1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. SLE juga merupakan penyakit
inflamasi autoimun pada jaringan dan kompleks imun sehingga mengakibatkan
manifestasi klinis diberbagai sistem organ.
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang
berbeda.Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang menimbulkan kecacatan
1.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan pada
semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi
pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 9-14:1.
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di
rumah sakit. Dari 3 penelitian di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang
melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut :
antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE ; selama periode 5 tahun (1972-
1976) ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat (insiden sebesar 15
per 10.000 perawatan); antara tahun 1988-1990 (3 tahun) insiden rata-rata ialah
sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.
2
Pasien SLE, 90% adalah wanita dengan usia diantara 14 dan 45 tahun.
Penyakit ini tiga kali lebih sering ditemukan pada populasi keturunan Afrika-
Amerika. Frekuensi pada wanita dibanding pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1.
SLE awalnya digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar 1800-
an dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”,
melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan
serigala ( lupus adalah katta dalam bahasa latin yang berarti serigala).
1.3 Etiologi
3
Faktor-faktor yang berperan :
4
peningkatan hidroksilasi 16a dari estrone mengakibatkan peningkatan yang bermakna
konsentrasi 16a hidroksiestron. Metabolit 16 a lebih kuat dan merupakan feminising
estrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma
yang rendah, termasuk testosteron, dehidrotestosteron, dehidroepiandosteron (DHEA)
dan dehidroepianrosteron (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan oksidasi testosteron pada C-17 atau peningkatan aktivitas aromatase
jaringan. Konsentrasi androgen berkorelasi negatif dengan aktivitas penyakit.
Konsentrasi testosteron plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi
luteinising hormone (LH) ditemukan pada penderita SLE laki-laki. Jadi estrogen yang
berlebihan dengan aktivitas hormone androgen yang tidak adekuat pada laki-laki
maupun perempuan, mungkin bertanggung jawab terhadap perubahan respon imun.
Konsentrasi progesteron didapatkan lebih rendah pada penderita SLE perempuan
dibandingkan dengan kontrol sehat.
Prolactin (PRL) adalah hormon terutama berasal dari kelenjar hipofise
anterior, diketahui menstimulasi respon imun selular dan humoral, yang diduga
berperan dalam patogenesis SLE. Fungsi PRL menyerupai sitokin, yang mempunyai
aktivitas endokrin , paraktin dan autokrin. PRL diketahui menstimulasi sel T, sel
naturl killer, makrofag, neutrofil, sel hemopoietik CD34+ dan sel dendritik presentasi
antigen.
5
1.4 Patogenesis
Patogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,
faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik
memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada
saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun.
Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks
histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan
komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu
C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan
adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin3,6. Studi lain
mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human
Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita
lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4, atau
C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks
imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi
jaringan.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity
dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar
UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang
peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta
mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya
kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok
6
yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus,
berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik
aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.
Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada
penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel
permukaan dan apoptosis.
Saat awitan pertama pada SLE mungkin hanya mengenai satu sistem organ
(manifestasi tambahan muncul kemudian) atau multisistemik. Gambaran klinis
keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus SLE, walaupun
artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus.
7
Hampir semua pasien SLE mengalami artralgia dan mialgia, sebagian besar
mengalami artritis intermiten. Paling sering mengenai sendi antarfalang proksimal
(AFP) dan metakarpofalang (MKF) pada tangan, pergelangan tangan dan lutut ),
pembengkakan difus tanga dan kaki, dan tendosinovitis. Deformitas sendi jarang
terjadi dengan 10% pasien mengalami deformitas leher angsa (swan neck) jari tangan
dan pergeseran ulnar pada sendi Hal yang paling perlu diperhatikan adalah
kemungkinan adanya koinsidensi penyakit autoimun lain seperti Artritis reumatoid,
polymyositis, skleroderma atau manifestasi klinis penyakit-penyakit tersebut
merupakan bagian gejala SLE.
Ruam kulit merupakan manifestasi SLE pada kulit. Lesi muko-kutaneus yang
tampak sebagai bagian SLE dapat berupa reaksi fotosensitifitas, diskoid LE (DLE),
subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE) ,lupus profundus/ paniculitis,
alopecia, lesi vaskular berupa eritema periungual, livedo reticularis, telengiectasis,
fenomena raynud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak
dan dapat pula berupa bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis,
eritema atau depigmentasi pada bibir.
Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang
interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum,
perdarahan paru, atau shrinking lung syndrom.
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik.
Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial dan apabila terjadi
keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas bronkoalveolar. Biasanya
penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai rhonki dibasal. Keadaan ini
8
terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah
paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons
yang baik dengan pemberian steroid. Manifestasi paru yang jarang terjadi namun
mempunyai angka mortalitas angka mortalitas yang tinggi adalah sindroma distress
pernafasan dan perdarahan intraalveolar masif.
9
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar
terjadi setelah 5 tahun menderita SLE. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini 10 : 1
dengan puncak insiden antara 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada
umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
Pemeriksaan terhadap protein urine >500 mg/24 jam atau +3 semi kwantatif, adanya
cetakan granular, hemoglobin, tubuler, eritrosit tu gabungan serta pyuria (>5/LBP)
tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan serum kadar kreatinin menunjukkan
adanya keterlibatan pada penderita SLE.
Keluhan dispepsia yang dijumpai pada 50% pasien SLE, lebih banyak
dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid. Pankreatitis akut dapat timbul
dan menjadi parah akibat SLE aktif atau akibat terapi glukokortikoid dan azatioprin.
Peningkatan kadar amilase dapat mencerminkan pankreatitis, peradangan kelenjar
liur, atau makroamilasemia. Hepatomegali juga merupakan pembesaran organ yang
dapat dijumpai pada pasien SLE, disertai peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun
fosfatase alkali dan LDH.
10
Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada
penderita SLE. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan
servikal, dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak dan ukuran bervariasi sampai
3-4 cm. Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada penderita SLE adalah
splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa
infark atau berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan.
1.5.9 Hematologi
Anemia pada penyakit kronik terjadi pada sebagian pasien saat lupusnya aktif. Pada
sebagian pasien yang uji Coombsnya positif terjadi hemolisis. Hemolisis ini biasanya
berespon terhadap glukokortikoid dosis tinggi. Leukopenia sering ditemukan tetapi
jarang menyebabkan infeksi rekuren dan tidak memerluka terapi. Trombositopeni
ringan sering terjadi, trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi
pada 5% dan harus di terapi dengan glukokortikoid dosis tinggi.
1.6 Diagnosis
11
2. Gejala konstitusional : kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.
Tatalaksana
12
BAB II
ILUSTRASI KASUS
13
Luka pada mulut sejak 1 minggu yang lalu, luka hilang timbul, luka di daerah
langit mulut dan bibir, nyeri tidak dirasakan pada luka.
Demam meningkat sejak 1 minggu yang lalu demam terus menerus, demam
tidak disertai keringat malam dan menggigil.
Batuk berdahak sejak 1 minggu yang lalu, dahak warna kekuningan batuk
berdarah tidak ada.
Sesak napas tidak ada, sesak saat berbaring telentang tidak ada, riwayat
terbangun malam hari karena sesak tidak ada, sesak saat aktifitas tidak ada.
Mual dan muntah tidak ada.
Nyeri kepala tidak ada.
Riwayat kejang tidak ada.
Buang air kecil berwana kuning tua sejak 1 minggu terakhir, frekuensi 3x
sehari, dengan volume buang air kecil 100-200cc / hari
Buang air besar biasa berwarna kuning kecoklatan, konsistensi padat. Buang
air besar berwarna hitam tidak ada.
14
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi
Pasien seorang tamatan SMA, anak kedua dari empat bersaudara. Pasien
merupakan ibu rumah tangga.
Pasien tinggal bersama ayah, ibu, suami pasien, kakak dan ke dua adiknya.
