Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit saluran pernapasan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian
yang paling sering dan penting pada anak, terutama pada bayi, karena saluran
pernafasannya masih sempit dan daya tahan tubuhnya masih rendah. Disamping faktor
organ pernafasan , keadaan pernafasan bayi dan anak juga dipengaruhi oleh beberapa hal
lain, seperti suhu tubuh yang tinggi, terdapatnya sakit perut, atau lambung yang penuh.

Penilaian keadaan pernafasan dapat dilaksanakan dengan mengamati gerakan dada dan
atau perut. Neonatus normal biasanya mempunyai pola pernafasan abdominal. Bila anak
sudah dapat berjalan pernafasannya menjadi thorakoabdominal. Pola pernafasan normal
adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang daripada waktu inspirasi, karena pada
inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan pada waktu ekspirasi otot pernapasan
bekerja secara pasif.Pada keadaan sakit dapat terjadi beberapa kelainan pola pernapasan
yang paling sering adalah takipneu..

Ganguan pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai kelainan
organic, trauma, alargi, insfeksi dan lain-lain. Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru lahir.
Gangguan pernapasan yang sering ditemukan pada bayi baru lahir (BBL) termasuk
respiratory distress syndrome (RDS) atau idiopatic respiratory distress syndrome (IRDS) yang
terdapat pada bayi premature. Sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN) dalam bahasa
inggris disebut respiratory disstess syndrome, merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
dispeu atau hiperpneu.

Sindrom ini dapat trerjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru. Oleh karena
itu, tindakannya disesuaikan sengan penyebab sindrom ini. Beberapa kelainan dalam paru
yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit
membram hialin (PMH), pneumonia, aspirasi, dan sindrom Wilson- Mikity (Ngastiyah, 1999).

RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena produksi surfaktan, yang
dimulai sejak kehamilan minggu ke 22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula
kemungkinan terjadi RDS dan kelainan ini merupakanpenyebab utama kematian bayi
prematur.

Banyak teori yang menerangkan patogenesis dari syndrom yang berhubungan dengan
kerusakan awal paru-paru yang terjadi dimembran kapiler alveolar.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan akibat masuknya cairan ke dalam ruang
interstitial, seolah-olah dipengaruhi oleh aktifitas surfaktan. Akibatnya terjadi tanda-tanda
atelektasis. Cairan juga masuk dalam alveoli dan mengakibatkan oedema paru. Plasma dan
sel darah merah keluar dari kapiler-kapiler yang rusak, oleh karena itu mungkin perdarahan
merupakan manifestasi patologi.

B. Rumusan Masalah

1. Menjelaskan pengertian RDS


2. Menjelaskan klasifikasi RDS
3. Menjelaskan etiologi RDS
4. Menjelaskan manifestasi klinis RDS
5. Menjelaskan komplikasi RDS
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang RDS
7. Menjelaskan Penatalaksanaan RDS
8. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan RDS

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui Pengertian RDS


2. Mengetahui klasifikasi RDS
3. Mengetahui etiologi RDS
4. Mengetahui manifestai klinis RDS
5. Mengetahui komplikasi RDS
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang RDS
7. Mengetahui penatalaksanaan RDS
8. Mengetahui Konsep asuhan keperawatan RDS
A. DEFINISI
Respiratory distress syndrome adalah suatu bentuk gagal nafas yang ditandai dengan
hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea, edema pulmonal bilateral tanpa gagal
jantung dan infiltrat yang menyebar (Somantri, 2009).
Respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas
dispnea, frekuensi pernafasan yang lebih dari 60 kali permenit, adanya sianosis, adanya
rintihan pada saat ekspirasi (ekspiratory grunting), serta adanya retraksi suprasternal,
interkostal, dan epigastrium saat inspirasi. Penyakit ini adalah penyakit membran hialin,
dimana terjadi perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan pulmonal (zat aktif
alveoli yang dapat mencegah kolaps paru dan mampu menahan sisa udara pada akhir
ekspirasi) (Hidayat, 2008).
Respiratory distress syndrome juga dikenal sebagai penyait membran hialin,
biasanya dikaitkan dengan bayi preterm dan merupakan masalah yang paling serius
(Meadow & Newell, 2005).

