Anda di halaman 1dari 134

KEDARURATAN PSIKIATRI

dr. Agustina Sjenny, Sp.KJ

 GADUH GELISAH
 SUICIDE ( ancaman bunuh diri )
 HOMICIDE ( ancaman membunuh )
 WITHDRAWAL / INTOKSIKASI (opiat)

1. Gaduh Gelisah

1. gelisah
2. mondar-mandir
3. berteriak- teriak
4. loncat-loncat
5. marah-marah
6. curiga +++
7. agresif
8. beringas
9. agitasi
10. gembira +++
11. bernyanyi +++
12. bicara kacau
13. mengganggu orang lain
14. tidak tidur beberapa hari
15. sulit berkomunikasi
16. dll

ETIOLOGI PSIKOSIS

1. Psikosis Akut
2. Skizofrenia
3. Bipolar, episode manik
4. Psikosis Akut lainnya
5. Delirium, dll

 Non PSIKOSIS

Kemarahan
Kebingungan
Kepribadian Eksplosif
Epilepsi Grandmall

PSIKOSIS

Gejala utama
1. Halusinasi ( yg sering: akustik & visual )
2. Delusi / waham
3. Perilaku disorganisasi ( kekacauan psikomotor )
4. Asosiasi pikir kacau/inkoherensi

(5). Affek / mood : naik/turun, berkabut, berubah

PSIKOSIS vs SKIZOFRENIA

Gejala utama
1. Halusinasi akustik ------- komando, komentar
2. Delusi / waham ---------- bizar, tidak sistematik
3. Asosiasi pikir kacau ----- neologisme, inkoherent
4. Perilaku disorganisasi ----- autistik

5. Affek/mood ----------------------------- tumpul, mendatar

TINDAKAN (1)

 ‘ATTENDING SKILL’ (mendampingi)


 sikap ramah
 tutur lembut
 sikap empati
 sentuhan fisik ?
 tidak menghakimi
 ( tidak mencari apa/siapa yg salah )

TINDAKAN (2)

SALAM

KALIMAT PEMBUKA
“Apa yg bisa saya bantu?”
“Ada yg mau diceritakan kepada saya ?” , dll

Buatlah pasien senyaman mungkin


tempat duduk / posisi
ditemani atau mau sendirian saja
awali dg pertanyaan yg ringan & sederhana
TINDAKAN (3)
‘MENGURANGI RISIKO’

Singkirkan ‘barang berbahaya’


Jauhkan dari api, mesin, tempat tinggi, dll
Tenangkan secara psikologik (attending skill)
segera !Tenangkan dg psikofarmaka

PSIKOFARMAKA (1)
Antipsikotik injeksi / sediaan cepat larut

Klorpromasin 50 – 100 mg im/iv


Haloperidol 5 – 10 mg im/iv
Fluphenazine 5 – 10 mg im/iv
Olanzapine 10 – 30 mg im

(Risperidone) 4 – 8 mg solution,
quicklet

PSIKOFARMAKA (2)
Ansiolitik
Diazepam 10 mg iv/im
Midazolam (Dormicum) 5 –10 mg iv/im

Antidepresan ?
Barbiturat
Phenobarbital
Penthotal
RAWAT INAP ??

apabila
Membahayakan diri sendiri
Membahayakan orang lain
Situasi-kondisi di luar RS tak mendukung terapi

2. SUICIDE
PENYEBAB
Krisis-penderitaan
protes, tak berdaya, tak tertahan, putus asa

….tak ada pilihan


suicide
DEPRESI ide/waham nihilistik
SKIZOFRENIA halusinasi auditorik

TINDAKAN pada kasus suicide

PSIKOFARMAKA
Untuk mengatasi gejala apa ?

Waham/ide ----- antipsikotik


Halusinasi ----- antipsikotik
Insomnia ----- hipnotik
Ansietas ----- ansiolitik
Depresi ----- antidepresant
3. HOMICIDE
PENYEBAB
PSIKOSIS : waham, halusinasi
NON PSIKOSIS : impulsif, hostilitas, budaya

ANALISA ANCAMAN
Menentukan tingkat bahaya/emergency
Menentukan apakah perlu rawat inap ?

TINDAKAN pada kasus homicide

Apabila ancamannya tingkat serius, tindakan:


RAWAT INAP---

Berikan catatan di status -----‘awas HOMICIDE’

Berikan Psikofarmaka
mengubah disorganisasi proses pikir
mengendalikan psikomotor
menidurkan

PSIKOFARMAKA
Untuk mengatasi gejala apa ?
Waham ----- antipsikotik
Halusinasi ----- antipsikotik
Kemarahan ----- ansiolitik ? antipsikotik
Gelisah ------ ansiolitik ? antipsikotik ?
Insomnia ----- sedatif/hipnotik ?
ansiolitik ?
antipsikotik ?

4.1. INTOKSIKASI OPIAT

Anamnesis :
Riwayat ‘abuser’
Zat apa yg sering dipakai ?
Pemeriksaan Klinis

Klinis yg mengancam jiwa


Koma, kejang, henti nafas, henti jantung
4.2. OPIAT WITHDRAWAL
pilek, batuk, menguap, lakrimasi
suhu tubuh
pupil dilatasi
mual, muntah, diare
vasodilatasi umum:
panas-dingin,‘meriang’, keringat >>, piloereksi
takhikardi, tensi , RR
insomnia

OPIAT WITHDRAWAL (2)

nafsu makan hilang


ansietas, gelisah
mialgia, arthralgia
lesu-lemas
tremor, kramp perut, kejang
‘craving’

OPIAT WITHDRAWAL (3)


Onzet : 6 – 8 jam

Puncak gejala : hari ke 2 dan 3


Lama gejala : 7 – 10 hari

Kasus 1

Wanita muda, 35 th, menikah. Baru saja mengetahui bahwa suaminya


mempunyai ‘wanita simpanan’. Ia tampak sedih, menangis, meraung,
gelisah, teriak-teriak, ‘histeris’, dll.
Gejalanya hilang timbul.

Sikap
Pendekatan psikologik ?
Pendekatan medikamentosa ?
Diagnosis ? Tindakan ?

Kasus 2

Pria, 35 th. Gejala yg muncul sejak setahun y.l., ia menyatakan sedih &
murung. Ia sering menyendiri, banyak melamun. Ia merasa ‘kosong’, tak
berguna, banyak dosa. Tidak sanggup lagi meneruskan kehidupannya.
Sering menyesali perilakunya. Ia juga menyatakan sering mendengar
bisikan-bisikan.

Sikap?
Pendekatan psikologik ?
Pendekatan medikamentosa ?
Diagnosis ? Tindakan ?

Kasus 3

Pria, 25 th., mahasiswa. Ia meyakini ada salah satu dosennya membenci


dirinya, sehingga ia di DO. Ia juga merasakan teman-temannya
menjauhinya. Ia sering mendengar bisikan-bisikan yg kurang jelas kata-
katanya. Ia juga sering ketakutan, katanya ada orang yg akan
membunuhnya. Orangtuanya menambahkan, bahwa anaknya sejak lama
sbg pecandu narkoba jenis ekstasi.

Sikap?
Diagnosis ?
Pendekatan psikologik ?
Pendekatan medikamentosa ?
konsep kep psikiatri
Nov27

BAB II
KONSEP KEPERAWATAN INTENSIF PSIKIATRI

A. Konsep Unit Perawatan Intensif Psikiatri (UPIP)

Unit perawatan intensif psikiatri adalah suatu unit yang memberikan perawatan khusus
kepada pasien-pasien psikiatri yang berada dalam kondisi membutuhkan pengawasan ketat.
Di beberapa negara unit ini diterjemahkan sebagai unit kedaruratan ataupun unit akut yang
pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu merawat pasien-pasien yang berada dalam
kondisi membutuhkan intervensi segera. Pasien dengan kondisi ini adalah pasien-pasien
dalam kondisi dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan, seperti pasien
dengan usaha bunuh diri, halusinasi, perilaku kekerasan, NAPZA, dan waham.

Kedaruratan dapat terjadi dimanapun dan membutuhkan penanganan segera. Kecepatan


menangani kondisi kedaruratan akan meminimalkan gejala sisa maupun kecacatan yang akan
dialami pasien. Oleh karena itu tenaga kesehatan umumnya dan tenaga keperawatan
khususnya perlu memperlengkapi diri dengan kemampuan menangani masalah-masalah
kedaruratan. Disamping itu fasilitas ruangan yang memadai juga dibutuhkan untuk dapat
memberikan pelayanan kesehatan dan keperawatan yang terbaik.

Di Indonesia, istilah yang digunakan adalah intensif karena merujuk kepada tindakan yang
dilakukan kepada pasien, sedangkan istilah kedaruratan lebih merujuk kepada kondisi pasien.
Sehingga pada situasi darurat pasien membutuhkan intervensi segera untuk mencegah situasi
yang lebih buruk. Untuk dapat dikatakan sebagai suatu kedaruratan situasi tersebut harus
memiliki kriteria berikut:

 Ancaman segera terhadap kehidupan, kesehatan, harta benda atau lingkungan


 Telah menyebabkan kehilangan kehidupan, gangguan kesehatan, kerusakan harta
benda dan lingkungan
 Memiliki kecenderungan peningkatan bahaya yang tinggi dan segera terhadap
kehidupan, kesehatan, harta benda atau lingkungan

Sedangkan tindakan intensif adalah tindakan yang diberikan secara terus menerus pada
pasien-pasien dengan kondisi darurat. Sehingga pada UPIP tindakan-tindakan intensif ini
dikategorikan berdasarkan tinggi rendahnya level kedaruratan yang dialami pasien. Secara
umum ada tiga fase tindakan intensif bagi pasien yaitu: fase intensif I, II, dan III.
Berikut ini akan dijelaskan secara rinci fase intensif I, II, dan III pada UPIP.

1. 1. Tujuan

Setelah menyelesaikan modul ini peserta pelatihan diharapkan mampu:

1. Menyebutkan pengertian kedaruratan dan intensif


2. Menyebutkan pengertian kedaruratan jiwa dan intensif jiwa
3. Menyebutkan pola manajemen pelayanan keperawatan di UPIP
4. Menyebutkan pola manajemen asuhan keperawatan di UPIP

1. 2. Kedaruratan Psikiatri

Kedaruratan psikiatrik adalah suatu gangguan akut pada pikiran, perasaan, perilaku, atau
hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen, Forster, Zealberg, &
Currier, 2002). Sedangkan menurut Kaplan dan Sadock (1993) kedaruratan psikiatrik adalah
gangguan alam pikiran, perasaan atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik
segera. Sehingga prinsip dari kedaruratan psikiatri adalah intervensi atau penanganan segera.
Berdasarkan prinsip segera ini maka penanganan kedaruratan dibagi dalam fase intensif I (24
jam pertama), fase intensif II (24-72 jam pertama), dan fase intensif III (72 jam-10 hari).

Fase intensif I adalah fase 24 jam pertama pasien dirawat dengan observasi, diagnosa, tritmen
dan evaluasi yang ketat. Berdasarkan hasil evaluasi pasien maka pasien memiliki tiga
kemungkinan yaitu dipulangkan, dilanjutkan ke fase intensif II, atau dirujuk ke rumah sakit
jiwa. Fase intensif II fase perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai dengan 72
jam. Berdasarkan hasil evaluasi maka pasien pada fase ini memiliki empat kemungkinan
yaitu dipulangkan, dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau kembali ke ruang fase intensif
I. Pada fase intensif III pasien di kondisikan sudah mulai stabil, sehingga observasi menjadi
lebih berkurang dan tindakan-tindakan keperawatan lebih diarahkan kepada tindakan
rehabilitasi. Fase ini berlangsung sampai dengan maksimal 10 hari. Merujuk kepada hasil
evaluasi maka pasien pada fase ini dapat dipulangkan, dirujuk ke rumah sakit jiwa atau unit
psikiatri di rumah sakit umum, ataupun kembali ke ruang fase intensif I atau II

Adapun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kedaruratan pasien adalah skala GAF
(General Adaptive Function) dengan rentang skor 1 – 30 skala GAF. Kondisi pasien dikaji
setiap shift dengan menggunakan skor GAF. (tambahkan penjelasan ttg aksis V, sbr Stuart n
Larai, 2005)

Katagori pasien yang berada dalam rentang skor 1 – 30 GAF adalah :


Skor 30 Perilaku dipengaruhi oleh waham atau halusinasi ATAU gangguan serius

pada komunikasi atau pertimbangan (misalnya kadang – kadang inkoheren,

tindakan jelas tidak sesuai preokupasi bunuh diri) ATAU ketidakmampuan

untuk berfungsi hampir pada semua bidang (misalnya tinggal di tempat tidur

21 sepanjang hari, tidak memiliki pekerjaan, rumah atau teman)

20 Terdapat bahaya melukai diri sendiri atau orang lain (misalnya usaha bunuh diri tanpa
harapan yang jelas akan kematian, sering melakukan kekerasan, kgembiraan manik) ATAU
kadang – kadang gagal untuk mempertahankan perawatan diri yang minimal (misalnya
mengusap feses) ATAU gangguan

11 yang jelas dalam komunikasi (sebagian besar inkoheren atau membisu)

10 Bahaya melukai diri sendiri atau orang lain persisten dan parah (misalnya kekerasan
rekuren) ATAU ketidakmampuan persisten untuk mempertahankan hiegien pribadi yang
minimal ATAU tindakan bunuh diri yang serius tanpa

1 harapan akan kematian yang jelas .

Pada keperawatan kategori pasien dibuat dengan skor RUFA (Respons Umum Fungsi
Adaptif)/ GAFR (General Adaptive Function Response) yang merupakan modifikasi dari
skor GAF karena keperawatan menggunakan pendekatan respons manusia dalam
memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan fungsi respons yang adaptif. Keperawatan
meyakini bahwa kondisi manusia selalu bergerak pada rentang adaptif dan maladaptif. Ada
saat individu tersebut berada pada titik yang paling adaptif , namun di saat lain individu yang
sama dapat berada pada titik yang paling maladaptif. Kondisi adaptif dan maladaptif ini
dapat dilihat atau diukur dari respons yang ditampilkan. Dari respons ini kemudian
dirumuskan diagnosa Skor RUFA dibuat berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditemukan
pada pasien. Sehingga setiap diagnosa keperawatan memiliki kriteria skor RUFA tersendiri
(lihat tabel 1).

No Diagnosa Skor RUFA 1-10 Skor RUFA 11-20 Skor RUFA 21-30
Keperawatan
(Intensif I) (Intensif II) (Intensif III)
1 Gangguan
persepsi
sensori:
halusinasi
2 Perilaku
kekerasan
3 Gangguan
proses pikir:
waham
4 Risiko bunuh 1. Aktif mencoba 1. Aktif memikirkan 1. Mungkin
diri rencana bunuh diri, sudah
bunuh diri dengan namun tidak disertai memiliki ide
dengan percobaan untuk
cara: bunuh diri mengakhiri
hidupnya,
a. gantung diri 1. Mengatakan namun tidak
ingin bunuh diri disertai
b. minum racun namun tanpa dengan
rencana yang ancaman
c. memotong urat spesifik dan
nadi 2. Menarik diri percobaan
dari pergaulan bunuh diri
d. menjatuhkan diri sosial
dari tempat yang 2. Mengungkapkan
tinggi perasaan seperti
rasa bersalah / sedih
2. Mengalami depresi / marah / putus asa /
tidak berdaya
3. Mempunyai
rencana bunuh diri 3. Mengungkapkan
yang spesifik hal-hal negatif
tentang diri sendiri
4. Menyiapkan alat yang
untuk bunuh diri menggambarkan
(pistol, pisau, silet, harga diri rendah
dll)
4. Mengatakan:
“Tolong jaga anak-
anak karena saya
akan pergi jauh!”
atau “Segala
sesuatu akan lebih
baik tanpa saya”.
5 Panik
6 Gejala putus
zat
7 Over dosis zat
adiktif
8 Defisit
perawatan diri
9 Isolasi sosial
Tabel 1. Kriteria Kondisi Pasien berdasarkan RUFA (skor 1-30)

Secara umum pasien yang dirawat di UPIP adalah pasien dengan kriteria:

1. Risiko bunuh diri yang berhubungan dengan kejadian akut dan atau suatu

perubahan alam perasaan atau perilaku yang menetap

1. Penyalahgunaan NAPZA atau kedaruratan yang berhubungan yang berlangsung

relatif singkat

1. Kondisi lain yang akan mengalami peningkatan yang bermakna dalam waktu singkat
dan pasien tampak mampu kembali ke komunitas segera bila peningkatan tersebut
terjadi.

Sedangkan berdasarkan masalah keperawatan maka pasien yang perlu dirawat di unit
perawatan intensif psikiatri adalah pasien dengan masalah keperawatan sebagai berikut:

a. Perilaku Kekerasan

b. Perilaku Bunuh diri

1. Perubahan sensori persepsi: halusinasi (fase IV)


2. Perubahan proses pikir: waham curiga
3. Masalah-masalah keperawatan yang berkaitan dengan kondisi pasien putus zat

dan over dosis:

1) Perubahan kenyamanan: nyeri

2) Gangguan pola tidur

3) Gangguan pemenuhan nutrisi

4) Gangguan eliminasi bowel

1. Defisit perawatan diri

Pola penanganan di unit perawatan intensif psikiatri

Pola penanganan di UPIP menggunakan pendekatan MPKP yang terdiri dari empat

pilar yaitu :

1. Pendekatan manajemen

2. Compensatory reward
3. Hubungan profesional

4. Manajemen asuhan keperawatan

Pada ruangan UPIP keempat pilar ini dilebur menjadi 2 pilar sebagai berikut:

1. Manajemen pelayanan keperawatan (pilar I-III)

2. Manajemen asuhan keperawatan (pilar IV)

(lihat Bab II b dan c)

Alur penerimaan pasien di UPIP

Pasien baru yang masuk di UPIP dilakukan triase dengan mengkaji keluhan utama

pasien dengan menggunakan skor RUFA (1-30) dan tanda vital. Adapun kategori

pasien menurut skor RUFA adalah:

1. Skor 1-10 masuk ruang intensif I


2. Skor 11-20 masuk ruang intensif II
3. Skor 21-30 masuk ruang intensif III

Triase

Pada fase ini hal pertama yang harus dilakukan adalah rapid assessment/screening
assessment yang dilakukan berdasarkan protap yang telah disepakati. Pengkajian ini harus
meliputi nama pasien, tanggal lahir, nomor tanda pengenal (KTP/SIM/Paspor), alamat, nomor
telepon, serta nama dan nomor telepon orang terdekat pasien yang dapat dihubungi, tanda
vital dan keluhan utama dengan skor RUFA untuk menentukan perlu tidaknya dirawat di unit
UPIP dan bila dirawat untuk menentukan level/fase intensif pasien. Sedangkan pihak medis
melakukan pengkajian dengan menggunakan skala GAF

Fase intensif I (24 jam pertama)

 Prinsip tindakan
o Life saving
o Mencegah cedera pada pasien, orang lain dan lingkungan
 Indikasi :
 Pasien dengan skor 1-10 skala RUFA
o Pengkajian
 Hal-hal yang harus dikaji adalah:

1. Riwayat perawatan yang lalu


2. Psikiater/perawat jiwa yang baru-baru ini menangani pasien (bila memungkinkan)
3. Diagnosa gangguan jiwa di waktu yang lalu yang mirip dengan tanda dan gejala yang
dialami pasien saat ini
4. Stresor sosial, lingkungan, dan kultural yang menimbulkan masalah pasien saat ini
5. Kemampuan dan keinginan pasien untuk bekerjasama dalam proses tritmen
6. Riwayat pengobatan dan respons terhadap terapi, mencakup jenis obat yang didapat,
dosis, respons terhadap obat, efek samping dan kepatuhan minum obat, serta daftar
obat terakhir yg diresepkan dan nama dokter yang meresepkan.
7. Pemeriksaan kognitif untuk mendeteksi kerusakan kognitif atau neuro psikiatrik
8. Tes kehamilan untuk semua pasien perempuan usia subur

Pengkajian lengkap harus dilakukan dalam 3 jam pertama. Selain itu pasien harus sudah
diperiksa oleh seorang psikiater/dokter umum kesehatan jiwa (Psikiater/Medical Officer
Mental Health/MOMH/GP+/GP++) dalam 8 jam pertama dengan prioritas pertama adalah
psikiater. Bila tidak ada psikiater maka pasien dapat ditangani oleh MOMH. Selanjutnya bila
tidak ada MOMH dapat ditangani GP+ atau GP++. Pasien-pasien yang berada dalam kondisi
membutuhkan penanganan sangat segara harus dikaji dan bertemu dengan psikiater/MOMH
dalam 15 menit pertama.

 Intervensi

Intervensi untuk fase ini adalah:

 Observasi ketat
 Bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, perawatan diri)
 Manajemen pengamanan pasien yang efektif (jika dibutuhkan).
 Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik.
 Evaluasi
 Evaluasi dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah kondisi pasien
memungkinkan untuk dipindahkan ke ruang intensif II.
 Bila kondisi pasien diatas 10 skala RUFA maka pasien dapat dipindahkan ke intensif
II.

Fase Intensif II (24-72 jam pertama)

 Prinsip tindakan
o Observasi lanjutan dari fase krisis (Intensif I)
o Mempertahankan pencegahan cedera pada pasien, orang lain dan lingkungan
 Indikasi :
 Pasien dengan skor 11-20 skala RUFA
 Intervensi

Intervensi untuk fase ini adalah:

 Observasi frekuensi dan intensitas yang lebih rendah dari fase intensif I
 Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik dan terapi
olah raga.
 Evaluasi
 Evaluasi dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah kondisi pasien
memungkinkan untuk dipindahkan ke ruang intensif III.
 Bila kondisi pasien diatas skor 20 skala RUFA maka pasien dapat dipindahkan ke
intensif III. Bila dibawah skor 11 skala RUFA maka pasien dikembalikan ke fase
intensif I

Fase Intensif III (72 jam-10 hari)

 Prinsip tindakan
o Observasi lanjutan dari fase akut (Intensif II)
o Memfasilitasi perawatan mandiri pasien
 Indikasi :
 Pasien dengan skor 21-30 skala RUFA
 Intervensi

Intervensi untuk fase ini adalah:

 Observasi dilakukan secara minimal


 Pasien lebih banyak melakukan aktivitas secara mandiri
 Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik, terapi olah
raga dan life skill therapy.
 Evaluasi
 Evaluasi dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah kondisi pasien
memungkinkan untuk dipulangkan.
 Bila kondisi pasien diatas skor 30 skala RUFA maka pasien dapat dipulangkan
dengan mengontak perawat CMHN terlebih dahulu. Bila dibawah skor 20 skala
RUFA pasien dikembalikan ke fase intensif II, dan dibawah skor 11 skala RUFA
pasien dikembalikan ke fase intensif I.

Skema 1. Alur penerimaan pasien di ruang UPIP

Psychiatric Intensive Care Unit (PICU)

Konsep Keperawatan di Ruang PICU (Psychiatric Intensive Care Unit)

1. Pengertian
PICU merupakan pelayanan yang ditujukan untuk klien gangguan jiwa dalam kondisi krisis
psikiatri (Keliat, dkk, 2009).
PICU merupakan gabungan pelayanan gawat darurat psikiatri dan pelayanan intensif, yang
dapat diselenggarakan di rumah sakit jiwa atau unit psikiatri rumah sakit umum (Keliat, dkk, 2009).
PICU adalah suatu unit yang memberikan perawatan khusus kepada klien-klien psikiatri
yang berada dalam kondisi membutuhkan pengawasan ketat (Maryree, 2010).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa PICU adalah suatu unit
gabungan pelayanan gawat darurat psikiatri dan pelayanan intensif, yang ditujukan untuk klien
gangguan jiwa yang dalam kondisi krisis psikiatri dan berada dalam kondisi yang membutuhkan
pengawasan ketat, dimana dapat diselenggarakan di rumah sakit jiwa atau psikiatri rumah sakit
umum.
2. Indikasi masuk PICU
Indikasi masuk PICU adalah klien dengan kedaruratan psikiatri, untuk dapat dikatakan
sebagai suatu kedaruratan situasi tersebut harus memiliki kriteria, sebagai berikut:
a. Ancaman segera terhadap kehidupan, kesehatan, harta benda atau lingkungan.
b. Telah menyebabkan kehilangan kehidupan, gangguan kesehatan, kerusakan harta benda dan
lingkungan.
c. Memiliki kecenderungan peningkatan bahaya yang tinggi dan segera terhadap kehidupan,
kesehatan, harta benda atau lingkungan.
Sedangkan untuk mengukur tingkat kedaruratan pada klien adalah menggunakan skala GAF
(General Adaptive Function) dengan rentang skor 1-30 skala GAF. Kondisi klien dikaji setiap shift
dengan menggunakan skor GAF. Katagori klien yang berada dalam rentang skor 1-30 GAF adalah:

a. Skor 21 - 30: perilaku dipengaruhi oleh waham atau halusinasi ATAU gangguan serius pada
komunikasi atau pertimbangan (misalnya kadang-kadang inkoheren, tindakan jelas tidak sesuai
preokupasi bunuh diri) ATAU ketidakmampuan untuk berfungsi hampir pada semua bidang
(misalnya tinggal ditempat tidur) sepanjang hari, tidak memiliki pekerjaan.
b. Skor 11 – 20: terdapat bahaya melukai diri sendiri atau orang lain (misalnya usaha bunuh diri tanpa
harapan yang jelas akan kematian, sering melakukan kekerasan, kegembiraan manik) ATAU kadang-
kadang gagal untuk mempertahankan perawatan diri yang minimal (misalnya mengusap fases) ATAU
gangguan yang jelas dalam komunikasi (sebagian besar inkoheren atau membisu)
c. Skor 1 – 10: Bahaya melukai diri sendiri atau orang lain persisten dan parah (misalnya kekerasan
rekuren) ATAU ketidakmampuan persisten untuk mempertahankan hiegene pribadi yang minimal
ATAU tindakan bunuh diri yang serius tanpa harapan bunuh diri yang jelas.
Pada keperawatan katagori klien dibuat dengan skor RUFA (Respons Umum Fungsi
Adaptif)/GAFR (General Adaptive Funtion Response) yang merupakan modifikasi dari skor GAF
karena keperawatan menggunakan pendekatan respons manusia dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan fungsi respons yang adaptif. Dari respons tersebut kemudian
dirumuskan diagnosa skor RUFA dibuat berdasarkan diganosa keperawatan yang ditemukan pada
klien. Sehingga setiap diagnosa keperawatan memiliki kriteria skor RUFA tersendiri, untuk sementara
baru diagnosa risiko bunuh diri yang sudah mempunyai skor RUFA, sedangkan untuk diagnosa yang
lain masih dalam pengembangan. Adapun skornya yaitu:

No Diagnosa Skor RUFA 1-10 Skor RUFA 11-20 Skor RUFA 21-30
Keperawatan (intensif I) (Intensif II) (Intensif III)

1 Gangguan
sensori
persepsi:
halusinasi

2 Perilaku
kekerasan

3 Gangguan
proses pikir:
waham

4 Risiko bunuh1. Aktif mencoba 1. Aktif memikirkan 1. Mungkin sudah


diri bunuh diri dengan rencana bunuh diri, memiliki ide untuk
cara: namun tidak mengakhiri hidupnya,
disertai dengan namun tidak disertai
a. Gantung diri percobaan bunuh dengan ancaman dan
b. Minum racun diri. percobaan bunuh diri.

c. Memotong urat a. Mengatakan ingin 2. Mengungkapkan


nadi bunuh diri namun perasaan seperti rasa
tanpa rencana yang bersalah/ sedih/
d. Menjatuhkan diri spesifik marah/ putus asa/
dari tempat yang tidak berdaya.
tinggi b. Menarik diri dari
pergaulan sosial 3. Mengungkapkan hal-
2. Mengalami hal negatif tentang
depresi diri sendiri yang
manggambarkan
3. Mempunyai
harga diri rendah
rencana bunuh diri
yang spesifik 4. Mengatakan; “Tolong
jaga anak-anak karena
4. Menyiapkan alat
saya akan pergi jauh!’
untuk bunuh diri
atau “Segala sesuatu
(pistol, pisau, silet
akan lebih baik tanpa
dll)
saya”.

5 Panik

6 Gejala putus
zat

7 Over dosis zat


adiktif

8 Defisit
perawatan
diri
9 Isolasi sosial

Secara umum klien yang dirawat di PICU adalah klien dengan kriteria:

a. Risiko bunuh diri yang berhubungan dengan kejadian akut dan atau suatu perubahan alam perasaan
atau perilaku yang menetap.
b. Penyalahgunaan NAPZA atau kedaruratan yang berhubungan dan berlangsung relatif singkat
Sedangkan berdasarkan masalah keperawatan maka klien yang perlu dirawat di PICU adalah klien
dengan masalah keperawatan sebagai berikut:

a. Perilaku kekerasan
b. Percobaan bunuh diri
1) Gangguan sensori persespsi: halusinasi (Fase IV)
2) Gangguan proses pikir: Waham curiga
3) Masalah-masalah keperawatan yang berkaitan dengan kondisi klien putus zat dan over dosis:
a) Perubahan kenyamanan: nyeri
b) Gangguan pola tidur
c) Gangguan pemenuhan nutrisi
d) Gangguan eliminasi bowel
3. Pola penanganan di PICU
Pola penanganan di PICU mengadopsi pola pendekatan di ruang MPKP yang terdiri dari
empat pilar, yaitu:
a. Pendekatan manajemen
b. Compensatory reward
c. Hubungan profesional
d. Manajemen asuhan keperawatan
Sedangkan pada ruangan PICU keempat pilar ini dilebur menjadi 2 pilar, sebagai berikut:

a. Manajemen pelayanan keperawatan (pilar I-III)


b. Manajemen asuhan keperawatan (pilar IV)
4. Alur penerimaan klien di PICU
Klien baru yang masuk PICU dilakukan triase dengan mengkaji keluhan utama klien dengan
menggunakan skor RUFA (1-30) dan tanda vital. Adapun katagori klien menurut skor RUFA adalah:
a. Skor 1-10 masuk intensif I
b. Skor 11-20 masuk ruang intensif II
c. Skor 21-30 masuk ruang intensif III
5. Fase tindakan intensif
a. Fase intensif I (24 jam pertama)
1) Prinsip tindakan
a) Life saving
b) Mencegah cedera pada klien, orang lain dan lingkungan
2) Indikasi
Klien dengan skor 1-10 skala RUFA
3) Pengkajian
Hal-hal yang harus dikaji adalah:
a) Riwayat perawatan yang lalu
b) Psikiater atau perawat jiwa yang baru-baru ini menangani klien (bila memungkinkan)
c) Diagnosa gangguan jiwa di waktu lalu yang mirip dengan tanda dan gejala yang dialami klien saat ini
d) Stressor sosial, lingkungan, dan kultural yang menimbulkan masalah klien saat ini.
e) Kemampuan dan keingginan klien untuk bekerjasama dalam proses treatment.
f) Riwayat pengobatan dan respons terhadap terapi, mencakup jenis obat yang didapat, dosis, respons
terhadap obat, efek samping dan kepatuhan minum obat, serta daftar obat terakhir yang diresepkan
dan nama dokter yang meresepkan.
g) Pemeriksaan kognitif untuk mendeteksi kerusakan kognitif atau neuro psikiatrik
h) Tes kehamilan untuk semua klien usia subur.
Pengkajian lengkap harus dilakukan dalam 3 jam pertama. Selain itu klien harus diperiksa oleh
seorang psikiater/dokter umum kesehatan jiwa (Psikiater/Medical Officer Mental
Health(MOMH)/GP+(General Practitioner)/GP++) dalam 8 jam pertama dengan prioritas pertama
adalah psikiater. Bila tidak ada psikiater maka klien dapat ditangani oleh MOMH. Selanjutnya bila
tidak ada MOMH dapat ditangani GP+ atau GP++. Klien-klien yang berada dalam kondisi
membutuhkan penangan sangat segera harus dikaji dan bertemu dengan psikiater/MOMH dalam 15
menit pertama.

