Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

“RISIKO BUNUH DIRI”

Laporan Pendahuluan Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Praklinik Keperawatan


Jiwa

Dosen Pengampu : Ns. Fajriyah Nur Afriyanti, M. Kep, Sp. Kep. J

Disusun Oleh

Nanda Syifa Fauzianthi 11181040000043

PSIK A 2018

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JUNI/2021
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Kasus/Masalah Utama (Risiko Bunuh Diri)


1.1 Definisi

Secara umum, kata bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”yang berarti
“membunuh diri sendiri”. Jika berhasil, tindakan ini merupakan tindakan fatal yang
menunjukkan keinginan orang tersebut untuk mati. Schneidman mendefinisikan
bunuh diri sebagai sebuah perilaku oleh seorang individu yang memandang bunuh diri
sebagai solusi terbaik untuk penyelesaian pada masalah yang dihadapi. Istilah bunuh
diri dapat mengandung arti ancaman bunuh diri (threatened suicide), ide bunuh diri
(suicide ideation), percobaan bunuh diri (attempted suicide), bunuh diri yang telah
dilakukan (committed suicide), depresi dengan niat bunuh diri dan melukai diri sendiri
(self destruction). Jadi secara umum definisi bunuh diri adalah perilaku membunuh
diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian suatu masalah.

(Simanjuntak, 2013)

Resiko bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengaami resiko utuk
menyakiti diri sendri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam
sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri
sendiri yang jika tidak dicegah mengarah pada kematian . perilaku destruktif diri yang
mencakup setiap bentuk ativita bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu
menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Stuart dan Sundeen 1995. Dikutip
Fitria, Nita 2009)
1.2 Klasifikasi

Klasifikasi perilaku bunuh diri dibagi menjadi tiga kategori yaitu:

1) Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt). Pada kategori ini, individu sengaja
melakukan kegiatan menuju bunuh diri, dan bila kegiatan tersebut dilakukan
sampai tuntas, maka akan menyebabkan kematian. Kondisi ini telah terjadi setelah
tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan. Individu yang hanya berniat
melakukan percobaan bunuh diri dan tidak benar-benar ingin mati.
2) Isyarat Bunuh Diri (Suicide Gesture) Kategori ini merupakan bunuh diri yang
direncanakan untuk usaha mempengaruhi perilaku orang lain. Hal ini dilakukan
untuk menarik perhatian dengan status emosional pasien yang terganggu tetapi
tidak seserius pada percobaan bunuh diri, meskipun dapat mengakibatkan bunuh
diri secara disengaja atau tidak disengaja. Contoh isyarat bunuh diri termasuk
cutting, dimana tidak diiris cukup dalam untuk menyebabkan kehilangan darah
yang signifikan, atau mengkonsumsi obat non-berbahaya dengan dosis yang
berlebihan.
3) Ancaman Bunuh Diri (Suicide Threat) Kategori ini merupakan suatu peringatan
baik secara langsung maupun tidak langsung, verbal maupun non-verbal, bahwa
seseorang sedang mengupayakan bunuh diri. Individu tersebut mungkin
menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak akan ada di kehidupannya lagi atau
mengungkapkan secara non-verbal seperti pemberian hadiah, wasiat, dan
sebagainya. Kurangnya respon positif dari orang-orang yang ada disekitarnya dapat
dipersepsikan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri
(Simanjuntak, 2013)
1.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dari resiko bunuh diri adalah :

