Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

SISTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

DISUSUN OLEH :
NI WAYAN MUJANI (P07120216021)
NI PUTU NUR ADIANA DEWI (P07120216022)
NI NYOMAN MURTI APSARI DEWI (P07120216023)
I GUSTI AYU INTAN ADRIANA SARI (P07120216024)
A.A.I. MARANSIKA NIKE PUTRI (P07120216025)
TK. 3A/ D4 KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2018
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SISTEMIC
LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

A. Definisi
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan
atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun
dalam tubuh. SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau
imflamasi multisystem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun
(Albar, 2003).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang kronik
dan menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia & Lorraine, 2006 )
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun multisystem
dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah, penuakit ini terutama menyerang
kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan jantung.(Robins, 2007)
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak normal
melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah
seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang banyak
sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai adanya
antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri.
B. Etiologi
- Factor genetic
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-
unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada
kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (
yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan
adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.
- Factor humoral
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan
terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun.
Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi
berlebihan pada pasien LES.13-14 Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk
menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap
struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat
dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal
- Factor lingkungan
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra
violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan
hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV
menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan
dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel
imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada
inflamasi kulit.8,10 Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang
menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan
dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatic.
C. Patafisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa
faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan
menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya
toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta
ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori.
Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah
hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama
terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non
histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat
protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA).
Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan
komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-
nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun
yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada
SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun Uptake kompleks imun pada limpa.
Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem
fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi
radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau
tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan
sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang
resisten.
D. Pohon Masalah
E. Klasifikasi
Ada tiga jenis type lupus :
a. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas pada kulit
dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka, leher, atau kulit kepala.
Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit yang terkena sinar ultraviolet
(seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat beberapa macam tipe ruam pada
lupus, tetapi yang umum terdapat adalah ruam yang timbul, bersisik dan merah, tetapi tidak
gatal.
b. Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ. Untuk
beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan kulit dan sendi. Tetapi
pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ dan/atau jaringan lain
yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya
tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat menjadi aktif (flare).
c. Drug-induced lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat yang
umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis hidralazin (untuk
penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan detak jantung yang
tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang memakan obat ini akan terkena drug-
induced lupus. Hanya 4 persen dari orang yang mengkonsumsi obat itu yang bakal
membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen itu, sedikit sekali yang kemudian
menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala lupus ini biasanya akan hilang
dengan sendirinya.
F. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan. Penurunan berat badan
dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis
ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan
atau diakibatkan gejala gastrointestinal. Demam sebagai salah satu gejala konstitusional
LES sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40°C tanpa
adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai
menggigil.
2. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute Cutaneous
Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula
berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia, fenomena
Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih perak dan dapat pula
ditemukan bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau
depigmentasi pada bibir.
3. Manifestasi Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan dapat
berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana
tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi artritis
reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada
LES tidak meyebabkan kelainan deformitas. Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi,
tendinitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain
yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan
biasanya berhubungan dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES< 5%
kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan
kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan
penggunaan steroid.
4. Manifestasi Paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis, emboli
paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome. Pneumonitis
lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa
sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi
kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.
Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis
merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat
LES ini dan memerlukan penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan
lasmafaresis atau pemberian sitostatika.
5. Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang,
kardiomegali sampai gagal jantung. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya
keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun
EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam
klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman- Sachs.
Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis
bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi
dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat
sampai 50%.
6. Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi
setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1,
dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada
umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan
kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi
nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria
dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
7. Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat
merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau sebagai akibat
pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak
didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia
dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang
memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan
berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis,
pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak
dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase
alkali dan LDH.
8. Manifestasi Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal
kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
9. Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang
begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik.
Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan
kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati
perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-
fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES.
Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik
sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga
dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan
gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak
kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Tes Anti ds-DNA
• Batas normal : 70 _ 200 IU/mL
• Negatif : < 70 IU/mL
• Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah
antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada
penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua
tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA)
dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan
spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-
antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan
menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal
maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b. Tes Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup
sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE.
Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit
reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan
keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif
sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum
tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes
laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi
yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat
meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau
anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,
lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte
Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4),
Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase
(Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Ruam kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau
jantung.
d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +
++.
e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f) Biopsi ginjal.
g) Pemeriksaan saraf.
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan secara umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini
dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk
kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah
penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami fotosensitifitas sehingga penderita
harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Selain itu,
penderita LES juga harus menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu diingatkan
bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang
memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal,
vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus
dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut
gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita dengan
nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan kontraindikasi untuk
kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan
eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu,
pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita
tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada
umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan
kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa
dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang
meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Asuhan keperawatan didasarkan pada pengelolaan rasa sakit dan peradangan,
mengatasi gejala, dan mencegah komplikasi. Pengobatan rasa sakit dan peradangan pada
SLE ringan umumnya dicapai dengan nonsteroidal obat anti inflamasi (NSAID). Obat
antimalaria juga digunakan dalam SLE ringan untuk mengontrol gejala radang sendi, ruam
kulit, sariawan, demam, dan kelelahan. Perawat perlu memberitahu orang tua yang kadang-
kadang memakan waktu lama sebelum terapi efek obat antimalaria yang jelas.
Perawatan SLE membutuhkan penambahan kortikosteroid. Kortikosteroid diberikan
kepada anak ketika anak tidak merespon NSAID atau obat antimalaria. Kortikosteroid
sangat efektif dalam mengurangi peradangan dan gejala, meskipun mereka juga memiliki
efek samping yang serius dari imunosupresi. Selama periode eksaserbasi, kortikosteroid
dapat dimulai dalam dosis tinggi. Setelah gejala di bawah kontrol, dosisnya adalah
meruncing ke terendah tingkat terapeutik. Hal ini penting untuk memberitahu orang tua
bahwa steroid harus perlahan meruncing ketika saatnya untuk menghentikan obat.
Jenis obat yang paling ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE parah termasuk
agen imunosupresif. obat-obat ini digunakan ketika penyakitnya sudah mencapai keadaan
yang serius di mana tanda-tanda parah dan gejala yang hadir. Agen Imunosupresif juga
dapat ditentukan jika ada kebutuhan untuk menghindari kortikosteroid. Keputusan untuk
menggunakan immunosuppressives membutuhkan pertimbangan serius karena efek
samping signifikan, terutama yang berkaitan dengan imunosupresi umum. Contoh agen
imunosupresif digunakan dalam pengobatan SLE termasuk azathioprine (Imuran),
siklofosfamid (Cytoxan), dan methotrexate (Rheumatrex). Setiap obat memiliki risiko yang
unik dan serius seperti depresi sumsum tulang dan hepatotoksisitas. Perawat harus
memperkuat informasi tentang aksi obat sebagai serta efek samping dengan orangtua
sebelum pemberian obat ini
Selain obat-obatan, asuhan keperawatan juga berfokus pada perawatan paliatif dan
memberikan dukungan psikososial. Sekarang penting bahwa mempertahankan gizi anak
yang baik, istirahat dan berolahraga, menghindari matahari, dan mendorong ekspresi
perasaan tentang kondisi tersebut. Meskipun tidak ada yang spesifik, Diet untuk SLE
adalah diet rendah garam. Istirahat dan latihan termasuk periode di mana anak aktif selama
remisi dan beristirahat selama eksaserbasi. Penghindaran dari paparan sinar matahari
ditekankan karena fotosensitif ruam yang terjadi dengan SLE. Penggunaan tabir surya
kegiatan di luar ruangan yang penting, dan perencanaan di bawah naungan atau tinggal di
dalam rumah mungkin diperlukan . Karena kondisi ini mungkin terjadi kesulitan bagi anak
dan keluarga untuk mengatasi dan mengerti, mendorong ekspresi perasaan atau bergabung
dengan kelompok pendukung didorong. Orang tua harus memberitahu guru, pelatih, dan
orang lain tentang anak mereka kondisi sehingga mereka dapat membantu memantau anak
dan memperoleh pengobatan yang diperlukan jika diperlukan. Merupakan perawat
tanggung jawab untuk membantu anak dan keluarga mengidentifikasi kemungkinan
pemicu, seperti sinar matahari dan stres emosional, dan membantu keluarga untuk
menemukan cara untuk menghindarinya. (Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. 2009).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SLE

