Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN MYELORADIKULOPATI DI RUANG AZALEA


RS HASAN SADIKIN BANDUNG

Di susun guna memenuhi tugas Program Studi D3 Keperawatan


Stase Keperawatan Medikal Bedah II

Di Susun Oleh :
Ahmad Alvian
72020040007

Di Susun Oleh :
Nama : Muhammad Yani Fathkurahman
NIM : 222020010044
Prodi : D3 Keperawatan

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN AJARAN 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Anatomi :
Tulang belakang adalah struktur yang kompleks, yang terbagi menjadi bagian anterior dan
posterior. Tulang belakang terdiri dati korpus vertebra, dihubungkan oleh diskus
intervertebralis, dan dilekatkan oleh ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Bagian
posterior lebih lunak dan terdiri dari pedikulus dan lamina yang membentuk kanalis
spinalis. Bagian posterior dihubungkan satu sama lain oleh sendi facet (disebut juga sendi
apofisial atau zygoapofisial) superior dan inferior (Ropper, 2020). Punggung terdiri dari
aspek posterior batang tubuh, di sebelah inferior leher dan superior bokong (L. nates).
Punggung merupakan regio tubuh yang menjadi tempat perlekatan kepala, leher, dan
ekstremitas. Punggung meliputi:
 Kulit dan jaringan subkutan
 Otot: lapisan superfisial, terutama dihubungkan dengan posisi dan pergerakan
ekstremitas, dan lapisan yang lebih dalam (“otot punggung sejati”), secara spesifik
duhubungkan dengan pergerakan atau untuk mempertahankan posisi tulang rangka
aksial (postur)
 Columna vertebralis: vertebra, discus intervertebralis (IV), dan ligament-ligamen
terkait
 Costa (di regio toraks): terutama bagian posteriornya, di sebelah medial angulus
costae
 Medulla spinalis dan meninges (membrane yang melapisi medulla spinalis)
 Berbagai saraf dan pembuluh darah segmental (Keith & Arthur, 2018).

Fisiologi :
 Melindungi medulla spinalis dan nervi spinales
 Menopang berat badan tubuh di sebelah posterior terhadap pelvis
 Memberikan aksis fleksibel dan kaku sebagian untuk tubuh dan dasar yang diperluas
untuk tempat kepala dan pusat perputaran
 Berperan penting pada postur dan lokomasi (gerakan dari satu tempat ke tempat
lain) (Keith & Arthur, 2018)
B. PENGERTIAN
Myeloradiculopathy merupakan penyakit medula spinalis dan radiks nervus spinalis
(Kamus saku Kedokteran Dorland). Myeloradiculopathy merupakan kerusakan atau
sindroma klinik karena kerusakan pada medula spinalis ataupun pada akar persyarafan
(Urip Rahayu). Myeloradiculopathy merupakan gangguan pada medula spinalis dan
gangguan pada akar medula spinalis (Cecep). Jadi, myeloradiculopathy adalah
kerusakan atau penyakit karena kerusakan atau gangguan atau trauma pada
medula spinalis dan gangguan pada akar medula spinalis.
Trauma pada medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebra, dan
lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, dan sebagainya (Arif Muttaqin, 2020, hal. 98).

C. ETIOLOGI
Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu :
a. kecelakaan kendaraan, industry
b. terjatuh, olahraga, menyelam
c. luka tusuk, tembak
d. tumor

D. TANDA & GEJALA


Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang
leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien sering mengatakan takut kalau
leher atau punggungnya patah. Cedera saraf spinal dapat menyebabkan gambaran
paraplegia atau quadriplegia. Akibat dari cedera kepala bergantung pada tingkat cedera
pada medulla dan tipe cedera.
Tingkat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan motorik
bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik bagian bawah mengalami paralysis sensorik
dan motorik otak, kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar (biasanya terjadi
retensi urin atau distensi kandung kemih, penurunan keringat dan tonus vasomotor, dan
penurunan
terjadi retansi urin dan distensi kandung kemih , penurunan keringat dan tonus
vasomotor, dan penurunan tekanan darah diawali dengan retensi vaskuler perifer.
Pada pernapasan timbul gejala napas pendek, kekurangan O2, sulit bernapas, dan
timbul tanda pucat, sianosis.