Pasien tinggal dirumah permanen, ventilasi baik, pencahayaan cukup, dan
kebersihan ruangan baik,
Pasien sudah menikah, dan sudah memiliki 1 orang anak dengan lahir normal
berusia 5 tahun.
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis Cooperative
Kesadaran Umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 128/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 115x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu : 37.7°C
Saturasi Oksigen : 99% on free air
BB : 49 kg
TB : 150 cm
BMI : 21.8 kg/m2 ( Normowight)
Kepala dan wajah : Normocephale
Rambut : Mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor diameter 3mm/3mm
Telinga : Liang telinga lapang, serumen (-)
Hidung : Cavum nasi lapang, sekret (-), polip (-)
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Rongga mulut :Oral ulcer (+), Tonsil T1-T1
Leher : JVP 5-2 cm H2O, kelenjar getah bening tidak teraba
15
Thorak
Paru depan
Inspeksi : Statis : normochest
Dinamis : Gerakan dinding dada simteris kiri dan
kanan
Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor di kedua paru
Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler , ronkhi basah halus
nyaring parasternal dextra dan sinistra setinggi RIC 4
dan RIC 5, wheezing tidak ada
Paru belakang
Inspeksi : Statis : tidak terdapat kelainan tulang belakang
Dinamis : Gerakan dinding dada simetris kiri dan
kanan
Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor di kedua paru
Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler, ronkhi basah halus
nyaring setinggi Thorakal 4 hingga thorakal 5 di keuda
paru, wheezing tidak ada
X X X X
X X X X
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
16
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial di ICS V LMCS, luas
1 jari, kuat angkat.
Perkusi : Batas jantung kanan LSD, batas jantung kiri 1 jari
medial LMCS RIC V, batas jantung atas RIC II kiri,
Pinggang jantung (+)
Auskultasi : BJ S1 SII reguler, irama regular, M1>M2, A2>P2,
murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membuncit, venektasi (-), vena
kolateral (-)
Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+), Murphy sign (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2detik, edema -/-, Plak eritema,
purpura serta krusta kemerahan
Genital dan anorectal : tidak terdapat kelainan.
Pemeriksaan sendi
Sendi Inpeksi Palpasi ROM
Sholder Joint Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
Bilateral kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
Elbow Joint Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
Bilateral kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
17
Wrist Join Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
Bilateral kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
MCP Bilateral Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
PIP Bilateral Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
MTP II-V Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
IP I Bengkak (-), nyeri tekan (-) Bebas
kemerahan (-),
kaku (-),
deformitas (-)
Genu Bilateral Bengkak (-), nyeri tekan (+) Terbatas
kemerahan (-),
kaku (+),
deformitas (-)
Ankle joint Bengkak (-), nyeri tekan (+) Terbatas
bilateral kemerahan (-),
kaku (+),
deformitas (-)
Phalanges Bengkak (-), Nyeri tekan (+) Terbatas
Proximales kemerahan (-),
18
kaku (+),
deformitas (-)
Hasil Laboratorium
Hemoglobin 10.3 g/dl
MCV 92 fL
MCH 31 pg
MCHC 33 %
Leukosit 3640 mm3
Hematokrit 31%
Trombosit 152.000 mm3
LED 58 U/L
Basofil 0
Eosinofil 0
Neutrofil batang 2
Neutrofil Segmen 77
Limfosit 18
Monosit 3
Kesan : Anemia, Leukopenia
Urinalisa
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna : Kuning Tua Leukosit : 18-20/LPB Protein : Protein +2
Kekeruhan : Positif Eritrosit : 1-2/LPB Glukosa : Negatif
BJ : 1.020 Silinder : Positif Bilirubin : Negatif
pH : 5.0 Kristal : Negatif Urobilinogen : Negatif
19
Bakteri : Positif Epitel : Positif Nitrit : Negatif
Feses Rutin
Makroskopis Mikroskopis
Warna : Coklat Leukosit 0-1/LPB
Konsistensi: Padat Eritrosit 0-1/LPB
Darah : Negatif Amuba Negatif
Lendir : Negatif Ascaris Negatif
Protein :- Acylostoma D Negatif
Lemak :- Oxyuris V Negatif
Karbohidrat: - Trichiuris T Negatif
Kesan : Dalam Batas Normal
20
Leukopenia ( <4000)
Trombositopenia
Hipotermia
Hipotensi yang membutuhkan resusitasi
Interpretasi 1 minor ( severe jika Mayor 1 atau 3 Minor ditemukan)
Kesan :CAP Non severe
21
Gangguan ginjal -
Gangguan neurologi -
Gangguan hematologi +
Gangguan imunologi -
Antibodi antinuklear positif (ANA) Belum dilakukan pemeriksaan
Total Skor 5
Daftar masalah :
Vaskulitis
Oral Ulcer
Poliartritis
Demam
Leukopenia
Proteinuria
22
Diagnosis kerja :
Diagnosis Primer
Systemic lupus erythematosus derajat sedang
Diagnosis Sekunder
Vaskulitis Lupus
Nefritis lupus
Community Aquired Pneumonia non severe low risk MDR
Hearing and Speech disorder
Terapi :
Istirahat
Diet makan lunak 1900 (285 kkal protein, 570 kkal Lemak, 1045 kkal
Karbohidrat)
IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
Inj Ampisilin Sulbaktam 4x1.5gr IV
Pemeriksaan Anjuran:
Pemeriksaan Faal Ginjal (ureum dan creatinin)
Pemeriksaan faal hepar ( SGOT, SGPT, albumin, dan globulin)
Pemeriksaan Elektrolit (natrium, kalium, clorida)
Rontgen thorak
Kutur sputum
Anti HCV
HBsAg
23
Follow up Kamis, 18 Januari 2024 pukul 17:50 WIB
S/
Luka dimulut +, nyeri sendi +, demam + batuk dahak +, keluhan kemerahan pada
telapak tangan dan kaki +
O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 117/69 mmHg 94x/min 18x/min 36.9°C 99%
Advis :
IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
Inj Metilprednison 2x125mg ( 3 hari ) hari 1
Hydroxychloroquin 1x200mg po
Osteocal 1x1000 po
Lansopazole 1x30mg po
Anjuran pemeriksaan:
PT/APTT
D-Dimer
Cek Ana Profil
24
Follow up Jumat, 19 Januari 2024 pukul 06:30 WIB
S/
Luka dimulut +, nyeri sendi +, demam + batuk dahak +, keluhan kemerahan pada
telapak tangan dan kaki +
O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 110/70 mmHg 92x/min 19x/min 36.5°C 99%
25
Hasil Laboratorium
SGOT 490 U/L
SGPT 101U/L
Albumin 2.5 g/dL
Globulin 4.4 g/dL
Bil Indirek 0.4 mg/dL
Bil Direk 1.5 mg/dL
Na/K/Cl 135/4.3/92
Ur/Cr 56/0.7
GDS 81
PT 10.7
APTT 27.7
D-Dimer 3077
Anti HCV Negatif
HBsAg Negatif
Advis :
IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
Inj Metilprednison 2x125mg ( 3 hari ) hari ke 2
Hydroxychloroquin 1x200mg po
Kalsium karbonat 1x1000 po
Lansopazole 1x30mg po
Follow Up Ana Profil
26
Konsul Konsultan Pulmonologi
Kesan :
CAP non severe low risk MDR
Advis :
Inj Ampisilin Sulbaktam 4x1.5gr
Paracetamol 3x500 po
Asetilsistein 3 x 200 mg po
Kultur Sputum
Advis :
UDCA 3x250 mg PO
USG Abdomen
27
Kesan :
Vaskulitis Lupus
Advis :
USG Doppler Vaskular Ekstremitas
Advis :
Warfarin 1x2mg po
Konsul Kulit
Kesan :
Vaskulitis Lupus Erythematosis
Advis :
Momethason furoat 0.1% cream 2x sehari pada bercak diwajah dan di telapak
tangan dan kaki
Na Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka lecet
Advis :
Rencana dilakukan pemeriksaan BERA, Audiometri di poli
28
