Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Keperawatan Kegawatdaruratan (Emergency Nursing) adalah salah satu


bagian dari keperawatan dimana perawat memberikan asuhan kepada klien yang
sedang mengalami keadaan yang mengancam kehidupan karena sakit atau
kecelakaan. Unit Gawat Darurat Adalah tempat/unit di RS yang memiliki tim
kerja dengan kemampuan khusus & peralatan yang memberikan pelayan pasien
gawat darurat, merupakan rangkaian dari upaya penanggulangan pasien dengan
gawat darurat yang terorganisir.

Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan


bunuh diri, ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi,
kekerasan, serangan panik, dan perubahan tingkah laku yang cepat dan
signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang mematikan dan muncul
dengan gejala psikiatrik umum. Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini. Kemampuan tim medis untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah penting.

Setiap kehidupan yang dialami manusia selalu mengalami fluktuasi dalam


berbagai hal. Berbagai stressor baik fisik, psikologis maupun social mampu
mempengaruhi bagaimana persepsi seorang individu dalam menyikapi
kehidupan. Hanya individu dengan pola koping yang baik yang mampu
mengendalikan stressor-stressor tersebut sehingga seorang individu dapat
terhindar dari merilaku maladaptif. Selain faktor pola koping, faktor support
system individu sangat memegang peranan vital dalam menghadapi stressor
tersebut.

Individu yang mengalami ketidakmampuan dalam menghadapi stressor


disebut individu yang berperilaku maladaptif, terdapat berbagai macam jenis
perilaku maladaptif yang mungkin dialami oleh individu, dari yang tahap ringan
hingga ke tahap yang paling berat yaitu tentamen suicide atau percobaan bunuh

1
diri dan pada pasien dengan perilaku mengamuk umumnya klien dibawa dengan
paksa ke Rumah sakit Jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi
disertai bentakan dan pengawalan oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi
yang berakibat kondisi psikologis memburuk.

Keperawatan kegawatdaruratan dalam kasus tentamen suicide dan perilaku


mengamuk berfokus pada penanganan klien setelah terjadinya upaya nyata dari
klien yang melakukan percobaan bunuh diri serta mengamuk sehingga tidak
berfokus pada aspek psikologi dan psikiatri dari klien.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud pengertian dari percobaan bunuh diri ?

2. Apakah yang menjadi faktor penyebab bunuh diri ?

3. Bagaimana patofisiologi kasus bunuh diri ?

4. Apa saja manifestasi dari kasus bunuh diri?

5. Apa komplikasi dari bunuh diri?

6. Apa saja pemeriksaan penunjang pada pasien bunuh diri?

7. Bagaimana penatalaksanaan kasus bunuh diri?

8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada klien dengan kasus percobaan


bunuh diri?

9. Apakah pengertian dari perilaku mengamuk/ kekerasan?

10. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku mengamuk?

11. Bagaimana patofisiologi perilaku mengamuk?

12. Apa saja tanda gejala pada kasus mengamuk?

13. Apa akibat dari perilaku mengamuk?

14. Bagaimana konsep pentalaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan


perilaku mengamuk?

2
C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami dan membuat asuhan keperawatan gawat
darurat pada klien dengan percobaan bunuh diri dan perilaku mengamuk.
2. Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa dapat :

a) Mengetahui pengertian dari bunuh diri.

b) Mengetahui menjadi faktor penyebab bunuh diri.

c) Mengetahui patofisiologi kasus bunuh diri.

d) Mengetahui manifestasi dari kasus bunuh diri?

e) Mengetahui komplikasi dari bunuh diri?

f) Mengetahui pemeriksaan penunjang pada pasien bunuh diri?

g) Mengetahui penatalaksanaan kasus bunuh diri?

h) Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada klien dengan kasus


percobaan bunuh diri?

i) Mengetahui pengertian dari perilaku mengamuk/ kekerasan?

j) Mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku mengamuk?

k) Mengetahui patofisiologi perilaku mengamuk?

l) Mengetahui tanda gejala pada kasus mengamuk?

m)Mengetahui akibat dari perilaku mengamuk?

n) Mengetahui konsep pentalaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan


perilaku mengamuk?

