MANAGEMEN PSIKOSOSIAL
PENANGANAN GAWAT DARURAT PSIKIATRIK RESTRAIN
KELOMPOK 5 :
1. ADISTY FERIANI
2. ARENA IRAWAN
3. MARTINA WISDAYANTI
4. MONICA AULIANDA
5. PEGGY RIVEA AMASTA
6. SAFADILLA UMMIA YOLANDA
7. MUHAMMAD FAJRI
S1 KEPERAWATAN
STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psikiatri dipenuhi oleh fenomenologi dan penelitian fenomena mental. Dokter psikiatri
harus belajar untuk menguasai observasi yang teliti dan penjelasan yang mengungkapkan
keterampilan termasuk belajar bahasa baru. Bagian bahasa didalam psikiatri termasuk pengenalan
dan definisi tanda dan gejala perilaku dan emosional.
Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi darurat.
Kondisi ini menuntut intervensi psikiatriks seperti percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat,
depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada perilaku. Pelayanan
kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang kedokteran, ilmu
perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatrik
dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan.
Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para
profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi
mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien biasanya datang atas
kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja.
Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi
krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan mental baik sifatnya
kronis ataupun akut.
B. Tujuan
1. Mampu menjelaskan pengertian keperawatan Gadar Psikiatri
2. Mampu menjelaskan klasifikasi keperawatan Gadar Psikiatri
3. Mampu menjelaskan faktor penyebab diadakannya keperawatan Gadar Psikiatri
4. Mampu menjelaskan tanda dan gejala keperawatan Gadar Psikiatri
5. Mampu menjelaskan dasar hukum yang melatar belakangi keperawatan Gadar
Psikiatri
6. Mampu mengetahui definisi dari restrain
7. Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan restrain
8. Mengetahui jenis-jenis restrain
9. Mengetahui resiko penggunaan restrain pada pasien
BAB II
KONSEP DASAR KEDARURATAN PSIKIATRI
I. Pengertian
Keperawatan Gawat Darurat adalah pelayanan profesional yg didasarkan pada ilmu
keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat darurat berbentuk pelayanan bio-psiko-
sosio- spiritual yang komprehensif ditujukan pada semua kelompok usia yang sedang mengalami
masalah kesehatan yang bersifat urgen , akut dan kritis akibat trauma, proses kehidupan ataupun
bencana.
Kedaruratan psikiatrik adalah suatu gangguan akut pada pikiran, perasaan, perilaku, atau
hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen, Forster, Zealberg, & Currier,
2002). Menurut Kaplan dan Sadock (1993) kedaruratan psikiatrik adalah gangguan alam pikiran,
perasaan atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik segera. Dari pengertian tersebut,
kedaruratan psikiatri adalah gangguan pikiran, perasaan, perilaku dan atau sosial yang
membahayakan diri sendiri atau orang lain yang membutuhkan tindakan intensif yang segera.
Sehingga prinsip dari kedaruratan psikiatri adalah kondisi darurat dan tindakan intensif yang
segera.
Berdasarkan prinsip tindakan intensif segera, maka penanganan kedaruratan dibagi dalam fase
intensif I (24 jam pertama), fase intensif II (24-72 jam pertama),dan fase intensif III (72 jam-
10hari).
1) Fase intensif I adalah fase 24 jam pertama pasien dirawat dengan observasi, diagnosa,
tritmen dan evaluasi yang ketat. Berdasarkan hasil evaluasi pasien maka pasien memiliki
tiga kemungkinan yaitu dipulangkan,dilanjutkan ke fase intensif II, atau dirujuk ke rumah
sakit jiwa.
2) Fase intensif II perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai dengan 72 jam.
Berdasarkan hasil evaluasi maka pasien pada fase ini memiliki empat kemungkinan yaitu
dipulangkan, dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau kembali ke ruang fase intensif I.
3) Fase intensif III pasien di kondisikan sudah mulai stabil, sehingga observasi menjadi lebih
berkurang dan tindakan-tindakan keperawatan lebih diarahkan kepada tindakan
rehabilitasi. Fase ini berlangsung sampai dengan maksimal 10 hari. Merujuk kepada hasil
evaluasi maka pasien pada fase ini dapat dipulangkan, dirujuk ke rumah sakit jiwa atau unit
psikiatri di rumah sakit umum, ataupun kembali ke ruang fase intensif I atau II.
Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri,
ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan, serangan panik,
dan perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang
mematikan dan muncul dengan gejala psikiatriks umum. Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini. Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan
menangani kondisi ini sangatlah penting.
II. Klasifikasi Kegawatdaruratan Psikiatri
1) Tidak berhubungan dengan kelainan organik: Diantaranya gangguan emosional akut
akibat dari antara lain; kematian, perceraian, perpisaan , bencana alam, pengasingan
dan pemerkosaan.
2) Berhubungan dengan kelainan organik antara lain akibat dari; trauma kapitis, struk,
ketergantungan obat, kelainan metabolik, kondisi sensitivitas karena obat
1. Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju
bunuh diri, dan bila kegiatan itu sampai tuntas akan menyebabkan kematian
2. Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha
mempengaruhi perilaku orang lain.
3. Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung
atau tidak langsung, verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan
bunuh diri
Dikutip dari situs kesehatan mental epigee.org, berikut ini adalah tanda-tanda bunuh diri
yang mungkin terjadi:
1. Bicara mengenai kematian: Bicara tentang keinginan menghilang, melompat,
menembak diri sendiri atau ungkapan membahayakan diri.
2. Baru saja kehilangan: kematian, perceraian, putus dengan pacar atau kehilangan
pekerjaan, semuanya bisa mengarah pada pemikiran bunuh diri atau percobaan bunuh
diri. Kehilangan lainnya yang bisa menandakan bunuh diri termasuk hilangnya
keyakinan beragama dan hilangnya ketertarikan pada seseorang atau pada aktivitas
yang sebelumnya dinikmati.
3. Perubahan kepribadian: seseorang mungkin memperlihatkan tanda-tanda kelelahan,
keraguan atau kecemasan yang tidak biasa.
4. Perubahan perilaku: kurangnya konsentrasi dalam bekerja, sekolah atau kegiatan
sehari-hari, seperti pekerjaan rumah tangga.
5. Perubahan pola tidur: tidur berlebihan, insomnia dan jenis gangguan tidur lainnya bisa
menjadi tanda-tanda dan gejala bunuh diri.
6. Perubahan kebiasaan makan: kehilangan nafsu makan atau bertambahnya nafsu makan.
Perubahan lain bisa termasuk penambahan atau penurunan berat badan.
7. Berkurangnya ketertarikan seksual: perubahan seperti ini bisa mencakup impotensi,
keterlambatan atau ketidakteraturan menstruasi.
8. Harga diri rendah: gejala bunuh diri ini bisa diperlihatkan melalui emosi seperti malu,
minder atau membenci diri sendiri.
9. Ketakutan atau kehilangan kendali: seseorang khawatir akan kehilangan jiwanya dan
khawatir membahayakan dirinya atau orang lain.
10. Kurangnya harapan akan masa depan: tanda bunuh diri lainnya adalah seseorang
merasa bahwa tidak ada harapan untuk masa depan dan segala hal tidak akan pernah
bertambah baik.
b) Perilaku kekerasan
Umumnya klien dengan Perilaku Kekerasan dibawa dengan paksa ke Rumah sakit Jiwa.
Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan pengawalan oleh
sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang
dapat membahayakan orang,diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan sexualitas ( Nanda,
2005). Pengertian Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk ekspresi kemarahan yang
tidak sesuai dimana seseorang melakukan tindakan-tindakan yang dapat
membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan.
Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien masuk kerumah sakit adalah
perilaku kekerasan di rumah. Dapat dilakukan pengkajian dengan cara:
1. Observasi:
Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara yang tinggi,
berdebat.
Sering pula tampak klien memaksakan kehendak : merampas makanan,
memukul jika tidak senang
2. Wawancara
Diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang dirasakan
klien. Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda -tanda marah adalah sebagai berikut
:
Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam),
jengkel.
Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit
fisik,penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan
humor.
