Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

MANAGEMEN PSIKOSOSIAL
PENANGANAN GAWAT DARURAT PSIKIATRIK RESTRAIN

KELOMPOK 5 :
1. ADISTY FERIANI
2. ARENA IRAWAN
3. MARTINA WISDAYANTI
4. MONICA AULIANDA
5. PEGGY RIVEA AMASTA
6. SAFADILLA UMMIA YOLANDA
7. MUHAMMAD FAJRI

S1 KEPERAWATAN
STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Psikiatri dipenuhi oleh fenomenologi dan penelitian fenomena mental. Dokter psikiatri
harus belajar untuk menguasai observasi yang teliti dan penjelasan yang mengungkapkan
keterampilan termasuk belajar bahasa baru. Bagian bahasa didalam psikiatri termasuk pengenalan
dan definisi tanda dan gejala perilaku dan emosional.
Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi darurat.
Kondisi ini menuntut intervensi psikiatriks seperti percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat,
depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada perilaku. Pelayanan
kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang kedokteran, ilmu
perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatrik
dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan.
Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para
profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi
mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien biasanya datang atas
kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja.
Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi
krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan mental baik sifatnya
kronis ataupun akut.

B. Tujuan
1. Mampu menjelaskan pengertian keperawatan Gadar Psikiatri
2. Mampu menjelaskan klasifikasi keperawatan Gadar Psikiatri
3. Mampu menjelaskan faktor penyebab diadakannya keperawatan Gadar Psikiatri
4. Mampu menjelaskan tanda dan gejala keperawatan Gadar Psikiatri
5. Mampu menjelaskan dasar hukum yang melatar belakangi keperawatan Gadar
Psikiatri
6. Mampu mengetahui definisi dari restrain
7. Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan restrain
8. Mengetahui jenis-jenis restrain
9. Mengetahui resiko penggunaan restrain pada pasien

BAB II
KONSEP DASAR KEDARURATAN PSIKIATRI

I. Pengertian
Keperawatan Gawat Darurat adalah pelayanan profesional yg didasarkan pada ilmu
keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat darurat berbentuk pelayanan bio-psiko-
sosio- spiritual yang komprehensif ditujukan pada semua kelompok usia yang sedang mengalami
masalah kesehatan yang bersifat urgen , akut dan kritis akibat trauma, proses kehidupan ataupun
bencana.
Kedaruratan psikiatrik adalah suatu gangguan akut pada pikiran, perasaan, perilaku, atau
hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen, Forster, Zealberg, & Currier,
2002). Menurut Kaplan dan Sadock (1993) kedaruratan psikiatrik adalah gangguan alam pikiran,
perasaan atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik segera. Dari pengertian tersebut,
kedaruratan psikiatri adalah gangguan pikiran, perasaan, perilaku dan atau sosial yang
membahayakan diri sendiri atau orang lain yang membutuhkan tindakan intensif yang segera.
Sehingga prinsip dari kedaruratan psikiatri adalah kondisi darurat dan tindakan intensif yang
segera.
Berdasarkan prinsip tindakan intensif segera, maka penanganan kedaruratan dibagi dalam fase
intensif I (24 jam pertama), fase intensif II (24-72 jam pertama),dan fase intensif III (72 jam-
10hari).

1) Fase intensif I adalah fase 24 jam pertama pasien dirawat dengan observasi, diagnosa,
tritmen dan evaluasi yang ketat. Berdasarkan hasil evaluasi pasien maka pasien memiliki
tiga kemungkinan yaitu dipulangkan,dilanjutkan ke fase intensif II, atau dirujuk ke rumah
sakit jiwa.
2) Fase intensif II perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai dengan 72 jam.
Berdasarkan hasil evaluasi maka pasien pada fase ini memiliki empat kemungkinan yaitu
dipulangkan, dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau kembali ke ruang fase intensif I.
3) Fase intensif III pasien di kondisikan sudah mulai stabil, sehingga observasi menjadi lebih
berkurang dan tindakan-tindakan keperawatan lebih diarahkan kepada tindakan
rehabilitasi. Fase ini berlangsung sampai dengan maksimal 10 hari. Merujuk kepada hasil
evaluasi maka pasien pada fase ini dapat dipulangkan, dirujuk ke rumah sakit jiwa atau unit
psikiatri di rumah sakit umum, ataupun kembali ke ruang fase intensif I atau II.
Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri,
ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan, serangan panik,
dan perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang
mematikan dan muncul dengan gejala psikiatriks umum. Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini. Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan
menangani kondisi ini sangatlah penting.
II. Klasifikasi Kegawatdaruratan Psikiatri
1) Tidak berhubungan dengan kelainan organik: Diantaranya gangguan emosional akut
akibat dari antara lain; kematian, perceraian, perpisaan , bencana alam, pengasingan
dan pemerkosaan.
2) Berhubungan dengan kelainan organik antara lain akibat dari; trauma kapitis, struk,
ketergantungan obat, kelainan metabolik, kondisi sensitivitas karena obat

III. Faktor Penyebab Gadar Psikiatri


1) Tindak kekerasan
2) Perubahan perilaku
3) Gangguan penggunaan zat
Kedaruratan Psikiatri adalah tiap gangguan pada pikiran, perasaan dan tindakan
seseorang yang memerlukan intervensi terapeutik segera diantaranya yang paling sering
adalah:
1) Suicide (bunuh diri)
2) Violence and assaultive behavior (perilaku kekerasan dan menyerang)