a. Mempunyai ide untuk bunuh diri


b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
d. Impulsif
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
g. Verbal terselubung ( berbicara tentang kematian, menayakan tentang obat dosis
mematikan)
h. Status emosional ( harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah dan
mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental( secara klinis, klien terlihat sebagai orang depresi, psikosis
dan menyalagunakan narkoba)
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau terminal)
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier)
l. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun
m. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan)
n. Pekerjaan (di PHK)
o. Konflik interpersonal
p. Latar belakang keluarga
q. Orientasi seksual
r. Sumber-sumber personal
(Damayanti dkk, 2012)
1.4 Faktor Risiko
1) Usia
Sebagian besar kejadian bunuh diri saat ini terdapat pada orang-orang berusia 15
sampai 44 tahun. Prevalensi bunuh diri untuk perempuan dengan kelompok usia
yang sama meningkat lebih lambat dibandingkan dengan laki-laki. Selama
dekade terakhir, angka kejadian bunuh diri pada laki-laki berusia 25 sampai 34
tahun meningkat hampir 30%. Angka terbesar bunuh diri yang berhasil
dilakukan pada perempuan terdapat setelah usia 55 tahun. Di kalangan laki-laki,
puncak bunuh diri terjadi setelah usia 45 tahun.
2) Jenis Kelamin
Laki-laki melakukan tindakan bunuh diri dan berhasil dalam mengakhiri hidup
mereka empat kali lebih sering daripada perempuan, sedangkan perempuan
memiliki kemungkinan untuk melakukan percobaan bunuh diri empat kali lebih
sering dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan tingkat angka keberhasilan
bunuh diri pada laki-laki yang lebih tinggi berkaitan dengan penggunaan sarana
yang lebih mematikan, pengalaman serangan dan niat atau intensi untuk mati
lebih tinggi daripada perempuan
3) Agama
Katolik/Kristen, Islam dan Yahudi merupakan tiga agama besar dunia yang
sangat keras melarang seseorang melakukan bunuh diri, tetapi pelarangan ini
bersifat plastis. Di Asia, Hindu dan Buda sebagai agama yang berlandaskan
sikap penyerahan diri secara tidak langsung mempunyai kecenderungan untuk
mengajarkan bunuh diri walau disertai alasan tertentu. Sedangkan aliran Khong
Hu Cu mengajarkan dengan penekanan nilai-nilai kebijakan berlandaskan
kesatuan keluarga bahwa seseorang tidak boleh melukai diri sendiri karena
semua sudah merupakan pemberian kepadanya oleh kedua orang tuanya. Bunuh
diri sangat dilarang kecuali dalam keadaan tertentu seperti gagal dalam
melaksanakan tugas yang diberikan orang tua, atau loyalitas terhadap Negara
4) Pekerjaan dan Status Sosial
Tingkatan status sosial seseorang sangat berpengaruh pada tingginya risiko
melakukan tindakan bunuh diri. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin
tinggi risiko bunuh dirinya, tetapi penurunan status sosial juga meningkatkan
risiko bunuh diri. Faktor pekerjaan seorang individu merupakan hal yang sangat
berkaitan dengan risiko tindakan bunuh diri terutama pada laki-laki. Populasi
khusus yang memiliki risiko adalah petugas penegak hukum, dokter, pengacara,
dan agen asuransi. Ketidakstabilan pekerjaan dan pengangguran biasanya
menjadi faktor dibalik meningkatnya angka kejadian bunuh diri, tetapi angka
kejadian bunuh diri lebih tinggi pada pengangguran dibandingkan dengan orang
yang bekerja
5) Riwayat Penyakit
Riwayat kesehatan fisik dan perawatan medis sebelumnya mempunyai
hubungan yang cukup bermakna dengan bunuh diri. Hal itu merupakan suatu
indikator pada risiko bunuh diri. Individu yang mendapatkan perhatian medis
selama enam bulan sebelum kematiannya memiliki angka 32% melakukan
tindakan bunuh diri. Risiko bunuh diri juga lebih besar di antara pasien dengan
penyakit fisik yang cukup parah, seperti kanker atau infeksi HIV. Saat ini,
meningkatnya risiko bunuh diri telah ditemukan terkait dengan beberapa kondisi
medis, mulai dari asma hingga trauma cedera otak. Faktor-faktor yang berkaitan
dan turut berperan di dalam percobaan bunuh diri adalah menurunnya mobilitas
terutama ketika aktivitas fisik penting untuk pekerjaan, serta nyeri yang sulit
sembuh dan kronis
(Simanjuntak, 2013)
b. Rentang Respon
Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman bunuh
diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan pertolongan agar dapat
mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan kegagalan koping dan
mekanisme adaptif pada diri seseorang.

1) Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri


secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri. Sebagai
contoh seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda
mengenai loyalitas terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
2) Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi
yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah
semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal
sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
3) Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang kurang
tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk
mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya
yang tidak loyal, maka seorang karyawan menjadi tidak masuk kantor atau
bekerja seenaknya dan tidak optimal
4) Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan
diriakibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5) Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.

(Damayanti dkk, 2012)

c. Psikodinamika
Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya motivasi untuk
bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat melaksanakan bunuh diri, mengembangkan
gagasan sampai akhirnya melakukan bunuh diri. Oleh karena itu, adanya percobaan
bunuh diri merupakan masalah keperawatan yang harus mendapatkan perhatian serius.
Sekali pasien berhasil mencoba bunuh diri, maka selesai riwayat pasien. Untuk itu,
perlu diperhatikan beberapa mitos (pendapat yang salah) tentang bunuh diri.
Bunuh diri secara personal, terjadi karena orang merasa lebih bebas dan tidak mau
tunduk pada aturan dan tahu perilaku tertentu, orang tidak ingin terlalu terikat oleh
kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-konvensi yang ada untuk memecahkan kesulitan
hidupnya. Sebaliknya mereka mencari jalan singkat dengan “caranya sendiri” yaitu
bunuh diri, untuk mengatasi kesulitan hidupnya atas keputusan sendiri. Oleh karena
itu, peristiwa bunuh diri adalah bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya
menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan social dan tuntutan hidup.

