Anda di halaman 1dari 66

Kepada YTH:

Laporan Kasus Hidup 2

Systemic Lupus Erythematosus


(SLE)

Presentan : dr. Randy Musashi


NIM : 2250302210
Tanggal presentasi :
Pembimbing : Dr. dr. Raveinal, Sp.PD-KAI, FINASIM
Chief : dr. Muhammad Iqbal Andreas
Oponen :

Program Studi Penyakit Dalam Program Spesialis


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang
2024

1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. SLE juga merupakan penyakit
inflamasi autoimun pada jaringan dan kompleks imun sehingga mengakibatkan
manifestasi klinis diberbagai sistem organ.

Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang
berbeda.Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang menimbulkan kecacatan

1.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan pada
semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi
pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 9-14:1.

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di
rumah sakit. Dari 3 penelitian di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang
melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut :
antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE ; selama periode 5 tahun (1972-
1976) ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat (insiden sebesar 15
per 10.000 perawatan); antara tahun 1988-1990 (3 tahun) insiden rata-rata ialah
sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.

2
Pasien SLE, 90% adalah wanita dengan usia diantara 14 dan 45 tahun.
Penyakit ini tiga kali lebih sering ditemukan pada populasi keturunan Afrika-
Amerika. Frekuensi pada wanita dibanding pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1.

SLE awalnya digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar 1800-
an dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”,
melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan
serigala ( lupus adalah katta dalam bahasa latin yang berarti serigala).

1.3 Etiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara factor - faktor genetik, hormonal dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Sampai saat ini penyebab SLE
belum diketahui, diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada
patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan
menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam
pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun
sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan
berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan
penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh,
dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini
menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.

3
Faktor-faktor yang berperan :

1.3.1 Faktor Genetik.


Kejadian SLE lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibanding dengan
kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE
dibanding dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik
tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis SLE.
Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE pada manusia
adalah gen dari kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi
menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA
(human leucocyte antigen) kelas II. HLA berhubungan dengan adanya antibody
tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearm protein), anti-Ro, anti-La, anti-
nRNP (nuclear ribonuclear protein) dan anti-DNA. Gen HLA kelas III, khususnya
yang mengkode komponen komplemen C2 dan C4, memberikan resiko SLE pada
kelompok etnik tertentu. Selain itu SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi
C1q, C1r/s dan C2. Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan terhadap
antigen diri sendiri maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas
pembersih dari sistem imun, maka autoimunitas mungkin terjadi

1.3.2 Faktor Homoral.


SLE penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Metabolisme
estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin, dimana

4
peningkatan hidroksilasi 16a dari estrone mengakibatkan peningkatan yang bermakna
konsentrasi 16a hidroksiestron. Metabolit 16 a lebih kuat dan merupakan feminising
estrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma
yang rendah, termasuk testosteron, dehidrotestosteron, dehidroepiandosteron (DHEA)
dan dehidroepianrosteron (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan oksidasi testosteron pada C-17 atau peningkatan aktivitas aromatase
jaringan. Konsentrasi androgen berkorelasi negatif dengan aktivitas penyakit.
Konsentrasi testosteron plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi
luteinising hormone (LH) ditemukan pada penderita SLE laki-laki. Jadi estrogen yang
berlebihan dengan aktivitas hormone androgen yang tidak adekuat pada laki-laki
maupun perempuan, mungkin bertanggung jawab terhadap perubahan respon imun.
Konsentrasi progesteron didapatkan lebih rendah pada penderita SLE perempuan
dibandingkan dengan kontrol sehat.
Prolactin (PRL) adalah hormon terutama berasal dari kelenjar hipofise
anterior, diketahui menstimulasi respon imun selular dan humoral, yang diduga
berperan dalam patogenesis SLE. Fungsi PRL menyerupai sitokin, yang mempunyai
aktivitas endokrin , paraktin dan autokrin. PRL diketahui menstimulasi sel T, sel
naturl killer, makrofag, neutrofil, sel hemopoietik CD34+ dan sel dendritik presentasi
antigen.

1.3.3 Faktor Lingkungan.


Agen infeksi virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon spesifik
melalui kemiripan molekular (molecular mimicry) dan gangguan terhadap regulasi
imun. Diet mempengaruhi produksi mediator inflamasi, toksin/obat-obatan
memodifikasi respon selular dan imunogenitas dari self antigen dan agen fisik/kimia
seperti sinar ultraviolet (UV) dapat memnyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel
dan menyebabkan kerusakan jaringan.

5
1.4 Patogenesis

Patogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,
faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik
memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada
saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun.
Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks
histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan
komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu
C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan
adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin3,6. Studi lain
mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human
Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita
lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4, atau
C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks
imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi
jaringan.

Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis


sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun6.

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity
dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar
UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang
peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta
mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya
kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok

6
yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus,
berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik
aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.
Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada
penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel
permukaan dan apoptosis.

Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.


Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan
sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan
produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES. Autoantibodi pada lupus
kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Selain itu,
terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan
fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti
oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan,
termasuk kulit dan ginjal

1.5 Gejala Klinis

Saat awitan pertama pada SLE mungkin hanya mengenai satu sistem organ
(manifestasi tambahan muncul kemudian) atau multisistemik. Gambaran klinis
keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus SLE, walaupun
artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus.

Gejala Konstitusional: Kelelahan, Penurunan Berat Badan, Demam, serta


gejala lainnya seperti rambut rontok, hilang nafsu makan, pembesaran KGB, Sakit
kepala, mual dan muntah. Pada kasus SLE memiliki gejala khas berupa manifestasi
sesuai organ tubuh:

1.5.1 Manifestasi muskulosekeletal

7
Hampir semua pasien SLE mengalami artralgia dan mialgia, sebagian besar
mengalami artritis intermiten. Paling sering mengenai sendi antarfalang proksimal
(AFP) dan metakarpofalang (MKF) pada tangan, pergelangan tangan dan lutut ),
pembengkakan difus tanga dan kaki, dan tendosinovitis. Deformitas sendi jarang
terjadi dengan 10% pasien mengalami deformitas leher angsa (swan neck) jari tangan
dan pergeseran ulnar pada sendi Hal yang paling perlu diperhatikan adalah
kemungkinan adanya koinsidensi penyakit autoimun lain seperti Artritis reumatoid,
polymyositis, skleroderma atau manifestasi klinis penyakit-penyakit tersebut
merupakan bagian gejala SLE.

1.5.2 Manifestasi Kulit

Ruam kulit merupakan manifestasi SLE pada kulit. Lesi muko-kutaneus yang
tampak sebagai bagian SLE dapat berupa reaksi fotosensitifitas, diskoid LE (DLE),
subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE) ,lupus profundus/ paniculitis,
alopecia, lesi vaskular berupa eritema periungual, livedo reticularis, telengiectasis,
fenomena raynud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak
dan dapat pula berupa bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis,
eritema atau depigmentasi pada bibir.

Ruam malar ( kupu-kupu) adalah ruam eritematosa persisten, datar atau


meninggi, dipipi dan pangkal hidung, sering meluas kedagu dan teliga. Ruam ini
bersifat fotosensitif.

1.5.3 Manifestasi Paru

Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang
interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum,
perdarahan paru, atau shrinking lung syndrom.

Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik.
Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial dan apabila terjadi
keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas bronkoalveolar. Biasanya
penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai rhonki dibasal. Keadaan ini

8
terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah
paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons
yang baik dengan pemberian steroid. Manifestasi paru yang jarang terjadi namun
mempunyai angka mortalitas angka mortalitas yang tinggi adalah sindroma distress
pernafasan dan perdarahan intraalveolar masif.

Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian dari


perdarahan paru akibat SLE ini dan memerlukan penanganan yang tepat, dimana
tidak hanya penggunaan steroid namuntindakan pengobatan lain seperti lasmafaresis
atau pemberian sitostatiska.

1.5.4 Manifestasi Kardiologis

Perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah koroner


dapat terlibat pada penderita SLE, walaupun yang paling banyak terkena adalah
perikardium. Efusi dapat terjadi dan kadang-kadang temponade.

Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyer sub-sternal,


friction rub, gambaran silhouete sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG,
Echocardiografi. Apabila dijumpai adanya ritmia atau gangguan konduksi,
kardiomegali bahkan takikardi yang tidak jelas penyebabnya, maka kecurigaan
adanya miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut. Penyakit jantung koroner dapat pula
dijumpai pada penderita SLE dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark
miokard atau gagal jantung kongestif. Usia muda dengan gejala penyakit yang
panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.

Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi menyerupai komplikasi lain


yang juga sering dijumpai pada penderita SLE . vegetasi pada katup jantung
merupakan akumulasi pada kompleks imun, sel mononuklear, jaringan nekrosis,
jaringan parut, hematoxyin bodies , fibrin dan trombus trombosit. Manifestasi yang
sering dijumpai adalah bising jantung sistolik dan diastolik.

1.5.5 Manifestasi Renal

9
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar
terjadi setelah 5 tahun menderita SLE. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini 10 : 1
dengan puncak insiden antara 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada
umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
Pemeriksaan terhadap protein urine >500 mg/24 jam atau +3 semi kwantatif, adanya
cetakan granular, hemoglobin, tubuler, eritrosit tu gabungan serta pyuria (>5/LBP)
tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan serum kadar kreatinin menunjukkan
adanya keterlibatan pada penderita SLE.

1.5.6 Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada pasien SLE , karena dapat


merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai
akibat pengobatan. Disfagia merupakan keluhan yang menonjol pada saat penderita
dalam keadaan tertekan dan sifatnya episodik, walaupuntidak dapat dibuktikan
adanya kelainan pada esofagus tersebut, kecuali gangguan motilitas.

Keluhan dispepsia yang dijumpai pada 50% pasien SLE, lebih banyak
dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid. Pankreatitis akut dapat timbul
dan menjadi parah akibat SLE aktif atau akibat terapi glukokortikoid dan azatioprin.
Peningkatan kadar amilase dapat mencerminkan pankreatitis, peradangan kelenjar
liur, atau makroamilasemia. Hepatomegali juga merupakan pembesaran organ yang
dapat dijumpai pada pasien SLE, disertai peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun
fosfatase alkali dan LDH.

1.5.7 Manifestasi Neuropsikiatri

Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi,


hemiparesis, lesi saraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis
transversal.

1.5.8 Manifestasi Hemi-limfatik

10
Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada
penderita SLE. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan
servikal, dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak dan ukuran bervariasi sampai
3-4 cm. Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada penderita SLE adalah
splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa
infark atau berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan.

1.5.9 Hematologi

Anemia pada penyakit kronik terjadi pada sebagian pasien saat lupusnya aktif. Pada
sebagian pasien yang uji Coombsnya positif terjadi hemolisis. Hemolisis ini biasanya
berespon terhadap glukokortikoid dosis tinggi. Leukopenia sering ditemukan tetapi
jarang menyebabkan infeksi rekuren dan tidak memerluka terapi. Trombositopeni
ringan sering terjadi, trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi
pada 5% dan harus di terapi dengan glukokortikoid dosis tinggi.

1.6 Diagnosis

Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan


laboratorium. Kriteria diagnostik SLE tahun 1997 dari American College of
Rheumatology (ACR). Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES
memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung
pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan. Kecurigaan akan penyakit SLE
bila dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ sebagaimana terantum dibawah ini, yaitu
:

1. Jender wanita pada usia rentang reproduksi

11
2. Gejala konstitusional : kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.

3. Muskuloskeletal : artritis, artralgia, miositis.

4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLE


membranamukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

5. Ginjal : hematuria proteinuria, sindroma nefrotik.

6. Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen.

