Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama.hal ini amat penting karena

orang dengan depresi produktivitasnya akan menurun dan ini amat buruk akibatnya bagi

suatu masyarakat,bangsa dan negara yang sedang membangun. Orang yang mengalami

depresi adalah orang yang amat menderita. Depresi adalah penyebab utama tindakan bunuh

diri.(Hawari,2001,hal.85)

Bunuh diri merupakan masalah yang sering terjadi di dunia yang sangat mengancam

sejak tahun 1958 dari 100.000 penduduk jepang 25 orang diantaranya meninggal akibat

bunuh diri. Sedangkan untuk Negara Austria,Denmark,inggris,rata-rata 23 orang. Urutan

pertama diduduki jerman dengan angka 37 orang per 100.000 penduduk. Di amerika tiap 24

menit seorang meninggal akibat bunuh diri dan setiap tahunnya 30.000 orang meninggal

akibat bunuh diri. Jumlah usaha bunuh diri yang sebenarnya adalah 10 kali lebih besar dari

angka tersebut,tetapi cepat tertolong kini yang menghawatirkan trend bunuh diri mulai

tampak meningkat terjadi pada anak-anak dan remaja.(Yosep,2009,hal.128)

Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti

diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain

dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak

dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk

aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu

yang diinginkan. (Stuart dan Sundeen, 1995. Dikutip Fitria, Nita, 2009.

Perawat ataupun tenaga kesehatan lain hendaknya memberikan saran, motivasi

bahkan cara yang dapat meminimalkan dan bahkan mencegah terjadinya bunuh diri pada

1
klien sehingga klien dapat menyalurkan kemarahannya pada tempat dan situsai yang benar

dan positif sehingga tidak membahayakan pasien sendiri. Perawat juga bisa memberikan

aktivitas ataupun kegiatan yang dapat mengurangi dari tingkat depresi dan resiko bunuh diri

klien sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Oleh sebab itulah peran dari setiap

aspek dan orang terdekat klien sangat berpengaruh pada timbulnya resiko bunuh diri yang

dilakukan oleh klien.

2. Rumusan Masalah
2.1 Apa pengertian dari resiko bunuh diri?

2.2 Apa etiologi dari resiko bunuh diri?

2.3 Apa tanda dan gejala dari resiko bunuh diri?

2.4 Apa jenis – jenis dari bunuh diri?

2.5 Bagaimana pengkajian pada pasien dengan resiko bunuh diri?

2.6 Apa masalah keperawatan pada pasien resiko bunuh diri?

2.7 Bagaimana penatalaksanaan pada pasien resiko bunuh diri?

2.8 Apa diagnosa keperawatan pada pasien resiko bunuh diri?

2.9 Bagaimana intervensi pada pasien resiko bunuh diri?

3. Tujuan Penulisan

3.1 Tujan Umum

Mengetahui tentang konsep atau teoritis dari resiko bunuh diri

3.2 Tujuan Khusus

3.2.1 Menjelaskan tentang konsep dasar resiko bunuh diri

3.2.2 Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan

resiko bunuh diri

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. BUNUH DIRI
2.1 Pengertian

Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti diri

sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain

dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak

dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk

aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu

yang diinginkan. (Stuart dan Sundeen, 1995. Dikutip Fitria, Nita, 2009).

Bunuh diri merupakan suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri

kehidupan, individu secara sadar berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku

bunuh diri meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan

mengakibatkan kematian, luka, atau menyakiti diri sendiri. (Clinton, 1995, hal. 262).

Bunuh diri dan percobaan bunuh diri atau membahayakan diri sendiri dengan sengaja

(DSH = deliberate self-harm), istilah yang terakhir ini, menjadi topik besar dalam psikiatri.

Di dunia, lebih dari 1000 bunuh diri terjadi tiap hari. Percobaan bunuh diri 10 kali lebih

sering, sekarang peracunan diri sendiri bertanggung jawab bagi 15% dari pasien medis yang

masuk rumah sakit dan pada pasien dibawah 40 tahun menjadi penyebab terbanyak.

Bunuh diri cenderung terjadi pada usia diatas 45 tahun, pria, tidak pandang kelas sosial

disertai depresi besar dan telah direncanakan. Percobaan bunuh diri cenderung dilakukan oleh

wanita muda dari kelas sosial bawah, jarang disertai dengan depresi besar dan bersifat

impulsif.

