Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

MIXED CONNECTIVE TISSUE DISEASE

Pembimbing:
dr. M. Mahfudz, Sp.PD., FINASIM

Disusun oleh:
Jauhar Tajudin
202210401011013
Kelompok G38

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD JOMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis telah menyelesaikan penyusunan referat dengan
judul “Mixed Connective Tissue Disease”.
Penyusunan referat ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat
kelulusan pada program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang yang dilaksanakan di RSUD Jombang.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. M. Mahfudz, Sp.PD.,
FINASIM selaku dokter pembimbing atas bimbingan, saran, petunjuk dan
waktunya serta semua pihak terkait yang telah membantu sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan referat ini.
Penulis menyadari penyusunan referat ini masih jauh dari kesempurnaan.
Dengan kerendahan hati, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga penyusunan referat ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jombang, Juli 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR SINGKATAN......................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan........................................................................................................2
1.3 Manfaat......................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1 Definisi......................................................................................................3
2.2 Etiologi......................................................................................................4
2.3 Epidemiologi.............................................................................................4
2.4 Patofisiologi...............................................................................................5
2.5 Diagnosis...................................................................................................6
2.6 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................8
2.7 Tatalaksana..............................................................................................11
2.8 Differential Diagnosis.............................................................................12
2.9 Prognosis.................................................................................................18
2.10 Komplikasi..............................................................................................19
BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................20

ii
DAFTAR SINGKATAN

ACR : American College of Rheumatology


ANA : Antinuclear Antibodies
CCB : Calcium Channel Blocker
CTD : Connective Tissue Disease
CXR : Chest X-ray
DM : Dermatomyositis
ENA : Extractable Nuclear Antigen
FVC : Forced Vital Capacity
FEV : Forced Expiratory Volume
GERD : Gastroesophageal Reflux Disease
ILD : Interstitial Lung Disease
IPAH : Idiopathic Pulmonary Artery Hypertension
MCTD : Mixed Connective Tissue Disease
PM : Polymyositis
RA : Rheumatoid Arthritis
RCT : Randomized Controlled Trials
RNP : Ribonucleoprotein
SLE : Systemic Lupus Erythematosus
SSc : Systemic Sclerosis
SSP : Sistem Saraf Pusat
PPI : Proton Pump Inhibitor
WHO : World Health Organization

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang
menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat sistem kekebalan
tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi
sistem dimana banyak manifestasi klinis yang didapat penderita, sehingga setiap
penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan penderita lainnya tergantung
dari organ apa yang diserang oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinis yang
paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang lebih
berat, SLE bisa menyebabkan nefritis, masalah neurologi, anemia, dan trombositopenia.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja penyakit ini
angka kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana perbandingan antara
perempuan dan laki-laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada usia produktif,
puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara
tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika
yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia).

Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi
remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum
digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid AntI
Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker
(imunosupresan) selain itu terdapat obat- obat yang lain seperti terapi hormon,
imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi
sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan.

1.2 Tujuan
1.3 Manfaat

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1.4 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem di mana
organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh autoantibodi
pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat berubah, baik dalam
hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ. Imunopatogenesis SLE kompleks dan
sejalan dengan gejala klinis yang beragam. Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang dapat
menjelaskan seluruh kasus, dan kejadian awalyangmemicunyamasihbelumdiketahui.1,2
Sesuai dengan teori, pada kasus ini juga terdapat penglibatan multisystem yaitu system
mukokutan (malar rash), muskoloskeletan (arthritis), hematology (anemia), neurology
(serebri) dan ginjal (nefritis)

1.5 Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di AS,angka
yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi, namun didapatkan angka
yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti kaum kulit hitam, keturunan
asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko lebihtinggi terhadap SLE dan dapat
mengalami penyakit yang lebih parah. Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda
dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia
Tenggara, dan di antara keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada
keturunan kulit hitam di Afrika. SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering
dimulai pada usia dekade kedua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan puncak
kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin cukup jelas; SLE
berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada pria dengan
usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali lebih sering
daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1

1.6 Etiologi
Etiologi penyakit SLE belum diketahui secara pasti, tetapi diduga terdapat beberapa
faktor predisposisi yang berperan terhadap terjadingan SLE, yang antara lain dari faktor
endogen dan faktor eksogen.