B. KLASIFIKASI
Dibagi menjadi dua stadium, yaitu :
1. Eksudatif
Ditandai dengan adanya perdarahan pada permukaan parenkim paru,
edema interstisial atau elveolar, penekanan pada bronkiolus terminalis, dan
kerusakan pada sel alveolar tipe I (Somantri, 2009).
2. Fibroproliferatif

Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II,


peningkatan tekanan puncak inspirasi, penurunan compliance paru,
hipoksemia, penurunan fungsi kapasitas residual, fibrolisis interstisial, dan
peningkatan ruang rugi ventilasi (Somantri, 2009).

Pada foto thorak menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :

1. Stadium 1

Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara


2. Stadium 2

Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan


gambaran air broncogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke
perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.

3. Stadium 3

Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan


paru terlihat lebih opaque (white lung) dan bayangan jantung hampir tidak
terlihat, bronchogram udara lebih luas.

4. Stadium 4

Seluruh thorak sangat opaque (white lung) sehingga jnatung tidak


dapat terlihat. (Warman, Waskito, & Romadhon, 2012).

C. Etiologi

Faktor risiko terjadinya respiratory distress syndrome adalah :

a. Bayi kurang bulan atau bayi premature

Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan
kekurangan surfaktan uang melapisi rongga paru.

b. Kegawatan neonatal

Seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi mekonium,


pnemotoraks akibat tinadakan resusitasi, dan hipertensi pulmonal.

c. Bayi dari ibu diabetes mellitus

Pada bayi dengan diabetes terjadi keterlambatan pematangan paru


sehingga terjadi distress respirasi.

(Warman et al., 2012)


D. Manifestasi Klinis

a. Sesak nafas atau pernafasan cepat


b. Frekuensi nafas > 60 x/menit
c. Pernafasan cepat dan dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir
d. Retraksi interkostal, epigastrium, atau suprasternal pada inspirasi
e. Sianosis dan pernafasan cuping hidung
f. Grunting pada ekspirasi (terdengan seperti suara rintihan saat ekspirasi)
g. Takikardi (170 x/menit)

(Suryanah, 1996).

Evaluasi gawat nafas menurut skor down

Pembeda 0 1 2 Keterangan

Frekuensi < 60 x/menit 60-80 > 80 x/menit Skor < 4


nafas x/menit tidak gawat
nafas
Retraksi dada Tidak ada Ringan Berat

Sianosis Tida sianosis Hilang Menetap Skor 4-7


dengan O2 walaupun gawat nafas
diberikan O2

Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada


bilateral baik ringan udara masuk
udara
masuk

Merintih atau Tidak Terdengar Terdengar Skor > 7


grunting merintih dengan tanpa alat ancaman
stetoskop bantu gawat nafas
E. Komplikasi

a. Komplikasi jangka pendek dapat terjadi :

1. Kebocoran alveoli

Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara seperti pneumothorak,


pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel, pada bayi
dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea,
atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.

2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya


perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana
tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat
respirasi.

3. Perdarahan intrakranial

Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur


dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

b. Komplikasi jangka panjang

Dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam


paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak
dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :

1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)

2. Retinopathy prematur

(Azizah, 2013).

F. Pemeriksaan Penunjang

a. Tes Kematangan Paru

1. Tes Biokimia
Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah
fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan,
sebagai tolok ukur kematangan paru.

2. Test Biofisika
Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok
cairan amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan
pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti
protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Bila didapatkan ring yang
utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali ( cairan amnion : ethanol )
merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal,
mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil
untuk terjadinya neonatal RDS.

b. Analisis Gas Darah

Gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan respiratorik bersamaan


dengan hipoksia. Asidosis muncul karena atelektasis alveolus atau over
distensi jalan napas terminal.

d. Radiografi Thoraks

Pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau gambaran


ground-glass bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru
yang jelek. Gambaran air bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkiolus
yang terisi udara didepan alveoli yang kolap. Bayangan jantung bisa normal atau
membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh asfiksi prenatal, diabetes
maternal , patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan kelainan jantung
bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi
mekanik yang adekuat

(Warman et al., 2012).


G. Penatalaksanaan

a. Ventilasi Mekanis

Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan


berbagai efek pada sistem kardiopulmonal.

Tujuan :

Ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan


optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration
of inspired oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator atau
volume tidal yang minimal.