Intervensi:

Intervensi untuk fase ini adalah:

a) Observasi ketat
b) Bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, perawatan diri)
c) Manajemen pengamanan klien yang efektif (jika dibutuhkan)
d) Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik.
e) Evaluasi: dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah kondisi klien memungkinkan untuk
dipindahkan ke ruang intensif II.
f) Bila kondisi klien diatas 10 skala RUFA maka klien dapat dipindahkan ke intensif II.
b. Fase intensif II (24-72 jam)
1) Prinsip tindakan
 Observasi lanjutan dari fase krisis (Intensif I)
 Mempertahankan pencegahan cedera pada klien, orang lain dan lingkungan
2) Indikasi: klien dengan skor 11-20 skala RUFA
3) Intervensi
Intervensi untuk fase adalah:
 Observasi frekuensi dan intensitas yang lebih rendah dari fase intensif I
 Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik dan terapi olahraga
 Evaluasi dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah kondisi klien memungkinkan untuk
dipindahkan ke ruang intensif III
 Bila kondisi klien di atas skor 20 skala RUFA, maka klien dapat dipindahkan ke intensif III, bila
dibawah skor 11 skala RUFA maka klien dikembalikan ke fase intensif I.
c. Fase intensif III (72 jam-10 hari)
1) Prinsip tindakan
 Observasi lanjutan dari fase akut (Intensif II)
 Memfasilitasi perawatan mandiri klien.
2) Indikasi: klien dengan skor 21-30 skala RUFA
3) Intervensi
Intervensi untuk fase ini adalah:
 Observasi dilakukan secara minimal
 Klien lebih banyak melakukan aktivitas secara mandiri
 Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik, terapi olahraga, dan life
skill therapy.
 Evaluasi dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah kondisi klien memungkinkan untuk
dipulangkan.
 Bila kondisi klien diatas skor 30 skala RUFA maka klien dapat dipulangkan dengan mengontak
perawat CMHN terlebih dahulu. Bila dibawah skor 20 skala RUFA klien dikembalikan ke fase intensif
II, dan bila dibawah skor 11 RUFA klien dikembalikan ke fase intensif I.
6. Ketenagaan
Menurut Rollesby (2009), adapun ketenagaan yang terlibat di ruang PICU adalah sebagai
berikut:
a. Psikiater konsultan
b. Perawat terampil
c. Pekerja sosial
d. Occupation terapist
e. Instruktur teknis
f. Psikolog

Oleh Made Wirnata Hari/Tgl Sabtu, September 03, 2011

Label: psychiatric intensive care unit

Kegawatdaruratan Psikiatri
Tinjauan Kegawatdaruratan Psikiatri

Gambar Posted on Desember 27, 2013 Updated on April 14, 2014

TINJAUAN KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI


Oleh: Elvi Zuliani, SKM

PENDAHULUAN
Dewasa ini himpitan dan masalah sosial yang dihadapi masyarakat kian banyak dan berat,
dalam menyikapi situasi dan kondisi ini berbagai pola dan prilaku yang ditunjukkan oleh
masyarakat. Berbagai hal ini diketahui menimbulkan fenomena yang terkadang memerlukan
perhatian dan bantuan pihak-pihak profesional dimana dapat dilihat diberbagai penayangan
media akibat situasi dan masalah sosial tersebut banyak orang mengalami tekanan yang
menimbulkan stress, depresi dan gangguan kejiwaan. Dalam hal ini yang perlu menjadi
perhatian kita adalah gangguan kejiwaan yang membutuhkan penanganan segera yang kita
golongkan keadaaan kegawatdaruratan psikiatri.
Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi darurat.
Kondisi ini menuntut intervensi psikiatriks seperti percobaan bunuh diri, penyalahgunaan
obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada perilaku. Pelayanan
kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang kedokteran, ilmu
perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan
psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di
perkotaan.
Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para profesional
yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi
mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien biasanya datang atas
kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja.
Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya meliputi
stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan mental
baik sifatnya kronis ataupun akut.

KEDARURATAN PSIKIATRI
Kedaruratan psikiatrik adalah suatu gangguan akut pada pikiran, perasaan, perilaku, atau
hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen, Forster, Zealberg, &
Currier, 2002). Menurut Kaplan dan Sadock (1993) kedaruratan psikiatrik adalah gangguan
alam pikiran, perasaan atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik segera. Dari
pengertian tersebut, kedaruratan psikiatri adalah gangguan pikiran, perasaan, perilaku dan
atau sosial yang membahayakan diri sendiri atau orang lain yang membutuhkan tindakan
intensif yang segera. Sehingga prinsip dari kedaruratan psikiatri adalah kondisi darurat dan
tindakan intensif yang segera. Berdasarkan prinsip tindakan intensif segera, maka
penanganan kedaruratan dibagi dalam fase intensif I (24 jam pertama), fase intensif II (24-72
jam pertama), dan fase intensif III (72 jam-10 hari).
1.Fase intensif I
Fase intensif I adalah fase 24 jam pertama pasien dirawat dengan observasi, diagnosa, tritmen
dan evaluasi yang ketat. Berdasarkan hasil evaluasi pasien maka pasien memiliki tiga
kemungkinan yaitu dipulangkan, dilanjutkan ke fase intensif II, atau dirujuk ke rumah sakit
jiwa.
2.Fase intensif II
Fase intensif II perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai dengan 72 jam.
Berdasarkan hasil evaluasi maka pasien pada fase ini memiliki empat kemungkinan yaitu
dipulangkan, dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau kembali ke ruang fase intensif I.
3.Fase intensif III
Fase intensif III pasien di kondisikan sudah mulai stabil, sehingga observasi menjadi lebih
berkurang dan tindakan-tindakan keperawatan lebih diarahkan kepada tindakan rehabilitasi.
Fase ini berlangsung sampai dengan maksimal 10 hari. Merujuk kepada hasil evaluasi maka
pasien pada fase ini dapat dipulangkan, dirujuk ke rumah sakit jiwa atau unit psikiatri di
rumah sakit umum, ataupun kembali ke ruang fase intensif I atau II.
Klasifikasi Kegawatdaruratan Psikiatri adalah:
1.Tidak berhubungan dengan kelainan organik:
Diantaranya gangguan emosional akut akibat dari antara lain; kematian, perceraian, perpisaan
, bencana alam, pengasingan dan pemerkosaan.
2.Berhubungan dengan kelainan organik antara lain akibat dari; trauma kapitis, struk,
ketergantungan obat, kelainan metabolik, kondisi sensitivitas karena obat
Penyebabnya Kegawatdaruratan Psikiatri:
1.Tindak kekerasan
2.Perubahan perilaku
3.Gangguan penggunaan zat
Kedaruratan Psikiatri à Adalah tiap gangguan pada pikiran, perasaan dan tindakan seseorang
yang memerlukan intervensi terapeutik segera .
Diantaranya yang sering adalah
1.SUICIDE (BUNUH DIRI)
2.VIOLENCE AND ASSAULTIVE BEHAVIOR (PERILAKU KEKERASAN DAN
MENYERANG).
Bunuh diri
Di Amerika tiap tahun kasus bunuh diri yang berhasil mencapai 30.000 orang per
tahun dimana dilaporkan bahwa angka yang mencoba bunuh diri sekitar 8 – 10x
lebih besar dari yang berhasil melakukannya
Di Indonesia belum ada data yang tepat yang melaporkan jumlah kejadian kasus
bunuh diri.
Literatur menunjukkan à 95% kasus bunuh diri berkaitan dengan masalah kesehatan
jiwa diantaranya : 80% Depresi,10% Skizofrenia, 5% Dementia/Delirium, 5% diagnosa
ganda yang berkaitan dengan Ketergantungan Alkohol
Menurut Adam.K mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya bunuh diri
adalah:
•Pria , usia diatas 45 tahun, tidak bekerja, bercerai atau ditinggal mati pasangan hidupnya
•mempunyai riwayat keluarga yang bermasalah, mempunyai penyakit fisik kronis
•mempunyai gangguan kesehatan jiwa ,Hubungan sosial yang buruk baik terhadap
keluarga/lingkungan ,cenderung mengisolasi diri
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menduga adanya resiko bunuh diri:
Adanya ide bunuh diri/percobaan bunuh diri sebelumnya
Adanya kecemasan yang tinggi, depresi yang dalam & kelelahan
Adanya ide bunuh diri yang diucapkan
Ketersediaannya alat atau cara untuk bunuh diri
Mempersiapkan warisan terutama pada pasien depresi yang agitatif
Adanya krisis dalam kehidupan baik fisik maupun mental
Adanya riwayat keluarga yang melakukan bunuh diri
Adanya kecemasan terhadap keluarga jika terjadi bunuh diri
Adanya keputus-asaan yang mendalam
Tindakan awal:
DOKTER KELUARGA /UMUM àLakukan pertolongan pertama jika diperlukan Berikan
penjelasan ke keluarga pasien tentang kondisinya
Rujuk pasien ke RS terdekat
Tatalaksana:
Pencegahan yang utama
Hospitalisasi tergantung :
Diagnosis, Beratnya Depresi, Kuatnya ide bunuh diri
Kemampuan pasien dan keluarga mengatasi masalahnya
Keadaan kehidupan pasien
Tersedianya support sosial bagi pasien
Ada tidaknya faktor resiko bunuh diri pada saat kejadian
Perilaku kekerasan & menyerang (mania)
Paling penting tentukan:
Gangguan Fisik? Gangguan Mental?
Mental
Gangguan proses pikir misal Skizofrenia, Waham paranoid, Halusinasi perintah membunuh /
menyerang
Gangguan kepribadian : Ambang, Antisosial, Histrionik
Intoksikasi obat / alkohol, Gejala putus obat
Gangguan organik
Gangguan Manik/Episode Manik
Depresi Agitatif/Episode Depresi
Gangguan Cemas
Reaksi Ekstra Piramidal
Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam:
Kata-kata keras/kasar atau ancaman akan kekerasan
Perilaku agitatif
Membawa benda-benda tajam atau senjata
Adanya pikiran dan perilaku paranoid
Adanya penyalah gunaan zat/intoksikasi alkohol
Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak kekerasan
Kegelisahan katatonik
Episode Manik
Episode Depresi Agitatif
Gangguan Kepribadian tertentu
Adanya penyakit di Otak ( terutama di lobus frontal )
Hal yang perlu diperhatikan:
Adanya ide-ide kekerasan disertai rencana dan sarana yang tersedia
Adanya riwayat kekerasan sebelumnya
Adanya riwayat gangguan impuls termasuk penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat
psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, Psikosis.
Adanya masalah dalam kehidupan pribadi yang nyata Dokter keluarga/dokter umum
Masalah fisik? à Rujuk RS yang lengkap fasilitasnya
Masalah mental? à Rujuk ke RS Jiwa/perawatan jiwa
Jika kondisi gaduh gelisah murni karena masalah mental tidak terlalu berat & cukup
kooperatif dapat diberikan:
*Haloperidol 0,5 – 1,5mg 3x/h
*Chorpromazine 25 mg 3x/h
*Diazepam 2,5 – 5mg 3x/h atau lorazepam 0,5 – 1mg 3x/h
*Risperidone 0,5 – 1mg 2x/h
*Olanzepine 5mg 1x/h
*Quetiapin 25mg 2x/h
*Clozapin 25mg 2x/h
*Anipriparole 10mg 1x/h
*K.I: antipsikotik untuk pasien trauma kepala à rujuk RSU
STRATEGI UMUM PEMERIKSAAN PASIEN KEGAWATDARURATAN
PSIKIATRI:
1.Perlindungan diri pemeriksa
2.Mencegah bahaya:
– Melukai diri sendiri dan bunuh diri
– Kekerasan terhadap orang
3.Adakah disebabkan kondisi medik?
4.Adakah kemungkinan psikosis fungsional?
INTERVENSI KEPERAWATAN:
Intervensi keperawatan pada klien kegawatdaruratan psikiatri difokuskan pada beberapa hal
sesuai dengan tujuan dan diagnosa yang sudah ditetapkan. Pada dasarnya intervensi
difokuskan pada :
1.Lingkungan
2.Hubungan perawat-klien
3.Afektif
4.Kognitif
5.Prilaku
6.Sosial
7.fisiologis
Intervensi Lingkungan: Dalam merawat klien depresi, prioritas utama ditujukan pada
potensial bunuh diri. Klien yang mania juga merupakan ancaman terjadinya kecelakaan.
Klien memiliki daya nilai yang rendah, senang tindakan yang risiko tinggi, tidak mampu
menilai realitas yang berbahaya dan konsekuensi dari perilakunya. Keadaan ini berindikasi
untuk menempatkan klien pada tempat yang aman, misalnya: dilantai dasar, perabotan yang
sederhana, kurangi rangsangan, suasana yang tenang untuk mengurangi stres dan panik klien
Hubungan Perawat- Klien: Perawat perlu mempunyai kesadaran diri dan kontrol emosi serta
pengertian yang luas tentang depresi dan mania. Bekerja dengan klien depresi pendekatan
perawat adalah hangat, menerima, diam yang aktif, jujur, empati. Sering intervensi ini sukar
dipertahankan karena klien tidak memberi respons. Hubungan saling percaya yang terapeutik
perlu dibina dab dipertahankan. Bicara lembut, sederhana dan beri waktu pada klien untuk
berpikir dan menjawab.Berbeda dengan klien mania yang sangat senang bicara, manipulatif,
hiperaktif, konsentrasi rendah dan singkat, pikiran meloncat, penilaian miskin. Klien
mungkin mendominasi dan memanipulasi klien dan kelompok. Batasan yang konstruktif
diperlukan untuk mengontrol perilaku klien.
Intervensi Afektif: sangat penting karena klien sukar mengekspresikan perasaanya.
Kesadaran dan kontrol diri perawat pada dirinya merupakan sarat utama. Pada klien depresi,
perawa harus mempunyai harapan bahwa klien akan lebih baik. Sikap perawat yang
menerima klien, hangat, sederhana akan mengekspresikan pengharapan pada klien. Perawat
bukan menggembirakan dan mengatakan tidak perlu khawatir, tetapi menenangkan dan
menerima klien. Mendorong klien mengekspresikan pengalaman yang menyakitkan dan
menyedihkan secara verbal akan mengurangi intensitas masalah yang dihadapinya
danmetaskan kehidupan lebih berarti. Jadi, intervensi pertama adalah membantu pasien
mengekspresikan perasaannya, kemudian dilanjutkan dengan intervensi yang berfokus pada
kognitif, perilaku atau sosial. Klien depresi dan mania yang diizinkan mengekspresikan
marah, ketidakpuasan, kecemasan merasakan pengalaman baru, dan kemudian perawat
membantu untuk menganalisis dan menyadari perasaannya dan selanjutnya bersama-sam
mencari alternatif pemecahan masalah sehat dan konstruktif.
Intervensi Kognitif: intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan kontrol diri klien pada
tujuan dan perilaku, meningkatkan harga diri dan membantu klien memodifikasi harapan
yang negatifKlien depresi yang memandang dirinya negatif perlu dibantu untuk mengkaji
perasaannya, dan identifikasi maslah yang berhubungan.
Pikiran negatif yang ada harus diubah melalui beberapa cara:
1.Identifikasi semua ide, pikiran yang negatif
2.Identifikasi aspek positif dari dirinya( yang dimiliki, kemampuan, keberhasilan,
kesempatan)
3.Dorong klien menilai kembali persepsi, logika, rasional
4.Bantu klien berubah dari tidak realitas kerealitas, dari persepsi yang salah atau negatif ke
persepsi positif
5.Sertakan klien aktivitas yang memperlihatkan hasil. Beri penguatan dan pujian akan
keberhasilannya.
Intervensi Perilaku: intervensi berfokus pada mengaktifkan klien yang diarahkan pada
tujuan yang realistik. Memberi tanggung jawab secara bertahap dalam aktivitas di ruangan.
Klien depresi berat dengan penurunan motivasi perlu dibuat aktivitas yang terstruktur. Beri
penguatan pada aktivitas yang berhasil.
Intervensi Sosial: Masalah utama dalam intervensi ini adalah kurangnya keterampilan
berinteraksi. Untuk itu diperlukan preses belajar membina hubungan yang terdiri dari:
1.Mengkaji kemampuan, dukungan dan minat klien
2.Mengobservasi dan mengkaji sumber dukungan yang ada pada klien
3.Membimbing klien melakukan hubungan interpersonal. Dapat dengan role model, role play,
dengan mencoba pengalaman hubungan sosial yang lalu
4.Beri umpan balik dan penguatan hubungan interpersonal yang positif
5.Dorong klien untuk memulai hubungan sosial yang lebih luas (keluarga, klien lain).
Intervensi Fisiologis: Tujuan intervensi ini adalah meningkatkan status kesehatan klien.
Makanan, tidur, kebersihan diri, penampilan yang terganggu memerlukan perhatian perawat.
Dalam hal istirahat, klien depresi takut sehingga memerlukan dukungan. Klien mania yang
selalu segar dan tidak pernah ngantuk, perlu diberi suasana yang mendukung dengan
peraturan yang konstruktif.
EVALUASI
Efektifitas asuhan keperawatan dapat dilihat dari perubahan respon maladptif. Klien akan
dapat:
1.Menerima dan mengakui perasaannya dan perasaan orang lain.
2.Memulai kuminikasi
3.Mengontrol perilaku sesuai dengan keterbatasannya (tidak manipulatif)
4.Mempergunakan proses pemecahan masalah.

Kepustakaan;
Keliat Budi Anna,1992 Kedaruratan Pada Gangguan Alam Perasaan, Penerbit Arcan, Jakarta
Dr, NongLumingkewas, 1990 Text Book Psikiatri
Anira Forrever, Makalah PICU (Psychiatric Intensive Care Unit)

♥ Anira Forever ♥
 Home
 Posts RSS
 Comments RSS
 Edit
Search...

Makalah PICU (Psychiatric Intensive Care Unit)

0 comments
Posted in Labels: Materi Kuliah

undefined
undefined

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Psikiatri dipenuhi oleh fenomenologi dan penelitian fenomena mental. Dokter psikiatri harus
belajar untuk menguasai observasi yang teliti dan penjelasan yang mengungkapkan keterampilan
termasuk belajar bahasa baru. Bagian bahasa didalam psikiatri termasuk pengenalan dan definisi
tanda dan gejala perilaku dan emosional.

Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi darurat.
Kondisi ini menuntut intervensi psikiatriks seperti percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat,
depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada perilaku. Pelayanan
kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang kedokteran, ilmu perawatan,
psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat
meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan.

Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para profesional


yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi mendapatkan
kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi
mereka, dianjurkan oleh petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien
yang menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup
pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi PICU?

2. Jelaskan kedaruratan psikiatri ?

3. Jelaskan Indikasi masuk PICU ?

4. Jelaskan alur penerimaan klien di PICU?

5. Jelaskan pola penanganan di PICU?

6. Jelaskan Fase tindakan intensif?

7. Sebutkan ketenagaan di PICU?

C. Tujuan

1. Menjelaskan definisi PICU.

2. Menjelaskan kedaruratan psikiatri.

3. Menjelaskan indikasi masuk PICU.

4. Mengetahui alur penerimaan klien di PICU.

5. Menjelaskan pola penanganan di PICU.

6. Menjelaskan fase tindakan intensif.

7. Mengetahui ketenagaan di PICU.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

PICU merupakan singkatan dari Psychiatric Intensive Care Unit. PICU dalam bahasa Indonesia
di kenal dengan UPIP, yaitu Unit Perawatan Intensif Psikiatri.

PICU merupakan pelayanan yang ditujukan untuk klien gangguan jiwa dalam kondisi krisis
psikiatri (Keliat, dkk, 2009).
PICU merupakan gabungan pelayanan gawat darurat psikiatri dan pelayanan intensif, yang
dapat diselenggarakan di rumah sakit jiwa atau unit psikiatri rumah sakit umum (Keliat, dkk, 2009).

PICU adalah suatu unit yang memberikan perawatan khusus kepada klien-klien psikiatri yang
berada dalam kondisi membutuhkan pengawasan ketat (Maryree, 2010).

Kegawat daruratan adalah dimana terjadi suatu kondisi yang mendesak yang membutuhkan
penanganan dengan segera. Kegawat daruratan juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana
seseorang membutuhkan pertolongan dengan segera untuk mempertahankan hidup dan
mengurangi resiko kematian dan kecacatan. (http://wanitanyaharris.blogspot.com)

Pengertian perawatan intensif berarti memerlukan pengawasan dan pemantauan yang lebih
sering dan cermat karena keadaannya berada di antara hidup dan mati. Pelayanan Medis Intensif
adalah pelayanan yang secara spesifik dimaksudkan untuk melakukan talaksana pengobatan dan
atau perawatan kepada pasien yang mengalami sakit kritis (purnomodrspanblog.blogspot)

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa PICU adalah suatu unit
gabungan pelayanan gawat darurat psikiatri dan pelayanan intensif, yang ditujukan untuk klien
gangguan jiwa yang dalam kondisi krisis psikiatri dan berada dalam kondisi yang membutuhkan
pengawasan ketat, dimana dapat diselenggarakan di rumah sakit jiwa atau psikiatri rumah sakit
umum.

B. Kedaruratan Psikiatri

Kedaruratan psikiatrik adalah suatu gangguan akut pada pikiran, perasaan, perilaku, atau
hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen, Forster, Zealberg, & Currier,
2002). Menurut Kaplan dan Sadock (1993) kedaruratan psikiatrik adalah gangguan alam pikiran,
perasaan atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik segera. Dari pengertian tersebut,
kedaruratan psikiatri adalah gangguan pikiran, perasaan, perilaku dan atau sosial yang
membahayakan diri sendiri atau orang lain yang membutuhkan tindakan intensif yang segera.
Sehingga prinsip dari kedaruratan psikiatri adalah kondisi darurat dan tindakan intensif yang segera.
Berdasarkan prinsip tindakan intensif segera, maka penanganan kedaruratan dibagi dalam fase
intensif I (24 jam pertama), fase intensif II (24-72 jam pertama), dan fase intensif III (72 jam-10 hari).

1. Fase intensif I
Fase intensif i adalah fase 24 jam pertama pasien dirawat dengan observasi, diagnosa, tritmen dan
evaluasi yang ketat. Berdasarkan hasil evaluasi pasien maka pasien memiliki tiga kemungkinan yaitu
dipulangkan, dilanjutkan ke fase intensif II, atau dirujuk ke rumah sakit jiwa.

2. Fase intensif II

Fase intensif II perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai dengan 72 jam. Berdasarkan
hasil evaluasi maka pasien pada fase ini memiliki empat kemungkinan yaitu dipulangkan,
dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau kembali ke ruang fase intensif I.

3. Fase intensif III

Fase intensif III pasien di kondisikan sudah mulai stabil, sehingga observasi menjadi lebih berkurang
dan tindakan-tindakan keperawatan lebih diarahkan kepada tindakan rehabilitasi. Fase ini
berlangsung sampai dengan maksimal 10 hari. Merujuk kepada hasil evaluasi maka pasien pada fase
ini dapat dipulangkan, dirujuk ke rumah sakit jiwa atau unit psikiatri di rumah sakit umum, ataupun
kembali ke ruang fase intensif I atau II

C. Indikasi masuk PICU

Indikasi masuk PICU adalah klien dengan kedaruratan psikiatri, untuk dapat dikatakan sebagai
suatu kedaruratan situasi tersebut harus memiliki kriteria, sebagai berikut:

1. Ancaman segera terhadap kehidupan, kesehatan, harta benda atau lingkungan.

2. Telah menyebabkan kehilangan kehidupan, gangguan kesehatan, kerusakan harta benda dan
lingkungan.

3. Memiliki kecenderungan peningkatan bahaya yang tinggi dan segera terhadap kehidupan,
kesehatan, harta benda atau lingkungan.

Sedangkan untuk mengukur tingkat kedaruratan pada klien adalah menggunakan skala GAF
(General Adaptive Function) dengan rentang skor 1-30 skala GAF. Kondisi klien dikaji setiap shift
dengan menggunakan skor GAF. Katagori klien yang berada dalam rentang skor 1-30 GAF adalah:

1. Skor 21 - 30: perilaku dipengaruhi oleh waham atau halusinasi ATAU gangguan serius pada
komunikasi atau pertimbangan (misalnya kadang-kadang inkoheren, tindakan jelas tidak sesuai
preokupasi bunuh diri) ATAU ketidakmampuan untuk berfungsi hampir pada semua bidang
(misalnya tinggal ditempat tidur) sepanjang hari, tidak memiliki pekerjaan.
2. Skor 11 – 20: terdapat bahaya melukai diri sendiri atau orang lain (misalnya usaha bunuh diri tanpa
harapan yang jelas akan kematian, sering melakukan kekerasan, kegembiraan manik) ATAU kadang-
kadang gagal untuk mempertahankan perawatan diri yang minimal (misalnya mengusap fases) ATAU
gangguan yang jelas dalam komunikasi (sebagian besar inkoheren atau membisu)

3. Skor 1 – 10: Bahaya melukai diri sendiri atau orang lain persisten dan parah (misalnya kekerasan
rekuren) ATAU ketidakmampuan persisten untuk mempertahankan hiegene pribadi yang minimal
ATAU tindakan bunuh diri yang serius tanpa harapan bunuh diri yang jelas.

Pada keperawatan katagori klien dibuat dengan skor RUFA (Respons Umum Fungsi Adaptif)/GAFR
(General Adaptive Funtion Response) yang merupakan modifikasi dari skor GAF karena keperawatan
menggunakan pendekatan respons manusia dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
fungsi respons yang adaptif. Dari respons tersebut kemudian dirumuskan diagnosa skor RUFA dibuat
berdasarkan diganosa keperawatan yang ditemukan pada klien. Sehingga setiap diagnosa
keperawatan memiliki kriteria skor RUFA tersendiri, untuk sementara baru diagnosa risiko bunuh diri
yang sudah mempunyai skor rufa, sedangkan untuk diagnosa yang lain masih dalam pengembangan.
adapun skornya yaitu: (sudah semua diagnosa kep jiwa yang menggunakan rufa).

Secara umum klien yang dirawat di PICU adalah klien dengan kriteria:

1. Risiko bunuh diri yang berhubungan dengan kejadian akut dan atau suatu perubahan alam perasaan
atau perilaku yang menetap.

2. Penyalahgunaan NAPZA atau kedaruratan yang berhubungan dan berlangsung relatif singkat.

Sedangkan berdasarkan masalah keperawatan maka klien yang perlu dirawat di PICU adalah
klien dengan masalah keperawatan sebagai berikut:

1. Perilaku kekerasan

2. Percobaan bunuh diri

3. Gangguan sensori persespsi: halusinasi (Fase IV)

4. Gangguan proses pikir: Waham curiga.

Masalah-masalah keperawatan yang berkaitan dengan kondisi klien putus zat dan over dosis:
1. Perubahan kenyamanan: nyeri

2. Gangguan pola tidur

3. Gangguan pemenuhan nutrisi

4. Gangguan eliminasi bowel

D. Alur penerimaan pasien di UPIP

Pasien baru yang masuk di UPIP dilakukan triase dengan mengkaji keluhan utama pasien
dengan menggunakan skor RUFA (1-30) dan tanda vital. Adapun kategori pasien menurut skor RUFA
adalah:

1. Skor 1-10 masuk ruang intensif I

2. Skor 11-20 masuk ruang intensif II

3. Skor 21-30 masuk ruang intensif III

Triase

Pada fase ini hal pertama yang harus dilakukan adalah rapid assessment/screening assessment yang
dilakukan berdasarkan protap yang telah disepakati. Pengkajian ini harus meliputi identitas pasien
yaitu: nama pasien, tanggal lahir, nomor tanda pengenal (KTP/SIM/Paspor), alamat, nomor telepon,
serta nama dan nomor telepon orang terdekat pasien yang dapat dihubungi. Pengkajian kondisi
pasien yaitu tanda vital dan keluhan utama dengan skor RUFA (perawat) dan skor GAF (dokter).
Hasil pengkajian menentukan perlu tidaknya dirawat di unit UPIP, jika perlu dirawat segera tentukan
tindakan intensif yang diberikan sesuai dengan hasil skor RUFA.

E. Pola penanganan di PICU

Pola penanganan di PICU mengadopsi pola pendekatan di ruang MPKP yang terdiri dari empat
pilar, yaitu:

1. Pendekatan manajemen

2. Compensatory reward
3. Hubungan profesional

4. Manajemen asuhan keperawatan

Sedangkan pada ruangan PICU keempat pilar ini dilebur menjadi 2 pilar, sebagai berikut:

1. Manajemen pelayanan keperawatan (pilar I-III)

2. Manajemen asuhan keperawatan

D. Fase tindakan intensif

1. Fase intensif I (24 jam pertama)

a. Prinsip tindakan

 Life saving

 Mencegah cedera pada klien, orang lain dan lingkungan

b. Indikasi : Klien dengan skor 1-10 skala RUFA

c. Pengkajian

Hal-hal yang harus dikaji adalah:

 Riwayat perawatan yang lalu

 Psikiater atau perawat jiwa yang baru-baru ini menangani klien (bila memungkinkan)

 Diagnosa gangguan jiwa di waktu lalu yang mirip dengan tanda dan gejala yang dialami klien saat ini

 Stressor sosial, lingkungan, dan kultural yang menimbulkan masalah klien saat ini.

 Kemampuan dan keingginan klien untuk bekerjasama dalam proses treatment.

 Riwayat pengobatan dan respons terhadap terapi, mencakup jenis obat yang didapat, dosis, respons
terhadap obat, efek samping dan kepatuhan minum obat, serta daftar obat terakhir yang diresepkan
dan nama dokter yang meresepkan.

 Pemeriksaan kognitif untuk mendeteksi kerusakan kognitif atau neuro psikiatrik.

 Tes kehamilan untuk semua klien usia subur.


Pengkajian lengkap harus dilakukan dalam 3 jam pertama. Selain itu klien harus diperiksa oleh
seorang psikiater/dokter umum kesehatan jiwa (Psikiater/Medical Officer Mental
Health(MOMH)/GP+(General Practitioner)/GP++) dalam 8 jam pertama dengan prioritas pertama
adalah psikiater. Bila tidak ada psikiater maka klien dapat ditangani oleh MOMH. Selanjutnya bila
tidak ada MOMH dapat ditangani GP+ atau GP++. Klien-klien yang berada dalam kondisi
membutuhkan penangan sangat segera harus dikaji dan bertemu dengan psikiater/MOMH dalam 15
menit pertama.

d. Intervensi:

Intervensi untuk fase ini adalah:

 Observasi ketat

 Bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, perawatan diri)

 Manajemen pengamanan klien yang efektif (jika dibutuhkan)

 Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik.

 Evaluasi: dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah kondisi klien memungkinkan untuk
dipindahkan ke ruang intensif II.

 Bila kondisi klien diatas 10 skala RUFA maka klien dapat dipindahkan ke intensif II.

2. Fase intensif II (24-72 jam)

a. Prinsip tindakan

 Observasi lanjutan dari fase krisis (Intensif I)

 Mempertahankan pencegahan cedera pada klien, orang lain dan lingkungan

b. Indikasi: klien dengan skor 11-20 skala RUFA

c. Intervensi

Intervensi untuk fase adalah:

 Observasi frekuensi dan intensitas yang lebih rendah dari fase intensif I

 Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik dan terapi olahraga
 Evaluasi dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah kondisi klien memungkinkan untuk
dipindahkan ke ruang intensif III

 Bila kondisi klien di atas skor 20 skala RUFA, maka klien dapat dipindahkan ke intensif III, bila
dibawah skor 11 skala RUFA maka klien dikembalikan ke fase intensif I.

3. Fase intensif III (72 jam-10 hari)

a. Prinsip tindakan

 Observasi lanjutan dari fase akut (Intensif II)

 Memfasilitasi perawatan mandiri klien.

b. Indikasi: klien dengan skor 21-30 skala RUFA

c. Intervensi

Intervensi untuk fase ini adalah:

 Observasi dilakukan secara minimal

 Klien lebih banyak melakukan aktivitas secara mandiri

 Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik, terapi olahraga, dan life
skill therapy.

 Evaluasi dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah kondisi klien memungkinkan untuk
dipulangkan.

 Bila kondisi klien diatas skor 30 skala RUFA maka klien dapat dipulangkan dengan mengontak
perawat CMHN terlebih dahulu. Bila dibawah skor 20 skala RUFA klien dikembalikan ke fase intensif
II, dan bila dibawah skor 11 RUFA klien dikembalikan ke fase intensif I

E. Ketenagaan

Menurut Rollesby (2009), adapun ketenagaan yang terlibat di ruang PICU adalah sebagai
berikut:

1. Psikiater konsultan

2. Perawat terampil
3. Pekerja sosial

4. Occupation terapist

5. Instruktur teknis

6. Psikolog

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Psychiatric Intensive Care Unit (PICU) atau Unit perawatan intensif psikiatri (UPIP) adalah
suatu unit yang memberikan perawatan khusus kepada pasien-pasien psikiatri yang berada dalam
kondisi membutuhkan pengawasan ketat. Kedaruratan dapat terjadi dimanapun dan membutuhkan
penanganan segera. Kecepatan menangani kondisi kedaruratan akan meminimalkan gejala sisa
maupun kecacatan yang akan dialami pasien. Oleh karena itu tenaga kesehatan umumnya dan
tenaga keperawatan khususnya perlu memperlengkapi diri dengan kemampuan menangani
masalah-masalah kedaruratan. Disamping itu fasilitas ruangan yang memadai juga dibutuhkan untuk
dapat memberikan pelayanan kesehatan dan keperawatan yang terbaik.