2.3.1 Faktor-faktor Predisposisi Endogen

Beberapa literatur menyatakan adanya faktor- faktor endogen sebagai predisposisi


terjadinya SLE, diantaranya adalah :

1. Faktor Genetik
faktor genetik meningkatkan adanya penemuan autoimun dibandingkan
dengan populasi lain. Kecenderungan meningkatnya SLE yang terjadi pada anak
kembar identik menggambarkan adanya kemungkinan faktor genetik yang
berperan dalam penyakit ini. Gen-gen yang memiliki resiko tinggi terjadinya SLE
terutama Human Leukocyte Antigen-DR2 ( HLA-DR2) menunjukan sel-sel yang
mampu memberikan antigen/ zat asing ke sel darah putih, HLA-DR3 yang

2
3

mengurus gen struktural yang memproduksi berbagai jenis unsur penting pada
darah dan jaringan sel lupus, dan biasa terdapat linkage SLE pada kromosom 1.
2. Faktor stres
Stress yang berlebihan merupakan pemicu aktifnya lupus. Odapus akan
merasa dalam lingkaran, karena stress dan lupus merupakan penyakit kronik
yang menyebabkan seseorang akan lebih rentan untuk merasa rendah diri,
terbatas aktifitasnnya, dan jauh dari pergaulan. Hal ini dapat bisa membuat
Odapus stress dan membuat daya tahan tubuh menurun sehingga menimbulkan
infeksi. Demam akan memperparah Lupus karena seorang yang membawa "gen"
lupus bisa memicu proses melalui virus dan bakteri yang berkembang karena
daya tahan tubuh menurun.
3. Faktor Endokrin
Faktor hormonal seks mempunyai peran penting dalam perkembangan dan
penelitian klinis pada SLE. Pada perempuan Odapus yang sedang dalam masa
hamil ditemukan adanya remisi maupun kekambuhan dengan meningkatnya
kadar ekstogen. Diketahui pula pada saat periode menstruasi perempuan akan
memiliki gejala SLE yang lebih buruk. Dari 90% Odapus yang berada diantara
usia 15-45 tahun adalah perempuan.
Pada laki-laki yang terkena SLE, ditemukan tingkat hormon androgen dan
testosteron yang lebih rendah dibandingkan pria normal. Tetapi tidak ditemukan
perbedaan pada keduanya dalam hal aktifitas seks, potensi, dan kesuburan.
4. Antibodi dan Kompleks Imun
Autoantibodi adalah penanda lupus yang sering kali menghasilkan sesuatu yang
tidak memiliki kepentingan klinis maupun patologis dan penyerang sel tubuh
dan jaringannya sendiri. Autoantibodi yang dalam lupus dapat digolongan
menjadi empat yaitu antibodi yang terbentuk nucleus, seperti ANA, Anti-DNA,
dan Anti-sm., antibodi yang terbentuk pada sitoplasma seperti , antibodi pada
sel-sel yang berbeda jenis dan antibodi yang terbentuk pada antigen. Biasanya
untuk dapat mengetahui antibodi ini dilakukan tes darah. Antibodi yang
dtemukqp pada Odapus diantaranya:
4