3
BAB II
KONSEP DASAR BUNUH DIRI

A. Pengertian Bunuh Diri


Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang
disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang
digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat, 1993). Perilaku bunuh diri atau
destruktif diri langsung terjadi terus menerus dan intensif pada diri kehidupan
seseorang. Perilaku yang tampak adalah berlebihan, gejala atau ucapan verbal
ingin bunuh diri, luka atau nyeri (Rawlin dan Heacock, 1993).
Menurut para ahli, bunuh diri merupakan kematian yang diperbuat oleh sang
pelaku sendiri secara sengaja (Haroid I. Kaplan & Berjamin J. Sadock, 1998).
Seorang individu yang mengalami tentamen suicide biasanya mengalami
beberapa tahap sebelum dia melakukan percobaan bunuh diri secara nyata,
pertama kali biasanya klien memiliki mindset untuk bunuh diri kemudian
biasanya akan disampaikan kepada orang-orang terdekat. Ancaman tersebut
biasanya dianggap angin lalu, dan ini adalah sebuah kesalahan besar. Selanjutnya
klien akan mengalami bargaining dengan pikiran dan logikanya, tahap akhir dari
proses ini biasaya klien menunjukan tindakan percobaan bunuh diri secara nyata
Berikut ini adalah tanda-tanda bunuh diri yang mungkin terjadi:
1. Bicara mengenai kematian: Bicara tentang keinginan menghilang, melompat,
menembak diri sendiri atau ungkapan membahayakan diri.
2. Baru saja kehilangan: kematian, perceraian, putus dengan pacar atau
kehilangan pekerjaan, semuanya bisa mengarah pada pemikiran bunuh diri
atau percobaan bunuh diri. Kehilangan lainnya yang bisa menandakan bunuh
diri termasuk hilangnya keyakinan beragama dan hilangnya ketertarikan
pada seseorang atau pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati.

4
3. Perubahan kepribadian: seseorang mungkin memperlihatkan tanda-tanda
kelelahan, keraguan atau kecemasan yang tidak biasa.

4. Perubahan perilaku: kurangnya konsentrasi dalam bekerja, sekolah atau


kegiatan sehari-hari, seperti pekerjaan rumah tangga.

5. Perubahan pola tidur: tidur berlebihan, insomnia dan jenis gangguan tidur
lainnya bisa menjadi tanda-tanda dan gejala bunuh diri.

6. Perubahan kebiasaan makan: kehilangan nafsu makan atau bertambahnya


nafsu makan. Perubahan lain bisa termasuk penambahan atau penurunan
berat badan.

7. Berkurangnya ketertarikan seksual: perubahan seperti ini bisa mencakup


impotensi, keterlambatan atau ketidakteraturan menstruasi.

8. Harga diri rendah: gejala bunuh diri ini bisa diperlihatkan melalui emosi
seperti malu, minder atau membenci diri sendiri.

9. Ketakutan atau kehilangan kendali: seseorang khawatir akan kehilangan


jiwanya dan khawatir membahayakan dirinya atau orang lain.

10. Kurangnya harapan akan masa depan: tanda bunuh diri lainnya adalah
seseorang merasa bahwa tidak ada harapan untuk masa depan dan segala hal
tidak akan pernah bertambah baik.

11. Beberapa tanda bunuh diri lainnya meliputi pernah mencoba bunuh diri,
memiliki riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol, belanja berlebihan,
hiperaktivitas, kegelisahan dan kelesuan.

B. Faktor Penyebab Bunuh Diri


Penyebab perilaku bunuh diri dapat dikategorikan sebagai berikut :

5
1. Faktor Genetik
Ada yang berpikir bahwa bawaan genetik seseorang dapat menjadi
faktor yang tersembunyi dalam banyak tindakan bunuh diri. Memang gen
memainkan peranan dalam menentukan temperamen seseorang, dan
penelitian menyingkapkan bahwa dalam beberapa garis keluarga, terdapat
lebih banyak insiden bunuh diri ketimbang dalam garis keluarga lainya.
Kondisi kimiawi otak pun dapat menjadi faktor yang mendasar. Dalam otak.
miliaran neuron berkomunikasi secara elektrokimiawi. Di ujung-ujung
cabang serat syaraf, ada celah kecil yang disebut sinapsis yang diseberangi
oleh neurotransmiter yang membawa informasi secara kimiawi. Kadar
sebuah neurotransmiter, serotonin, mungkin terlibat dalam kerentanan
biologis seseorang terhadap bunuh diri. Akan tetapi, faktor genetik tidak bisa
dijadikan alasan yang mengharuskan seseorang untuk melakukan tindakan
bunuh diri.
2. Faktor Kepribadian
Salah satu faktor yang turut menentukan apakah seseorang itu punya
potensi untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah faktor kepribadian. Para
ahli mengenai soal bunuh diri telah menggolongkan orang yang cenderung
untuk bunuh diri sebagai orang yang tidak puas dan belum mandiri, yang
terus-menerus meminta, mengeluh, dan mengatur, yang tidak luwes dan
kurang mampu menyesuaikan diri. Mereka adalah orang yang memerlukan
kepastian mengenai harga dirinya, yang akhirnya menganggap dirinya selalu
akan menerima penolakan, dan yang berkepribadian kekanak-kanakan, yang
berharap orang lain membuat keputusan dan melaksanakannya untuknya
(Doman Lum).
Robert Firestone dalam buku Suicide and the Inner Voice menulis
bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri,
banyak yang lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman, lingkungan
keluarganya menolak dan tidak hangat, sehingga anak yang dibesarkan di
dalamnya merasakan kebingungan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

