu) untuk
penyembuhan lengkap infeksi Trichophyton atau Microsporum setelah follow up
16 minggu ( RR 1,45, 95% CI 0,97-2,17; 135 peserta). 5 RCT melaporkan efek
samping. Secara singkat, semua efek samping ringan (misalnya, sakit kepala,
mual, urtikaria, dan kurang nafsu makan) dan sebanding antara kelompok
intervensi. 
Terbinafine dosis standar versus terbinafine dosis ganda 
Menurut bukti terbatas dari RCT kecil, dosis standar terbinafine (berat badan 10-
20 kg, 62,5 mg; 20-40 kg, 125 mg; >40 kg, 250 mg) dan dosis ganda terbinafine
(sekali sehari selama 1 minggu diikuti dengan periode 3 minggu tanpa
pengobatan, 2 siklus pada kedua kelompok) memiliki efek yang sama dalam hal
penyembuhan total infeksi Microsporum setelah follow up 20 minggu (RR 1,2, 95
% CI 0,72-1,76; 42 peserta). Efek samping tidak diidentifikasi. 

Itrakonazol versus griseofulvin 


Data yang dikumpulkan dari 2 RCT kecil mengidentifikasi tidak ada perbedaan
yang signifikan antara itrakonazol (2-6 minggu) dan griseofulvin (6 minggu)
untuk mencapai penyembuhan lengkap infeksi Trichophyton atau Microsporum
setelah follow up 12 hingga 14 minggu (RR 0,92, 95% CI 0,81-1,05, 134 peserta,
I2 = 0%). Dalam 2 RCT ini, tidak ada efek samping yang diidentifikasi pada
kelompok itrakonazol; 5 kasus mual dan 3 kasus masalah lambung ditemukan
pada kelompok griseofulvin.
36

Gambar 1. Tinea kapitis. Item Pelaporan Pilihan untuk Tinjauan Sistematis dan
diagram Meta-Analisis aliran studi. RCT, uji coba terkontrol secara acak.

Gambar 2. Tinea kapitis. Grafik Risiko bias


37

Gambar 3. Tinea kapitis. Algoritma studi perbandingan.

Itrakonazol versus terbinafine

Sebuah meta-analisis dari 2 RCT kecil menunjukkan bahwa itrakonazol (2-3


minggu) dan terbinafine (2-3 minggu) memiliki efek yang sama untuk mencapai
penyembuhan lengkap infeksi Trichophyton setelah 12 minggu tindak lanjut (RR
0,93, 95% CI 0,72-1,19; 160 peserta; I2 = 35%). Satu RCT melaporkan bahwa
juga dilaporkan terdapat beberapa efek samping yang terjadi. Dua peserta dalam
kelompok itrakonazol mengalami urtikaria dan 1 peserta dalam kelompok
terbinafine mengalami demam, nyeri tubuh, dan vertigo.

Ketokonazol versus griseofulvin

Satu studi menunjukkan bahwa ketokonazol (12 minggu) tampaknya kurang


efektif dibandingkan griseofulvin (12 minggu) untuk mencapai penyembuhan
lengkap terhadap infeksi Trichophyton pada akhir 12 minggu terapi (RR 0,76,
95% CI 0,62-0,94; 62 peserta). Namun, ketika durasi pengobatan diperpanjang
hingga maksimum 26 minggu untuk peserta yang belum mencapai kesembuhan
total dalam 12 minggu, efek ketokonazol dan griseofulvin tampaknya serupa (RR
0,93, 95% CI 0,81-1,03; 62 peserta). Studi lain menunjukkan bahwa ketokonazol
(12 minggu) dan griseofulvin (12 minggu) mencapai penyembuhan lengkap yang
serupa dari infeksi Trichophyton atau Microsporum pada akhir 12 minggu terapi
(RR 0,89, 95% CI 0,57-1,39; 79 peserta ). Empat RCT melaporkan efek samping
terkait perbandingan ini. Efek samping pada kelompok ketokonazol dan
griseofulvin ringan dan jarang. Penggunaan ketokonazol dikaitkan dengan 2 kasus
sakit perut,1 kasus urtikaria, dan 1 kasus mual; griseofulvin dalam 1 kasus
dikaitkan dengan peningkatan 2 kali lipat serum alanine aminotransferase.

Flukonazol versus griseofulvin

Data yang dikumpulkan dari 3 RCT menunjukkan bahwa flukonazol (2-4 minggu)
dan griseofulvin (2-4 minggu) memiliki efek yang sama dalam mencapai
penyembuhan total infeksi Trichophyton atau Microsporum setelah 8-12 -minggu
tindak lanjut (RR 0,92, 95% CI 0,81-1,05; 615 peserta; I2 = 0%). Satu RCT.
Menunjukkan bahwa flukonazol (6 minggu) dan griseofulvin (6 minggu) sama
38

efektifnya dalam mencapai penyembuhan total infeksi Trichophyton setelah 12


minggu tindak lanjut (RR 1,06, 95% CI 0,77-1,46; 361 peserta). Namun untuk
kali ini efek samping tidak dilaporkan.

Flukonazol versus terbinafine

Sebuah RCT kecil tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara flukonazol
(2-3 minggu) dan terbinafine (2-3 minggu), sehubungan dengan hasil
penyembuhan lengkap infeksi Trichophyton, pada akhir 12 minggu masa tindak
lanjut. (RR 0,87, 95% CI 0,75-1,01; 100 peserta). Efek samping tidak dilaporkan.

Flukonazol versus itrakonazol

RCT terakhir juga tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara flukonazol
(2-3 minggu) dan itrakonazol (2-3 minggu) dalam mencapai penyembuhan
lengkap infeksi Trichophyton pada akhir 12 minggu tindak lanjut (RR 1,00, 95 %
CI 0,83-1,20; 100 peserta). Efek samping tidak dilaporkan.

Dosis Flukonazol yang berbeda

Sebuah RCT membandingkan dosis flukonazol yang berbeda (1,5, 3,0, dan 6,0
mg/kg/hari; masing-masing selama 20 hari) pada 41 anak yang terinfeksi spesies
Trichophyton. Hanya 27 peserta yang menyelesaikan studi ini dan rincian drop-
out di setiap kelompok intervensi tidak jelas. Kami menggunakan analisis untuk
mengobati dan menemukan bahwa dosis yang lebih tinggi tampaknya
menghasilkan lebih banyak penyembuhan daripada dosis yang lebih rendah
setelah 4 bulan pengobatan lebih lanjut (17% pada kelompok 1,5 mg/kg/hari, 40%
pada kelompok 3,0 mg/kg, dan 58% pada kelompok 6,0 mg/kg/hari); namun,
tidak satu pun dari perbandingan ini mencapai signifikansi statistik (3,0 vs 1,5
mg/kg/hari: RR 2,40, 95% CI 0,59-9,82; 6,0 vs 1,5 mg/kg/hari: RR 3,43, 95% CI
0,89-13,15; 6,0 vs 3,0 mg/kg/hari: RR 1,43, 95% CI 0,66-3,08). Efek samping
tidak dilaporkan.

Flukonazol jangka pendek versus Flukonazol jangka menengah

Berdasarkan 1 RCT, jangka pendek (3 minggu) dan jangka menengah (6 minggu)


tidak membuat perbedaan yang signifikan dalam hal penyembuhan total infeksi T.
39

Tonsurans dan M canis pada akhir pengobatan. Tindak lanjut 10 minggu (RR
0,88, 95% CI 0,68-1,14; 491 peserta). Efek samping tidak dilaporkan.

PEMBAHASAN

Bukti saat ini mendukung bahwa griseofulvin dan terbinafine adalah pilihan lini
pertama yang efektif untuk anak-anak dengan tinea kapitis yang terinfeksi spesies
Trichophyton atau Microsporum; namun, terbinafine mungkin merupakan pilihan
yang lebih baik bagi mereka yang terinfeksi T. Tonsurans, sedangkan griseofulvin
mungkin merupakan pilihan yang lebih baik bagi mereka yang terinfeksi M. canis.
Kami tidak menemukan bukti untuk mendukung perbedaan dalam hal kepatuhan
antara 4 minggu terbinafine versus 8 minggu griseofulvin.

Bukti yang terbatas menunjukkan bahwa terbinafine, itrakonazol, dan flukonazol


tampaknya memiliki efek yang sama untuk infeksi spesies Trichophyton,
sedangkan ketokonazol mungkin kurang efektif. Ada beberapa bukti yang
menunjukkan bahwa flukonazol sebanding dengan griseofulvin, terutama untuk
infeksi spesies Trichophyton. Sebagian besar literatur saat ini membahas
griseofulvin dan terbinafine hanya ada sedikit percobaan besar, jangka panjang,
yang dilakukan dengan baik. Studi masa depan harus dirancang dengan
memperhatikan manfaat, dosis optimal, dan durasi antijamur baru (misalnya,
itrakonazol dan flukonazol) baik dibandingkan satu sama lain dan dengan
griseofulvin atau terbinafine.

Review kami menemukan bahwa meskipun tidak semua pengobatan untuk tinea
capitis tersedia dalam formulasi pediatrik, efek samping dari griseofulvin,
terbinafine, itrakonazol, flukonazol, dan ketokonazol pada anak-anak dengan tinea
capitis adalah ringan dan reversibel. Efek samping sebanding antara terbinafine
dan griseofulvin. Namun, pembaca harus ingat bahwa RCT dengan populasi
penelitian kecil, durasi yang relatif pendek, atau keduanya tidak optimal untuk
mempelajari efek samping yang jarang atau jangka panjang. Ketokonazol telah
dikaitkan dengan insufisiensi adrenal dan toksisitas hati termasuk kematian.
Laporan efek samping tersebut tidak diidentifikasi dalam studi termasuk dalam
tinjauan kami. Perlu dicatat bahwa ketokonazol oral telah ditarik dari penggunaan
di Inggris dan Eropa sejak 2013. Selain itu, Food and Drug Administration (FDA)
40

AS dan Health Canada menjelaskan perubahan pelabelan untuk ketokonazol oral,


dan risiko kerusakan hati yang berpotensi fatal. Pedoman FDA
merekomendasikan penggunaan ketokonazol oral hanya untuk ''infeksi jamur
serius ketika tidak ada terapi antijamur lain yang tersedia.'' Demikian pula, Health
Canada merekomendasikan ketokonazol oral hanya untuk ''pengobatan penyakit
jamur yang serius atau mengancam jiwa”.

Heterogenitas klinis antara studi dalam hal populasi dan jenis organisme penyebab
mungkin telah berkontribusi untuk dapat mengamati hasil statistik yang bersifat
heterogenitas statistikal di beberapa perbandingan yang dilakukan, ketika kita
mengumpulkan data dari studi yang berbeda dengan analisis meta. Sebagai
konsekuensi dari variasi antara populasi penelitian, pada pasien individu,
pengobatan yang paling tepat mungkin berbeda dari pengobatan yang
diidentifikasi paling efektif dalam tinjauan ini. Semua RCT yang disertakan
berada pada risiko tinggi bias atau tidak jelas dan kualitas keseluruhan bukti best
moderate, dan untuk sebagian besar hasil, kualitas rendah (GRADE). Dengan
tidak adanya informasi lebih lanjut yang diperoleh, penilaian risiko secara bias
kami dasarkan pada artikel yang diterbitkan, dan hasilnya pasti dipengaruhi oleh
kualitas pelaporan studi utama ini.

Beberapa pertanyaan tetap ada tentang apakah ada keuntungan dari antijamur
yang lebih baru dan relatif lebih mahal seperti terbinafine, itrakonazol, dan
flukonazol, baik dibandingkan satu sama lain dan dengan griseofulvin. Penelitian
lebih lanjut diperlukan mengenai formulasi pediatrik yang tepat dan kepatuhan
terhadap pengobatan (yang mungkin diperlukan selama beberapa minggu) pada
anak-anak. Hasil yang dilaporkan pasien seperti kualitas hidup penting untuk
keputusan klinis berbasis bukti dan perlu ditangani dalam studi masa depan. Studi
klinis harus sesuai dengan pernyataan Consolidated Standards of Reporting Trials
2010, untuk meningkatkan kualitas pelaporan.