E. PATOFISIOLOGI
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari komosio sementara (di mana pasien
sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan kompresi substabsia medulla
(baik salah satu atau dalam kombinasi) sampai transeksi lengkap medulla ( yang
membuat pasiaen paralysis dibawah tingkat cedera)
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes
kekstrakaudal, subdural atau subarakhnoid pada kanal spinal. Segera setelah terjadi
kontusion atau robekan akibat cedera, serabut –serabut saraf mulai membengkak dan
hancur. Sirkulasi darah dan subtansia grisea medulla spinalis, tetapi proses patogenik
dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera pembuluh darah medulla
spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menimbulkan kerusakan yang terjadi pada
cedera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian–kejadian yang
menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang pada gilirannya
menyepabkan kerusakan meilin dan akson.
Reaksi ini diyakini menjadi penyebab prinsip degenarasi medulla spinalis pada
tingkat cedera, sekarang dianggap reversible sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu
jika kerusakan medulla tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali
pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat–obat antiimflamasi lainnya
yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari perkembangannya, masuk
kedalam kerusakan total dan menetap.
F. PATHWAY
Mekanisme trauma : kecelakaan, terjatuh, olahraga, luka tusuk, tumor

hemoragi

serabut membengkak/hancur

cedera

putusnya saraf perdarahan pada sumsum reaksi peradangan


tulang hematomiela
agen-agen peradangan
Intoleransi
aktivitas perpindahan cairan dr intraseluler (bradikinin)
ke ekstraseluler
sensasi nyeri
sindroma kompartemen
Nyeri
akut
Resiko perfusi
jaringan serebral
tidak efektif

(Amin Hadi aplikasi SDKI, 2018)


G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar X-Spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), unutk
kesejajaran,
reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi)
2. Scan CT
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
3. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
4. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid
medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
5. Foto rontgen Thorax, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada
diafragma, atelektasis)
6. Pemeriksaan fungsi paru(kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian
bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus/otot
interkostal).
7. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
H. PENATALAKSANAAN
Trauma tulang belakang bila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan
kematian atau kelainan yang menetap berupa kelumpuhan yang permanent.
Kelumpuhan yang terjadi mempunyai dampak perawatan yang rumit dan
memerlukan banyak peralatan. Ada dua tujuan utama penanganan cedera tulang
belakang :
1. Tercapainya tulang belakang yang stabil serta tidak nyeri
2. Mencegah terjadinya jejas lintang sumsum tulang belakang sekunder. Tindakan
yang dilakukan untuk penanganan cedera tulang belakang :
a. Lakukan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan).
b. Optimalisasi faal ABC: jalan nafas, pernafasan dan peredaran darah.
c. Penanganan kelainan yang lebih urgen (pneumotorak)
d. Pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi
e. Pemeriksaan radiologik (kadang diperlukan)
f. Tindak bedah (dekompresi, reposisi atau stabilisasi)
g. Pencegahan penyulit
 Ileus paralitik → sonde lambung
 Penyulit kelumpuhan kandung kemih
 Pneumoni
 Dekubitus

I. Pengkajian
1. Biodata : nama, umur, pekerjaan, alamat
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Pengkajian fisik

J. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Agen pencedera fisiologis (mis. infarmasi, lakemia,
neoplasma), Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan),
Agen pencedera fisik (mis.abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat
berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan) (D.0077)
2. Resiko perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d Keabnormalan masa protrombin
dan/atau masa tromboplastin parsial, Koagulopati (mis. anemia sel sabit),
Dilatasi kardiomiopati, hipertensi, infark miokard akut (D.0017)
3. Intoleransi aktivitas b.d Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen, Tirah baring, Kelemahan, Imobilitas, Gaya hidup monoton (D.00056)
K. Intervensi Keperawatan
N DX KEP Tujuan & KH Intervensi
O
1 Nyeri b.d Agen Setelah dilakukan A. MANAJEMEN NYERI
pencedera fisiologis tindakan keperawatan 1. Observasi
(mis. infarmasi, selama ...X24 jam
lakemia, diharapkan nyeri  lokasi, karakteristik,

neoplasma), Agen berkurang dengan KH : durasi, frekuensi,

pencedera kimiawi kualitas, intensitas


1. Klien nyeri
(mis. terbakar,
melaporkan  Identifikasi skala nyeri
bahan kimia iritan),
nyeri berkurang
Agen pencedera  Identifikasi respon
2. Klien tidak
fisik (mis.abses, nyeri non verbal
tampak gelisah
amputasi, terbakar,  Identifikasi faktor yang
3. TTV dalam
terpotong, memperberat dan
batas normal
mengangkat berat, memperingan nyeri
prosedur operasi,  Identifikasi
trauma, latihan fisik pengetahuan dan
berlebihan) keyakinan tentang
(D.0077) nyeri
 Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
 Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
 Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik

2. Terapeutik
 Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi
musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma
terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
 Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan
tidur
 Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri

3. Edukasi

 Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
 Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

4. Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

B. PEMBERIAN ANALGETIK
1. Observasi

 Identifikasi
karakteristik nyeri
(mis. Pencetus, pereda,
kualitas, lokasi,
intensitas, frekuensi,
durasi)
 Identifikasi riwayat
alergi obat
 Identifikasi kesesuaian
jenis analgesik (mis.
Narkotika, non-
narkotika, atau
NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
 Monitor tanda-tanda
vital sebelum dan
sesudah pemberian
analgesic
 Monitor efektifitas
analgesik

2. Terapeutik

 Diskusikan jenis
analgesik yang disukai
untuk mencapai
analgesia optimal, jika
perlu
 Pertimbangkan
penggunaan infus
kontinu, atau bolus
opioid untuk
mempertahankan kadar
dalam serum
 Tetapkan target
efektifitas analgesic
untuk mengoptimalkan
respon pasien
 Dokumentasikan
respon terhadap efek
analgesic dan efek
yang tidak diinginkan

3. Edukasi

 Jelaskan efek terapi


dan efek samping obat

4. Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis
analgesik, sesuai
indikasi
2. Resiko perfusi Setelah dilakukan MANAGEMEN PENINGKATAN
jaringan serebral tidak tindakan keperawatan TEKANAN INTRAKRANIAL
efektif b.d selama ...X24 jam (I.06194)
Keabnormalan masa diharapkan masalah Observasi
protrombin dan/atau pola nafas teratasi 1. Identifikasi penyebab
masa tromboplastin dengan KH : peningkatan TIK (misalnya:
parsial, Koagulopati lesi, gangguan metabolism,
1. Tingkat
(mis. anemia sel edema serebral)
kesadaran
sabit), Dilatasi 2. Monitor tanda/gejala
meningkat
kardiomiopati, peningkatan TIK (misalnya:
2. Sakit kepala
hipertensi, infark tekanan darah meningkat,
menurun
miokard akut tekanan nadi melebar,
3. Gelisah menurun
(D.0017) bradikardia, pola napas
4. Tekanan arteri
ireguler, kesadaran menurun)
rata-rata (mean
3. Monitor MAP (mean arterial
arterial
pressure) (LIHAT: Kalkulator
pressure/MAP)
MAP)
membaik
4. Monitor CVP (central venous
5. Tekanan intra
pressure)
kranial membaik
5. Monitor PAWP, jika perlu
6. Monitor PAP, jika perlu
7. Monitor ICP (intra cranial
pressure)
8. Monitor gelombang ICP
9. Monitor status pernapasan
10. Monitor intake dan output
cairan
11. Monitor cairan serebro-
spinalis (mis. Warna,
konsistensi)
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari manuver valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan PEEP
6. Hindari pemberian cairan IV
hipotonik
7. Atur ventilator agar PaCO2
optimal
8. Pertahankan suhu tubuh
normal
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi
dan antikonvulsan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian diuretik
osmosis, jika perlu
3. Kolaborasi pemberian pelunak
tinja, jika perlu