IV. Macam Tanda dan Gejala Awal pada


a) Bunuh diri
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang disebabkan karena stress yang
tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat,
1993).
Perilaku bunuh diri atau destruktif diri langsung terjadi terus menerus dan intensif pada diri
kehidupan seseorang. Perilaku yang tampak adalah berlebihan, gejala atau ucapan verbal
ingin bunuh diri, luka atau nyeri (Rawlin dan Heacock, 1993). Bunuh diri adalah setiap
aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Gail w. Stuart,
Keperawatan Jiwa,2007). Secara garis besar bunuh diri dapat dibagi menjadi 3
kategori besar yaitu;

1. Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju
bunuh diri, dan bila kegiatan itu sampai tuntas akan menyebabkan kematian
2. Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha
mempengaruhi perilaku orang lain.
3. Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung
atau tidak langsung, verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan
bunuh diri

Dikutip dari situs kesehatan mental epigee.org, berikut ini adalah tanda-tanda bunuh diri
yang mungkin terjadi:
1. Bicara mengenai kematian: Bicara tentang keinginan menghilang, melompat,
menembak diri sendiri atau ungkapan membahayakan diri.
2. Baru saja kehilangan: kematian, perceraian, putus dengan pacar atau kehilangan
pekerjaan, semuanya bisa mengarah pada pemikiran bunuh diri atau percobaan bunuh
diri. Kehilangan lainnya yang bisa menandakan bunuh diri termasuk hilangnya
keyakinan beragama dan hilangnya ketertarikan pada seseorang atau pada aktivitas
yang sebelumnya dinikmati.
3. Perubahan kepribadian: seseorang mungkin memperlihatkan tanda-tanda kelelahan,
keraguan atau kecemasan yang tidak biasa.
4. Perubahan perilaku: kurangnya konsentrasi dalam bekerja, sekolah atau kegiatan
sehari-hari, seperti pekerjaan rumah tangga.
5. Perubahan pola tidur: tidur berlebihan, insomnia dan jenis gangguan tidur lainnya bisa
menjadi tanda-tanda dan gejala bunuh diri.
6. Perubahan kebiasaan makan: kehilangan nafsu makan atau bertambahnya nafsu makan.
Perubahan lain bisa termasuk penambahan atau penurunan berat badan.
7. Berkurangnya ketertarikan seksual: perubahan seperti ini bisa mencakup impotensi,
keterlambatan atau ketidakteraturan menstruasi.
8. Harga diri rendah: gejala bunuh diri ini bisa diperlihatkan melalui emosi seperti malu,
minder atau membenci diri sendiri.
9. Ketakutan atau kehilangan kendali: seseorang khawatir akan kehilangan jiwanya dan
khawatir membahayakan dirinya atau orang lain.
10. Kurangnya harapan akan masa depan: tanda bunuh diri lainnya adalah seseorang
merasa bahwa tidak ada harapan untuk masa depan dan segala hal tidak akan pernah
bertambah baik.

b) Perilaku kekerasan
Umumnya klien dengan Perilaku Kekerasan dibawa dengan paksa ke Rumah sakit Jiwa.
Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan pengawalan oleh
sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang
dapat membahayakan orang,diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan sexualitas ( Nanda,
2005). Pengertian Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk ekspresi kemarahan yang
tidak sesuai dimana seseorang melakukan tindakan-tindakan yang dapat
membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan.
Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien masuk kerumah sakit adalah
perilaku kekerasan di rumah. Dapat dilakukan pengkajian dengan cara:
1. Observasi:
 Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara yang tinggi,
berdebat.
 Sering pula tampak klien memaksakan kehendak : merampas makanan,
memukul jika tidak senang
2. Wawancara
Diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang dirasakan
klien. Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda -tanda marah adalah sebagai berikut
:
 Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam),
jengkel.
 Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit
fisik,penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
 Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
 Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
 Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan
humor.

Tanda ancaman kekerasan (Kaplan and Sadock, 1997) adalah:


 Tindakan kekerasan belum lama, termasuk kekerasan terhadap barang milik.
 Ancaman verbal atau fisik.
 Membawa senjata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai senjata
(misalnya : garpu, asbak).
 Agitasi psikomator progresif.
 Intoksikasi alkohol atau zat lain.
 Ciri paranoid pada pasien psikotik.
 Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua pasien
berada pada resiko tinggi.
 Penyakit otak, global atau dengan temuan lobus fantolis, lebih jarang pada
temuan lobus temporalis (kontroversial).
 Kegembiraan katatonik.
 Episode manik tertentu.
 Episode depresif teragitasi tertentu.
 Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau diskontrol implus).

Gambaran klinis menurut Stuart dan Sundeen (1995) adalah sebagai berikut:
 Muka merah
 Pandangan tajam
 Otot tegang
 Nada suara tinggi
 Berdebat
 Kadang memaksakan kehendak
 Stress
 Mengungkapkan secara verbal

Gambaran klinis menurut Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jendral Pelayanan