3
2.2 Etiologi

2.1 Faktor Predisposisi

Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku destruktif-diri

sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut :

2.1.1 Diagnosis Psikiatrik

Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh

diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat

individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif,

penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.

2.1.2. Sifat Kepribadian

Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko bunuh

diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.

2.1.3. Lingkungan Psikososial

Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah

pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian negatif dalam

hidup, penyakit krinis, perpisahan, atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan social

sangat penting dalam menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu

mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi masalah tersebut,

dan lain-lain.

2.1.4. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor

penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

4
2.1.5. Faktor Biokimia

Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi

peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti serotinin, adrenalin, dan

dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui ekaman gelombang

otak Electro Encephalo Graph (EEG).

2.2. Faktor Presipitasi

Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami oleh

individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan.Faktor lain

yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai

orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang

emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.

2.2.1 Perilaku Koping

Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat

melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar memilih untuk

melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor,

baik faktor social maupun budaya. Struktur social dan kehidupan bersosial dapat

menolong atau bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi social

dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk melakukan

bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat lebih mampu menoleransi

stress dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif dalam kegiatan keagamaan juga dapat

mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

5
2.2.2 Mekanisme Koping

Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping yang

berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial, rasionalization,

regression, dan magical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya tidak

ditentang tanpa memberikan koping alternatif.

Respon adaptif Respon maladaptif

Peningkatan diri Beresiko Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri

destruktif tidak langsung

Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman bunuh

diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan pertolongan agar dapat

mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan kegagalan koping dan

mekanisme adaptif pada diri seseorang.

2.2 Rentang Respons, YoseP, Iyus (2009)

1. Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri

secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri. Sebagai contoh

seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda mengenai loyalitas terhadap

pimpinan ditempat kerjanya.

2. Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami

perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat

mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya

dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.

6
3. Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat

(maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.

Misalnya, karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seorang

karyawan menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.

4. Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri

akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.

5. Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan

nyawanya hilang.

Perilaku bunuh diri menurut (Stuart dan Sundeen, 1995. Dikutip Fitria, Nita, 2009)

dibagi menjadi tiga kategori yang sebagai berikut:

1. Upaya bunuh diri (scucide attempt) yaitu sengaja kegiatan itu sampai tuntas akan

menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan

atau diabaikan. Orang yang hanya berniat melakukan upaya bunuh diri dan tidak

benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui

tepat pada waktunya.

2. Isyarat bunuh diri (suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha

mempengaruhi perilaku orang lain.

3. Ancaman bunuh diri (suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung

verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri. Orang

tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak akan ada di sekitar

kita lagi atau juga mengungkapkan secara nonverbal berupa pemberian hadiah,

wasiat, dan sebagainya. Kurangnya respon positif dari orang sekitar dapat

dipersepsikan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.

7
2.3 Respon Protektif-diri dan Perilaku Bunuh Diri

Perilaku destruktif-diri yaitu setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah

kepada kematian. Aktivitas ini dapat diklasifikasikan sebagai langsung atau tidak langsung.

Perilaku destruktif-diri langsung mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri. Niatnya adalah

kematian, dan individu menyadari hal ini sebagai hasil yang diinginkan. Lama perilaku

berjangka pendek, (Stuart,2006, hal 226).

Perilaku destruktif-diri tak langsung meliputi perilaku berikut :

1. Merokok

2. Mengebut

3. Berjudi

4. Tindakan kriminal

5. Penyalahgunaan zat

6. Perilaku yang menyimpang secara sosial

7. Prilaku yang menimbulkan stress.

8. Ketidakpatuhan pada tindakan medis

Rentang respon protektif diri mempunyai peningkatan diri sebagai respon paling adaptif,

sementara perilaku destruktif-diri, pencederaan diri, dan bunuh diri merupakan respon

maladaptif. Gambar . 1 Rentang Respon Protektif-diri

RENTANG RESPON PROTEKTIF-DIRI

Respon Adaptif Respon Maladapatif

Peningkatan Pertumbuhan Perilaku Pencederaan Bunuh Diri


Diri Peningkatan Destruktif-diri Diri
Berisiko tak langsung 8
2.4 Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009) :

1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.

2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.

3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.