B. Saran

Dengan adanya pembuatan makalah ini diharapkan kita semua dapat mengetahui konsep
Psychiatric Intensive Care Unit (PICU)

askep kegawadaruratan psikiatri

KONSEP KEGAWADARURATAN PSIKIATRI

2.1 Pengertian Kegawadaruratan psikiatri

Rangkaian kegiatan praktik keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh perawat


yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat. Keperawatan
Kegawat Daruratan (emergency Nursing) Adalah bagian dari keperawatan dimana perawat
memberikan asuhan kepada klien yang sedang mengalami keadaan yang mengancam kehidupan
karena sakit atau kecelakaan. Unit Gawat Darurat Adalah tempat/unit di RS yang memiliki tim kerja
dengan kemampuan khusus & peralatan yang memberikan pelayan pasien gawat darurat,
merupakan rangkaian dari upaya penanggulangan pasien dengan gawat darurat yang terorganisir.

Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri,


ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan, serangan panik,
dan perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang
mematikan dan muncul dengan gejala psikiatriks umum. Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini. Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan
menangani kondisi ini sangatlah penting.

Keperawatan Gawat Darurat adalah pelayanan profesional yg didasarkan pada ilmu


keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat darurat berbentuk pelayanan bio-psiko-
sosio- spiritual yang komprehensif ditujukan pada semua kelompok usia yang sedang mengalami
masalah kesehatan yang bersifat urgen , akut dan kritis akibat trauma, proses kehidupan ataupun
bencana.

2.2 Macam – macam kegawatan psikiatri

2.2.1 Gaduh- Gelisah

Keadaan gaduh gelisah dapat dimasukkan kedalam golongan kedaruratan psikiatri, bukan
karena frekuensinya yang cukup tinggi, akan tetapi karena keadaan ini berbahaya bagi pasien sendiri
maupun bagi lingkungannya, termasuk orang lain dan barang-barangnya. Tidak jarang seseorang
yang gaduh gelisah dibawa ke rumah sakit. Yang mengantarnya sering tidak sedikit dan biasanya
ialah anggota keluarganya dan sering mereka juga bingung dan gelisah.

A. Gejala gaduh-gelisah

Keadaan gaduh gelisah biasanya timbul akut atau sub akut. Gejala utama ialah psikomotorik
yang sangat meningkat. Orng itu banyak sekali berbicara, berjalan mondar mandir, tidak jarang ia
berlari-lari dan meloncat-loncat bila keadaan itu berat. Gerakan tangan dan kaki serta ajuk (mimic)
dan suaranya ceat dan hebat. Mukanya kelihatan bingung, marah-marah atau takut. Ekspresi ini
mencerminkan gangguan afek-emosi dan proses berpikir yang tidak realistic lagi. Jalan pikiran
biasanya cepat dan sering terdaat waham curiga. Tidak jarang juga timbul halusinasi penglihatan
(terutama pada sindroma otak organic yang akut) dan halusinasi endengaran (terutama pada
skizofrenia).
Karena gangguan proses berikir ini, serta waham curiga dan halusinasi (lebih-lebih bila
halusinasi itu menakutkan), maka pasien menjadi sangat bingung, gelisah dan gaduh. Ia bersikap
bermusuhan dan mungkin menjadi agresif dan destruktif. Karena itu semua, maka ia menjadi
berbahaya bagi dirinya sendiri atau lingkungannya. Ia dapat melukai diri sendiri atau mengalami
kecelakaan maut dalam kegelisahan yang hebat itu. Jika waham curiganya keras atau halusinasinya
sangat menakutkan, maka ia dapat menyerang orang lain atau merusak barang-barang disekitarnya.

Bila orang dalam keadaan gaduh gelisah tidak dihentikan atau dibuat tidak berdaya oleh
orang-orang disekitarnya untuk mengamankan si pasien dan lingkungannya, maka ia akan kehabisan
tenaga dengan segala akibatnya atau ia meninggal karena kecelakaan. Tergantung pada gangguan
primer, maka kesadaran data menurun secara kuantitatif (tidak compos mentis) dengan amnesia
sesudahnya (seperti pada sindroma otak yang akut) atau kesadaran itu tidak menurun akan tetapi
tidak normal, kesadaran itu berubah secara kualitatif. Seerti pada semua psikosa, maka individu
dalam keadaan gaduh gelisah ini sudah kehilangan kontak dengan kenyataan:proses berpikir, afek-
emosi, psikomotor dan kemauannya sudah tidak sesuai lagi dengan realitas.

B. Sebab gaduh gelisah

Keadaan gaduh gelisah bukanlah merupakan suatu diagnose dalam arti kata yang
sebenarnya, akan tetapi hanya menunjuk kepada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan
sekelompok gejala tertentu pula. Keadaan ini bisa disebabkan oleh bermacam-macam yang harus
ditentukan tiap kali pada setiap pasien. Istilah keadaan gaduh gelisah hanya dapat dipakai sebagai
pemerian sementara tentang suatu gambaran psikopatologik dengan ciri-ciri utama seperti
dicantumkan ada namanya, yaitu gaduh dan gelisah. Biasanya gaduh gelisah manisfestasi dari pada:

 Psikosa yang berhubungan dengan sindroma otak organic yang akut

Pasien dengan keadaan gaduh gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak organic akut
menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium. Istilah sindroma otak
organic menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena suatu penyakit badaniah. Penyakit
badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di otak sendiri dan
karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik. Secara mudah dapat dikatakan bahwa ada
sindroma otak organic yang akut biasanya terdapat kesadaran yang menurun, pada sindrom otak
organic yang menahun biasanya terdapat demensia,. Akan tetapi data daja menimbulkan psikosa
ataupun gaduh gelisah.

 Psikosa fungsional ; psikosa relative, skizofrenia, psikosa manik-depresi jenis mania


Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan manifestasi
suatu psikosa fungsional, yaitu psikosa yang tidak berhubungan atau sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit badaniah seperti pada sindroma
otak organic.

 Amok

Keadaan gaduh gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh factor-faktor social budaya,
karena itu PPDGJ 1 memasukkan kedalam kelompok” Keadaan yang terikat pada kebudayaan
setempat” (culture bound phenomenon). Efek malu memegang peranan penting. Biasanya seorang
pria sesudah periode “meditasi” atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan
mengamuk. Ia menjadi sangat agresif dan destruktif.

C. Keadaan gaduh gelisah lain

1) Serangan kecemasan akut dan panic mungkin saja terjadi pada orang yang normal bila nilai ambang
frustasinya mendadak dilampaui, misalnya kecemasan dan panic sewaktu kebakaran, kecelakaan
masala tau bencana. Sebagian besar orang-orang ini lekas menjadi tenang kembali, bila perlu
diberikan pengobatan suportif seerti berbicara dengan tenang, istirahat, tranquilaizer serta makanan
dan minuman.

2) Kebingungan post konvulsi, tidak jarang terjadi sebuah konvulsi karena epilepsy grandmall atau
sesudah terapi konvulsi elektrokonvulsi. Pasien menjadi gelisah atau agresif. Keadaan ini
berlangsung beberapa menit dan jarang lebih lama dari 15 menit. Pasien dikendalikan dengan
dipegang saja dan dengan kata-kata yang menentramkan. Bila ia masih tetap bingung dan gelisah,
maka perlu diberi diazeapam atau penthotal secara intravena untuk mengakhiri keadaan
bingungnya..

3) Reaksi disosiasi atau keadaan fugue memperlihatkan pasien dalam keadaan bingung juga. Keduanya
merupakan jenis nerosa histerik yang disebabkan oleh konflik emosional. Kesadaran pasien
menurun, ia berbicara dan berbuat sesuai seperti dalam keadaan mimpi, sesudahnya terdapat
amnesia total.

4) Ledakan amarah tidak jarang timbul pada anak kecil. Mereka menjadi binggung dan marah tidak
karuan. Penyebabnya sering terdaat pada hubungan dengan dunia luar yang dirasakan begitu
menekan sehingga tidak dapat ditahan lagi dan anak kecil itu bereaksi dengan caranya sendiri.
Pengobatan penderita gaduh gelisah di Pusat Kesehatan Masyarakat atau di Rumah Sakit Umum
Kabupaten dapat saja dilakukan seperti pada bagan dibawah ini.

Seorang yang gaduh gelisah

Menghadapi dengan tenang

Menenangkan dengan kata-kata sedapat dapatnya, diamankan

Menentramkan keluarga/pengantar

Memeriksa badaniah sedapat-


dapatnya

Terdapat kelainan intern/nerologik tidak terdapat kelainan intern/nerologik

Perawatan/penjagaan yang baik


perawatan/penjagaan yang baik

Obatkelainan Obatgejala
intern/nerologik : psikiatrik: Obatigangguan psikiatrik:

Etiologic neuroleptika *neuroleptika

simtomatik *tranquilaizer

*psikoterapisuportip

*terapiECT

D. Terapi dan Pengobatan gaduh-gelisah

Terapi terhadap Underlying disease merupakan tatalaksana saat ini yang menentukan
pendekatan apa yang kita gunakan, antara lain :

 .Perawatan terhadap keadaangaduh gelisah termasuk delirium dan gangguan mental organik.

 Fiksasi pada tempat tidur dandibuat ruangan tersendiri adalah tindakan yang sangat membantu.

 Lampu yang cukup terang

 orientasi dipertahankandengan adanya jam dan kalender

 didampingi oleh kerabatterdekat merupakan lingkungan yang mempercepat perbaikan.

 Pada keadaan primer psikitri,anti psikotik dan atau anti anxietas mempunyai dampak yang sangat
baik
Kemudian ditunjang lingkungan yang tidak merangsang, serta psikoterapi
dasar dan psikoeducation diperlukan untuk mengurangi keadaan gaduh gelisah. Pada gangguan
kepribadian membutuhkan kombinasi dari
supportiveand basic cognitive psykotherapies and firm limit setting. Keterlibatan penegak hukum
dalam hal ini kepolisian akan sangat membantu pasien untuk tidak melawan dokter. Sedangkan
penggunaan obat-obat sedapat mungkin tidak digunakan.

 Pendekatan Umum Pasien Dengan Gaduh Gelisah

 Selalu dalam keadaan rendahhati dan tenang.


Usahakan tidak menentang pasien, jika hal ini tidak dilakukan maka pasien akan marah dancenderun
g tetap dalam kondisi gaduh gelisah.

 Sampaikan pada pasiententang siapa dan apa tugas kita sebagai dokter.

 Bicara dengan jelas, danhindari kontak mata yang lama.

 Selalu menjaga jarak

 Bersikap empati terutama pada pasien yang merasa kecewa/putus asa.

 Hati-hati karena wawancara yang dilakukan dapat memicu perilaku kekerasan.

 Disarankan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dan dalam waktu yang singkat.

 Pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan yang efisien untuk mendapatkan informasi pada
keadaan ini.

 Bangun kepercayaan dengan pasien.

 Menawarkan makananataupun minuman akan mempercepat pasien kooperatif.

 Jika mungkin perkenankan pasien untuk memilih perawatan seperti apa yang diinginkan.

 Gunakan waktu secara efisien, jika pasien bersedia untuk diambil darah maka lakukan pemeriksaan
pemeriksaan sesuai indikasi.

 Selalulah berfikir bahwa iniadalah kesempatan satu-satunya


Pasien gaduh gelisah membahayakan bagi pasien sendiri dan orang-orangdisekitar oleh
karena cara pengambilan keputusan oleh pasien yang lemah.
Tujuan utama perawatan adalah membuat pasien tenang dan tidak gaduh gelisah lagi. Pilihan sedian
yang ada :

a. Golongan Phenothiazine

Salah satu obat yang paling banyak dipakai saat ini adalah Chlopromazine (largactil, promactil,
ethibernal), yang diberikan dengan dosisawal 50 - 100 mg, dan bila diberikan perenteral, sebaiknya
diberikan secara deep intramuscular. Perlu diperhatikan, obat ini mempunyai khasiat hipotensif
(karenanya tidak dianjurkan dalam pemberian intravenous) dan suntikan dapat menyebabkan
infiltrat di antara otot (rasa sakit). Demikian pula sifat epileptogenik dari derivate phenothiazine
perlu pula diperhatikan. Mengingat efek samping yang cukup banyak darichlorpromazine, di
Indonesia saat ini juga dijumpai preparat perenteral lainnya seperti fluphenazine (anatensol HCI).
Preparat tersebut saat ini mudah diperoleh, dan dapat diberikan dalam dosis yang relatif lebih
rendah : yakni 2,5 - 5 mg yang dapat diberikan dalam bentuk injeksi sebanyak 1 - 2 cc.

b. Golongan butyrophenon

Obat-obat yang termasuk golongan ini antara lain Serenace, danHaldol/Haloperidol. FDA tidak
menyetujui sedian IV bagi haloperidol, tetapi dapat digunakan bersama Salin untuk mencegah
presipitasi dengan Heparindan Phenytoin. Dosis yang diberikan :

-Gaduh gelisah ringan dengan 0.5 mg – 2 mg.

-Gaduh gelisah sedang dimulai dengan 5-10 mg.

-Gaduh gelisah berat memerlukan permulaan 10 mg.

Jika pasien masih gaduh gelisah dapat diberikan kembali tiap 20-30 menit dan dapat ditingkatkan
pemberian bolus 75 mg. Haloperidol dapat diberikan secara IV dengan drip dengan dosis rata-rata 10
-20 mg/jam. Dapat juga digunakan dosis 400-500 mg/hari, dengan dosis awal rendah pada pasien
usia tua dan pasien dengan penyakit tertentu. Penggunaan IV lebih jarang terjadi EPS, reaksi
distonik, dan akathisia sertahipotensi.

c. Golongan Thioxanthene

Walaupun beberapa ahli berpendapat bahwa efek-samping golongan ini kurang menyenangkan,
tetapi chlorprothixene yang pernah ada di pasaran Indonesia (Truxal, atau taractan) ternyata cukup
efektif dalam menanggulangi pasien gaduh gelisah bila diberi dalam dosis 50 - 100 mg intramuskular.
Pada Ruangan Gawat Darurat, pemberian IV biasanya sulit pada keadaan gaduh gelisah, sehingga
pasien harus ditenangkan menggunakan sediaan IM ataupun konsentrat.

 Pilihann I: Haloperidol 5 mg IM/konsentrat dan diulangi 40 menit sampai pasien tenang. Dilanjutkan
dengan pemberian 2 mg IM/per oral tiap 4 jam bila perlu. Pengguanaan berikutnya sampai dengan
24 jam.

 Pilihan II: Kombinasi antipsikotik dan Benzodiazepine mempunyai efek yanglebih rendah.
Haloperidol 5 mg IM/konsentrat tiap 30 menit jika perlusampai dengan pasien tenang. Sebagai
alternatif Lorazepam 2 mgIM/konsentrat diulangi 30 menit bila perlu sampai pasien tenang.

 Pilihan III: Chlorpromasin 25 mg IM, jangan pernah memberikan lebih dari 50mg. Karena dapat
menyebabkan hipotensi, dan hindarkan penggunaan pada pasien tua.

 Penggunaan Elektro Convulsive Therapy

Di antara kasus-kasus tertentu, temyata ada yang masih membandelwalaupun kita telah
menggunakan dosis yang lebih tinggi. Tidak jarang dosisyang tinggi tadi dapat berakibat toksik dan
malahan menyebabkan pasien leblgelisah. Pada kasus yang dulu dikenal sebagai akute-
tt5dliche katatonie,disarankan diberikan Block-shock, yakni pemberian ECT sebanyak dua atautiga
kali dalam sehari, karena justru terapi ini yang menjadi Drugs of Choice.

Terapi ini dapat diulang pada hari-hari berikutnya selama tiga hari bila diperlukan. Perlu
diperhatikan, bahwa :mereka yang tidak mempunyai alat ECT, yang mutakhir, masih dapat pula
menggunakan elektrode dari listrik biasa (listrik bolak balik, dengan voltase 70 - 130 volt), dan
kedua electrode tersebut diletakkan di kedua pelipis penderita, dan waktu yang dibutuhkan adalah
0,1 - 0,5 detik. (tapi preparasi pun harus dikerjakan dengan baik).

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan ECT adalah :

 ECT dapat memperhebat efek hipotensif dari neuroleptika (penyebabnyamasih dipertanyakan).

 Akhir akhir ini, penggunaan ECT memperoleh kecaman yang hebat, khususnya oleh negara-negara
maju karena dianggap kurang etis. Tapi pemakaian untuk kasus-kasus psikiatrik yang tepat, misalnya
bagi keadaan Psikosis-depresiva, yang disertai agitasi, pemakaian ECT masih dianggap yang paling
potensial.

2.2.2 Bunuh Diri (Suicade)


Masalah bunuh diri bukanlah masalah yang baru. Bangsa Indonesia telah mengenalnya sejak
zaman dahulu, terbukti dari cerita-cerita wayang, seperti cerita dewi shinta yang membakar dirinya
untuk membuktikan kesuciannya pada Rama. Mati seperti inilah dianggap oleh masyarakat sebagai
mati terhormat.

Dalam kepustakaan terdaat banyak definisi bunuh diri atau suiside (percobaan bunuh diri,
Latin : “tentamen suicide”, inggris: “suicide attempt”). Ada yang menganggap (percobaan)bunuh diri
ialah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan dengan sengaja
dilakukan oleh seorang yang tahu akan akibatnya yang mungkin pada waktu yang singkat.
(percobaan) bunuh diri ialah segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri
dalam waktu singkat (Maramis,1998)

Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang disebabkan karena stress yang tinggi
dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat, 1993). Perilaku
bunuh diri atau destruktif diri langsung terjadi terus menerus dan intensif pada diri kehidupan
seseorang. Perilaku yang tampak adalah berlebihan, gejala atau ucapan verbal ingin bunuh diri, luka
atau nyeri (Rawlin dan Heacock, 1993).

Dewasa ini dikalangan psikiatri memandang bunuh diri sebagai perilaku yang bertujuan
mengatasi masalah hidup, suatu perilaku yang”unik manusiawi” dan kultural, yang sesungguhnya
bukan berarti pemusnahan diri, melainkan penyelesaian masalah frustasi, enghindaran diri dari
segala situasi yang tidak menyenangkan, pernyataan amarah atau kegelisahan, unutk memeroleh
keadaan tidur yang damai dan tentram. Lingkungan social juga dapat mengadakan hambatan-
hambatan(control social, dengan eraturan dan norma-norma melalui perasaan malu), tetapi juga
bisa memudahkan dan menganjurkan bunuh diri bila hal itu dianggap menguntungkan kelompok.
Sebaliknya peranan keadaan jiwa juga penting, lebih-lebih dalam masyarakat kita sekarang ini
dengan kecenderungan individu menjadi sangat individulistis dan dengan norma-normal social
menjadi lemah (control pribadi dengan hati nurani melalui perasaan bersalah dan berdoa menjadi
kurang). Itulah antara lain menjadi sebab bahwa jumlah (percobaan) bunuh diri adalah tinggi,
terutama dikota-kota besar dengan manusia yang hidup secara sangat individualistis, karena struktur
dan kehidupan kota itu sendiri.

A. Ada macam-macam pembagian bunuh diri dan percobaan bunuh diri.

a. Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis yaitu:

1) Bunuh diri egoistic


Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kondisi
kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu seolah-olah tidak berkepribadian.
Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka yang tidak menikah lebuh
rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah.
Masyarakat daerah pedesaan memunyai integrasi social yang lebih baik daripada daerah erkotaan,
sehingga angka suicide juga lebih sedikit.

2) Bunuh diri altruistic

Individu tidak terikat pada tuntutan tradisi khusus atauun ia cenderung untuk bunuh diri karena
identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok tersebut sangat
mengharapkannya.

3) Bunuh diri anomik

Hal ini terjadi jika terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan masyarakat,
sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan
pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya
karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhada kebutuhannya. Hal ini menerangakan
mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih bnayak dari pada mereka yang
tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastic juga
lebih muda melakukan percobaan bunuh diri.

b. Meninger

Meninger melihat 3 komponen pada orang yang melakukan bunuh diri yaitu: adanya keinginan
untuk membunuh dan menyerang, untuk dibunuh, dan untuk mati atau menghukum diri sendiri.

c. Scheidman dan Farberow

Scheidman dan Farberow membagi orang yang melakukan bunuh diri menjadi 4 golongan, yaitu:

1) Mereka yang percaya bahwa tindakan bunuh diri itu benar, sebab mereka memandang bunuh diri
sebagai peralihan menuju ke kehidupan yang lebih baik atau mempunyai arti untuk menyelamatkan
nama baiknya.
2) Mereka yang sudah tua, hal ini ditemukan pada orang yang kehilangan anak, atau cacat jasmaninya,
yang menganggap bunuh diri sebagai suatu jalan keluar dari keadaan yang tidak menguntungkan
bagi mereka.

3) Mereka yang psikotik, dan bunuh diri disini merupakan jawaban terhadap halusinasi atau wahamnya

4) Mereka yang bunuh diri sebagai balas dendam, yang percaya bahwa karena bunuh diri orang lain
akan berduka cita dan mereka sendiri akan dapat menyaksikan kesusahan orang lain itu.

Menurut Schneidman dan Farberow (para pendiri Suicide Prevention Center” di Los Angelos) istilah
bunuh diri dapat mengandung arti:

1) Ancaman bunuh diri (Threatened Suicide)

2) Percobaan bunuh diri (Attempted Suicide)

3) Bunuh diri yang telah dilakukan (Comitted Suicide)

4) Depresi dengan niat hendak bunuh diri

5) Melukai diri sendiri (Self Destruction)

Herbert Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh diri sebagai berikut:

a. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (death as retaliatory abandonment)

Suicade dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut dan kematian.
Individu mendapat perasaan seakan akan ia data mengontrol dan dapat mengetahui bilamana dan
bagaimana kematian ini.

b. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (death as retroflexed murder)

Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suicide dapat mengganti kemarahan atau
kekerasan yang tidak dapat direpresi. Orang ini cenderung untuk bertindak kasar dan suicide dapat
merupakan penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan keinginan untuk membunuh.

c. Kematian sebagai penyatuan kembali (death as reunion)


Kematian dapat mempunyai arti menyenangkan, karena individu itu akan bersatu kembali dengan
orang yang telah meninggal (reuni khayalan). Lebih sering ditekankan pada rasa puas untuk
mengikuti yang telah meninggal itu.

d. Kematian sebagai hukuman bagi diri sendiri ( death as self punishment)

Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita. Dalam
psikodinamika suicide , kehilangan yang berat memainkan peranan penting, misalnya kehilangan
kesehatan, kasih saying, uang, pekerjaan, kebanggan, kecantikan, status, kemerdekaan dan teman.
Pada umumnya jarang terdapat hanya satu factor pencetus bagi suicide. Pada penganut teori
nerofisiologik menganggap bahwa keputusan terakhir untuk melakukan bunuh diri dipengaruhi oleh
kelemahan fungsi serebrokortikal, anata lain karena insomnia dan barbituret serta alcohol.

Solomon membagi besarnya resiko bunuh diri dengan melihat adanya tanda-tanda tertentu, yaitu:
tanda-tanda resiko berat dan tanda-tanda bahaya.

1. Tanda-tanda resiko berat ialah:

a. Keinginan mati yang sungguh-sungguh, pernyataan yang berulang-ulang bahwa ia ingin mati
(anggapan bahwa orang yang mengatakan demikian tidak akan berbuatnya,ternyata keliru)

b. Adanya depresi dengan gejala rasa salah dan dosa terutama terhadap orang-orang yang sudah
meninggal, rasa putus asa, ingin dihukum berat, rasa cemas yang hebat, rasa tidak berharga lagi,
sangat berkurangnya nafsu makan, sex dan kegiatan, serta adanya gangguan tidur yang berat.

c. Adanya psikosa;terutama penderita psikosa impulsive, serta adanya perasaan curiga, ketakutan dan
panic. Keadaan semakin berbahaya bila penderita mendengar suara yang memerintahkan
membunuh dirinya.

2. Tanda –tanda bahaya ialah:

a. Pernah melakukan percobaan bunuh diri (jadi anggapan bahwa orang yang pernah mencoba bunuh
diri tidak akan berbuat demikian lagi juga keliru). Tempat dan cara percobaan bunuh diri juga
penting untuk melihat kesungguhan penderita. Jika percobaan bunuh diri dulu itu dilakukan
ditempat yang sepi, sehingga kecil kemungkinan bahwa orang lain dapat menghalangi tindakannya,
maka hal ini menandakan keinginan yang besar untuk mati, tetapi bila dilakukan ditempat yang
mudah diketahui orang, mungkin keinginan untuk mati itu kecil. Juga cara yang dipakai, bila yang
dipilih lebih besar dan lebih menyakitkan maka makin besar niatnya dengan kemungkinan
melakukan suicide lagi.
b. Penyakit yang menahun: penderitan dengan penyakit kronis yang berat dapat melakukan bunuh diri
karena depresi yang disebabkan penyakitnya.

c. Ketergantungan obat dan alcohol: alcohol dan beberapa obat mempunyai beberapa efek
melemahkan control dan merubah dorongan(impuls) sehingga memudahkan bunuh diri.

d. Hipokhondriasis: keluhan fisik yang konstan dan bermacam-macam tanpa sebab organis dapat
menimbulkan depresi yang berbahaya.

e. Bertambahnya umur: terutama pada pria, bertambahnya umur tanpa pekerjaan atau kesibukan
yang berarti dapat menambah perasaan bahwa hidupnya tidak berguna. Tetapi dari beberapa
artikel, rupa-rupanya diindonesia paling banyak terjadi bunuh diri antara umur 20-40 tahun.

f. Pengasingan diri: hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak dapat lagi menolong dan mengatasi
depersi yang berat.

g. Kebanyakan kekayaan: individu tanpa uang, pekerjaan, teman atau harapan masa depan,
mempunyai gairah untuk hidup kurang dari pada yang mempunyai keluarga dan kedudukan social
yang lebih berhasil.

h. Cacatan bunuh diri: setiap catatan bunuh diri hars diangggap sebagai tanda bahaya.

i. Kesukaran penyesuaian diri yang kronis: individu dengan pergolakan yang lama atau hubungan
anatar individu yang tidak memuaskan, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk melakukan
suicide.

j. Tak jelas adanya keuntungan sekunder. Jika ancaman pasien tertuju pada orang tertentu
disekitarnya, maka mungkin percobaan bunuh diri bertujuan untuk memanipulasi dan
mengharapkan pertolongan, maka resikonya lebih kecil. Jika tidak terdapat keuntungan sekunder
yang jelas dan ancamannya, ditujukan benar-benar kepada dirinya, maka resikonya jauh lebih besar.

B. Tanda-tanda bunuh diri

Dikutip dari situs kesehatan mental epigee.org, berikut ini adalah tanda-tanda bunuh diri yang
mungkin terjadi:

1. Bicara mengenai kematian: Bicara tentang keinginan menghilang, melompat, menembak diri sendiri
atau ungkapan membahayakan diri.

2. Baru saja kehilangan: kematian, perceraian, putus dengan pacar atau kehilangan pekerjaan,
semuanya bisa mengarah pada pemikiran bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Kehilangan lainnya
yang bisa menandakan bunuh diri termasuk hilangnya keyakinan beragama dan hilangnya
ketertarikan pada seseorang atau pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati.

3. Perubahan kepribadian: seseorang mungkin memperlihatkan tanda-tanda kelelahan, keraguan atau


kecemasan yang tidak biasa.

4. Perubahan perilaku: kurangnya konsentrasi dalam bekerja, sekolah atau kegiatan sehari-hari, seperti
pekerjaan rumah tangga.

5. Perubahan pola tidur: tidur berlebihan, insomnia dan jenis gangguan tidur lainnya bisa menjadi
tanda-tanda dan gejala bunuh diri.

6. Perubahan kebiasaan makan: kehilangan nafsu makan atau bertambahnya nafsu makan. Perubahan
lain bisa termasuk penambahan atau penurunan berat badan.

7. Berkurangnya ketertarikan seksual: perubahan seperti ini bisa mencakup impotensi, keterlambatan
atau ketidakteraturan menstruasi.

8. Harga diri rendah: gejala bunuh diri ini bisa diperlihatkan melalui emosi seperti malu, minder atau
membenci diri sendiri.

9. Ketakutan atau kehilangan kendali: seseorang khawatir akan kehilangan jiwanya dan khawatir
membahayakan dirinya atau orang lain.

10. Kurangnya harapan akan masa depan: tanda bunuh diri lainnya adalah seseorang merasa bahwa
tidak ada harapan untuk masa depan dan segala hal tidak akan pernah bertambah baik.

11. Beberapa tanda bunuh diri lainnya meliputi pernah mencoba bunuh diri, memiliki riwayat
penyalahgunaan obat atau alkohol, belanja berlebihan, hiperaktivitas, kegelisahan dan kelesuan.

C. Pencegahan dan pengobatan

Yang berhasil bunuh diri tentunya tidak perlu pengobatan lagi, hanya keluarga yang
ditinggalkan mungkin perlu diperhatikan, karena kejadian ini menimbulkan stress pada mereka dan
ada kecenderungan bunuh diri yang lebih besar diantara orang-orang yang telah berhubungan denga
orang yang telah melakukan bunuh diri. Bila ada kesempatan, maka kiranya hal suicide secara umum
sebaiknya dibicarakan dengan mereka.

Untuk yang tidak berhasil tindakan apa yang menjadi prioritas atau perhatian utama dalam
pengobatan pada permulaan kejadian itu, tergantung terhadap berat ringannya keadaan badan dan
jiwa atau kepada gejala-gejala yang paling menonjol. Pada semua kasus bunuh diri egoistic dan
anatomic, pemeriksaan dan pengobatan psikitrik mutlak diperlukan.

Bagaiman dengan pencegahan, mungkinkah hal ini? Pertanyaan lain ialah: mengapa kita
hendak mencegah orang yang hendak bunuh diri? Tidakkan manusia itu berkuasa dan bertanggung
jawab atas dirinnya sendiri? Kalau ia mau mati boleh saja asal jangan merugikan orang lain atau
orang lain tidak membantunya dalam hal ini. Orang-orang yang ber Tuhan, pastinya dapat menjawab
alas an dan pertanyaan diatas dengan mengemukakan pandangan agama masing-masing. Dari sudut
kedokteran juga dapat dikemukakan bahwa setidak tidaknya orang yang hendak melakukan bunuh
diri egoistic maupun anatomic berada dalam keadaan patologis. Mereka semua sedang mengalami
ganggguan fungsi mental yang bervariasi dari yang ringan sampai yang berat, karena itu perlu
ditolong. Pencegahan bunuh diri altruistic boleh dikatakan tidak mungkin, kecuali bila kebudayaan
dan norma-norma masyarakat diubah.

Semua kasus percobaan bunuh diri harus mendapat perhatian sungguh-sungguh.


Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat atau dikamar pertolongan darurat di rumah
sakit, dibagian penyakit dalam atau bagian bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka atau
keadaan keracunan. Kesadaran penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu tindakan medis,
tetapi berhubungan erat dengan kriteria yang mencerminkan besarnya kemungkinan suicide.

Bila keadaan keracunan dan/atau luka sudah dapat diatasi, maka dilakukan evaluasi
psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya gangguan badaniah dengan beratnya gangguan
psikologik. Penting sekali dalam pengobatannya untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk
pasien dengan depresi elektrokonvulsi, obat-obat terutama berupa antidepressant dan psikoterapi.

2.2.3 Penyalahgunaan NAPZA

NAPZA atau DRUGS didefinisikan sebagai zat-zat yang mempengaruhi jiwa dan tidak
digunakan sebagai pengobatan. Sejak tahun 1969, kecenderungan pemakaian drugs semakin
bervariasi akibat ditemukannya jenis-jenis drugs baru antara lain: ganja, morfin, kokain, psikotropika,
heroin (putaw), ectasy, dan shabu-shabu (amfetamin). Jumlah orang yang menyalahgunakan drugs
di Indonesia sekitar 130.000 orang dari 200 juta penduduk Indonesia. Namun dari sejumlah 130.000
ini telah menghabiskan dana negara 390 miliar per hari untuk mengatasi dan memeranginya.
Bayangkan jika dana tersebut digunakan untuk alokasi pendidikan atau kesehatan. Tentu semua
orang InsyaAllah sudah bisa menikmati pendidikan gratis hingga perguruan tinggi.
Hebatnya lagi, Indonesia sekarang bukan hanya negara importir drugs, namun telah menjadi
negara produsen (penghasil) drugs.

Golongan NAPZA (DRUGS)

1. Anti Psikosis (major tranquilizer, neuroleptik)

2. Anti Anxietas (minor tranquilizer psycholeptic)

3. Anti depresan (thymoleptika, pshychic energizeer)

4. Anti Mania (mood modulary, mood stabilizer)

5. Psikotogenik

Yang paling sering digunakan adalah golongan Psikotogenik dengan efek yang ditimbulkan :
gangguan/kelainan tingkah laku, halusinasi, ilusi, gangguan cara berfikir, perubahan alam perasaan,
dan lama-kelamaan menjadi psikosis (gila). Contoh obat yang sering digunakan antara lain: heroin
(putaw), morfin, ganja, shabu-shabu.

