Disusun Oleh
PSIK A 2018
Secara umum, kata bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”yang berarti
“membunuh diri sendiri”. Jika berhasil, tindakan ini merupakan tindakan fatal yang
menunjukkan keinginan orang tersebut untuk mati. Schneidman mendefinisikan
bunuh diri sebagai sebuah perilaku oleh seorang individu yang memandang bunuh diri
sebagai solusi terbaik untuk penyelesaian pada masalah yang dihadapi. Istilah bunuh
diri dapat mengandung arti ancaman bunuh diri (threatened suicide), ide bunuh diri
(suicide ideation), percobaan bunuh diri (attempted suicide), bunuh diri yang telah
dilakukan (committed suicide), depresi dengan niat bunuh diri dan melukai diri sendiri
(self destruction). Jadi secara umum definisi bunuh diri adalah perilaku membunuh
diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian suatu masalah.
(Simanjuntak, 2013)
Resiko bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengaami resiko utuk
menyakiti diri sendri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam
sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri
sendiri yang jika tidak dicegah mengarah pada kematian . perilaku destruktif diri yang
mencakup setiap bentuk ativita bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu
menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Stuart dan Sundeen 1995. Dikutip
Fitria, Nita 2009)
1.2 Klasifikasi
1) Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt). Pada kategori ini, individu sengaja
melakukan kegiatan menuju bunuh diri, dan bila kegiatan tersebut dilakukan
sampai tuntas, maka akan menyebabkan kematian. Kondisi ini telah terjadi setelah
tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan. Individu yang hanya berniat
melakukan percobaan bunuh diri dan tidak benar-benar ingin mati.
2) Isyarat Bunuh Diri (Suicide Gesture) Kategori ini merupakan bunuh diri yang
direncanakan untuk usaha mempengaruhi perilaku orang lain. Hal ini dilakukan
untuk menarik perhatian dengan status emosional pasien yang terganggu tetapi
tidak seserius pada percobaan bunuh diri, meskipun dapat mengakibatkan bunuh
diri secara disengaja atau tidak disengaja. Contoh isyarat bunuh diri termasuk
cutting, dimana tidak diiris cukup dalam untuk menyebabkan kehilangan darah
yang signifikan, atau mengkonsumsi obat non-berbahaya dengan dosis yang
berlebihan.
3) Ancaman Bunuh Diri (Suicide Threat) Kategori ini merupakan suatu peringatan
baik secara langsung maupun tidak langsung, verbal maupun non-verbal, bahwa
seseorang sedang mengupayakan bunuh diri. Individu tersebut mungkin
menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak akan ada di kehidupannya lagi atau
mengungkapkan secara non-verbal seperti pemberian hadiah, wasiat, dan
sebagainya. Kurangnya respon positif dari orang-orang yang ada disekitarnya dapat
dipersepsikan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri
(Simanjuntak, 2013)
1.3 Tanda dan Gejala
c. Psikodinamika
Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya motivasi untuk
bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat melaksanakan bunuh diri, mengembangkan
gagasan sampai akhirnya melakukan bunuh diri. Oleh karena itu, adanya percobaan
bunuh diri merupakan masalah keperawatan yang harus mendapatkan perhatian serius.
Sekali pasien berhasil mencoba bunuh diri, maka selesai riwayat pasien. Untuk itu,
perlu diperhatikan beberapa mitos (pendapat yang salah) tentang bunuh diri.
Bunuh diri secara personal, terjadi karena orang merasa lebih bebas dan tidak mau
tunduk pada aturan dan tahu perilaku tertentu, orang tidak ingin terlalu terikat oleh
kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-konvensi yang ada untuk memecahkan kesulitan
hidupnya. Sebaliknya mereka mencari jalan singkat dengan “caranya sendiri” yaitu
bunuh diri, untuk mengatasi kesulitan hidupnya atas keputusan sendiri. Oleh karena
itu, peristiwa bunuh diri adalah bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya
menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan social dan tuntutan hidup.
(Kartono, 2011)
d. Patopsikologi
Proses terjadinya bunuh diri dimulai dari adanya isyarat bunuh diri yang
ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri, misalnya
dengan mengatakan “tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh” atau “segala
sesuatu akan lebih baik tanpa saya”. Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki
ide untuk mengakhiri hidupnya tetapi tidak disertai ancaman dan percobaan bunuh
diri. Selanjutnya adalah adanya ancaman bunuh diri biasanya diucapkan oleh pasien,
yang berisi keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan
dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah
memikirkan rencana bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.