Indikasi :

1. Indikasi absolut

a) prolonged apnea
b) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang
bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe
sianotik
c) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten
d) Bayi yang menggunakan anestesi umum
b. Indikasi relatif

1. Frequent intermittent apnea

2. Bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas

3. Pada pemberian surfaktan

(Effendi & Firdaus, 2010).

c. Terapi surfaktan

Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah surfaktan
sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari ekstrak paru-paru sapi atau dari
bilas paru-paru domba atau babi. Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24
jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami respiratory distress syndrome
yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam)
setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan
oksigen 30% atau lebih. Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT
atau dengan menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT
memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian perifer
paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang dapat ditimbulkan
lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan menggunakan
nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan
postural drainage (Effendi & Firdaus, 2010).

Nama produk surfaktan Dosis Dosis tambahan

Galfactant 3 ml/KgBB Dapat diulang sampai 3


kali pemberian dengan
interval tiap 12 jam

Beractant 4 ml/KgBB Dapat diulang setelah 6


jam, sampai total 4 dosis
dalam 48 jam

Colfosceril 5 ml/KgBB Diberikan dalam 4 menit


Dapat diulang setelah 12
dan 24 jam

Porcine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat


diberikan tiap 12 jam

d. Continuos Positive Airway Pressure (CPAP)

Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) adalah merupakan suatu


alat untuk mempertahankan tekanan positif pada saluran napas neonatus
selama pernafasan spontan. CPAP merupakan suatu alat yang sederhana dan
efektif untuk tatalaksana respiratory distress pada neonatus. Penggunaan CPAP
yang benar terbukti dapat menurunkan kesulitan bernafas, mengurangi
ketergantungan terhadap oksigen, membantu memperbaiki dan
mempertahankan kapasitas residual paru, mencegah obstruksi saluran nafas
bagian atas, dan mecegah kollaps paru, mengurangi apneu, bradikardia, dan
episode sianotik.

Kontra indikasi :

a) Bayi dengan gagal nafas, dan memenuhi kriteria untuk mendapatkan


support ventilator
b) Respirasi yang irreguler
c) Adanya anomali kongenital
d) Hernia diafragmatika
e) Fistula tracheo-oeshophageal
f) Trauma pada nasal, yang kemungkinan dapat memburuk dengan
pemasangan nasal prong
g) Instabilitas cardiovaskuler, yang akan lebih baik apabila mendapatkan
support ventilator

(Effendi & Ambarwati, 2014).

e. Extracorporeal Membrane Oxygenation

Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat yang


menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru buatan (membrane
oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2 dikeluarkan, kemudian
darah dipompa balik pada atrium kanan pasien (Venovenosis ECMO) atau aorta
(venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat beristirahat dan
menghindari tekanan tinggi ventilator.

(Effendi & Firdaus, 2010).

Secara umum penatalaksanaan pada pasien dengan respiratory distress


syndrome adalah :
a) Memperthankan stabilitas jantung paru yang dapat dilakukan dengan
mengadakan pantauan mulai dari kedalaman, kesimetrisan dan irama
pernafasan, kecpatan, kualitas dan suara jantung, mempertahankan kepatenan
jalan nafas, memmantau reaksi terhadap pemberian atau terapi medis, serta
pantau PaO2. Selanjutnya melakukan kolaborasi dalam pemberian surfaktan
eksogen sesuai indikasi.
b) Memantau urine, memantau serum elketrolit, mengkaji status hidrasi seperti
turgor, membran mukosa, dan status fontanel anterior. Apabila bayi mengalami
kepanasan berikan selimut kemudian berikan cairan melalui intravena sesuai
indikasi.
c) Mempertahankan intake kalori secara intravena, total parenteral nurition dengan
memberikan 80-120 Kkal/Kg BB setian 24 jam, mempertahankan gula darah
dengan memantau gejala komplikasi adanya hipoglikemia, mempertahankan
intake dan output, memantau gejala komplikasi gastrointestinal, sepertia danya
diare, mual, dan lain-lain.
d) Mengoptimalkan oksigen, oksigenasi yang optimal dilakukan dengan
mempertahankan kepatenan pemberian oksigen, melakukan penghisapa lendir
sesuai kebutuhan, dan mempertahankan stabilitas suhu.
e) Pemberian antibiotik.

Bayi dengan respiratory distress syndrome perlu mendapat antibiotik untuk


mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-
100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa
gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.