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk
kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan,
ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah NAPZA umumnya
digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya penanggulangan
dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu
zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.

A. Jenis NAPZA Yang Disalahgunakan

a) Narkotika

Narkotika (Menurut UU RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika). Narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika dibedakan kedalam
golongan-golongan :

1) Narkotika Golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk
terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh
: heroin/putauw, kokain, ganja).

2) Narkotika Golongan II :

Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan
dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan (Contoh :morfin, petidin).

3) Narkotika Golongan III :

Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan
(Contoh : kodein).

Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan I, seperti Opiat : morfin,
herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain - Ganja atau kanabis, marihuana, hashis - Kokain, yaitu
serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.

b) Psikotropika

(Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika). Yang dimaksud dengan
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku.

Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut :

1) Psikotropika Golongan I

Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
(Contoh : ekstasi, shabu, LSD).

2) Psikotropika Golongan II

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu
pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan . ( Contoh
amfetamin, metilfenidat atau ritalin).
3) Psikotropika Golongan III

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan
(Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam).

4) Psikotropika Golongan IV

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan
(Contoh : diazepam, bromazepam, Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti
pil BK, pil Koplo).

Psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain :

 Psikostimulansia : amfetamin, ekstasi, shabu

 Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur) : MG, BK, DUM, Pil koplo dan lain-lain.

 Halusinogenika : Iysergic acid dyethylamide (LSD), mushroom.

c) Zat Adiktif Lain

Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang disebut
Narkotika dan Psikotropika, meliputi :

1) Minuman berakohol

Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat, dan sering
menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan
sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam
tubuh manusia. Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu :

 Golongan A: kadar etanol 1-5%, (Bir)

 Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)

 Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson House)

2) Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut)


Mudah menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah
tangga, kantor dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalah gunakan, antara lain : Lem, thinner,
penghapus cat kuku, bensin.

3) Tembakau

Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat. Pada upaya
penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus
menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk
penyalahgunaan NAPZA lain yang lebih berbahaya.

Bahan/ obat/zat yang disalahgunakan dapat juga diklasifikasikan sebagai berikut :

 Sama sekali dilarang : Narkotoka golongan I dan Psikotropika Golongan I.

 Penggunaan dengan resep dokter: amfetamin, sedatif hipnotika.

 Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.

 Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan menjadi
tiga golongan :

1) Golongan Depresan (Downer)

Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini membuat
pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri.
Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot
tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.

2) Golongan Stimulan(Upper)

Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis
ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini
adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain

3) Golongan Halusinogen

Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan
pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat
terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis
(ganja), LSD, Mescalin.

B. Penyalahgunaan Dan Ketergantungan

Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik yang menunjukan


ciri pemekaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan dengan tingkat pemakaian psikologik-
sosial, yang belum bersifat patologik

a. Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala
atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan
gangguan fungsi sosial.

b. Ketergantungan NAPZA adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis,
sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom).
Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun,
agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”.

c. Tingkat Pemakaian NAPZA.

 Pemakaian coba-coba (experimental use), yaitu pemakaian NAPZA yang tujuannya ingin
mencoba,untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada tahap ini, dan sebagian
lain berlanjut pada tahap lebih berat.

 Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use) : yaitu pemakaian NAPZA dengan tujuan


bersenang-senang,pada saat rekreasi atau santai. Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap
ini,namun sebagian lagi meningkat pada tahap yang lebih berat.

 Pemakaian Situasional (situasional use) : yaitu pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu
seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaaqn, dan sebagainnya, dengan maksud menghilangkan
perasaan-perasaan tersebut.

 Penyalahgunaan (abuse): yaitu pemakaian sebagai suatu pola penggunaan yang bersifat
patologik/klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang hari, tak mapu mengurangi
atau menghentikan, berusaha berulang kali mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit
fisiknya kambuh. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang
ditandai oleh : tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan baik,perilaku agresif dan tak
wajar, hubungan dengan kawan terganggu, sering bolos sekolah atau kerja, melanggar hukum atau
kriminal dan tak mampu berfungsi secara efektif.

 Ketergantungan (dependence use) : yaitu telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian
NAPZA dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar tidak berlanjut pada tingkat yang lebih berat
(ketergantungan), maka sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian tersebut memerlukan perhatian dan
kewaspadaan keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan pada keluarga dan
masyarakat.

C. Penyebab Penyalahgunaan Napza

Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara faktor yang
terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat (NAPZA). Tidak terdapat
adanya penyebab tunggal (single cause) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
penyalagunaan NAPZA adalah sebagian berikut :

a. Faktor individu :

Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja
yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan
individu yang rentan untuk menyalahgunakan NAPZA. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu
mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA. Ciri-ciri tersebut antara lain :

 Cenderung membrontak dan menolak otoritas

 Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti

 Depresi,Ccemas, Psikotik, Kkeperibadian dissosial.

 Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku

 Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah diri dan memiliki citra diri negative

 (low self-esteem)

 Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif

 Mudah murung,pemalu, pendiam

 Mudah merasa bosan dan jenuh

 Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran


 Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)

 Keinginan untuk mengikuti mode,karena dianggap sebagai lambing keperkasaan dan kehidupan
modern.

 Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.

 Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang “jantan”

 Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit mengambil keputusan untuk
menolak tawaran NAPZA dengan tegas

 Kemampuan komunikasi rendah

 Melarikan diri sesuatu (kebosanan,kegagalan, kekecewaan,ketidak mampuan, kesepian dan kegetiran


hidup,malu dan lain-lain)

 Putus sekolah

 Kurang menghayati iman kepercayaannya

b. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar rumah,
sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga,terutama faktor orang tua yang ikut
menjadi penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna NAPZA antara lain adalah :

1) Lingkungan Keluarga

 Komunikasi orang tua-anak kurang baik/efektif

 Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga

 Orang tua bercerai,berselingkuh atau kawin lagi

 Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh

 Orang tua otoriter atau serba melarang

 Orang tua yang serba membolehkan (permisif)

 Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan

 Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA
 Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten)

 Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga

 Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahduna NAPZA

2) Lingkungan Sekolah

 Sekolah yang kurang disiplin

 Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA

 Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan
positif

 Adanya murid pengguna NAPZA

3) Lingkungan Teman Sebaya

 Berteman dengan penyalahguna

 Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar

4) Lingkungan masyarakat/social

 Lemahnya penegakan hokum

 Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung

c. Faktor Napza

 Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”

 Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba

 Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidur-kan, membuat


euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain.

Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selau membuat seseorang kelak menjadi
penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor diatas, semakin besar kemungkinan
seseorang menjadi penyalahguna NAPZA. Penyalahguna NAPZA harus dipelajari kasus demi
kasus.Faktor individu, faktor lingkungan keluarga dan teman sebaya/pergaulan tidak selalu sama
besar perannya dalam menyebabkan seseorang menyalahgunakan NAPZA. Karena faktor pergaulan,
bisa saja seorang anak yang berasal dari keluarga yang harmonis dan cukup kominikatif menjadi
penyalahguna NAPZA

D. Deteksi Dini Penyalahgunaan Napza

Deteksi dini penyalahgunaan NAPZA bukanlah hal yang mudah,tapi sangat penting artinya
untuk mencegah berlanjutnya masalah tersebut. Beberapa keadaan yang patut dikenali atau
diwaspadai adalah :

a. Kelompok Risiko Tinggi

Kelompok Risiko Tinggi adalah orang yang belum menjadi pemakai atau terlibat dalam
penggunaan NAPZA tetapi mempunyai risiko untuk terlibat hal tersebut, mereka disebut
jugaPotential User (calon pemakai, golongan rentan). Sekalipun tidak mudah untuk mengenalinya,
namun seseorang dengan ciri tertentu (kelompok risiko tinggi) mempunyai potensi lebih besar untuk
menjadi penyalahguna NAPZA dibandingkan dengan yang tidak mempunyai ciri kelompok risiko
tinggi. Mereka mempunyai karakteristik sebagai berikut :

 Anak

Ciri-ciri pada anak yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA antara lain :

o Anak yang sulit memusatkan perhatian pada suatu kegiatan (tidak tekun)

o Anak yang sering sakit

o Anak yang mudah kecewa

o Anak yang mudah murung

o Anak yang sudah merokok sejak Sekolah Dasar

o Anak yang sering berbohong,mencari atau melawan tatatertib

o Anak dengan IQ taraf perbatasan (IQ 70-90)

 Remaja

Ciri-ciri remaja yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA :

o Remaja yang mempunyai rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mempunyai citra diri negative

o Remaja yang mempunyai sifat sangat tidak sabar


o Remaja yang diliputi rasa sedih (depresi) atau cemas (ansietas)

o Remaja yang cenderung melakukan sesuatu yang mengandung risiko tinggi/bahaya

o Remaja yang cenderung memberontak

o Remaja yang tidak mau mengikutu peraturan/tata nilai yang berlaku

o Remaja yang kurang taat beragama

o Remaja yang berkawan dengan penyalahguna NAPZA

o Remaja dengan motivasi belajar rendah

o Remaja yang tidak suka kegiatan ekstrakurikuler

o Remaja dengan hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan psikoseksual (pemalu,sulit


bergaul, sering masturbasi,suka menyendiri, kurang bergaul dengan lawan jenis).

o Remaja yang mudah menjadi bosan,jenuh,murung.

o Remaja yang cenderung merusak diri sendiri

 3) Keluarga

Ciri-ciri keluarga yang mempunyai risiko tinggi,antara lain

o Orang tua kurang komunikatif dengan anak

o Orang tua yang terlalu mengatur anak

o Orang tua yang terlalu menuntut anaknya secara berlebihan agar berprestasi diluar kemampuannya

o Orang tua yang kurang memberi perhatian pada anak karena terlalu sibuk

o Orang tua yang kurang harmonis,sering bertengkar,orang tua berselingkuh atau ayah menikah lagi

o Orang tua yang tidak memiliki standar norma baik-buruk atau benar-salah yang jelas

o Orang tua yang tidak dapat menjadikan dirinya teladan

o Orang tua menjadi penyalahgunaan NAPZA

E. Gejala Klinis Penyalahgunaan Napza


a) Perubahan Fisik

Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum dapat digolongkan
sebagai berikut :

Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh),
mengantuk, agresif,curiga.

Bila kelebihan disis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin,
nafas lambat/berhenti, meninggal.

Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,menguap terus menerus,diare,rasa
sakit diseluruh tubuh,takut air sehingga malas mandi,kejang, kesadaran menurun.

Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap kesehatan dan kebersihan,
gigi tidak terawat dan kropos, terhadap bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada
pengguna dengan jarum suntik)

Bila mengkonsumsi alkohol: Pemakaian jangka panjang dan overdosis justru menurunkan fungsi
otak akibat dirangsang terus menerus dan terjadi pembiusan otak, Hati (liver) menjadi berlemak dan
rusak (sirosis hepatis), Kerusakan ginjal, pancreas, Adiksi, Kematian, bisa terjadi dalam jangka waktu
singkat maupun panjang.

b) Perubahan Sikap dan Perilaku

Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering


membolos,pemalas,kurang bertanggung jawab.

Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau tempat kerja.

Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu lebih dulu.

Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu dengan anggota
keluarga lain dirumah.

Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,kemudian menghilang.

Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas penggunaannya,
mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik keluarga, mencuri,
mengomengompas terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi.
Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan, pencuriga, tertutup
dan penuh rahasia

F. Tujuan Terapi Dan Rehabilitasi

Tujuan dari Intervensi dan Penatalaksanaan Penggunaan NAPZAUmumnya tujuan terapi


ketergantungan napza adalah sebagai berikut :

1) Abstinensia atau penghentian total penggunaan napza.

Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal, namun sebagian besar pasien tidak mampu atau tidak
bermotivasi untuk mencapai sasaran ini, terutama pasien-pasien pengguna awal. Usaha pasien
untuk mempertahankan abstinensiatersebut dapat didukung dengan meminimasi efek-efek yang
langsung ataupuntidak langsung akibat penggunaan napza. Sedangkan sebagian pasien lainmemang
telah sungguh-sungguh abstinen terhadap salah satu napza, tetapikemudian beralih menggunakan
jenis napza yang lain.

2) Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps.

Tujuan utamanya adalah mencegah relaps. Bila pasien pernah menggunakansatu kali saja setelah
abstinensia, maka ia disebut “slip” . Bila ia menyadarikekeliruannya, dan ia memang telah dibekali
keterampilan untuk mencegahpengulangan penggunaan kembali, pasien akan tetap mencoba
bertahan untuk selalu abstinen. Program pelatihan ketrampilan mencegah
relaps(relapse prevention program),terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy),opiate
antagonist maintenance therapy dengan naltrexone merupakanbeberapa alternatif untuk mencapai
tujuan terapi jenis ini.

3) Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi adaptasi sosial.

Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan metadon, syringe
exchange program merupakan pilihan untuk mencapai tujuan terapi jenis ini. Terapi medik
ketergantungan napzamerupakan kombinasi psikofarmakoterapi dan terapi perilaku. Meskipuntelah
dipahami bahwa banyak faktor yang terlibat dalam terapiketergantungan zat (termasuk faktor
problema psikososial yang sangat kompleks), narnun upaya penyembuhan ketergantungan napza
dalam konteksmedik tetap selalu diupayakan.Seperti diketahui, terapi medik ketergantungan napza
terdiri atas dua faseberikut: Detoksifikasi, Rumatan (maintenance, pemeliharaan, perawatan)

G. Penatalaksanaan Umum Kondisi Kegawatdaruratan Penggunaan NAPZA:


 Tindakan terfokus pada masalah penyelamatan hidup (life threatening) melaluiprosedur ABC (Airway,
Breathing, Circulation) dan menjaga tanda-tanda vital.

 Bila memungkinkan hindari pemberian obat-obatan, karena dikhawatirkan akanada interaksi dengan
zat yang digunakan pasien. Apabila zat yang digunakan pasiensudah diketahui, obat
dapat diberikandengan dosis yang adekuat.

 Merupakan hal yang selalu penting untuk memperoleh riwayat penggunaan zat sebelumnya baik
melalui auto maupun alloanamnesa (terutama denganpasangannya). Bila pasien tidak sadar
perhatikan alat - alat atau barang yang adapada pasien.

 Sikap dan tata cara petugas membawakan diri merupakan hal yang pentingkhususnya bila
berhadapan dengan pasien panik, kebingungan atau psikotik

 Terakhir, penting untuk menentukan atau meninjau kembali besaran masalah penggunaan zat pasien
berdasar kategori dibawah ini:

 Pasien dengan penggunaan zat dalamjumlah banyak dan tanda-tanda vitalyang membahayakan
berkaitan dengan kondisi intoksikasi. Kemungkinanakan disertai dengan gejala-gejala halusinasi,
waham dan kebingungan akantetapi kondisi ini akan kembali normal setelah gejala-gejala
intoksikasimereda.

 Tanda-tanda vital pasien pada dasarnya stabil tetapi ada gejala-gejala putuszat yang diperlihatkan
pasien maka bila ada gejala-gejala kebingungan ataupsikotik hal itu merupakan bagian dari gejala
putus zat.

 Pasien dengan tanda-tanda vital yang stabil dan tidak memperlihatkangejala putus zat yang jelas
tetapi secara klinis menunjukkan adanya gejalakebingungan seperti pada kondisi delirium atau
demensia. Dalamperjalanannya mungkin timbul gejala halusinasi atau waham, tetapi gejalaini akan
menghilang bilamana kondisi klinis delirium
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kedaruratan psikiatri dibagi dalam beberapa bagian diantaranya ialah bunuh diri,gaduh atau
gelisah dan penyalahgunaan napza. Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian (Gail w. Stuart, Keperawatan Jiwa,2007). Secara garis besar bunuh diri
dapat dibagi menjadi 3 kategori besar yaitu;

1. Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri, dan bila

kegiatan itu sampai tuntas akan menyebabkan kematian

2. Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha mempengaruhi
perilaku orang lain.

3. Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung atau tidak langsung,

verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri


Setiap orang yang ingin melakukan prilaku bunuh diri biasanya melewati beberapa rentang ataupun
tahap-tahapan diantaranya: Suicidal ideation, Suicidal intent, Suicidal threat, Suicidal gesture,
Suicidal attempt dan suicide.

Sementara itu gaduh/gelisah merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan : banyak
bicara, mondar-mandir,lari-lari,loncat-loncat,destruktif dan bingung. Hal ini di sebabkan oleh :
Gangguan mental organik (delirium), psikosis fungsional, amok, gangguan panic, kebingungan post
konvulsi, reaksi disosiatif dan ledakan amarah (temper tantrum).

Kedaruratan psikiatri yang ke tiga ialah penyalahgunaan napza. NAPZA (Narkotika,


Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia
akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan
kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta
ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks
akibat interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya
zat (NAPZA). Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single cause) Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA diantaranya ialah : factor individu, faktor
lingkungan dan faktor NAPZA itu sendiri.

3.2 Saran

Seyogyaanya perilaku bunuh diri, gelisah/gaduh dan penyalahgunaan NAPZA dapat di cegah
atau dihindarkan dengan beberapa cara diantaranya :

1. Selalu berfikiran positif akan segala hal

2. Selalu mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa

3. Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang positif

4. Jangan mencoba-coba sesuatu yang tidak baik.


DAFTAR PUSTAKA

Davies, Teifion dan Craig.(2009).ABC Kesehatan Mental.Jakarta:EGC

Maramis,W.F.(1998).Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Surabaya:Airlangga University Press

Stuart,Gail W.(2006).Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 5.Jakarta:EGC

Yosep,Iyus.(2010).Keperawatan Jiwa.Bandung:PT Refika Aditama

http://www.scribd.com/doc/74834780/Makalah-Jiwa-New downloaded on Monday 14th Mei 2012,


at 12.00 PM

http://satriadwipriangga.blogspot.com/2011/11/kedaruratan-psikiatrik.html downloaded on
Monday 14th Mei 2012, at 12.00 PM

http://www.scribd.com/doc/90994683/BAB-I-NAPZA downloaded on Monday 14th Mei 2012, at


12.00 PM

http://ss-uvie.blogspot.com/2010/11/konsep-dasar-kedaruratan-psikiatri.html downloaded on
Monday 14th Mei 2012, at 12.00 PM

SOP / PROTAP Menerima pasien dengan kedaruratan psikiatri


Menerima pasien dengan kedaruratan psikiatri

a. Pengertian

Suatu kegiatan menerima pasien baru dengan gangguan atau perubahan perilaku alam pikir atau
alam perasaan yang timbul secara tiba-tiba untuk mendapat pertolongan segera.

b. Tujuan
Untuk menghindari ancaman integritas fisik atau psikis terhadap diri pasien/orang lain maupun
ancaman integritas sosial

c. Indikasi

1) Pasien dengan perilaku bunuh diri

2) Pasien ganas menyerang (violence)

3) Panik/fuque

d. Persiapan

1) Alat-alat/obat

a) Alat pelindung diri (masker, kacamata safety, handscoen, scort)

b) Diagnosa test

c) Emergency trolley

d) Jaket pengaman (dwang jas)

e) Manset

f) Obat psikotropik)

2) Pasien

Pasien / keluarga diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan

3) Lingkungan

Diusahakan tempat tersendiri

4) Petugas

Lebih dari satu orang

e. Pelaksanaan

1) Petugas menggunakan alat pelindung diri (masker, kacamata safety, handscoen, scort)

2) Mendampingi pasien saat dilakukan pemeriksaan/wawancara

3) Melakukan orientasi minimal dengan memanggil nama pasien dan menyebut nama perawat
4) Meminta kepada pasien untuk mencoba mengendalikan diri dengan kata-kata sederhana dan
mudah dimengerti.

5) Mengajak pasien ke tempat tenang dan memotivasi untuk mengungkapkan perasaan secara verbal

6) Pasien gasuh gelisah yang tidak dapat dikendalikan, selanjutnya disilangkan kedepan dada

7) Memegang tangan kanan dan kiri pasien selanjutnya disilangkan kedepan dada

8) Membimbing menuju tempat yang telah disediakan atau bila gadu bisa dipasang jaket pengaman

9) Bila pasien tetap meronta dan kalau dianggap perlu, petugas I menutup muka pasien, petugas II dan
III memegang kaki kanan dan kiri pasien kemudian mengangkat ke tempat tidur yang telah
disediakan.

10) Memasang manset tangan dan kaki kanan kiri pasien disisi tempat tidur sambil menjelaskan bahwa
tindakan tersebut adalah untuk membantu mengontrol perilakunya dan akan dibuka jika sudah
mampu mengendalikan diri

11) Mengobservasi pasien sebelum dan sesudah tindakan meliputi :

- Tekanan darah

- Nadi

- Pernafasan

- Respon dan perilaku pasien

12) Melaksanakan program pengobatan

13) Membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan gizi

14) Membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan personal hygiene dan eliminasi

f. Hal-hal yang perlu diperhatikan

1) Petugas tetap menjaga jarak fisik dengan pasien.

2) Pada saat satu orang petugas berkomunikasi dengan pasien, petugas lain mengawasi dari jauh bila
pasien tidak dapat mengendalikan diri.

3) Ikat pasien dengan posisi yang sopan, kaki tidak terbuka lebar.
4) Pada saat pemasangan manset, posisi tangan/kaki tidak seperti disalib

5) Segera manset dibuka apabila pasien sudah dapat mengendalikan diri.

Posted by Warsono Archink at 3:19 AM

Terimakasih untuk dr.Pram,SpkJ-dr.agus,Spkj-dr.Eunice,SpKj-dr.Rudy,SpKj

RUMKITAL Dr. MINTOHARDJO


SUBDEP PSIKIATRI

1. DELIRIUM

1. PENGERTIAN
Delirium adalah suatu sindroma yang terdiri dari gangguan kesadaran dan kognitif dengan awitan
akut dan fluktuatif (gejala membaik-memburuk silih berganti). Di mana terdapat gangguan
kemampuan memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan konsentrasi; serta perubahan kognisi
(gg daya ingat, disorientasi, gg berbahasa, judgment) dan persepsi (halusinasi), yang terjadi dalam
durasi singkat, beberapa jam - hari - minggu.
a. Kategori : a. Delirium akibat kondisi medik umum (misalnya infeksi)
b. Delirium terinduksi zat (kokain, opioid, dll)
c. Delirium akibat etiologi ganda (trauma kapitis dan ggn ginjal)
d. Delirium tak tergolongkan (deprivasi tidur)
e. Delirium tak terinci

b. Etiologi :
1) Intracranial : epilepsi, trauma, infeksi, tumor, GPDO
2) Extracranial : ggn sistemik ( gg metab, gg ginjal,paru,jantung, hormon, sepsis, defisiensi vit
B1,B12,as folatdll) dan intoxikasi atau withdrawal obat & toxin).

c. Kriteria Diagnosis ( durasi sakit bbrp hari – minggu )


a. Gangguan kesadaran (memusatkan, mempertahankan, mengalihkan perhatian) disebut kesadaran
“berkabut”, menurun. Fluktuasi kesadaran (siang tenang, malam gelisah)
b. Gangguan fungsi kognitif :
1) disorientasi : waktu, tempat, terakhir terganggu thd orang
2) gangguan daya ingat (t.u. recent memories),gg memori/amnesia temporer
3) gangguan berbahasa
4) gangguan persepsi (ilusi atau halusinasi tersering visual)
c. Gangguan konsentrasi : perhatian mudah teralih
d. Gg pola tidur bangun : siang tenang, malam gelisah
e. Gg psikomotor : gelisah/agitasi, atau sub/stupor
f. Gg perasaan: marah, cemas,atau eforia/gembira berlebihan
g. Bisa sembuh sempurna, coma atau meninggal
2. TUJUAN
Mengembalikan status fisik, mental dan social penderita kepada keadaan sehat.

3. KEBIJAKAN
a. International Classification of Diseases ( ICD-10 ), WHO, New York, 1992.
b. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-TR, 4th ed., American Psychiatric
Association, Washington DC, 2000.
c. Kaplan and Sadock, Synopsis of Psychiatry, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia,
2007

4. PROSEDUR
a. Pemeriksaan penunjang :
1) Laboratorium : DL, UL,LFT,RFT,elektrolit, Astrup, gula darah, Widal, LCS dll
2) Radiologi : Roentgen al. thorax, head; CT Scan, MRI
3) Lain : EKG, EEG, dll

b. Tata laksana
1) Atasi kausa & simptomatis : antibiotika, neurotropika, hormone dll
2) Perbaiki kondisi fisik (ABCD), perbaiki vital sign (infus, simptomatik dll)
3) Ruangan harus tenang, cahaya remang dan dijaga orang yang dikenal.
4) Psikoterapi : Bantu orientasi, bangkitkan insight /kesadaran diri
5) Farmakoterapi : drug of choice Injeksi Haloperidol 2-6 mg IM.
Bila perlu ulangi Inj.Haloperidol 2-6 mg IM, tiap 1 jam. Maximal 3 kali.
Lanjutkan dengan Tab.Haloperidol 5-40mg/hari, liquid /tablet(2-3x/hr)
Tab. Benzodiazepin : tab. Lorazepam 1-3 x 0,5-2mg/hr.
Boleh salah satu dari : risperidone 2 x 1-3 mg, clozapine 2-3 x 25-300mg, olanzapine 1x5-10mg ,
quetiapine 2x25-300mg, aripriprazole 1-3x5-30mg.
Hindari PHENOTHIAZINE(efek antikolinergik, hipotensi ortostatik )
HATI-HATI : Clozapine menyebabkan agranulositosis. Periksa lekosit darah tiap 1-2 minggu sekali.
Awas : kontraindikasi pemberian Benzodiazepine pada intoksikasi alcohol,
asma bronkial dan kesadaran menurun.

c. Penyulit dan prognosis


Setelah 3-7 hari, mungkin 2 minggu, delirium sembuh sempurna. Ia mungkin mengalami amnesia
temporer ( tak ingat saat ia mengalami delirium). Bila factor organic/etiologi berat dan keadaan fisik
tak teratasi dengan baik, dapat meninggalkan sequele, bahkan pasien dapat meninggal.

5. UNIT TERKAIT
Sesuai bidang organic/fisik yang menjadi penyebab Delirium : ICU, ICCU, Interna, Pediatri, Bedah,
Anestesi, Jantung, Saraf, Gilut, Mata, THT, Kulit, Obstetri-Ginekologi, Radiologi, Laboratorium
Patologi Klinik, Patologi anatomi, Hiperbarik, dll.
2. DEMENSIA

1. PENGERTIAN
a. Demensia adalah terganggunya (cukup serius) fungsi kognitif yaitu : daya ingat,
judgment/mengambil keputusan, orientasi dan fungsi kognitif lain. Gejalanya : afasia, apraxia,
agnosia, gg fs eksekutif, tanpa ggn kesadaran. Antara lain : menurunnya inteligensia, kemampuan
belajar dan ingatan, berbahasa, menyelesaikan masalah, orientasi, persepsi, perhatian dan
konsentrasi, pengambilan keputusan, kemampuan social dan kepribadian.
Enam subkategori :
a. Demensia Alzheimer : usia >65 th, gg intelektual progresif, waham atau depresi
b. Demensia vascular : akibat trombosis atau perdarahan.
c. Demensia akibat kondisi medik umum : HIV, trauma kepala, peny Pick, Creutzfeldt - Jakob.
d. Demensia terinduksi zat : toxin, medikasi misalnya atropine.
e. Demensia etiologi ganda.
f. Demensia tak tergolongkan (tak tahu etiologinya)

b. Etiologi : trauma kapitis, alcohol, Huntington, Parkinsonisme, Pick, Creutzfeldt-Jacob, HIV,


neurosifilis. Juga defisiensi B1,B12,niacin, folat, pengaruh obat, gg metabolic, hiperkalsemia. Tumor
otak, hidrosefalus dll.

d. Kriteria Diagnosis/Gejala :
Gg/penurunan kontinu dan gradual daya ingat, dan salah satu gg kognitif ( afasia, apraxia, agnosia,
atau gg fs eksekutif ). Juga hendaya social atau pekerjaan,. Pada D. vascular : ada gg saraf,
meningkatnya deep tendon reflex, gg berjalan, kelemahan ekstremitas dll). Ada infark serebri.

1). Kriteria Diagnosis Demensia Alzheimer


A. Defisit ganda dari fungsi kognitif tdd :
1) Gangguan ingatan ( mempelajari informasi baru atau mengingat kembali info yang pernah
dipelajari/didapat sebelumnya)
2) Satu atau lebih dari gg kognitif di bawah ini :
a) afasia
b) apraxia
c) agnosia
d) gg fungsi eksekutif (merencana, mengorganisasi, melakukan berurutan, pikiran abstrak)
B. Gangguan A1 dan A2 mengakibatkan hendaya dalam fungsi social dan pekerjaan, juga
menunjukkan menurunnya taraf fungsi tersebut dibandingkan sebelumnya.
C. Onset terjadi secara perlahan dan ada penurunan fungsi kognitif terus menerus.
D. Penurunan kognitif sesuai A1 dan A2 TIDAK DISEBABKAN karena :
1) gg system saraf pusat lain yang menyebabkan deficit progresif dari ingatan dan kognisi (CVD,
Parkinsonism, Huntington, subdural hematom, NPH, tumor otak)
2) kondisi sistemik penyebab demensia ( hipotiroid, defisiensi B12, asam folat, niacin ; hiperkalsemia,
nerosifilis, HIV).
3) kondisi terinduksi zat.
E. Gangguan TIDAK terjadi pada waktu bersamaan dengan Delirium.
F. Tidak disebabkan karena diagnosis pada Axis I (Depresi mayor, Skizofrenia)
Subtipe : onset >65 th dan <65 tahun. Tanpa gangguan perilaku atau dengan gg perilaku (agitasi).

2). Kriteria diagnosis Demensia Vaskular


A. Defisit ganda fungsi kognitif tdd :
1) gangguan ingatan (gg belajar info baru atau mengingat kembali info yang pernah dipelajari/ingat
sebelumnya).
2) Satu atau lebih dari gg kognitif :
a) afasia
b) apraxia
c) agnosia
d) gg fungsi eksekutif (merencana, mengorganisasi, melakukan berurutan, pikiran abstrak)
B. Defisit fungsi kognitif sesuai A1 dan A2 masing-masing mengakibatkan hendaya bermakna dalam
fungsi social dan pekerjaan, juga menurunnya fungsi secara bermakna dibandingkan taraf
sebelumnya.
C. Tanda dan gejala nerologis (meningkatnya reflex tendon, respons plantar ekstensor, pseudobulbar
palsy, gg gaya berjalan, lemahnya extremitas) atau kelainan laboratories yang mengarah pada CVD
(infark multiple meliputi kortex dan subs alba).
D. Defisit TIDAK terjadi bersamaan dengan Delirium.
Catatan : Dengan Delirium /dengan Waham / dengan Depresi /tanpa komplikasi

2. TUJUAN
Mengembalikan kesehatan fisik, mental dan social.
3. KEBIJAKAN
a. International Classification of Diseases ( ICD-10 ), WHO, New York, 1992.
b. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-TR, 4th ed., American Psychiatric
Association, Washington DC, 2000.
c. Kaplan and Sadock, Synopsis of Psychiatry, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia,
2007
4. PROSEDUR
a. Pemeriksaan penunjang :
a. Laboratorium : DL, UL,LFT,RFT, elektrolit, Astrup, gula darah, TPHA, HIV dll
b. Radiologi : Roentgen al. thorax, CT Scan, MRI,dll
c. Lain : EKG, EEG, EMG dll
d. Psikotest Mini Mental State, Halsted-Reitan test dll
b. Terapi
a. Perawatan medik umum. Farmakoterapi : antianxietas, antidepresan, antipsikotik, antikonvulsan,
hormon, vitamin, antipsikotik dll. Cholinsestrase inhibitor (mengurangi inaktivasi nerurotransmiter
kolinergik sehingga memperbaiki memori dan pikiran bertujuan, antara lain : donepezil, /Aricept,
rivastigmine/Exelon, galantamine/ Reminyl. Bila gelisah atau ada gejala psikosis, diberikan
Haloperidol atau antipsikotik
b. Diet, latihan fisik, rekreasi, terapi aktivitas, atasi gg visus dan pendengaran.
c. Terapi psikososial
1) Terapi kognitif : koreksi gg kognitifnya
2) Terapi stimulasi : rekreasi, seni, dansa, hewan peliharaan dll
3) Terapi ingatan : mengingat masa lalu (perbaiki mood)
c. Penyulit dan prognosis
Awitan khas demensia pada usia 50-60 th, dg deteriorasi gradual dalam 5-10 th, bahkan sampai
meninggal. Harapan survival dem Alzheimer 8 th (1-20 th). Bila terD/ demensia, segera periksa
lengkap dan terapi, krn 10-15% reversible sebelum ada brain damage.
5. UNIT TERKAIT :
Subdep Interna, Saraf, Laboratorium, Radiologi, Jantung, Obstetri-Ginekologi, Laboratorium Patologi
Klinik, Patologi anatomi, Hiperbarik, Apotik dll

3. PENYALAHGUNAAN ZAT

1 . PENGERTIAN
Penyalahgunaan zat adalah suatu efek psikologik (ketergantungan psikologik) atau efek fisiologik
(ketergantungan fisik) akibat penggunaan patologis dari suatu zat secara periodic. Ada toleransi dan
sindroma putus zat. Intoksikasi adalah keadaan non dependensi/bukan ketergantungan, yang
reversible, akibat penggunaan zat yang mengnyebabkan terjadinya hendaya/impairment.
Macam zat : alcohol, amphetamine, ganja, kokain, kafein, halusinogen, inhalansia, nicotine, opioid,
phencyclidine, sedatif, hipnotika atau anxiolitik, steroid.
Sedativa : obat yang mengurangi ketegangan subyektif dan menginduksi ketenangan mental dapat
disebut juga menyerupai anxiolitik.
Hipnotika : obat tidur.

a. Kriteria Diagnosis
1) KRITERIA DIAGNOSIS INTOKSIKASI ZAT
A. Ada sindrom khas terkait zat yang reversible akibat memakai atau terpajan pada zat. Cat :
beberapa zat berbeda dapat memberi gejala mirip.
B. Perilaku maladaptive atau perubahan psikologik secara klinik yang bermakna akibat efek zat pada
CNS(emosi labil, gg kognitif, gg mengambil keputusan, gg fungsi social dan kerja). Hal ini terjadi
segera/jangka pendek setelah pemakaian zat.
C. Tidak akibat kondisi medik umum atau gangguan mental lain.
1a) Intoksikasi Opioid
A. Baru saja menggunakan opioid
B. Perubahan perilaku atau mental yang bermakna secara klinis (misal eforia diikuti apatis, disforia,
agitasi psikomotor atau retardasi, gangguan mengambil keputusan atau hendaya social, pekerjaan)
yang terjadi saat penggunaan atau segera setelah memakai zat.
C. Konstriksi pupil (atau dilatasi akibat anoksia karena overdosis) dan satu/lebih dari (saat memakai
atau segera setelah pakai) :
1) kesadaran menurun atau coma
2) bicara pelo/slurred
3) gangguan perhatian atau daya ingat
D. Tidak akibat kondisi medik umum atau gangguan mental lain.