7. Paru-paru : pleurysi, hipertensi pulmonal, SLEi parenkim paru

8. Jantung : perikarditis, endokarditis, miokarditis.

9. Retikulo-endotel : organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali).

10. Hematologi : anemia, leukopenia, dan trombositopenia.

11. Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindroma otakorganik, mielitis transversal,


neuropati kranial dan perifer.

Tatalaksana

12
BAB II

ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat seorang pasien perempuan 24 tahun di bangsal Penyakit Dalam


RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 18 Januari 2024 pukul 13.00 WIB
dengan

Keluhan utama : (Autoanemnesis dan alloanamnesis)


Bintik kemerahan pada telapak tangan dan kaki sejak yang meningkat sejak 7
hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
 Bintik kemerahan pada telapak tangan dan kaki sejak yang meningkat sejak 7
hari yang lalu. Bintik kemerahan pada telapak tangan dan kaki sudah dirasa
sejak 7 bulan yang lalu, nyeri pada telapak tangan dan kaki tidak ada, rasa
panas tidak ada.
 Nyeri sendi pada pergelangan kedua kaki, kedua lutut, jari-jari kaki dan jari-
jari tangan. sudah dirasakan sejak 5 bulan yang lalu. Nyeri disertai kaku pada
pagi hari. Nyeri tidak berkurang dengan istirahat, nyeri berkurang dengan
aktifitas
 Ruam kemerahan pada wajah, keluhan ini hilang timbul sejak 5 bulan yang
lalu. Muncul saat aktifitas di luar rumah.
 Keluhan rambut rontok sejak 5 bulan yang lalu.

13
 Luka pada mulut sejak 1 minggu yang lalu, luka hilang timbul, luka di daerah
langit mulut dan bibir, nyeri tidak dirasakan pada luka.
 Demam meningkat sejak 1 minggu yang lalu demam terus menerus, demam
tidak disertai keringat malam dan menggigil.
 Batuk berdahak sejak 1 minggu yang lalu, dahak warna kekuningan batuk
berdarah tidak ada.
 Sesak napas tidak ada, sesak saat berbaring telentang tidak ada, riwayat
terbangun malam hari karena sesak tidak ada, sesak saat aktifitas tidak ada.
 Mual dan muntah tidak ada.
 Nyeri kepala tidak ada.
 Riwayat kejang tidak ada.
 Buang air kecil berwana kuning tua sejak 1 minggu terakhir, frekuensi 3x
sehari, dengan volume buang air kecil 100-200cc / hari
 Buang air besar biasa berwarna kuning kecoklatan, konsistensi padat. Buang
air besar berwarna hitam tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien diketahui tidak bisa mendengar dan berbicara sejak usia 3 tahun, sudah
berobat ke dokter THT namun tidak di lanjutkan pengobatannya.
 Riwayat penyakit autoimun tidak ada.
 Riwayat penyakit ginjal sebelumnya tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Kakak pasien mengalami tidak bisa mendengar dan berbicara sejak lahir,
pasien memiliki 2 adik dan tidak ada keluhan serupa.
 Riwayat penyaki autoimun pada keluarga disangkal
 Riwayat penyakit ginjal pada keluarga disangkal

Riwayat Penggunaan Obat :


 Tidak ada riwayat penggunan obat sebelumnya

14
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi
 Pasien seorang tamatan SMA, anak kedua dari empat bersaudara. Pasien
merupakan ibu rumah tangga.
 Pasien tinggal bersama ayah, ibu, suami pasien, kakak dan ke dua adiknya.
Pasien tinggal dirumah permanen, ventilasi baik, pencahayaan cukup, dan
kebersihan ruangan baik,
 Pasien sudah menikah, dan sudah memiliki 1 orang anak dengan lahir normal
berusia 5 tahun.

Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis Cooperative
Kesadaran Umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 128/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 115x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu : 37.7°C
Saturasi Oksigen : 99% on free air
BB : 49 kg
TB : 150 cm
BMI : 21.8 kg/m2 ( Normowight)
Kepala dan wajah : Normocephale
Rambut : Mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor diameter 3mm/3mm
Telinga : Liang telinga lapang, serumen (-)
Hidung : Cavum nasi lapang, sekret (-), polip (-)
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Rongga mulut :Oral ulcer (+), Tonsil T1-T1
Leher : JVP 5-2 cm H2O, kelenjar getah bening tidak teraba

15
Thorak
Paru depan
Inspeksi : Statis : normochest
Dinamis : Gerakan dinding dada simteris kiri dan
kanan
Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor di kedua paru
Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler , ronkhi basah halus
nyaring parasternal dextra dan sinistra setinggi RIC 4
dan RIC 5, wheezing tidak ada
Paru belakang
Inspeksi : Statis : tidak terdapat kelainan tulang belakang
Dinamis : Gerakan dinding dada simetris kiri dan
kanan
Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor di kedua paru
Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler, ronkhi basah halus
nyaring setinggi Thorakal 4 hingga thorakal 5 di keuda
paru, wheezing tidak ada

X X X X
X X X X

Tampak depan Tampak belakang

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.

16
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial di ICS V LMCS, luas
1 jari, kuat angkat.
Perkusi : Batas jantung kanan LSD, batas jantung kiri 1 jari
medial LMCS RIC V, batas jantung atas RIC II kiri,
Pinggang jantung (+)
Auskultasi : BJ S1 SII reguler, irama regular, M1>M2, A2>P2,
murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membuncit, venektasi (-), vena
kolateral (-)
Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+), Murphy sign (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2detik, edema -/-, Plak eritema,
purpura serta krusta kemerahan
Genital dan anorectal : tidak terdapat kelainan.

Pemeriksaan sendi
Sendi Inpeksi Palpasi ROM
Sholder Joint Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
Bilateral kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
Elbow Joint Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
Bilateral kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)

17
Wrist Join Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
Bilateral kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
MCP Bilateral Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
PIP Bilateral Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
MTP II-V Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
IP I Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
Genu Bilateral Bengkak (-), nyeri tekan (+) Terbatas
kemerahan (-),
kaku (+),
deformitas (-)
Ankle joint Bengkak (-), nyeri tekan (+) Terbatas
bilateral kemerahan (-),
kaku (+),
deformitas (-)
Phalanges Bengkak (-), Nyeri tekan (+) Terbatas
Proximales kemerahan (-),

18
kaku (+),
deformitas (-)

Hasil Laboratorium
Hemoglobin 10.3 g/dl
MCV 92 fL
MCH 31 pg
MCHC 33 %
Leukosit 3640 mm3
Hematokrit 31%
Trombosit 152.000 mm3
LED 58 U/L
Basofil 0
Eosinofil 0
Neutrofil batang 2
Neutrofil Segmen 77
Limfosit 18
Monosit 3
Kesan : Anemia, Leukopenia

Gambaran Darah Tepi


Eritrosit : Anisositosis normokrom
Leukosit : jumlah kurang, limfopenia
Trombosit : jumlah cukup, morfologi normal
Kesan : Anemia sangat ringan normositik nornokrom leukopenia dengan
limfopenia

Urinalisa
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna : Kuning Tua Leukosit : 18-20/LPB Protein : Protein +2
Kekeruhan : Positif Eritrosit : 1-2/LPB Glukosa : Negatif
BJ : 1.020 Silinder : Positif Bilirubin : Negatif
pH : 5.0 Kristal : Negatif Urobilinogen : Negatif

19
Bakteri : Positif Epitel : Positif Nitrit : Negatif

Kesan : Proteinuria, silinder uria

Feses Rutin
Makroskopis Mikroskopis
Warna : Coklat Leukosit 0-1/LPB
Konsistensi: Padat Eritrosit 0-1/LPB
Darah : Negatif Amuba Negatif
Lendir : Negatif Ascaris Negatif
Protein :- Acylostoma D Negatif
Lemak :- Oxyuris V Negatif
Karbohidrat: - Trichiuris T Negatif
Kesan : Dalam Batas Normal

EKG (Tanggal 18 Januari 2024)


Irama Sinus QRS kompleks 0.08 detik
Frekuensi nadi 115x/menit ST segmen Isoelektrik
Axis Normal Gelombang T Normal
Gelombang P Normal
PR interval 0.12 detik Sv1 + Rv5 <35 mm
R/Sv1 <1

Kesan : Sinus Takikardi

American Thoracic Society (ATS)


Major Criteria
Syok sepsis
Gagal nafas dengan menggunakan ventilator
Minor Criteria
RR > 30x / min
PaO2/FiO2 ratio < 250
Multilobar Infiltrates
Disorientasi

20
Leukopenia ( <4000)
Trombositopenia
Hipotermia
Hipotensi yang membutuhkan resusitasi
Interpretasi 1 minor ( severe jika Mayor 1 atau 3 Minor ditemukan)
Kesan :CAP Non severe

Drug Resistance in Pneumonia (DRIP) score


Major Risk Factors Point
Penggunaan Antibiotik 2
Perawatan jangka panjang 2
Penggunaan NGT, 2
Nasojejunal, PEG
Drugs resisten PNA dalam 2
setahun terakhir
Major Risk Factors Point
Hopitalisasi dalam 60 hari 1
terakhir
Penyakit paru kronik 1
Karnofsky Skor <70 1
Penggunaan H2 bloker / 1
PP1 dalam 14 hari terakhir
Luka aktif 1
Kolonisasi MRSA dalam 1 1
tahun terakhir
Interpretasi : jika <4 : Low Risk to MDR, jika ≥4 : High Risk to MDR
Hasil : 1 ( Low Risk to MDR)

Kriteria diagnosis LES berdasarkan ACR 1997


Ruam malar +
Ruam diskoid -
Fotosensitifitas +
Ulkus mulut +
Artritis nonerosif +
Serositis -

21
Gangguan ginjal -
Gangguan neurologi -
Gangguan hematologi +
Gangguan imunologi -
Antibodi antinuklear positif (ANA) Belum dilakukan pemeriksaan
Total Skor 5

Aktifitas Penyakit SLE MEX-SLEDAI


Deskripsi Skor pasien
Gangguan neurologis 8 -
Gangguan ginjal 6 -
Vaskulitis 4 +
Hemolisis 3 -
Trombositopenia 3 -
Miositis 3 -
Artritis 2 +
Gangguan mukokutaneus 2 +
Serositis 2 -
Demam, Fatigue 1 +
Leukopenia , limfopenia 1 +
Total Skor 10

Daftar masalah :
 Vaskulitis
 Oral Ulcer
 Poliartritis
 Demam
 Leukopenia
 Proteinuria

22
Diagnosis kerja :
Diagnosis Primer
 Systemic lupus erythematosus derajat sedang
Diagnosis Sekunder
 Vaskulitis Lupus
 Nefritis lupus
 Community Aquired Pneumonia non severe low risk MDR
 Hearing and Speech disorder

Terapi :
 Istirahat
 Diet makan lunak 1900 (285 kkal protein, 570 kkal Lemak, 1045 kkal
Karbohidrat)
 IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
 Inj Ampisilin Sulbaktam 4x1.5gr IV

Pemeriksaan Anjuran:
 Pemeriksaan Faal Ginjal (ureum dan creatinin)
 Pemeriksaan faal hepar ( SGOT, SGPT, albumin, dan globulin)
 Pemeriksaan Elektrolit (natrium, kalium, clorida)
 Rontgen thorak
 Kutur sputum
 Anti HCV
 HBsAg

23
Follow up Kamis, 18 Januari 2024 pukul 17:50 WIB
S/
Luka dimulut +, nyeri sendi +, demam + batuk dahak +, keluhan kemerahan pada
telapak tangan dan kaki +

O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 117/69 mmHg 94x/min 18x/min 36.9°C 99%

Konsul Konsultan Alergi Immunologi


Kesan :
 Systemic lupus erythematosus derajat sedang
 Susp Vaskulitis lupus
 Nefritis lupus