Kesehatan Departemen Kesehatan RI (1994) adalah sebagai berikut :

a. Pasif agresif
 Sikap suka menghambat
 Bermalas-malasan
 Bermuka masam
 Keras kepala dan pendendam
b.Gejala agresif yang terbuka (tingkah laku agresif)
 Suka membantah
 Menolak sikap penjelasan
 Bicara kasar
 Cenderung menuntut secara terus-menerus
 Hiperaktivitas
 Bertingkah laku kasar disertai kekerasan

c) Gaduh/gelisah
Tanda dan gejala pada pasien yang mengalami gaduh gelisah diantaranya:
 Gelisah
 Mondar-mandir
 Berteriak-teriak
 Loncat-loncat
 Marah-marah
 Curiga
 Agresif
 Beringas
 Agitasi
 Gembira
 Bernyanyi
 Bicara kacau
 Mengganggu orang lain
 Tidak tidur beberapa hari
 Sulit berkomunikasi

d) Withdrawal
Tanda dan gejala pada orang yang withdrawal diantaranya:
 Nafsu makan hilang
 Ansietas, gelisah
 Mialgia, arthralgia
 Lesu-lemas
 Tremor, kram perut, kejang
 ‘Craving’

V. Dasar Hukum Pelayanan Kedaruratan Psikiatri


Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat adalah UU
No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.
Dipandang dan segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan
non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan
gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan
hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam
pasal 5l UUNo.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992
tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya
penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenamya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh
derajat kesehatan yang optimal (pasal 4) Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah
bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat”
termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula
pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat
(swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat
darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat
darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian
pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit
dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal
23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat
selama 24 jam per hari Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara
umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992
tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan
gawat darurat fase pra-rumah sakit Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan
pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan.
Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992 tentang
Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan”. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan memerlukan
kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan mengandung risiko
yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan dapat
dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa “pelaksanaan pengobatan dan atau
perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu “. Ketentuan tersebut
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat
merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan
medis yang memelakukanngandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur dalam
pasal 50 UUNo.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa “tenaga kesehatan bertugas
menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau
kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”. Pengaturan di atas menyangkut pelayanan
gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki
kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam
keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka
yang bersangkutan harus menemelakukanrapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat
darurat) saat itu.
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan pertolongan pertama
dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih maupun yang teriatih di bidang medis.
Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untuk melakukan tindakan medis dalam undang-
undang kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat melakukan hal itu
dengan sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu mereka tidak dapat disebut sebagai
tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidang kesehatan.
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil yang telah
mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan yang memang tugasnya di
bidang ini (misainya petugas 118), maka tanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan tenaga
kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian dilakukan dengan membandingkan
keterampilan tindakannya dengan tenaga yang serupa.
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan
hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat Karena secara
yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan
maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat.

Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat Dalam hal
pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga
terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus
membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat
(proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilamelakukankukan dalam situasi gawat
darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi.
Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan
yang berkuamelakukanlifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent).
Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2
dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam
keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak
sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perLu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan
Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk
tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.

VI. Data Tentang Psikosis


Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental berulang
yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan oleh kemunduran fungsi sosial, fungsi
kerja, dan perawatan diri.
Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk
dunia menderita skizofrenia. 75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun.
Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor.
Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai
bagian dari tahap penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial
sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan
resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia
sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog.
Pasien dengan gejala psikosis sering ditemukan di bagian kegawatdaruratan psikiatrik.
Menentukan sumber psikosis dapat menjadi sulit. Kadang pasien masuk ke dalam status psikosis
setelah sebelumnya putus dari perawatan yang direncanakan. Pelayanan kegawatdaruratan
psikiatrik tidak akan mampu menyediakan penanganan jangka panjang untuk pasien jenis ini,
cukup dengan istirahat ringkas dan mengembalikan pasien kepada orang yang menangani kasus
mereka dan/atau memberikan lagi pengobatan psikiatrik yang diperlukan. Suatu kunjungan pasien
yang menderita suatu gangguan mental yang kronis dapat menandakan perubahan dalam lifestyle
dari individu atau suatu pergeseran kondisi medis. Seseorang dapat juga sedang menderita psikosis
akut. Kondisi seperti itu dapat disiapkan untuk diagnosis dengan memperoleh riwayat
psikopatologi pasien, melakukan suatu pengujian status mental, pelaksanaan pengujian psikologis,
perolehan neuroimages, dan memperoleh pengujian neurofisiologi lain. Berdasarkan ini, tenaga
kesehatan dapat memperoleh suatu diagnosa diferensial dan menyiapkan pasien untuk perawatan.
Seperti pertimbangan penanganan pasien lainnya, asal psikosis akut dapat sukar ditentukan karena
keadaan mental dari pasien.

VII. Data Tentang Neurosis


Gangguan neurosis dialami sekitar 10-20% kelompok lanjut usia (lansia). Sering sukar
untuk mengenali gangguan ini pada lanjut usia (lansia) karena disangka sebagai gejala ketuaan.
Hampir separuhnya merupakan gangguan yang ada sejak masa mudanya, sedangkan separuhnya
lagi adalah gangguan yang didapatkannya pada masa memasuki lanjut usia (lansia). Gangguan
neurosis pada lanjut usia (lansia) berhubungan erat dengan masalah psikososial dalam memasuki
tahap lanjut usia (lansia). Gangguan ini ditandai oleh kecemasan sebagai gejala utama dengan daya
tilikan (insight) serta daya menilai realitasnya yang baik. Kepribadiannya tetap utuh, secara
kualitas perilaku orang neurosis tetap baik, namun secara kuantitas perilakunya menjadi irrasional.
Sebagai contoh : mandi adalah hal yang biasa dilakukan oleh orang normal sehari 2 kali, namun
bagi orang neurosis obsesive untuk mandi, ia akan mandi berkali-kali dalam satu hari dengan
alasan tidak puas-puas untuk mandi.