Tahap terakhir adalah adanya percobaan bunuh diri yaitu tindakan pasien mencederai
atau melukai diri untuk mengakhiri hidupnya (Kartono, 201).
Rendahnya tingkat brain-derived neurotrophic factor (BDNF) yang terkait secara
langsung dengan bunuh diri dan secara tidak langsung melalui perannya dalam
kejadian depresi berat, gangguan stres pasca trauma, skizofrenia dan gangguan
obsesif-kompulsif. Dari studi Bedah mayat ditemukan adanya penurunan tingkat
BDNF pada hipokampus dan korteks prefrontal, pada orang yang mengalami
gangguan kejiwaan maupun yang tidak. Serotonin, sebuah neurotransmitter otak,
diyakini rendah tingkatnya pada orang yang bunuh diri. Hal ini sebagian didasarkan
pada bukti meningkatnya kadar reseptor 5-HT2A setelah kematian. Bukti lain
termasuk berkurangnya tingkat produk turunan serotonin, Asam 5-
hidroksiindoleasetat, dalam cairan tulang belakang otak. Namun, bukti langsung
cukup sulit dikumpulkan. Epigenetika, studi tentang perubahan dalam ekspresi
genetika dalam merespons faktor lingkungan yang tidak mengubah DNA yang
mendasarinya, juga diyakini berperan dalam menentukan risiko bunuh diri.
(Stuart, 2013)
e. Pencegahan
Hingga saat ini, belum ada cara yang terbukti dapat mencegah tindakan bunuh diri
secara total dan memberikan perlindungan pada pasien dari kemungkinan bunuh diri.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, yakni pencegahan primer, sekunder, dan
tersier.
Pencegahan sekunder merujuk pada deteksi dini dan memberi penanganan yang
tepat pada individu yang memiliki keinginan bunuh diri. Tujuan dari pencegahan
sekunder ini adalah menurunkan kemungkinan percobaan bunuh diri pada pasien
dengan risiko tinggi. Rangkaian dari tindakan bunuh diri ini berawal dari ide untuk
menunjukkan gerakan-gerakan isyarat, pola hidup yang cenderung berisiko, rencana
untuk bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan pada akhirnya bunuh diri tersebut
terlaksana sepenuhnya. Tidak semua tindakan yang menghancurkan diri harus
diinterpretasikan ke dalam tindakan bunuh diri.
Menurut The Mental Health Recovery Institute (2017) ada beberapa faktor
pelindung yang dapat mencegah bunuh diri. Faktor-faktor tersebut telah terbukti
menunjukkan penurunan risiko bunuh diri, faktor-faktor tersebut antara lain (The
Mental Health Recovery Institute, 2017):
Seseorang akan merasa kurang tertekan akibat hubungan persaan yang terjalin
dengan orang-orang disekitarnya dan mereka mungkin juga merasakan tanggung
jawab kepada mereka atau keinginan untuk tidak mengecewakan mereka atau
menyakiti mereka.
Spiritulitas dan tujuan hidup dapat menjadi alasan untuk melanjutkan hidup
mereka sepanjang mereka merasakan terhubung dengan spiritulitas dan tujuan
hidup.
Tanggung jawab merawat anak dapat melindungi orang tersebut dari bunuh
diri karena mereka tidak ingin meninggalkan anak mereka tanpa seseorang yang
akan merawat mereka.
1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan terapi
farmakologi. Menurut Videbeck (2008), obat-obatan tersebut sering dipilih karena
tidak berisisko letal akibat overdosis. Obat-obatan yang sering digunakan pada klien
risiko bunuh diri adalah SSRI (Selective Serotonine Reuptake Inhibitor).
(Kartono, 2011)
Proses terjadinya bunuh diri dimulai dari adanya isyarat bunuh diri yang ditunjukkan
dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan
“tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh” atau “segala sesuatu akan lebih baik
tanpa saya”. Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri
hidupnya tetapi tidak disertai ancaman dan percobaan bunuh diri. Selanjutnya adalah
adanya ancaman bunuh diri biasanya diucapkan oleh pasien, yang berisi keinginan untuk
mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk
melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri,
tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri. Tahap terakhir adalah adanya percobaan
bunuh diri yaitu tindakan pasien mencederai atau melukai diri untuk mengakhiri hidupnya
(Kartono, 201).