6
Pengaruh dari latar belakang kehidupan di masa lampau ini disebut
faktor predisposesi (faktor bawaan). Dengan memahami konteks yang
demikian, dapatlah kita katakan bahwa akar masalah dari perilaku bunuh diri
sebenarnya bukanlah seperti masalah-masalah yang telah disebutkan di atas
(ekonomi, putus cinta, penderitaan, dan sebagainya). Sebab masalah-masalah
tersebut hanyalah faktor pencetus/pemicu (faktor precipitasi). Penyebab
utamanya adalah faktor predisposisi.
3. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang mendorong bunuh diri adalah kurangnya
dukungan sosial dari masyarakat sekitar, kehilangan pekerjaan, kemiskinan,
huru-hara yang menyebabkan trauma psikologis, dan konflik berat yang
memaksa masyarakat mengungsi. Psikologis seseorang sangat menentukan
dalam persepsi akan bunuh diri sebagai jalan akhir/keluar. Dan psikologis
seseorang tersebut juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tertentu
juga.
4. Faktor Ekonomi
Masalah ekonomi merupakan masalah utama yang bisa menjadi faktor
seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Ekonomi sangat berpengaruh
dalam pemikiran dan kelakuan seseorang. Menurut riset, sebagian besar
alasan seseorang ingin mengakhiri hidupnya/ bunuh diri adalah karena
masalah keuangan/ekonomi. Mereka berangggapan bahwa dengan
mengakhiri hidup, mereka tidak harus menghadapi kepahitan akan masalah
ekonomi. Contohnya, ada seorang ibu yang membakar dirinya beserta
ananknya karena tidak memiliki uang untuk makan. Berdasarkan contoh
tersebut, para pelaku ini biasanya lebih memikirkan menghindari
permasalahan duniawi dan mengakhir hidup.
5. Gangguan Mental Dan Kecanduan
Gangguan mental merupakan penyakit jiwa yang bisa membuat
seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Mereka tidak memikirkan akan

7
apa yang terjadi jika menyakiti dan mengakhiri hidup mereka, karena sistem
mental sudah tidak bisa bekerja dengan baik.

C. Patofisiologi Bunuh Diri


Patofisiologi dari tentamen sucicide (bunuh diri) tergantung dari tipe
percobaan bunuh diri yang dilakukan pasien, tindakan yang paling umum
dilakukan klien dalam upaya bunuh diri adalah dengan sengaja mengonsumsi
zat aditif atau bahan beracun, memutus nadi pergelangan tangan,
penenggelaman, dan lain sebagainya.
Pada intoksifikasi zat beracun, intoksikasi atau keracunan adalah
masuknya zat atau senyawa kimia ke dalam tubuh seorang manusia yang
menimbulkan efek yang bersifat merugikan pada yang menggunakannya.

D. Manifestasi Klinik Bunuh Diri


Seseorang yang akan bunuh diri atau mengadakan percobaan bunuh diri biasanya
menunjukkan gejala prodromal berupa “perubahan” dalam interes, gaya hidup,
pola seksual, pola makan, kebiasaan, sikapnya terhadap kehidupan, baik
perubahan itu dalam wujud kata-kata maupun perbuatan. Contoh yang banyak:
seseorang yang pada hari-hari terakhirnya memberikan sesuatu atau barang-
barang yang berharga pada orang lain. Ciri-ciri psikologis pada bunuh diri
adalah:
1. Jangka Pendek: interval waktu timbulnya bunuh diri sangat pendek (beberapa
jam atau hari sebelumnya), yang dikenal dengan suicidal crisis. Kemungkinan
pada krisis ini pasien tertolong, krisis mereda sendiri atau pasien mati.
2. Ambivalensi : adanya dua sisi pikiran yakni ingin hidup dan ingin mati pada
saat yang bersamaan, dengan manisfestasi sebagai jerit minta tolong atau
adanya catatan bunuh diri.
3. Dyadic Event : bunuh diri merupakan kejadian antar dua orang atau pihak
yang terutama sudah saling mengenal sebelumnya, misalnya suami istri.

8
E. Macam-macam Pembagian Bunuh Diri
Macam-macam pembagian bunuh diri menurut Emile Durkheim ,yaitu :
1. Bunuh Diri Egoistic
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan
oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu
itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga
dapat menerangkan mengapa mereka yang tidak menikah lebih rentan untuk
melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah.
2. Bunuh Diri Altruistic
Individu itu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa
bahwa kelompok itu sangat mengharapkannya. Contoh : “hara-kiri” di
jepang,”puputan” di Bali.
3. Bunuh Diri Anomic
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma
kelakuan yang biasa. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri
pada orang cerai pernikahan dan yang mengalami perubahan ekonomi yang
drastis juga lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.

F. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin muncul pada klien dengan tentamen suicide
sangat tergantung pada jenis dan cara yang dilakukan klien untuk bunuh diri,
namun resiko paling besar dari klien dengan tentamen suicide adalah berhasilnya
klien dalam melakukan tindakan bunuh diri, serta jika gagal akan meningkatkan
kemungkingan klien untuk mengulangi perbuatan tentamen suicide.
Pada klien dengan percobaan bunuh diri dengan cara meminum zat kimia
atau intoksikasi zat komplikasi yang mungkin muncul adalah diare, pupil pi-
poin, reaksi cahaya negatif , sesak nafas, sianosis, edema paru .inkontenesia urine
dan feces, kovulsi, koma, blokade jantung akhirnya meninggal.