1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1. Biodata Pasien, meliputi :
a. Nama pasien agar lebih mudah memanggil, mengenali klien antara yang satu
dengan yang lainnya, agar tidak keliru.
b. Umur : SLE dapat menyerang semua usia, namun sebagian besar pasien
ditemukan pada perempuan usia produktif, berusia 15-40 tahun.
c. Jenis kelamin : sembilan dari sepuluh orang penderita lupus (odapus) adalah
wanita. sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Hal ini faktor hormone
perempuan lebih berpengaruh. Estrogen menambah risiko SLE, sedang androgen
mengurangi risiko ini.
d. Linkungan : pajanan radiasi sinar UV yang berlebihan
e. Pendidikan : mengetahui tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya serta
pemberian informasi yang tepat bagi klien..
f. Pekerjaan : mengetahui bagaimana taraf hidup dan sosial ekonomi klien. Untuk
mengetahui juga lingkungan kerja klien apakah outdoor atau indoor.
2. Keluhan Utama :
Keluhan utama yang biasa muncul saat pengkajian tidak pasti, tergantung kapan
dilakukan pengkajian tersebut. Biasanya adalah demam, pusing yang tajam, sesak,
nyeri sendi, kelemahan otot/ intoleransi aktifitas, nafsu makan menurun, BB
menurun, adanya ruam kupu di sekitar hidung dan pipi yang terasa sampai panas
hingga terbakar, sering berkemih, berkemih warna merah.
3. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang.
Pemeriksaan difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami
seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/ panas, anoreksia dan efek
gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.