1b) Intoksikasi Amfetamin


A. Baru saja menggunakan amfetamin atau sejenis (metilfenidat).
B. Perubahan perilaku atau mental yang maladaptive dan bermakna secara klinis (misal eforia atau
afek tumpul, sensitive, tegang, cemas atau marah, perilaku stereotipik, gangguan mengambil
keputusan,hendaya fungsi social, pekerjaan) yang terjadi saat penggunaan atau segera setelah
memakai zat.
C. Dua/lebih dari (saat memakai atau segera setelah pakai) :
1) takikardi atau bradikardia
2) dilatasi pupil
3) tensi naik atau turun
4) berkeringat atau menggigil
5) mual atau muntah
6) berat badan turun
7) agitasi atau retardasi psikomotor
8) kelelahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada atau aritmia cordis
9) bingung, kejang, diskinesia, distonia atau koma
D. Tidak akibat kondisi medik umum atau gangguan mental lain.

1c) Intoksikasi Alkohol


A. Baru saja menggunakan alkohol.
B. Perubahan perilaku atau mental yang maladaptive dan bermakna secara klinis (misal perilaku
agresif dan perilaku seksual yang kacau, perasaan yang labil, gangguan mengambil
keputusan,hendaya fungsi social, pekerjaan) yang terjadi saat penggunaan atau segera setelah
memakai zat.
C. Satu/lebih dari (saat memakai atau segera setelah pakai) :
1) slurred speech/pelo
2) gangguan koordinasi
3) gaya berjalan sempoyongan
4) nistagmus
5) gangguan perhatian atau daya ingat
6) stupor atau koma
D. Tidak akibat kondisi medik umum atau gangguan mental lain.
1d) Intoksikasi Sedatif, Hipnotika dan Anxiolitik
A. Baru saja memakai.
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologik bermakna (misalnya perilaku aresif atau sexual
yang tidak lazim, mood labil, gangguan pengambilan keputusan, fungsi sosial atau pekerjaan yang
terganggu ) segera setelah atau saat memakai zat.
C. Salah satu dari tanda di bawah ini saat memakai atau segera setelah memakai :
1) bicara cadel/pelo
2) gangguan koordinasi
3) gaya berjalan labil
4) nistagmus
5) gangguan perhatian atau memori
6) stupor atau koma
D. Tidak disebabkan kondisi medik umum dan tidak akibat gangguan mental lain.
Contoh :
- Benzodiazepin : diazepam, flurazepam, oxazepam, chlordiazepoxide/Libirum.
- Barbiturate : phenobarbital/Luminal, secobarbital, amytal.
- Barbiturate-like ; metaqualone/Mandrax, meprobamate, chloralhydrate.
b. SINDROMA PUTUS ZAT / WITHDRAWAL (SPZ)
A. Ada sindrom khas terkait zat akibat penurunan penggunaan zat yang telah lama dipakai secara
berkesinambungan dan berjumlah besar.
B. Sindrom ini mengakibatkan hendaya klinik bermakna dl fungsi social, pekerjaan atau fungsi lain.
C. Tidak akibat kondisi medik umum atau gangguan mental lain.

2a) SPZ : Opiat/Opioid (morfin, heroin, methadone, codeine, fentanyl)


A. Salah satu dari :
1) penurunan dosis opioid setelah penggunaan jangka lama dan dosis besar.
2) pemakaian antogonis opioid setelah suatu periode penggunaan opioid
B. Tiga/lebih dari sbb (dalam beberapa menit sampai beberapa hari) :
1) perasaan disforik/tidak senang/tak nyaman
2) mual atau muntah
3) nyeri otot
4) lakrimasi atau rhinorrhea
5) dilatasi pupil, piloereksi atau berkeringat
6) diare
7) menguap (yawning)
8) demam
9) insomnia
C. Gejala criteria B mengakibatkan gangguan atau hendaya klinis dalam fungsi social, pekerjaan atau
fungsi penting lainnya.
D. Tidak disebabkan oleh kondisi medik umum atau karena gangguan mental lain.

2b) SPZ : Amfetamin (sabu, ecstasy,dextroamfetamin)


A. Penurunan dosis amfetamin setelah penggunaan jangka lama dan dosis besar.
B. Suasana perasaan disforik/tidak senang dan dua/lebih dari sbb(dalam beberap menit sampai
beberapa hari setelah kriteria A) :
1) fatigue/kelelahan
2) mimpi buruk
3) insomnia atau hipersomnia
4) meningkatnya nafsu makan
5) retardasi atau agitasi psikomotor
C. Gejala criteria B mengakibatkan gangguan atau hendaya klinis dalam fungsi social, pekerjaan atau
fungsi penting lainnya.
D. Tidak disebabkan oleh kondisi medik umum atau karena gangguan mental lain.

2c) SPZ : Alkohol


A. Penurunan dosis alcohol setelah penggunaan jangka lama dan dosis besar.
B. Dua/lebih dari sbb(dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A) 1) hiperaktivitas
otonomik (berkeringat, nadi cepat > 100x/menit)
2) tremor tangan
3) insomnia
4) mual atau muntah
5) halusinasi atau ilusi visual, auditorik, taktil (temporer)
6) agitasi psikomotor
7) cemas
8) kejang umum
C. Gejala criteria B mengakibatkan gangguan atau hendaya klinis dalam fungsi social, pekerjaan atau
fungsi penting lainnya.
D. Tidak disebabkan oleh kondisi medik umum atau karena gangguan mental lain.

2d) SPZ Hipnotik, Sedatif dan Anxiolitik


A. Pengurangan sedatif, hipnotik atau anxiolitik setelah pemakaian berat dan lama
B. Dua atau lebih dari di bawah ini dalam beberapa jam – hari setelah kriteria A :
1) hiperaktivitas otonomik (berkeringat, nadi > 100)
2) tremor tangan meningkat
3) insomnia
4) nausea atau muntah
5) halusinasi atau ilusi sementara (visual, taktil atau auditorik)
6) agitasi psikomotor
7) cemas
8) kejang umum/grand mal
C. Gejala kriteria B mengakibatkan distress/gangguan atau hendaya bermakna di bidang sosial,
pekerjaan atau fungsi pentinga lainnya.
D. Tidak disebabkan oleh kondisi medik umum dan tidak disebabkan oleh gangguan mental lain.
Sebutkan jika : dengan gangguan perseptual.

c. KRITERIA DIAGNOSIS KETERGANTUNGAN ZAT/ Drug Dependency


Pola maladaptive penggunaan zat menunjukkan hendaya bermakna secara klinis, yang tampak dari 3
atau lebih gejala tsb di bawah ini; yang terjadi setiap saat, dalam kurun waktu 12 bulan :
1) toleransi :
a) kebutuhan yang nyata akan peningkatan dosis zat untuk mencapai efek intoksikasi atau yang
diinginkan.
b) efek yang jelas-jelas menurun pada penggunaan zat dalam jumlah yang sama
2) withdrawal/sindroma lepas zat :
a) gejala khas SLZ = criteria Dx SLZ di atas
b) menggunakan zat yang sama untuk meredakan atau mengcegah symptom SLZ
3) zat sering dipakai dalam jumlah besar atau berdurasi lebih lama daripada yg diakui
4) ada keinginan menetap atau gagal menghentikan/kendalikan penggunaannya
5) banyak waktu digunakan untuk aktivitas untuk memperoleh zat (mis sering ke dokter,
menggunakan zat (misal merokok beruntun)
6) menurunnya aktivitas social, pekerjaan atau rekreasional
7) pemakaian zat diteruskan walaupun tahu akibat menetap atau kambuhan dari masalah fisik atau
psikologis akibat penggunaan zat (mis minum alcohol walau tahu akibatnya ulcus peptic)
Catatan : Jelaskan bila : Dengan/Tanpa ketergantungan fisiologis.

2. TUJUAN
Mengembalikan kesehatan fisik, mental dan social penderita.
3. KEBIJAKAN
a. International Classification of Diseases ( ICD-10 ), WHO, New York, 1992.
b. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-TR, 4th ed., American Psychiatric
Association, Washington DC, 2000.
c. Kaplan and Sadock, Synopsis of Psychiatry, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia,
2007
4. PROSEDUR
a. Pemeriksaan penunjang
1) Darah : DL, UL, LFT, RFT, gula darah, blood gas analysis, elektrolit, urine toksikologik. Hepatitis dll.
2) Roentgen : thorax, USG, dll sesuai indikasi.
3) VCT : untuk dugaan HIV pada intravenous drug users ( IDU ).
4) Test psikologik dan MMPI..

b. Tata laksana (sesuai zat)


4a. Intoksikasi Opioid
1) Atasi, pelihara dan monitor vital sign./VS (ABCD).
2) Anamnesis cepat : riwayat pakai zat, tanda percobaan bunuh diri dll.
3) Periksa tanda bekas suntikan, ada selulitis, hepatitis, sepsis dll.
4) Cek urine toksikologik
5) Tempatkan di ICU bila overdosis (depresi pernafasan, SSP dll).
6) Inj Naloxone/NOKOBA 0,8 mg IV/SC/IM (0,01 mg/kg BB pd neonatus) tiap 15 menit. Bila pupil
belum midriasis, beri 1,6 mg, tunggu 15 menit. Bila belum midriasis, beri lagi 3,2 mg. Beri lagi 6,4 mg.
Bila belum berhasil (jumlah total 10 mg) artinya ada penyebab lain. Bila berhasil, beri tiap jam 0,4
mg. sambil monitor VS ketat sampai sadar betul (2 jam). Hati-hati depresi pernafasan!!

4b. SPZ Opioid


1) Atasi dan monitor vital sign. (ABCD)
2) Anamnesis cepat : riwayat pakai zat.
3) Periksa tanda bekas suntikan, ada selulitis, hepatitis, sepsis dll.
4) Cek urine toksikologik
5) Periksa tanda SLZ (piloereksi, pupil, hipertensi)
6) Tab. Methadone tiap 4-6 jam bila tanda SLZ masih ada. Dosis total 40mg/24jam. Kurangi 5 mg tiap
hari.
7) Bila tensi lebih dari 90/60, beri tab. Clonidine 0,1-0,2mg tiap 3 jam. Maximum 0,8 mg/24 jam.
Tapering off dalam 2 minggu.
8) Bila gaduh gelisah, dapat inj.Chlorpromazine 50-100mg IM tiap 45-60 menit atau Inj. Haloperidol 5
mg IM tiap 30-60 menit sampai tenang.
9) IVFD RL : Dextrose 5 + 2:1 fl, drip Diazepam 10mg/500cc cairan. 20 gtt/menit.
10) Bila kesakitan Inj Tramadol 50 mg IM. Tab. Tramadol 3 x 5m mg.

4c. Intoksikasi Amfetamin


1) Atasi, pelihara dan monitor vital sign./VS (ABCD).
2) Anamnesis cepat : riwayat pakai zat.
3) Periksa tanda intoksikasi amfetamin/multidrug use.
4) Cek urine toksikologik
5) Tempatkan di ruang tenang, cahaya remang, dijaga orang yang dikenal.
6) Bila gelisah, beri tab.lorazepam 2-3 1-2mg/hari, estazolam 2-3 x 0,5-1mg/hari.

4d. SPZ Amfetamin


1) Atasi, pelihara dan monitor vital sign./VS (ABCD).
2) Anamnesis cepat : riwayat pakai zat, depresi, evaluasi tanda percobaan bunuh diri.
3) Periksa tanda slz amfetamin/multidrug use
4) Cek urine toksikologik
5) Bila ada cemas, beri lorazepam tab 3 x 1-2 mg/hari. Antidepresan bila perlu Bila perlu beri
antipsikotik tab. haloperidol atau trifluoperazine 2 x 2-5 mg/hari; risperidone 2 x 1-3 mg/hari.

4e.Intoksikasi Alkohol
1) Atasi, pelihara dan monitor vital sign./VS (ABCD).
2) Anamnesis cepat : riwayat pakai zat.
3) Periksa tanda intoksikasi alkohol/multidrug use, tanda percobaan bunuh diri.
4) IVFD. Selimuti agar tidak kedinginan. Biarkan. Self limiting.

4f. SPZ Alkohol


1) Atasi, pelihara dan monitor vital sign./VS (ABCD).
2) Anamnesis cepat : riwayat pakai zat.
3) Periksa tanda intoksikasi alkohol/multidrug use.
4) Hidrasi/IVFD. Bila gelisah, tab chlordiazepoxide 2-3 x 25-50 mg/hari atau lorazepam 2-3 x 1-
3mg/hari.
5) Inj Thiamine 100mg IM, lalu 3x100mg tab vit B1, vit B12 dan asam folat.

4g. Intoksikasi Sedatif, Hipnotik dan Anxiolitik


1) Lavage lambung, induksi muntah dan minumkan arang aktif untuk mencegahan absorpsi zat oleh
lambung. Monitor ketat vital sign dan aktivitas susunan saraf pusat.
2) Bila pasien datang dalam keadaan sadar, jaga jangan sampai kehilangan kesadaran.
3) Bila pasien coma, pasang infus, monitor vitas sign, pasang tuba endotrakheal dan ventilator di
ICU.
4h. SPZ Sedatif, Hipnotik dan Anxiolitik
1) Evaluasi dan terapi lebih dulu kondisi medik dan psikiatrik.
2) Ambil riwayat dan contoh darah dan urine untuk zat dan alkohol
3)Tetapkan dosis benzodiazepin atau barbiturat yang diperlukan untuk stabilisasi dari riwayat
pemakaian dan gejala klinis.
4) Detoksifikasi :
a) Rawat inap bila ada indikasi, atau tak ada dukungan sosial atau ketergantungan multi zat.
b) Alih terapi ke BZP long-acting (diazepam, clonazepam) atau tetap pada obat semula atau ganti
dengan fenobarbital.
c) Setelah pengurangan 30 % dari dosis semula dan stabil pada hari ke 2 atau 3 evaluasi respons,
ingat bahwa gejala setelah penurunan bzp dengan waktu paruh pendek (mis lorazepam)tampak
lebih dini dibanding yang waktu paruhnya panjang.
d) Kurangi dosis 10-25 % tiap beberapa hari, bila ia dpt bertoleransi.
e) Bila perlu terapi adjunctive : carbamazepine, antagonis reseptor beta adrenergik, valproate,
clonidine dan antidepresan yang sedatif.
5) Detoksifikasi :
a) Mulai kurangi dosis 10-25 %dan evaluasi respons.
b) Terapi adjunctive anxiolitik bila perlu.
c) Kebanyakan pasien tidak menyelesaikan terapi penurunan dosisnya.
6) Intervensi psikologik dapat membantu detoksifikasi benzodiazepine dan intervensi kecemasan

Penyulit dan prognosis


1) Penyulit : Amfetamin : perforasi septum nasi, MCI, paranoid,
Opioid : phlebitis, cellulitis, hepatitis, endocarditis, meningitis, encephalitis, IMS, HIV/AIDS dan
infeksi oportunistik, TB paru, candidiasis, dermatitis dll. Alkohol : delirium tremens, sindroma
Korsakoff, ensefalopatia Wernicke.
2) Prognosis : tergantung zat. Amfetamin dan Cannabis lebih baik dibandingkan alcohol, opioid.

UNIT TERKAIT ;
Sesuai bidang organic/fisik yang menjadi pusat perhatian terapi : ICU, ICCU, Interna, Pediatri, Bedah,
Anestesi, Jantung, Saraf, Gilut, Mata, THT, Kulit, Obstetri-Ginekologi, Radiologi, Laboratorium
Patologi Klinik, Patologi anatomi, Hiperbarik, dll.

4. SKIZOFRENIA dan GANGGUAN PSIKOSIS SINGKAT

1. PENGERTIAN
Skizofrenia adalah kumpulan gejala/sindroma klinik yang kacau, dengan psikopatologi meliputi
gangguan daya nilai realita, kognisi, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku. Biasanya mulai
sebelum usia 25 tahun, dapat menetap dan mengenai semua strata sosial.

a. Kriteria Diagnosis SKIZOFRENIA


A. Gejala khas :
Dua atau lebih gejala berikut ini, di mana gejala tersebut menetap minimal satu bulan (boleh kurang,
bila nyata-nyata sukses diobati) :
1) Waham
2) Halusinasi
3) Bicara kacau : inkoheren
4) Perilaku kacau : gaduh-gelisah atau stupor
5) Simptom negative : afek datar, alogia, avolition/hilangnya kemauan
Catatan : Hanya diperlukan SATU criteria A bila ada :
a. Waham aneh yang menonjol
b. Halusinasi yang terus-menerus mengomentari perilaku atau pikirannya; atau halusinasi yang tdd
dua atau lebih suara yang saling berbicara.

B. Hendaya fungsi social/pekerjaan, hubungan antar personal : gangguan fungsi kehidupan hampir
sepanjang / setiap hari, dimulai sejak munculnya gangguan. Kualitasnya menurun dibandingkan
sebelum sakit, atau jika onset gangguannya dimasa kanak-kanak atau remaja, terjadi kegagalan
pencapaian ke tingkat yang semestinya di bidang hubungan antar personal, akademik atau
pekerjaan.

C. Durasi : gejala berlangsung secara kontinu selama minimal 6 bulan. Dalam kurun 6 bulan tersebut
harus mencakup :
- Gejala fase aktif (criteria A) minimal 1 bulan (boleh kurang bila sukses diterapi), ditambah gejala
fase prodromal dan residual.
- Fase prodromal atau residual: gejala hanya berupa simptom negative atau 2/lebih gejala criteria A
yang tidak menonjol (attenuated form), misalnya pikiran aneh, pengalaman persepsi yang tidak
lazim.
D. Bukan karena gangguan Skizoafektif dan gangguan mood/suasana perasaan. Kemungkinan gg
Skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik dapat disingkirkan karena salah satu dari
berikut ini :
- Tidak ada episode : depresi berat. mania atau episode campuran yang terjadi bersamaan dengan
gejala fase aktif, ATAU :
- Jika episode gangguan mood terjadi selama fase aktif, maka durasinya relative LEBIH SINGKAT dari
durasi fase aktif dan residual.
E. Bukan karena penggunaan zat / kondisi medik umum :
Tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari penggunaan zat (salah guna atau medikasi) atau
suatu kondisi medik umum.
F. Hubungan dengan Gangguan Perkembangan Pervasive : jika ada riwayat gangguan Autistic atau
Gangguan Perkembangan Pervasive lainnya, maka diagnosis Skizofrenia ditegakkan hanya jika ada
waham atau halusinasi yang menonjol yang berlangsung minimal 1 bulan.

b. Kriteria Diagnosis Gangguan Skizofreniform


A. Memenuhi criteria A, D dan E dari Skizofrenia.
B. Suatu episode gangguan (fase prodromal, aktif dan residual) paling sedikit 1 bulan tapi kurang dari
6 bulan (bila diagnosis dibuat tanpa menunggu kesembuhan/belum sembuh disebut Provisial )
Sebutkan bila :
- Tanpa Gambaran Prognosis Baik
- Dengan Gambaran Prognosis Baik : bila ada 2 atau lebih :
1) Awitan gejala psikotik yang menonjol terjadi dalam waktu 4 minggu sejak pertama kali terlihat
perubahan perilaku atau fungsi yang berbeda dari sehari-sehari.
2) Terjadi kebingungan atau perplexity/tak berdaya pada saat puncak episode.
3) Fungsi premorbid social dan pekerjaan yang baik.
4) Tidak ada afek tumpul atau datar.

c. Kriteria Diagnosis Gangguan Psikosis Singkat


A. Terdapat tiga atau lebih dari :
1) waham
2) halusinasi
3) bicara kacau
4) perilaku kacau atau katatonik
Catatan : Tidak terkait budaya.
B. Durasi paling sedikit satu hari tapi tidak lebih dari satu bulan, kembali sepenuhnya ke fungsi
premorbid.
C. Tidak akibat gangguan suasana perasaan dengan ciri psikotik, gangguan skizoafektif atau
skizofrenia dan bukan akibat efek fisiologis langsung dari zat atau kondisi medik umum.

2. TUJUAN
Mengembalikan kesehatan fisik, mental dan social penderita.
3. KEBIJAKAN
a. International Classification of Diseases ( ICD-10 ), WHO, New York, 1992.
b. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-TR, 4th ed., American Psychiatric
Association, Washington DC, 2000.
c. Kaplan and Sadock, Synopsis of Psychiatry, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia,
2007
4. PROSEDUR
a. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium : DL, UL,LFT,RFT, elektrolit, Astrup, gula darah, TPHA, HIV
b. Radiologi : Roentgen al. thorax, CT Scan, MRI
c. Lain : EKG, EEG, dll
d. Test psikologik dan test kepribadian Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI-2).
b. Terapi
a. Ciptakan suasana rumah sakit. Pada pasien gaduh gelisah : ganti fixasi pasien dengan fixasi rumah
sakit. Katakan pada pasien bahwa ia di sini untuk diobati. Terapis mengambil posisi di sisi kanan atas
pasien, supaya tidak kena pukul/diludahi pasien.
b. Bila gaduh gelisah : injeksi Chlorpromazine 50-100mg IM atau injeksi Haloperidol 5 mg IM atau
injeksi Olanzapine 5 mg IM dapat diulang tiap 1 jam sampai tenang (maksimum 3 kali). Dilanjutkan
peros : tab Chlorpromazine 2-3 x 50-200mg atau Haloperidol 2-3 x 5-15 mg/hari atau Trifluoperazine
2-3 x 2,5-15mg/hari, Risperidone 2 x 1-3 mg/hari. Quatiepine/Seroquel 2 x 25-300mg,
Olanzapine/Zyprexa 1x5-10mg, Aripriprazole/Abilify 1x5-15mg, Zotepine/Lodopin 3x25-100mg,
Paliperidone/Invega 1x3-9mg/hari. Dapat tambahkan Lorazepam , Alprazolam atau benzodiazepine
tablet.
c. Psikoterapi suportif
d. Terapi keluarga
e. Terapi kelompok, terapi perilaku-kognisi, rekreasional/olahraga, seni dll.
f. Terapi kejang listrik (ECT)
c. Penyulit
- Komorbiditas : kelainan nerologis (tics, stereotipi, gerakan abnormal), obesitas, diabetes mellitus,
CVD, HIV, COPD, rematik.
- Efek samping obat antipsikotika/neroleptik :
a. Neuroleptic-induced Parkinsonisme/Extra Pyramidal Sydrome ( kaku otot, cog-wheel rigidity,
shuffling gait, stooped posture, tremor dan hipersalivasi. Terapi : tab Trihexyphenidil 2-3x2mg/hr
b. Distonia akut terinduksi neuroleptic : kontraksi otot, gerakan abnormal, oculogyric crises, protrusi
lidah, trismus, torticollis, distonia larigeal-faringeal, distonia tubuh dan anggota gerak. Nyeri hebat
karena distonia.
Terapi : Tab Trihexyphenidil 2-3x1-2mg atau Inj Diphenhydramine 50mg IM.
Dilanjutkan dengan kapsul Diphenhydramine2-3x1 cap.
c. Akatisia : restlessness. Terapi ; benzodiazepine. Dosis antipsikotik diturunkan.
d. Diskinesia tarda : jarang. Terjadi setelah pemakaian 6 bulan,dosis besar. Terapi : stop antipsikotik.
e. Neuroleptic Malignant Syndrome : dapat mengancam nyawa! Gejala: Distonia, akinesia, rigiditas,
mutism, agitasi, demam tinggi, berkeringat, nadi dan tensi naik. Darah : leukosit, CPK, enzim hati,
mioglobin plasma tinggi, mioglobinuria (RF).
Terapi : Dantrolene 1mg/kg/hari selama 8 hari IM, diteruskan tablet 7 hari lagi. Atau Bromocriptine
(Parlodel) 2,5mg 2-3x/hari, dosis maximal 45mg/hari.
Efek lanjutan/adverse effect antipsikotik : Clozapine menyebabkan agranulositosis.
UNIT TERKAIT ;
Sesuai bidang organic/fisik yang menjadi pusat perhatian terapi : Interna, Pediatri, Bedah, Anestesi,
Jantung, Saraf, Gilut, Mata, THT, Kulit, Obstetri-Ginekologi, Radiologi, Laboratorium Patologi Klinik,
dll.

5. GANGGUAN SUASANA PERASAAN ( MOOD DISORDERS )

1. PENGERTIAN
Gangguan Mood/perasaan/emosi adalah gangguan perasaan yang pervasive (menyerap) dan
sustained (terus menerus) yang mewarnai suasana hati seseorang.
Mood : perasaan/emosi yang pervasive (menyerap) dan sustained (terus menerus) yang mewarnai
suasana hati seseorang.
Affect : emosi/perasaan/suasana hati yang secara subyektif dialami dan diekspresikan oleh
seseorang, serta dapat diobservasi oleh orang lain.
Depresi (DSM -IV-TR) Suatu episode depresi mayor tanpa riwayat episode manik, campuran atau
hipomanik. Minimal 2 minggudan minimal 4 gejala termasuk perubahan nafsu makan dan berat
badan, ggn tidur dan aktivitas,berkurangnya energi, merasa bersalah, ggn berpikir dan mengambil
keputusan, pikiran berulang tentang kematian atau bunuh diri.
Mania : Episode mood/perasaan yang meningkat, ekspansif atau irritable. Menetap minimal 1
minggu. Hipomanik minimal 4 hari, tidak mengganggu fungsi sosial/pekerjaan dan tanpa gejala
psikotik. Self-esteem meningkat, berkurangnya kebutuhan tidur, mudah terlahihnya perhatian,
aktivitas mental dan fisik berlebihan dan meningkat berlebihan kegiatan yang menyenangkan.
Episode Manik : pada suatu periode yang berbeda terdapat mood yang meningkat dan abnormal,
berlebihan, atau irritable. Periode ini berlangsung paling sedikit 1 minggu. Tampak sebagai euforik,
baik hati, ceria, gembira berlebihan.
Perjalanan : Onset pada awal 20an. Mulai tiba-tiba, gejala meningkat dengan cepat ddalam
beberapa hari. Sering terjadi setelah suatu stressor psikososial. Gejala berakhir dalam beberapa
minggu-bulan.
Episode Hipomanik : Sama dengan Manic Epi, kecuali durasi paling sedikit 4 hari. Gangguan mood
terlihat oleh orang lain. Epi ini tidak cukup parah, tidak menyebabkan hencaya social, pekerjaan atau
alasan rawat inap, tak ada gejala psikotik. Bukan akibat pengaruh fisiologik zat atau kondisi medik
umum.
c. Episode Campuran : Memenuhi criteria Manik dan Depresi Mayor, kecuali durasi hampir setiap
hari paling sedikit 1 minggu. Gagguan mood cukup parah sehingga mengakibatkan hendaya dalam
fungsi pekerjaan, atau aktivitas social, atau hubungan dengan orang lain, atau alas an dirawat inap
guna mencegah melukai diri atau orang lain, atau ada gambaran psikotik. Gejala tidak disebabkan
oleh pengaruh langsung zat (drug abuse, pengobatan) atay kondisi medik umum (eg hipotiroid).
Campuran/mixed : Episode minimal 1 minggu, episode manik dan episode depresi mayor terjadi
hampir tiap hari.
Gg Siklotimik : gejala depresi berat dengan hipomania, terpisah atau tercampur, terus-menerus, atau
hilang-timbul, berlangsung paling sedikit 2 tahun.
Gg Distimik sama dg Gg Depresi Mayor, tapi tidak seberat depresi mayor. Sekitar > 20% pasien
depresi mayor tidak sembuh sempurna dan secara kronik menderita gejala sisa berupa Gg Distimik (
bisa bertahun-tahun)
Gg Siklotimik : gejala depresi mayor (yang tidak memenuhi criteria A Depresi Mayor) dan hipomania,
terpisah atau tercampur, terus-menerus atau hilang-timbul, berlangsung paling sedikit 2 tahun.
Mulai usia 20-an (laki : wanita = 1:1) dengan riwayat keluarga dg gg afektif mayor dan ggn kronik yg
mengganggu hubungan interpersonal, pekerjaan tak stabil, kadang ada usaha bunuh diri, dirawat
sebentar di RS, peningkatan risiko penyalahgunaan zat.

a. Kriteria Diagnosis Episode Depresi Mayor (DSM-IV-TR)


A. Terdapat lima atau lebih dari gejala di bawah ini selama minimal 2 minggu. Paling sedikit salah
satu dari (1) mood depresi atau (2) hilangnya minat atau rasa senang.
Catatan : Tidak termasuk gejala yang jelas akibat kondisi medik umum atau wahan terkait mood atau
halusinasi
(1) mood depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari baik dilaporkan pasien (merasa sedih
atau “kosong”) atau terobservasi orang lain. Catatan : pada anak dan remaja berupa moor iritabel
(2) jelas hilangnya sama sekali minat atau rasa senang pada aktivitas hampir sepanjang hari, hampir
setiap hari
(3) berat badan berkurang atau bertambah secara bermakna walau tidak diet.
(4) insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
(5) agitasi atau retardasi psikomotor
(6) kelelahan hampir setiap hari
(7) merasa tidak berguna atau bersalah hampir setiap hari
(8) hilangnya kemampuan berpikir, konsentrasi atau tidak dapat mengambil keputusan
(9) pikiran berulang tentang kematian, ide bunuh diri berulang tanpa rencana khusus atau mencoba
bunuh diri atau ada rencana
B. Tidak memenuhi criteria episode campuran.
C. Mengakibatkan hendaya bermakna dalam bidang sosial, pekerjaaan dan fungsi lain
D. Tidak diakibatkan efek langsung fisiologis penggunaan zat atau kondisi medik umum.
E. Bukan berduka misalnya setelah kehilangan orang yang dicintai, lama menetap lebih dari 2 bulan.