9
Pada klien dengan tentamen suicide yang menyebabkan asfiksia akan
menyebabkan syok yang diakibatkan karena penurunan perfusi di jaringan
terutama jaringan otak.
Pada klien dengan perdarahan akan mengalami syok hipovolemik yang jika
tidak dilakukan resusitasi cairan dan darah serta koreksi pada penyebab
hemoragik syok, kardiak perfusi biasanya gagal dan terjadi kegagalan multiple
organ.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap dengan elektrolit akan menunjukan seberapa berat
syok yang dialami klien, pemeriksaan EKG dan CT scan bila perlu bia dilakukan
jika dicurigai adanya perubahan jantung dan perdarahan cerebral.

H. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pasien yang hendak bunuh diri atau mencoba bunuh diri
adalah :
1. Segera meraih sisi ingin hidup dari keadaan ambivalensinya, dan mendorong
emosi, pikiran dan interesnya kearah sisi tersebut, dengan cara bersikap
sebagai teman dan tunjukkan diri sebagai perawatnya, usahakan jangan
berbeda pendapat atau sikap yang menakutkan penderita.peranan partnernya
biasa digunakan sebagai pembantu dalam usaha ini.
2. Jika penderita telah terkuasai, secepatnya pertahankan egonya dibangun
kembali. Psikoterapi supportif amat diperlukan, demikian pula mencari
causanya dan bila perlu obat-obatan diberikan sesuai dengan gejala yang
ditunjukkan dari causanya.
3. Perlu pengamatan yang terus-menerus, pasien denngan letalitas yang tinggi
harus diturunkan derajat kemungkinannya untuk bunuh diridengan cara
mengurangi teror baik dari luar maupun dari dalam dirinya yang

10
menyebabkan ia akan bunuh diri, dan sedapatnya memberi jalan keluar
psikis dan atau jalan keluar sesungguhnya dari masalah yang dihadapinya.
Penatalaksanaan kedaduratan :
1. Atasi akibat dari usaha bunuh diri (mis: luka tembak, takar lajak obat).
2. Cegah mencederai diri lebih lanjut, pasien yang telah melakukan
usaha bunuh diri mungkin melakukannya lagi.
3. Lakukan intervensi krisis (suatu bentuk psikoterapi singkat) untuk
menentukan potensi bunuh diri : tentukan area depresi dan konflik, dapatkan
dukungan system untuk pasiendan tentukan apakah dibutuhkan perawatan
atau rujukan psikiatrik.
4. Atur untuk dapat masuk ke unit perawatan intensif jika kondisi kondisi
menuntutnya, atur untuk perawatan lebih lanjut atau bawake unit psikiatrik
bergantung pada potensi bunuh diri.

I. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Bunuh Diri


1. Pengkajian
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama
dan hal yang paling penting dilakukan oleh perawat, baik pada saat penderita
pertama kali masuk Rumah Sakit (untuk mengetahui riwayat penyakit dan
perjalanan penyakit yang dialami pasien) maupun selama penderita dalam
masa perawatan (untuk mengetahui perkembangan pasien dan kebutuhannya
serta mengidentifikasi masalah yang dihadapinya). Hasil pengkajian yang
dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara
pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian:
 Wawancara
 Pemeriksaan fisik
 Observasi atau pengamatan
 Catatan atau status pasien
 Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
Pengkajian Primer meliputi :

11
a. Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Apakah klien dapat berbicara dan
bernafas dengan mudah, nilai kemampuan klien untuk bernafas secara
normal. Pada klien dengan kasus percobaan bunuh diri secara
penenggelaman, mungkin akan ditemukan adanya timbunan cairan di paru-
paru yang ditandai dengan muntah dan sesak nafas hebat.
b. Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan nilai
berapa frekuensi pernafasan klien per menitnya. Penurunan oksigen yang
tajam (10 liter/menit) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi. Analisa gas
darah dan pulse oxymeter dapat membantu untuk mengetahui kualitas
ventilasi dari penderita. Tanda hipoksia dan hiperkapnia bisa terjadi pada
penderita dengan kegagalan ventilasi seperti pada klien dengan kasus
percobaan bunuh diri yang dapat mengakibatkan asfiksia. Kegagalan
oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan observasi dan auskultasi pada
leher dan dada melalui distensi vena.
c. Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji kemampuan
venus return klien, lebih lanjut kaji output dan intake klien Penurunan
kardiak out put dan tekanan darah, klien dengan syok hipovolemik
biasanya akan menunjukan beberapa gejala antara lain, urin out put
menurun kurang dari 20cc/jam, kulit terasa dingin, gangguan fungsi
mental, takikardi, aritmia
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap nyeri
atau sama sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan menggunakan GCS, adapun
cara yang cukup jelas dan cepat adalah
A : Awakening
V : Respon Bicara
P : Respon Nyerin