Gambaran klinis menurut Stuart dan Sundeen (1995) adalah sebagai berikut:
Muka merah
Pandangan tajam
Otot tegang
Nada suara tinggi
Berdebat
Kadang memaksakan kehendak
Stress
Mengungkapkan secara verbal
a. Pasif agresif
Sikap suka menghambat
Bermalas-malasan
Bermuka masam
Keras kepala dan pendendam
b.Gejala agresif yang terbuka (tingkah laku agresif)
Suka membantah
Menolak sikap penjelasan
Bicara kasar
Cenderung menuntut secara terus-menerus
Hiperaktivitas
Bertingkah laku kasar disertai kekerasan
c) Gaduh/gelisah
Tanda dan gejala pada pasien yang mengalami gaduh gelisah diantaranya:
Gelisah
Mondar-mandir
Berteriak-teriak
Loncat-loncat
Marah-marah
Curiga
Agresif
Beringas
Agitasi
Gembira
Bernyanyi
Bicara kacau
Mengganggu orang lain
Tidak tidur beberapa hari
Sulit berkomunikasi
d) Withdrawal
Tanda dan gejala pada orang yang withdrawal diantaranya:
Nafsu makan hilang
Ansietas, gelisah
Mialgia, arthralgia
Lesu-lemas
Tremor, kram perut, kejang
‘Craving’
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat Dalam hal
pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga
terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus
membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat
(proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilamelakukankukan dalam situasi gawat
darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi.
Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan
yang berkuamelakukanlifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent).
Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2
dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam
keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak
sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perLu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan
Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk
tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.
1) Lingkungan
Dalam merawat klien depresi, prioritas utama ditujukan pada potensial bunuh diri. Klien
yang mania juga merupakan ancaman terjadinya kecelakaan. Klien memiliki daya nilai
yang rendah, senang tindakan yang risiko tinggi, tidak mampu menilai realitas yang
berbahaya dan konsekuensi dari perilakunya. Keadaan ini berindikasi untuk menempatkan
klien pada tempat yang aman, misalnya: dilantai dasar, perabotan yang sederhana, kurangi
rangsangan, suasana yang tenang untuk mengurangi stres dan panik klien
2) Hubungan perawat-klien
Perawat perlu mempunyai kesadaran diri dan kontrol emosi serta pengertian yang luas
tentang depresi dan mania. Bekerja dengan klien depresi pendekatan perawat adalah
hangat, menerima, diam yang aktif, jujur, empati. Sering intervensi ini sukar dipertahankan
karena klien tidak memberi respons. Hubungan saling percaya yang terapeutik perlu dibina
dab dipertahankan. Bicara lembut, sederhana dan beri waktu pada klien untuk berpikir dan
menjawab.Berbeda dengan klien mania yang sangat senang bicara, manipulatif, hiperaktif,
konsentrasi rendah dan singkat, pikiran meloncat, penilaian miskin. Klien mungkin
mendominasi dan memanipulasi klien dan kelompok. Batasan yang konstruktif diperlukan
untuk mengontrol perilaku klien.
3) Afektif
Sangat penting karena klien sukar mengekspresikan perasaanya. Kesadaran dan kontrol diri
perawat pada dirinya merupakan sarat utama. Pada klien depresi, perawa harus mempunyai
harapan bahwa klien akan lebih baik. Sikap perawat yang menerima klien, hangat,
sederhana akan mengekspresikan pengharapan pada klien. Perawat bukan
menggembirakan dan mengatakan tidak perlu khawatir, tetapi menenangkan dan menerima
klien. Mendorong klien mengekspresikan pengalaman yang menyakitkan dan
menyedihkan secara verbal akan mengurangi intensitas masalah yang dihadapinya
danmetaskan kehidupan lebih berarti. Jadi, intervensi pertama adalah membantu pasien
mengekspresikan perasaannya, kemudian dilanjutkan dengan intervensi yang berfokus
pada kognitif, perilaku atau sosial. Klien depresi dan mania yang diizinkan
mengekspresikan marah, ketidakpuasan, kecemasan merasakan pengalaman baru, dan
kemudian perawat membantu untuk menganalisis dan menyadari perasaannya dan
selanjutnya bersama-sam mencari alternatif pemecahan masalah sehat dan konstruktif.