Gejala klinis Depresi (DSM-IV-TR):


1. Tampak sedih, putus asa, kecewa atau tak berdaya. Kadang seperti tidak punya perasaan, atau
cemas. Kadang ada keluhan somatic spt nyeri. Ada yang meningkat iritabilitasnya (marah terus
menerus, mudah marah atau cenderung menyalahkan orang lain atau membesar-besarkan masalah.
2. Sering tampak kehilangan minat atau kesenangan. Kurang suka melakukan hobi yang biasa
disukai. Menghindari aktivitas social.
3. Berkurangnya nafsu makan. Kadang meningkatnya nafsu makan (manis, KH). Berat badan naik
atau turun secara bermakna atau pada anak berat badannya tidak sesuai.
4. Gangguan tidur yang paling sering pada Episode Depresi Mayor adalah insomnia. Khususnya
middle insomnia (terbangun tengah malam dan sulit tidur lagi) atau terminal insomnia (terbangun
dini hari, sulit tidur lagi). Kadang juga initial insomnia. Dapat juga tidur terus menerus.
5. Perubahan psikomotor seperti agitasi (bergerak terus, mender-mandir, gosok/tarik tangan, usap
kulit. Pembicaraan dan proses pikir melambat (volume suara dan isi, variasi bicara turun, irama
melambat, gerakan tubuh melambat)
6. Berkurangnya energi, rasa capek dan kelelahan yang sangat dan berkepanjangan, bahkan tanpa
kegiatan fisik sekalipun. Efisiensi pekerjaan menurun.
7. Preokupasi rasa tidak berguna atau bersalah, menyalahkan diri sendiri karena sakitnya atau
gagalnya suatu pekerjaan.
8. Hendaya proses pikir, konsentrasi atau mengambil keputusan. Perhatian mudah teralih atay
mengeluh adanya gangguan daya ingat (“pseudo-dementia”)
9. Ingatan berulang akan kematian, ide bunuh diri atay percobaan bunuh diri.

Gambaran dan gangguan terkait


MDE sering tampak berlinang air mata, terus menerus memikirkan, pikiran obsesif berulang, cemas,
fobia, kuatir berlebihan akan kesehatan fisik dan mengeluh nyeri (sakit kepala, sendi, perut dll).
Kadang seperti gejalaPanic Attack. Sulit membina hubungan akrab, interaksi social kurang
memuaskan atau kesulitan dalam fungsi sexual (anorgasmia pada wanita, disfungsi erektil pria).
Problem perkawinan(cerai), pekerjaan (PHK), akademik (bolos, gagal di sekolah), alcohol, narkoba,
sering berobat. Yang paling serius adalah percobaan atau melakukan bunuh diri. Risiko BD tinggi
pada psikosis, riwayat BD, keluarga pernah BD, drug abuse.
Perjalanan
Berlangsung beberapa hari-minggu. Prodromal : cemas dan gejala depresi ringan beberapa minggu-
bulan sebelum onset MDE.Tanpa terapi episode berakhir 4 minggu/lebih. Sebagian besar remisi
penuh dan kembali ke fungsi pramorbid. 20-30% kasus tidak memenuhi kirteria lengkap MDE selama
beberapa bulan/tahun

Gejala Major Depressive Episode (MDE) :


Terdapat mood depresif atau hilangnya minat atau kesenangan akan semua aktivitas yang
berlangsung minimal 2 minggu. Pada anak atau remaja dapat berupa irritable. Ditambah minimal 4
gejala dari : perubahan nafsu makan atau berat badan, tidur dan aktivitas psikomotor, berkurangnya
energi, merasa tidak berguna atau bersalah, sulit berpikir atau konsentrasi atau mengambil
keputusan, berulang kali memikirkan kematian atau ide bunuh diri, rencana atau percobaan bunuh
diri.

Pasien merasa kehilangan harapan, tak berdaya. Merasa sedih yang menyakitkan, tidak bisa
menangis.
Dua pertiga dari mereka berpikir untuk bunuh diri, 10-15% mencoba bunuh diri. Beberapa pasien
tidak menyadari dirinya depresi, walaupun ia mengucilkan diri dari keluarga, teman aktivitas yang
sebelumnya disukai. 97% mengeluh : tidak bertenaga, sulit menyelesaikan masalah, terganggu
dalam bekerja/sekolah, tidak punya motivasi mengerjakan hal yang baru. Sekitar 80% mengatakan :
sulit tidur, khususnya early morning awakening/ terminal insomnia, sering bangun di malam hari dan
memikirkan problem-problemnya. Ada juga naik/turunnya nafsu makan dan BB.
90% pasien mengalami anxietas, yaitu gejala lazim dari depresi.

1. Gejala-gejala Depresi
Gambaran emosi
Mood depresi, sedih atau murung,
Iritabilitas, anxietas
Ikatan emosi berkurang
Menarik diri dari hubungan interpersonal
Preokupasi dengan kematian
Gangguan kognitif
Mengkritik diri-sendiri, perasaan tak berharga, rasa bersalah
Pesimis, tak ada harapan, putus asa
Bingung, konsentrasi buruk
Tak pasti, ragu-ragu
Beragam obsesi
Gangguan memori
Waham dan halusinasi
Gambaran vegetatif
Lesu, tak bertenaga
Tak bias tidur atau banyak tidur
Tak mau makan atau banyak makan
Penurunan berat badan atau penambahan berat badan
Retardasi psikomotor
Libido terganggu
Terdapat variasi diurnal
Agitasi psikomotor
Keluhan somatic (terutama pada orang tua)
Tanda-tanda depresi
Tidak atau lambat bergerak
Wajah sedih dan selalu berlinang air mata
Kulit dan mulut kering
Konstipasi

Perjalanan
Berlangsung beberapa hari-minggu. Prodromal : cemas dan gejala depresi ringan beberapa minggu-
bulan sebelum onset MDE.Tanpa terapi episode berakhir 4 minggu/lebih. Sebagian besar remisi
penuh dan kembali ke fungsi pramorbid. 20-30% kasus tidak memenuhi kirteria lengkap MDE selama
beberapa bulan/tahun

2b. Kriteria Diagnosis Episode Manik (DSM-IV-TR)


A. Suatu periode gangguan mood/suasana perasaan yang abnormal yang jelas dan meningkat secara
persisten , ekspansif atau irritable, berakhir paling lama satu minggu (atau kapanpun bila perawatan
inap diperlukan)
B. Dalam periode gangguan suasana perasaan, ada tiga atau lebih dari gejala yang menetap (empat,
bila mood cuma irritable) dan telah mencapai taraf bermakna :
1) rasa percaya diri meningkat atau grandiositas
2) berkurangnya kebutuhan tidur (merasa cukup tidur 3 jam saja)
3) lebih banyak bicara dari biasanya/dorongan untuk terus berbicara
4) flight or ideas atau merasa pikirannya “berlomba”
5) perhatiannya mudah teralihkan walau oleh stimuli external sepele
6) meningkatnya aktivitas bertujuan (social, kerja, sekolah, seksual) atau agitasi psikomotor
7) eterlibat secara berlebihan dalam aktivitas yang berpotensi tinggi untuk terjadi konsekuensi
menyakitkan (belanja berlebihan, hubungan seks sembarangan, investasi bisnis yang ceroboh)
C. Tidak memenuhi criteria gangguan campuran.
D. Gangguan mood cukup parah sehingga mengyebabkan hendaya dalam fungsi pekerjaan atau
social, atau hubungan dengan orang lain, atau harus dirawat inap guna mencegah ia mencelakai
dirinya atau orang lain, atau ada gejala psikotik.
E. Gejala tidak akibat fisiologis langsung dari penggunaan zat, atau kondisi medik umum (missal
hipertiroidi)

Gejala-gejala Mania
(Bila tidak ada tanda-tanda psikotik dan gejala mania tidak cukup berat sehingga mengganggu fungsi
pekerjaan dan social, disebut hipomania)
Gambaran Emosi
Mood meningkat, eforia
Emosi labil
Mudah berpindah depresi akut
Iritabilitas, toleransi terhadap frustasirendah
Menuntut dan egosentrik
Gambaran Kognitif
Kepercayaan diri meningkat, grandiositas
Gangguan pembicaraan
Banyak kata-kata (clang association=bunyi bersajak pd akhir bait)
Desakan pembicaraan
Loncatan gagasan (flight of ideas)
Daya nilai buruk, disorganisasi
Erotomania
Waham dan/atau halusinasi
Gambaran Fisiologik
Tenaga meningkat
Insomnia, kebutuhan tidur berkurang
Nafsu makan turun
Agitasi psikomotor

2c. Kriteria Episode Hipomanik (DSM IV-TR)


A. Suatu periode jelas dimana mood meningkat, ekspansif atau irritable, lamanya paling sedikit 4
hari, yang jelas berbeda dari mood tanpa depresi yang lazim.
B. Selama periode gangguan, ada 3 atau 4 (bila hanya mood irritable) dari gejala yang bermakna :
1. harga diri meningkat atau grandiositas
2. berkurangnya kebutuhan tidur (merasa cukup istirahat setelah tidur 3 jam saja)
3. berbicara lebih banyak dari biasa
4. flight of ideas atau pikiran berpacu
5. perhatian mudah dialihkan, bahkan oleh stimuli ringan
6. meningkatnya aktivitas bertujuan(kerja, sekolah, sosial) atau agitasi psikomotorik
7. secara berlebihan terlibat aktivitas menyenangkan yang berisiko ( misal : belanja berlebihan, hub
sex sembarangan, investasi bisnis sembrono)
C. Ada perubahan fungsi yang jelas, yang tidak terjadi saat tidak kumat
D. Orang lain dapat mengobservasi gangguan mood dan perubahan fungsi pada pasien
E. Gangguan ini tidak cukup parah sehingga tidak mengakibatkan hendaya fungsi sosial, pekerjaan
atau perlu rawat inap dan tidak ada gambaran psikotik.
F. Tidak disebabkan oleh efek fisiolgis dari zat (drug abuse, medikasi) atau kondisi medik umum (mis
hipertensi)
Catatan : episode mirip hipomanik dapat disebabkan oleh terapi antidepresan (misal ECT ). Jadi tidak
dimasukkan sebagai diagnosis gangguan bipolar II.

3. Kriteria diagnosis Episode Campuran (DSM-IV-TR)


A. Ada episode manik dan depresi mayor hampir setiap hari, minimal satu minggu.
B. Gangguan mood bermakna, sehingga mengganggu fungsi sosial, pekerjaan atau
hubungan antar personal; atau membutuhkan rawat inap karena membahayakan dirinya atau orang
lain; atau ada gejala psikotik.
C. Tidak akibat langsung efek fisiologis zat (misalnya salah guna zat, minum obat tertentu atau
kondisi medik umum spt hipertiroid)

4.a Kriteria diagnosis Gangguan Bipolar I, Episode Manik Tunggal


I. Hanya ada satu episode manik dan tidak ada episode depresi mayor.
Catatan : Kekambuhan/berulang, bila ada perubahan dari depresi atau ada interval paling sedikit 2
bulan tanpa gejala manik.
II. Episode manik tidak disebabkan oleh gangguan skizoafektif dan tidak bertumpang-tindih dengan
skizofrenia, gangguan skizofreniform, gg waham atau psikosis NOS.
Sebutkan bila :
Campuran.
Bila criteria terpenuhi utk manik, campuran atau epis depresi, sebut abg :
Ringan, sedang,berat tanpa/ atau dengan gejala psikotik.
Dg gej katatonik
Dg gej onset postpartum
Bila criteria tidak terpenuhi, sebut sbg :
Dalam taraf remisi parsial atau penuh
Dg gej katatonik
Dg gej onset postpartum

4b. Kriteria diagnosis Gangguan Bipolar I, Episode Sekarang Manik ( Most recent Manic Episode)
A. Baru saja(currently) ada episode manik.
B. Pernah ada paling sedikit satu episode depresi mayor, manik atau campuran
III. Episode mood pada criteria A dan B di atas tidak disebabkan oleh gangguan skizoafektif dan tidak
bertumpang-tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gg waham atau psikosis NOS.
* Sebutkan bila :
Campuran.
Bila criteria terpenuhi utk manik, campuran atau epis depresi, sebut abg :
Ringan, sedang,berat tanpa/ atau dengan gejala psikotik. Atau dg gej katatonik
atau dg gej onset postpartum
Bila criteria tidak terpenuhi, sebut sbg :
Dalam taraf remisi parsial atau penuh. Atau dg gej katatonik. Atau dg gej onset postpartum

4c. Kriteria Diagnosis Gg. Bipolar I, episode sekarang Hipomanik


A. Baru saja ada episode hipomanik.
B. Pernah ada paling sedikit satu episode manik atau campuran
C. Gg mood mengakibatkan hendaya atay gangguan dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi
penting lain.
D. Episode mood pada criteria A dan B di atas tidak disebabkan oleh gangguan skizoafektif dan tidak
bertumpang-tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gg waham atau psikosis NOS.

4d. Kriteria Diagnosis Gg Bipolar I, episode sekarang Depresi


1. Baru saja ada episode depresi mayor.
B. Pernah ada paling sedikit satu episode manik atau campuran
C. Episode mood pada criteria A dan B di atas tidak disebabkan oleh gangguan skizoafektif dan tidak
bertumpang-tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gg waham atau psikosis NOS.
*Sebutkan bila memenuhi criteria depresi mayor, disertai oleh sbb :
Ringan, sedang, berat, dengan/ atau tanpa gejala psikotik berat. Atau Kronik.
Atau dengan gambaran katatonik/ melankolik/ atipik atau onset postpartum
*Sebutkan bila tidak memenuhi criteria depris mayor, disertai gambaran :
Remisi penuh atau parsial. Atau Kronik.
Atau dengan gambaran katatonik, melankolik, atipik atau onset postpartum.

4e. Kriteria Diagnosis Gg Bipolar I, episode sekarang Campuran


A. Baru saja ada episode campuran.
B. Pernah ada paling sedikit satu episode depresi mayor, manik atau campuran
C. Episode mood pada criteria A dan B di atas tidak disebabkan oleh gangguan skizoafektif dan tidak
bertumpang-tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gg waham atau psikosis NOS.
*Sebutkan bila memenuhi criteria campuran, disertai oleh gambaran sbb :
Ringan, sedang, berat, dengan/ atau tanpa gejala psikotik berat. Atau Kronik.
Atau dengan gambaran katatonik atau onset postpartum
*Sebutkan bila tidak memenuhi criteria depresi mayor, disertai gambaran :
Remisi penuh atau parsial. Atau Kronik.
Atau dengan gambaran katatonik atau onset postpartum.

5 Kriteria Diagnosis Gg Bipolar lI


A. Pernah atau riwayat satu/lebih episode depresi mayor.
B. Pernah atau riwayat satu episode hipomanik.
C. TIDAK PERNAH ada episode manik atau episode campuran.
IV. Episode manik tidak disebabkan oleh gangguan skizoafektif dan tidak bertumpang-tindih dengan
skizofrenia, gangguan skizofreniform, gg waham atau psikosis NOS.
V. Gangguannya mengakibatkan hendaya atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi
penting lain
*Sebutkan bila episode mutakhirnya : Hipomanik atau Depresi.
*Bila criteria terpenuhi utk epis depresi mayor, sebut abg :
- Ringan, sedang,berat tanpa/ atau dengan gejala psikotik. Atau Kronik.
Atau dg gej katatonik, atau melankolik, atau atipikal ataudg onset postpartum
*Bila criteria tidak terpenuhi, sebut sbg :
Dalam taraf remisi parsial atau penuh. Atau Kronik. Atau dg gej katatonik, atau melankolik, atau
atipikal atau dg onset postpartum

6. Kriteria diagnosis Gangguan DISTIMIK


1. Mood depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, dirasakan oleh pasein (subyektif) atau
tampak oleh orang lain (obyektif), paling sedikit selama 2 tahun. Cat : pada anak dan remaja mood
iritabel dan minimal 1 tahun).
2. Pada saat depresi ada minimal 2/lebih dari :
1. nafsu makan kurang atau berlebihan
2. insomnia atau hipersomnia
3. low energy atau fatigue
4. kurang percaya diri
5. sulit konsentrasi atau sulit mengambil keputusan
6. merasa tak punya harapan
3. Dalam waktu 2 tahun dari gangguannya (1 thn pada anak/remaja), pada satu saat, tidak pernah
tanpa gejala criteria A dan B, maximal 2 bulan.
4. TIDAK ada episode Depresi Mayor selama kurun waktu 2 tahun pertama dari gangguan (1 thn
pada anak/remaja).
5. TIDAK pernah ada Episode Manik, Episode Campuran atau Episode Hipomanik, atau Gg Siklotimik.
6. Gangguan Distimik tidak terjadi selama adanya Gg Psikotik kronik, seperti Skizofrenia atau Gg
Waham.
G. Tidak akibat efek langsung zat atau kondisi medik umum.
H. Mengakibatkan hendaya bermakna dan bidang social, pekerjaan atau fungsi penting lain.

7. Kriteria Diagnosis Gangguan SIKLOTIMIK


A. Paling sedikit 2 tahun ada sejumlah periode dengan gejala hipomanik dan depresi yang tidak
memenuhi criteria episode depresi mayor. (Anak/remaja min 1 th)
B. Dalam periode 2 th (anak/remaja 1 th), tidak pernah tanpa gejala criteria A lebih dari 2 bulan.
C. Tidak ada episode depresi, manik atau campuran pada 2 tahun pertama dari gangguan.
Catatan : Setelah 2 th (anak/remaja 1th) dari gejala siklotimik, ada episode manik atau campuran
yang tumpang tindih(mungkin terdiagnosis sbg bipolar l dan siklotimik) atau episode depresi mayor
(terdiagnosis sbg bipolar ll dan siklotimik)
D. Episode manik tidak disebabkan oleh gangguan skizoafektif dan tidak bertumpang-tindih dengan
skizofrenia, gangguan skizofreniform, gg waham atau psikosis NOS/not otherwise specified.
E. Tidak akibat efek langsung zat atau kondisi medik umum.
F. Mengakibatkan hendaya bermakna dan bidang social, pekerjaan atau fungsi penting lain.

2. TUJUAN
Mengembalikan kesehatan fisik, mental dan social.
3. KEBIJAKAN
a. International Classification of Diseases ( ICD-10 ), WHO, New York, 1992.
b. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-TR, 4th ed., American Psychiatric
Association, Washington DC, 2000.
c. Kaplan and Sadock, Synopsis of Psychiatry, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia,
2007
4. PROSEDUR
a. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium : DL, UL,LFT,RFT, elektrolit, Astrup, gula darah, TPHA, HIV
b. Radiologi : Roentgen al. thorax, CT Scan, MRI
c. Lain : EKG, EEG, dll
d. Test psikologik/kepribadian : Minnesota Multiphasic Personality Inventory(MMPI-2)
Hamilton Depression Rating Scale, Hamilton Anxiety Rating Scale dll

b. Tata laksana
a. Jaga keselamatan dan keamanan pasien
b. Evaluasi diagnostic lengkap termasuk test psikologik, test MMPI dll.
c. Terapi symptom dan rencana bagi aspek kehidupan pasien secara menyeluruh
d. Psikoterapi
e. Farmakoterapi :
1) ANTIDEPRESAN : Sertraline/Zoloft/Fridep 1x50mg, Fluoxetine/Prozac/Kalxetin 1x20mg,
Fluvoxamine/Luvox 1x20mg, DuloxetineCymbalta 1x60mg, Citalopram/Cipralex 1x10 mg,
Clomipramine/Anafranil 2-3x10-50mg, Venlafaxine/Effexor 1x75mg, MAOI/Moclobemide 2-3x150
mg, Amitryptyline 2x10-50mg, Tofranil 2-3x10-25mg; Maprotiline/Ludiomil 1-3x25-50mg dll
2) ANTIMANIA : Lithium carbonat/Eskalith 3x150-300mg/hari. Pada gangguan fungsi ginjal, lanjut
usia : 1-2x150-300mg. Haloperidol 2-3x5-15mg, Quetiapine 2x100-400mg;
HATI-HATI : Moclobemide tidak boleh dimakan bersama makanan mengandung tyramine (keju,
alcohol, sarden/jeroan kalengan, asinan kol, daging/ikan asap)
5. UNIT TERKAIT :
Sesuai bidang organic/fisik yang menjadi pusat perhatian terapi : ICU, ICCU, Interna, Pediatri, Bedah,
Anestesi, Jantung, Saraf, Gilut, Mata, THT, Kulit, Obstetri-Ginekologi, Radiologi, Laboratorium
Patologi Klinik, Patologi anatomi, Hiperbarik, dll.

6. GANGGUAN CEMAS

1. PENGERTIAN :
Cemas/Ansietas adalah perasaan tidak enak, disertai gejala otonom, dimana orang menjadi gelisah.
Ansietas/cemas adalah tanda waspada akan adanya bahaya dan mempersiapkan orang untuk
menghadapi ancaman internal yang tidak diketahui, samar atau konfliktual. Cemas mempunyai
maksud lifesaving, mencegah kegagalan seseorang dengan cara mewaspadai/mengantisipasi dan
mengambil tindakan yang tepat. Mis. Belajar baik-baik agar lulus; berlari mengejar kereta terakhir.
Bedanya, takut, juga tanda waspada, terhadap ancaman eksternal yang diketahui, nyata atau tidak
konfliktual.
Cemas yang singkat dan sembuh dengan menghilangnya stress disebut Gangguan Penyesuaian
dengan Ansietas (DSM-IV).

a. GANGGUAN PANIK
Gejala takut atau tak nyaman yang khas, akut & dramatic (DSM IV). Tdd min 4 dr 13 gejala, yang
terjadi dlm beberapa sampai 10 menit. Bisa terjadi pd px dengan/tanpa cemas kronis. Gejala otonom
: berdebar-debar, nyeri dada, gemetar, rasa tercekik, nyeri abdomen, keringat, pusing, disorganisiasi,
bingung, takut mati. Timbul tiba-tiba atau bersifat “cemas antisipatorik”. Beberapa kali/hr/mgg/bln,
atau hilang berbulan2.Lebih banyak pd wanita 2 : 1.

2a. Kriteria Serangan Panik :


Periode yang nyata akan suatu ketakutan yang sangat atau perasaan tak nyaman, paling sedikit 4
(atau lebih) dari gejala di bawah ini, yang terjadi secara tiba-tiba dan mencapai puncak dalam 10
menit :
1. palpitasi, berdebar,atau meningkatnya denyut jantung
2. berkeringat
3. gemetar
4. merasa sesak nafas, nafas jadi pendek
5. merasa tercekik
6. nyeri atau tak enak di dada
mual atau rasa tak enak di perut.
7. merasa pusing, tak seimbang, kepala terasa ringan atau pingsan
8. derealisasi (merasa sekitranya tidak nyata) atau depersonalisasi (merasa dirinya bukan dirinya)
9. takut kehilangan kendali atau menjadi gila
10. takut mati
11. parestesia (kesemutan)
12. menggigil atau hot flushes

2b dan c. Kriteria diagnosis Gangguan Panik Dengan atau Tanpa Agorafobia


A. Terdapat keduanya :
1) serangan panik tidak terduga dan berulang
2) paling sedikit selama satu bulan atau lebih,terdapat satu atau lebih dari dibawah:
a) perhatian menetap tentang adanya serangan ulang
b) cemas akan pengaruh serangan atau akibatnya (misal hilang kendali, mendapat serangan jantung,
“menjadi gila”)
c) perubahan bermakna dalam perilaku yang terkait pada serangan
B. Ada atau tidak ada Agorafobia
C. Tidak akibat factor fisiologis langsuang dari zat (penyalahgunaan zat, pengobatan) atau kondisi
medik umum (hipertiroidism)
D. Bukan akibat gangguan mental lain seperti fobia social, fobia khusus, obsesif-kompulsif,
Posttraumatic Stress Disorder atau Seperation Anxiety Disorder.

2d. Kriteria Diagnosis Agorafobia :


A. Ansietas saat berada di tempat atau situasi yang sulit untuk melarikan diri (atau malu), atau di
mana pertolongan tidak mungkin didapat pada situasi yang tidak diharapkan atau bila terjadi
serangan panik. Misalnya berada di luar rumah sendirian, di antara kerumunan, atau berdiri dalam
antrian, di atas jembatan dan bepergian dengan bis, kereta api atau mobil.
B. Situasi yang dihindari (terbatasnya bepergian) atau penderitaan yang nyata atau cemas akan
terjadi serangan panic atau membutuhkan teman.
C. Tidak disebabkan oleh gangguan mental lain, seperti fobia social, fobia spesifik, Gg Obsesi
Kompulsi, Post Traumatic Stress Disorder atau gg ansietas perpisahan.
Catatan : Gangguan Panik dengan Agorafobia (sda, kecuali no 3 : dengan agorafobi)
Cemas bila berada di tempat/situasi di mana sulit/mustahil melarikan diri atau sulit mendapat
pertolongan bila terjadi serangan panic/serangan mirip panic (tiba2 diare,pusing). Ia menghindari :
berada sendirian di luar/dlm rumah, di kerumunan orang, naik mobil, bis, pesawat terbang, di dalam
lift.

Catatan : Agorafobia tanpa riwayat Panik


Ada agoraphobia yang berkaitan dengan ketakutan timbulnya serangan mirip panic. Gejalanya sama
dengan gangguan panik dengan agoraphobia, kecuali adanya rasa “ketidak-mampuan”(misalnya
tidak dapat menahan kencing, muntah di muka umum); ketakutan akan terjadinya serangan panik
yang sangat memalukan (beberapa dari 13 gejala panik atau beberapa gejala panik). Tidak
memenuhi psersyaratan G.Panik. Bukan akibat penggunaan zat atau akibat kondisi medik umum.
2. TUJUAN
Mengembalikan kesehatan fisik, mental dan social.
3. KEBIJAKAN
a. International Classification of Diseases ( ICD-10 ), WHO, New York, 1992.
b. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-TR, 4th ed., American Psychiatric
Association, Washington DC, 2000.
c. Kaplan and Sadock, Synopsis of Psychiatry, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia,
2007
4. PROSEDUR
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan fisik : singkirikan hipertensi…………

2e. FOBIA Spesifik


Ketakutan yang menyolok dan persisten, serta antisipasi thd obyek/situasi spesifik (hewan,
ketinggian, gelap, darah dll). Ia menyadari bahwa ketakutannya berlebihan dan tak masuk akal. Fobi
mengganggu aktivitas rutin, kerja, sekolah, fungsi social.

Fobia sosial (Social Anxiety Disorder)


Ketakutan yang menyolok dan persisten akan situasi social atau berada di antara orang-orang yang
tak dikenal, bahwa ia diperhatikan dg seksama oleh orang lain atau takut ia dapat melakukan hal
yang memalukan.

2g. Terapi Fobia (insight oriented psychotherapy)


1. Terapi perilaku kognitif : dihadapkan pd obyek yg ditakuti dg pembalikan dr ketakutannya.
2. Desensitisasi : bertahap dihadapkan pd obyek.
3. Flooding : pembanjiran/menghadapi langsung obyek
4. Hipnosis
5. Terapi keluarga
6. Farmakoterapi : alprazolam 2-3x0,25-1mh/hari dan/atau
antidepresan : SSRI (sertraline), paroxetine, clomipramine.
3. Gangguan Obsesif-Kompulsif
Obsesi : ide, pikiran, impuls atau citra yang intrusive/memaksa mengganggu dan tidak benar, yang
menyebabkan cemas atau penderitaan. Misal : paling sering takut terkontaminasi saat berjabat
tangan dg orang, takut melukai orang dl kecelakan lalin, atau lupa mengunci pintu.
Kompulsi : perilaku berulang mis cuci tangan, menata, memeriksa atau doa, menghitung, mengulang
kata-kata dalam hati. Misal berulang kali memeriksa kompor, mencuci, atau perilaku berulang.
Tujuannya ialah untuk menghilangkan cemas atau penderitaan.

a. Kriteria Diagnosis GOK


A. Salah satu dari obsesi atau kompulsi :
Obsesi adalah no 1,2,3 dan 4 :
1) pikiran, impuls atau gambaran berulang yang menimbulkan kecemasan atau ketegangan
2) pikiran impuls atau gambaran tidak sekedar cemas berlebihan, tapi benar-benar mengganggu
kehidupan
3) pasien mencoba mengabaikan atau melupakan pikiran, impuls atau gambaran tsb atau
menetralisii dengan berpikir tentang hal lain atau berbuat sesuatu
4) pasien menyadari bahwa pikiran obsesif, impuls atau gambaran itu berasal dari pikirannya sendiri.
Kompulsi adalah : 1 dan 2 :
1) perilaku berulang (mis cuci tangan, memeriksa) atau tingka laku mental (berdoa, menghitung,
mengulangi kata-kata dalam hati) di mana ia merasa bahwa ia diarahakan melakukannya sebagai
akibat dari obsesinya
2) perilaku atau tingkah laku mental yang bertujuan mencehag atau mengurangi ketegangan atau
mencegah suatu peristiwa/situasi yang buruk, walaupun perilaku itu tidak terkait secara realistic
dengan apa yang mereka lakukan untuk mencegah sesuatu
B. Suatu saat ia menyadari bahwa obsesi atau kompulsinya adalah berlebihan dan tidak beralasan.
(catatan : tidak berlaku pada anak)
C. Obsesi atau kompulsinya mengakibatkan ketegangan yang nyata, memakan waktu (butuh lebih
dari 1 jam/hari) atau mengganggu secara bermakna pekerjaan/sekolah rutin yang normal dari
seseorang atau hubungan atau aktivitas socialnya
D. Bila ada diagnosis lain pada Axis I, maka obsesi/kompulsinya tidak hanya terbatas pada satu aspek
gangguan saja (missal menariki rambuh dan trichotillomania)
E. Tidak akibat efek fisiologis langsung suatu zat atau kondisi medik umum

Etiologi : Nerobiologik :mungkin setelah suatu cedera kepala atau encephalitis. Kelainan di lobus
frontalis, cingulum dan basal ganglia. Nerotransmiter : serotonin meningkat.
DD/ : gangguan kepribadian Obsesif-Kompulsif
Fobia
Depresi
Skizofrenia
Terapi :
Psikoterapi : (pilihan utama) psikoterapi psikodinamik (menghentikan “ritual”). Psikoterapi insight
oriented dan suportif. Atau terapi perilaku.
Farmakoterapi : standart dimulai dengan SSRI (sertraline, fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine) atau
clomipramine.
Terapi keluarga. Terapi kelompok. Untuk kasus berat diECT.
GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA (Post Traumatic Stress Disorder)
PTSD : Gejala gangguan mental, akibat suatu stress sangat berat yang dialami individu; berupa
ketakutan dan tidak berdaya, secara persisten hidup kembali dalam keadaan traumatik dan
mencoba melupakannya. Berlangsung lebih dari satu bulan dan mengakibatkan gangguan bermakna
pada fungsi keluarga dan pekerjaan.

Etiologi : mengalami atau terancam dalam perang, siksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan
atau kecelakaan serius.
Saat mengalaminya, bisa terjadi alexithymia (tidak mampu mengenali/mengatakan perasaannya).
Gambaran klinis : emosi tumpul, perilaku menghindar, sering sangat tegang. Selama beberapa bulan
atau tahun. Merasa bersalah, menyangkal dan terhina. Mungkin ada disosiasi dan serangan panic,
ilusi atau halusinasi. Gangguan daya ingat dan perhatian.
Kadang ada agresivitas, kekerasan, gangguan kendali impuls, depresi dan penyalahgunaan zat.

2. Kriteria Diagnosis Gangguan Stres Pasca Trauma


A. Pernah terpajan pada peristiwa traumatic yang meliputi keduanya :
1) mengalami, menyaksikan atau dihadapkan pada peristiwa yang melibatkan ancaman atau benar-
benar mendekati kematian atau cedera serius atau diancam integritas fisiknya pada diri atau orang
lain
2) responsnya berupa ketakutan yang sangat, putus asa atau ketakutan luar biasa.. Catatan : pada
anak tampak sebagai perilaku kacau atau agitasi.
B. Peristiwa traumatic secara menetap dialami kembali dengan cara sebagai berikut satu (atau lebih)
dari :
1) ingatan yang menegangkan yang berulang dan mengganggu tentang peristiwa , gambaran,
pimiran atau persepsi. Catatan : pada anak tampak sebagai permainan berulang dengan tema
trauma
2) mimpi yang menegangkan dan berulang. Pada anak : mimpi buruk tanpa tema yang jelas.
3) berlaku atau merasa seolah peristiwa traumatic sedang berlangsung I(termasuk merasa
pengalaman yang hidup kembali, ilusi, halusinasi, atau kilas balik yang disosiatif). Pada anak : terjadi
perilaku khas seperti saat trauma
4) ketegangau psikokogis yang sangat saat terpajan symbol internal atau eksternal yang terkait
peristiwa traumatik
5) reaksi fisiologik terhadap pajanan pada symbol peristiwa traumatik
C. Penghindaran terus menerus terhadap stimuli yang terkait trauma dan penumpulan respons
secara umum (tidak muncul sebelum trauma), berupa tiga (atau lebih) dari :
1) usaha untuk menghindari ingatan, perasaan atau percakapan terkait trauma
2) usaha menghindari aktivitas, tempat atau orang yang membangkitkan ingatan akan trauma
3) tidak mampu mengingat aspek yang penting dari trauma
4) jelas-jelas hilangnya minat atau partisipasi dalam aktivitas
5) merasa terasing dari orang lain
6) afek/perasaan jadi “terbatas”(tak mampu mencintai)
7) merasa masa depannya tak berarti (tak mengharap karir, menikah, atau punya masa kehidupan
yang normal)
D. Gejala yang menetap akan meningkatnya ketegangan (tidak ada sebelum trauma) yang tampak
sebagai dua (atau lebih) dari :
1) sulit memulai atau mempertahankan tidur
2) aramah mudah meledak atau irritable
3) sulit konsentrasi
4) mudah terkejut atau terjaga (hypervigilance)
5) respons terjaga yang berlebihan
E. Durasi (criteria B,C,D) lebih dari satu bulan
F. Mengakibatkan ketegangan atau hendaya bermakna secara klinisdalam fungsi sosial, pekerjaan
atau fungsi penting lain.