12
U :Tidak Ada Nyeri
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penrunan oksigenasi atau
penurunan perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung pada otak.
Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan
oksigenasi, ventilasi dan perfusi.
Pengkajian sekunder
a. Data pasien
Data pasien merupakan identitas pasien yang meliputi Nama, Usia, jenis
kelamin, Kebangsaan/suku, Berat badan, tinggi badan, Tingkat pendidikan,
Pekerjaan, Status perkawinan, Anggota keluarga, Agama, Kondisi medis,
prosedur pembedahan, masalah emosional, dirawat di RS sebelumnya,
pengobatan sebelumnya, alergi, review sistem tubuh (pada sistem utama
yang mengalami gangguan). Pengkajian dilanjutkan dengan mengkaji
keluhan utama, keluhan tambahan serta aspek psikologis dari klien dengan
percobaan bunuh diri.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
b. Kekurangan voleume cairan
c. Pola nafas tidak efektif
d. Gangguan pertukaran gas
e. Gangguan perfusi jaringan
3. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa keperawatan: Bersihan jalan nafas tidak efektif
Tujuan: Bersihan jalan napas kembali efektif
Kriteria Hasil:
 Menunjukkan jalan napas paten dg bunyi napas bersih
 Tidak ada dipsneu
 Sekret dapat keluar
Intervensi :
1) Kaji frekuensi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada

13
2) Auskultasi area paru, catat area penurunan udara
3) Bantu pasien latihan nafas dalam dan melakukan batuk efektif.
4) Berikan posisi semifowler dan pertahankan posisi anak
5) Lakukan penghisapan lendir sesuai indikasi.
6) Kaji vital sign dan status respirasi.
7) Kolaborasi pemberian oksigen dan obat bronkodilator serta mukolitik
ekspektoran.
b. Diagnosa keperawatan : Kekurangan volume cairan
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
berlebih.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan
cairan dan elektrolit adekuat.
Kriteria hasil :
 Mempertahankan urine output sesuai berat badan
 Tanda-tanda vital dalam batas normal
 Tidak ada tanda dehidrasi, turgor kulit baik, mukosa lembab.
Intervensi :
1) Pertahankan intake dan output sesuai berat badan
2) Monitor status hidrasi
3) Monitor TTV
4) Kolaborasi pemberian cairan IV
5) Anjurkan pasien untuk meningkatkan masukan makanan dan cairan
6) Monitor adanya tanda dehidrasi, turgor kulit dan mukosa bibir
c. Diagnosa keperawatan : Pola nafas tidak efektif
Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien bisa bernafas dengan lega dengan
Kriteria hasil :
 Respirasi 20x/mnt
 Pasien tidak terengah – engah dalam bernafas
 Pasien tampak rileks

14
Intervensi :
1) Berikan terapi oksigen
2) Berikan posisi tendelenberg
3) Observasi TTV, terutama respirasi tiap 4 jam sekali
4) Kolaborasi medis untuk pemberian obat golongan epinefrin
d. Diagnosa keperawatan : gangguan pertukaran gas
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pertukaran
gas lancar.
Kriteria hasil :
 Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigen yang adekuat.
 Memelihara kebersihan paru dan bebas dari tanda-tanda distress
pernafasan
 Tanda-tanda vital dalam rentang normal.
Intervensi :
1) Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thurst bila perlu.
2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
3) Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan.
4) Berikan bronkodilator bila perlu.
5) Monitor konsentrasi dan status oksigen.
e. Diagnosa keperawatan : gangguan perfusi jaringan
Tujuan : Tidak terjadi perubahan perfusi pada jaringan serebral
Kriteria hasil :
 Tekanan darah sistol normal
 Tekanan darah diastole normal
 Denyut nadi normal
 Tekanan vena sentral normal
 Tekanan paru paru normal
 Denyut jantung normal
Intervensi :

15
1) Awasi sirkulasi
2) Evaluasi adanya edema perifer dan nadi
3) Lihat / kaji kulit ada luka atau tidak
4) Kaji derajat ketidaknyamanan atau nyeri
5) Ekstermitas bawah direndahkan untuk meningkatkan sirkulasi arteri
6) Ganti posisi pasien paling sedikit 2 jam
7) Monitor stress cairan, ternasuk cairan dan keluaran.

BAB III
KONSEP DASAR PERILAKU MENGAMUK

A. Definisi Perilaku Mengamuk


Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan
kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh
seseorang, ditunjukkan dengan perilaku actual melakukan kekerasan, baik pada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal,
bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,
2000).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan
kesal atau marah yang tidak konstruktif disebabkan karena frustasi, takut,

16
manipulasi atau intimidasi. Perilaku mengamuk adalah tindakan destruktif dan
bermusuhan yang kuat dan tidak terkontrol.

B. Faktor Penyebab Perilaku Mengamuk


1. Faktor predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang mungkin menjadi faktor
predisposisi yang mungkin/ tidak mungkin terjadi jika faktor berikut dialami
oleh individu :
a. Psikologis; kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk.
b. Perilaku, reinforcement yang diteima ketika melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan, merupakan aspek yang menstimuli
mengadopsi perilaku kekerasan
c. Sosial budaya; budaya tertutup, control sosial yang tidak pasti terhadap
perilaku kekerasan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima
d. Bioneurologis; kerusakan sistem limbic, lobus frontal/temporal dan
ketidakseimbangan neurotransmiser
2. Faktor presipitasi
Bersumber dari klien (kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan,
percaya diri kurang), lingkungan (ribut, padat, kritikan mengarah penghinaan,
kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan) dan interaksi dengan
orang lain( provokatif dan konflik).