4. Impulsif.

5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).

6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.

7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis


mematikan).

8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan


mengasingkan diri).

9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis dan
menyalahgunakan alcohol).

10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).

11. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan dalam
karier).

12. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.

13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).

14. Pekerjaan.

15. Konflik interpersonal.

16. Latar belakang keluarga.

17. Orientasi seksual.

18. Sumber-sumber personal.

19. Sumber-sumber social.

20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.

9
2.5 Jenis – jenis Bunuh Diri

Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

2.51. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)

Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan oleh kondisi

kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu seolah-olah tidak

berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka

tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan mereka

yang menikah.

2.5.2. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)

Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri

karena indentifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa kelompok tersebut sangat

mengharapkannya.

2.5.3. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)

Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dan

masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan yang biasa.

Individu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak memberikan

kepuasan padanya karena tidak ada pengaturan atau pengawasan terhadap kebutuhan-

kebutuhannya.

Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh klien untuk

mengakhiri kehidupannya. Berdasarkan besarnya kemungkinan klien melakukan bunuh diri,

ada tiga macam perilaku bunuh diri yang perlu diperhatikan, yaitu :

10
1. Isyarat bunuh diri

Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh

diri, misalnya dengan mengatakan :”Tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh!”

atau “Segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.”

Pada kondisi ini klien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya,

namun tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Klien umumnya

mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/ marah/ putus asa/ tidak berdaya. Klien

juga mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri

rendah.

2. Ancaman bunuh diri.

Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan untuk mati

disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan

rencana tersebut. Secara aktif klien telah memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak

disertai dengan percobaan bunuh diri.

Walaupun dalam kondisi ini klien belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan

ketat harus dilaksanakan. Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan klien untuk

melaksanakan rencana bunuh dirinya.

3. Percobaan bunuh diri.

Percobaan bunuh diri merupakan tindakan klien mencederai atau melukai diri untuk

mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, klien aktif mencoba bunuh diri dengan cara

gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat tinggi.

11
2.6 Pohon Masalah

Perilaku Kekerasan (Resiko mencederai diri sendiri)

Rsiko Bunuh Diri

Gangguan interaksi sosial (Menarik Diri)

Gangguan Konsep Diri (Harga Diri Rendah)

B. TERAPI SOMATIC

2.7 DEFINISI

Terapi somatic adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa

dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptive menjadi perilaku yang adaptif

dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien. Walaupun yang

diberi perlakuan adalah fisik klien tetapi target terapi adalah prilaku klien.

2.7.1 JENIS TERAPI SOMATIC

a. Pengikatan

b. Isolasi

c. Terapi kejang listrik / electro convulsive therapy / ECT

d. Fototerapi

e. Terapi deprivasi tidur

12
2.8 TERAPI KEJANG LISTRIK ( ECT )

2.8.1 DEFINISI ECT

Terapi kejang listrik atau electro convulsive therapy ( ECT ) adalah bentuk

terapi pada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan

arus listrik melalui electrode yang ditempelkan pada pelipis klien. Terapi ini pada

awalnya untuk menangani skizofrenia tetapi kemudian disadari bahwa terapi ini

lebih cocok untuk gangguan afektif

2.8.2 SEJARAH TINDAKAN ECT

Terapi dengan konvulsi sebenarnya telah dikenal sejak abad 16. Paraselsus

(140-1541) menggunakanc am phor atau kamper atau kini disebut kapur barus.

Kamper ini diberikan secara oral untuk menginduksi kejang sebagai terapi pada

pasien gangguan mental. Penggunaan kamper ini bertahan sampai abad ke-18.

Pada sekitar tahun 1917, Julius Wagner-Jaugregg, seorang psikiater dari Wina,

mulai menggunakan malaria sebagi penginduksi demam untuk mengobati pasien

dengan paresis umum pada pasien gangguan mental (sipilis terminal). Pada tahun

1093, mulai dikenal pula penggunaan insulin danps y c hos ur ge r y. Manfred

Sakel dari Wina mengumumkan kesuksesan pengobatan skizofrenia dengan

insulin. Insulin ini digunakan untuk menginduksi koma yang pada beberapa

pasien menyebabkan kejang. Kejang ini yang diperkirakan menyebabkan

perbaikan pada pasien.