Advis :
 IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
 Inj Metilprednison 2x125mg ( 3 hari ) hari 1
 Hydroxychloroquin 1x200mg po
 Osteocal 1x1000 po
 Lansopazole 1x30mg po
Anjuran pemeriksaan:
 PT/APTT
 D-Dimer
 Cek Ana Profil

24
Follow up Jumat, 19 Januari 2024 pukul 06:30 WIB
S/
Luka dimulut +, nyeri sendi +, demam + batuk dahak +, keluhan kemerahan pada
telapak tangan dan kaki +

O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 110/70 mmHg 92x/min 19x/min 36.5°C 99%

Radiologi ( tanggal 19 Januari 2024)

Keluar hasil ekspertise X-ray Thorak 19 Januari 2024 :


Trachea di tengah
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
Tidak tampak pemadatan limfonodi hilus bilateral
Tampak infiltrat di kedua pulmo
Cor CTR < 0.56
Diafragma bilateral licin dan tak mendatar
Tak tampak pelebaran pleural space bilateral, sudut costopgrenicus bilateral tajam
Sistema tulang yang tervisualisasi baik
Kesimpulan : Pneumonia Bilateral, Besar Cor normal

25
Hasil Laboratorium
SGOT 490 U/L
SGPT 101U/L
Albumin 2.5 g/dL
Globulin 4.4 g/dL
Bil Indirek 0.4 mg/dL
Bil Direk 1.5 mg/dL
Na/K/Cl 135/4.3/92
Ur/Cr 56/0.7
GDS 81
PT 10.7
APTT 27.7
D-Dimer 3077
Anti HCV Negatif
HBsAg Negatif

Kesan : hipoalbumin, peningkatan faal hepar, peningkatan ureum,


Hiperkoagulasi
Konsul Konsultan Alergi Immunologi
Kesan :
 Systemic lupus erythematosus derajat sedang
 Susp Vaskulitis lupus
 Nefritis lupus
 Lupoid Hepatitis

Advis :
 IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
 Inj Metilprednison 2x125mg ( 3 hari ) hari ke 2
 Hydroxychloroquin 1x200mg po
 Kalsium karbonat 1x1000 po
 Lansopazole 1x30mg po
 Follow Up Ana Profil

26
Konsul Konsultan Pulmonologi
Kesan :
 CAP non severe low risk MDR
Advis :
 Inj Ampisilin Sulbaktam 4x1.5gr
 Paracetamol 3x500 po
 Asetilsistein 3 x 200 mg po
 Kultur Sputum

Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi


Kesan :
 Susp Nefritis Lupus
Advis :
 IVFD NaCl 0.9% / 8 jam / kolf
 Rehidrasi
 USG Ginjal
 Cek Ureum dan Creatinin
 Cek Protein 24 jam

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi


Kesan :
 Gangguan Faal Hepar e.c Susp Hepatitis Autoimune

Advis :
 UDCA 3x250 mg PO
 USG Abdomen

Konsul Konsultan Kardiovaskular

27
Kesan :
 Vaskulitis Lupus

Advis :
 USG Doppler Vaskular Ekstremitas

Konsul Konsultan Hematologi Onkologi


Kesan :
 Hiperkoagulasi

Advis :
 Warfarin 1x2mg po

Konsul Kulit
Kesan :
 Vaskulitis Lupus Erythematosis

Advis :
 Momethason furoat 0.1% cream 2x sehari pada bercak diwajah dan di telapak
tangan dan kaki
 Na Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka lecet

Konsul Telinga Hidung Tenggorokan


Kesan :
 Hearing and Speech disorder
 Sensorineural Hearing loss

Advis :
 Rencana dilakukan pemeriksaan BERA, Audiometri di poli

28
A/
Diagnosis Primer
 lupus erythematosus derajat sedang
Diagnosis Sekunder
 Vaskulitis Lupus
 Nefritis Lupus
 Lupoid hepatitis
 CAP non severe low risk MDR
 Hiperkoaguable state
 Hearing and Speech disorder
 Sensorineural Hearing loss

P/
 Istirahat
 Diet makan lunak 1900 (285 kkal protein, 570 kkal Lemak, 1045 kkal
Karbohidrat)
 IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
 Inj Ampisilin Sulbaktam 4x1.5gr IV
 Inj Metilprednison 2x125mg ( 3 hari ) hari ke 2
 Kalsium karbonat 1x1000mg
 Hidrokloroquin 1x200mg
 UDCA 3x250
 Warfarin 1x2mg po
 Momethason furoat 0.1% cream 2x sehari pada bercak diwajah dan di telapak
tangan dan kaki

29
 Na Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka lecet

Follow up Senin, 22 Januari 2024 pukul 06:54 WIB


S/
Luka dimulut + berkurang, nyeri sendi -, demam - batuk dahak +, keluhan kemerahan
pada telapak tangan dan kaki berkurang

O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 108/70 mmHg 75x/min 20x/min 36.8°C 99%

Keluar hasil Ultrasonografi Ginjal


Ginjal Kanan Ginjal Kanan
Bentuk/Ukuran Normal / Bentuk/Ukuran Normal / 10.18cm
10.9cm
Tepi Reguler Tepi Reguler
Echo densitas Normal Echo densitas Normal
Cortek dan medulla Dapat Cortek dan Dapat
didifferensiasi medulla didifferensiasi
Ukuran Corteks Normal Ukuran Normal
Corteks
Piramida Prominent Piramida Prominent
Sistem pelviokalik Normal Sistem Normal
pelviokalik
Batu, Kista Tidak ada Batu, Kista Tidak ada
Lain-lain - Lain-lain -

Kesan : Dalam Batas Normal

Keluar hasil Ultrasonografi Abdomen ( lengkapi )

30
Hati Normal
Permukaan rata
Parenkim Homogen
Parenkim halus
Pinggir tajam
Vena tidak membesar
SOL (-)
Vena Portal Normal
Kandung Empedu Normal
Dinding tebal
Batu (-), Polip (-)
Pankreas Normal
Lien Normal

Kesan : Cholesistitis

Keluar hasil USG Tiroid


Kesan : USG Tiroid bilateral saat ini tidak tampak kelainan, tidak tampak
pembesaran KGB daerah Coli

Keluar hasil USG Doppler Vaskular


Kesimpulan : Tampak penebalan intima sesuai gambaran vasculitis, Normal
flow arteri dan vena kedua tungkai

Keluar hasil Kultur Sputum


Kesan : No Growth

31
Keluar Hasil ANA Profile
RNP/Sm (RNP/Sm) +
Sm (Sm) -
SSA- Native (60 kDa)(SSA) -
Ro-52 recombinant (52) +
SS-B (SSB) -
Scl-70 -
PM-Scl 100 (PM 100) -
Jo-1 (Jo) -
Centromere B (CB) -
PCNA (PCNA) -
dsDNA (DNA) ++
Nucleosome (NUC) ++
Histones ( HI ) +
Ribosomal Protein (RIB) ++
AMA-M2 (M2) ++
DFS70 (DFS70) +++
Control +++
Kesan : Lupus eritematosus sistemik

Konsul Konsultan Alergi Immunologi


Kesan :
 lupus erythematosus derajat sedang
 vaskulitis lupus

Advis :
 IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
 Inj Metilprednison 2x62.5mg ( 3 hari ) hari 2

32
 Hydroxychloroquin 1x200
 Kalsium karbonat 1x1000 po

Konsul Konsultan Pulmonologi


Kesan :
 CAP non severe low risk MDR
Advis :
 Inj Ampisilin Sulbaktam 4x1.5gr
 Asetilsistein 3 x 200 mg PO

Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi


Kesan :
 Susp Nefritis Lupus
Advis :
 IVFD NaCl 0.9% / 8 jam / kolf
 Cek Protein 24 jam

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi


Kesan :
 Kolesistitis

Advis :
 UDCA 3x250 mg PO
 Cek AFP

Konsul Konsultan Hematologi Onkologi


Kesan :
 Hiperkoaguble state

33
Advis :
 Warfarin 1x2mg

A/
Diagnosis Primer
 lupus erythematosus derajat sedang
Diagnosis Sekunder
 Vaskulitis Lupus
 Susp Nefritis Lupus
 Gangguan Faal Hepar e.c susp hepatitis autoimun
 CAP non severe low risk MDR
 Hiperkoaguable state
 Hearing and Speech disorder
 Delayed disorder e.c ??

P/
 Istirahat
 Diet makan lunak 1900 (285 kkal protein, 570 kkal Lemak, 1045 kkal
Karbohidrat)
 IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
 Inj Ampisilin Sulbaktam 4x1.5gr IV
 Inj Metilprednison 2x62.5 ( 3 hari ) hari ke 2
 Kalsium karbonat 1x1000mg
 Hidrokloroquin 1x200mg
 UDCA 3x250 mg po
 Warfarin 1x2mg
 Momethason furoat 0.1% cream 2x sehari pada bercak diwajah dan di telapak
tangan dan kaki

34
 Na Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka lecet

Follow up Kamis, 25 Januari 2024 pukul 06:11 WIB


S/
Luka dimulut + berkurang, nyeri sendi -, demam - batuk dahak +, keluhan kemerahan
pada telapak tangan dan kaki berkurang
O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 121/77 mmHg 90x/min 20x/min 37.1°C 99%

Hasil Laboratorium
Hb 10.4 g/dL
Ht 31 %
Leukosit 9870
Trombosit 217.000
SGOT 133 U/L
SGPT 72U/L
Bilirubin Indirek 0 mg/dL
Bilirubin Direk 0.1 mg/dL
Albumin 2.5 g/dL
Globulin 3 g/dL
Na/K/Cl 137/3.3/112
Ur/Cr 30/0,4
Alkali Fosfatase 204 U/L

Kesan : peningkatan faal hepar, hipoalbuminemia


Konsul Konsultan Alergi Immunologi
Kesan :
 Systemic lupus erythematosus derajat sedang
 Susp Vaskulitis lupus
 Nefritis lupus
 Lupoid Hepatitis

35
Advis :
 IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
 Metilpredison 16mg-8mg-8mg PO
 Hydroxychloroquin 1x200mg PO
 Osteocal 1x1000 po
 ACC rawat jalan

Konsul Konsultan Pulmonologi


Kesan :
 CAP non severe low risk MDR
Advis :
 Asetilsistein 3 x 200 mg PO
 ACC rawat jalan

Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi


Kesan :
 Susp Nefritis Lupus
Advis :
 ACC rawat jalan

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi


Kesan :
 Kolesistitis

Advis :
 UDCA 3x250 mg PO
 Acc rawat jalan

36
Konsul Konsultan Hematologi Onkologi
Kesan :
 Hiperkoaguble state

Advis :
 Warfarin 1x2mg
 ACC rawat jalan

A/
Diagnosis Primer
 lupus erythematosus derajat sedang
Diagnosis Sekunder
 Susp Nefritis Lupus
 Vaskulitis Lupus Erythematosis
 CAP non severe low risk MDR
 Kolesistitis
 Vaskulitis Lupus Erythematosis
 Hiperkoaguble state

P/
 Istirahat
 Diet makan lunak 1900 (285 kkal protein, 570 kkal Lemak, 1045 kkal
Karbohidrat)
 Metilprednoson 16mg-8mg-8mg PO
 Kalsium karbonat 1x1000mg
 Hidrokloroquin 1x200mg
 UDCA 3x250 mg PO
 Warfarin 1x2mg

37
 Momethason furoat 0.1% cream 2x sehari pada bercak diwajah dan di telapak
tangan dan kaki
 Na Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka lecet

38
BAB II

DISKUSI KASUS

Telah dirawat seorang pasien perempuan 24 tahun di bangsal Penyakit Dalam


RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 18 Januari 2023 pukul 13.00 WIB
dengan
diagnosis:

 lupus erythematosus derajat sedang


 Nefritis Lupus
 Lupoid Hepatitis
 Vaskulitis Lupus Erythematosis
 CAP non severe low risk MDR
 Kolesistitis
 Vaskulitis Lupus Erythematosis
 Hiperkoaguble state
 Hearing and Speech disorder

Pasien perempuan berusia 24 tahun masuk dengan diagnosis SLE derajat


sedang, vaskulitis lupus erythematosus, Poliarthritis dan Susp nefritis lupus.
Diagnosis SLE derajat sedang di tegakan berdasarkan Kriteria diagnosis SLE
berdasarkan ACR 1997 (Skor 5) dan SLE MEX-SLEDAI (Skor 10) kemudian
berdasarkan juga ANA test. Selain itu juga diagnosis SLE derajat sedang di tegakan
berdasarkan adanya Gangguan organ lain yang terlibat, Nefritis dan adanya
gangguan hematologi. Kemudian pada diagnosis vaskulitis lupus erythematosus di
tegakan karena adanya temuan klinis di telapak tangan dan kaki pasien dengan
mempertimbangkan gejala muncul bersamaan dengan SLE Derajat Sedang. Pada
diagnosis Poliarthritis di tegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada
pasien. Kemudian pada diagnosis Susp. nefritis lupus ditegakan karena adanya
Proteinuria pada Urinalisis.