VIII. Data Tentang NAPZA


MasalahpenyalahgunaanNarkotika, PsikotropikadanZatAdiktiflainya (NAPZA) atauistilah
yang populerdikenalmasyarakatsebagai NARKOBA (NarkotikadanBahan/ Obatberbahanya)
merupakanmasalah yang sangatkompleks, yang
memerlukanupayapenanggulangansecarakomprehensifdenganmelibatkankerjasamamultidispliner
, multisektor, danperansertamasyarakatsecaraaktif yang dilaksanakansecaraberkesinambungan,
konsekuendankonsisten.
MeskipundalamKedokteran, sebagianbesargolonganNarkotika,
PsikotropikadanZatAdiktiflainnya (NAPZA) masihbermanfaatbagipengobatan,
namunbiladisalahgunakanataudigunakantidakmenurutindikasimedisataustandarpengobatanterlebi
hlagibiladisertaiperedarandijalurilegal,
akanberakibatsangatmerugikanbagiindividumaupunmasyarakatluaskhususnyagenerasimuda.
Maraknyapenyalahgunaan NAPZA tidakhanyadikota-kotabesarsaja, tapisudahsampaikekota-
kotakecildiseluruhwilayahRepublik Indonesia,
mulaidaritingkatsosialekonomimenengahbawahsampaitingkatsosialekonomiatas.Dari data yang
ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyakberumurantara 15–24 tahun.
Dari hasilidentifikasimasalah NAPZA dilapanganmelaluidiskusikelompokterarah yang
dilakukanDirektoratKesehatanJiwaMasyarakatbekerjasamadenganDirektoratPromosiKesehatan –
DitjenKesehatanMasyarakatDepkes-Kesos RI denganpetugas-petugaspuskesmas di
beberapapropinsiyaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, JawaTimur, Bali
ternyatapengetahuanpetugaspuskesmasmengenaimasalah NAPZA sangat minim
sekalisertamasihkurangnyabuku yang dapatdijadikanpedoman.
IX. Strategi Umum Pemeriksaan Pasien Kegawatdaruratan Psikiatri
1) Perlindungan diri pemeriksa
2) Mencegah bahaya:
 Melukai diri sendiri dan bunuh diri
 Kekerasan terhadap orang
3) Adakah disebabkan kondisi medik?
4) Adakah kemungkinan psikosis fungsional?

Intervensi keperawatan pada klien kegawatdaruratan psikiatri difokuskan pada beberapa


hal sesuai dengan tujuan dan diagnosa yang sudah ditetapkan. Pada dasarnya intervensi
difokuskan pada :

1) Lingkungan
Dalam merawat klien depresi, prioritas utama ditujukan pada potensial bunuh diri. Klien
yang mania juga merupakan ancaman terjadinya kecelakaan. Klien memiliki daya nilai
yang rendah, senang tindakan yang risiko tinggi, tidak mampu menilai realitas yang
berbahaya dan konsekuensi dari perilakunya. Keadaan ini berindikasi untuk menempatkan
klien pada tempat yang aman, misalnya: dilantai dasar, perabotan yang sederhana, kurangi
rangsangan, suasana yang tenang untuk mengurangi stres dan panik klien

2) Hubungan perawat-klien
Perawat perlu mempunyai kesadaran diri dan kontrol emosi serta pengertian yang luas
tentang depresi dan mania. Bekerja dengan klien depresi pendekatan perawat adalah
hangat, menerima, diam yang aktif, jujur, empati. Sering intervensi ini sukar dipertahankan
karena klien tidak memberi respons. Hubungan saling percaya yang terapeutik perlu dibina
dab dipertahankan. Bicara lembut, sederhana dan beri waktu pada klien untuk berpikir dan
menjawab.Berbeda dengan klien mania yang sangat senang bicara, manipulatif, hiperaktif,
konsentrasi rendah dan singkat, pikiran meloncat, penilaian miskin. Klien mungkin
mendominasi dan memanipulasi klien dan kelompok. Batasan yang konstruktif diperlukan
untuk mengontrol perilaku klien.

3) Afektif
Sangat penting karena klien sukar mengekspresikan perasaanya. Kesadaran dan kontrol diri
perawat pada dirinya merupakan sarat utama. Pada klien depresi, perawa harus mempunyai
harapan bahwa klien akan lebih baik. Sikap perawat yang menerima klien, hangat,
sederhana akan mengekspresikan pengharapan pada klien. Perawat bukan
menggembirakan dan mengatakan tidak perlu khawatir, tetapi menenangkan dan menerima
klien. Mendorong klien mengekspresikan pengalaman yang menyakitkan dan
menyedihkan secara verbal akan mengurangi intensitas masalah yang dihadapinya
danmetaskan kehidupan lebih berarti. Jadi, intervensi pertama adalah membantu pasien
mengekspresikan perasaannya, kemudian dilanjutkan dengan intervensi yang berfokus
pada kognitif, perilaku atau sosial. Klien depresi dan mania yang diizinkan
mengekspresikan marah, ketidakpuasan, kecemasan merasakan pengalaman baru, dan
kemudian perawat membantu untuk menganalisis dan menyadari perasaannya dan
selanjutnya bersama-sam mencari alternatif pemecahan masalah sehat dan konstruktif.
4) Kognitif
Intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan kontrol diri klien pada tujuan dan perilaku,
meningkatkan harga diri dan membantu klien memodifikasi harapan yang negatifKlien
depresi yang memandang dirinya negatif perlu dibantu untuk mengkaji perasaannya, dan
identifikasi maslah yang berhubungan. Pikiran negatif yang ada harus diubah melalui
beberapa cara:
1. Identifikasi semua ide, pikiran yang negatif
2. Identifikasi aspek positif dari dirinya( yang dimiliki, kemampuan, keberhasilan,
kesempatan)
3. Dorong klien menilai kembali persepsi, logika, rasional
4. Bantu klien berubah dari tidak realitas kerealitas, dari persepsi yang salah atau negatif
ke persepsi positif
5. Sertakan klien aktivitas yang memperlihatkan hasil. Beri penguatan dan pujian akan
keberhasilannya.