A/
Diagnosis Primer
lupus erythematosus derajat sedang
Diagnosis Sekunder
Vaskulitis Lupus
Nefritis Lupus
Lupoid hepatitis
CAP non severe low risk MDR
Hiperkoaguable state
Hearing and Speech disorder
Sensorineural Hearing loss
P/
Istirahat
Diet makan lunak 1900 (285 kkal protein, 570 kkal Lemak, 1045 kkal
Karbohidrat)
IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
Inj Ampisilin Sulbaktam 4x1.5gr IV
Inj Metilprednison 2x125mg ( 3 hari ) hari ke 2
Kalsium karbonat 1x1000mg
Hidrokloroquin 1x200mg
UDCA 3x250
Warfarin 1x2mg po
Momethason furoat 0.1% cream 2x sehari pada bercak diwajah dan di telapak
tangan dan kaki
29
Na Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka lecet
O/
Kesadaran TD HR RR T SpO2
CMC 108/70 mmHg 75x/min 20x/min 36.8°C 99%
30
Hati Normal
Permukaan rata
Parenkim Homogen
Parenkim halus
Pinggir tajam
Vena tidak membesar
SOL (-)
Vena Portal Normal
Kandung Empedu Normal
Dinding tebal
Batu (-), Polip (-)
Pankreas Normal
Lien Normal
Kesan : Cholesistitis
31
Keluar Hasil ANA Profile
RNP/Sm (RNP/Sm) +
Sm (Sm) -
SSA- Native (60 kDa)(SSA) -
Ro-52 recombinant (52) +
SS-B (SSB) -
Scl-70 -
PM-Scl 100 (PM 100) -
Jo-1 (Jo) -
Centromere B (CB) -
PCNA (PCNA) -
dsDNA (DNA) ++
Nucleosome (NUC) ++
Histones ( HI ) +
Ribosomal Protein (RIB) ++
AMA-M2 (M2) ++
DFS70 (DFS70) +++
Control +++
Kesan : Lupus eritematosus sistemik
Advis :
IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
Inj Metilprednison 2x62.5mg ( 3 hari ) hari 2
32
Hydroxychloroquin 1x200
Kalsium karbonat 1x1000 po
Advis :
UDCA 3x250 mg PO
Cek AFP
33
Advis :
Warfarin 1x2mg
A/
Diagnosis Primer
lupus erythematosus derajat sedang
Diagnosis Sekunder
Vaskulitis Lupus
Susp Nefritis Lupus
Gangguan Faal Hepar e.c susp hepatitis autoimun
CAP non severe low risk MDR
Hiperkoaguable state
Hearing and Speech disorder
Delayed disorder e.c ??
P/
Istirahat
Diet makan lunak 1900 (285 kkal protein, 570 kkal Lemak, 1045 kkal
Karbohidrat)
IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
Inj Ampisilin Sulbaktam 4x1.5gr IV
Inj Metilprednison 2x62.5 ( 3 hari ) hari ke 2
Kalsium karbonat 1x1000mg
Hidrokloroquin 1x200mg
UDCA 3x250 mg po
Warfarin 1x2mg
Momethason furoat 0.1% cream 2x sehari pada bercak diwajah dan di telapak
tangan dan kaki
34
Na Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka lecet
Hasil Laboratorium
Hb 10.4 g/dL
Ht 31 %
Leukosit 9870
Trombosit 217.000
SGOT 133 U/L
SGPT 72U/L
Bilirubin Indirek 0 mg/dL
Bilirubin Direk 0.1 mg/dL
Albumin 2.5 g/dL
Globulin 3 g/dL
Na/K/Cl 137/3.3/112
Ur/Cr 30/0,4
Alkali Fosfatase 204 U/L
35
Advis :
IVFD NaCl 0.9% 1 kolf/8 jam
Metilpredison 16mg-8mg-8mg PO
Hydroxychloroquin 1x200mg PO
Osteocal 1x1000 po
ACC rawat jalan
Advis :
UDCA 3x250 mg PO
Acc rawat jalan
36
Konsul Konsultan Hematologi Onkologi
Kesan :
Hiperkoaguble state
Advis :
Warfarin 1x2mg
ACC rawat jalan
A/
Diagnosis Primer
lupus erythematosus derajat sedang
Diagnosis Sekunder
Susp Nefritis Lupus
Vaskulitis Lupus Erythematosis
CAP non severe low risk MDR
Kolesistitis
Vaskulitis Lupus Erythematosis
Hiperkoaguble state
P/
Istirahat
Diet makan lunak 1900 (285 kkal protein, 570 kkal Lemak, 1045 kkal
Karbohidrat)
Metilprednoson 16mg-8mg-8mg PO
Kalsium karbonat 1x1000mg
Hidrokloroquin 1x200mg
UDCA 3x250 mg PO
Warfarin 1x2mg
37
Momethason furoat 0.1% cream 2x sehari pada bercak diwajah dan di telapak
tangan dan kaki
Na Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka lecet
38
BAB II
DISKUSI KASUS
39
Pada kasus ini pasien memiliki gangguan pendengaran. Systemic lupus
erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun prototipik dengan keterlibatan multi-
sistem dan beragam manifestasi klinis yang sebelumnya telah dilaporkan
menyebabkan gangguan pendengaran, dimana sensorineural hearing loss (SNHL)
adalah yang paling umum. Beberapa pasien juga mungkin menunjukkan gejala
vestibular dan pendengaran termasuk tinitus dan vertigo. Diperkirakan bahwa
hearing loss terkait dengan pengendapan kompleks imun di stria vaskularis dan
kantung endolimfatik serta kerusakan sitotoksik yang dimediasi sel pada sel rambut
koklea dan vestibular. Namun, sebagian besar penelitian terkini mengenai
karakteristik hearing loss pada SLE memiliki ukuran sampel yang kecil dan hasil
yang tidak konsisten, serta faktor yang mempengaruhi dan mekanisme terkait masih
belum jelas. Misalnya, sebuah penelitian menemukan bahwa tingkat pendengaran
pasien dengan lupus nefritis lebih rendah dibandingkan pasien tanpa lupus nefritis,
dan penggunaan hydroxychloroquine (HCQ) mungkin memperburuk gangguan
pendengaran pada SLE, sementara penelitian lain menunjukkan bahwa tingginya
prevalensi hearing loss pada SLE tidak dipengaruhi oleh penggunaan obat
antimalaria.1,2
40
0,63). Pada frekuensi 8.000 Hz, pengguna obat antimalaria yang bukan pengguna
obat memiliki kinerja yang lebih buruk dibandingkan pengguna (10,00 vs. 22,50; P =
0,03). Timpanometri normal pada
Pada kasus ini di dapati juga hasil laboratorium yang menunjukan adanya
hiperkoaguble state, hal ini sangat terkait erat dengan SLE dimana hal ini merupakan
bagian dari manifestasi gejala akibat autoimun. Secara khusus, terjadi akibat kaskade
koagulasi dan sistem komplemen dapat berinteraksi satu sama lain secara tidak
langsung melalui regulasi mediator inflamasi. Misalnya, interaksi antara C5a dan
sitokin inflamasi telah dibuktikan, termasuk efek pada produksi faktor nekrosis tumor
(TNF)-α dan interleukin (IL)-6. Kemudian, sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi
kaskade koagulasi dengan meningkatkan ekspresi koagulan dan menghambat
produksi antikoagulan sehingga terjadi kondisi hiperkoagulasi.
41
Dilaporkan kasus mengenai kejadian trombosis pada pasien SLE. Risiko
trombosis yang berlebihan pada SLE bergantung pada adanya kelainan yang spesifik
untuk penyakit tersebut, termasuk kadar C3 yang rendah, antibodi antifosfolipid
(aPL) (khususnya lupus anticoagulant [LAC]) dan sindrom nefrotik. Faktor lain yang
berhubungan dengan pengobatan SLE seperti prednison dapat semakin meningkatkan
risiko trombosis. Penelitian terbaru melaporkan bahwa faktor yang berkontribusi
terhadap trombosis pada lupus terutama terkait dengan faktor utama seperti cedera
endotel vaskular yang disebabkan oleh autoantibodi, neutrophil extracellular traps
(NET), reseptor scavenger, gangguan jalur protein C, dan pengobatan
glukokortikoid.11
Pada kasus ini di lakukan penatalaksanaan terapi Inisiasi SLE derajat sedang
yaitu dengan kombinasi Metilprednison 2x125mg I.V dan Hydroxychloroquin
1x200mg P.O, dimana yang kita ketahui pada kasus SLE merupakan penyakit
autoimun, sehingga perlunya terapi golongan kortikosteroid yang akan berfungsi
sebagai imunosupressan. Kemudian pada vaskulitis lupus erythematosus di berikan
terapi spesifik yaitu terapi golongan kortikosteroid cream dan salep antibiotic yaitu
Momethason furoat 0.1% cream 2x sehari pada bercak diwajah dan di telapak tangan
42
dan kaki dan juga di berikan terapi Na Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka lecet.