39
Pada kasus ini pasien memiliki gangguan pendengaran. Systemic lupus
erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun prototipik dengan keterlibatan multi-
sistem dan beragam manifestasi klinis yang sebelumnya telah dilaporkan
menyebabkan gangguan pendengaran, dimana sensorineural hearing loss (SNHL)
adalah yang paling umum. Beberapa pasien juga mungkin menunjukkan gejala
vestibular dan pendengaran termasuk tinitus dan vertigo. Diperkirakan bahwa
hearing loss terkait dengan pengendapan kompleks imun di stria vaskularis dan
kantung endolimfatik serta kerusakan sitotoksik yang dimediasi sel pada sel rambut
koklea dan vestibular. Namun, sebagian besar penelitian terkini mengenai
karakteristik hearing loss pada SLE memiliki ukuran sampel yang kecil dan hasil
yang tidak konsisten, serta faktor yang mempengaruhi dan mekanisme terkait masih
belum jelas. Misalnya, sebuah penelitian menemukan bahwa tingkat pendengaran
pasien dengan lupus nefritis lebih rendah dibandingkan pasien tanpa lupus nefritis,
dan penggunaan hydroxychloroquine (HCQ) mungkin memperburuk gangguan
pendengaran pada SLE, sementara penelitian lain menunjukkan bahwa tingginya
prevalensi hearing loss pada SLE tidak dipengaruhi oleh penggunaan obat
antimalaria.1,2

Paraschou dkk., melaporkan bahwa SLE secara signifikan berhubungan


dengan SNHL; SLE tidak berhubungan dengan conductive hearing loss (CHL),
namun karena kurangnya data, kami tidak dapat mencapai kesimpulan mengenai
kemungkinan mixed hearing loss (MHL) pada pasien SLE. Audiometri nada murni
sebagai tes skrining dan tes tindak lanjut pada pasien SLE dapat penting dilakukan. 3
Li dkk., melaporkan bahwa prevalensi SNHL pada kasus SLE adalah 21.26 %, yang
merupakan hal yang signifikan, dan analisis gabungan rasio odds yang diamati dalam
penelitian individu menunjukkan bahwa kemungkinan prevalensi gangguan
pendengaran sensorineural adalah 12.11 (P<0,001).1 Polanski dkk., melaporkan
prevalensi tinggi hearing loss pada SLE yang tidak dipengaruhi oleh penggunaan
obat anti malaria. Rata-rata nada murni pada pasien SLE yang menggunakan obat
antimalaria dan tidak menggunakan obat antimalaria adalah serupa (8,75 vs. 8,75; P =

40
0,63). Pada frekuensi 8.000 Hz, pengguna obat antimalaria yang bukan pengguna
obat memiliki kinerja yang lebih buruk dibandingkan pengguna (10,00 vs. 22,50; P =
0,03). Timpanometri normal pada

Neuroretinitis akut jarang terjadi pada pasien SLE. Vaskulopati, termasuk


mikroangiopati dan vaskulitis, dianggap sebagai penyebab utama patologi, yang
biasanya berhubungan dengan aktivitas penyakit. Pemberian hidroksiklorokuin dalam
jangka panjang diketahui berhubungan dengan efek samping, termasuk keratopati
vorteks dan makulopati ireversibel dan mengancam penglihatan. 7 Maukwikwi dkk.,
melaporkan bahwa hanya lebih dari 5% pasien mengalami komplikasi retina
antimalaria, selama rata-rata 12.8 tahun. Tidak ada kasus yang terdeteksi dalam 5
tahun pertama terapi. Penggunaan klorokuin di masa lalu lebih umum terjadi pada
kasus dibandingkan kontrol.8

Berdasarkan penjabaran diatas, disimpulkan bahwa manifestasi gejala dari


SLE sangat berhubungan erat dengan kejadian trombotik dan kondisi hiperkoagulasi
yang menyertainya. Beberapa faktor yang berhubungan dengan seringnya keadaan
hiperkoagulasi pada pasien dengan SLE telah dilaporkan. Faktor-faktor tersebut
antara lain adalah antibodi antifosfolipid, proses inflamasi, dan resistensi terhadap
protein C. Selain itu, penggunaan obat antiinflamasi seperti kortikosteroid yang
biasanya diresepkan untuk pasien memediasi kerusakan pada endotel dan
mempercepat proses aterosklerosis.10

Pada kasus ini di dapati juga hasil laboratorium yang menunjukan adanya
hiperkoaguble state, hal ini sangat terkait erat dengan SLE dimana hal ini merupakan
bagian dari manifestasi gejala akibat autoimun. Secara khusus, terjadi akibat kaskade
koagulasi dan sistem komplemen dapat berinteraksi satu sama lain secara tidak
langsung melalui regulasi mediator inflamasi. Misalnya, interaksi antara C5a dan
sitokin inflamasi telah dibuktikan, termasuk efek pada produksi faktor nekrosis tumor
(TNF)-α dan interleukin (IL)-6. Kemudian, sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi
kaskade koagulasi dengan meningkatkan ekspresi koagulan dan menghambat
produksi antikoagulan sehingga terjadi kondisi hiperkoagulasi.

41
Dilaporkan kasus mengenai kejadian trombosis pada pasien SLE. Risiko
trombosis yang berlebihan pada SLE bergantung pada adanya kelainan yang spesifik
untuk penyakit tersebut, termasuk kadar C3 yang rendah, antibodi antifosfolipid
(aPL) (khususnya lupus anticoagulant [LAC]) dan sindrom nefrotik. Faktor lain yang
berhubungan dengan pengobatan SLE seperti prednison dapat semakin meningkatkan
risiko trombosis. Penelitian terbaru melaporkan bahwa faktor yang berkontribusi
terhadap trombosis pada lupus terutama terkait dengan faktor utama seperti cedera
endotel vaskular yang disebabkan oleh autoantibodi, neutrophil extracellular traps
(NET), reseptor scavenger, gangguan jalur protein C, dan pengobatan
glukokortikoid.11

Cicarini dkk., melaporkan bahwa kadar trombomodulin dan D-Dimer lebih


tinggi pada kelompok low-disease activity (la) SLE dan moderate-to-high disease
activity (mha) SLE dibandingkan dengan kontrol dan pada mhaSLE dibandingkan
dengan kelompok laSLE. Sehubungan dengan uji thrombin generation (TG), lagtime
dan potensi trombin endogen, konsentrasi faktor jaringan yang rendah memberikan
hasil terbaik untuk diskriminasi antar kelompok. Analisis data ini memungkinkan kita
untuk menyimpulkan bahwa trombomodulin, D-Dimer dan TG merupakan penanda
yang berpotensi berguna untuk membedakan pasien dengan penyakit yang sangat
aktif dan pasien dengan penyakit yang kurang aktif. Aktivitas SLE yang lebih tinggi
dapat menyebabkan cedera endotel, menghasilkan TG yang lebih tinggi dan
akibatnya keadaan hiperkoagulabilitas mendasari gambaran trombosis yang umum
terjadi pada penyakit inflamasi ini.10

Pada kasus ini di lakukan penatalaksanaan terapi Inisiasi SLE derajat sedang
yaitu dengan kombinasi Metilprednison 2x125mg I.V dan Hydroxychloroquin
1x200mg P.O, dimana yang kita ketahui pada kasus SLE merupakan penyakit
autoimun, sehingga perlunya terapi golongan kortikosteroid yang akan berfungsi
sebagai imunosupressan. Kemudian pada vaskulitis lupus erythematosus di berikan
terapi spesifik yaitu terapi golongan kortikosteroid cream dan salep antibiotic yaitu
Momethason furoat 0.1% cream 2x sehari pada bercak diwajah dan di telapak tangan

42
dan kaki dan juga di berikan terapi Na Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka lecet.
Penanganan pada diagnosis polyarthritis dan nefritis lupus di berikan terapi mengikuti
panduan terapi SLE derajat sedang namun di kombinasikan dengan pemberian
kalsium karbonat sebagai terapi tambahan guna membantu pemenuhan kecukupan
nutrisi sehingga diharapkan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan.

Hidroksiklorokuin di rekomendasikan untuk semua pasien SLE (EULAR


2019: LOE 1B, GOR A). Terdapat bukti adanya berbagai efek menguntungkan dari
Hidroksiklorokuin pada SLE, namun ketidakpatuhan terhadap pengobatan sering
terjadi. Berdasarkan bukti yang ada yang menunjukkan bahwa risiko toksisitas sangat
rendah untuk dosis di bawah 5 mg/kgBB sebenarnya, dosis harian tidak boleh
melebihi ambang batas ini (EULAR 2019: LOE 3B, GOR C).12

Glukokortikoid dapat meredakan gejala secara cepat (EULAR 2019: LOE 2B,
GOR C), namun tujuan jangka menengah hingga jangka panjang adalah
meminimalkan dosis harian menjadi ≤7,5 mg/hari yang setara dengan prednison atau
menghentikannya (EULAR 2019: LOE 1B, GOR B), karena terapi glukokortikoid
jangka panjang dapat menimbulkan berbagai efek merugikan termasuk kerusakan
organ yang ireversibel. Untuk tujuan ini, dua pendekatan dapat dipertimbangkan: (1)
penggunaan metilprednisolon (MP) intravena dengan berbagai dosis (tergantung pada
tingkat keparahan dan berat badan), yang memanfaatkan efek non-genomik
glukokortikoid yang cepat dan memungkinkan terjadinya dosis awal yang lebih
rendah dan pengurangan glukokortikoid oral yang lebih cepat, dan (2) inisiasi awal
agen IS, untuk memfasilitasi pengurangan dan akhirnya penghentian glukokortikoid
oral. Metilprednisolog intravena pulse dosis tinggi (biasanya 250–1000 mg/hari
selama 3 hari) sering digunakan pada penyakit akut yang mengancam organ
(misalnya ginjal, neuropsikiatri) setelah menyingkirkan infeksi dan menurunkan dosis
awal glukokortikoid oral (EULAR 2019: LOE 3B, GOR C).12

43
Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)
Abstrak
Pendahuluan: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi patogen dan
kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi sebagai
“lesi kulit seperti kupu-kupu” di wajah, perikarditis, kelainan ginjal, artritis, anemia dan
gejala-gejala susunan saraf pusat. Penyakit lupus bukanlah penyakit yang menular namun
termasuk penyakit yang mematikan. Berdasarkan data dari SIRS Online pada tahun 2016
terdapat 2.116 pasisen menderita penyakit lupus dan 550 pasien meninggal dunia. Penyakit
lupus sulit dideteksi karena gejalanya mirip dengan penyakit lain. Insidensi SLE di USA
Cukup tinggi yaitu sebesar 52 Kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio gender Wanita dan
pria antara 9-14 : 1. Laporan Kasus: Seorang pasien perempuan 24 tahun dirawat dengan
diagnosis SLE derajat sedang, vaskulitis lupus erythematosus, Poliarthritis dan Susp nefritis
lupus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya Bintik-bintik kemerahan pada telapak
tangan dan kaki, rambut yang mudah rontok, ulkus pada daerah mulut, serta nyeri pada
kedua lutut dan kedua Ankle. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia, leukopenia
serta Proteinuri. Pada skoring kriteria diagnosis SLE berdasarkan ACR 1997 di peroleh skor
5 dan SLE MEX-SLEDAI di peroleh skor 10. Tatalaksana spesifik untuk penangan kasus
SLE yang diberikan pada pasien ini adalah dengan pemberian terapi inisiasi SLE yaitu
kombinasi metilprednisolon dan hydroxychloroquin. Kesimpulan: Penegakan diagnosis SLE
dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
sesuai. Dalam penanganan kasus SLE terapi harus secepatnya di berikan untuk mencegah
kerusakan organ yang lebih parah, dimana kita tahu bahwa ini adalah kasus autoimun.