5) Perilaku
Intervensi berfokus pada mengaktifkan klien yang diarahkan pada tujuan yang b secara
bertahap dalam aktivitas di ruangan. Klien depresi berat dengan penurunan motivasi perlu
dibuat aktivitas yang terstruktur. Beri penguatan pada aktivitas yang berhasil.

6) Sosial
Masalah utama dalam intervensi ini adalah kurangnya keterampilan berinteraksi. Untuk itu
diperlukan preses belajar membina hubungan yang terdiri dari:
1. Mengkaji kemampuan, dukungan dan minat klien
2. Mengobservasi dan mengkaji sumber dukungan yang ada pada klien
3. Membimbing klien melakukan hubungan interpersonal. Dapat dengan role model, role
play, dengan mencoba pengalaman hubungan sosial yang lalu
4. Beri umpan balik dan penguatan hubungan interpersonal yang positif
7) Fisiologis
Tujuan intervensi ini adalah meningkatkan status kesehatan klien. Makanan, tidur,
kebersihan diri, penampilan yang terganggu memerlukan perhatian perawat. Dalam hal
istirahat, klien depresi takut sehingga memerlukan dukungan. Klien mania yang selalu
segar dan tidak pernah ngantuk, perlu diberi suasana yang mendukung dengan peraturan
yang konstruktif.

X. Evaluasi
Efektifitas asuhan keperawatan dapat dilihat dari perubahan respon maladptif. Klien akan
dapat:
1. Menerima dan mengakui perasaannya dan perasaan orang lain.
2. Memulai kuminikasi
3. Mengontrol perilaku sesuai dengan keterbatasannya (tidak manipulatif)
4. Mempergunakan proses pemecahan masalah.

XI. Definisi Restrain


Restraint (dalam psikiatrik) secara umum mengacu pada suatu bentuk tindakan
menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang
berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan fisik dan psikologis individu,
(Stuart, 2001).
Tindakan restrain menurut College of Nurses of Ontario (CNO, 2009) menggunakan
perangkat yaitu tindakan fisik, lingkungan atau kimia yang merupakan cara untuk mengontrol
perilaku atau aktivitas fisik seseorang. Pengekangan fisik berupa meja, kursi dan tempat tidur yang
tidak bisa dibuka oleh klien. Pembatasan lingkungan adalah mengendalikan gerakan atau mobilitas
klien. Restrain kimia adalah pembatasan perilaku atau gerakan tertentu yang dilakukan dengan
cara pemberian obat psikoaktif. Perangkat tindakan restrain ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Levine & Cartner dalam Wai Tong, 2005) di Rumah Sakit Jiwa Hongkong
menemukan tindakan restrain melibatkan perangkat yang dirancang untuk membatasi gerakan
tubuh pasien, seperti pemegang tungkai, keselamatan rompi, dan perban. Penggunaannya yang
merupakan intervensi keperawatan disarankan untuk mencegah cedera dan mengurangi agitasi dan
kekerasan, tetapi dapat memiliki merugikan efek fisik dan psikososial pada kedua pasien dan
perawat.
Secara umum, dalam psikiatrik restrain merupakan suatu bentuk tindakan menggunakan tali
untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang berperilaku diluar kendali
yang bertujuan untuk memberikan keamanan fisik dan psikologis individu (Kandar dkk, 2013).
Saat melakukan restrain prosedur setiap rumah sakit harus memiliki standarisai untuk kode etik
dan legal. Restrain merupakan penerapan langsung kekuatan fisik pada individu tanpa seijin dari
individu tersebut yang bertujuan untuk membatasi gerak dari pasien (Sulistiyowati, 2014). Restrain
biasanya digunakan untuk melindungi pasien dan orang lain saat pengobatan dan terapi verbal
tidak mencukupi serta mengendalikan pasien berpotensi kekerasan.
Perawat perlu mengkaji apakah restraint di perlukan atau tidak. Restrein seringkali dapat
dihindari dengan persiapan pasien yang adekuat, pengawasan orang tua atau staf terhadap pasien,
dan proteksi adekuat terhadap sisi yang rentan seperti alat infus. Perawat perlu mempertimbangkan
perkembangan pasien, status mental, ancaman potensial pada diri sendiri atau orang lain dan
keamannnya.
a. Indikasi Penggunaan Restrain
Penggunaan tekhnik pengendalian fisik (restrain) dapat siterapkan dalam keadaan: Pasien
yang membutuhkan diagnosa atau perawatan dan tidak bisa menjadi kooperatif karena
suatu keterbatasan misalnya : pasien dibawah umur, pasien agresif atau aktif dan pasien
yang memiliki retardasi mental. Ketika keamanan pasien atau orang lain yang terlibat
dalam perawatan dapatterancam tanpa pengendalian fisik (restraint). Sebagai bagian dari
suatu perawatan ketika pasien dalam pengaruh obat sedasi.
b. Kontraindikasi Pengunaan Restrain
Penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) tidak boleh diterapkan dalam keadaan
yaitu: Tidak bisa mendapatkan izin tertulis dari orang tua pasien untuk
melakspasienan prosedur kegiatan. Pasien pasien kooperatif. Pasien pasien memiliki
komplikasi kondisi fisik atau mental Penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) pada
pasien dalam penatalaksanaanya harus memenuhi syarat-syarat yaitu sebagai berikut:
Penjelasan kepada pasien pasien mengapa pengendalian fisik (restraint) dibutuhkandalam
perawatan, dengan harapan memberikan kesempatan kepada pasien untuk memahami
bahwa perawatan yang akan diberikan sesuai prosedur dan aman badi pasien maupun
keluarga yang bersangkutan. Memiliki izin verbal maupun izin tertulis dari psikiater yang
menjelaskan jenis teknik pengendalian fisik yang boleh digunakan kepada pasien pasien
dan pentingnya teknik pengendalian fisik yang dapat digunakan terhadap pasien
berdasarkan indikasi-indikasi yang muncul. Adanya dokumen yang menjelaskan kepada
orang tua pasien pasien maupun pihak keluarga pasien yang bersangkutan mengapa
pengendalian fisik (restraint) dibutuhkan dalam perawatan. Adanya penilaian berdasarkan
pedoman rumah sakit dari pasien yang pernahmenjalankan pengendalian fisik (restraint)
untuk memastikan bahwa pengendalian fisik tersebut telah diaplikasikan secara benar,
serta memastikan integritas kulit dan status neurovaskular pasien tetap dalam keadaan baik.
Perlu digunakan teknik pengendalian fisik (restraint) adalah karena tenaga kesehatan harus
mengutamakan kebutuhan kesehatan pasien, teknik pengendalian tersebut dapat dilakspasienan
dengan cara menjaga keamanan pasien ataupun keluarga yang bersangkutan, mengontrol tingkat
agitasi dan agresi pasien, mengontrol perilaku pasien, serta menyediakan dukungan fisik bagi
pasien.