4. Anamnesis riwayat kesehatan dahulu.


Komplikasi dari penyakit yang sebelumnya dialami misalnya riwayat penyakit
jantung, aritmia jantung, TBC paru, riwayat hipertensi, gangguan pada mata, adanya
nyeri sendi, meminum obat anti jerawat.
5. Anamnesis riwayat kesehatan keluarga.
faktor keturunan frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga di mana terdapat
anggota dengan penyakit tersebut.
6. Pengkajian Per-sistem :
a. Sistem Integumen
Ruam eritematous berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta
pipi, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher, Ulkus oral dapat
mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
b. System Kardiovaskuler
Perikarditis, myokarditis, endokarditis, hipertensi, accelerated atherosclerosis.
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis. Lesi eritematous papuler
dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di
ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan.
c. Sistem Muskuloskeletal
Osteopenia, osteoporosis, myalgia dan myositis, artralghia, arthritis
pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
d. Sistem pernafasan
Pleuritis, efusi pleura, lupus pneumonitis akut, interstitial lung disease (bersifat
kronik, gejala biasanya sesak), pulmonary hemorrhage, pulmonary emboly,
pulmonary hypertension, shrinking lung syndrome.
e. Sistem Renal
Edema dan hematuria, lupus nefritis.

f. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korhea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
g. Gastrointestinal :
Asites, peningkatan enzim hepar, vaskulitis arteri di abdomen, pancreatitis.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
2. Fatigue berhubungan dengan anemia
3. Risiko infeksi ditandai dengan factor risiko : Imunosupresi
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh
5. Risiko Injuri dibuktikan dengan factor risiko: Disfungsi autoimun
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Intervensi Rasional
Nyeri akut berhubungan Pain control Pain management
dengan agen injuri fisik Indikator Aktivitas
- Mengenali onset nyeri - Melakukan pengkajian
- Menjelaskan factor penyebab nyeri termasuk lokasi,
- Melaporkan perubahan nyeri - karateristik, onset/durasi,
- Melaporkan gejala yang tidak frekuensi, kualitas atau
terkontrol keparahan nyeri, dan
- Menggunakan sumber daya yang factor pencetus nyeri
tersedia untuk mengurangi nyeri - Observasi tanda
- Mengenali gejala nyeri yang nonverbal dari
berhubungan dengan penyakit ketidaknyamanan,
- Melaporkan nyeri terkontrol - terutama pada pasien
yang tidak bisa
berkomunikasi secara
efektif
- Gunakan strategi
komunikasi terapeutik
untuk mengetahui
pengalama nyeri pasien
dan respon pasien
terhadap nyeri
- Kaji pengetahuan dan
kepercayaan pasien
tentang nyeri
- Tentukan dampak dari
nyeri terhadap kualitas
hidup (tidur, selera
makan, aktivitas, dll)
- Evaluasi keefektifan
manajemen nyeri yang
pernah diberikan
sebelumnya
- Control factor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi
ketidaknyamanan pasien
- Kolaborasi dengan
pasien, anggota keluarga,
dan tenaga kesehatan lain
untuk implementasi
manajemen nyeri
nonfarmakologi
- Dukung pasien untuk
menggunakan
pengobatan nyeri yang
adekuat
Fatigue Fatigue level Energy Management
Karakteristik :
Indicator Aktivitas:
Factor yang berhubungan :
anemia - Kelelahan - Kaji status fisik pasien
- Kualitas tidur untuk kelelahan dengan
- Kualitas istirahat memperhatikan umur
- Hematocrit dan perkembangan
- Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan tentang
keterbatasan
- Gunakan instrument
yang valid untuk
mengukur kelelahan
- Tentukan aktivitas yang
boleh dilakukan dan
seberapa berat
aktivitasnya
- Monitor asupan nutrisi
untuk mendukung
sumber energy yang
adekuat
- Konsultasi dengan ahli
gizi tentang peningkatan
asupan energy
- Bantu pasien untuk
beristirahat sesuai
jadwal
- Dorong pasien untuk
tidur siang
- Bantu pasien melakukan
aktivitas fisik reguler
Risiko infeksi Infection severity Infection Control
Factor risiko :
Indicator : Aktivitas:
Imunosupresi
- Demam - Pertahankan teknik
- Nyeri isolasi jika diperlukan