Penanganan pada diagnosis polyarthritis dan nefritis lupus di berikan terapi mengikuti
panduan terapi SLE derajat sedang namun di kombinasikan dengan pemberian
kalsium karbonat sebagai terapi tambahan guna membantu pemenuhan kecukupan
nutrisi sehingga diharapkan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan.
Glukokortikoid dapat meredakan gejala secara cepat (EULAR 2019: LOE 2B,
GOR C), namun tujuan jangka menengah hingga jangka panjang adalah
meminimalkan dosis harian menjadi ≤7,5 mg/hari yang setara dengan prednison atau
menghentikannya (EULAR 2019: LOE 1B, GOR B), karena terapi glukokortikoid
jangka panjang dapat menimbulkan berbagai efek merugikan termasuk kerusakan
organ yang ireversibel. Untuk tujuan ini, dua pendekatan dapat dipertimbangkan: (1)
penggunaan metilprednisolon (MP) intravena dengan berbagai dosis (tergantung pada
tingkat keparahan dan berat badan), yang memanfaatkan efek non-genomik
glukokortikoid yang cepat dan memungkinkan terjadinya dosis awal yang lebih
rendah dan pengurangan glukokortikoid oral yang lebih cepat, dan (2) inisiasi awal
agen IS, untuk memfasilitasi pengurangan dan akhirnya penghentian glukokortikoid
oral. Metilprednisolog intravena pulse dosis tinggi (biasanya 250–1000 mg/hari
selama 3 hari) sering digunakan pada penyakit akut yang mengancam organ
(misalnya ginjal, neuropsikiatri) setelah menyingkirkan infeksi dan menurunkan dosis
awal glukokortikoid oral (EULAR 2019: LOE 3B, GOR C).12
43
Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)
Abstrak
Pendahuluan: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi patogen dan
kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi sebagai
“lesi kulit seperti kupu-kupu” di wajah, perikarditis, kelainan ginjal, artritis, anemia dan
gejala-gejala susunan saraf pusat. Penyakit lupus bukanlah penyakit yang menular namun
termasuk penyakit yang mematikan. Berdasarkan data dari SIRS Online pada tahun 2016
terdapat 2.116 pasisen menderita penyakit lupus dan 550 pasien meninggal dunia. Penyakit
lupus sulit dideteksi karena gejalanya mirip dengan penyakit lain. Insidensi SLE di USA
Cukup tinggi yaitu sebesar 52 Kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio gender Wanita dan
pria antara 9-14 : 1. Laporan Kasus: Seorang pasien perempuan 24 tahun dirawat dengan
diagnosis SLE derajat sedang, vaskulitis lupus erythematosus, Poliarthritis dan Susp nefritis
lupus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya Bintik-bintik kemerahan pada telapak
tangan dan kaki, rambut yang mudah rontok, ulkus pada daerah mulut, serta nyeri pada
kedua lutut dan kedua Ankle. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia, leukopenia
serta Proteinuri. Pada skoring kriteria diagnosis SLE berdasarkan ACR 1997 di peroleh skor
5 dan SLE MEX-SLEDAI di peroleh skor 10. Tatalaksana spesifik untuk penangan kasus
SLE yang diberikan pada pasien ini adalah dengan pemberian terapi inisiasi SLE yaitu
kombinasi metilprednisolon dan hydroxychloroquin. Kesimpulan: Penegakan diagnosis SLE
dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
sesuai. Dalam penanganan kasus SLE terapi harus secepatnya di berikan untuk mencegah
kerusakan organ yang lebih parah, dimana kita tahu bahwa ini adalah kasus autoimun.
44
Abstract
45
PENDAHULUAN negara sangat bervariasi dan lebih
Definisi sering ditemukan pada ras tertentu
luas, yang mempengaruhi setiap organ Peyakit ini dapat ditemukan pada
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini semua usia, tetapi paling banyak pada
bervariasi mulai dari penyakit yang yang berbeda diperoleh data sebagai
46
ialah sebesar 37,7 per 10.000 penyebab SLE belum diketahui,
perawatan. diduga faktor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada
Pasien SLE, 90% adalah wanita
patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh
dengan usia diantara 14 dan 45 tahun.
kehilangan kemampuan untuk
Penyakit ini tiga kali lebih sering
membedakan antigen dari sel dan
ditemukan pada populasi keturunan
jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan
Afrika- Amerika. Frekuensi pada
reaksi imunologi ini akan
wanita dibanding pada pria berkisar
menghasilkan antibodi secara terus
antara (5,5-9) : 1.
menerus. Antibody ini juga berperan
SLE awalnya digambarkan sebagai dalam pembentukan kompleks imun
suatu gangguan kulit, pada sekitar sehingga mencetuskan penyakit
1800-an dan diberi nama lupus karena inflamasi imun sistemik dengan
sifat ruamnya yang berbentuk “kupu- kerusakkan multiorgan. Dalam
kupu”, melintasi tonjolan hidung dan keadaan normal, sistem kekebalan
meluas pada kedua pipi yang berfungsi mengendalikan pertahanan
menyerupai gigitan serigala ( lupus tubuh dalam melawan infeksi. Pada
adalah katta dalam bahasa latin yang lupus dan penyakit autoimun lainnya,
berarti serigala). sistem pertahanan tubuh ini berbalik
47
ribonuclearm protein), anti-Ro, anti-
La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear
protein) dan anti-DNA. Gen HLA
kelas III, khususnya yang mengkode
komponen komplemen C2 dan C4,
memberikan resiko SLE pada
kelompok etnik tertentu. Selain itu
SLE berhubungan dengan pewarisan
Faktor Genetik. defisiensi C1q, C1r/s dan C2.
Kejadian SLE lebih tinggi pada Penurunan aktivitas komplemen
kembar monozigotik (25%) dibanding meningkatkan kepekaan terhadap
dengan kembar dizigotik (3%), antigen diri sendiri maupun antigen
peningkatan frekuensi SLE pada asing. Jika beban antigen melebihi
keluarga penderita SLE dibanding kapasitas pembersih dari sistem imun,
dengan kontrol sehat dan peningkatan maka autoimunitas mungkin terjadi.
prevalensi SLE pada kelompok etnik
tertentu, menguatkan dugaan bahwa
faktor genetik berperan dalam Faktor Homoral.
patogenesis SLE. SLE penyakit yang lebih banyak
Elemen genetik yang paling banyak menyerang perempuan. Metabolisme
diteliti kontribusinya terhadap SLE estrogen yang abnormal telah
pada manusia adalah gen dari ditunjukkan pada kedua jenis kelamin,
kompleks Histokompatibilitas Mayor dimana peningkatan hidroksilasi 16a
(MHC). Penelitian populasi dari estrone mengakibatkan
menunjukkan bahwa kepekaan peningkatan yang bermakna
terhadap SLE melibatkan konsentrasi 16a hidroksiestron.
polimorfisme dari gen HLA (human Metabolit 16 a lebih kuat dan
leucocyte antigen) kelas II. HLA merupakan feminising estrogen.
berhubungan dengan adanya antibody Perempuan dengan SLE juga
tertentu seperti anti-Sm (small nuclear mempunyai konsentrasi androgen
48
plasma yang rendah, termasuk menstimulasi sel T, sel naturl killer,
testosteron, dehidrotestosteron, makrofag, neutrofil, sel hemopoietik
dehidroepiandosteron (DHEA) dan CD34+ dan sel dendritik presentasi
dehidroepianrosteron (DHEAS). antigen.