(Hidayat, 2008).
H. Konsep Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

1) Biodata

Respiratory distress sindrome merupakan suatu sindrom yang sering


ditemukan pada neonatus dan menjadi penyebab morbiditas utama pada bayi berat
lahir rendah (BBLR). Sindrom ini paling banyak ditemukan pada BBLR terutama yang
lahir pada masa gestasi < 28 minggu (Tobing, 2004).

2) Keluhan utama

Adanya dispnea yang akan diikuti dengan takipnea, pernafasan cuping


hidung, retraksi dinding toraks, dan sianosis (Tobing, 2004).

3) Riwayat kesehatan
a) Riwayat penyakit sekarang

Pada bayi yang mengalami respiratory ditress sindrome adalah sesak


nafas atau pernafasan cepat, frekuensi nafas > 60 x/menit, pernafasan cepat dan
dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir, retraksi interkostal, epigastrium,
atau suprasternal pada inspirasi, sianosis dan pernafasan cuping hidung, grunting
pada ekspirasi (terdengan seperti suara rintihan saat ekspirasi), dan takikardi
(170 x/menit) (Suryanah, 1996).

b) Riwayat penyakit dahulu

Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu perlu prematuritas dan masa


kehamilan bayi (Tobing, 2004)..

c) Riwayat penyakit keluarga

Faktor faktor risiko yang dapat kita pertimbangkan untuk meramalkan


terjadinya respiratory distress sindrome adalah riwayat kehamilan sebelumnya,
bedah caesarea, diabetes, ketuban pecah lama, penyakit ibu (Tobing, 2004).
4) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum

Keadaan umum pasien dengan respiratory distress syndrome di dapatkan


kesadaran yang baik atau composmetis dan akan berubah sesuai dengan tingkat
gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf pusat.

b) Pemeriksaan fisik (B1-B6)

B1 (Breathing)

Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi.


Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha
kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik, frekuensi nafas yang sangat
lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP
yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.Meningkatnya usaha nafas
ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada, yang sering
dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke
atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan
mekanik usaha pernafasan (Adun, 2012).

B2 (Blood)

Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan


aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekuat dan tidak teraba pada satu sisi
menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada
daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat dilihat dengan adanya
bercak, pucat dan sianosis (Adun, 2012).

B3 (Brain)

Terjadi immobilitas, kelemahan, kesadaran lethargi, penurunan suhu


tubuh (Adun, 2012).

B4 (Bladder)
Pada ginjal terjadi penurunan produksi atau laju filtrasi glomerulus
(Somantri, 2009).

B5 (Bowel)

Pasien biasanyan mual dan muntah, anoreksia akibat pembesaran vena


dan statis vena di dalam rongga abdomen, serta penurunan berat badan
(Somantri, 2009).

B6 (Bone)

Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat


berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin
(Adun, 2012).

b. Diagnosa Keperawatan

1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d edema pulmonal, cedera pulmonal.

2) Ketidakefektifan pola nafas b.d kolaps alveoli, peningkatan usaha nafas, takipnea.

3) Gangguan pertukaran gas b.d pembentukan membran hialin, cedera pulmonal.

4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d reflek menghisap


berkurang, intake inadekuat.

5) Ketidakefektifan koping keluarga b.d perubahan status kesehatan, kecemasan


keluarga.

c. Intervensi

1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d edema pulmonal, cedera pulmonal.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam bersihan


jalan nafas kembali efektif.

Kriteria hasil :
a. Pasien dapat bernafas secara normal tanpa menggunakan otot bantu
pernafasan.
b. Tidak ada bunyi nafas tambahan.
c. Pergerakan nafas normal.

Intervensi :

a) Beri penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan pada keluarga
pasien.

Rasionl : mencegah kesalahfahaman antara perawat dan

keluarga pasien serta meningkatkan pengetahuan keluarga pasien.

b) Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan


penggunaan otot bantu pernafasan).

Rasional : sebagai penurunan bunyi nafas menunnjukkan natelektasis,


sedangkan grunting menunjukkan adanya akumulasi sekret pada pulmonal dan
edema.

c) Lakukan pengisapan lendir dalam waktu kurang dari 15 detik.