(Kartono, 2011)
d. Patopsikologi

Proses terjadinya bunuh diri dimulai dari adanya isyarat bunuh diri yang
ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri, misalnya
dengan mengatakan “tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh” atau “segala
sesuatu akan lebih baik tanpa saya”. Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki
ide untuk mengakhiri hidupnya tetapi tidak disertai ancaman dan percobaan bunuh
diri. Selanjutnya adalah adanya ancaman bunuh diri biasanya diucapkan oleh pasien,
yang berisi keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan
dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah
memikirkan rencana bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.
Tahap terakhir adalah adanya percobaan bunuh diri yaitu tindakan pasien mencederai
atau melukai diri untuk mengakhiri hidupnya (Kartono, 201).
Rendahnya tingkat brain-derived neurotrophic factor (BDNF) yang terkait secara
langsung dengan bunuh diri dan secara tidak langsung melalui perannya dalam
kejadian depresi berat, gangguan stres pasca trauma, skizofrenia dan gangguan
obsesif-kompulsif. Dari studi Bedah mayat ditemukan adanya penurunan tingkat
BDNF pada hipokampus dan korteks prefrontal, pada orang yang mengalami
gangguan kejiwaan maupun yang tidak. Serotonin, sebuah neurotransmitter otak,
diyakini rendah tingkatnya pada orang yang bunuh diri. Hal ini sebagian didasarkan
pada bukti meningkatnya kadar reseptor 5-HT2A setelah kematian. Bukti lain
termasuk berkurangnya tingkat produk turunan serotonin, Asam 5-
hidroksiindoleasetat, dalam cairan tulang belakang otak. Namun, bukti langsung
cukup sulit dikumpulkan. Epigenetika, studi tentang perubahan dalam ekspresi
genetika dalam merespons faktor lingkungan yang tidak mengubah DNA yang
mendasarinya, juga diyakini berperan dalam menentukan risiko bunuh diri.

(Stuart, 2013)

e. Pencegahan

Hingga saat ini, belum ada cara yang terbukti dapat mencegah tindakan bunuh diri
secara total dan memberikan perlindungan pada pasien dari kemungkinan bunuh diri.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, yakni pencegahan primer, sekunder, dan
tersier.

Pencegahan primer merupakan metode pencegahan yang ideal untuk melawan


keinginan bunuh diri dan dapat melindungi masyarakat dari hal tersebut. Pencegahan
tahap ini sangat penting dilakukan untuk mengurangi munculnya kasuskasus baru,
misalnya dengan mengurangi faktor risiko melakukan bunuh diri. Penanganan yang
efektif terhadap gangguan psikiatri, terutama gangguan mood sangat dibutuhkan.
Memodifikasi kondisi sosial, ekonomi dan biologis, seperti menurunkan angka
kemiskinan, kekerasan, perceraian, dan promosi pola hidup yang sehat dapat secara
signifikan berkontribusi terhadap pencegahan primer. Dokter dapat mempromosikan
faktor-faktor protektif, seperti kesehatan fisik, latihan yang tepat, pola makan yang
tepat dan tidur yang cukup.

Pencegahan sekunder merujuk pada deteksi dini dan memberi penanganan yang
tepat pada individu yang memiliki keinginan bunuh diri. Tujuan dari pencegahan
sekunder ini adalah menurunkan kemungkinan percobaan bunuh diri pada pasien
dengan risiko tinggi. Rangkaian dari tindakan bunuh diri ini berawal dari ide untuk
menunjukkan gerakan-gerakan isyarat, pola hidup yang cenderung berisiko, rencana
untuk bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan pada akhirnya bunuh diri tersebut
terlaksana sepenuhnya. Tidak semua tindakan yang menghancurkan diri harus
diinterpretasikan ke dalam tindakan bunuh diri.

Manajemen terhadap pasien bunuh diri meliputi diagnosis dan penanganan


terhadap gangguan psikiatri yang sedang dideritanya, menilai risiko untuk melakukan
bunuh diri, dan mengurangi akses terhadap hal-hal yang membahayakan untuk
terlaksananya bunuh diri tersebut, seperti misalnya tersedianya pistol, pisau, tali, dan
sebagainya. Prediktor terbaik dari tindakan bunuh diri adalah adanya riwayat
percobaan bunuh diri dan masih ada pikiran untuk melakukannya lagi. Dokter harus
secara teratur meminta keterangan pada pasien yang mengalami depresi menetap,
kehilangan harapan, dan memiliki ide untuk melakukan bunuh diri.

Pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi konsekuensi dari percobaan


bunuh diri. Peningkatan edukasi terhadap tenaga kesehatan profesional tentang cara
menilai dan menangani pasien dengan risiko bunuh diri dapat membantu deteksi
secara cepat dan membatasi kerusakan yang ditimbulkan. Intervensi yang dapat
dilakukan pada tahap ini adalah menilai anggota keluarga siapa sajakah yang mungkin
terpengaruh tindakan bunuh diri tersebut sehingga diapun ingin membunuh dirinya
sendiri.
(Supyanti and Wahyuni, 2012)

Menurut The Mental Health Recovery Institute (2017) ada beberapa faktor
pelindung yang dapat mencegah bunuh diri. Faktor-faktor tersebut telah terbukti
menunjukkan penurunan risiko bunuh diri, faktor-faktor tersebut antara lain (The
Mental Health Recovery Institute, 2017):

a. Hubungan perasaan yang terjalin antara keluarga, komunitas dan lingkungan


sosial

Seseorang akan merasa kurang tertekan akibat hubungan persaan yang terjalin
dengan orang-orang disekitarnya dan mereka mungkin juga merasakan tanggung
jawab kepada mereka atau keinginan untuk tidak mengecewakan mereka atau
menyakiti mereka.

b. Spiritualitas dan merasakan tujuan hidup

Spiritulitas dan tujuan hidup dapat menjadi alasan untuk melanjutkan hidup
mereka sepanjang mereka merasakan terhubung dengan spiritulitas dan tujuan
hidup.

c. Peduli terhadap anak

Tanggung jawab merawat anak dapat melindungi orang tersebut dari bunuh
diri karena mereka tidak ingin meninggalkan anak mereka tanpa seseorang yang
akan merawat mereka.

d. Meyakini bahwa bunuh diri adalah tindakan yang salah

Kepercayaan ini bisa menimbulkan kecemasan jika seseorang mulai


mempertimbangkan bunuh diri, dan boleh jadi kemungkinannya kecil untuk
menindaklanjuti adanya pemikiran bunuh diri.

e. Memiliki orang yang berarti

Memiliki seseorang yang berarti/spesial dapat membantu seseorang agar


tidak merasa kesepian dan terisolasi. dan akan mengurangi pikiran untuk bunuh
diri. Dengan adanya orang yang berarti maka seseorang yang rentan untuk bunuh
diri akan berfikir untuk tidak bunuh diri karena orang tersebut mungkin tidak ingin
menyakiti orang-orang yang berarti atau spesial di hidup mereka.

f. Ketahanan dan kemampuan menyelesaikan masalah

Kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan dan untuk mampu


menyelesaikan masalah yang ditimbulkan bisa mengurangi risiko bunuh diri,
karena orang tersebut dapat menemukan solusi lain.

g. Tidak memiliki akses untuk bunuh diri

Jika orang tersebut tidak dapat mengakses barang-barang yang mereka


butuhkan untuk bunuh diri sesuai dengan yang mereka pilih, bunuh diri cenderung
tidak terjadi. Misalnya, jika orang berpikir bahwa menggunakan pistol akan
menjadi yang terbaik, tapi mereka tidak bisa mengakses pistol maka lebih kecil
kemungkinannya untuk bunuh diri.

h. Kesehatan fisik dan mental


Kesehatan fisik dan mental yang baik dapat mengurangi risiko bunuh diri
karena orang tersebut cenderung tidak memiliki alasan untuk ingin mengakhiri
hidupnya.
i. Identifikasi dini dan perawatan untuk penyakit kejiwaan
Secara umum, semakin dini penyakit mental diobati, akan semakin baik
hasilnya, yang membuat kemungkinan terjadinya bunuh diri lebih kecil.
f. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan terapi
farmakologi. Menurut Videbeck (2008), obat-obatan tersebut sering dipilih karena
tidak berisisko letal akibat overdosis. Obat-obatan yang sering digunakan pada klien
risiko bunuh diri adalah SSRI (Selective Serotonine Reuptake Inhibitor).

1) Fluoksetin (20 mg/hari peroral)

2) Venlafaksin (75-225 mg/hari peroral)

3) Nefazodon (300-600 mg/hari peroral)


4) Bupropion (200-300 mg/hari peroral)

Mekanisme kerja obat tersebut akan bereaksi dengan system neurotransmitter


monoamine di otak khususnya norepinephrine dan serotonin. Kedua
neurotransmitter ini dilepas diseluruh otak dan membantu mengatur keinginan,
kewaspadaan, perhatian, mood, proses sensori dan nafsu makan.

a. Memeriksa pasien yang berusaha bunuh diri.