C. Patofisiologi Perilaku Mengamuk


Faktor-faktor dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan
orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan,
ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku
kekerasan. Demikian pula situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan

17
kekerasan merupakan factor penyebab yang lain. Interaksi social yang provokatif
dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.

D. Manifestasi Klinik Perilaku Mengamuk


Agitasi motorik : bergerak cepat, tidak mampu duduk diam, memukul dengan
tinju kuat, mengepit kuat, respirasi meningkat, membentuk aktifitas motorik tiba-
tiba ( katatonia ).
Verbal : mengancam pada obyek yang tidak nyata, mengacau minta perhatian,
bicara keras - keras, menunjukkan adanya delusi atau pikiran paranoid .
Afek : marah, permusuhan, kecemasan yang ekstrim, mudah terangsang, euphoria
tidak sesuai atau berlebihan, afek labil.
Tingkat kesadaran : bingung, status mental berubah tiba-tiba, disorientasi,
kerusakan memori, tidak mampu dialihkan.
1. Fisik
 Mata melotot/pandangan tajam
 Tangan mengepal
 Rahang mengatup
 Wajah memerah
 Postur tubuh kaku
2. Verbal
 Mengancam
 Mengunpat dengan kata-kata kotor
 Suara keras
 Bicara kasar, ketus
 Perilaku
 Menyerang orang
 Melukai diri sendiri/orang lain
 Merusak lingkungan
 Amuk/agresif

18
E. Akibat Perilaku Mengamuk
Klien dengan perilaku kekerasan/ mengamuk dapat melakukan tindakan-tindakan
berbahaya bagi dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang
orang lain, memecahkan perabot, membakar rumah dan lain-lain.

F. Asuhan Keperawatan Perilaku Mengamuk


Perawat dapat mengimplementasikan berbagai intervensi untuk mencegah dan
memanage perilaku agresif. Intervensi dapat melalui Rentang Intervensi
Keperawatan.
Strategi preventif Strategi antisipasi Strategi pengurungan
- Kesadaran diri - Komunikasi - Managemen krisis
- Pendidikan klien - Perubahan lingkungan - Isolasi
- Latihan asertif - Tindakan perilaku - Pengekangan
- Psikofarmakologi

1. Kesadaran diri
Perawat harus menyadari bahwa stress yang dihadapinya dapat mempengaruhi
komunikasinya dengan klien. Bila perawat tersebut merasa letih, cemas,
marah, atau apatis maka akan sulit baginya untuk membuat klien tertarik.
Oleh karenanya, bila perawat itu sendiri dipenuhi dengan masalah, maka
energi yang dimilikinya bagi klien menjadi berkurang. Untuk mencegah
semua itu, maka perawat harus terus menerus meningkatkan kesadaran dirinya
dan melakukan supervisi dengan memisahkan antara masalah pribadi dan
masalah klien.
2. Pendidikan klien
Pendidikan yang diberikan mengenai cara berkomunikasi dan cara
mengekspresikan marah yang tepat. Banyak klien yang mengalami kesulitan
mengekspresikan perasaannya, kebutuhan, hasrat, dan bahkan kesulitan
mengkomunikasikan semua ini kepada orang lain. Jadi dengan perawat

19
berkomunikasi diharapkan agar klien mau mengekspresikan perasaannya, lalu
perawat menilai apakah respon yang diberikan klien adaptif atau maladaptif.
3. Latihan asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki perawat :
 berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang
 mengatakan ‘tidak’ untuk sesuatu yang tidak beralasan
 sanggup melakukan komplain
 mengekspresikan penghargaan dengan tepat
4. Komunikasi
Strategi berkomunikasi dengan klien perilaku agresif :
- Bersikap tenang
- Bicara lembut
- Bicara tidak dengan cara menghakimi
- Bicara netral dan dengan cara yang konkrit
- Tunjukkan respek pada klien
- Hindari intensitas kontak mata langsung
- Demontrasikan cara mengontrol situasi tanpa kesan berlebihan
- Fasilitasi pembicaraan klien
- Dengarkan klien
- Jangan terburu-buru menginterpretasikan
- Jangan buat janji yang tidak dapat perawat tepati
5. Managemen krisis
Bila pada waktu intervensi awal tidak berhasil maka diperlukan intervensi
yang lebih aktif. Prosedur penanganan kedaruratan psikiatrik :
- Identifikasi pemimpin tim krisis. Sebaiknya dari perawat karena yang
bertanggung jawab selama 24 jam.
- Bentuk tim krisis. Meliputi, dokter, perawat, dan konselor.
- Beritahu petugas keamanan jika perlu. Ketua tim harus menjelaskan apa
saja yang menjadi tugasnya selama penanganan klien.
- Jauhkan klien lain dari lingkungan.