DD/ : Organik (epilepsy, alkohisme, penyalahgunaan zat). Gangguan mental : gangguan nyeri,
penyalahgunaan zat, cemas dan gangguan afek, gg disosiasi, gangguan kepribadian ambang, gg
buatan, malingering.

Terapi :
Farmakoterapi : imipramin dan amitriptyline. Durasi 1 tahun sebelum dihentikan. SSRI, MAOI,
trazodone, antikonvulsan (carbamazepine, asam valproate), clonidin, propanolol. Alprazolam.
Psikoterapi psikodinamik, rekonstruksi kejadian traumatik dengan abreaksi asosiasi dan katarsis.
Terapi perilaku, t. kognitif, hypnosis.
Penyulit PTSD : bisa terjadi antara 1 minggu sampai 30 tahun setelah trauma.

Gangguan Stres Akut (Acute Stress Disorder)


Gangguan stress akut : gejalanya = PTSD, kecuali timbul dalam kurun waktu kurang dari 4 minggu
dan berlangsung selama 2 hari - 4 minggu.

2d.Kriteria diagnosis Gangguan stress akut :


A. Seseorang pernah terpajan pada peristiwa traumatik dimana terdapat keduanya :
1) seseorang mengalami, menyaksikan atau dikonfrontasikan pada peristiwa atau kejadian-kejadian
yang mengancam nyawa atau cedera serius, atau terancam integritas fisik dirinya atau orang lain.
2) responsnya berupa ketakutan yang dahsyat, rasa ketidakberdayaan, horror.
B. Saat mengalami atau sesudah mengalami peristiwa traumatik atau distressing itu,ia mengalami
tiga atau lebih gejala disosiatif di bawah ini :
1) perasaan subyektif penumpulan, terlepas/detachment atau tidak ada respons emosional.
7. berkurangnya kewaspadaan akan sekelilingnya (seperti terpana. Terkesima)
3) derealisasi
4) depersonalisasi
5) amnesia disosiatif ( tak mampu mengingat aspek penting dari trauma)
VI. Peristiwa traumatik ini dialami terus menerus/persisten paling sedikit dengan cara : bayangan
berulang, ingatan, mimpi, ilusi, episode kilas balik atau pengalaman mengalami kembali atau
terpajan pada hal-hal yang mengingatkan akan peristiwa traumatik itu.
D. Jelas-jelas menghindari stimuli yang membangkitkan ingatan-ingatan akan trauma ( ingatan,
perasaan, pembicaraan, aktivitas, tempat, orang ).

Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder)


GAD adalah ansietas yang berlebihan dan kuatir (apprehensive expectation), yang terjadi hampir
sepanjang hari selama paling sedikit 6 bulan, berupa gejala criteria

2 d. Kriteria Diagnosis GANGGUAN CEMAS MENYELURUH :


A. Excessive anxiety and worry (apprehensive expectations, occurring more days than not for at least
6 months, about a number of events or activities (such as work or school performance).(cemas
berlebihan)
B. The person finds it difficult to control the worry (sulit mengendalikan kecemasan)
C. The anxiety and worry are associated with 3 (or more) of the following 6 symptoms (with at least
some symptoms present for more days than not for the past 6 months) Note : only one item is
required in children.
1. restlessness or feeling keyed up or on edge (gelisah)
2. being easily fatigued (mudah lelah)
3. difficulty concentrating or mind going blank
4. irritability
5. muscle tension
6. sleep disturbance (difficultly falling or staying asleep, or restless unsatisfying sleep)
D. The focus of the anxiety and worry is not confined to features of an Axis I disorder, e.g., the
anxiety or worry is not about having a Panic Attack (as in Panic Disorder), being embarrassed in
public (as in Social Phobia), being contaminated (as in Obesssive-Compulsive Disorder), being away
from home or close relatives (as in Seperation Anxiety Disorder), gaining weight (as in Anorexia
Nervosa), having multiple physical complaints (as in Somatization Disorder) , or having a serious
illness ( as in Hypochondriasis), and the anxiety and worry do not occur exclusively during
Posttraumatic Stress Disorder.
E. The anxiety, worry, or physical symptoms cause clinically significant distress or impairment in
social, occupational, or other important areas of functioning.
F. The disturbance is not due to the direct physiological effects of a substance (e.g., a drug of abuse,
a medication) or a general medical condition(e.g., hyperthyroidism) and does not occur exclusively
during a Mood Disorder, a Psychotic Disorder, or a Pervasive Developmental Disorder.

4. DDx :
Anxiety D. due to a General Medical Condition, Substance-Induced Anx.D., Panic D. PTSD., Mood D.,
and unpathological anxiety.

5. Terapi
a. Cognitive behaviour therapy tdd : terapi kognitif, relaxasi, latihan pernafasan, pajanan “hidup”.
b. Antianxietas al : Alprazolam, buspirone. Antidepresan : SSRI (sertraline) & paroxetine,
clomipramine, venlafaxine, fluovoxamine, citalopram, fluoxetine.
c. Family & group therapy.

6. Penyulit
Generalized Anxiety Disorder : Cuma sepertiga pasien GAD datang ke psikiater, sebagian besar
berobat ke lnternis, kardiolog, dokter umum, pulmonolog. GAD bisa diderita seumur hidup.
2g. Terapi Fobia (insight oriented psychotherapy)
1. Terapi perilaku kognitif : dihadapkan pd obyek yg ditakuti dg pembalikan dr ketakutannya.
2. Desensitisasi : bertahap dihadapkan pd obyek.
3. Flooding : pembanjiran/menghadapi langsung obyek
4. Hipnosis
5. Terapi keluarga
6. Farmakoterapi : alprazolam 2-3x0,25-1mh/hari dan/atau
antidepresan : SSRI (sertraline), paroxetine, clomipramine.

7. GANGGUAN SOMATOFORM DAN PSIKOSOMATIK

1. Definisi Gangguan Somatoform


Suatu kumpulan gangguan yang terdiri dari sekelompok peyakit yang menunjukkan tanda dan gejala
fisik sebagai komponen utamanya.
Terdiri dari :

2. Kriteria Diagnosis Gangguan Somatisasi:


a. Riwayat banyak keluhan fisik yang bermula pada usia sebelum 30 tahun yang berlangsung selama
beberapa tahun dan menyebabkannya mencari pengobatan atau jadi hendaya bermakna dalam
fungsi social, pekerjaaan atau fungsi penting lain.
B. Harus memenuhi criteria dengan gejala individual yang terjadi kapan saja selama perjalanan
gangguan :
1) empat gejala nyeri : riwayat nyeri berkaitan paling sedikit empat tempat atau fungsi (misal kepala,
abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rectum, selama haid, saat hubungan sex, atau saat
mictie).
2) dua gejala GIT : riwayat paling sedikit dua gejala GIT selain nyeri (missal mual, kembung, muntah
yang bukan hamil, diare atau intoleransi aneka makanan).
3) satu gejala sexual : riwayat paling sedikit satu gejala sexual atau reproduksi selain nyeri
(kehlangan minat, disfungsi ereksi atau ejakulasi, darah haid berlebihan)
4) satu gejala pseudoneurologik : riwayat paling sedikit satu gejala atau deficit ke arah kondisi
neurologik yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan kordinasi atau
keseimbangan, paralysis atau kelemahan local, sulit menelan atau merasa ada benjolan di
kerongkongan, retensi urine, aphonia, halusinasi, kehilangan rasa sentuh atau nyeri. penglihatan
ganda, kebutaan, tuli, kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilangnya kesadaran selain
pingsan).
C. Salah satu dari :
1) setelah diteliti, gejala pada criteria B tidak dapat dijelaskan penyebab kondisi medik umum atau
efek langsung dari suatu zat ( medikasi, drug abuse).
2) bila ada kaitan dengan kondisi medik umum, keluhan fisik atau hendaya social/pekerjaan yang
diakibatkannya berlebihan sekali dibandingkan dengan riwayat, pemeriksaan fisik atau temuan
laboratorium.
D. Gejala-gejala tidak sengaja ditumbulkan atau dibuat-buat (spt Gangguan Buatan/ Factitious
Disorder atau Malingering/ Berpura-pura).

3. DD/ : Kondisi medik umum ( hipertiroid, porphyria, multiple sclerosis, SLE dll)
Gg mood dan anc\xietas, Skizofrenia, gg waham
4. Pem penunjang : rutin. Singkirkan kelainan fisik.
5.Tata laksana
Pemeriksaan fisik singkat saja. Pemeriksaan penunjang tambahan dihindarkan. Dengarkan keluhan
somatiknya lebih dari keluhan mediknya. Perlu membantu pasien menyadari bahwa gejalanya
terkait factor psikologik. Psikoterapi. Medikasi bila perlu saja.

b. Kriteria Diagnosis Gangguan Konversi


A. Satu atau lebih gejala atau deficit pada fungsi motorik volunteer atau fungsi sensoreik yang
mengarah pada unsure saraf atau kondisi medik umum.
B. Faktor psikologik dikatakan terkait dengan gejala atau deficitnys, karena dimulai atau
kambuhannya gejala atau deficit didahului oleh konflik atau stresor lain.
C. Gejala atau deficit tidak disebabkan oleh kesengajaan atau dibuat-buat ( seperti pada factitious
disorder dan malingering).
D. Gejala atu deficit setelah diteliti betul, tidak disebabkan oleh kondisi medik umum, atau efek
langusng dari zat, atau perilaku atau pengalaman terkait kultur.
E. Gejala atau deficit mengakibatkan hendaya bermakna dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi
lain .
F. gejala atau deficit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi sexual, yang tak terjadi semata selama
gangguan berlangsung, dan tidak disebabkan gangguan mental lain.
Jelas : Dengan gejala/defisit motor/sensorik/dg kejang/dg gejala campuran.
3. DD/ gangguan saraf atau penyakit sistemik.

4. Pem penunjang : rutin

5. Terapi : insight-oriented supportive atau terapi perilaku. Hipnosis.

c. Kriteria Diagnosis Hipokondriasis


A. Preokupasi akan ketakutan, atau memiliki ide bahwa ia mempunyai suatu penyakit serius yang
berdasarkan interpretasi yang keliru tentang gejala fisiknya.
B. Preokupasi menetap walaupun evaluasi medik dan reassurance telah diberikan.
C. Keyakinan criteria A bukan waham (seperti gg waham tipe somatic) dan tidak terbatas pada
kepedulian terhadap penampilannya (spt pd body dismorphic)
D. Preokupasi menyebabkan hendaya bermakna dalam bidang social, pekerjaan atau fungsi penting
lain
E. Durasi minimal 6 bulan
F. Tidak akibat GAD, GOK,, gg panic, episode depresi mayor, cemas perpisahan
DD/ : AIDS, endokrinopati, myasthernia gravis, MS, degeneratif saraf, SLE dan neoplastik. GG
somatisasi, gg konversi. Factitious Dis atau Malingering
Tata laksana : psikoterapi kelompok, insight-oriented supportive atau terapi perilaku, terapi
kognitif.Hipnosis.

d. Kriteria Gangguan Nyeri


A. Nyeri pada satu atau lebih lokasi anatomi sebagai fokus predominan dan cukup parah untuk
menjadi perhatian klinis
B. Nyeri menybabkan hendaya bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
C. Faktor psikologik diduga mempunyai peran pada awitan, keparaha, kekambuhan atau
menetapnya nyeri.
D. Gejala atau deficit tidak sengaja dibuat.
E. Tidak akibat gangguan mooe, anxietas, psikotik dan bukan dyspareunia.
3. DD/ Sulit dibedakan dari nyeri fisik. Bedakan dari gangguan somatoform lain. Konversi,
hipokondriasis, Malingering.
4. Pem penunjang : singkirkan gangguan neurologis.
5. Terapi : Farmakoterapi ( antidepresan : SSRI, amitryptiline, amfetamin). Psikoterapi

1. Definisi PSIKOSOMATIK
Disebut juga gangguan psikofisiologik. Terdapat satu kesatuan antara mental dan fisik, serta
disebabkan oleh faktor-faktor psikologik.

2. Kriteria Diagnosis Psikosomatik


A. Ada kondisi medik umum.
B. Faktor psikologik mempengaruhi kondisi medik umum secara sbb :
1) adanya hubungan/asosiasi erat atau sementara antara factor psikologik dan perkembangan atau
kekambuhan atau lambatnya pemulihan suatu kondisi medik umum
2) factor psikologik mengganggu pengobatan kondisi medik umum
3) factor psikologik dapat menambah risiko kesehatan bagi individu
4) respons fisiologik yang terkait stress dapat mencetuskan atau mengakibatkan kambuhnya gejala
dari kondisi medik umum
Sebutkan berdasarkan asal factor psikologiknya :
c. Gangguan mental yang mempengaruhi ….. (sebut : kondisi medik umum). (mis. depresi mayor
lambat pulih akibat MCI)
d. Simptom psikologik yang mempengaruhi …..(sebut : kondisi medik umum). (mis depresi lambat
sembuh dari pasca operasi)
e. Ciri kepribadian atau cara coping yang mempengaruhi …. (sebut kondisi medik umum) (mis
penyangkalan patologis akan kebutuhan untuk operasi pada pasien kanker)
f. Perilaku sehat yang maladaptive yang mempengaruhi …(sebut kondisi medik umum) (mis makan
berlebihan, kurang OR, hub sex tak aman)
g. Respons fisiologik yang terkait stress …(sebut kondisi medik umum) (mis kambuhnya stress terkait
hipertensi, aritmia, ulcus peptic )

GEJALA : GIT (ulcus pepticum, ulcerative colitis, Chron’s disease), CVS (aritmia, hipertensi, sinkop),
RESP (asthma, sindrom hiperventilasi, COPD), Endokirin (hipertiroidism, hipotiroidism, DM, sin
Cushing, hiperprolactinemia), Kulit (dermatitis atopik, psoriasis, exkoriasi psikogenik, pruritus,
hiperhidrosis, urticaria), Muskuloskeletal (rheumatoid arthritis, SLE, LBP, fibromialgia), Nyeri kepala
(migraine, cluster headaches, tension headaches) dll.
3. DDx : gangguan fisik nyata.
4. Penunjang : sesuai gangguan.
5. Terapi :
1) Psikoterapi
2) Terapi relaksasi dan manajemen stress
3) Problem solving
4) Farmakoterapi : antidepresan, anti anxietas dll
6. Penyulit : factor psikologis yang melandasi.

8. GANGGUAN DISOSIATIF DAN GANGGUAN PENYESUAIAN

1. Definisi : Gangguan disosiatif adalah gangguan pada fungsi yang biasanya terintegrasi antara
kesadaran, daya ingat, identitas atau persepsi tentang lingkungan. Bisa terjadi tiba-tiba, bertahap
atau kronik. Tdd gangguan Depersonalisasi, Amnesia Disosiatif, Fugue disosiatif (berkelana tanpa
ingatan tentang masa lalunya) Gangguan Identitas Disosiatif (kepribadian ganda) dan disosiasi tak
tergolongkan.

2. Kriteria Diagnosis Gangguan Amnesia Disosiatif


A. Gangguan predominan berupa satu atau lebih episode dari ketidakmampuan mengingat informasi
pribadi yang penting, biasanya tentang suatu kejadian traumatic.
B. Gangguan tidak terjadi melulu selama gangguan disosiasi identitas, fugue, PTSD, gg stress akut,
atau gg somatisasi dan bukan akibat fisiologis langsung dari zat ( salah guna zat, pengobatan) atau gg
saraf atau kondisi medik umum (trauma kepala)
C. Gejala mengakibatkan ketidak berdayaan dan hendaya bermakna dalam fungsi social, pekerjaan,
atau fungsi penting lain.

3. DD/
a. Lupa alamiah dan amnesia nonpatologik
b. Demensia, delirium, gg amnestik organic
c. Amnesia pasca trauma
d. Gangguan kejang
e. Amnesia akibat zat
f. Amnesia global sementara
g. PTSD, gg stress akut, gg somatoform
h. Berpura-pura dan Gangguan Buatan

4. Pemeriksaan
a. Cari tanda dan gejala organic/fisik.
b. Psikotest

5. Terapi
a. Terapi kognitif, hypnosis, terapi psikoterapi kelompok.
b. Farmakoterapi : thiopental, sodium amobarbital, tab benzodiazepine, amfetamin.
6. Penyulit : menjadi kronik dan tak mampu merawat diri.

GANGGUAN PENYESUAIAN
1. Definisi : suatu reaksi emosional terhadap satu atau lebih stressor/penyebab.
2. Kriteria Diagnosis
A. Perkembangan gejala emosi atau perilaku sebagai respons terhadap stressor yang diketahui yang
terjadi dalam waktu kurang dari tiga bulan sejak terjadinya stress.
B. Gejala atau perilaku ini bermakna secara klinis seperti terlihat sbb :
1) ketegangan yang tampak jelas, yang sesuai dengan yang diharapkan terjadi pada pajanan
terhadap stressor itu
2) hendaya bermakna dalam fungsi social atau pekerjaan/sekolah
C. Gangguan yang terkait stress tidak memenuhi criteria Axis I/Diagnosis psikiatrik dan bukan
eksaserbasi dari Axis I atau II (ggn kepribadian).
D. Bukan reaksi berduka
E. Bila stressor (atau akibnya) berakhir, gejala tidak tampak lagi untuk durasi 6 bulan selanjutnya.
Catatan : Akut : bila gangguan berakhir kurang dari 6 bulan.
Kronik : bila gangguan berakhir lebih dari, sama dengan 6 bulan.
Sebutkan : Dengan depresi, dg anxietas, dg campuran anxietas dan depresi, dengan gg tingkah laku,
dg ggn campuran emosi dan tingkah laku, atau tak tergolongkan.
3. DD/ Gg stress aktu dan PTSD.
4. Pem penunjang : sesuai gejala fisik dan psikotes
5. Tata laksana
a. Psikoterapi : krisis intervensi
b. Farmakoterapi
6. Penyulit : umumnya kembali ke fungsi semula dalam waktu kurang dari 3 bulan. Rrmaja pulih lebih
lambat dari orang dewasa.

9. KEDARURATAN PSIKIATRIK

PERCOBAAN BUNUH DIRI


1. Definisi : suatu tindakan fatal yang merupakan harapan/niat untuk mati.
Epidemiologi : Angka bunuh diri di Amerika 30.000 tiap tahun.Uia terbanyak 15-24 th..

Etiologi : factor psikososial, factor biologic, factor genetic. Perilaku parasuicidal : self- mutilation
mencederai diri sendiri, melukai tangan, pergelangan tangan, paha; biasanya pada mereka yang
imatur, neurotic, introvert.

4. RISIKO TINGGI TERJADI PBD :


a. Umur diatas 45 tahun, laki-laki, bercerai/duda, tidak bekerja, konflik dalam hubungan
interpersonal, latar belakang keluarga kacau.
b. Kesehatan : sakit kronik, hipokondriakal, memakai zat berlebihan, depresi berat, psikosis, gg
kepribadian , penyalahguna zat, putus asa.
c. Aktivitas bunuh diri : sering, intensif, berkepanjangan, percobaan berulang, terencana, tidak ingin
ditolong, ingin mati,menyalahkan diri sendiri, cara letal dan memungkinkan dilakukan.
d. Sumber : usaha/keberhasilan yang rendah, tilikan/kesadaran diri (insight) buruk, sulit
mengendalikan afek/perasaan, terisolasi secara social, keluarga yang tidak responsive.
e. Gender : pria melakukan tindakan bunuh diri 4 kali lebih sering dari wanita (menembak, ganging,
loncat dari ketinggian). Wanita mencoba bunuh diri 4 kali lebih sering dari pria (racun,obat).
f. Menikah dan bekerja : menikah secara bermakna mengurangi risiko BD. Bekerja mengurangi risiko
BD. Semakin tinggi status social, semakin tinggi risiko BD.

5. DD/ atasi etiologi : Delirium, Dementia, Intoksikasi zat, Depresi berat, Skizofrenia, Gangguan
waham, ketergangtungan alcohol atau zat, gangguan kepribadian, gangguan cemas, Retardasi
mental dll

6. Pemeriksaan penunjang :
a. Tanda vital / ABCD
b. Intervensi krisis
c. Antidepresan, antic emas atau antipsikotik

PEDOMAN ANAMNESIS PX PERCOBAAN BUNUH DIRI


Anamnesis
1) Mulailah pertanyaan yang mengarah kepada perasaan pasein terhadap arti hidup.
- “apakah pernah anda merasa hidup ini tidak ada gunanya untuk dijalani ?”
- Apa pernah ingin tidur dan tidak pernah bangun lagi ?
2) Lanjutkan dengan pertanyaan spesifik tentang pendapat tentang kematian
melukai diri, BD.
- Apakah anda berpikir tentang kematian akhir-akhir ini ?
- Apakah terpikir untuk melukai diri anda ?
3) Kepada orang yang berpikir untuk melukai diri atau BD.
. – Kapan pertama kali berpikir demikian ?
- Apa sebab berpikir begitu ?
- Apakah sering berpikir begitu (frekwensi, obsesional, terkontrol) ?
- Seberapa jauh anda berpikir untuk melakukannya ?
- Apakah anda berpikir bahwa anda akan melakukannya suatu hari ?
- Apa anda pernah mencoba melukai/BD, tapi menghentikannya, sebelum berbuat sesuatu (
meletakkan pisau, pistol pada tubuh anda, hamper loncat ) ?
- Apa yg terpikir saat itu bila anda benar-benar membunuh diri anda? (eg melarikan diri, reuni dg
orang yang sudah mati, lahir kembali, mengharap reaksi org lain)
- Apa pernah membuat rencana khusus untuk melukai/BD? (+ rencananya)?
- Apa anda punya senjata ?
- Apa anda mempersiapkan diri (menulis catatan/keinginan, merancang financial, mencegah jangan
sampai ketahuan dll)
- Pernah mengatakan pada orang lain tentang rencana anda ?
- Apa pendapat anda tentang masa depan ?
- Hal apa yang membantu anda merasa lebih/kurang menaruh harapan (terapi, rekonsiliasi, resolusi
masalah )?
- Hal apa saja dalam hidup yang menyebabkan anda ingin/kurang ingin BD ?
- Hal apa saja dalam hipudr yang menyebabkan anda ingin melarikan diri dari kehidupan atau
memilih mati saja ?
- Apa saja dalam hidup anda yang membuat anda ingin tetap hidup ?
- Apa tindakan anda bila pikiran BD muncul lagi?
d) Bagi orang yang telah mencoba BD atau melakukan tindakan melukai diri, pertanyaan yang sama
seperti di atas. Tambahan :
- Ceritakan bagaimana terjadinya (situasi, pandangan masa depan, pakai alcohol/zat, cara, niat,
keseriusan cederanya)
- Apa yang dipikirkan saat menjelang tindakan ?
- Apa yang anda pikirkan bakal terjadi ( tidur vs cedera vs mati, reaksi org lain)
- Apa orang lain ada di sana saat itu ?
- Apa anda mencari pertolongan seteralh itu, atau org datang menolong ?
- Apa anda berencana ditemukan org atau ditemukan secara tidak sengaja ?
- Anda mendapat penanganan setelahnya?(medis vs psikiatrik,ugd vs poliklinik
- Setelah percobaan, apakah ada perubahan pada cara pikir anda ?
- Apa dulu pernah mencoba melukai diri/BD ?
e) Bagi orang yang memiliki pikiran/percobaan BD berulang.
- Apa sering mencoba Lukai Diri/BD ?
- Kapan terakhir kali ?
- Ceritakan pikiran anda saat anda berpikir paling serius ttg BD.
- Kapan hal di atas terjadi ?
- Apa sebabnya dan bgma sesudah itu ?
f) Bagi mereka yang PSIKOSIS, Tanya halusinasi dan waham.
-
c. Laboratoris : DL, UL, LFT, RFT, GDA, elektrolit, analisa gas darah, intoksikasi dll

d. Radiologis : cari tanda trauma

5. Terapi
a. Rawat inap !!! Dijaga sangat ketat oleh orang yang dikenal. Jauhkan benda yang mengundang
bahaya. Waspadai ruangan, pintu, celah untuk melarikan diri atau mengulang PBD.
b. Evaluasi : gg kepribadian yang sangat impulsive.
Anamnesis riwayat psikiatrik lengkap. Buat status mental lengkap, cari tanda depresi, pikiran,niat,
rencana dan percobaan BD. Juga tak punya rencana masa depan, membagikan barang pribadinya.
b. Psikoterapi
c. Antidepresan, antianxietas, hipnotik-sedatif, antipsikotik, ECT

4. Pemeriksaan penunjang :
a. Tanda vital / ABCD
b. Anamnesis
1) Mulailah pertanyaan yang mengarah kepada perasaan pasien terhadap arti hidup.Mis “apakah
pernah anda merasa hidup ini tidak ada gunanya untuk dijalani?
2) Lanjutkan dengan pertanyaan spesifik tentang pendapat tentang kematian, (lihat lampiran)
c. Laboratoris : DL, UL, LFT, RFT, GDA, elektrolit, analisa gas darah, intoksikasi dll
d. Radiologis : cari tanda trauma

5. Terapi
a. Rawat inap. Dijaga sangat ketat oleh orang yang dikenal. Jauhkan benda yang mengundang
bahaya. Waspadai ruangan, pintu, celah untuk melarikan diri atau mengulang PBD.
b. Psikoterapi
c. Antidepresan, antianxietas, hipnotik-sedatif, antipsikotik, ECT

10. KEDARURATAN PSIKIATRI ANAK


Faktor risiko dalam keluarga : pencederaan fisik dan seksual pada anak. Krisis keluarga : kehilangan
orang tua, perceraian, kehilangan pekerjaaan, keluarga pindah. Kekacauan keluarga : gangguan jiwa
pada orang tua anak.
Tata laksana : rawat inap. psikoterapi, jauhkan benda berbahaya, dijaga orang yang dikenal.
Antidepresan, antipsikotik dll.

KEDARURATAN YANG MENGANCAM NYAWA (dan rencana tindak) :


a. Perilaku percobaan bunuh diri terutama pada remaja.
Waspadai : ide atau perilaku BD letalitasnya, keinginan menetap/tidak. Evaluasi kepekaan, dukungan
dan kompetensi keluarga. Buat riwayat psikiatrik, status mental, fungsi keluarga.
b. Perilaku kasar/kejam dan amarah : hati-hati, cegah pasien dan staf dari cedera. Beri ia waktu
untuk menenangkan diri. Boleh difiksasi bila membahayakan.
Bila tanpa gangguan jiwa, hampir tidak perlu medikasi.

PENYIKSAAN FISIK DAN SEKSUAL PADA ANAK


Gejala : anak merasa takut, cemas, bersalah, depresi dan ambivalen saat dianamnesis. Bila pernah
mengalami sebelumnya, ia jadi berperilaku lebih dari yang seharusnya tampak sesuai usia
perkembangannya. Seringkali mereka jadi sadistic dan agresif. Mereka diancam akan dicederai berat
bila mengungkap cerita tentang si pelaku. Sulit mengungkap bila pelaku adalah anggota keluarga
korban. Anak takut keluarganya dihabisi atau ia dibuang oleh keluarga.
Anamnesis terpisah antara anak dan keluarga. Hadapkan dan observasi sikap anak terhadap tiap
orang tua yang dihadirkan secara terpisah.

Pemeriksaan penunjang : ANAMNESIS TELITI ! Bicara terus terang dan jelas agar anak tidak bingung
dan takut menceritakan apa yang terjadi padanya. Contoh : Perhatikan saat duduk, berjalan,
mungkin PMS (gonore : nyeri, iritasi dan gatal pada genital)..
Pergunakan boneka yang memiliki anatomi yang jelas, sehingga anak dapat terbantu menyebut
organ mana dan bagaimana cara terkena.

Jakarta, 2011

Dr. Eunice P. Najoan, SpKJ


Kolonel Laut (K/W)Nrp 9691/P

Kedaruratan Psikiatrik
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi darurat.
Kondisi ini menuntut intervensi psikiatrik seperti percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat,
depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada perilaku. Pelayanan
kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang kedokteran, ilmu perawatan,
psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat
meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan. Penatalaksanaan pada
pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para profesional yang bekerja pada pelayanan
kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan
mental pasien mereka. Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh
petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi
psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi
gejala atau kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.

Di Amerika tiap tahun kasus bunuh diri yang berhasil mencapai 30.000 orang per tahun.
Angka ini menunujukkan jumlah orang yang mencoba bunuh diri jauh lebih besar lagi, diperkirakan 8
sampai 10 kali lebih besar dan jumlah tersebut. Di Indonesia belum ada data mengenai hal ini.

Dan data yang ada, 95% kasus bunuh diri berkaitan dengan masalah kesehatan jiwa
diantaranya 80% mengalami Depresi, 10% Skizofrenia dan 5% Dementia/Delirium. Sedangkan sekitar
25% lainnya mempunyai diagnosa ganda yang berkaitan dengan Ketergantungan Alkohol.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum


Mahasiswa mampu dan memahami dan menjelaskan kedaruratan dalam psikiatri

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Mahasiswa mampu dan memahami tentang gaduh atau gelisah

1.2.2.2 Mahasiswa mampu dan memahami tentang bunuh diri

1.2.2.3 Mahasiswa mampu dan memahami tentang penyalahgunaan napza

1.3 Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan penjabaran
masalah–masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur yang ada, baik di
perpustakaan maupun di internet.

1.4 Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri dari empat bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Membahas tentang latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Teoritis

Membahas tentang segala sesuatu yang bisa dijadikan teori atau sumber untuk penulisan makalah
dengan sub topik kedaruratan psikiatri mengenai: bunuh diri, gaduh/gelisah dan penyalahgunaan
NAPZA.

BAB III : Penutup

Terdiri dari kesimpulan dan saran


BAB II

TINJAUAN TEORTIS

Kedaruratan Psikiatrik adalah Keadaan gangguan dalam proses fikir, alam perasaan dan
perbuatan yang memerlukan tindakan pertolongan segera. Kasus kedaruratan psikiatrik yang sering
ditemukan adalah percobaan bunuh diri, penyalahguanaan napza dan keadaan gaduh gelisah.
Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri, ketergantungan
obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan, serangan panik, dan perubahan
tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang mematikan dan
muncul dengan gejala psikiatriks umum. Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan
menangani kondisi ini. Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini
sangatlah penting. Kedawatdaruratan psikiatri terdiri dari :

2.1 Bunuh Diri

2.1.1 Pengertian

Bunuh diri adalah kematian yang disebabkan diri sendiri dan di sengaja. Ide bunuh diri dan usaha
bunuh diri adalah keadaan gawat darurat yang paling sering ditemukan. Masalah yang sering pada
bunuh diri adalah krisis yang menyebabkan penderitaan yang berat dan perasaan putus asa dan
tidak berdaya, konflik antara bertahan hidup dan stres yang tidak dapat ditahan, sempitnya
pemilihan yang dimiliki pasien dan harapan untuk dapat membebaskan diri. Ide bunuh diri terjadi
pada orang yang rentan sebagai respon dari berbagai stresor pada tiap usia dan dapat ditemukan
untuk jangka waktu yang lama tanpa menyebabkan suatu usaha bunuh diri.
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti diri sendiri
atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa
bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah
pada kematian. Prilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya
adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan, (Stuart dan
Sundeen,1995).

Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Gail w.
Stuart, Keperawatan Jiwa,2007).

Bunuh diri adalah pikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri (Ann Isaacs, Keperawatan Jiwa &
Psikiatri, 2004).

Bunuh diri adalah ide, isyarat dan usaha bunuh diri, yang sering menyertai gangguan depresif
dan sering terjadi pada remaja (Harold Kaplan, Sinopsis Psikiatri,1997).

2.1.2 Klasifikasi

Perilaku bunuh diri menurut Stuart dan Sundeen (1995) dibagi menjadi tiga kategori yaitu sebagai
berikut:

2.1.2.1 Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri, dan bila
kegiatan itu sampai tuntas akan menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi setelah tanda peringatan
terlewatkan atau di abaikan. Orang yang hanya berniat melakukan upaya bunuh diri dan tidak benar-
benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.

2.1.2.2 Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha mempengaruhi
perilaku orang lain.