b. Pada pasien dengan gangguan depresi berat mungkin diobati sebaga pasien
rawat jalan jika keluarganya dapat mengawasi mereka secara ketat dan
pengobatannya dapat dimulai secar cepat.
c. Proses terapi
1) Pendekatan Psikodinamika
2) Pendekatan Behavioral
3) Pendekatan Kognitif
4) Pendekatan Biologis
d. Kemoterapi (Chemotherapy)
1) Antianxiety Drugs, Anti Depressant, Antipsychotic
2) Electroconvulsive
3) Psychosurgery
2. Penatalaksanaan keperawatan
 Terapi Lingkungan pada Kondisi Bunuh Diri
a. Ruangan aman dan nyaman, terhindar dari alat yang dapat digunakan untuk
mencederai diri sendiri atau orang lain.
b. Alat-alat medis, obat-obatan, dan jenis cairan medis di lemari dalam keadaan
terkunci.
c. Ruangan harus ditempatkan di lantai satu dan keselur4uhan ruanagn mudah
dipantau oleh petugas kesehatan.
d. Ruangan yang menarik, misalnya dengan warna cerah, ada poster dll.
e. Hadirkan musik yang ceria, televisi, film komedi, bacaan ringan dan lucu.
f. Adanya lemari khusus untuk menyimpan barang pribadi klien.
g. Lingkungan sosial: komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas
menyapa pasiien sesering mungkin, memberikan penjelasan setiap akan
melakukan tindakan keperawatan atau kegiatan medis lainnya, menerima
pasien apa adanya tidak engejek atau merendahkan, meningkatkan harga diri
pasien, membantu menilai dan meningkatkan hubungan social secara
bertahap, membantu pasien dalam berinteraksi dengan keluarganya,
sertakan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan, jangan biarkan pasien
sendiri dalam waktu yang lama.
 Ancaman/ percobaan bunuh diri.
a. Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ketempat
yang aman
b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas, tali
pinggang)
c. Mendapatkan orang yang dapat segera membawa pasien ke Puskesmas/
Rumah Sakit untuk pengkajian lebih lanjut dan kemungkinan dirawat
d. Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika pasien
mendapatkan obat
e. Dengan lembut menjelaskan pada pasien bahwa saudara akan melindungi
pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri
 Isyarat Bunuh Diri.
a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman.
b. Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:
1) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
2) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.
c. Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting
d. Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
e. Latih kontrol pikiran BD dengan Pikiran Positif Diri
f. Latih kontrol pikiran BD dengan Pikiran Positif Keluarga & Lingkungan
g. Latih menyusun rencana masa depan
h. Latih melakukan kegiatan rencana masa depan
(Yusuf dkk, 2015)
g. Mitos
a. Mitos : Ancaman bunuh diri hanya cara individu untuk menarik
perhatian dan tidak perlu dianggap serius.
Fakta : Semua perilaku bunuh diri harus dianggap serius

b. Mitos : Bunuh diri tidak memberi tanda


Fakta : Delapan dari sepuluh individu memberi tanda secara verbal
ataupun perilaku sebelum melakukan percobaan bunuh diri

c. Mitos : Berbahaya membicarakan pikiran bunuh diri pada pasien


Fakta : Hal yang paling penting dalam perencanaan keperawatan
adalah pengkajian yang akurat tentang rencana bunuh diri
pasien

d. Mitos : Kecenderungan bunuh diri adalah keturunan


Fakta : Tidak ada data dan riset yang menyokong tentang pendapat ini
karena pola perilaku bunuh diri bersifat individual

(Fityasari PK, 2015)


2. Proses Terjadinya Masalah
Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya motivasi untuk bunuh
diri dengan berbagai alasan, berniat melaksanakan bunuh diri, mengembangkan gagasan
sampai akhirnya melakukan bunuh diri. Oleh karena itu, adanya percobaan bunuh diri
merupakan masalah keperawatan yang harus mendapatkan perhatian serius. Sekali pasien
berhasil mencoba bunuh diri, maka selesai riwayat pasien. Untuk itu, perlu diperhatikan
beberapa mitos (pendapat yang salah) tentang bunuh diri.

(Kartono, 2011)
Proses terjadinya bunuh diri dimulai dari adanya isyarat bunuh diri yang ditunjukkan
dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan
“tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh” atau “segala sesuatu akan lebih baik
tanpa saya”. Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri
hidupnya tetapi tidak disertai ancaman dan percobaan bunuh diri. Selanjutnya adalah
adanya ancaman bunuh diri biasanya diucapkan oleh pasien, yang berisi keinginan untuk
mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk
melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri,
tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri. Tahap terakhir adalah adanya percobaan
bunuh diri yaitu tindakan pasien mencederai atau melukai diri untuk mengakhiri hidupnya
(Kartono, 201).