Kata kunci: Systemic Lupus Erythematosus, SLE.

44
Abstract

Introduction: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is an autoimmune disease characterized


by tissue and cell damage by pathogenic auto antibodies and immune complexes. This
disease is a multisystem disease that manifests as “butterfly-like skin lesions” on the face,
pericarditis, kidney disorders, arthritis, anemia and central nervous system symptoms. Lupus
is not a contagious disease but is a deadly disease. Based on data from SIRS Online, in 2016
there were 2,116 patients suffering from lupus and 550 patients died. Lupus is difficult to
detect because the symptoms are similar to other diseases. The incidence of SLE in the USA
is quite high, namely 52 cases per 100,000 population, with a gender ratio of women to men
between 9-14: 1. Case report: A 24 year old male patient was admitted with a diagnosis of
moderate SLE, lupus erythematosus vasculitis, polyarthritis and lupus nephritis susp. On
physical examination, it was found that there were reddish spots on the palms of the hands
and feet, hair that fell out easily, ulcers in the mouth area, and pain in both knees and both
ankles. Laboratory examination result is anemia, leukopenia and proteinuria. In scoring the
diagnostic criteria for SLE based on ACR 1997, a score of 5 was obtained and SLE MEX-
SLEDAI was obtained with a score of 10. The specific treatment for treating SLE cases given
to this patient was the administration of SLE initiation therapy, with a combination of
methylprednisolone and hydroxychloroquine. Conclusion: The diagnosis of SLE can be
made through history taking, physical examination and appropriate supporting
examinations. In treating SLE cases, therapy must be given as soon as possible to prevent
more severe organ damage, which we know is an autoimmune case.

Key words: Systemic Lupus Erythematosus, SLE.

45
PENDAHULUAN negara sangat bervariasi dan lebih
Definisi sering ditemukan pada ras tertentu

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) seperti Negro, Cina dan Filipina.

adalah penyakit autoimun yang Faktor ekonomi dan geografi tidak

ditandai adanya inflamasi tersebar mempengaruhi distribusi penyakit.

luas, yang mempengaruhi setiap organ Peyakit ini dapat ditemukan pada

atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini semua usia, tetapi paling banyak pada

berhubungan dengan deposisi usia 15-40 tahun (masa reproduksi).

autoantibodi dan kompleks imun, Frekuensi pada wanita dibanding

sehingga mengakibatkan kerusakan dengan pria berkisar antara 9-14:1.

jaringan. SLE juga merupakan Beberapa data yang ada di Indonesia


penyakit inflamasi autoimun pada diperoleh dari pasien yang dirawat di
jaringan dan kompleks imun sehingga rumah sakit. Dari 3 penelitian di
mengakibatkan manifestasi klinis Departemen Ilmu Penyakit Dalam
diberbagai sistem organ. Fakultas Kedokteran Universitas

Pada setiap penderita, peradangan Indonesia / RS. Dr. Cipto

akan mengenai jaringan dan organ Mangunkusumo, Jakarta yang

yang berbeda.Beratnya penyakit melakukan penelitian pada periode

bervariasi mulai dari penyakit yang yang berbeda diperoleh data sebagai

ringan sampai penyakit yang berikut : antara tahun 1969-1970

menimbulkan kecacatan. ditemukan 5 kasus SLE ; selama


periode 5 tahun (1972-1976)
Epidemiologi
ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666
Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi kasus yang dirawat (insiden sebesar 15
salah satu penyakit rematik utama per 10.000 perawatan); antara tahun
didunia. Prevalensi SLE diberbagai 1988-1990 (3 tahun) insiden rata-rata

46
ialah sebesar 37,7 per 10.000 penyebab SLE belum diketahui,
perawatan. diduga faktor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada
Pasien SLE, 90% adalah wanita
patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh
dengan usia diantara 14 dan 45 tahun.
kehilangan kemampuan untuk
Penyakit ini tiga kali lebih sering
membedakan antigen dari sel dan
ditemukan pada populasi keturunan
jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan
Afrika- Amerika. Frekuensi pada
reaksi imunologi ini akan
wanita dibanding pada pria berkisar
menghasilkan antibodi secara terus
antara (5,5-9) : 1.
menerus. Antibody ini juga berperan
SLE awalnya digambarkan sebagai dalam pembentukan kompleks imun
suatu gangguan kulit, pada sekitar sehingga mencetuskan penyakit
1800-an dan diberi nama lupus karena inflamasi imun sistemik dengan
sifat ruamnya yang berbentuk “kupu- kerusakkan multiorgan. Dalam
kupu”, melintasi tonjolan hidung dan keadaan normal, sistem kekebalan
meluas pada kedua pipi yang berfungsi mengendalikan pertahanan
menyerupai gigitan serigala ( lupus tubuh dalam melawan infeksi. Pada
adalah katta dalam bahasa latin yang lupus dan penyakit autoimun lainnya,
berarti serigala). sistem pertahanan tubuh ini berbalik

Etiologi melawan tubuh, dimana antibodi yang


dihasilkan menyerang sel tubuhnya
Penyakit SLE terjadi akibat
sendiri. Antibodi ini menyerang sel
terganggunya regulasi kekebalan yang
darah, organ dan jaringan tubuh,
menyebabkan peningkatan
sehingga terjadi penyakit menahun.
autoantibody yang berlebihan.
Faktor-faktor yang berperan :
Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara
factor - faktor genetik, hormonal dan
lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Sampai saat ini

47
ribonuclearm protein), anti-Ro, anti-
La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear
protein) dan anti-DNA. Gen HLA
kelas III, khususnya yang mengkode
komponen komplemen C2 dan C4,
memberikan resiko SLE pada
kelompok etnik tertentu. Selain itu
SLE berhubungan dengan pewarisan
Faktor Genetik. defisiensi C1q, C1r/s dan C2.
Kejadian SLE lebih tinggi pada Penurunan aktivitas komplemen
kembar monozigotik (25%) dibanding meningkatkan kepekaan terhadap
dengan kembar dizigotik (3%), antigen diri sendiri maupun antigen
peningkatan frekuensi SLE pada asing. Jika beban antigen melebihi
keluarga penderita SLE dibanding kapasitas pembersih dari sistem imun,
dengan kontrol sehat dan peningkatan maka autoimunitas mungkin terjadi.
prevalensi SLE pada kelompok etnik
tertentu, menguatkan dugaan bahwa
faktor genetik berperan dalam Faktor Homoral.
patogenesis SLE. SLE penyakit yang lebih banyak
Elemen genetik yang paling banyak menyerang perempuan. Metabolisme
diteliti kontribusinya terhadap SLE estrogen yang abnormal telah
pada manusia adalah gen dari ditunjukkan pada kedua jenis kelamin,
kompleks Histokompatibilitas Mayor dimana peningkatan hidroksilasi 16a
(MHC). Penelitian populasi dari estrone mengakibatkan
menunjukkan bahwa kepekaan peningkatan yang bermakna
terhadap SLE melibatkan konsentrasi 16a hidroksiestron.
polimorfisme dari gen HLA (human Metabolit 16 a lebih kuat dan
leucocyte antigen) kelas II. HLA merupakan feminising estrogen.
berhubungan dengan adanya antibody Perempuan dengan SLE juga
tertentu seperti anti-Sm (small nuclear mempunyai konsentrasi androgen

48
plasma yang rendah, termasuk menstimulasi sel T, sel naturl killer,
testosteron, dehidrotestosteron, makrofag, neutrofil, sel hemopoietik
dehidroepiandosteron (DHEA) dan CD34+ dan sel dendritik presentasi
dehidroepianrosteron (DHEAS). antigen.
Abnormalitas ini mungkin disebabkan Faktor Lingkungan.
oleh peningkatan oksidasi testosteron Agen infeksi virus Epstein-Barr (EBV)
pada C-17 atau peningkatan aktivitas mungkin menginduksi respon spesifik
aromatase jaringan. Konsentrasi melalui kemiripan molekular
androgen berkorelasi negatif dengan (molecular mimicry) dan gangguan
aktivitas penyakit. Konsentrasi terhadap regulasi imun. Diet
testosteron plasma yang rendah dan mempengaruhi produksi mediator
meningkatnya konsentrasi luteinising inflamasi, toksin/obat-obatan
hormone (LH) ditemukan pada memodifikasi respon selular dan
penderita SLE laki-laki. Jadi estrogen imunogenitas dari self antigen dan
yang berlebihan dengan aktivitas agen fisik/kimia seperti sinar
hormone androgen yang tidak adekuat ultraviolet (UV) dapat memnyebabkan
pada laki-laki maupun perempuan, inflamasi, memicu apoptosis sel dan
mungkin bertanggung jawab terhadap menyebabkan kerusakan jaringan.
perubahan respon imun. Konsentrasi Patogenesis
progesteron didapatkan lebih rendah
Patogenesis dari SLE masih belum
pada penderita SLE perempuan
diketahui secara jelas, dimana terdapat
dibandingkan dengan kontrol sehat.
banyak bukti bahwa patogenesis SLE
Prolactin (PRL) adalah hormon
bersifat multifaktoral seperti faktor
terutama berasal dari kelenjar hipofise
genetik, faktor lingkungan, dan faktor
anterior, diketahui menstimulasi
hormonal terhadap respons imun.
respon imun selular dan humoral, yang
Faktor genetik memegang peranan
diduga berperan dalam patogenesis
pada banyak penderita lupus dengan
SLE. Fungsi PRL menyerupai sitokin,
resiko yang meningkat pada saudara
yang mempunyai aktivitas endokrin ,
kandung dan kembar monozigot.
paraktin dan autokrin. PRL diketahui