Rasional : penghisapan lendir dapat mengurangi lendir pada saluran


pernafasan sehingga jalan nafas kembali efektif dan mencegah hipoksia.

d) Atur posisi pasien semi fowler

Rasional : posisi semi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan


usaha bernafas

e) Kolaborasi dengan dokter pemberian agen mukolitik.

Rasional : agen mukolitik menurunkan keketalan dan perlengketan sekret


sehingga memudahkan pembersihan jalan nafas.

2) Ketidakefektifan pola nafas b.d kolaps alveoli, peningkatan usaha nafas, takipnea.

Tujuan :
Setelah dilakukan tidakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi
perubahan pola nafas.

Kriteria hasil :

a. Pasien tidak sesak nafas

b. RR dalam batas normal

c. Tidak terjadi sianosis

Intervensi :

a) Beri penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan oleh perawat
pada keluarga pasien

Rasional : mencegah kesalahfahaman antara perawat dan keluarg


pasien serta meningkatkan pengetahuan pasien.

b) Observasi tanda-tanda vital

Rasional : peningkatan pernafasan dapat menunnjukkan adanya


ketidakefektifan pengembangan ekspansi paru.

c) Kaji bunyi nafas.

Rasional : indikasi adanya edema paru sekunder akibat cedera


pulmonal.

d) Kolaborasi dengan dokter pemberian O2.

Rasional : meningkatkan intake O2 dalam tubuh sehingga kebutuhan O2


dalam tubuh terpenuhi.

3) Gangguan pertukaran gas b.d pembentukan membran hialin, cedera pulmonal.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi
gangguan pertukaran gas.
Kriteri hasil :

a) Tidak terjadi dyspnea

b) Tidak ada tanda-tanda sianosis

c) SpO2 dalam batas normal

Intervensi :

a) Beri penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan oleh


perawat pada keluarga pasien

Rasional : mencegah kesalahfahaman antara perawat dan pasien serta


meningkatkan pengetahuan keluarga pasien.

b) Obserfasi SpO2 dalam darah

Rasional : penurunan nilai SpO2 dalam darah dapat menunnjukan


adanya hipoksemia dalam tubuh.

c) Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku, catat adanya sianosis
perifer dan sianosis pusat

Rasional : sianosis kuku, membran mukosa dan sekitar mulut


menggambarkan vasokontriksi atau respons tubuh terhadap hipoksemia
sistemik.

d) Berikan oksigen lembab dengan masker CPAP sesuai indikasi.

Rasional : meningkatkan kadar oksigen dalam tubuh pasien sehingga


tidak terjadi hipoksia.

d. Implementasi

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan


yang telah disusun pada tahap perencanaan. Implementasi keperawatan respiratory
distress syndrome sesuai dengan intervensi yang telah dibuat sebelumnya.

e. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan,
dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Adun. (2012). RDS (Respiratiry Distress Syndrome). Retrieved January 24, 2016, from
http://adoen-berbagiilmu.blogspot.co.id/2012/04/rds-respiratiry-distress-syndrome.html

Azizah, N. (2013). Respiratory Distress Sindrome. Retrieved January 23, 2016, from
http://akbidwh.blogspot.co.id/2013/03/respiratory-distress-syndrome-rds.html

Effendi, S. H., & Ambarwati, L. (2014). Continuous Positive Airway Pressure ( CPAP ).
Bandung. Retrieved from http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2014/07/CPAP.pdf

Effendi, S. H., & Firdaus, A. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan Respiratory Distress
Sindrome pada Neonatus. Padjajaran. Retrieved from http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2014/07/Distress-Pernafasan.pdf

Hidayat, A. aziz A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika.

Meadow, R., & Newell, S. (2005). Lecture Notes Pediatrika (edisi Ketu). Jakarta: Erlangga.

Somantri, I. (2009). Asuhan Keperawatan Gangguan Klien dengan Gangguan Sistem


Pernafasan (Edisi 2). Jakarta: Salemba Medika.

Suryanah. (1996). Keperawatan Anak untuk Siswa SPK. Jakarta: EGC.

Tobing, R. (2004). Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas Neonatus. Sari
Pediatri, 6(1), 4046.

Warman, F. I., Waskito, S., & Romadhon, M. (2012). Respiratory Distress Sindrome.
Retrieved January 23, 2016, from https://www.scribd.com/doc/97547993/Respiratory-
Distress-Syndrome

Anda mungkin juga menyukai