20
- Lakukan pengekangan, jika memungkinkan.
- Pikirkan suatu rencana penanganan krisis dan beritahu tim.
- Tugaskan anggota tim untuk mengamankan anggota tubuh klien.
- Jelaskan perlunya intervensi tersebut kepada klien dan upayakan untuk
kerja sama.
- Pengekangan klien jika diminta oleh ketua tim krisis. Ketua tim harus
segera mengkaji situasi lingkungan sekitar untuk tetap melindungi
keselamatan klien dan timnya.
- Berikan obat jika diinstruksikan.
- Pertahankan pendekatan yang tenang dan konsisten terhadap klien.
- Tinjau kembali intervensi penanganan krisis dengan tim krisis.
- Proses kejadian dengan klien lain dan staf harus tepat.
- Secara bertahap mengintegrasikan kembali klien dengan lingkungan.
- Penanganan keperawatan

6. Isolasi
Adalah menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana klien tidak dapat
keluar atas kemauannya sendiri. Tingkatan pengisolasian dapat berkisar dari
penempatan dalam ruangan yang tertutup tapi tidak terkunci sampai pada
penempatan dalam ruang terkunci dengan kasur tanpa sprei di lantai,
kesempatan berkomunikasi yang dibatasi, dan klien memakai pakaian RS atau
kain terpal yang berat.
Indikasi penggunaan :
- Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan klien atau
orang lain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang lain dengan intervensi
pengendalian yang longgar, seperti kontak interpersonal atau pengobatan
- Reduksi stimulus lingkungan, terutama jika diminta oleh klien
Kontraindikasi :
- Kebutuhan untuk pengamatan masalah medic
- Risiko tinggi untuk bunuh diri

21
- Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori
- Hukuman
7. Pengekangan Fisik
Ada dua macam, pengekangan fisik secara mekanik (menggunakan manset,
sprei pengekang) atau isolasi (menempatkan klien dalam suatu ruangan
dimana klien tidak dapat keluar atas kemauannya sendiri).
Jenis pengekangan mekanik :
- Camisoles (jaket pengekang),
- Manset untuk pergelangan tangan,
- Manset untuk pergelangan kaki, dan
- Menggunakan sprei
Indikasi pengekangan :
- Perilaku amuk yang membahayakan diri sendiri atau orang lain
- Perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan
- Ancaman terhadap integritas fisik yang berhubungan dengan penolakan
klien untuk beristirahat, makan, dan minum
- Permintaan klien untuk pengendalian perilaku eksternal. Pastikan tindakan
ini ini telah dikaji dan berindikasi terapeutik
Jenis Pengekangan :
a. Pengekangan dengan sprei basah atau dingin
Klien dapat diimobilisasi dengan membalutnya seperti mummi dalam
lapisan sprei dan selimut. Lapisan paling dalam terdiri atas sprei yang telah
direndam dalam air es. Walaupun mula-mula terasa dingin, balutan segera
menjadi hangat dan menenangkan. Hal ini dilakukan pada perilaku amuk
atau agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan obat. Intervensi
keperawatannya :
- Baringkan klien dengan pakaian rumah sakit di atas tempat tidur yang
tahan air
- Balutkan sprei pada tubuh klien dengan rapi dan pastikan bahwa
permukaan kulit tidak saling bersentuhan

22
- Tutupi sprei basah dengan selapis selimut
- Amati klien dengan konstan
- Pantau suhu, nadi, dan pernapasan. Jika tampak sesuatu yang
bermakan, buka pengekangan
- Berikan cairan sesering mungkin
- Pertahankan suasana lingkungan yang tenang
- Kontak verbal dengan suara yang menenangkan
- Lepaskan balutan setelah lebih kurang 2 jam
- Lakukan perawatan kulit sebelum membantu klien berpakaian

b. Restrains

23
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau
manual untuk membatasi mobilitas fisik klien. (Riyadi, S dan Purwanto, T.
2009).
Restraint ( dalam psikiatrik ) secara umum mengacu pada suatu bentuk
tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan
ekstrimitas individu yang berperilaku di luar kendali yang bertujuan
memberikan keamanan fisik dan psikologis individu.
Tujuan tindakan keperawatan adalah memonitor alat restrain mekanik
atau restrain manual terhadap pergerakan klien.
Indikasi :
Adapun dari indikasi tindakan restrain adalah sebagai berikut:
- Perilaku kekerasan yang membahayakan diri sendiri dan
lingkungannya.
- Perilaku agitasi yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.
- Klien yang mengalami gangguan kesadaran.
- Klien yang membutuhkan bantuan untuk mendapatkan rasa aman dan
pengendalian diri.
- Ancaman terhadap integritas tubuh berhubungan dengan penolakan
klien untuk istirahat, makan dan minum.
Pelaksanaan :
Langkah-langkah pelaksanaan pengekangan (Start dan Laraia, 1998):