- Limpadenopati - Batasi jumlah
- Penurunan jumlah sel darah putih pengunjung
Risk control - Ajarkan kepada tenaga
kesehatan untuk
meningkatkan cuci
tangan
- Ajarkan pasien dan
pengunjung untuk cuci
tangan
- Cuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan
perawatan kepada pasien
- Lakukan perawatan
aseptic pada IV line
- Tingkatkan asupan
nutrisi yang adekuat
- Dorong pasien untuk
istirahat
- Ajarkan pada pasien dan
keluarga cara untuk
mencegah infeksi
Gangguan citra tubuh Body image Body image enhancement
Karakteristik:
Indicator: Aktivitas:
- Perilaku menghindari
- Gambaran internal diri - Tentukan harapan pasien
salah satu bagian tubuh
- Respon nonverbal - Keserasian anatara realitas tubuh, tentang citra tubuhnya
terhadap perubahan pada ideal tubuh, dan penampilan tubuh berdasarkan tingkat
tubuh
- Kepuasan terhadap penampilan perkembangan
tubuh - Bantu pasien
- Perilaku menggunakan strategi Mendiskusikan
untuk meningkatkan fungsi tubuh penyebab penyakit dan
penyebab terjadinya
perubahan pada tubuh
- Bantu pasien
menetapkan batasan
perubahan actual pada
tubuhnya
- Gunakan anticipatori
guidance untuk
menyiapkan pasien
untuk perubahan yang
dapat diprediksi pada
tubuhnya
- Bantu pasien
menentukan pengaruh
dari kelompok sebaya
dalam
mempresentasikan citra
tubuh
- Bantu pasien
mendiskusikan
perubahan yang
disebabkan karena masa
pubertas
- Identifikasi kelompok
dukungan unutk pasien
- Monitor frekuensi
pernyataan pasien
tentang kritik terhadap
dirinya
- Gunakan latihan
pengakuan diri dengan
kelompok sebaya
Risiko Injuri Risk control Risk identification
Factor Risiko:
Indicator: Aktivitas:
Disfungsi autoimun
- Mencari informasi tentang risiko - Review riwayat
pada kesehatannya kesehatan pasien
- Identifikasi factor risiko - Review data yang berasal
- Mengakuir factor risiko personal dari pengkajian risiko
- Monitor factor risiko lingkungan - Tentukan sumber daya
- Melakukan strategi untuk control yang tersedia seperti
risiko tingkat pendidikan,
psikologis, finansial, dan
dukungan keluarga
- Identifikasi sumber-
sumber yanag dapat
meningkatkan risiko
- Identifikasi factor risiko
biologis, lingkungan, dan
perilaku serta hubungan
antara factor risiko
- Tentukan rencana untuk
mengurangi risiko
- Diskusikan dan
rencanakan aktivitas
mengurangi risiko
dengan berkolaborasi
dengan pasien dan
keluarga
- Implementasikan rencana
aktivitas mengurangi
risiko
Ketidakseimbangan nutrisi a. Nutritional status: Adequacy of - Kaji adanya alergi
kurang dari kebutuhan tubuh nutrient makanan
Berhubungan dengan :
b. Nutritional Status : food and Fluid - Kolaborasi dengan ahli
Ketidakmampuan untuk
Intake gizi untuk menentukan
memasukkan atau mencerna
c. Weight Control jumlah kalori dan nutrisi
nutrisi oleh karena faktor
Indikator: yang dibutuhkan pasien
biologis, psikologis atau
- Albumin serum - Yakinkan diet yang
ekonomi.
Karakteristik : - Pre albumin serum dimakan mengandung
- Nyeri abdomen
- Hematokrit tinggi serat untuk
- Muntah
- Kejang perut - Hemoglobin mencegah konstipasi
- Rasa penuh tiba-tiba
- Total iron binding capacity - Ajarkan pasien
setelah makan
- Jumlah limfosit bagaimana membuat
- Diare
- Rontok rambut yang catatan makanan harian.
berlebih - Monitor adanya
- Kurang nafsu makan
penurunan BB dan gula
- Bising usus berlebih
- Konjungtiva pucat darah
- Denyut nadi lemah
- Monitor lingkungan
selama makan
- Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak
selama jam makan
- Monitor turgor kulit
- Monitor kekeringan,
rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar Ht
- Monitor mual dan
muntah
- Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
konjungtiva
- Monitor intake nuntrisi
- Informasikan pada klien
dan keluarga tentang
manfaat nutrisi
- Kolaborasi dengan
dokter tentang kebutuhan
suplemen makanan
seperti NGT/ TPN
sehingga intake cairan
yang adekuat dapat
dipertahankan.
- Atur posisi semi fowler
atau fowler tinggi selama
makan
- Kelola pemberan anti
emetik
- Anjurkan banyak minum
- Pertahankan terapi IV
line
- Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik
papilla lidah dan cavitas
oval

Anda mungkin juga menyukai