Limfosit sel darah putih yang bertanggung jawab untuk peradangan kronik
berubah-ubah dalam lupus. Sel t helper menjadi lebih aktif dan tubuh menjadi
kurang responsif terhadap sel T penekan. Sel T mengalami perubahan struktur
maupun fungsinya, reseptor yang telah berubah di permukaan sel T dapat
menyalahartikan perintah dari sel T. Sel B yang memproduksi imonoglobulin dan
autoantibodi untuk tubuh. Imunoglobuli yang terlalu banyak dan immine
kompleks yang menumpuk dalam jaringan sel dapat menimbulkan peradangan
dan kerusakan jaringan.
Kompleks imu yang sebagian besar terdiri dari asam nukleat dan sejumlah
antibodi kebanyakan terlihat pada jaringan yang rusak di pasien SLE. Kompleks
ini menyebabkan reaksi imun sehingga mengaktifkan komplemen dan menarik
makrofag dan neutrofil yang dapat terjadi peradangan vaskular, fibrosis, dan
kerusakan jaringan. Adanya peningkatan sirkulasi kompleks imun, menunjukkan
tingkat keparahan pada ginjal.
Pada SLE, pembersihan kompleks imun melalui limpa kecil pembersihannya
tidak melalui secara sempurna karena berbagai respon reseptop tidak lagi
memiliki kemampuan mengikat dan kompleks tersebut terlalu besar atau sangat
kecil dan banya. Selain itu pada SLE kemampuan tubuh untuk mengendalikan
inflamasi terhambat karena terjadi perubahan sistem toleransi tubuh.

2.3.2 Faktor- faktor Predisposisi Eksogen

1. Sinar Matahari
Paparan sinar matahari langsung, merupakan salah satu faktor yang
memperburuk kondisi gejala SLE. Diperkirakan sinar matahari dapat
memancarkan sinar ultraviolet yang dapat merangsang peningkatan hormon
estrogen yang cukup banyak sehingga mempermudah terjadinya reaksi
autoimun dan juga dapat mengubah struktur dari DNA sehingga memicu
terciptanya autoantibodi. Sinar ultraviolet menyebabkan sel-sel kulit
melepaskan substansi (sitokin, prostaglandin) yang memicu inflamasi. Kemudian
5

diserap ke dalam aliran darah dan terbawa ke bagian tubuh lainnya. Akibatnya
timbul inflamasi pada berbagai organ tubuh yang terserang SLE.
2. Infeksi Virus
Partikel Ribonucleat Acid (RNA) virus telah ditemukan pada jaringan ikat Odapus
yang membuat reaksi respon imun abnormal. " Virus-virus yang terlibat dalam
penyebab SLE diantaranya myxoviruz, reovirus, measle, parainfluenza, mump,
Epstein-Barr, dan onco atau retroviruz jenis C.s Hal ini bisa diketahui dari adanya
partikel-partikel virus dalam jaringan lupus, dan dari beberapa catatatan yang
menunjukan bahwa mikroba bisa menyerupai zat-zat asing atau antigen yang
menyebabkan autoimun.
3. Makanan dan Minuman
Makanan dan minuman dalam kemasan, terutama minuman berjenis isotonik
yang mengandung zat pengawet, seperti Natrium Benzoat, dan Kalium Sorbet
serta yang mengandung kafein menyebabkan gelasa SLE. Sedangkan makanan
dapat memicu lupus adalah yang mengandung L-cavanine dan biasa terjadi
pada jenis prolong prolongan, selain itu juga makanan yang mengandung
pemanis buatan (aspartam), serta sayuran yang yang mengandungb kasiatnya
4. Obat-obatan
Obat obat dari jenis Obat-obatan dari klirozinamid, metildopa, isoniazid,
dilantin, penisilamin, kindine, hydralazine (obat hipertensi) dan procainamide
( untuk mengobati jantung yang tidak teratur. Jika terys dikonsumsi akan
membentuk antibodi penyebab lupus.

1.7 Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase puncak
(flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel secara
apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang
sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun
dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase
profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan.
Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1)
pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada
organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3)
secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau
penetrasi ke sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai
respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis
tidak hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai
penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.

1.8 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu waktu
maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,
perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke
sedang hingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisistem
dari manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan sampai sedang dengan gejala
kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara bertahap atau tiba-tiba. Pada
6

sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan


remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang, pasien mengalami episode
aktif SLE singkat diikuti dengan remisi lambat. Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena
dua hal. Pertama, walaupun SLE dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda, tidak
semua gejala dan tanda pada pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit tersebut.
Banyak penyakit, khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek
samping pengobatan, khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus
dibedakan dengan gejala dan tanda SLE.