Pada tahun 1934, Ladislaus von Meduna dari Budapest meninjeksi kamper

dalam minyak untuk menginduksi kejang pada pasien dengan skizofrenia

katatonik. Ini merupakan terapi konvulsi modern pertama. Terapi dinyatakan

berhasil, demikian juga dengan sejumlah pasien psikotik lainnya. Von Medunna

mengobservasi bahwa pada otak pasien epilepsi ditemukan jumlah sel glia yang

13
lebih banyak dari orang nomal, sementara pada pasien skizofrenia jumlah sel glia

lebih sedikit. Dengan hal ini dikemukakan hipotesa bahwa ada antagonisme

biologis antara kejang dan skizofrenia. Karena sifatnya yang long acting, kamper

kemudian digantikan oleh pentylenetrazol, namun zat ini sering menimbulkan

keluhan sensasi keracunan pada kondisi pasien sadar, disebabkan aktivitas

antagonis GABAnya.

Pada tahun 1938, di Roma, Ugo Cerleti dengan asistennya Lucio Bini

melakukan ECT pertama pada pasien skizofrenia. ECT dilakukan sebanyak 11

kali dan pasien memberikan respons yang bagus. Pengunaan ECT kemudian

menyebar luas di seluruh dunia. Kini ECT digunakan terutama pada depresi

mayor dan skizofrenia.

2.8.3 PERKEMBANGAN TEKHNIK ECT

ECT telah digunakan secara berkelanjutan selama lebih dari 70 tahun.

Bagaimanapun, telah dilakukan beberapa perkembangan teknis:

a. Pengenalan anestesi pada pelaksanaan ECT yang mengurangi distress pada

pasien dalam proses ECT

b. Anestesi juga diizinkan untuk digunakannya muscle relaxant yang

mengurangi ketegangan pada sistem muskuloskeletal, mengurangi cedera

c. Pre-oksigenasi dan ventilasi terpimpin selama pemulihan yang mengurangi

efek samping

d. Stimulus listrik terutama didisain untuk menghasilkan kejang yang bersifat

terapeutik tanpa memberikan energi listrik yang tidak perlu pada otak.

e. Penempatan elektroda yang beragam yang dapat dipilih berdasarkan

kebutuhan klinis kasus.

14
f. Metode monitoring aktivitas otak dan tubuh sebelum, selama, dan setelah

kejang.

2.8.4 INDIKASI ECT

Indikasi ECT terutama adalah untuk gangguan afektif tipe depresi walaupun

sering juga diberikan pada klien dengan skizofrenia. Untuk klien depresi

perbaikan yang timbul lebih cepat, hanya memerlukan 6 – 10 kali terapi,

sedangkan untuk skizofrenia membutuhkan 20 – 30 kali terapi secara terus

menerus. Frekuensi terapi yang biasanya dilaksanakan adalah tiap 2 – 3 hari

sekali ( seminggu 2 kali ).

2.8.5 KONTRA INDIKASI ECT

Walaupun sebagian terapi ECT cukup aman, akan tetapi ada beberapa

kondisi merupakan kontra indikasi diberikan terapi ECT. Kondisi – kondisi klien

yang kontra indikasi tersebut adalah :

a. Tumor intra cranial, karena ECT dapat meningkatkan tekanan intra cranial.

b. Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran.


c. Osteoporosis, karena dengan timbulnya grandmall dapat berakibat
terjadinya fraktur tulang.
d. Infark miokardium, dapat terjadi henti jantung.
e. Asthma bronkhial, Karena ECT dapat memperberat penyakit ini.

2.8.6 PERAN PERAWAT


2.8.6.1 PADA PERSIAPAN ECT
1. Tangani kecemasan dan kurang pengetahuan klien tentang
prosedur ECT
2. Melakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk
mengidantifikasi adanya kelainan yang merupakan kontra
indikasi ECT.
3. Menyiapkan surat persetujuan tindakan ( informed consent )
4. Mempuasakan klien minimal 6 jam sebelum ECT

15
5. Menghentikan pemberian obat sebelum ECT
6. Melepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut
yang dipakai oleh klien.
7. Memakaikan pakaian yang longgar.
8. Membantu mengosongkan blast ( kandung kemih )

2.8.6.2 PELAKSANAAN ECT


1. Membaringkan klien dengan posisi telentang
2. Siapkan alat
3. Pasang bantalan gigi
4. Sementara ECT dilaksanakan, tahan persendian dengan supel (
sendi bahu rahang dan lutut ).
5. Setelah selesai bantu nafas.