(Stuart, 2013)
3. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian

Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :


1. Riwayat masa lalu :
1) Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
2) Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
3) Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
4) Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
5) Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid, antisocial
6) Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka
2. Peristiwa hidup yang menimbulkan stres dan kehilangan yang baru dialami.
3. Hasil dan alat pengkajian yang terstandarisasi untuk depresi.
4. Riwayat pengobatan.
5. Riwayat pendidikan dan pekerjaan.
6. Catat ciri-ciri respon psikologik, kognitif, emosional dan prilaku dari individu dengan
gangguan mood.
7. Kaji adanya faktor resiko bunuh diri :
1) Faktor Predisposisi:
a. Biologis
Penyakit fisik, penyalahgunaan zat, riwayat mengalami gangguan jiwa,
riwayat penggunaan NAPZA, riwayat nyeri kronik, faktor herediter, penyakit
terminal.
b. Psikologis
Riwayat kekerasan masa kanak-kanak, riwayat keluarga bunuh diri,
homoseksual saat remaja, perasaan bersalah, kegagalan dalam mencapai harapan.
c. Sosial
Perceraian, perpisahan, hidup sendiri, tidak bekerja.
2) Faktor Presipitasi:
a. Perasaan marah/bermusuhan
b. Hukuman pada diri sendiri
c. Keputusasaan
d. Perasaan terisolasi
e. Kehilangan hubungan interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti
f. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres
8. Symptom yang menyertainya
1) Apakah klien mengalami :
a. Ide bunuh diri
b. Ancaman bunuh diri
c. Percobaan bunuh diri
d. Sindrome mencederai diri sendiri yang disengaja
2) Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan anhedonia.
Dimana hal ini merupakan faktor krusial terkait dengan resiko bunuh diri. Bila
individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk membunuh diri mereka
sendiri. Perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam lagi diantaranya :
a. Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan
b. Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau perencanaan
untuk melakukan aksinya yang sesuai dengan rencananya
c. Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk merencanakan
dan mengagas akan suicide
d. Menentukan bagaiamana metode yang mematikan itu mampu diakses oleh klien
B. Analisa Data
Data Masalah

DS :
- Klien mengatakan ingin bunuh
diri
- Klien mengatakan pernah
mencoba bunuh diri
- Klien merasa bersalah, merasa
sedih, marah, putus asa dan tidak
berdaya
- Klien merasa sudah tidak ada
gunanya hidup lagi
Risiko Bunuh Diri
- Klien pernah melakukan bunuh (RBD)
diri, namun ditolong/gagal
DO :
- Status mental berubah-ubah
- Mood depresif
- Klien tampak murung
- Klien tampak tidak bergairah
- Klien hanya diam
- Ditemukan banyak jejas/sayatan
percobaan bunuh diri pada tubuh
klien
- Fatigue
DS :
- Menilai diri negatif (mis. tidak
berguna)
- Merasa malu/bersalah
- Merasa tidak mampu melakukan
apapun
- Meremehkan kemamuan
mengatasi masalah Harga Diri Rendah Kronis
- Merasa tidak memiliki kelebihan (HDRK)
atau kemampuan positif
- Melebih-lebihkan penilaian
negatif tentang diri sendiri
- Menolak penilaian positif
tentang diri sendiri
- Merasa sulit konsentrasi
- Sullit tidur
- Mengungkapkan keputusasaan
DO :
- Enggan mencoba hal baru
- Berjalan menunduk
- Postur tubuh menunduk
- Kontak mata kurang
- Lesu dan tidak bergairah
- Berbicara pelan dan lirih
- Pasif
- Perilaku tidak asertif
- Mencari penguatan secara
berlebihan
- Bergantung pada pendapat orang
lain
- Sulit membuat keputusan
- Sering kali mencari penegasan
DS :
- Klien memiliki riwayat perilaku
kekerasan pada diri sendiri atau
orang lain
- Klien merasa tidak cemas saat
memasuki RS
DO :
- Aktivitas motorik meningkat
- Kurang pengendalian impuls Risiko Perilaku Kekerasan
- Bicara keras (RPK)
- Dorongan agresif tinggi
- Tegang
- Bersikap bermusuhan, ansietas
berat
- Bersikap curiga
- Tidak patuh
- Halusinasi
- Status mental berubah-ubah
- Mudah terangsang / tersinggung

C. Pohon Diagnosa
RPK
(Efek)

Risiko Bunuh
Diri (Masalah Utama)