49
Penelitian terakhir menunjukkan Defisiensi C1q menyebabkan sel
bahwa banyak gen yang berperan fagosit gagal membersihkan sel
terutama gen yang mengkode unsur- apoptosis sehingga komponen nuklear
unsur sistem imun. Diduga akan menimbulkan respon imun6.
berhubungan dengan gen respons imun
Faktor lingkungan dapat menjadi
spesifik pada kompleks
pemicu pada penderita lupus, seperti
histokompabilitas mayor kelas II, yaitu
radiasi ultra violet, tembakau, obat-
HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
obatan, virus. Sinar UV mengarah
dengan komponen komplemen yang
pada self-immunity dan hilangnya
berperan dalam fase awal reaksi ikat
toleransi karena menyebabkan
komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4,
apoptosis keratinosit. Selain itu sinar
dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain
UV menyebabkan pelepasan mediator
yang mulai ikut berperan adalah gen
imun pada penderita lupus, dan
yang mengkode reseptor sel T,
memegang peranan dalam fase induksi
imunoglobulin dan sitokin3,6. Studi
yanng secara langsung mengubah sel
lain mengenai faktor genetik ini yaitu
DNA, serta mempengaruhi sel
studi yang berhubungan dengan HLA
imunoregulator yang bila normal
(Human Leucocyte Antigens) yang
membantu menekan terjadinya
mendukung konsep bahwa gen MHC
kelainan pada inflamasi kulit. Faktor
(Major Histocompatibility Complex)
lingkungan lainnya yaitu kebiasaan
mengatur produksi autoantibodi
merokok yang menunjukkan bahwa
spesifik. Penderita lupus (kira-kira
perokok memiliki resiko tinggi terkena
6%) mewarisi defisiensi komponen
lupus, berhubungan dengan zat yang
komplemen, seperti C2, C4, atau
terkandung dalam tembakau yaitu
C1q14-15. Kekurangan komplemen
amino lipogenik aromatik. Pengaruh
dapat merusak pelepasan sirkulasi
obat juga memberikan gambaran
kompleks imun oleh sistem fagositosit
bervariasi pada penderita lupus.
mononuklear sehingga membantu
Pengaruh obat salah satunya yaitu
terjadinya deposisi jaringan.
dapat meningkatkan apoptosis

50
keratinosit. Faktor lingkungan lainnya Saat awitan pertama pada SLE
yaitu peranan agen infeksius terutama mungkin hanya mengenai satu sistem
virus dapat ditemukan pada penderita organ (manifestasi tambahan muncul
lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, kemudian) atau multisistemik.
dapat mempengaruhi ekspresi sel Gambaran klinis keterlibatan sendi
permukaan dan apoptosis. atau muskuloskeletal dijumpai pada
90% kasus SLE, walaupun artritis
Faktor ketiga yang mempengaruhi
sebagai manifestasi awal hanya
patogenesis lupus yaitu faktor
dijumpai pada 55% kasus.
hormonal. Mayoritas penyakit ini
menyerang wanita muda dan beberapa Gejala Konstitusional: Kelelahan,
penelitian menunjukkan terdapat Penurunan Berat Badan, Demam, serta
hubungan timbal balik antara kadar gejala lainnya seperti rambut rontok,
hormon estrogen dengan sistem imun. hilang nafsu makan, pembesaran KGB,
Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal Sakit kepala, mual dan muntah.
sehingga mengakibatkan produksi
Pada kasus SLE memiliki gejala khas
autoantibodi berlebihan pada pasien
berupa manifestasi sesuai organ tubuh:
LES. Autoantibodi pada lupus
kemudian dibentuk untuk menjadi Manifestasi muskulosekeletal

antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Hampir semua pasien SLE mengalami
Selain itu, terdapat antibodi terhadap artralgia dan mialgia, sebagian besar
struktur sel lainnya seperti eritrosit, mengalami artritis intermiten. Paling
trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi sering mengenai sendi antarfalang
terlibat dalam pembentukan kompleks proksimal (AFP) dan metakarpofalang
imun, yang diikuti oleh aktivasi (MKF) pada tangan, pergelangan
komplemen yang mempengaruhi tangan dan lutut ), pembengkakan
respon inflamasi pada banyak jaringan, difus tanga dan kaki, dan
termasuk kulit dan ginjal tendosinovitis. Deformitas sendi jarang

Gejala Klinis terjadi dengan 10% pasien mengalami


deformitas leher angsa (swan neck)

51
jari tangan dan pergeseran ulnar pada Manifestasi Paru
sendi Hal yang paling perlu
Berbagai manifestasi klinis pada paru-
diperhatikan adalah kemungkinan
paru dapat terjadi baik berupa radang
adanya koinsidensi penyakit autoimun
interstitial parenkim paru
lain seperti Artritis reumatoid,
(pneumonitis), emboli paru, hipertensi
polymyositis, skleroderma atau
pulmonum, perdarahan paru, atau
manifestasi klinis penyakit-penyakit
shrinking lung syndrom.
tersebut merupakan bagian gejala SLE.
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara
Manifestasi Kulit
akut atau berlanjut menjadi kronik.
Ruam kulit merupakan manifestasi Pada keadaan akut perlu dibedakan
SLE pada kulit. Lesi muko-kutaneus dengan pneumonia bakterial dan
yang tampak sebagai bagian SLE apabila terjadi keraguan dapat
dapat berupa reaksi fotosensitifitas, dilakukan tindakan invasive seperti
diskoid LE (DLE), subacute bilas bronkoalveolar. Biasanya
cutaneous lupus erythematosus penderita akan merasa sesak, batuk
(SCLE) ,lupus profundus/ paniculitis, kering, dan dijumpai rhonki dibasal.
alopecia, lesi vaskular berupa eritema Keadaan ini terjadi sebagai akibat
periungual, livedo reticularis, deposisi kompleks imun pada alveolus
telengiectasis, fenomena raynud’s atau atau pembuluh darah paru, baik
vaskulitis atau bercak yang menonjol disertai vaskulitis atau tidak.
berwarna putih perak dan dapat pula Pneumonitis lupus ini memberikan
berupa bercak eritema pada palatum respons yang baik dengan pemberian
mole dan durum, bercak atrofis, steroid. Manifestasi paru yang jarang
eritema atau depigmentasi pada bibir. terjadi namun mempunyai angka
mortalitas angka mortalitas yang tinggi
Ruam malar ( kupu-kupu) adalah ruam
adalah sindroma distress pernafasan
eritematosa persisten, datar atau
dan perdarahan intraalveolar masif.
meninggi, dipipi dan pangkal hidung,
sering meluas kedagu dan teliga. Ruam Hemoptisis merupakan keadaan yang
ini bersifat fotosensitif. serius apabila merupakan bagian dari

52
perdarahan paru akibat SLE ini dan Usia muda dengan gejala penyakit
memerlukan penanganan yang tepat, yang panjang serta penggunaan steroid
dimana tidak hanya penggunaan jangka panjang.
steroid namuntindakan pengobatan
Valvulitis, gangguan konduksi serta
lain seperti lasmafaresis atau
hipertensi menyerupai komplikasi lain
pemberian sitostatiska.
yang juga sering dijumpai pada
Manifestasi Kardiologis penderita SLE . vegetasi pada katup
jantung merupakan akumulasi pada
Perikardium, miokardium,
kompleks imun, sel mononuklear,
endokardium ataupun pembuluh darah
jaringan nekrosis, jaringan parut,
koroner dapat terlibat pada penderita
hematoxyin bodies , fibrin dan
SLE, walaupun yang paling banyak
trombus trombosit. Manifestasi yang
terkena adalah perikardium. Efusi
sering dijumpai adalah bising jantung
dapat terjadi dan kadang-kadang
sistolik dan diastolik.
temponade.
Manifestasi Renal
Perikarditis harus dicurigai apabila
dijumpai adanya keluhan nyer sub- Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-
sternal, friction rub, gambaran 75% penderita yang sebagian besar
silhouete sign foto dada, ataupun terjadi setelah 5 tahun menderita SLE.
melalui gambaran EKG, Rasio wanita : pria dengan kelainan ini
Echocardiografi. Apabila dijumpai 10 : 1 dengan puncak insiden antara
adanya ritmia atau gangguan konduksi, 20-30 tahun. Gejala atau tanda
kardiomegali bahkan takikardi yang keterlibatan renal pada umumnya tidak
tidak jelas penyebabnya, maka tampak sebelum terjadi kegagalan
kecurigaan adanya miokarditis perlu ginjal atau sindroma nefrotik.
dibuktikan lebih lanjut. Penyakit Pemeriksaan terhadap protein urine
jantung koroner dapat pula dijumpai >500 mg/24 jam atau +3 semi
pada penderita SLE dan bermanifestasi kwantatif, adanya cetakan granular,
sebagai angina pectoris, infark hemoglobin, tubuler, eritrosit tu
miokard atau gagal jantung kongestif. gabungan serta pyuria (>5/LBP) tanpa

53
bukti adanya infeksi serta peningkatan Hepatomegali juga merupakan
serum kadar kreatinin menunjukkan pembesaran organ yang dapat dijumpai
adanya keterlibatan pada penderita pada pasien SLE, disertai peningkatan
SLE. serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase
alkali dan LDH.
Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi Neuropsikiatri
Manifestasi gastrointestinal tidak
spesifik pada pasien SLE , karena Keterlibatan susunan saraf pusat dapat
dapat merupakan cerminan bermanifestasi sebagai epilepsi,
keterlibatan berbagai organ pada hemiparesis, lesi saraf kranial, lesi
penyakit ini atau sebagai akibat batang otak, meningitis aseptik atau
pengobatan. Disfagia merupakan myelitis transversal.
keluhan yang menonjol pada saat
Manifestasi Hemi-limfatik
penderita dalam keadaan tertekan dan
sifatnya episodik, walaupuntidak dapat Limfadenopati baik menyeluruh

dibuktikan adanya kelainan pada ataupun terlokalisir sering dijumpai

esofagus tersebut, kecuali gangguan pada penderita SLE. Kelenjar getah

motilitas. bening yang paling sering terkena


adalah aksila dan servikal, dengan
Keluhan dispepsia yang dijumpai pada
karakteristik tidak nyeri tekan, lunak
50% pasien SLE, lebih banyak
dan ukuran bervariasi sampai 3-4 cm.
dijumpai pada mereka yang memakai
Organ limfoid lain yang sering
glukokortikoid. Pankreatitis akut dapat
dijumpai pula pada penderita SLE
timbul dan menjadi parah akibat SLE
adalah splenomegali yang biasanya
aktif atau akibat terapi glukokortikoid
disertai oleh pembesaran hati.
dan azatioprin. Peningkatan kadar
Kerusakan lien berupa infark atau
amilase dapat mencerminkan
berkaitan dengan adanya lupus
pankreatitis, peradangan kelenjar liur,
antikoagulan.
atau makroamilasemia.
Hematologi

54
Anemia pada penyakit kronik terjadi 1. Ruam malar Eritema menetap, rata atau
meninggi, di atas eminensia
pada sebagian pasien saat lupusnya malar, yang cenderung mengenai
lipatan nasolabial
aktif. Pada sebagian pasien yang uji
2. Ruam diskoid Makula eritematosa yang
Coombsnya positif terjadi hemolisis. meninggi dengan skala keratotik
adheren dan sumbatan folikel
Hemolisis ini biasanya berespon (jaringan parut atrofik dapat
terjadi pada lesi lama)
terhadap glukokortikoid dosis tinggi.
3. Fotosensitif Ruam kulit akibat reaksi sinar
matahari yang tidak biasa,
Leukopenia sering ditemukan tetapi berdasarkan anamnesis pasien
atau pengamatan dokter
jarang menyebabkan infeksi rekuren
4. Ulserasi oral Ulserasi oral atau nasofaring,
dan tidak memerluka terapi. biasanya tidak nyeri, yang
diamati oleh dokter
Trombositopeni ringan sering terjadi,
5. Radang sendi Arthritis non-erosive yang
trombositopenia berat disertai melibatkan ≥2 sendi perifer,
yang ditandai oleh nyeri,
perdarahan dan purpura terjadi pada bengkak, atau efusi

5% dan harus di terapi dengan 6. Serositis (A) Pleuritis: Pastikan riwayat


berhubunga dengan nyeri
glukokortikoid dosis tinggi. pleuritik atau bunyi menggosok
oleh dokter atau adanya bukti
efusi pleura
ATAU