24
- Beri suasana yang menghargai dengan supervisi yang adekuat, karena
harga diri klien yang berkurang karena pengekangan.
- Siapkan junlah staf yang cukup dengan alat pengekang yang aman dan
nyaman.
 Tunjuk satu orang perawat sebagai ketua tim.
 Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya pada klien dan staf
agar dimengerti dan bukan hukuman.
 Jelaskan perilaku yang mengindikasikan pengelepasan pada
klien dan staf. Dan Jangan mengikat pada pinggir tempat
tidur. Ikat dengan posisi anatomis. Dan ikatan tidak
terjangkau klien.
- Lakukan supervisi yang adekuat dengan tindakan terapeutik dan
pemberian rasa nyaman.
 Beri aktivitas seperti televisi, bacakan buku pada klien untuk
memfasilitasi kerjasama klien pada tindakan.
 Perawatan pada daerah pengikatan:
a) Pantau kondisi kulit yang diikat: warna, temperatur,
sensasi.
b) Lakukan latihan gerak pada tungkai yang diikat secara
bergantian setiap (dua) jam. Dan perubahan posisi tidur.
c) Periksa tanda-tanda vital tiap 2 (dua) jam.
- Bantu pemenuhan kebutuhan nutrisi, eliminasi, hidrasi, dan kebersihan
diri.
- Libatkan dan latih klien untuk mengontrol perilaku sebelum ikatan
dibuka secara bertahap. Dan kurangi pengekangan secara bertahap,
misalnya setelah ikatan dibuka satu persatu secara bertahap, kemudian
dilanjutkan dengan pembatasan gerak kemudian kembali ke
lingkungan semula.
- Dokumentasikan seluruh tindakan yang dilakukan beserta respon klien.
8. Evaluasi

25
Mengukur apakah tujuan dan kriteria sudah tercapai. Perawat dapat
mengobservasi perilaku klien. Di bawah ini beberapa perilaku yang dapat
mengindikasikan evaluasi yang positif :
- Identifikasi situasi yang dapat membangkitkan kemarahan klien
- Bagaimana keadaan klien saat marah dan benci pada orang tersebut
- Sudahkah klien menyadari akibat dari marah dan pengaruhnya pada yang
lain
- Buatlah komentar yang kritikal
- Apakah klien sudah mampu mengekpresikan sesuatu yang berbeda
- Kien mampu menggunakan aktifitas secara fisik untuk mengurangi
perasaan marahnya
- Mampu mentoleransi rasa marahnya
- Konsep diri klien sudah meningkat
- Kemandirian dalam berpikir dan aktifitas meningkat

BAB IV
KESIMPULAN

Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri dapat disebabkan antara lain faktor
genetik, faktor kepribadian, faktor psikologis, faktor ekonomi, dan gangguan mental
dan kecanduan. Sebagai tenaga kesehatan kita harus tahu gejala yang terjadi pada
seseorang yang akan bunnuh diri, biasanya orang itu menunjukkan gejala prodromal
berupa “perubahan” dalam interes, gaya hidup, pola seksual, pola makan, kebiasaan,

26
sikapnya terhadap kehidupan, baik perubahan itu dalam wujud kata-kata maupun
perbuatan. Ciri-ciri psikologisnya terbagi antara lain jangka pendek ( suicidal crisis ),
ambivalensi (jerit minta tolong atau catatan bunuh diri), dan dyadic event.
Sebagai tenaga kesehatan hal yang pertama kita lakukan pada pasien yang ingin
bunuh diri ialah segera meraih sisi ingin hidup dari keadaan ambivalensinya, dan
mendorong emosi, pikiran dan interesnya kearah sisi terssebut, serta usahakan jangan
berbeda pendapat atau sikap. Setelah pasien tenang, secepatnya pertahankan egonya
dan berikan obat-obatan sesuai kondisinya, kemudian lakukan pengamatan terus-
menerus. Penatalaksanan kedaruratannya bila dalam kondisi gawat ialah segera
mengatasi akibat usaha bunuh diri, mencegah mencederai lebih lanjut, melakukan
intervensi krisis, dan mengatur untuk dapat masuk ke unit perawatan lebih lanjut.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Tanda dan gejala yang muncul terbagi dari segi agitasi motorik
(memukul, respirasi naik, katatonia), verbal (mengancam, bicara keras), afek (marah,
labil, cemas ekstrim), dan tingkat kesadaran (bingung, status mental berubah-ubah).
Intervensi dapat melalui Rentang Intervensi Keperawatan.
Strategi preventif Strategi antisipasi Strategi pengurungan
- Kesadaran diri - Komunikasi - Managemen krisis
- Pendidikan klien - Perubahan lingkungan - Isolasi
- Latihan asertif - Tindakan perilaku - Pengekangan
- Psikofarmakologi

DAFTAR PUSTAKA

Keliat. B.A . dkk. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (basic

Course). Jakarta : EGC

Purwadianto, Agus dan Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik: Pedoman

Penatalaksanaan Praktis. Jakarta: Binarupa Aksara

27
Diakses dari:

http://iamijobluw.wordpress.com/2012/11/29/askep-kegawatdaruratan/

http://d-nurse.blogspot.com/2012/06/askep-gadar-bunuh-diri.html

http://alam414m.blogspot.com/2011/06/asuhan-keperawatanaskep-perilaku-

bunuh.html

28

Anda mungkin juga menyukai