Manifestasi Konstitusional

Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun penyebab infeksius
tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi. Penurunan
berat badan dapat timbul awal penyakit, di mana peningkatan berat badan, khususnya
pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas pada tahap
selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum dan
seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala
ini masih belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan, gangguan
neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam timbulnya gejala
konstitusional. 1,4 Pada kasus ini dijumpakan gejala demam namun gejala ini mungkin
juga disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan badan juga ditemukan pada pasien
ini. Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah satu
gejala yang paling umum yang memperberat penyakit, gejala ini turut ditemukan pada
kasus ini.

Manifestasi Mukokutan

Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang telah
ada sebelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan (exagerrated sunburn),
atau gejala seperti gatal atau parestesis setelah terpajan sinar matahari atausumber
cahaya buatan. Fotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada semua
kelompok ras dan etnis, walaupun belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi
umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi
dan persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar
rash atau butterfly rash. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat
meningkat dan sangat meradang, bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-
bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale
dan telangiektasis umumnya terdapat di wajah, leher, dan kulit kepala. Lupus kutis akut
dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pajanan sinar ultraviolet.
Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang terpajan sinar
matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V di leher) tanpa pajanan sinar
matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo reticularis, eritema
periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau
kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. 1,2,3 Alopesia dapat timbul
akibat lesi pada kulit kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia bersifat
reversibel, kecuali jika terdapat lesi diskoi. dikepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering
terjadi dan harus dibedakan dari infeksi virus maupun jamur. Mata dan mulut kering
(sindrom Sicca) dapat disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan
7

saliva, yang mungkin tumpang tindih dengan sindrom Sjögren. Umumnya mata dan
mulut kering merupakan efek samping pengobatan.4,5 Pada kasus ini ditemukan
manifestasi mukokutan. Sesuai dengan teori, pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas,
yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada sinar matahari. Pada kasus ini juga
ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar rash atau butterfly rash) pada bahagian
pipi dan hidung pasien. Alopesia juga ditemukan pada pasien ini yang mengeluh
rambutnya yang sering rontok waktu menyikat rambut.

Manifestasi Muskuloskeletal

Artritis SLE biasanya meradang dan muncul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri,
bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah deformitas
Jaccoud yang menyerupai artritis reumatoid namun berkurang dan tidak terbukti secara
radiologis menyebabkan destruksi kartilago dan tulang. Kelemahan otot biasanya
merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaria, namun myositis dengan
peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasanya merupakan gejala yang
tumpang tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruptur tendon dapat
merupakan komplikasi terapi glukokortikoid. Osteonekrosis (nekrosisavaskular) dapat
disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi pada
kaput femoris, kaput humoral, lempeng tibia, dan talus. Artralgia dan mialgia merupakan
gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabkan oleh penyakit, efek samping
pengobatan, glucocorticoidwithdrawalsyndrome, endokrinopati, dan faktor psikogenik.
1,2,3 Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada kedua
tangan yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan manifestasi
muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive dan non deforming
arthritis.

Manifestasi Kardiovaskular

Perikarditis merupakan gejala khas, dengan nyeri substernal posisional dan terkadang
dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi, atau dalam kasus kronik
penebalan dan fibrosis perikardium. Tamponade atau hemodinamik konstriktif jarang
ditemukan, namun dapat diinduksi oleh karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi,
namun harus dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas,
perubahan EKG minimal, aritmia, atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat
mengakibatkan kardiomiopati dilatasi, dengan tanda gagal jantung kiri.5 Endokarditis
trombotik nonifeksi (Libman-Sacks) jarang dan seringkali tidak menimbulkan gejala,
namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup aorta atau embolisasi.
Arteriosklerosis prematur dengan angina pektoris dan infark miokardium merupakan
sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang yang paling serius. Penyakit sendiri,
hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik, menopause prematur, serta faktor diet dan
gaya hidup dapat menyebabkan arteriosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang
diinduksi dingin pada jari, sering ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel di
tangan dan kaki sering tumpang tindih dengan skleroderma. Gambaran patologis yang
sama pada sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang
jarang namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vaskular trombotik pada pasien SLE
dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien SLE. aPL
dapat menyebabkan trombosis arteri dan vena spontan pada semua ukuran pembuluh
8

darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C dan protein S, faktor V
Leiden, dan antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya trombosis, namun defisiensi
faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan terjadinyatrombosis vena dibanding
trombosis arteri.

Manifestasi Paru

Pleurisy sering ditemukan pada SLE. Nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi dengan
bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin
hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru, 10 pneumonitis atau
alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk, hemoptisis, serta infiltrate paru jarang terjadi
namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul dengan
atau tanpa pneumonitis akut dan memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi.
Pneumonitis lupus kronik dengan perubahan fibrotik pada paru mirip dengan fibrosis
paru idiopatik, dengan perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit
paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang, miopati,
atau fibrosis otot pernapasan, termasuk diafragma, dan bahkan neuropati nervus
frenikus. Emboli paru rekuren disebabkan oleh antibody antifosfolipid harus disingkirkan
pada pasien dengan gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.2,4

Manifestasi Ginjal

Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan patologis
dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak menimbulkan gejala
sampai glomerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal ginjal.
Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimal, termasuk proteinuria ringan dan
hematuria mikroskopik; sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia,
edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi; atau sindrom nefritik, dengan
hipertensi, sedimen eritrosit atau kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin, dan
penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan
uremia. 5 Pada kasus ini ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena
ditemukan proteinuria 25,00 mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 Leu/µL.

Manifestasi Neurologis dan Psikiatri

Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang merujuk
pada SLE neuropsikiatrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki manifestasi
obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang, khorea, ataksia,
stroke, dan mielitis transversa. Pada pasien seperti ini diagnosis dapat didukung oleh
temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar protein,
pleiositosis, dan/atau autoantibodi karakteristik; pada 11 CT scan atau MRI, dapat
ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea; atau bahkan pada biopsi
leptomeningeal, dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatif lupus SSP adalah gangguan
psikiatrik mayor, yaitu psikosis. Pada kasus ini, cairan serebrospinal dan pencitraan
menunjukkan hasil normal, dan diagnosis banding dari penyakit psikogenik primer
dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk ditentukan. Masalah lain adalah gangguan
kognitif dan kepribadian ringan. Sakit kepala sering ditemukan dengan intensitas yang
beragam. Sakit kepala lupus yang berat dan menyerupai migren yang hanya responsif
terhadap glukokortikoid merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer
9

dapat terjadi dan dapat menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark.1 ,5
Pada pasien ini disuspek lupus serebri karena penurunan kesadara

Manifestasi gastrotestinal

Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, khas untuk
pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan komplikasi
abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan
terapi,yaitu NSAID dan/atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat
menimbulkan gejala. Pada kasus jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan
bedah akut. Terkadang, pankreatitis dapat merupakan gejala penyakit atau merupakan
efek pengobatan. Peningkatan enzim hati terkadang dihubungkan dengan hepatitis
noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis autoimun melalui
gambaran histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat disebabkan oleh penggunaan
NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan penggunaan jangka panjang glukokortikoid
yang dapat menyebabkan perlemakan hati dengan peningkatan