HDRK
(Penyebab)
D. Dignosa Keperawatan
No. SDKI SLKI SIKI

1. Risiko Bunuh Diri Setelah dilakukan Manajemen Mood


intervensi Observasi
keperawatan selama - Identifikasi mood
3 x 24 jam, maka - Identifikasi risiko
kontrol diri keselamatan diri atau
meningkat dengan orang lain
kriteria hasil : - Monitor fungsi kognitif
- Verbalisasi - Monitor aktivitas dan
ancaman tingkat stimulasi
kepada orang lingkungan
lain menurun Terapeutik
- Verbalisasi - Fasilitasi pengisian
umpatan kuesioner self-report
menurun - Berikan kesempatan untuk
- Perilaku menyampaikan perasaan
menyerang dengan cara yang tepat
menurun Edukasi
- Perilaku - Jelaskan tentang gangguan
melukai diri mood dan penanganannya
sendiri/orang
lain menurun
- Perilaku - Anjurkan berperan aktif
merusak dalam pengobatan
lingkungan rehabilitasi
sekitar - Anjurkan rawat inap
menurun sesuai indikasi
- Perilaku - Ajarkan mengenali pemicu
agresif/amuk gangguan mood
menurun - Ajarkan memonitor mood
- Suara keras secara mandiri
menurun - Ajarkan keterampilan
- Bicara ketus koping dan penyelesaian
menurun masalah baru
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
obat, jika perlu
- Rujuk untuk psikoterapi,
jika perlu

Pencegahan Bunun Diri


Observasi
- Identifikasi gejala risiko
bunuh diri
- Identifikasi keinginan dan
pikiran risiko bunuh diri
- Monitor lingkungan bebas
bahaya secara rutin
- Monitor adanya perubahan
mood atau perilaku
Terapeutik
- Libatkan dalam
perencanaan perawatan
mandiri
- Libatkan keluarga dalam
perencanaan perawatan
- Lakukan pendekatan
langsung dan tidak
menghakimi saat
membahas bunuh diri
- Berikan lingkungan dan
pengamanan yang ketat
dan mudah dipantau
- Tingkatkan pengawasan
pada kondisi tertentu
- Lakukan intervensi
perlindungan (mis.
pembatasan area,
pengekangan fisik), jika
diperlukan
- Hindari diskusi berulang
tentang bunuh diri
sebelumnya, diskusi
berorientasi pada masa
sekarang dan masa depan
- Diskusikan rencana
menghadapi ide bunuh diri
di masa depan
- Pastikan obat ditelan
Edukasi
- Anjurkan mendiskusikan
perasaan yang dialami
kepada orang lain
- Anjurkan menggunakan
sumber pendukung
- Jelaskan tindakan
pencegahan bunuh diri
kepada keluarga dekat atau
orang terdekat
- Informasikan sumber daya
masyarakat dan program
yang tersedia
- Latih pencegahan risiko
bunuh diri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
antiansietas, atau
antipsikotik
- Kolaborasi tindakan
keselamatan kepada PPA

2. Harga Diri Rendah Setelah dilakukan Manajemen Perilaku


Kronis
intervensi Observasi
keperawatan selama - Identifikasi harapan untuk
3 x 24 jam, maka mengendalikan perilaku
harga diri Terapeutik
meningkat dengan - Diskusikan
kriteria hasil : tanggungjawab terhadap
- Penilaian diri perilaku
positif - Jadwalkan kegiatan
meningkat terstruktur
- Perasaan - Ciptakan dan pertahankan
memiliki lingkungan dan kegiatan
kelebihan perawatan konsisten setiap
atau dinas
kemampuan - Tingkatkan aktivitas fisik
sesuai kemampuan
positif - Batasi jumlah pengunjung
meningkat - Bicara dengan nada rendah
- Minat dan tenang
mencoba hal - Lakukan kegiatan
baru pengalihan terhadap
meningkat sumber agitasi
- Perilaku - Cegah perilaku pasif dan
asertif agresif
meningkat - Beri penguatan positif
- Perasaan terhadap keberhasilan
malu mengendalikan perilaku
menurun - Lakukan pengekangan
- Perasaan fisik sesuai indikasi
bersalah - Hindari bersikap
menurun menyudutkan dan
- Perasaan menghentikan
tidak mampu pembicaraan
melakukan - Hindari sikap mengancam
apapun dan berdebat
menurun - Hindari berdebat atau
- Meremehkan menawar batas perilaku
kemampuan yang telah ditetapkan
mengatasi Edukasi
masalah - Informasikan keluarga
menurun bahwa keluarga sebagai
dasar pembentukkan
kognitif