(B) Perikarditis: Terdokumentasi


dari EKG atau bunyi menggosok
atau bukti efusi perikardial

7. Gangguan (A) Persistent proteinuria >0,5


ginjal g/hari atau >3+ jika tidak
dilakukan kuantisasi
ATAU

(B) Cellular cast: Mungkin sel


darah merah, hemoglobin,
granular, tubular, atau campuran
Diagnosis
8. Gangguan (A) Kejang: Tanpa adanya
saraf konsumsi obat-obatan atau
Diagnosis SLE dapat ditegakkan kekacauan metabolik misalnya,
uremia, ketoasidosis, dan
berdasarkan gambaran klinik dan ketidakseimbangan elektrolit
ATAU
laboratorium.
(B) Psikosis: Tanpa adanya
konsumsi obat-obatan atau
Kriteria diagnostik SLE tahun 1997 kekacauan metabolik misalnya,
dari American College of uremia, ketoasidosis, dan
Rheumatology (ACR). ketidakseimbangan elektrolit

Kriteria Definisi 9. Gangguan (A) Hemolytic anemia: Dengan


retikulositosis

55
darah ATAU salah satunya ANA positif, maka
(B) Leukopenia: <4000/mm 3
sangat mungkin LES dan diagnosis
pada ≥ 2 kali pemeriksaan
ATAU bergantung pada pengamatan klinis.
(C) Limfopenia: <1500/mm3 Bila hasil tes ANA negatif, maka
pada ≥ 2 kali pemeriksaan
ATAU kemungkinan bukan LES. Apabila
(D) Trombositopenia: hanya tes ANA positif dan manifestasi
<100.000/mm3 tanpa adanya
obat-obatan klinis lain tidak ada, maka belum tentu
10. Gangguan (A) Anti-DNA: Antibodi untuk LES, dan observasi jangka panjang
imun DNA asli dalam titer abnormal
ATAU diperlukan.
(B) Anti-Sm: Adanya antibodi
terhadap antigen Sm nuklear Kecurigaan akan penyakit SLE bila
ATAU
dijumpai 2 atau lebih keterlibatan
(C) Temuan positif antibodi
antifosfolipid berdasarkan: (1) organ sebagaimana terantum dibawah
tingkat IgG serum abnormal atau
antibodi IgM anticardiolipin, (2) ini, yaitu :
hasil tes positif untuk
antikoagulan lupus dengan
menggunakan metode standar, 1. Jender wanita pada usia rentang
atau (3) sero-positif palsu untuk
tes sifilis positif paling tidak reproduksi
selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan imobilisasi Treponema
pallidum atau tes penyerapan 2. Gejala konstitusional : kelelahan,
fluorensens terhadap antibodi
treponemal demam (tanpa bukti infeksi) dan
11. Ab Suatu titer antibodi antinuclear penurunan berat badan.
antinuklear yang abnormal berdasarkan
pemeriksaan
immunofluorescence pada setiap
3. Muskuloskeletal : artritis, artralgia,
titik waktu dan tidak ada obat
yang diketahui terkait dengan
miositis.
sindroma lupus yang diinduksi
obat 4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly
Seseorang dapat didiagnosis dengan SLE jika ada atau malar rash), fotosensitivitas, SLE
4 atau lebih dari 11 kriteria di atas, secara serial
atau bersamaan, selama interval pengamatan. membranamukosa, alopesia, fenomena
Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria 5. Ginjal : hematuria proteinuria,


diatas, diagnosis LES memiliki sindroma nefrotik.
sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%.
Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan

56
6. Gastrointestinal : mual, muntah, 10. Hematologi : anemia, leukopenia,
nyeri abdomen. dan trombositopenia.

7. Paru-paru : pleurysi, hipertensi 11. Neuropsikiatri : psikosis, kejang,


pulmonal, SLEi parenkim paru sindroma otakorganik, mielitis
transversal, neuropati kranial dan
8. Jantung : perikarditis, endokarditis,
perifer.
miokarditis.

9. Retikulo-endotel : organomegali
(limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali).

Tatalaksana

Keterangan :

TR : tidak respon

RS : respon sebagian,

RP : respon penuh

OAINS : obat anti inflamasi non steroid,

CYC : siklofosfamid,

NPSLE : neuropsikiatri SLE.

57
KS : kortikosteroid setara prednison

AZA : azatioprin

MP : metilprednisolon

ILUSTRASI KASUS 5 bulan yang lalu. Muncul saat


Telah dirawat seorang pasien aktifitas di luar rumah. Kemudian
Perempuan berusia 24 tahun di bangsal pasien juga mengeluhkan Keluhan
Penyakit dalam RSUP Dr. M. Djamil rambut rontok sejak 5 bulan yang lalu
Padang sejak tanggal 18 Januari 2023 serta adanya Luka pada mulut sejak 1
pukul 13.00 WIB dengan diagnosis minggu yang lalu, luka hilang timbul,
SLE derajat sedang, vaskulitis lupus luka di daerah langit mulut dan bibir,
erythematosus, Poliarthritis dan Susp nyeri tidak dirasakan pada luka.
nefritis lupus. Diagnosis akhir pada Dari pemeriksaan fisik, pasien
pasien ini ditegakkan berdasarkan dari tampak sakit sedang dengan kesadaran
seluruh pemeriksaan yang telah komposmentis kooperatif, tekanan
dilakukan meliputi anamnesis, darah 128/80 mmHg, nadi 82
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan kali/menit, frekuensi nafas 20 kali per
penunjang. Pasien datang dengan menit, suhu 36.7° celcius, dan saturasi
keluhan adanya bitnik-bintik oksigen 99% on free air. Pada
kemerahan pada telapak tangan dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya
kaki sejak 5 bulan yang lalu. Rambut yang mudah rontok, Oral
Kemudian pasien juga mengeluhkan Ulcer di rongga mulut, Nyeri tekan di
keluhan lainnya berupa nyeri di kedua kedua sendi lutut dan kedua sendi
sendi ankle dan kedua sendi lutut ankle.
sudah sejak 7 bulan, nyeri disertai
Pada pemeriksaan laboratorium
kaku pada pagi hari. Pasien juga
darah di peroleh hasil Anemia, dan
mengeluhkan adanya keluhan ruam
Leukopenia. Pada pemeriksaan
kemerahan pada wajah terbatas hanya
urinalisis diperoleh hasil Proteinuria.
pada pipi hingga perbatasan tengah
hidung, keluhan ini hilang timbul sejak

58
Berdasarkan gejala dan hasil Pasien perempuan berusia 24 tahun
pemeriksaan laboratorium digunakan masuk dengan diagnosis SLE derajat
kriteria diagnosis LES berdasarkan sedang, vaskulitis lupus
ACR 1997 di peroleh hasil skor 5 dan erythematosus, Poliarthritis dan Susp
berdasarkan aktivitas penyakit SLE nefritis lupus. Diagnosis SLE derajat
MEX-SLEDAI di peroleh hasil skor sedang di tegakan berdasarkan Kriteria
10. Pada pemeriksaan ANA Test di diagnosis SLE berdasarkan ACR 1997
peroleh hasil pasien positif mengidap (Skor 5) dan SLE MEX-SLEDAI
SLE. (Skor 10) kemudian berdasarkan juga
ANA test. Selain itu juga diagnosis
Tatalaksana pada pasien ini
SLE derajat sedang di tegakan
yaitu dengan pemberian terapi inisiasi
berdasarkan adanya Gangguan organ
pada SLE yaitu kombinasi obat Inj
lain yang terlibat, Nefritis dan adanya
Metilprednison 2x125mg dan
gangguan hematologi. Kemudian pada
Hydroxychloroquin 1x200mg P.O
diagnosis vaskulitis lupus
untuk menangani SLEnya. Kemudian
erythematosus di tegakan karena
di berikan juga terapi Momethason
adanya temuan klinis di telapak tangan
furoat 0.1% cream 2x sehari pada
dan kaki pasien dengan
bercak diwajah dan di telapak tangan
mempertimbangkan gejala muncul
dan kaki dan juga di berikan terapi Na
bersamaan dengan SLE Derajat
Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka
Sedang. Pada diagnosis Poliarthritis di
lecet untuk menangani Vaskulitis
tegakan berdasarkan anamnesis dan
Lupus Erythematosis.
pemeriksaan fisik pada pasien.
Dengan kombinasi terapi yang Kemudian pada diagnosis Susp.
mengacu sesuai guideline manajemen nefritis lupus ditegakan karena adanya
SLE, memberikan hasil yang sangat Proteinuria pada Urinalisis.
baik, dimana dapat di lihat dari hasil
Pada kasus ini pasien memiliki
terapi kondisi pasien sudah membaik
gangguan pendengaran. Systemic
hanya dalam 1 minggu terapi.
lupus erythematosus (SLE) adalah
DISKUSI

59
penyakit autoimun prototipik dengan sementara penelitian lain menunjukkan
keterlibatan multi-sistem dan beragam bahwa tingginya prevalensi hearing
manifestasi klinis yang sebelumnya loss pada SLE tidak dipengaruhi oleh
telah dilaporkan menyebabkan penggunaan obat antimalaria.1,2
gangguan pendengaran, dimana
Paraschou dkk., melaporkan
sensorineural hearing loss (SNHL)
bahwa SLE secara signifikan
adalah yang paling umum. Beberapa
berhubungan dengan SNHL; SLE
pasien juga mungkin menunjukkan
tidak berhubungan dengan conductive
gejala vestibular dan pendengaran
hearing loss (CHL), namun karena
termasuk tinitus dan vertigo.
kurangnya data, kami tidak dapat
Diperkirakan bahwa hearing loss
mencapai kesimpulan mengenai
terkait dengan pengendapan kompleks
kemungkinan mixed hearing loss
imun di stria vaskularis dan kantung
(MHL) pada pasien SLE. Audiometri
endolimfatik serta kerusakan sitotoksik
nada murni sebagai tes skrining dan tes
yang dimediasi sel pada sel rambut
tindak lanjut pada pasien SLE dapat
koklea dan vestibular. Namun,
penting dilakukan.3 Li dkk.,
sebagian besar penelitian terkini
melaporkan bahwa prevalensi SNHL
mengenai karakteristik hearing loss
pada kasus SLE adalah 21.26 %, yang
pada SLE memiliki ukuran sampel
merupakan hal yang signifikan, dan
yang kecil dan hasil yang tidak
analisis gabungan rasio odds yang
konsisten, serta faktor yang
diamati dalam penelitian individu
mempengaruhi dan mekanisme terkait
menunjukkan bahwa kemungkinan
masih belum jelas. Misalnya, sebuah
prevalensi gangguan pendengaran
penelitian menemukan bahwa tingkat
sensorineural adalah 12.11 (P<0,001).1
pendengaran pasien dengan lupus
Polanski dkk., melaporkan prevalensi
nefritis lebih rendah dibandingkan
tinggi hearing loss pada SLE yang
pasien tanpa lupus nefritis, dan
tidak dipengaruhi oleh penggunaan
penggunaan hydroxychloroquine
obat anti malaria. Rata-rata nada murni
(HCQ) mungkin memperburuk
pada pasien SLE yang menggunakan
gangguan pendengaran pada SLE,