2.8.6.3 SETELAH ECT


1. Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi stabil
2. Jaga keamanan klien
3. Bila sudah sadar bantu orientasi klien dengan menjelaskan apa
yang sedang terjadi.

16
STRATEGI PELAKSANAAN RESIKO BUNUH DIRI UNTUK

KLIEN DAN KELUARGA

A. Kondisi Klien

Sedih, marah, putus asa, tidak berdaya, memberikan isyarat verbal maupun non verbal

B. Diagnosa Keperawatan

Resiko Bunuh Diri

C. Tujuan

1) Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya

2) Pasien dapat mengungkapkan perasaanya

3) Pasien dapat meningkatkan harga dirinya

4) Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik

D. Tindakan Keperawatan

1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan meminta

bantuan dari keluarga atau teman.

2) Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:

a) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.

b) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.

c) Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting

d) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien

e) Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan

3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:

a) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya

b) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara penyelesaian masalah

c) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik

17
E. Strategi Pelaksanaan

SP 1: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh diri

Melindungi pasien dari percobaan bunuh diri.

 Orientasi:

”Selamat pagi Pak, kenalkan saya Agung Nugroho, biasa di pangil Agung, saya mahasiswa

Keperawatan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang bertugas di ruang ini, saya

dinas pagi dari jam 7 pagi – 2 siang .”

”Bagaimana perasaan A hari ini? ”

” Bagaimana kalau kita bercakap – cakap tentang apa yang A rasakan selama ini. Dimana dan

berapa lama kita bicara?”

 Kerja

”Bagaimana perasaan A setelah ini terjadi? Apakah dengan bencana ini A paling merasa

menderita di dunia ini? Apakah A pernah kehilangan kepercayaan diri? Apakah A merasa

tidak berharga atau bahkan lebih rendah dari pada orang lain? Apakah A merasa bersalah atau

mempersalahkan diri sendiri? Apakah A sering mengalami kesulitan berkonsentrasi? Apakah

A berniat unutuk menyakiti diri sendiri? Ingin bunuh diri atau berharap A mati? Apakah A

pernah mencoba bunuh diri? Apa sebabnya, bagaimana caranya? Apa yang A rasakan?”

”Baiklah, tampaknya A membutuhkan pertolongan segera karena ada keinginan untuk

mengakhiri hidup. Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar A ini untuk memastikan tidak ada

benda – benda yang membahayakan A)”

”Karena A tampaknya mash memilikikeinginan yang kuat untuk mengakhiri hidup A, saya

tidak akan membiarkan A sendiri”

”Apa yang A lakukan jika keinginan bunuh diri muncul?”

”Kalau keninginan itu muncul, maka akan mengatasinya A harus langsung minta bantuan

kepada perawat di ruangan ini dan juga keluarga atau teman yang sedang besuk. Jadi A

18
jangan sendirian ya, katakan kepada teman perawat, keluarga atau teman jika ada dorongan

untuk mengakhiri kehidupan.”

”Saya percaya A dapat mengatasi masalah.”

 Terminasi :

”Bagaimana perasaan A sekarang setelah mengetahui cara mengatasi perasaan ingin bunuh

diri?”

” Coba A sebutkan lagi cara tersebut!”

”Saya akan menemani A terus sampapi keinginan bunuh diri hilang.” (jangan

meninggalkan pasien).

19
DIAGNOSA PASIEN KELUARGA
KEPERAWATAN

Resiko bunuh diri SP 1 : TUK 1 – 2 SP 1

1. Membina hubungan 1. Mengidentifikasi masalah


saling percaya dengan keluarga dalam merawat
klien pasien.
2. Melindungi klien dari 2. Menjelaskan proses
perilaku bunuh diri terjadinya harga diri
a. Jauhkan klien dari rendah kronis sehingga
benda yang dapat menimbulkan resiko
membahayakan ( bunuh diri
misalnya : pisau, 3. Mengajari keluarga cara
silet, gunting, kaca, mencegah resiko bunuh
dll ) diri
b. Tempatkan klien di 4. Menjelaskan cara merawat
tempat yang tenang pasien
dan selalu terlihat 5. Bermain peran cara
oleh perawat. merawat pasien
c. Awasi klien secara
ketat setiap saat.
3. Mengajarkan cara
mengendalikan dorongan
untuk bunuh diri

