Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

STATUS EPILEPTIKUS

1.1 Definisi
Status epileptikus adalah keadaan kejang yang berlangsung lama dan bisa
menyebabkan penderitanya mengalami penurunan kesadaran. Kondisi ini tergolong
gawat dan perlu penanganan medis darurat karena dapat menyebabkan kerusakan
otak dan berakibat fatal. Status epileptikus bisa dialami oleh siapa saja yang lebih
rentan mengalami kejang, misalnya penderita epilepsy atau penyakit lain, seperti
infeksi otak dan trauma kepala. Selain itu, kasus status epileptikus juga lebih sering
terjadi pada orang yang berusia 50 tahun ke atas atau pada anak-anak berusia di
bawah 15 tahun.

1.2 Etiologi

a. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,


penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai
inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi
genetik.

b. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui.


Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang
mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma
West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis
berupa ensefalopati difus.

c. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang


mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan
saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh
darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan
neurodegeneratif. (Kustiowati dkk 2019, Sirven, Ozuna 2017)
1.3 Manifestasi klinis
Status epileptikus ditandai dengan kejang yang terjadi selama lebih dari 5 menit
atau berulang-ulang hingga 30 menit. Selain itu, penderita umumnya juga
mengalami penurunan kesadaran di antara kejang atau setelah kejang. Kejang bisa
terjadi dalam bentuk yang beragam
Status epileptikus ditegakkan apabila kejang yang terjadi bersifat kontinyu,
berulang dan disertai gangguan kesadaran dengan durasi kejang yang berlangsung
lebih dari 30 menit. Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena
terjadi terus menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat
kuat, kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas
sehingga apabila status epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar
kemungkinan dapat terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat
menyebabkan kematian.

1.4 Patofisiologi
Patofisiologi status epileptikus berupa proses iktogenesis atau proses terjadinya
serangan epileptik. Proses ini berawal dari eksitabilitas satu atau sekelompok neuron
akibat perubahan pada membran sel neuron. Perubahan pada kelompok neuron
tersebut menyebabkan hipereksitabilitas. Proses timbulnya eksitabilitas berbeda
pada tiap fokus epilepsi. Asal timbulnya eksitabilitas dapat berasal dari:

a. Neuron individual, yaitu neuron epileptik memiliki konduktansi Ca2+ yang


lebih tinggi yang disebabkan oleh perubahan struktur dan fungsi pada reseptor
membran post sinaptik
b. Lingkungan mikro neuronal, perubahan kadar kation dan anion ekstraselular
berupa peningkatan kadar K+ menyebabkan depolarisasi neuron dan
pengeluaran yang berlebihan
c. Populasi sel epileptik, perubahan fisiologis neuronal secara kolektif
menyebabkan produksi eksitabilitas yang progresif.

Peran Neurotransmitter
Patofisiologi status epileptiku erat kaitannya dengan peranan neurotransmiter
karena kebanyakan obat antiepilepsi bekerja mengikuti fungsi dari neurotransmiter.
Mekanisme peran neurotransmitter dalam epilepsi meliputi:

Kadar neurotransmitter γ-aminobutyric acidA (GABA) menurun pada fokus


epileptik dan pada epilepsi terjadi penurunan inhibisi terhadap reseptor GABA dan
peningkatan metabolisme GABA post sinaptik
a. Glutamat: sinaps glutamatergik berperan penting dalam fenomena epilepsi.
Aktivasi reseptor metabotropik dan ionotropik glutamat post sinaptik bersifat
pro konvulsi. Pada pasien dengan serangan absans, kadar glutamat plasma
ditemukan meningkat
b. Katekolamin: didapatkan penurunan kadar dopamin pada fokus epilepsi
sementara pemberian antidopamin mengeksaserbasi serangan epileptic.

1.5 Pathway/W.O.C
(Terlampir)

1.6 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien epilepsi antara lain
digunakan untuk membantu menunjang diagnosis ataupun mencari etiologi
epilepsi. Berikut pemeriksaan penunjang yang umum dilakukan pada pasien
epilepsi

Video-Electroencephalography (EEG)

Pemeriksaan EEG dengan rekaman video disamping tempat tidur pasien saat ini
merupakan pemeriksaan baku emas dalam mendiagnosis epilepsi. Pemeriksaan
EEG juga dapat menjadi predictor rekurensi epilepsi. Abnormalitas EEG yang
dapat menjadi prediktor rekurensi epilepsi antara lain ditemukan gambaran sebagai
berikut:
1. Epileptiform discharges
2. Focal slowing
3. Diffuse background slowing
4. Intermittent diffuse intermixed slowing

Studi Prolaktin

Kadar prolaktin diketahui meningkat pada pasien yang mengalami kejang epileptik.
Kadar prolaktin dapat meningkat 3 hingga 4 kali lipat pada pasien dengan tipe
kejang tonik klonik generalisata. Pemeriksaan ini bertujuan untuk membedakan
kejang yang terjadi bersifat epileptik atau non epileptik, contohnya
akibat psychogenic nonepileptic seizure yang biasa ditemukan pada orang dewasa
dan anak remaja.

Studi Neuroimaging

Studi neuroimaging yang dilakukan pada pasien epilepsi adalah


pemeriksaan Computed tomography (CT)-Scan dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) yang berguna dalam mendeteksi adanya lesi pada otak yang
menjadi pemicu terjadinya epilepsi, contohnya tumor otak.
Bila dari pemeriksaan fisik neurologis tidak ditemukan kelainan, ditambah lagi
tidak ditemukan adanya kelainan motorik maupun kognitif diantara episode
epilepsi, lebih disarankan untuk dilakukan pemeriksaan MRI dibanding CT Scan,
karena MRI lebih mampu mendeteksi abnormalitas anatomi yang lebih kecil.
Contohnya seperti displasia korteks dan gangguan perkembangan korteks lainnya,
gliosis, serta penurunan neuron dengan manifestasi sebagai atrofi fokal.

1.7 Diagnosa banding


Diagnosis banding untuk diagnosa epilepsi antara lain sebagai berikut:
a. Syncope
Syncope dapat terjadi Bersama kondisi inkontinensia dan gerakan
ekstremitas yang bersifat involunter, sehingga dapat disalah artikan sebagai
kejang. Berbeda dengan kejang, syncope umumnya berhubungan dengan posisi
berdiri dalam waktu lama, disertai rasa penglihatan berkunang-kunang,
penurunan pendengaran, mual, diaphoresis, serta pasien tampak pucat.
Sedangkan kejang dapat terjadi pada pasien dalam posisi apapun, serta
pemulihan lebih lambat serta dapat disertai dengan gejala post iktal.
b. Gangguan Irama Jantung
Gangguan irama jantung yang dapat menyebabkan kondisi pingsan
seperti kejang adalah transient atrioventricular (AV) blocks, sindrom Brugada,
dan gelombang QT yang memanjang, kondisi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya episode ventrikular takikardi atau fibrilasi ventrikel.
Pada kondisi gangguan irama jantung ini, serangan umumnya terjadi
setelah pasien melakukan aktivitas fisik, dengan tanda klinis awal berupa
palpitasi, nyeri dada dan tanda presyncope. Diagnosis pada kondisi ini dapat
disingkirkan dengan pemeriksaan elektrokardiografi.
c. Nonepileptic Attack Disorder
Non-epileptic attack disorder paling sering terjadi pada wanita dalam
rentang usia 15 hingga 35 tahun. Pada gangguan ini umumnya pasien akan
melakukan Gerakan tidak beraturan pada bagian kepala dan pelvis, dengan
kedua mata yang cenderung menutup. Saksi mata umumnya akan mengira ini
adalah kejang tonik-klonik. Gerakan dapat berlangsung dalam waktu lama tetapi
pasien akan pulih dalam waktu yang relatif cepat tanpa adanya reaksi postictal.

1.8 Komplikasi
Komplikasi Epilepsi yang terjadi pada penderita di tempat-tempat yang tidak
terduga, dapat membuat penderita berisiko menderita cedera atau patah tulang
akibat terjatuh saat kejang. Selain bahaya cedera, penderita epilepsi dapat
mengalami komplikasi seperti epileptikus dan kematian mendadak
1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan epileptikus bertujuan untuk menghilangkan serangan kejang pada
pasien epilepsi tanpa disertai efek samping bermakna. Tatalaksana epilepsi secara
umum dapat dibagi menjadi terapi farmakologi dan terapi non farmakologi.[13]
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian obat anti epilepsi,
yang dapat diberikan secara monoterapi atau politerapi. Keuntungan pengobatan
monoterapi adalah efek samping yang timbul lebih sedikit serta biaya yang jelas
lebih murah. Hanya saja berdasarkan hasil studi yang ada, pasien yang memberikan
respon terapi yang baik berupa penurunan episode kejang hanya 70% saja. Bila
pasien tetap tidak merespon setelah pemberian double terapi, pemberian triple terapi
angka keberhasilan hanya < 5%.

1.10 Konsep keperawatan


1.1.1 pengkajian
1. Identitas pasien
2. Keluhan utama
Pada umumnya klien panas yang meninggi disertai kejang (Hipertermi).
3. Riwayat penyakit sekarang
Menanyakan tentang keluhan yang dialami sekarang mulai dari panas, kejang,
kapan terjadi, berapa kali, dan keadaan sebelum, selama dan setalah kejang.
4. Riwayat penyakit yang pernah diderita
Penyakit yang diderita saat kecil seperti batuk, pilek, panas. Pernah dirawat
dinama, tindakan apa yang dilakukan, penderita pernah mengalami kejang
sebelumnya, umur berapa saat kejang.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan pada keluarga tentang di dalam keluarga ada yang menderita penyakit
yang diderita oleh klien seperti kejang atau epilepsy

6. Riwayat Alergi
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu
dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi
hipersensitif. Bila terdapat semacam “rash” perlu dibedakan apakah ini terbatas
karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau
karena efek
hipersensitif yang sifatnya lebih luas.
7. Riwayat Pengobatan
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan
bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa
lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek
sampingnya.
8. Riwayat Psiko Sosial
Peran terhadap keluarga akan menurun yang diakibatkan oleh adanya perubahan
kesehatan sehingga dapat menimbulkan psikologis klien dengan timbul gejala-
gejala yang di alami dalam proses penerimaan terhadap penyakitnya.
9. Riwayat Imunisasi
Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan akan
timbulnya komplikasi dapat dihindari.
1.1.2 Diagnosa
1. Hipertermi
2. Resiko cedera
3. Defisiensi pengetahuan
1.1.3 perencanaan
N SDKI SLKI SIKI
o
1 Hipertermia Setelah diberikan asuhan 1. Observasi tanda tanda
keperawatan selama 3x24 vital.
jam masalah hipertermi 2. Berikan pengetahuan pada
dapat teratasi dengan keluarga tentang
kriteria hasil: peningkatan suhu tubuh
s s yang terjadi dan untuk
indikator
a t mengurangi kecemasan.
Ttv dalam batas 3 5 3. Ajarkan ibu memberikan
nornal banyak minum air putih
Turgor kulit 4 5
pada anak.
4. Berikan kompres hangat
pada dahi dan ketiak.
5. Kolaborasi dengan
dokter untuk
pemberian obat.

DAFTAR PUSTAKA

AHRQ. Project Title: Evaluation of Effectiveness and Safety of Antiepileptic


Medications in Patients With Epilepsy. Effective Health Care Program. 2010.

Arain, AM. Diagnosis and Management of Epilepsy in Elderly Patients.


Epilepsy Board Review Manual. Stafford Avenue: Turner White
Communication; 2015. Aswar A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Epilepsi

Lobus Temporal Potensial Resisten Obat. [Tesis]. Jakarta: Universitas


Indonesia; 2015.
Behnoush B, Taghadosinejad F, Arefi M, Shahabi M, Jamalian M, Kazemifar
AM. Prevalence and Complications of Drug induced Seizures in Baharloo
Hospital, Tehran, Iran. Iranian Journal of Toxicology. 2012;6(16):588-593. Berg

AT, Millichap JJ. The 2010 Revised Classification of Seizures and Epilepsy.
American Academy of Neurology. 2013;19(3):571-597.

BPJS Kesehatan. Panduan Praktis Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN.
Jakarta: BPJS Kesehatan; 2014.

Bruscky IS, Leite RA, Corrreia CC, Ferreira MB. Characterization of Epilepsy
with Onset after 60 Years of Age. Original Articles. 2016;19(2):343-347.

Calisir N., Bora I., Irgil E., Boz M. Prevalence of Epilepsy in Bursa City
Center, an Urban Area of Turkey. Epilepsia. 2006;47:1691-1699 Corwin E.
Buku Saku Patofisiologi.

Jakarta, Indonesia: EGC; 2009. Deirfana, R, Andriane. Y, Sastramigardja. H,


Tursina. A, Nurimaba. N. Karakteristik Penderita Epilepsi dan Pola Penggunaan
Obat Anti Epilepsi di RSUD Al-Ihsan Bandung Periode 2015-2017.

Prosiding Pendidikan Dokter. 2017;4(2):216-225. Epilepsy Foundation. Type of


Seizures. New York, USA: Epilepsy Foundation of America; 2009.

Fortenberry D. New Onset Seizures in Adults : A guide to Understanding


Seizures. Newport Beach, California: Hoag Neurosciences Institute; 2010.

Anda mungkin juga menyukai