4) Kognitif
Intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan kontrol diri klien pada tujuan dan perilaku,
meningkatkan harga diri dan membantu klien memodifikasi harapan yang negatifKlien
depresi yang memandang dirinya negatif perlu dibantu untuk mengkaji perasaannya, dan
identifikasi maslah yang berhubungan. Pikiran negatif yang ada harus diubah melalui
beberapa cara:
1. Identifikasi semua ide, pikiran yang negatif
2. Identifikasi aspek positif dari dirinya( yang dimiliki, kemampuan, keberhasilan,
kesempatan)
3. Dorong klien menilai kembali persepsi, logika, rasional
4. Bantu klien berubah dari tidak realitas kerealitas, dari persepsi yang salah atau negatif
ke persepsi positif
5. Sertakan klien aktivitas yang memperlihatkan hasil. Beri penguatan dan pujian akan
keberhasilannya.
5) Perilaku
Intervensi berfokus pada mengaktifkan klien yang diarahkan pada tujuan yang b secara
bertahap dalam aktivitas di ruangan. Klien depresi berat dengan penurunan motivasi perlu
dibuat aktivitas yang terstruktur. Beri penguatan pada aktivitas yang berhasil.
6) Sosial
Masalah utama dalam intervensi ini adalah kurangnya keterampilan berinteraksi. Untuk itu
diperlukan preses belajar membina hubungan yang terdiri dari:
1. Mengkaji kemampuan, dukungan dan minat klien
2. Mengobservasi dan mengkaji sumber dukungan yang ada pada klien
3. Membimbing klien melakukan hubungan interpersonal. Dapat dengan role model, role
play, dengan mencoba pengalaman hubungan sosial yang lalu
4. Beri umpan balik dan penguatan hubungan interpersonal yang positif
7) Fisiologis
Tujuan intervensi ini adalah meningkatkan status kesehatan klien. Makanan, tidur,
kebersihan diri, penampilan yang terganggu memerlukan perhatian perawat. Dalam hal
istirahat, klien depresi takut sehingga memerlukan dukungan. Klien mania yang selalu
segar dan tidak pernah ngantuk, perlu diberi suasana yang mendukung dengan peraturan
yang konstruktif.
X. Evaluasi
Efektifitas asuhan keperawatan dapat dilihat dari perubahan respon maladptif. Klien akan
dapat:
1. Menerima dan mengakui perasaannya dan perasaan orang lain.
2. Memulai kuminikasi
3. Mengontrol perilaku sesuai dengan keterbatasannya (tidak manipulatif)
4. Mempergunakan proses pemecahan masalah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Restraint (dalam psikiatrik) secara umum mengacu pada suatu bentuk tindakan
menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang
berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan fisik dan psikologis
individu.Perawat perlu mengkaji apakah restraint di perlukan atau tidak. Restrein seringkali dapat
dihindari dengan persiapan pasien yang adekuat, pengawasan orang tua atau staf terhadap pasien,
dan proteksi adekuat terhadap sisi yang rentan seperti alat infus. Perawat perlu mempertimbangkan
perkembangan pasien, status mental, ancaman potensial pada diri sendiri atau orang lain dan
keamannnya.
Pengendalian fisik (physical restraint) dengan menggunakan alat pengendalian fisik dengan
menggunakan alat merupakan bentuk pengendalian dengan menggunakan bantuan alat bantu
untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien maupu nmenahan gerakan rahang dan mulut
pasien. Alat bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien meliputi Sheet and ties,
Restraint Jaket, Papoose board , Restraint Mumi atau Bedong, Restraint Lengan dan Kaki,
Restraint siku, Pedi-wrap , Molt Mouth Prop, Molt Mouth Gags, Tongue Blades serta
pengendalian fisik (physical restraint) tanpa bantuan alat.
B. Saran
Dari makalah inidiharapkan pembaca dapat memahami lebih dalam tentang restrain
sehingga dapat menerapkan lansung saat melakukan praktik keperawatan jiwa serta mengetahui
fungsi dari restrain sehingga dapat digunakan tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Maramis. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press.
https://elvizulianisehatidotcom.wordpress.com/tag/kegawatdaruratan-psikiatri/
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., dan Grebb, J.A. (2000). Synopsis of Psychiatry. New York : Williams
and Wilkins
Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2001). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (Ed ke-7).
St. Louis: Mosby, Inc.
Gail Wiscarz Stuart dan Sandra J. Sundeen (1998). Keperawatan Jiwa : buku saku. Edisi 3.
Jakarta : EGC
http://eprints.umm.ac.id/26032/2/jiptummpp-gdl-diahtriari-38155-2-bab1.pdf/