XII. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penggunaan Restrain


Pada kondisi gawat darurat, restrain/seklusi dapat dilakukan tanpa order dokter. Sesegera
mungkin (< 1jam) setelah melakukan restrain, perawat melaporkan pada dokter untuk
mendapatkan legalitas tindakan baik secara verbal maupun tertulis.
Intervensi restrain dibatasi waktu yaitu: 4 jam untuk klien berusia >18 tahun, 2 jam untuk
usia 9-17 tahun, dan 1 jam untuk umur <9 tahun. Evaluasi dilakukan 4 jam untuk klien >18tahun,
2 jam untuk pasien-pasien dan usia 9-17 tahun. Waktu minimal reevaluasi oleh dokter adalah 8
jam untuk usia >18 tahun dan 4 jam untuk usia <17 tahun. Selama restrain klien di observasi tiap
10-15 menit, dengan fokus observasi: Tanda-tanda cedera yang berhubungan dengan restrain :
Nutrisi dan hidrasi sirkulasi dan rentang gerak eksstremitas tanda penting kebersihan dan
eliminasi status fisik dan psikologis kesiapan klien untuk dibebaskan dari restrain.
Alat restrain bukan tanpa resiko dan harus diperiksa dan di dokumentasikan setiap 1-2 jam
untuk memastikan bahwa alat tersebut mencapai tujuan pemasangannya, bahwa alat tersebut
dipasang dengan benar dan bahwa alat tersebut tidak merusak sirkulasi, sensai, atau integritas kulit.
Selekman dan Snyder (1997) merekomendasikan intervensi keperawatan yang tepat untuk
pasien yang direstrain adalah:
1. Lepaskan dan pasang kembali restrain secara periodic.
2. Lakukan tindakan untuk memberi rasa nyaman, gunakan pelukan terapeutik bukan restrain
mekanik.
3. Lakukan latihan rentan gerak jika diperlukanTawarkan makanan, minuman dan bantuan untuk
eliminasi, beri pasien dot.
4. Diskusikan kriteria pelepasan restrain .
5. Berikan analgesik dan sedatif jika diinstruksikan atau di mintaHindari kemarahan psikologik
kepada pasien lain.
6. Berikan distraksi (membaca buku) dan sentuhan pertahankan harga diri pasien lakukan
pengkajian keperawatan yang kontinu dokumentasikan penggunaan restrain
Adapun langkah-langkah pelaksanaan pengekangan fisik (restrain) pada klien gangguan
jiwa, adalah sebagai berikut:
1. Beri suasana yang menghargai dengan supervisi yang adekuat, karena harga diri klien
berkurang karena pengekangan.
2. Siapkan jumlah staf yang cukup dengan alat pengekangan yang aman dan nyaman.
3. Tunjuk satu orang perawat sebagai ketua tim.
4. Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya pada klien dan staf agar dimengerti dan bukan
hukuman.
5. Jelaskan perilaku yang mengindikasikan pengelepasan pada klien dan staf.
6. Jangan mengikat pada pinggir tempat tidur, ikat dengan posisi anatomis, ikatan tidak
terjangkau oleh klien.
7. Lakukan supervisi dengan tindakan terapeutik dan pemberian rasa nyaman.
8. Perawatan pada daerah pengikatan (Pantau kondisi kulit: warna, temperatur, sensasi;
Lakukan latihan gerak pada tungkai yang diikat secara bergantian setiap 2 jam; Lakukan
perubahan posisi tidur dan periksa tanda-tanda vital setiap 2 jam)
9. Bantu pemenuhan kebutuhan nutrisi, eliminaqsi, hidrasi dan kebersihan diri.
10. Libatkan dan latih klien untuk mengontrol perilaku sebelum ikatan dibuka secara bertahap.
11. Kurangi pengekangan secara bertahap, misalnya setelah ikatan dibuka satu persatu secara
bertahap, kemudian dilanjutkan dengan pembatasan gerak kemudian kembali ke
lingkungan semula.
12. Dokumentasikan seluruh tindakan beserta respon klien
Sumber: Lilik Ma'rifatul Azizah (2011) Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta:
Graha Ilmu
XIII. Jenis-Jenis Restrain
Pengendalian fisik (physical restraint) dengan menggunakan alat pengendalian fisik
dengan menggunakan alat merupakan bentuk pengendalian dengan menggunakan bantuan alat
bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien maupu nmenahan gerakan rahang dan
mulut pasien.