SP 2 : TUK 3 SP 2

1. Mengevaluasi kegiatan 1. Mengevaluasi kemampuan


yang telah di lakukan ( keluarga di SP 1
SP 1) 2. Latih keluarga untuk
2. Meningkatkan harga diri komunikasi langsung
klien : dengan klien
a. Bantu klien untuk 3. Menyusun jadwal
memahami bahwa keluarga untuk merawat
klien dapat mengatasi klien

20
keputusasaannya

b. Kaji dan kerahkan


sumber – sumber
internal individu

c. Bantu mengidentikasi
sumber – sumber
harapan (misal :
hubungan antar
sesame, keyakinan,
hal- hal untuk
diselesaikan)

3. Masukkan dalam jadwal


kegiatan klien

SP 3 : TUK 3, 4, 5 SP 3

1. Mengevaluasi kegiatan 1. Mengevaluasi kemampuan


yang telah di lakukan ( keluarga
SP 1 & 2) 2. Mengevaluasi kemampuan
2. Mengidentifikasi pola pasien
koping yang biasa di 3. RTL keluarga :
gunakan klien a. HE perawatan di
3. Menilai pola koping yang rumah
di miliki klien - Jangan biarkan
4. Mengajarkan klien klien sendiri
mekanisme koping yang - Jauhkan benda –
adaptif benda yang dapat
5. Membantu klien di gunakan untuk
merencanakan masa bunuh diri

21
depan yang realistis - Temani klien
6. Memobilisasi dukungan melakukan
social aktivitas yang di
7. Masukkan dalam jadwal sukai
kegiatan klien b. Rencana pulang

22
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN
Percobaan bunuh diri adalah perbuatan merusak diri sendiri yang dilakukan dengan

keinginan destruktif, tetapi tidak nyata atau ragu-ragu (Suwanto, 2009).

Menurut Maramis (2005) tentang percobaan bunuh diri adalah segala perbuatan dengan

tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan dengan sengaja dilakukan oleh seorang yang

tahu akan akibatnya yang mungkin pada waktu singkat.

Menurut Clinton, 1995 (dalam Yosep, 2009) pengertian yang lebih lengkap dari

Suswanto dan Maramis tentang bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan

untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan

hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri ini meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau

ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri.

Berdasarkan data yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa“persepsi

bunuh diri sebagai jalan keluar” bukanlah suatu tindakan yang patut dilakukan,

karena justru akan menambah masalah yang telah ada. Bunuh diri merupakan hasil dari

ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi cobaan hidup. Penyebab utama

terjadinya bunuh diri di masyarakat adalah karena kurang iman dan kepercayaan

pada diri sendiri. Oleh karena itu, perlu ditanamkan sikap percaya diri yang mengarah ke

arah positif dan untuk menangkalnya juga harus diintensifkan pendidikan agama sejak masa

kanak-kanak.

2. SARAN
 Perlunya kewaspadaan dan penanganan secara intensif pada klien perilaku

mencederai diri: bunuh diri, yaitu perlindungan bagi klien (menjauhkan dari hal-

hal/benda-benda yang memudahkan klien untuk bunuh diri)

23
 Perlunya peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat (apabila dalam rumah

sakit) dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien bunuh diri.

 Perlunya pendekatan khusus pada klien bunuh diri, misalnya dengan membina

hubungan saling percaya sehingga klien mau menceritakan permasalahannya dan

konsultan dapat mencarikan jalan keluarnya.

 Perlunya meningkatkan dukungan sosial seperti keluarga, teman dekat dan lain-

lainnya.

 Perlunya penyediaan hotline servis, home care atau pelayanan 24 jam.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. CAPTAIN, C, ( 2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume
6(3), May/June 2008, p 46–53
2. Varcarolis, E M (2000). Psychiatric Nursing Clinical Guide, WB Saunder Company,
Philadelphia.
3. Stuart, GW and Laraia (2005). Principles and practice of psychiatric nursing, 8ed.
Elsevier Mosby, Philadelphia
4. Supratinya,A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal.Yogyakarta: Kanisius.
5. LAB/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa. 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan RSUD.Dr. Soetomo.

25

Anda mungkin juga menyukai