Abnormalitas ini mungkin disebabkan Faktor Lingkungan.
oleh peningkatan oksidasi testosteron Agen infeksi virus Epstein-Barr (EBV)
pada C-17 atau peningkatan aktivitas mungkin menginduksi respon spesifik
aromatase jaringan. Konsentrasi melalui kemiripan molekular
androgen berkorelasi negatif dengan (molecular mimicry) dan gangguan
aktivitas penyakit. Konsentrasi terhadap regulasi imun. Diet
testosteron plasma yang rendah dan mempengaruhi produksi mediator
meningkatnya konsentrasi luteinising inflamasi, toksin/obat-obatan
hormone (LH) ditemukan pada memodifikasi respon selular dan
penderita SLE laki-laki. Jadi estrogen imunogenitas dari self antigen dan
yang berlebihan dengan aktivitas agen fisik/kimia seperti sinar
hormone androgen yang tidak adekuat ultraviolet (UV) dapat memnyebabkan
pada laki-laki maupun perempuan, inflamasi, memicu apoptosis sel dan
mungkin bertanggung jawab terhadap menyebabkan kerusakan jaringan.
perubahan respon imun. Konsentrasi Patogenesis
progesteron didapatkan lebih rendah
Patogenesis dari SLE masih belum
pada penderita SLE perempuan
diketahui secara jelas, dimana terdapat
dibandingkan dengan kontrol sehat.
banyak bukti bahwa patogenesis SLE
Prolactin (PRL) adalah hormon
bersifat multifaktoral seperti faktor
terutama berasal dari kelenjar hipofise
genetik, faktor lingkungan, dan faktor
anterior, diketahui menstimulasi
hormonal terhadap respons imun.
respon imun selular dan humoral, yang
Faktor genetik memegang peranan
diduga berperan dalam patogenesis
pada banyak penderita lupus dengan
SLE. Fungsi PRL menyerupai sitokin,
resiko yang meningkat pada saudara
yang mempunyai aktivitas endokrin ,
kandung dan kembar monozigot.
paraktin dan autokrin. PRL diketahui
49
Penelitian terakhir menunjukkan Defisiensi C1q menyebabkan sel
bahwa banyak gen yang berperan fagosit gagal membersihkan sel
terutama gen yang mengkode unsur- apoptosis sehingga komponen nuklear
unsur sistem imun. Diduga akan menimbulkan respon imun6.
berhubungan dengan gen respons imun
Faktor lingkungan dapat menjadi
spesifik pada kompleks
pemicu pada penderita lupus, seperti
histokompabilitas mayor kelas II, yaitu
radiasi ultra violet, tembakau, obat-
HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
obatan, virus. Sinar UV mengarah
dengan komponen komplemen yang
pada self-immunity dan hilangnya
berperan dalam fase awal reaksi ikat
toleransi karena menyebabkan
komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4,
apoptosis keratinosit. Selain itu sinar
dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain
UV menyebabkan pelepasan mediator
yang mulai ikut berperan adalah gen
imun pada penderita lupus, dan
yang mengkode reseptor sel T,
memegang peranan dalam fase induksi
imunoglobulin dan sitokin3,6. Studi
yanng secara langsung mengubah sel
lain mengenai faktor genetik ini yaitu
DNA, serta mempengaruhi sel
studi yang berhubungan dengan HLA
imunoregulator yang bila normal
(Human Leucocyte Antigens) yang
membantu menekan terjadinya
mendukung konsep bahwa gen MHC
kelainan pada inflamasi kulit. Faktor
(Major Histocompatibility Complex)
lingkungan lainnya yaitu kebiasaan
mengatur produksi autoantibodi
merokok yang menunjukkan bahwa
spesifik. Penderita lupus (kira-kira
perokok memiliki resiko tinggi terkena
6%) mewarisi defisiensi komponen
lupus, berhubungan dengan zat yang
komplemen, seperti C2, C4, atau
terkandung dalam tembakau yaitu
C1q14-15. Kekurangan komplemen
amino lipogenik aromatik. Pengaruh
dapat merusak pelepasan sirkulasi
obat juga memberikan gambaran
kompleks imun oleh sistem fagositosit
bervariasi pada penderita lupus.
mononuklear sehingga membantu
Pengaruh obat salah satunya yaitu
terjadinya deposisi jaringan.
dapat meningkatkan apoptosis
50
keratinosit. Faktor lingkungan lainnya Saat awitan pertama pada SLE
yaitu peranan agen infeksius terutama mungkin hanya mengenai satu sistem
virus dapat ditemukan pada penderita organ (manifestasi tambahan muncul
lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, kemudian) atau multisistemik.
dapat mempengaruhi ekspresi sel Gambaran klinis keterlibatan sendi
permukaan dan apoptosis. atau muskuloskeletal dijumpai pada
90% kasus SLE, walaupun artritis
Faktor ketiga yang mempengaruhi
sebagai manifestasi awal hanya
patogenesis lupus yaitu faktor
dijumpai pada 55% kasus.
hormonal. Mayoritas penyakit ini
menyerang wanita muda dan beberapa Gejala Konstitusional: Kelelahan,
penelitian menunjukkan terdapat Penurunan Berat Badan, Demam, serta
hubungan timbal balik antara kadar gejala lainnya seperti rambut rontok,
hormon estrogen dengan sistem imun. hilang nafsu makan, pembesaran KGB,
Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal Sakit kepala, mual dan muntah.
sehingga mengakibatkan produksi
Pada kasus SLE memiliki gejala khas
autoantibodi berlebihan pada pasien
berupa manifestasi sesuai organ tubuh:
LES. Autoantibodi pada lupus
kemudian dibentuk untuk menjadi Manifestasi muskulosekeletal
antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Hampir semua pasien SLE mengalami
Selain itu, terdapat antibodi terhadap artralgia dan mialgia, sebagian besar
struktur sel lainnya seperti eritrosit, mengalami artritis intermiten. Paling
trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi sering mengenai sendi antarfalang
terlibat dalam pembentukan kompleks proksimal (AFP) dan metakarpofalang
imun, yang diikuti oleh aktivasi (MKF) pada tangan, pergelangan
komplemen yang mempengaruhi tangan dan lutut ), pembengkakan
respon inflamasi pada banyak jaringan, difus tanga dan kaki, dan
termasuk kulit dan ginjal tendosinovitis. Deformitas sendi jarang
51
jari tangan dan pergeseran ulnar pada Manifestasi Paru
sendi Hal yang paling perlu
Berbagai manifestasi klinis pada paru-
diperhatikan adalah kemungkinan
paru dapat terjadi baik berupa radang
adanya koinsidensi penyakit autoimun
interstitial parenkim paru
lain seperti Artritis reumatoid,
(pneumonitis), emboli paru, hipertensi
polymyositis, skleroderma atau
pulmonum, perdarahan paru, atau
manifestasi klinis penyakit-penyakit
shrinking lung syndrom.
tersebut merupakan bagian gejala SLE.
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara
Manifestasi Kulit
akut atau berlanjut menjadi kronik.