a) Alat bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien


1. Sheet and ties
Penggunaan selimut untuk membungkus tubuh pasien supaya tidak
bergerak dengan cara melingkarkan selimut ke seluruh tubuh pasien dan menahan
selimutnya dengan perekat atau mengikatnya dengan tali.
2. Restraint Jaket
Restraint jaket digunakan pada pasien dengan tali diikat dibelakang tempat tidur
sehingga pasien tidak dapat membukanya. Pita panjang diikatkan ke bagian bawah
tempat tidur, menjaga pasien tetap di dalam tempat tidur. Restrain jaket berguna
sebagai alat mempertahankan pasien pada posisi horizontal yang diinginkan.
3. Papoose board
Papoose board merupakan alat yang biasa digunakan untuk menahan gerak pasien
saat melakukan perawatan gigi. Cara penggunaannya adalah pasien ditidurkan
dalam posisi terlentang di atas papan datar dan bagian atas tubuh, tengah tubuh dan
kaki pasien diikat dengan menggunakan tali kain yang besar. Pengendalian dengan
menggunakan papoose board dapat diaplikasikan dengan cepat untuk mencegah
pasien berontak dan menolak perawatan. Tujuan utama dari penggunaan alat ini
adalah untuk menjaga supaya pasien pasien tidak terluka saat mendapatkan
perawatan.
4. Restraint Mumi atau Bedong
Selimut atau kain dibentangkan diatas tempat tidur dengan salah satu ujungnya
dilipat ke tengah. Pasien diletakkan di atas selimut tersebut dengan bahu berada di
lipatan dan kaki ke arah sudut yang berlawanan. Lengan kanan pasien lurus
kebawah rapat dengan tubuh, sisi kanan selimut ditarik ke tengah melintasi bahu
kanan pasien dan dada diselipkan dibawah sisi tubuh bagian kiri. Lengan kiri pasien
diletakkan lurus rapat dengan tubuh pasien, dan sisi kiri selimut dikencangkan
melintang bahu dan dada dikunci dibawah tubuh pasien bagian kanan. Sudut bagian
bawah dilipat dan ditarik kearah tubuh dan diselipkan atau dikencangkan dengan
pinpengaman.
5. Restraint Lengan dan Kaki
Restraint pada lengan dan kaki kadang-kadang digunakan untuk mengimobilisasi
satu atau lebih ekstremitas guna pengobatan atau prosedur, atau untuk
memfasilitasi penyembuhan. Beberapa alat restraint yang da di pasaran atau yang
tersedia, termasuk restraint pergelangan tangan atau kaki sekali pakai, atau dapat
dibuat dari pita kasa, kain muslin, atau tali stockinette tipis. Jika restraint jenis ini
di gunakan, ukurannya harus sesuai dengan tubuh pasien. Harus dilapisi bantalan
untuk mencegah tekanan yang tidak semestinya, konstriksi, atau cidera jaringan.
Pengamatan ekstremitas harus sering dilakukan untuk memeriksa adanya tanda-
tanda iritasi dan atau gangguan sirkulasi. Ujung restraint tidak boleh diikat ke
penghalang tempat tidur, karena jika penghalang tersebut diturunkan akan
mengganggu ekstremitas yang sering disertai sentakan tiba-tiba yang dapat
menciderai pasien.
6. Restraint siku
Adalah tindakan mencegah pasien menekuk siku atau meraih kepala atau wajah.
Kadang-kadang penting dilakukan pada pasien setelah bedah bibir atau agar pasien
tidak menggaruk pada kulit yang terganggu. Bentuk restraint siku paling banyak
digunakan, terdiri dari seutas kain muslin yang cukup panjang untuk mengikat tepat
dari bawah aksila sampai ke pergelangan tangan dengan sejumlah kantong vertikal
tempat dimasukkannya depresor lidah. Restraint di lingkarkan di seputar lengan
dan direkatkan dengan plester atau pin.
7. Pedi-wrap
Pedi-wrap merupakan sejenis perban kain yang dilingkarkan pada leher
sampai pergelangan kaki pasien pasien untuk menstabilkan tubuh pasien serta
menahan gerakan tubuh pasien. Pedi-wrap mempunyai berbagai variasi ukuran
sesuai dengan kebutuhan. Alat bantu untuk menahan gerakan mulut dan rahang
pasien
8. Molt Mouth Prop
Molt mouth prop merupakan salah satu alat yang paling penting dalam melakukan
perawatan gigi. Alat ini biasanya digunakan dalam anestesi umum untuk mencegah
supaya mulut tidak tertutup saat perawatan dilakukan. Alat ini juga sangat cocok
dalam penanganan pasien yang tidak bisa membuka mulut dalam jangka waktu
lama karena suatu keterbatasan. Penggunaan molt mouth prop harus
memperhatikan posisi rahang pasien saat pasien membuka mulutnya, supaya tidak
terjadi dislokasi temporomandibular. Sebagai tambahan, dokter gigi harus
memindahkan molt mouth prop dari mulut pasien setiap sepuluh hingga lima belas
menit agar rahang dan mulut pasien dapat beristirahat.
9. Molt Mouth Gags
Molt mouth gags juga merupakan salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk
menahan mulut pasien.
10. Tongue Blades
Tongue blades merupakan alat bantu yang digunakan untuk menahan lidah pasien
supaya tidak mengganggu proses perawatan
b) Pengendalian fisik (physical restraint) tanpa bantuan alat
Pengendalian fisik tanpa bantuan alat merupakan bentuk pengendalian fisik tanpa
menggunakan bantuan alat, pengendalian bentuk ini merupakan bentuk pengendalian yang
menggunakan bantuan perawat maupun bantuan orang tua atau pihak keluarga pasien.
Pengendalian fisik dengan bantuan tenaga kesehatan pengendalian fisik dengan
menggunakan bantuan tenaga kesehatan merupakan bentuk pengendalian fisik dimana
diperlukan tenaga kesehatan, misalnya perawat untuk menahan gerakan pasien pasien
dengan cara memegang kepala, lengan, tangan ataupun kaki pasien pasien. Pengendalian
fisik dengan bantuan orang tua pasien pengendalian fisik dengan bantuan orang tua
sebenarnya sama dengan pengendalian fisik dengan bantuan tim medis (tenaga kesehatan).
Hanya saja peran perawat digantikan oleh orang tua pasien pasien. Cara pengendalian
dengan menggunakan bantuan orang tua lebih disukai pasien apabila dibandingkan dengan
menggunakan bantuan tim medis, sebab pasien lebih merasa aman apabila dekat dengan
orang tuanya.