(Stuart, 2013)
3. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
DS :
- Klien mengatakan ingin bunuh
diri
- Klien mengatakan pernah
mencoba bunuh diri
- Klien merasa bersalah, merasa
sedih, marah, putus asa dan tidak
berdaya
- Klien merasa sudah tidak ada
gunanya hidup lagi
Risiko Bunuh Diri
- Klien pernah melakukan bunuh (RBD)
diri, namun ditolong/gagal
DO :
- Status mental berubah-ubah
- Mood depresif
- Klien tampak murung
- Klien tampak tidak bergairah
- Klien hanya diam
- Ditemukan banyak jejas/sayatan
percobaan bunuh diri pada tubuh
klien
- Fatigue
DS :
- Menilai diri negatif (mis. tidak
berguna)
- Merasa malu/bersalah
- Merasa tidak mampu melakukan
apapun
- Meremehkan kemamuan
mengatasi masalah Harga Diri Rendah Kronis
- Merasa tidak memiliki kelebihan (HDRK)
atau kemampuan positif
- Melebih-lebihkan penilaian
negatif tentang diri sendiri
- Menolak penilaian positif
tentang diri sendiri
- Merasa sulit konsentrasi
- Sullit tidur
- Mengungkapkan keputusasaan
DO :
- Enggan mencoba hal baru
- Berjalan menunduk
- Postur tubuh menunduk
- Kontak mata kurang
- Lesu dan tidak bergairah
- Berbicara pelan dan lirih
- Pasif
- Perilaku tidak asertif
- Mencari penguatan secara
berlebihan
- Bergantung pada pendapat orang
lain
- Sulit membuat keputusan
- Sering kali mencari penegasan
DS :
- Klien memiliki riwayat perilaku
kekerasan pada diri sendiri atau
orang lain
- Klien merasa tidak cemas saat
memasuki RS
DO :
- Aktivitas motorik meningkat
- Kurang pengendalian impuls Risiko Perilaku Kekerasan
- Bicara keras (RPK)
- Dorongan agresif tinggi
- Tegang
- Bersikap bermusuhan, ansietas
berat
- Bersikap curiga
- Tidak patuh
- Halusinasi
- Status mental berubah-ubah
- Mudah terangsang / tersinggung
C. Pohon Diagnosa
RPK
(Efek)
Risiko Bunuh
Diri (Masalah Utama)
HDRK
(Penyebab)
D. Dignosa Keperawatan
No. SDKI SLKI SIKI
Promosi Koping
Observasi
- Identifikasi kegiatan
jangka pendek dan
panjang sesuai tujuan
- Identifikasi kemampuan
yang dimiliki
- Identifikasi metode
penyelesaian masalah
- Identifikasi kebutuhan dan
keinginan terhadap
dukungan sosial
Terapeutik
- Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
- Diskusikan alasan
mengkritik diri sendiri
- Diskusikan untuk
mengklarifikasi
kesalahpahaman dan
mengevaluasi perilaku
sendiri
- Diskusikan konsekuensi
tidak menggunakan rasa
bersalah dan rasa malu
- Diskusikan risiko yang
menimbulkan bahaya pada
diri sendiri
- Motivasi untuk
menentukan harapan yang
realistis
- Tinjau kembali
kemampuan dalam
pengambilan keputusan
- Motivasi terlibat dalam
kegiatan sosial
- Motivasi mengidentifikasi
sistem pendukung yang
tersedia
- Perkenalkan dengan orang
atau kelompok yang
berhasil mengalami
pengalaman yang sama
- Dukung penggunaan
mekanisme pertahanan
yang tepat
- Kurangi rangsangan
lingkungan yang
mengancam
Edukasi
- Anjurkan menjalin
hubungan yang memiliki
kepentingan dan tujuan
sama
- Anjurkan penggunaan
sumber spiritual, jika perlu
- Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi
- Anjurkan keluarga terlibat
- Ajarkan cara memecahan
masalah secara konstruktif
- Latih penggunaan teknik
relaksasi
- Latih keterampilan sosial,
sesuai kebutuhan
Simanjuntak, Julianto. 2013. Konseling Gangguan Jiwa dan Okultisme. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Supyanti, W & Wahyuni, A. 2012. Suicide Attempts Prevention in Children & Aolescent With
Depresive Disorders. E-Jurnal Medika Udayana, 1(1), 1-10.
The Mental Health Recovery Institute. (2017). The 13 Suicide Warning Signs: A Guide for
Managers. Australai: The Mental Health Recovery Institute. Retrieved from
www.mhri.com.au
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP PPNI
Yusuf, Ahmad Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.