Manifestasi Hematologi

Splenomegali dan limfadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun
nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan oleh
hemolisis, dengan hasil tes Coombs positif, kadar haptoglobin rendah, dan kadar laktat
dehidrogenase tinggi, atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak langsung mencakup
penurunan sintesis eritropoietin dan 12 mielosupresi uremikum pada pasien nefritis
lupus. Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidakcukupan
asupan makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun jarang
mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng dkk menghubungkan limfopenia dengan
peningkatan risiko terjadinya infeksi pada pasien SLE. Leukositosis dapat disebabkan
oleh glukokortikoid. Trombositopenia ringan (100000 sampai 150 000/ μl) dapat
disebabkan oleh antibodi antifosfolipid. Trombositopenia autoimun berat (kurang dari
50 000/ μl), disebabkan oleh antibodiantiplatelet, dapat mempersulit diagnosis SLE dan
awalnya mungkin didiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik. 1,4,5 Pada
kasus ini deitemukan kelainan atau manifestasi hematologic sesuai dengan gambaran
yang sering ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia dengan
nilai haemoglobin yang rendah.

1.9 Diagnosis
Lupus eritematosus sistemik biasanya dimulai dengan gejala dan tanda nonspesifik atau
spesifik, namun dapat juga bermanifestasi pertama dengan memar, splenomegali,
neuritis perifer, mioendokarditis dan endokarditis, pneumonitis interstisial, meningitis
aseptik, atau tes Coombs positif. Keberadaan anemia (71%), leukopenia (56%),
trombositopenia (11%), proteinuria, hematuria, piuria, azotemia,
hipergammaglobulinemia, kompleks imun, krioglobulin, antibodi antifosfolipid, dan
Biologic False-Positive Serologic Test for Syphilis juga membuat seseorang dicurigai SLE.
Anak-anak cenderung lebih banyak mengidap penyakit ginjal; pasien yang berusia lebih
tua saat awitan lebih jarang mengalami ruam, artritis, dan penyakit ginjal namun lebih
sering mengalami keratokonjungtivitis Sicca (sindrom Sjörgen); serta lelaki lebih sering
mengalami serositis dan lebih jarang mengalami artritis. 1,2,3,4,5
10

1.10 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan labortorium sederhana sangat membantu untuk diagnose lupus. Pada
umumnya pemeiksaan darah lengkap untuk melihat jumlah leukosit, trombosit. limfosit.
kadar Hb, dan LED. LED yang meningkat menandakan aktifnya penyakit. Urin lengkap
untuk melihat adanya protein urin yang merujuk adanya kelainan di ginjal ditunjang
dengan pemeriksaan faal ginjal. Pemeriksaan faal hati membantu untuk melihat adanya
autoimun hepar, hemolitik anemia, kadar albumin yang rendah. Pemeriksaan kadar CRP
sangat membantu untuk membedakan lupus aktif dengan infeksi. Pada lupus yang aktif,
kadar CRP nomal atau peningkatan tidak bermakna, sedangkan pada infeksi terdapat
peningkatan CRP yang sangat tinggi.

1.11 Differential Diagnosis


1.12 Tatalaksana
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi
gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas
autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan
pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit
yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid
dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan sistem
imunitas. 6 Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif.
Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang signifikan
dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini memperkuat pentingnya
bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur. Selama periode ini, latihan
tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas gerakan dari persendian.

3.7.1 Terapi Farmakologi. Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa
pengobatan. Bila diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu
mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID
adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan tidak
disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat meningkatkan resiko
kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting untuk mencoba
NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif dengan efek samping paling
kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak 20 enak perut, nyeri abdomen, ulkus,
dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya diberikan bersamaan dengan makanan
untuk mengurangi efek samping. Kadang- kadang, obat yang mencegah ulser bisa
diberikan bersamaan, seperti misoprostol Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam
mengatasi peradangan dan mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif.
Kortikosteroid lebih berguna terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa
diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan
intra vena. Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan
dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari
penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari
kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah membengkak,
katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar. 1,3,4 Hydroxychloroquine
adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif untuk pasien SLE dengan kelemahan,
11