Promosi Harga Diri


Observasi
- Identifikasi budaya, ras,
jenis kelamin, dan usia
terhadap harga diri
- Monitor verbalisasi yang
merendahkan diri sendiri
- Monitor tingkat harga diri
setiap waktu, sesuai
kebutuhan
Terapeutik
- Motivasi terlibat dalam
verbalisasi positif untuk
diri sendiri
- Motivasi untuk menerima
tantangan atau hal baru
- Diskusikan kepercayaan
terhadap penilaian diri
- Diskusikan pengalaman
yang meningkatkan harga
diri
- Diskusikan perspektif
negatif diri
- Diskusikan alasan
mengkritik diri atau rasa
bersalah
- Diskusikan penetapan
tujuan realistis untuk
mencapai harga diri yang
lebih tinggi
- Diskusikan bersama
keluarga untuk
menetapkan harapan dan
batasan yang jelas
- Fasilitasi lingkungan dan
aktivitas yang
meningkatkan harga diri
Edukasi
- Jelaskan kepada keluarga
pentingnya dukungan
dalam perkembangan
konsep positif diri pasien
- Anjurkan mengidentifikasi
kekuatan yang dimiliki
- Anjurkan membuka diri
terhadap kritik negatif
- Anjurkan mengevaluasi
perilaku
- Latih
pernyataan/kemampuan
positif diri
- Latih cara berfikir dan
berperilaku positif
- Latih meningkatkan
kepercayaan pada
kemampuan dalam
menangani situasi

Promosi Koping
Observasi
- Identifikasi kegiatan
jangka pendek dan
panjang sesuai tujuan
- Identifikasi kemampuan
yang dimiliki
- Identifikasi metode
penyelesaian masalah
- Identifikasi kebutuhan dan
keinginan terhadap
dukungan sosial
Terapeutik
- Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
- Diskusikan alasan
mengkritik diri sendiri
- Diskusikan untuk
mengklarifikasi
kesalahpahaman dan
mengevaluasi perilaku
sendiri
- Diskusikan konsekuensi
tidak menggunakan rasa
bersalah dan rasa malu
- Diskusikan risiko yang
menimbulkan bahaya pada
diri sendiri
- Motivasi untuk
menentukan harapan yang
realistis
- Tinjau kembali
kemampuan dalam
pengambilan keputusan
- Motivasi terlibat dalam
kegiatan sosial
- Motivasi mengidentifikasi
sistem pendukung yang
tersedia
- Perkenalkan dengan orang
atau kelompok yang
berhasil mengalami
pengalaman yang sama
- Dukung penggunaan
mekanisme pertahanan
yang tepat
- Kurangi rangsangan
lingkungan yang
mengancam
Edukasi
- Anjurkan menjalin
hubungan yang memiliki
kepentingan dan tujuan
sama
- Anjurkan penggunaan
sumber spiritual, jika perlu
- Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi
- Anjurkan keluarga terlibat
- Ajarkan cara memecahan
masalah secara konstruktif
- Latih penggunaan teknik
relaksasi
- Latih keterampilan sosial,
sesuai kebutuhan

3. Risiko Perilaku Setelah dilakukan Pencegahan Perilaku


Kekerasan
intervensi Kekerasan
keperawatan selama Observasi
3 x 24 jam, maka - Monitor adanya benda
kontrol diri yang berpotensi
meningkat dengan membahayakan (mis.
kriteria hasil : benda tajam, tali)
- Verbalisasi - Monitor keamanan barang
ancaman yang dibawa oleh
kepada orang pengunjung
lain menurun - Monitor selama
- Verbalisasi penggunaan barang yang
umpatan dapat membahayakan
menurun (mis. pisau)
- Perilaku Terapeutik
menyerang - Pertahankan lingkungan
menurun bebas dari bahaya secara
- Perilaku rutin
melukai diri - Libatkan keluarga dalam
sendiri/orang perawatan
lain menurun Edukasi
- Perilaku - Anjurkan pengunjung dan
merusak keluarga untuk
lingkungan mendukung keselamatan
sekitar pasien
menurun - Latih cara
- Perilaku mengungkapkan perasaan
agresif/amuk asertif
menurun - Latih mengurangi
- Suara keras kemarahan secara verbal
menurun dan nonverbal (mis.
- Bicara ketus relaksasi, bercerita)
menurun
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, M dkk. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama


Fitryasari PK, Rizky. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Kartono, kartini. 2011. Patologi Sosial. Jakarta : Rajawali Pers

Simanjuntak, Julianto. 2013. Konseling Gangguan Jiwa dan Okultisme. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama

Stuart dan Sundeen. 2013. Keperawatan Jiwa Edisi 6. Jakarta: EGC

Supyanti, W & Wahyuni, A. 2012. Suicide Attempts Prevention in Children & Aolescent With
Depresive Disorders. E-Jurnal Medika Udayana, 1(1), 1-10.

The Mental Health Recovery Institute. (2017). The 13 Suicide Warning Signs: A Guide for
Managers. Australai: The Mental Health Recovery Institute. Retrieved from
www.mhri.com.au

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP PPNI

Videbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Yusuf, Ahmad Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai