Anda di halaman 1dari 3

Pemeriksaan Penunjang pada Epilepsi

A. Pemeriksaan urin
Kadang-kadang serangan epilepsi disebabkan oleh kelainan ginjal yang dapat
dideteksi dengan pemeriksaan urin rutin. Pemeriksaan urin lain ialah untuk
mengetahui adanya asam amino dalam urine, misalnya pada pasien epilepsi yang
disebabkan oleh fenilketonuria atau histidinuria. Pemeriksaan ini dilakukan atas
dasar indikasi.
B. Pemeriksaan Darah
Kelainan-kelainan darah tertentu dapat menyebabkan serangan epilepsi, misalnya
anemia sickel cell, polisitemia dan leukemia. Pemeriksaan gula darah, elektrolit
darah dan ureum perlu dilakukan atas dasar indikasi. Misalnya serangan spasme
infantil dapat disebabkan oleh karena hipoglikemia. Pemeriksaan darah lain ialah
untuk mengetahui adanya infeksi intrauterin, misalnya toksoplasmosis kongenital,
rubela kongenital dan sitomegalovirus kongenital. Pemeriksaan penunjang ini
dilakukan atas dasar indikasi.
C. Pemeriksaaan Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal pada pasien epilepsi umumnya normal, pungsi lumbal
dilakukan pada pasien yang diduga menderita meningitis. Pada pasien epilepsi
dengan kelainan neurologis fokal dan tanda peninggian tekanan intrakranial
dsngst berbahaya apabila dilakukan pungsi lumbal. Pada pasien dengan proses
degeneratif pemeriksaan cairan serebrospinal dapat berguna untuk menegakkan
diagnosis, misalnya pada subacute sclerosing panencephalitis (SSPE). Bila
ditemukan zat anti terhadap morbili dalam cairan serebrospinal berarti pasien
menderita SSPE.
D. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling baik untuk menegakkan diagnosis epilepsi.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Perlu diingat bahwa tidakselalu gangguan fungsi otak dapat tercermin pada
rekaman EEG. EEG normal dapat dijumpai pada anak nyata-nyata menderita
kelainan otak, dan sebaliknya EEG abnormal dapat dijumpai pada anak normal
dan sehat. EEG abnormal ringan dan tidak khas terdapat pada 15% populasi
normal, dan kira-kira 10% pasien epilepsi mempunyai EEG normal.
Untuk mendapatkan hasil EEG yang lebih positif perlu dilakukan beberapa
prosedur aktivasi, misalnya tidur, hiperventilasi, stimulasi fotik dan lain-lain.
Aktivasi tidur akan memberikan hasil positif terutama pada pasien dengan epilepsi
psikomotor (epilepsi lobus temporalis). Aktivasi hiperventilasi akan memberikan
hasil positif terutama pada pasien epilepsi absence (petit mal). Stimulasi fotik
akan memberikan hasil positif terutama pada epilepsi centrencephalic. Ada jenis
epilepsi yang timbul apabila ada rangsangan atau suara tertentu. Aktivasi dapat
dilakukan dengan rangsangan yang sesuai, yang dapat menyebabkan timbulnya
epilepsi.
Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila terdapat:
1. Asimetri lama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2. Irama gelombang tidak teratur
3. Irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang
delta.
4. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.

Bentuk serangan epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas,


misalnya spasme infantil mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit
mal mempunyai gambaran EEG gelombang paku-ombak 3 siklus perdetik (3spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku/tajam/lambat dan
paku majemuk yang timbul secara serempak (sinkron).
Pada pasien dengan serangan intractable atau bentuk serangannya tidak khas dapat
dilakukan pemantauan EEG disertai pemantauan video. Pasien dirawat dalam
suatu ruangan yang ada videonya sambil dipasang alat EEG telemetri (jarak jauh).
Dari rekaman video kita dapat melihat bentuk serangannya, dan dari rekaman Eeg
dapat dilihat apakah sesuai dengan bentuk serangan yang terlihat. Pada perekaman
ini pasien dapat melakukan aktivitas biasa.

C. Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan ialah foto polos kepala, angiografi
serebral, Computed Tomography (CT) Scan, magnetic resonance imaging (MRI)
dan positron Emision Tomography (PET). Foto polos kepala dapat dilihat adanya
tanda peninggian tekanan intrakranial misalnya pada toksoplasmosis kongenital,
sindrom Struge-Weber dan tuberosklerosis. Pemeriksaan ini sudah banyak
ditinggalkan.
Angiografi serebral dilakukan pada pasien tertentu, yaitu pasien yang akan
dioperasi karena adanya fokus epilepsi berupa tumor, kelainan pembuluh darah
atau jaringan parut atrofik di otak. Angiografi serebral sangat jarang dilakukan.
CT-scan otak dan MRI kedua-duanya dapat mendeteksi kelainan otak dengan
baik, tetapi MRI lebih baik apabila digunakan untuk mendeteksi adanya
malformasi otak kongenital, sedangkan CT-scan lebih sensitif untuk mendeteksi
adanya fokus kalsifikasi yang kecil.
PET berbeda dengan CT-scan dan MRI, kelainan otak dapat terlihat 3 dimensi,
tetapi pemeriksaan ini masih dalam rangka penelitian. Pemeriksaan pencitraan
pada pasien epilepsi dilakukan atas dasar indikasi.
Tatalaksana epilepsi

Prinsip pengobatan epilepsi


1. Langkah pertama dalam pengobatan adalah diagnosis pasti, karena banyak
keadaan yang memperlihatkan gejala mirip epilepsi. Pengobatan umumnya
baru diberikan setelah serangan kedua. Hal ini penting karena pengobatan
epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.
2. Setelah diagnosis ditegakkan, tindakan berikutnya adalah menentukan,
jenis serangan. Setiap OAU mempunyai kekhususannya sendiri dan akan
berfaedah secara spesifik pada jenis serangan tertentu.
3. Pengobatan harus dimulai dengan satu OAE dengan dosis kecil, kemudian
dosis dinaikkan bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan
adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah. Yang
terpenting bukanlah mencapai kadar terapeutik, tetapi kadar OAE bebas
yang dapat menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan
saraf pusat. Kadar OAE bebas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor
misalnya penggunaan bersama obat lain, bahan kimia (bilirubin, asam
lemak bebas) dan distribusinya yang tergantung pada kelarutan dalam
lemak dan ikatannya dengan jaringan tubuh. Absorbsi dapat dipengaruhi
saat makan obat misalnya antasid. Dosis anak pada umumnya 50-100%
lebih besar dibandingkan dosis dewasa karena nilai ikterus yyang tinggi.
Pada umumnya didapati depresi susunan saraf pusat dan gangguan traktus
digestivus yang bersifat sementara.
4. Kegagalan OAE sering disebabkan karena non-kompliance atau tidak
minum obat menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat, dapat
diganti dengan OAE kedua. Dosis OAE kedua dinaikan bertahap,
sedangkan dosis OAE pertama diturunkan bertahap. Penurunan secara
bertahap ini bertujuan untuk mencegah timbulnya status epileptikus
(terutama fenobarbital). Bila OAE pertama perlu dihentikan dengan cepat
karena timbul efek samping yang berat, harus diberikan diazepam.
Politerapi sedapatnya dihindarkan karena:
Efek samping yang banyak (terutama di bidang intelektual)
Lebih sukar dikontrol
Kadar obat dalam darah yang lebih rendah. Setelah ditemukan
OAE yang sesuai, frekuensi pemberian disesuaikan dengan masa
paruh (fenobarbital dan fenitoin diberikan 2x sehari)

Anda mungkin juga menyukai