penyakit kulit dan sendi. Efek samping termasuk diare, tidak enak perut, dan perubahan
pigmen mata. Perubahan pigmen mata jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata
selama pemberian obat ini. Ditemukan bahwa obat ini mengurangi frekwensi bekuan
darah yang abnormal pada pasien dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi
kemungkinan serangan dari SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah pembekuan darah
abnormal yang luas. 1,2,6 Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya,
seperti chloroquine atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan dengan
hydroxychloroquine. Pengobatan alternatif untuk penyakit di kulit adalah dapsone dan
asam retinoat (Retin-A) 2,3,5 . Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien
dengan manifestasi SLE berat dan kerusakan organ dalam. Contohnya adalah
methotrexate, azathioprine, cyclophosphamide, chlorambucil dan cyclosporine. Semua
immunosupresan menyebabkan jumlah sel darah menurun dan meningkatkan resiko
terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek samping lainnya berbeda pada tiap obat.
Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa mengganggu fungsi
ginjal. 6 21 Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat
yang efektif terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini
menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk
mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang lebih sedikit membuatnya
lebih bermanfaat dibandingkan pengobatan imunosupresan yang tradisional.6 Pada
pasien SLE dengan penyakit otak dan ginjal yang serius, plasmapharesis (mengeluarkan
plasma dan menggantikannya dengan plasma beku yang spesifik) kadang-kadang
dibutuhkan untuk menghilangkan antibodi dan bahan-bahan imunitas lainnya dari darah
untuk menekan imunitas. Pada beberapa pasien SLE, hal ini bisa menyebabkan tingkat
platelet yang sangat rendah yang meningkatkan resiko perdarahan spontan dan luas.
Karena spleen dipercaya sebagai tempat penghancuran platelet yang utama, operasi
pengangkatan spleen kadang kala dilakukan untuk meningkatkan jumlah platelet
Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.
Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab dalam mengobati lupus.
Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang menekan sejumlah sel darah
putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan
peranan penting dalam aktifitas lupus, dan bila ditekan, penyakitnya memasuki masa
remisi. 3,4,5

3.7.2 Terapi Non Farmakologi.

Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi dari
sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif. Penurunan
berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan berat badan
untuk mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah
dengan persendian.1,6 Pada pasien ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai
teori. Kortikosteroid yang diguna dalam kasus ini adalah methylprednisolone. Selain itu
pasien juga dinasehatkan agar melindungi dirinya daripada cahaya matahari.

1.13 Prognosis
Angka 5-year survival dan 10-year survival SLE telah membaik selama beberapa dekade
terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih efektif, namun SLE yang
melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran cerna masih merupakan
masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk masing-masing individu bergantung pada
12

berbagai faktor, termasuk gejala klinis, sistem organ yang terlibat, dan kondisi komorbid.
Konsekuensi jangka panjang SLE, termasuk pada late lupus syndrome, merupakan salah
satu perhatian. Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2
tahun, 82 sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai
75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun) dikaitkan
dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l (>1,4 mgdl)],
hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g), anemia [hemoglobin

1.14 Komplikasi
BAB 3
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Alarcón-Segovia D, Cardiel MH. Comparison between 3 diagnostic criteria for
mixed connective tissue disease. Study of 593 patients. J Rheumatol. 1989
Mar;16(3):328-34.
Chauhan K, Jandu JS, Brent LH, et al. Rheumatoid Arthritis. [Updated 2023 May
25]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441999/
Escolà-Vergé, L., Pinal-Fernandez, I., Fernandez-Codina, A., Callejas-Moraga, E.
L., Espinosa, J., Marin, A., Labrador-Horrillo, M., & Selva-O'Callaghan,
A. (2017). Mixed Connective Tissue Disease and Epitope Spreading: An
Historical Cohort Study. Journal of clinical rheumatology : practical
reports on rheumatic & musculoskeletal diseases, 23(3), 155–159.
https://doi.org/10.1097/RHU.0000000000000500
Firestein, G. S., Budd, R. C., Gabriel, S. E., McInnes, I. B., & O'Dell, J. R.
(2012). Kelley's Textbook of Rheumatology E-Book. Elsevier Health
Sciences.
Gaubitz M. (2006). Epidemiology of connective tissue disorders. Rheumatology
(Oxford, England), 45 Suppl 3, iii3–iii4.
https://doi.org/10.1093/rheumatology/kel282
Gunnarsson, R., Molberg, O., Gilboe, I. M., Gran, J. T., & PAHNOR1 Study
Group (2011). The prevalence and incidence of mixed connective tissue
disease: a national multicentre survey of Norwegian patients. Annals of the
rheumatic diseases, 70(6), 1047–1051.
https://doi.org/10.1136/ard.2010.143792
Gunnarsson, R., Hetlevik, S. O., Lilleby, V., & Molberg, Ø. (2016). Mixed
connective tissue disease. Best practice & research. Clinical
rheumatology, 30(1), 95–111. https://doi.org/10.1016/j.berh.2016.03.002
Hajas, A., Szodoray, P., Nakken, B., Gaal, J., Zöld, E., Laczik, R., Demeter, N.,