Kami berterima kasih kepada Cochrane Skin Group atas dukungan editorial
mereka dalam menghasilkan Cochrane Review ini.
41

Kritisi Jurnal
JURNAL META ANALISIS

Masalah: Pendekatan Problem Intervention Comparison Outcome (PICO)

Problem Penggunaan obat-obatan antijamur terhadap terapi sistemik tinea capitis


telah dilakukan. Namun, saat ini efikasi dan profil keamanan dari obat-
obat antijamur sistemik untuk tinea capitis pada anak-anak masih belum
jelas.

Interventio Beberapa percobaan acak terkontrol terhadap obat-obatan antijamur


n sistemik telah dilakukan untuk membandingkan efikasi dan keamanan
obat-obatan tersebut.

Comparison Perbandingan efikasi dan efek samping antara obat-obatan antijamur


sistemik yaitu griseofulvin, terbinafine, flukonazol dan itrakonazol.

Outcome Griseofulvin atau terbinafine keduanya efektif; terbinafine lebih efektif


untuk T. tonsurans dan griseofulvin untuk infeksi M. canis. Itrakonazol
dan flukonazol adalah pilihan alternatif tetapi tidak optimal untuk infeksi
Trichophyton. Rejimen agen antijamur yang optimal membutuhkan
penelitian lebih lanjut.
42

Telaah Kritisi Jurnal Terapi

Terapi Antijamur Sistemik Untuk Tinea Kapitis pada Anak-Anak:


Tinjauan Singkat Cochrane
x Xiaomei Chen, MMS,a Xia Jiang, MMS,a Ming Yang, MD,b Cathy Bennett, PhD,c Urb_a Gonz_alez, MD,d
Xiufang Lin, MMS,b Xia Hua, MMS,a Siliang Xue, MD,a and Min Zhang, MDa
Chengdu, China; Coventry, United Kingdom; and Barcelona, Spain

1 Apakah alokasi subjek penelitian Penelitian sendiri merupakan penelitian


ke kelompok terapi atau meta analisis dengan sistem review, yang
kelompok kontrol betul-betul mengambil populasi semua anak
secara acak (random) atau tidak? dibawah 18 tahun pada penelitian terkait.
-Ya Lalu selanjutnya disertakan pada
penelitian pengambilan sampel
menggunakan randomised controlled
trials untuk mendapatkan hasil yang
dapat digeneralisasikan
2 Apakah semua luaran (outcome) Laporan disampaikan dengan lengkap
dilaporkan? terkait dengan efikasi obat anti jamur
-Tidak antar satu sama lain ataupun
perbandingannya pada penggunaan obat
secara jangka pendek maupun jangka
panjang. Namun, terkait dengan efek
samping terdapat beberapa obat yang
tidak disampaikan dengan jelas terkait
dengan efek samping.

3 Apakah lokasi studi menyerupai Penelitian ini dilakukan secara literature


lokasi anda bekerja atau tidak? review, berbagai lokasi studi dari literatur
-Ya yang direview dilakukan di Rumah Sakit
Umum, Universitas maupun Fasilitias
pelayanan primer
4 Apakah kemaknaan statistik Kemaknaan statistik dilaporkan dengan
maupun klinis dipertimbangkan baik. Untuk setiap kemaknaan klinis
atau dilaporkan? tanpa adanya kemaknaan statistik juga
-Ya disebutkan dalam pembahasan penelitian
43

ini.

5 Apakah tindakan terapi yang Keempat obat yang digunakan dalam


dilakukan dapat dilakukan di penelitian yaitu griseofulvin, terbinafrin,
tempat anda bekerja atau tidak? itrakonazol serta flukonazol dapat
-Ya ditemukan di apotek dan dapat dilakukan
terapi di RSUDZA
6 Apakah semua subjek penelitian Subjek penelitian seluruhnya
diperhitungkan dalam diperhitungkan dalam kesimpulan.
kesimpulan? Seluruh subjek dari berbagai penelitian
-Ya yang dilakukan review ditelaah terkait
telah diperhitungkan dengan baik
sehingga hasil yang didapatkan dapat
dipertanggung jawabkan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kritisi jurnal, didapatkan 5 jawaban “Ya” dan 1 jawaban
“Tidak”, sehingga dapat disimpulkan bahwa artikel dengan judul “Systemic
antifungal therapy for tinea capitis in children.” Layak dibaca.

Anda mungkin juga menyukai