2.1.2.3 Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung atau tidak langsung,
verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri. Orang tersebut mungkin
menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak akan ada di sekitar kita lagi atau juga mengungkapkan
secara nonverbal berupa pemberian hadiah, wasiat, dan sebagainya. Kurangnya respons positif dari
orang sekitar dapat dipersepsikan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.

2.1.3 Tahap-Tahap Prilaku Bunuh Diri


Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya:

2.1.3.1 Suicidal ideation

Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau sebuah metoda yang digunakan
tanpa melakukan aksi/tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya
apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini
memiliki pikiran tentang keinginan untuk mati

2.1.3.2 Suicidal intent

Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan yang konkrit untuk melakukan
bunuh diri,

2.1.3.3 Suicidal threat

Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yan dalam , bahkan ancaman
untuk mengakhiri hidupnya .

2.1.3.4 Suicidal gesture

Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan
tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada percobaan untuk melakukan bunuh diri.
Tindakan yang dilakukan pada fase ini pada umumnya tidak mematikan, misalnya meminum
beberapa pil atau menyayat pembuluh darah pada lengannya. Hal ini terjadi karena individu
memahami ambivalen antara mati dan hidup dan tidak berencana untuk mati. Individu ini masih
memiliki kemauan untuk hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik
mental. Tahap ini sering di namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan
stress yang tidak mampu di selesaikan.

2.1.4 Etiologi

2.1.4.1 Faktor Predisposisi

Tidak ada teori tunggal yang mengungkapkan tentang bunuh diri dan memberikan petunjuk
mengenai cara melakukan intervensi yang terapeutik. Teori Perilaku menyakini bahwa pencederaan
diri merupakan hal yang dipelajari dan diterima pada saat anak-anak dan masa remaja. Teori
psikologi memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego, trauma interpersonal, dan
kecemasan berkepanjangan yang mungkin dapat memicu seseorang untuk mencederai diri. Teori
Interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai kegagalan dari interaksi dalam hidup,
masa anak-anak mendapatkan perlakuan kasar serta tidak mendapatkan kepuasan (stuart dan
sundeen, 1995).

Faktor predisposisi yang lain adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan komunikasi


(mengkomunikasikan perasaan), perasaan bersalah, depresi, dan perasaan yang tidak stabil.

Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku destruktif-diri sepanjang siklus
kehidupan adalah sebagai berikut:

2.1.4.1.1 Diagnosis psikiatrik

Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat
gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan
bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.

2.1.4.1.2 Sifat kepribadian

Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya risiko bunuh diri adalah antipati,
impulsive (daya pendorong yang tiba-tiba), dan depresi.

2.1.4.1.3 Lingkungan psikososial

Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah pengalaman kehilangan,
kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan,
atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan social sangat penting dalam menciptakan intervensi
yang terapeutik, dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam
menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.

2.1.4.1.3.1 Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor penting yang dapat
menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.

2.1.4.1.3.2 Faktor biokimia

Data menujukkan bahwa pada klien dengan risiko bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat kimia yang
terdapat di dalam otak seperti serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
2.1.4.2 Faktor Presipitasi

Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami oleh individu.
Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi
pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri
ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat
rentan.

Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan masalah. Faktor yang
mempengaruhi terjadinya bunuh diri, terbagi menjadi:

2.1.4.2.1 Faktor Genetik

Faktor genetik (berdasarkan penelitian):

1–3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada individu yang menjadi kerabat tingkat pertama
dari orang yang mengalami gangguan mood/depresi/yang pernah melakukan upaya bunuh diri.

2.1.4.2.2 Faktor Biologis lain

Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya:

2.1.4.2.2.1 Stroke

2.1.4.2.2.2 Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)

2.1.4.2.2.3 Diabetes

2.1.4.2.2.4 Penyakit arteri koronaria

2.1.4.2.2.5 Kanker

2.1.4.2.2.6 HIV / AIDS

2.1.4.2.3 Faktor Psikososial & Lingkungan


2.1.4.2.3.1 Teori Psikoanalitik/Psikodinamika: Teori Freud, yaitu bahwa kehilangan objek berkaitan dengan agresi
& kemarahan, perasaan negatif thd diri, dan terakhir depresi.

2.1.4.2.3.2 Teori Perilaku Kognitif: Teori Beck, yaitu Pola kognitif negatif yang berkembang, memandang rendah
diri sendiri

2.1.4.2.3.3 Stressor Lingkungan: kehilangan anggota keluarga, penipuan, kurangnya sistem pendukung sosial

2.1.5 Rentang Respon Bunuh Diri

2.1.5.1 Respon Adaptif

Merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara
umum berlaku.

2.1.5.2 Respon Maladaptif

Merupakan respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat.

Respon maladaptif antara lain:

2.1.5.2.1 Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.

Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan masalah, karena merasa tidak
mampu mengembangkan koping yang bermanfaat sudah tidak berguna lagi, tidak mampu
mengembangkan koping yang baru serta yakin tidak ada yang membantu.

2.1.5.2.2 Kehilangan, ragu-ragu

Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan merasa gagal dan kecewa
jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya : kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian,
perpisahan individu akan merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang semua dapat berakhir dengan
bunuh diri.

2.1.5.2.3 Depresi

Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan kesedihan dan rendah
diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat individu ke luar dari keadaan depresi berat.
2.1.5.2.4 Bunuh diri

Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengkahiri kehidupan. Bunuh diri
merupakan koping terakhir individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

2.1.5.3 Rentang respon perlindungan diri

Perilaku merusak diri berfluktuasi: sepanjang respon adaptif dan maladaptive seperti pada gambar:

Respon adaptif
respon maladaptive

Menghargai berani perilaku mencederai diri bunuh diri

Diri sendiri mengambil merusak diri

Resiko untuk tidak langsung

Pertumbuhan diri

Gambar 1: rentang respon perlindungan diri (Stuart, Sandra, 1998)

2.1.6 Gambaran Klinis dan Diagnosis

Penelitian menemukan bahwa jenis kelamin laki-laki, ras kulit putih, usia yang lanjut, dan
isolasi sosial meningkatkan risiko bunuh diri yang sepenuhnya. Pasien dengan riwayat usaha bunuh
diri atau tindakan bunuh diri adalah berada dalam risiko, seperti pasien dengan riwayat penyakit
kronis, pembedahan yang baru dilakukan, atau penyakit fisik yang kronis. Pasien yang juga berada
dalam risiko adalah pasien yang tidak mempunyai pekerjaan, hidup sendirian, melakukan hubungan
gelap dengan terpaksa.

Harapan yang paling baik untuk mencegah bunuh diri adalah deteksi dini dan pengobatan
gangguan psikiatrik yang berperan.
Peran usaha bunuh diri sebelumnya dalam penentuan risiko bunuh diri adalah kompleks.
Sebagian besar korban bunuh diri yang sebenarnya tidak pernah melakukan usaha bunuh diri
sebelumnya, dan mereka berhasil melakuakn bunuh diri pada saat pertama kali. Walaupun setiap
orang pernah melakukan usaha bunuh diri sebelumnya menunjukkan kapasitas perilakunyang
merusak diri sendiri, hanya 10% orang yang berusaha bunuh diri berhasil melakukannya dalam 10
tahun.

Sejumlah bermakna orang yang agresif terhadap diri sendiri memotong atau membakar
dirinya sendiri dalam cara yang jelas tidak mematikan tanpa maksud membunuh dirinya sendiri.
Ditemukan berbagai motivasi, termasuk manipulasi dan penyerangan yang tidak disadari terhadap
orang lain. Secara diagnostik, pasien mungkin memenuhi kriteria untuk gangguan kepribadian
antisosial atau ambang,

2.1.7 Pemeriksaan dan Penatalaksanaan


2.1.7.1 Klinis harus menilai risiko bunuh diri pada pasien individual berdasarkan pemeriksaan klinis. Hal yang
paling prediktif yang berhubungan dengan riisko bunuh diri dituliskan dalam Tabel 14-1. Bunuh diri
juga dikelompokkan ke dalam faktor yang berhubungan dengan risiko tinggi dan risiko rendah.
2.1.7.2 Jika memeriksa pasien yang berusaha bunuh diri, jangna meninggalkan mereka sendirian, keluarkan
semua benda yang kemungkinan berbahaya dari ruangan.
2.1.7.3 Jika memeriksa pasien yang baru saja melakukan usaha bunuh diri, nilailah apakah usaha tersebut
telah direncanakan atau dilakukan secara impulsif dan tentukan letalitasnya, kemungkinan pasien
untuk ditemukan (sebagai contohnya, apakah pasien sendirian dan apakah pasien memberitahukan
orang lain?), dan reaksi pasien karena diselamatkan (apakah pasien kecewa atau merasa lega ?), dan
apakah faktor-faktor yang menyebabkan usaha bunuh diri telah berubah.
2.1.7.4 Penatalaksanaan adalah sangat tergantung pada diagnosis. Pasien dengan gangguan depresif berat
mungkin diobati sebagai pasien rawat jalan jika keluarganya dapat mengawasi mereka secara ketat
dan jika pengobatan dapat dimulai secara cepat. Selain hali tersebut, perawatan di rumah sakit
mungkin diperlukan.
2.1.7.5 Ide bunuh diri pada pasien alkoholik biasanya menghilang dengan abstinensia dalam beberapa hari.
Tidak diperlukan pengobatan spesifik pada sebagian besar kasus. Jika deprsei menetap setelah tanda
psokologis dari putus alkohol menghilang, diperlukan kecurigaan yang tinggi adanya gangguan
depresif berat. Semua pasien yang berusaha bunuh diri yang terintoksikasi oleh alkohol atau obat
harus dinilai kembali jika mereka sadar.
2.1.7.6 Ide bunuh diri pada pasien skizofrenia harus ditanggapi secara serius, karena mereka cenderung
menggunakan kekerasan atau metoda yang akcau dengan letalitas yang tinggi.
2.1.7.7 Pasien dengan gangguan kepribadian mendapatkan manfaat dari konfrontasi empatik dan bantuan
dengan mendapatkan pendekatan rasional dan bertanggung jawab terhadap masalah yang
mencetuskan krisis dan bagaimana mereka biasanya berperan. Keterlibatan keluarga atau teman
dan manipulasi lingkungan mungkin membnatu dalam menghilangkan krisis yang menyebabkan
usaha bunuh diri.
2.1.7.8 Hospitalisasi jangka panjang adalah diindikasikan pada keadaan yang menyebabkan mutilasi diri,
tetapi hospitalisasi singkat biasanya tidak mempengaruhi perilaku habitual tersebut. “Parasuicide”
juga mendapatkan manfaat dari rehabilitasi jangka panjang, dan periode singkat stabilisassi mungkin
diperlukan dari waktu ke waktu, tetapi tidak ada pengobatan jangka pendek yang dapat diharapkan
mengubah perjalanannya secara bermakna.

Tabel 14-1.Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Risiko Bunuh Diri


Urutan Ranking Faktor

1 Usia (45 tahun dan lebih)

2 Ketergantungan alcohol

3 Kejengkelan, penyerangan, kekerasan

4 Perilaku bunuh diri sebelumnya

5 Laki-laki

6 Tidak mau menerima pertolongan

7 Episode depresi sekarang yang lebih dari


biasanya

8 Terapi psikiatrik rawat inap sebelumnya

9 Kehilangan atau perpisahan yang belum lama


terjadi

10 Depresi

11 Hilangnya kesehatan fisik


12 Pengangguran atau dipecat

13 Tidak menikah, janda/duda. Atau bercerai

Tabel 14-2.Penilaian Risiko Bunuh Diri

Variabel Risiko Tinggi Risiko Rendah

Sifat demografik dan sosial

Usia Lebih dari 45 tahun Di bawah 45 tahun

Jenis kelamin Laki-laki Wanita

Status mental Cerai atau janda Menikah

Pekerjaan Pengangguran Bekerja

Hubungan interpersonal Konflik Stabil

Latar belakang keluarga Kacau atau konflik Stabil

Kesehatan

Fisik Penyakit kronis Kesehatan baik

Hipokondriak Merasa sehat

Pemakaian zat yang Penggunaan zat


berlebihan rendah
Mental
Depresi berat Depresi ringan

Psikosis Neurosis
Gangguan Kepribadian ringan
kepribadian berat
Peminum sosial
Penyalahgunaan zat
Optimisme
Putus asa

Aktivitas bunuh diri

Ide bunuh diri Sering, kuat, Jarang, rendah,


berkepanjangan sementara
Usaha bunuh diri
Usaha berulang kali Usaha pertama

Direncanakan Impulsif

Penyelamatan tidak Penyelamatan tak


mungkin terhindarkan

Keinginan yg tak ragu Keinginan utama


untuk mati untuk berubah

Komunikasi di Komunikasi di
internalisasikan eksternalisasikan
(menyalahkan diri (kemarahan)
sendiri)
Metoda dengan
Metoda mematikan letalitas rendah dan
dan tersedia tidak mudah
didapat

Sarana

Pribadi Pencapaian buruk Pencapaian baik

Tilikan buruk Penuh tilikan

Afek tak ada atau Afek tersedia dan


terkendali buruk terkendali
Sosial
Rapport buruk Rapport baik
Terisolasi sosial Terintegrasi secara
sosial
Keluarga tidak
responsif Keluarga yang
memperhatikan

2.1.8 Terapi Obat

Seorang pasien yang berada dalam krisis karena kematian atau peristiwa lainnya dengan lama
waktu yang terbatas dapat berfungsi dengan lebih baik setelah mendapatkan sedasi ringan sesuai
keperluan, khususnya jika tidur telah terganggu. Benzodiazepine adalah obat yang terpilih, dan
regimen yang tipikal adalah lorazepam (Ativan) 1 mg satu sampai tiga kali sehari selama dua minggu.
Iritabilitas pasien dapat meningkat dengan pemakaian benzodiazepine secara teratur, dan iritabilitas
adalah faktor risiko untuk bunuh diri, sehingga benzodiazepine harus digunakan dengan berhati-hati
pada pasien yang menunjukkan sikap bermusuhan. Hanya sejumlah kecil medikasi yang harus
diberikan, dan pasien harus diikuti dalam beberapa hari.

Antidepresan adalah pengobatan definitif untuk banyak pasien yang datang dengan ide bunuh
diri, tetapi adalah tidak umum untuk memulai antidepresan di ruang gawat darurat. Tetapi, jika
depresan, perjanjian follow-up yang pasti harus dilakukan, lebih baik pada hari selanjutnya.

2.2 Gaduh atau Gelisah

2.2.1 Keadaan Gaduh Gelisah


2.2.1.1. Psikomotor meningkat

2.2.1.2 Banyak bicara


2.2.1.3 Mondar-mandir
2.2.1.4 Lari-lari
2.2.1.5 Loncat-loncat
2.2.1.6 Destruktif
2.2.1.7 Bingung

2.2.2 Penyebab Keadaan Gaduh Gelisah


2.2.2.1 Gangguan mental organik (delirium)
2.2.2.2 Psikosis fungsional

a. Gangguan psikotik akut


b. Skizofrenia
c. Keadaan mania
d. Amuk
e. Gangguan panic
f. Kebingungan post konvulsi
g. Reaksi disosiatif
h. Ledakan amarah (temper tantrum)

2.2.3 Strategi Umum Pemeriksaan Pasien


2.2.3.1 Ketahui sebanyak mungkin mengenai pasien sebelum menjumpai
2.2.3.2 Waspada mengenai ancaman kekerasan
2.2.3.3 Perhatikan posisi diri jika berada di ruang tertutup
2.2.3.4 Pastikan ada orang lain pada saat pemeriksaan
2.2.3.5 Usahakan untuk mengadakan relasi sebaik mungkin dengan pasien
2.2.3.6 Cegah pasien menciderai diri
2.2.3.7 Cegah pasien menciderai orang lain
2.2.3.8 Pendekatan pasien dengan sikap tidak mengancam
2.2.3.9 Beri keyakinan pada pasien
2.2.3.10 Tawarkan pengobatan
2.2.3.11 Informasikan pasien bahwa pengikatan atau pengurungan mungkin diperlukan
2.2.3.12 Serahkan prosedur pengikatan kepada mereka yang menguasai
2.2.3.13 Pastikan tim selalu siap menahan pasien

2.2.4 Pemeriksaan
2.2.4.1 Diagnosis awal
a. Pemeriksaan fisik
b. Wawancara psikiatrik
c. Pemeriksaan status mental
2.2.4.2 Mengidentifikasi faktor pencetus

2.2.4.3 Mengidentifikasi kebutuhan segera

a. Untuk segera mendapat penanganan psikiatrik


b. Untuk segera rujuk ke tempat yang paling berkompeten
2.2.4.4 Pemeriksaan laboratorium yang relevan

2.2.5 Penatalaksanaan Pengikatan Fisik

2.2.5.1 Berbicara secara meyakinkan kepada pasien untuk menghentikan

perilakunya.

2.2.5.2 Ulangi penjelasan jika tidak menghentikan perilakunya akan dilakukan

pengikatan.

2.2.5.3 Tawarkan untuk menggunakan medikasi dari pada dilakukan pengikatan,

jangan tawar-menawar dengan pasien.

2.2.5.4 Jangan membiarkan pasien berpikir tentang keraguan kita untuk melakukan

pengikatan.

2.2.5.5 Lakukan pengikatan

a. Tiap anggota gerak satu ikatan


b. Ikatan pada posisi sedemikian agar tidak mengganggu aliran cairan IV jika diperlukan
c. Posisi kepala lebih tinggi untuk menghindari aspirasi
d. Lakukakan pemeriksaan vital sign tiap setiap ½ jam
e. Tempatkan pasien pada tempat yang mudah dilihat oleh staf
2.2.5.6 Lanjutkan dengan medikasi

2.2.5.7 Setelah pasien dapat dikendalikan dengan medikasi, mulai dengan


melepaskan satu ikatan

2.2.5.8 Dua ikatan terakhir harus dilakukan bersama-sama (tidak menganjurkan

mengikat pasien dengan hanya satu ikatan pada anggota gerak

2.2.5.9 Buat catatan mengapa pasien harus diikat

2.2.6 Farmokoterapi

2.2.6.1 Golongan benzodiazepin

a. Diazepam
b. Lorazepam
c. Clonazepam
2.2.6.2 Golongan antipsikotik
a. Chlorpromazine
b. Haloperidol
c. Olanzapine
d. Fluphenazine
Untuk pasien non psikotik: Golongan benzodiazepine

Untuk pasien psikotik : Golongan benzodiazepine dan Golongan antipsikotik

2.2.7 Penatalaksanaan Keadaan Gaduh Gelisah :

a. Mendeteksi adanya tanda-tanda gangguan mental seperti penurunan kesadaran gangguan daya
ingat,diorientasi dan gangguan fungsi intelektual.
b. Apabila terdapat salah satu tanda tesrsebut maka kemungkinan keadaan gaduh gelisah
dilatarbelakangi oleh gangguan mental organic (gangguan kesehatan umum).
c. Selanjutnya pasien dirujuk ke Rumah Sakit .
d. Apabila tidak terdapat tanda organik kemungkinan kasus dalam keadaan gaduh gelisah,psikiatrik
harus diobati.
2.3 NAPZA

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk
kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan,
ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.

Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan
pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga
sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku,
perasaan, dan pikiran.

2.3.1 Jenis NAPZA Yang Disalahgunakan

a. Narkotika (Menurut UU RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika).


Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun
semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika
dibedakan kedalam golongan-golongan :

1) Narkotika Golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk
terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh :
heroin/putauw, kokain, ganja).

2) Narkotika Golongan II :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan
dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin, petidin).

3) Narkotika Golongan III :


Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan
(Contoh : kodein).

Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan I, seperti Opiat : morfin, herion
(putauw), petidin, candu, dan lain-lain - Ganja atau kanabis, marihuana, hashis - Kokain, yaitu serbuk
kokain, pasta kokain, daun koka.

b. Psikotropika (Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika).


Yang dimaksud dengan Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut :

1) Psikotropika Golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
(Contoh : ekstasi, shabu, LSD).
2) Psikotropika Golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu
pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan . ( Contoh
amfetamin, metilfenidat atau ritalin).
3) Psikotropika Golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan
(Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam).
4) Psikotropika Golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan
(Contoh : diazepam, bromazepam, Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti
pil BK, pil Koplo).

Psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain :

 Psikostimulansia : amfetamin, ekstasi, shabu


 Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur) : MG, BK, DUM, Pil koplo dan lain-lain.
 Halusinogenika : Iysergic acid dyethylamide (LSD), mushroom.

c. Zat Adiktif Lain


Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang disebut Narkotika
dan Psikotropika, meliputi :

1) Minuman berakohol
Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat, dan sering
menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan
sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam
tubuh manusia.

Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu :

 Golongan A: kadar etanol 1-5%, (Bir)


 Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)
 Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson House)
2) Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut)
Mudah menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah
tangga, kantor dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalah gunakan, antara lain : Lem, thinner,
penghapus cat kuku, bensin.
3) Tembakau
Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat. Pada upaya
penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus
menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk
penyalahgunaan NAPZA lain yang lebih berbahaya. Bahan/ obat/zat yang disalahgunakan dapat juga
diklasifikasikan sebagai berikut :
 Sama sekali dilarang : Narkotoka golongan I dan Psikotropika Golongan I.
 Penggunaan dengan resep dokter: amfetamin, sedatif hipnotika.
 Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.
 Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga
golongan :

1) Golongan Depresan (Downer)


Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini membuat
pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri.
Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot
tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.

2) Golongan Stimulan(Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis
ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini
adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain

3) Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan
pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat
terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis.

Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.

2.3.2 Penyalahgunaan Dan Ketergantungan

Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik yang menunjukan ciri


pemekaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan dengan tingkat pemakaian psikologik-
sosial, yang belum bersifat patologik

1. Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala
atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan
gangguan fungsi sosial.
2. Ketergantungan NAPZA adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis,
sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom).
Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun,
agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”.
3. Tingkat Pemakaian NAPZA.
a. Pemakaian coba-coba (experimental use), yaitu pemakaian NAPZA yang tujuannya ingin
mencoba,untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada tahap ini, dan sebagian
lain berlanjut pada tahap lebih berat.
b. Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use) : yaitu pemakaian NAPZA dengan tujuan
bersenang-senang,pada saat rekreasi atau santai. Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap
ini,namun sebagian lagi meningkat pada tahap yang lebih berat.
c. Pemakaian Situasional (situasional use) : yaitu pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu
seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaaqn, dan sebagainnya, dengan maksud menghilangkan
perasaan-perasaan tersebut.
d. Penyalahgunaan (abuse): yaitu pemakaian sebagai suatu pola penggunaan yang bersifat
patologik/klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang hari, tak mapu mengurangi
atau menghentikan, berusaha berulang kali mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit
fisiknya kambuh. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang
ditandai oleh : tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan baik,perilaku agresif dan tak
wajar, hubungan dengan kawan terganggu, sering bolos sekolah atau kerja, melanggar hukum atau
kriminal dan tak mampu berfungsi secara efektif.
e. Ketergantungan (dependence use) : yaitu telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian
NAPZA dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar tidak berlanjut pada tingkat yang lebih berat
(ketergantungan), maka sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian tersebut memerlukan perhatian dan
kewaspadaan keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan pada keluarga dan
masyarakat.

2.3.3 Penyebab Penyalahgunaan Napza

Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara faktor yang terkait
dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat (NAPZA). Tidak terdapat adanya
penyebab tunggal (single cause) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA
adalah sebagian berikut :

a. Faktor individu :
Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja
yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan
individu yang rentan untuk menyalahgunakan NAPZA. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu
mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA. Ciri-ciri tersebut antara lain :

 Cenderung membrontak dan menolak otoritas


 Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti
 Depresi,Ccemas, Psikotik, Kkeperibadian dissosial.
 Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku
 Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah diri dan memiliki citra diri negatif
 (low self-esteem)
 Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif
 Mudah murung,pemalu, pendiam
 Mudah merasa bosan dan jenuh
 Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran
 Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)
 Keinginan untuk mengikuti mode,karena dianggap sebagai lambang
 keperkasaan dan kehidupan modern.
 Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.
 Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang “jantan”
 Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit
 mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas
 Kemampuan komunikasi rendah
 Melarikan diri sesuatu (kebosanan,kegagalan, kekecewaan,ketidak
 mampuan, kesepian dan kegetiran hidup,malu dan lain-lain)
 Putus sekolah
 Kurang menghayati iman kepercayaannya

b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar rumah, sekolah,
teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga,terutama faktor orang tua yang ikut menjadi
penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna NAPZA antara lain adalah :

1) Lingkungan Keluarga
 Komunikasi orang tua-anak kurang baik/efektif
 Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga
 Orang tua bercerai,berselingkuh atau kawin lagi
 Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh
 Orang tua otoriter atau serba melarang
 Orang tua yang serba membolehkan (permisif)
 Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan
 Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA
 Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten)
 Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga
 Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahduna NAPZA
2) Lingkungan Sekolah
 Sekolah yang kurang disiplin
 Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA
 Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara
 kreatif dan positif
 Adanya murid pengguna NAPZA
3) Lingkungan Teman Sebaya
 Berteman dengan penyalahguna
 Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar
4) Lingkungan masyarakat/sosial
 Lemahnya penegakan hukum
 Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung

c. Faktor Napza
 Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”
 Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba
 Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidur-kan, membuat
euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain.

Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selau membuat seseorang kelak menjadi
penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor diatas, semakin besar kemungkinan
seseorang menjadi penyalahguna NAPZA.
Penyalahguna NAPZA harus dipelajari kasus demi kasus.Faktor individu, faktor lingkungan
keluarga dan teman sebaya/pergaulan tidak selalu sama besar perannya dalam menyebabkan
seseorang menyalahgunakan NAPZA. Karena faktor pergaulan, bisa saja seorang anak yang berasal
dari keluarga yang harmonis dan cukup kominikatif menjadi penyalahguna NAPZA

2.3.4 Deteksi Dini Penyalahgunaan Napza

Deteksi dini penyalahgunaan NAPZA bukanlah hal yang mudah,tapi sangat penting artinya
untuk mencegah berlanjutnya masalah tersebut. Beberapa keadaan yang patut dikenali atau
diwaspadai adalah :

a. Kelompok Risiko Tinggi


Kelompok Risiko Tinggi adalah orang yang belum menjadi pemakai atau terlibat dalam
penggunaan NAPZA tetapi mempunyai risiko untuk terlibat hal tersebut, mereka disebut juga
Potential User (calon pemakai, golongan rentan). Sekalipun tidak mudah untuk mengenalinya,
namun seseorang dengan ciri tertentu (kelompok risiko tinggi) mempunyai potensi lebih besar untuk
menjadi penyalahguna NAPZA dibandingkan dengan yang tidak mempunyai ciri kelompok risiko
tinggi. Mereka mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1) Anak
Ciri-ciri pada anak yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA antara lain :

 Anak yang sulit memusatkan perhatian pada suatu kegiatan (tidak tekun)
 Anak yang sering sakit
 Anak yang mudah kecewa
 Anak yang mudah murung
 Anak yang sudah merokok sejak Sekolah Dasar
 Anak yang sering berbohong,mencari atau melawan tatatertib
 Anak denga IQ taraf perbatasan (IQ 70-90)
2) Remaja
Ciri-ciri remaja yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA :

 Remaja yang mempunyai rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mempunyai citra diri negatif
 Remaja yang mempunyai sifat sangat tidak sabar
 Remaja yang diliputi rasa sedih (depresi) atau cemas (ansietas)
 Remaja yang cenderung melakukan sesuatu yang mengandung risiko tinggi/bahaya
 Remaja yang cenderung memberontak
 Remaja yang tidak mau mengikutu peraturan/tata nilai yang berlaku
 Remaja yang kurang taat beragama
 Remaja yang berkawan dengan penyalahguna NAPZA
 Remaja dengan motivasi belajar rendah
 Remaja yang tidak suka kegiatan ekstrakurikuler
 Remaja dengan hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan psikoseksual (pemalu,sulit
bergaul, sering masturbasi,suka menyendiri, kurang bergaul dengan lawan jenis).
 Remaja yang mudah menjadi bosan,jenuh,murung.
 Remaja yang cenderung merusak diri sendiri
3) Keluarga
Ciri-ciri keluarga yang mempunyai risiko tinggi,antara lain

 Orang tua kurang komunikatif dengan anak


 Orang tua yang terlalu mengatur anak
 Orang tua yang terlalu menuntut anaknya secara berlebihan agar berprestasi diluar kemampuannya
 Orang tua yang kurang memberi perhatian pada anak karena terlalu sibuk
 Orang tua yang kurang harmonis,sering bertengkar,orang tua berselingkuh atau ayah menikah lagi
 Orang tua yang tidak memiliki standar norma baik-buruk atau benar-salah yang jelas
 Orang tua yang tidak dapat menjadikan dirinya teladan
 Orang tua menjadi penyalahgunaan NAPZA

2.3.5 Gejala Klinis Penyalahgunaan Napza

a. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum dapat digolongkan
sebagai berikut :

 Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh),
mengantuk, agresif,curiga.
 Bila kelebihan disis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, nafas
lambat/berhenti, meninggal.
 Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,menguap terus menerus,diare,rasa
sakit diseluruh tubuh,takut air sehingga malas mandi,kejang, kesadaran menurun.
 Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap kesehatan dan kebersihan,
gigi tidak terawat dan kropos, terhadap bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada
pengguna dengan jarum suntik)
b. Perubahan Sikap dan Perilaku
 Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering membolos,pemalas,kurang
bertanggung jawab.
 Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau tempat kerja.
 Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu lebih dulu.
 Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu dengan anggota keluarga
lain dirumah.

 Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,kemudian menghilang.
 Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas penggunaannya,
mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik keluarga, mencuri,
mengomengompas terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi.
 Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan, pencuriga, tertutup
dan penuh rahasia

2.3.6 Tujuan Terapi Dan Rehabilitasi

a. Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA.


Tujuan ini tergolong sangat ideal, namun banyak orang tidak mampu atau mempunyai motivasi
untuk mencapai tujuan ini, terutama kalau ia baru menggunakan NAPZA pada fase-fase awal. Pasien
tersebut dapat ditolong dengan meminimasi efek-efek yang langsung atau tidak langsung dari
NAPZA. Sebagian pasien memang telah abstinesia terhadap salah satu NAPZA tetapi kemudian
beralih untuk menggunakan jenis NAPZA yang lain.
b. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps
Sasaran utamanya adalah pencegahan relaps .Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah
“clean” maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari kekeliruannya,dan ia memang telah dobekali
ketrampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan kembali, pasien akan tetap mencoba
bertahan untuk selalu abstinensia. Pelatihan relapse prevention programe, Program terapi kognitif,
Opiate antagonist maintenance therapy dengan naltreson merupakan beberapa alternatif untuk
mencegah relaps.
c. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial.
Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan (maintence)
metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi golongan ini.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kedaruratan psikiatri dibagi dalam beberapa bagian diantaranya ialah bunuh diri,gaduh atau
gelisah dan penyalahgunaan napza. Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian (Gail w. Stuart, Keperawatan Jiwa,2007). Secara garis besar bunuh diri
dapat dibagi menjadi 3 kategori besar yaitu;

1. Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri, dan bila
kegiatan itu sampai tuntas akan menyebabkan kematian

2. Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha mempengaruhi
perilaku orang lain.

3. Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung atau tidak langsung,
verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri

Setiap orang yang ingin melakukan prilaku bunuh diri biasanya melewati beberapa rentang
ataupun tahap-tahapan diantaranya: Suicidal ideation, Suicidal intent, Suicidal threat, Suicidal
gesture, Suicidal attempt dan suicide.

Sementara itu gaduh/gelisah merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan : banyak bicara,
mondar-mandir,lari-lari,loncat-loncat,destruktif dan bingung. Hal ini di sebabkan oleh : Gangguan
mental organik (delirium), psikosis fungsional, amok, gangguan panic, kebingungan post konvulsi,
reaksi disosiatif dan ledakan amarah (temper tantrum).

Kedaruratan psikiatri yang ke tiga ialah penyalahgunaan napza. NAPZA (Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan
kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta
ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks
akibat interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya
zat (NAPZA). Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single cause) Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA diantaranya ialah : factor individu, faktor
lingkungan dan faktor NAPZA itu sendiri.

3.2 Saran
Seyogyaanya perilaku bunuh diri, gelisah/gaduh dan penyalahgunaan NAPZA dapat di cegah atau
dihindarkan dengan beberapa cara diantaranya :
1. Selalu berfikiran positif akan segala hal
2. Selalu mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa
3. Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang positif
4. Jangan mencoba-coba sesuatu yang tidak baik.
DAFTAR PUSTAKA

Kusuma,Widjaja. 1997. Kedaruratan Psikiatri dalam Praktek. Jakarta : Professional Books

Tom, Kustedi.1999. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar .Bandung : Yayasan Al-Ghifari

Morgan. 1991. Segi PraktisPsikiatri. Jakarta : Bina rupa aksara

Anda mungkin juga menyukai