13
14

Nagy, G., Szekanecz, Z., Zeher, M., Szegedi, G., & Bodolay, E. (2013).
Clinical course, prognosis, and causes of death in mixed connective tissue
disease. The Journal of rheumatology, 40(7), 1134–1142.
https://doi.org/10.3899/jrheum.121272
Hoffman, R. W., & Maldonado, M. E. (2008). Immune pathogenesis of Mixed
Connective Tissue Disease: a short analytical review. Clinical immunology
(Orlando, Fla.), 128(1), 8–17. https://doi.org/10.1016/j.clim.2008.03.461
Justiz Vaillant AA, Goyal A, Varacallo M. Systemic Lupus Erythematosus.
[Updated 2023 Feb 27]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535405/
Kelkar, A. H., Shah, A. A., Yong, S. L., & Ahmed, Z. (2017). An unusual
association between hemophagocytic lymphohistiocytosis, mixed
connective tissue disease, and autoimmune hemolytic anemia: A case
report. Medicine, 96(28), e7488.
https://doi.org/10.1097/MD.0000000000007488
Lee CT, Strek ME. The other connective tissue disease-associated interstitial lung
diseases: Sjogren's syndrome, mixed connective tissue disease, and
systemic lupus erythematosus. Curr Opin Pulm Med. 2021 Sep
1;27(5):388-395. doi: 10.1097/MCP.0000000000000791. PMID:
34127620; PMCID: PMC8373683.
Musa R, Qurie A. Raynaud Disease. [Updated 2022 Aug 8]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499833/
Odonwodo A, Badri T, Hariz A. Scleroderma. [Updated 2022 Aug 1]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537335/
Pahal P, Sharma S. Idiopathic Pulmonary Artery Hypertension. [Updated 2023
Apr 10]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482251/
15

Perelas, A., Arrossi, A. V., & Highland, K. B. (2019). Pulmonary Manifestations


of Systemic Sclerosis and Mixed Connective Tissue Disease. Clinics in
chest medicine, 40(3), 501–518. https://doi.org/10.1016/j.ccm.2019.05.001
Radić, M., & Overbury, R. S. (2021). Capillaroscopy as a diagnostic tool in the
diagnosis of mixed connective tissue disease (MCTD): a case report. BMC
rheumatology, 5(1), 9. https://doi.org/10.1186/s41927-021-00179-2
Sarwar A, Dydyk AM, Jatwani S. Polymyositis. [Updated 2023 Feb 7]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563129/
Ungprasert, P., Crowson, C. S., Chowdhary, V. R., Ernste, F. C., Moder, K. G., &
Matteson, E. L. (2016). Epidemiology of Mixed Connective Tissue
Disease, 1985-2014: A Population-Based Study. Arthritis care &
research, 68(12), 1843–1848. https://doi.org/10.1002/acr.22872
Vehe, R. K., & Riskalla, M. M. (2018). Collagen Vascular Diseases: SLE,
Dermatomyositis, Scleroderma, and MCTD. Pediatrics in review, 39(10),
501–515. https://doi.org/10.1542/pir.2017-0262

16

Anda mungkin juga menyukai