Ruam kulit merupakan manifestasi Pada keadaan akut perlu dibedakan
SLE pada kulit. Lesi muko-kutaneus dengan pneumonia bakterial dan
yang tampak sebagai bagian SLE apabila terjadi keraguan dapat
dapat berupa reaksi fotosensitifitas, dilakukan tindakan invasive seperti
diskoid LE (DLE), subacute bilas bronkoalveolar. Biasanya
cutaneous lupus erythematosus penderita akan merasa sesak, batuk
(SCLE) ,lupus profundus/ paniculitis, kering, dan dijumpai rhonki dibasal.
alopecia, lesi vaskular berupa eritema Keadaan ini terjadi sebagai akibat
periungual, livedo reticularis, deposisi kompleks imun pada alveolus
telengiectasis, fenomena raynud’s atau atau pembuluh darah paru, baik
vaskulitis atau bercak yang menonjol disertai vaskulitis atau tidak.
berwarna putih perak dan dapat pula Pneumonitis lupus ini memberikan
berupa bercak eritema pada palatum respons yang baik dengan pemberian
mole dan durum, bercak atrofis, steroid. Manifestasi paru yang jarang
eritema atau depigmentasi pada bibir. terjadi namun mempunyai angka
mortalitas angka mortalitas yang tinggi
Ruam malar ( kupu-kupu) adalah ruam
adalah sindroma distress pernafasan
eritematosa persisten, datar atau
dan perdarahan intraalveolar masif.
meninggi, dipipi dan pangkal hidung,
sering meluas kedagu dan teliga. Ruam Hemoptisis merupakan keadaan yang
ini bersifat fotosensitif. serius apabila merupakan bagian dari
52
perdarahan paru akibat SLE ini dan Usia muda dengan gejala penyakit
memerlukan penanganan yang tepat, yang panjang serta penggunaan steroid
dimana tidak hanya penggunaan jangka panjang.
steroid namuntindakan pengobatan
Valvulitis, gangguan konduksi serta
lain seperti lasmafaresis atau
hipertensi menyerupai komplikasi lain
pemberian sitostatiska.
yang juga sering dijumpai pada
Manifestasi Kardiologis penderita SLE . vegetasi pada katup
jantung merupakan akumulasi pada
Perikardium, miokardium,
kompleks imun, sel mononuklear,
endokardium ataupun pembuluh darah
jaringan nekrosis, jaringan parut,
koroner dapat terlibat pada penderita
hematoxyin bodies , fibrin dan
SLE, walaupun yang paling banyak
trombus trombosit. Manifestasi yang
terkena adalah perikardium. Efusi
sering dijumpai adalah bising jantung
dapat terjadi dan kadang-kadang
sistolik dan diastolik.
temponade.
Manifestasi Renal
Perikarditis harus dicurigai apabila
dijumpai adanya keluhan nyer sub- Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-
sternal, friction rub, gambaran 75% penderita yang sebagian besar
silhouete sign foto dada, ataupun terjadi setelah 5 tahun menderita SLE.
melalui gambaran EKG, Rasio wanita : pria dengan kelainan ini
Echocardiografi. Apabila dijumpai 10 : 1 dengan puncak insiden antara
adanya ritmia atau gangguan konduksi, 20-30 tahun. Gejala atau tanda
kardiomegali bahkan takikardi yang keterlibatan renal pada umumnya tidak
tidak jelas penyebabnya, maka tampak sebelum terjadi kegagalan
kecurigaan adanya miokarditis perlu ginjal atau sindroma nefrotik.
dibuktikan lebih lanjut. Penyakit Pemeriksaan terhadap protein urine
jantung koroner dapat pula dijumpai >500 mg/24 jam atau +3 semi
pada penderita SLE dan bermanifestasi kwantatif, adanya cetakan granular,
sebagai angina pectoris, infark hemoglobin, tubuler, eritrosit tu
miokard atau gagal jantung kongestif. gabungan serta pyuria (>5/LBP) tanpa
53
bukti adanya infeksi serta peningkatan Hepatomegali juga merupakan
serum kadar kreatinin menunjukkan pembesaran organ yang dapat dijumpai
adanya keterlibatan pada penderita pada pasien SLE, disertai peningkatan
SLE. serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase
alkali dan LDH.
Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi Neuropsikiatri
Manifestasi gastrointestinal tidak
spesifik pada pasien SLE , karena Keterlibatan susunan saraf pusat dapat
dapat merupakan cerminan bermanifestasi sebagai epilepsi,
keterlibatan berbagai organ pada hemiparesis, lesi saraf kranial, lesi
penyakit ini atau sebagai akibat batang otak, meningitis aseptik atau
pengobatan. Disfagia merupakan myelitis transversal.
keluhan yang menonjol pada saat
Manifestasi Hemi-limfatik
penderita dalam keadaan tertekan dan
sifatnya episodik, walaupuntidak dapat Limfadenopati baik menyeluruh
54
Anemia pada penyakit kronik terjadi 1. Ruam malar Eritema menetap, rata atau
meninggi, di atas eminensia
pada sebagian pasien saat lupusnya malar, yang cenderung mengenai
lipatan nasolabial
aktif. Pada sebagian pasien yang uji
2. Ruam diskoid Makula eritematosa yang
Coombsnya positif terjadi hemolisis. meninggi dengan skala keratotik
adheren dan sumbatan folikel
Hemolisis ini biasanya berespon (jaringan parut atrofik dapat
terjadi pada lesi lama)
terhadap glukokortikoid dosis tinggi.
3. Fotosensitif Ruam kulit akibat reaksi sinar
matahari yang tidak biasa,
Leukopenia sering ditemukan tetapi berdasarkan anamnesis pasien
atau pengamatan dokter
jarang menyebabkan infeksi rekuren
4. Ulserasi oral Ulserasi oral atau nasofaring,
dan tidak memerluka terapi. biasanya tidak nyeri, yang
diamati oleh dokter
Trombositopeni ringan sering terjadi,
5. Radang sendi Arthritis non-erosive yang
trombositopenia berat disertai melibatkan ≥2 sendi perifer,
yang ditandai oleh nyeri,
perdarahan dan purpura terjadi pada bengkak, atau efusi
55
darah ATAU salah satunya ANA positif, maka
(B) Leukopenia: <4000/mm 3
sangat mungkin LES dan diagnosis
pada ≥ 2 kali pemeriksaan
ATAU bergantung pada pengamatan klinis.
(C) Limfopenia: <1500/mm3 Bila hasil tes ANA negatif, maka
pada ≥ 2 kali pemeriksaan
ATAU kemungkinan bukan LES. Apabila
(D) Trombositopenia: hanya tes ANA positif dan manifestasi
<100.000/mm3 tanpa adanya
obat-obatan klinis lain tidak ada, maka belum tentu
10. Gangguan (A) Anti-DNA: Antibodi untuk LES, dan observasi jangka panjang
imun DNA asli dalam titer abnormal
ATAU diperlukan.
(B) Anti-Sm: Adanya antibodi
terhadap antigen Sm nuklear Kecurigaan akan penyakit SLE bila
ATAU
dijumpai 2 atau lebih keterlibatan
(C) Temuan positif antibodi
antifosfolipid berdasarkan: (1) organ sebagaimana terantum dibawah
tingkat IgG serum abnormal atau
antibodi IgM anticardiolipin, (2) ini, yaitu :
hasil tes positif untuk
antikoagulan lupus dengan
menggunakan metode standar, 1. Jender wanita pada usia rentang
atau (3) sero-positif palsu untuk
tes sifilis positif paling tidak reproduksi
selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan imobilisasi Treponema
pallidum atau tes penyerapan 2. Gejala konstitusional : kelelahan,
fluorensens terhadap antibodi
treponemal demam (tanpa bukti infeksi) dan
11. Ab Suatu titer antibodi antinuclear penurunan berat badan.
antinuklear yang abnormal berdasarkan
pemeriksaan
immunofluorescence pada setiap
3. Muskuloskeletal : artritis, artralgia,
titik waktu dan tidak ada obat
yang diketahui terkait dengan
miositis.
sindroma lupus yang diinduksi
obat 4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly
Seseorang dapat didiagnosis dengan SLE jika ada atau malar rash), fotosensitivitas, SLE
4 atau lebih dari 11 kriteria di atas, secara serial
atau bersamaan, selama interval pengamatan. membranamukosa, alopesia, fenomena
Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
56
6. Gastrointestinal : mual, muntah, 10. Hematologi : anemia, leukopenia,
nyeri abdomen. dan trombositopenia.
9. Retikulo-endotel : organomegali
(limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali).
Tatalaksana
Keterangan :
TR : tidak respon
RS : respon sebagian,
RP : respon penuh
CYC : siklofosfamid,
57
KS : kortikosteroid setara prednison
AZA : azatioprin
MP : metilprednisolon
58
Berdasarkan gejala dan hasil Pasien perempuan berusia 24 tahun
pemeriksaan laboratorium digunakan masuk dengan diagnosis SLE derajat
kriteria diagnosis LES berdasarkan sedang, vaskulitis lupus
ACR 1997 di peroleh hasil skor 5 dan erythematosus, Poliarthritis dan Susp
berdasarkan aktivitas penyakit SLE nefritis lupus. Diagnosis SLE derajat
MEX-SLEDAI di peroleh hasil skor sedang di tegakan berdasarkan Kriteria
10. Pada pemeriksaan ANA Test di diagnosis SLE berdasarkan ACR 1997
peroleh hasil pasien positif mengidap (Skor 5) dan SLE MEX-SLEDAI
SLE. (Skor 10) kemudian berdasarkan juga
ANA test. Selain itu juga diagnosis
Tatalaksana pada pasien ini
SLE derajat sedang di tegakan
yaitu dengan pemberian terapi inisiasi
berdasarkan adanya Gangguan organ
pada SLE yaitu kombinasi obat Inj
lain yang terlibat, Nefritis dan adanya
Metilprednison 2x125mg dan
gangguan hematologi. Kemudian pada
Hydroxychloroquin 1x200mg P.O
diagnosis vaskulitis lupus
untuk menangani SLEnya. Kemudian
erythematosus di tegakan karena
di berikan juga terapi Momethason
adanya temuan klinis di telapak tangan
furoat 0.1% cream 2x sehari pada
dan kaki pasien dengan
bercak diwajah dan di telapak tangan
mempertimbangkan gejala muncul
dan kaki dan juga di berikan terapi Na
bersamaan dengan SLE Derajat
Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka
Sedang. Pada diagnosis Poliarthritis di
lecet untuk menangani Vaskulitis
tegakan berdasarkan anamnesis dan
Lupus Erythematosis.
pemeriksaan fisik pada pasien.
Dengan kombinasi terapi yang Kemudian pada diagnosis Susp.
mengacu sesuai guideline manajemen nefritis lupus ditegakan karena adanya
SLE, memberikan hasil yang sangat Proteinuria pada Urinalisis.
baik, dimana dapat di lihat dari hasil
Pada kasus ini pasien memiliki
terapi kondisi pasien sudah membaik
gangguan pendengaran. Systemic
hanya dalam 1 minggu terapi.
lupus erythematosus (SLE) adalah
DISKUSI
59
penyakit autoimun prototipik dengan sementara penelitian lain menunjukkan
keterlibatan multi-sistem dan beragam bahwa tingginya prevalensi hearing
manifestasi klinis yang sebelumnya loss pada SLE tidak dipengaruhi oleh
telah dilaporkan menyebabkan penggunaan obat antimalaria.1,2
gangguan pendengaran, dimana
Paraschou dkk., melaporkan
sensorineural hearing loss (SNHL)
bahwa SLE secara signifikan
adalah yang paling umum. Beberapa
berhubungan dengan SNHL; SLE
pasien juga mungkin menunjukkan
tidak berhubungan dengan conductive
gejala vestibular dan pendengaran
hearing loss (CHL), namun karena
termasuk tinitus dan vertigo.
kurangnya data, kami tidak dapat
Diperkirakan bahwa hearing loss
mencapai kesimpulan mengenai
terkait dengan pengendapan kompleks
kemungkinan mixed hearing loss
imun di stria vaskularis dan kantung
(MHL) pada pasien SLE. Audiometri
endolimfatik serta kerusakan sitotoksik
nada murni sebagai tes skrining dan tes
yang dimediasi sel pada sel rambut
tindak lanjut pada pasien SLE dapat
koklea dan vestibular. Namun,
penting dilakukan.3 Li dkk.,
sebagian besar penelitian terkini
melaporkan bahwa prevalensi SNHL
mengenai karakteristik hearing loss
pada kasus SLE adalah 21.26 %, yang
pada SLE memiliki ukuran sampel
merupakan hal yang signifikan, dan
yang kecil dan hasil yang tidak
analisis gabungan rasio odds yang
konsisten, serta faktor yang
diamati dalam penelitian individu
mempengaruhi dan mekanisme terkait
menunjukkan bahwa kemungkinan
masih belum jelas. Misalnya, sebuah
prevalensi gangguan pendengaran
penelitian menemukan bahwa tingkat
sensorineural adalah 12.11 (P<0,001).1
pendengaran pasien dengan lupus
Polanski dkk., melaporkan prevalensi
nefritis lebih rendah dibandingkan
tinggi hearing loss pada SLE yang
pasien tanpa lupus nefritis, dan
tidak dipengaruhi oleh penggunaan
penggunaan hydroxychloroquine
obat anti malaria. Rata-rata nada murni
(HCQ) mungkin memperburuk
pada pasien SLE yang menggunakan
gangguan pendengaran pada SLE,
60
obat antimalaria dan tidak dengan penyakit lupus nefritis dan
menggunakan obat antimalaria adalah hipertensi sekunder, vaso-oklusi
serupa (8,75 vs. 8,75; P = 0,63). Pada karena keadaan hiperkoagulabilitas,
frekuensi 8.000 Hz, pengguna obat atau vaskulitis.5
antimalaria yang bukan pengguna obat
SLE pada mata biasanya
memiliki kinerja yang lebih buruk
memiliki presentasi bilateral dan
dibandingkan pengguna (10,00 vs.
berpotensi menyebabkan kehilangan
22,50; P = 0,03). Timpanometri
penglihatan yang parah. Karakterisasi
normal pada semua peserta.4
memerlukan funduskopi disertai
Pada kasus ini pasien memiliki dengan angiografi fundus fluorescein
gangguan penglihatan. SLE juga dapat untuk evaluasi area retina iskemik,
melibatkan bagian mata dan jalur angiogenesis dan kebocoran kontras
penglihatan mana pun melalui proses oleh pembuluh darah retina. Bintik
inflamasi atau trombotik. Manifestasi kapas (cotton wool spot) adalah
pada mata dilaporkan pada sekitar gambaran paling umum dari SLE
sepertiga pasien SLE, dan hal ini dapat okular dan mewakili mikroinfark
menjadi indikator aktivitas penyakit retina. Temuan lain termasuk eksudat
yang bermanfaat. Keratoconjunctivitis perivaskular, perdarahan intraretinal,
sicca (mata kering) adalah manifestasi vaskulitis, dan oklusi vaskular retina.
SLE pada mata yang paling umum. Semua temuan ini menentukan
Manifestasi mata umum lainnya spektrum keterlibatan SLE mata yang
termasuk skleritis dan episkleritis. memungkinkan definisi tiga skenario
Retinopati ringan mungkin tidak utama, yaitu retinopati lupus, oklusi
menunjukkan gejala, namun penyakit pembuluh darah retina, dan vaskulitis
yang parah dapat menyebabkan retina.6
hilangnya penglihatan dan
Neuroretinitis akut jarang
memerlukan evaluasi oftalmik segera.
terjadi pada pasien SLE. Vaskulopati,
Etiologi retinopati lupus mencakup
termasuk mikroangiopati dan
mikroangiopati yang berhubungan
vaskulitis, dianggap sebagai penyebab
61
utama patologi, yang biasanya dari SLE sangat berhubungan erat
berhubungan dengan aktivitas dengan kejadian trombotik dan kondisi
penyakit. Pemberian hidroksiklorokuin hiperkoagulasi yang menyertainya.