XIV. Resiko Penggunaan Restraint pada Pasien


Terdapat beberapa laporan ilmiah mengenai kematian pasien pasien yang disebabkan oleh
penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint). Hubungan kematian pasien dengan gangguan
psikologi yang disebabkan penggunaan restraint adalah dimana ketika pengendalian fisik (restrain)
dilakukan, pasien pasien mengalami reaksi psikologis yang tidak normal, yaitu seperti
menigkatnya suhu tubuh, cardiac arrhythmia yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya
positional asphyxia, excited delirium, acute pulmonary edema, atau pneumonitis yang dapat
menyebabkan kematian pada pasien.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Restraint (dalam psikiatrik) secara umum mengacu pada suatu bentuk tindakan
menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang
berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan fisik dan psikologis
individu.Perawat perlu mengkaji apakah restraint di perlukan atau tidak. Restrein seringkali dapat
dihindari dengan persiapan pasien yang adekuat, pengawasan orang tua atau staf terhadap pasien,
dan proteksi adekuat terhadap sisi yang rentan seperti alat infus. Perawat perlu mempertimbangkan
perkembangan pasien, status mental, ancaman potensial pada diri sendiri atau orang lain dan
keamannnya.
Pengendalian fisik (physical restraint) dengan menggunakan alat pengendalian fisik dengan
menggunakan alat merupakan bentuk pengendalian dengan menggunakan bantuan alat bantu
untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien maupu nmenahan gerakan rahang dan mulut
pasien. Alat bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien meliputi Sheet and ties,
Restraint Jaket, Papoose board , Restraint Mumi atau Bedong, Restraint Lengan dan Kaki,
Restraint siku, Pedi-wrap , Molt Mouth Prop, Molt Mouth Gags, Tongue Blades serta
pengendalian fisik (physical restraint) tanpa bantuan alat.

B. Saran
Dari makalah inidiharapkan pembaca dapat memahami lebih dalam tentang restrain
sehingga dapat menerapkan lansung saat melakukan praktik keperawatan jiwa serta mengetahui
fungsi dari restrain sehingga dapat digunakan tepat sasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Tom, Kustedi.1999. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar .Bandung : Yayasan Al-Ghifari

Morgan. 1991. Segi PraktisPsikiatri. Jakarta : Bina rupa aksara


Kaplan dan Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri, Edisi 7, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Maramis. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press.

Kusuma,Widjaja. 1997. Kedaruratan Psikiatri dalam Praktek. Jakarta : Professional Books

https://elvizulianisehatidotcom.wordpress.com/tag/kegawatdaruratan-psikiatri/

Kaplan, H.I., Sadock, B.J., dan Grebb, J.A. (2000). Synopsis of Psychiatry. New York : Williams
and Wilkins

Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2001). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (Ed ke-7).
St. Louis: Mosby, Inc.

Gail Wiscarz Stuart dan Sandra J. Sundeen (1998). Keperawatan Jiwa : buku saku. Edisi 3.
Jakarta : EGC

http://eprints.umm.ac.id/26032/2/jiptummpp-gdl-diahtriari-38155-2-bab1.pdf/

Anda mungkin juga menyukai