60
obat antimalaria dan tidak dengan penyakit lupus nefritis dan
menggunakan obat antimalaria adalah hipertensi sekunder, vaso-oklusi
serupa (8,75 vs. 8,75; P = 0,63). Pada karena keadaan hiperkoagulabilitas,
frekuensi 8.000 Hz, pengguna obat atau vaskulitis.5
antimalaria yang bukan pengguna obat
SLE pada mata biasanya
memiliki kinerja yang lebih buruk
memiliki presentasi bilateral dan
dibandingkan pengguna (10,00 vs.
berpotensi menyebabkan kehilangan
22,50; P = 0,03). Timpanometri
penglihatan yang parah. Karakterisasi
normal pada semua peserta.4
memerlukan funduskopi disertai
Pada kasus ini pasien memiliki dengan angiografi fundus fluorescein
gangguan penglihatan. SLE juga dapat untuk evaluasi area retina iskemik,
melibatkan bagian mata dan jalur angiogenesis dan kebocoran kontras
penglihatan mana pun melalui proses oleh pembuluh darah retina. Bintik
inflamasi atau trombotik. Manifestasi kapas (cotton wool spot) adalah
pada mata dilaporkan pada sekitar gambaran paling umum dari SLE
sepertiga pasien SLE, dan hal ini dapat okular dan mewakili mikroinfark
menjadi indikator aktivitas penyakit retina. Temuan lain termasuk eksudat
yang bermanfaat. Keratoconjunctivitis perivaskular, perdarahan intraretinal,
sicca (mata kering) adalah manifestasi vaskulitis, dan oklusi vaskular retina.
SLE pada mata yang paling umum. Semua temuan ini menentukan
Manifestasi mata umum lainnya spektrum keterlibatan SLE mata yang
termasuk skleritis dan episkleritis. memungkinkan definisi tiga skenario
Retinopati ringan mungkin tidak utama, yaitu retinopati lupus, oklusi
menunjukkan gejala, namun penyakit pembuluh darah retina, dan vaskulitis
yang parah dapat menyebabkan retina.6
hilangnya penglihatan dan
Neuroretinitis akut jarang
memerlukan evaluasi oftalmik segera.
terjadi pada pasien SLE. Vaskulopati,
Etiologi retinopati lupus mencakup
termasuk mikroangiopati dan
mikroangiopati yang berhubungan
vaskulitis, dianggap sebagai penyebab

61
utama patologi, yang biasanya dari SLE sangat berhubungan erat
berhubungan dengan aktivitas dengan kejadian trombotik dan kondisi
penyakit. Pemberian hidroksiklorokuin hiperkoagulasi yang menyertainya.
dalam jangka panjang diketahui Beberapa faktor yang berhubungan
berhubungan dengan efek samping, dengan seringnya keadaan
termasuk keratopati vorteks dan hiperkoagulasi pada pasien dengan
makulopati ireversibel dan SLE telah dilaporkan. Faktor-faktor
mengancam penglihatan.7 Maukwikwi tersebut antara lain adalah antibodi
dkk., melaporkan bahwa hanya lebih antifosfolipid, proses inflamasi, dan
dari 5% pasien mengalami komplikasi resistensi terhadap protein C. Selain
retina antimalaria, selama rata-rata itu, penggunaan obat antiinflamasi
12.8 tahun. Tidak ada kasus yang seperti kortikosteroid yang biasanya
terdeteksi dalam 5 tahun pertama diresepkan untuk pasien memediasi
terapi. Penggunaan klorokuin di masa kerusakan pada endotel dan
lalu lebih umum terjadi pada kasus mempercepat proses aterosklerosis.10
dibandingkan kontrol.8
Pada kasus ini di dapati juga
Hilangnya penglihatan hasil laboratorium yang menunjukan
fungsional dapat menjadi gejala awal adanya hiperkoaguble state, hal ini
gangguan psikiatri pada pasien SLE. sangat terkait erat dengan SLE dimana
Menyadari hal ini sebagai bagian dari hal ini merupakan bagian dari
manifestasi psikiatri adalah penting manifestasi gejala akibat autoimun
untuk memberikan pengobatan yang Secara khusus, terjadi akibat kaskade
tepat dan menghindari komplikasi koagulasi dan sistem komplemen dapat
pengobatan lanjutan yang tidak perlu. berinteraksi satu sama lain secara tidak
Identifikasi masalah ini dapat langsung melalui regulasi mediator
membantu aspek psikososial yang inflamasi. Misalnya, interaksi antara
tersembunyi pada pasien tersebut.9 C5a dan sitokin inflamasi telah
dibuktikan, termasuk efek pada
Berdasarkan penjabaran diatas,
produksi faktor nekrosis tumor (TNF)-
disimpulkan bahwa manifestasi gejala

62
α dan interleukin (IL)-6. Kemudian, Cicarini dkk., melaporkan
sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi bahwa kadar trombomodulin dan D-
kaskade koagulasi dengan Dimer lebih tinggi pada kelompok
meningkatkan ekspresi koagulan dan low-disease activity (la) SLE dan
menghambat produksi antikoagulan moderate-to-high disease activity
sehingga terjadi kondisi (mha) SLE dibandingkan dengan
hiperkoagulasi. kontrol dan pada mhaSLE
dibandingkan dengan kelompok
Dilaporkan kasus mengenai
laSLE. Sehubungan dengan uji
kejadian trombosis pada pasien SLE.
thrombin generation (TG), lagtime dan
Risiko trombosis yang berlebihan pada
potensi trombin endogen, konsentrasi
SLE bergantung pada adanya kelainan
faktor jaringan yang rendah
yang spesifik untuk penyakit tersebut,
memberikan hasil terbaik untuk
termasuk kadar C3 yang rendah,
diskriminasi antar kelompok. Analisis
antibodi antifosfolipid (aPL)
data ini memungkinkan kita untuk
(khususnya lupus anticoagulant
menyimpulkan bahwa trombomodulin,
[LAC]) dan sindrom nefrotik. Faktor
D-Dimer dan TG merupakan penanda
lain yang berhubungan dengan
yang berpotensi berguna untuk
pengobatan SLE seperti prednison
membedakan pasien dengan penyakit
dapat semakin meningkatkan risiko
yang sangat aktif dan pasien dengan
trombosis. Penelitian terbaru
penyakit yang kurang aktif. Aktivitas
melaporkan bahwa faktor yang
SLE yang lebih tinggi dapat
berkontribusi terhadap trombosis pada
menyebabkan cedera endotel,
lupus terutama terkait dengan faktor
menghasilkan TG yang lebih tinggi
utama seperti cedera endotel vaskular
dan akibatnya keadaan
yang disebabkan oleh autoantibodi,
hiperkoagulabilitas mendasari
neutrophil extracellular traps (NET),
gambaran trombosis yang umum
reseptor scavenger, gangguan jalur
terjadi pada penyakit inflamasi ini.10
protein C, dan pengobatan
glukokortikoid.11

63
Pada kasus ini di lakukan Hidroksiklorokuin di
penatalaksanaan terapi Inisiasi SLE rekomendasikan untuk semua pasien
derajat sedang yaitu dengan kombinasi SLE (EULAR 2019: LOE 1B, GOR
Metilprednison 2x125mg I.V dan A). Terdapat bukti adanya berbagai
Hydroxychloroquin 1x200mg P.O, efek menguntungkan dari
dimana yang kita ketahui pada kasus Hidroksiklorokuin pada SLE, namun
SLE merupakan penyakit autoimun, ketidakpatuhan terhadap pengobatan
sehingga perlunya terapi golongan sering terjadi. Berdasarkan bukti yang
kortikosteroid yang akan berfungsi ada yang menunjukkan bahwa risiko
sebagai imunosupressan. Kemudian toksisitas sangat rendah untuk dosis di
pada vaskulitis lupus erythematosus di bawah 5 mg/kgBB sebenarnya, dosis
berikan terapi spesifik yaitu terapi harian tidak boleh melebihi ambang
golongan kortikosteroid cream dan batas ini (EULAR 2019: LOE 3B,
salep antibiotic yaitu Momethason GOR C).12
furoat 0.1% cream 2x sehari pada
Glukokortikoid dapat
bercak diwajah dan di telapak tangan
meredakan gejala secara cepat
dan kaki dan juga di berikan terapi Na
(EULAR 2019: LOE 2B, GOR C),
Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka
namun tujuan jangka menengah hingga
lecet. Penanganan pada diagnosis
jangka panjang adalah meminimalkan
polyarthritis dan nefritis lupus di
dosis harian menjadi ≤7,5 mg/hari
berikan terapi mengikuti panduan
yang setara dengan prednison atau
terapi SLE derajat sedang namun di
menghentikannya (EULAR 2019:
kombinasikan dengan pemberian
LOE 1B, GOR B), karena terapi
kalsium karbonat sebagai terapi
glukokortikoid jangka panjang dapat
tambahan guna membantu pemenuhan
menimbulkan berbagai efek merugikan
kecukupan nutrisi sehingga diharapkan
termasuk kerusakan organ yang
dapat membantu mempercepat proses
ireversibel. Untuk tujuan ini, dua
penyembuhan.
pendekatan dapat dipertimbangkan: (1)
penggunaan metilprednisolon (MP)

64
intravena dengan berbagai dosis intravena pulse dosis tinggi (biasanya
(tergantung pada tingkat keparahan 250–1000 mg/hari selama 3 hari)
dan berat badan), yang memanfaatkan sering digunakan pada penyakit akut
efek non-genomik glukokortikoid yang yang mengancam organ (misalnya
cepat dan memungkinkan terjadinya ginjal, neuropsikiatri) setelah
dosis awal yang lebih rendah dan menyingkirkan infeksi dan
pengurangan glukokortikoid oral yang menurunkan dosis awal glukokortikoid
lebih cepat, dan (2) inisiasi awal agen oral (EULAR 2019: LOE 3B, GOR
IS, untuk memfasilitasi pengurangan C).12
dan akhirnya penghentian
glukokortikoid oral. Metilprednisolog

DAFTAR PUSTAKA

1. Alzokm SM, Ghanem SS. Hearing disorders in lupus patients: correlation with
duration and severity of the disease. Egypt Rheumatol Rehabil. 2022;49(1):1–7.

2. Chen H, Wang F, Yang Y, Hua B, Wang H, Chen J, et al. Characteristics of


Hearing Loss in Patients with Systemic Lupus Erythematosus. JCM.
2022;11(24):1–10.

3. Paraschou V, Chaitidis N, Papadopoulou Z, Theocharis P, Siolos P, Festas C.


Association of systemic lupus erythematosus with hearing loss: a systemic
review and meta-analysis. Rheumatol Int. 2021;41(4):681–9.

4. Polanski JF, Tanaka EA, Barros H, Chuchene AG, Miguel PTG, Skare TL.
Chloroquine, Hydroxychloroquine and Hearing Loss: A Study in Systemic
Lupus Erythematosus Patients. The Laryngoscope. 2021;131(3):1–4.

5. Alhassan E, Gendelman HK, Sabha MM, Hawkins-Holt M, Siaton BC. Bilateral


Retinal Vasculitis as the First Presentation of Systemic Lupus Erythematosus.
Am J Case Rep. 2021;22:1–4.

6. Ramires TG, Vieira L, Riso N, Moraes-Fontes MF. When systemic lupus


erythematosus affects vision: a rare presentation of this condition. BMJ Case
Rep. 2020;13(1):1–3.

65
7. Lee HJ, Kim SJ. Sudden visual loss in a patient with systemic lupus
erythematosus caused by a combination of the disease itself and drug toxicity.
Lupus. 2020;29(4):431–3.

8. Mukwikwi ER, Pineau CA, Vinet E, Clarke AE, Nashi E, Kalache F, et al.
Retinal Complications in Patients with Systemic Lupus Erythematosus Treated
with Antimalarial Drugs. J Rheumatol. 2020;47(4):553–6.

9. Abd Hamid A, Zakaria N, Masnon NA, Muhammed J, Wan Hitam WH.


Functional Visual Loss in a Young Patient With Systemic Lupus Erythematosus.
Cureus. 2021;13(12):1–5.

10. Cicarini WB, Duarte RCF, Ferreira KS, Loures CDMG, Consoli RV, Neiva
CLS, et al. Impact of markers of endothelial injury and hypercoagulability on
systemic lupus erythematosus. Lupus. 2020;29(2):182–90.

11. Yuan W, Guan F. Thrombosis and Anticoagulation Therapy in Systemic Lupus


Erythematosus. Mohammadi S, editor. Autoimmune Diseases. 2022;2022:1–8.

12. Fanouriakis A, Kostopoulou M, Alunno A, Aringer M, Bajema I, Boletis JN, et


al. 2019 update of the EULAR recommendations for the management of
systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis. 2019;78(6):736–45.

66

Anda mungkin juga menyukai