dalam jangka panjang diketahui Beberapa faktor yang berhubungan
berhubungan dengan efek samping, dengan seringnya keadaan
termasuk keratopati vorteks dan hiperkoagulasi pada pasien dengan
makulopati ireversibel dan SLE telah dilaporkan. Faktor-faktor
mengancam penglihatan.7 Maukwikwi tersebut antara lain adalah antibodi
dkk., melaporkan bahwa hanya lebih antifosfolipid, proses inflamasi, dan
dari 5% pasien mengalami komplikasi resistensi terhadap protein C. Selain
retina antimalaria, selama rata-rata itu, penggunaan obat antiinflamasi
12.8 tahun. Tidak ada kasus yang seperti kortikosteroid yang biasanya
terdeteksi dalam 5 tahun pertama diresepkan untuk pasien memediasi
terapi. Penggunaan klorokuin di masa kerusakan pada endotel dan
lalu lebih umum terjadi pada kasus mempercepat proses aterosklerosis.10
dibandingkan kontrol.8
Pada kasus ini di dapati juga
Hilangnya penglihatan hasil laboratorium yang menunjukan
fungsional dapat menjadi gejala awal adanya hiperkoaguble state, hal ini
gangguan psikiatri pada pasien SLE. sangat terkait erat dengan SLE dimana
Menyadari hal ini sebagai bagian dari hal ini merupakan bagian dari
manifestasi psikiatri adalah penting manifestasi gejala akibat autoimun
untuk memberikan pengobatan yang Secara khusus, terjadi akibat kaskade
tepat dan menghindari komplikasi koagulasi dan sistem komplemen dapat
pengobatan lanjutan yang tidak perlu. berinteraksi satu sama lain secara tidak
Identifikasi masalah ini dapat langsung melalui regulasi mediator
membantu aspek psikososial yang inflamasi. Misalnya, interaksi antara
tersembunyi pada pasien tersebut.9 C5a dan sitokin inflamasi telah
dibuktikan, termasuk efek pada
Berdasarkan penjabaran diatas,
produksi faktor nekrosis tumor (TNF)-
disimpulkan bahwa manifestasi gejala
62
α dan interleukin (IL)-6. Kemudian, Cicarini dkk., melaporkan
sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi bahwa kadar trombomodulin dan D-
kaskade koagulasi dengan Dimer lebih tinggi pada kelompok
meningkatkan ekspresi koagulan dan low-disease activity (la) SLE dan
menghambat produksi antikoagulan moderate-to-high disease activity
sehingga terjadi kondisi (mha) SLE dibandingkan dengan
hiperkoagulasi. kontrol dan pada mhaSLE
dibandingkan dengan kelompok
Dilaporkan kasus mengenai
laSLE. Sehubungan dengan uji
kejadian trombosis pada pasien SLE.
thrombin generation (TG), lagtime dan
Risiko trombosis yang berlebihan pada
potensi trombin endogen, konsentrasi
SLE bergantung pada adanya kelainan
faktor jaringan yang rendah
yang spesifik untuk penyakit tersebut,
memberikan hasil terbaik untuk
termasuk kadar C3 yang rendah,
diskriminasi antar kelompok. Analisis
antibodi antifosfolipid (aPL)
data ini memungkinkan kita untuk
(khususnya lupus anticoagulant
menyimpulkan bahwa trombomodulin,
[LAC]) dan sindrom nefrotik. Faktor
D-Dimer dan TG merupakan penanda
lain yang berhubungan dengan
yang berpotensi berguna untuk
pengobatan SLE seperti prednison
membedakan pasien dengan penyakit
dapat semakin meningkatkan risiko
yang sangat aktif dan pasien dengan
trombosis. Penelitian terbaru
penyakit yang kurang aktif. Aktivitas
melaporkan bahwa faktor yang
SLE yang lebih tinggi dapat
berkontribusi terhadap trombosis pada
menyebabkan cedera endotel,
lupus terutama terkait dengan faktor
menghasilkan TG yang lebih tinggi
utama seperti cedera endotel vaskular
dan akibatnya keadaan
yang disebabkan oleh autoantibodi,
hiperkoagulabilitas mendasari
neutrophil extracellular traps (NET),
gambaran trombosis yang umum
reseptor scavenger, gangguan jalur
terjadi pada penyakit inflamasi ini.10
protein C, dan pengobatan
glukokortikoid.11
63
Pada kasus ini di lakukan Hidroksiklorokuin di
penatalaksanaan terapi Inisiasi SLE rekomendasikan untuk semua pasien
derajat sedang yaitu dengan kombinasi SLE (EULAR 2019: LOE 1B, GOR
Metilprednison 2x125mg I.V dan A). Terdapat bukti adanya berbagai
Hydroxychloroquin 1x200mg P.O, efek menguntungkan dari
dimana yang kita ketahui pada kasus Hidroksiklorokuin pada SLE, namun
SLE merupakan penyakit autoimun, ketidakpatuhan terhadap pengobatan
sehingga perlunya terapi golongan sering terjadi. Berdasarkan bukti yang
kortikosteroid yang akan berfungsi ada yang menunjukkan bahwa risiko
sebagai imunosupressan. Kemudian toksisitas sangat rendah untuk dosis di
pada vaskulitis lupus erythematosus di bawah 5 mg/kgBB sebenarnya, dosis
berikan terapi spesifik yaitu terapi harian tidak boleh melebihi ambang
golongan kortikosteroid cream dan batas ini (EULAR 2019: LOE 3B,
salep antibiotic yaitu Momethason GOR C).12
furoat 0.1% cream 2x sehari pada
Glukokortikoid dapat
bercak diwajah dan di telapak tangan
meredakan gejala secara cepat
dan kaki dan juga di berikan terapi Na
(EULAR 2019: LOE 2B, GOR C),
Fusidat oint 2% 2x sehari pada luka
namun tujuan jangka menengah hingga
lecet. Penanganan pada diagnosis
jangka panjang adalah meminimalkan
polyarthritis dan nefritis lupus di
dosis harian menjadi ≤7,5 mg/hari
berikan terapi mengikuti panduan
yang setara dengan prednison atau
terapi SLE derajat sedang namun di
menghentikannya (EULAR 2019:
kombinasikan dengan pemberian
LOE 1B, GOR B), karena terapi
kalsium karbonat sebagai terapi
glukokortikoid jangka panjang dapat
tambahan guna membantu pemenuhan
menimbulkan berbagai efek merugikan
kecukupan nutrisi sehingga diharapkan
termasuk kerusakan organ yang
dapat membantu mempercepat proses
ireversibel. Untuk tujuan ini, dua
penyembuhan.
pendekatan dapat dipertimbangkan: (1)
penggunaan metilprednisolon (MP)
64
intravena dengan berbagai dosis intravena pulse dosis tinggi (biasanya
(tergantung pada tingkat keparahan 250–1000 mg/hari selama 3 hari)
dan berat badan), yang memanfaatkan sering digunakan pada penyakit akut
efek non-genomik glukokortikoid yang yang mengancam organ (misalnya
cepat dan memungkinkan terjadinya ginjal, neuropsikiatri) setelah
dosis awal yang lebih rendah dan menyingkirkan infeksi dan
pengurangan glukokortikoid oral yang menurunkan dosis awal glukokortikoid
lebih cepat, dan (2) inisiasi awal agen oral (EULAR 2019: LOE 3B, GOR
IS, untuk memfasilitasi pengurangan C).12
dan akhirnya penghentian
glukokortikoid oral. Metilprednisolog
DAFTAR PUSTAKA
1. Alzokm SM, Ghanem SS. Hearing disorders in lupus patients: correlation with
duration and severity of the disease. Egypt Rheumatol Rehabil. 2022;49(1):1–7.
4. Polanski JF, Tanaka EA, Barros H, Chuchene AG, Miguel PTG, Skare TL.
Chloroquine, Hydroxychloroquine and Hearing Loss: A Study in Systemic
Lupus Erythematosus Patients. The Laryngoscope. 2021;131(3):1–4.
65
7. Lee HJ, Kim SJ. Sudden visual loss in a patient with systemic lupus
erythematosus caused by a combination of the disease itself and drug toxicity.
Lupus. 2020;29(4):431–3.
8. Mukwikwi ER, Pineau CA, Vinet E, Clarke AE, Nashi E, Kalache F, et al.
Retinal Complications in Patients with Systemic Lupus Erythematosus Treated
with Antimalarial Drugs. J Rheumatol. 2020;47(4):553–6.
10. Cicarini WB, Duarte RCF, Ferreira KS, Loures CDMG, Consoli RV, Neiva
CLS, et al. Impact of markers of endothelial injury and hypercoagulability on
systemic lupus erythematosus. Lupus. 2020;29(2):182–90.
66