PEMANTAUAN TEKANAN
INTRAKRANIAL (I.06198)

Observasi
1. Identifikasi penyebab
peningkatan TIK (mis: lesi
menempati ruang, gangguan
metabolisme, edema serebral,
peningkatan tekanan vena,
obstruksi cairan serebrospinal,
hipertensi intracranial
idiopatik)
2. Monitor peningkatan TS
3. Monitor pelebaran tekanan
nadi (selisih TDS dan TDD)
4. Monitor penurunan frekuensi
jantung
5. Monitor ireguleritas irama
napas
6. Monitor penurunan tingkat
kesadaran
7. Monitor perlambatan atau
ketidaksimetrisan respon pupil
8. Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalam rentang
yang diindikasikan
9. Monitor tekanan perfusi
serebral
10. Monitor jumlah, kecepatan,
dan karakteristik drainase
cairan serebrospinal
11. Monitor efek stimulus
lingkungan terhadap TIK
Terapeutik
1. Ambil sampel drainase cairan
serebrospinal
2. Kalibrasi transduser
3. Pertahankan sterilitas sistem
pemantauan
4. Pertahankan posisi kepala dan
leher netral
5. Bilas sistem pemantauan, jika
perlu
6. Atur interval pemantauan
sesuai kondisi pasien
7. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

3. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan A. MANAJEMEN ENERGI (I.


b.d tindakan keperawatan 05178)
Ketidakseimbangan selama ...X24 jam 1. Observasi
antara suplai dan diharapkan gangguan
kebutuhan oksigen, intoleransi aktivitas  Identifkasi gangguan

Tirah baring, teratasi dengan KH : fungsi tubuh yang

Kelemahan, mengakibatkan
1. Klien tidak kelelahan
Imobilitas, Gaya
mengeluh lelah  Monitor kelelahan fisik
hidup monoton
2. Frekuensi dan emosional
(D.00056)
jantung
 Monitor pola dan jam
meningkat
tidur
>20% dari
 Monitor lokasi dan
kondisi sehat
ketidaknyamanan
3. Klien tidak
selama melakukan
merasa lelah
aktivitas
4. TTV dalam
batas normal 2. Terapeutik

 Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus (mis. cahaya,
suara, kunjungan)
 Lakukan rentang gerak
pasif dan/atau aktif
 Berikan aktivitas
distraksi yang
menyenangkan
 Fasilitas duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan

3. Edukasi

 Anjurkan tirah baring


 Anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
 Anjurkan
menghubungi perawat
jika tanda dan gejala
kelelahan tidak
berkurang
 Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan

4. Kolaborasi

 Kolaborasi dengan ahli


gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan

B. TERAPI AKTIVITAS (I.05186)


1. Observasi

 Identifikasi deficit
tingkat aktivitas
 Identifikasi
kemampuan
berpartisipasi dalam
aktivotas tertentu
 Identifikasi sumber
daya untuk aktivitas
yang diinginkan
 Identifikasi strategi
meningkatkan
partisipasi dalam
aktivitas
 Identifikasi makna
aktivitas rutin (mis.
bekerja) dan waktu
luang
 Monitor respon
emosional, fisik, social,
dan spiritual terhadap
aktivitas

2. Terapeutik

 Fasilitasi focus pada


kemampuan, bukan
deficit yang dialami
 Sepakati komitmen
untuk meningkatkan
frekuensi danrentang
aktivitas
 Fasilitasi memilih
aktivitas dan tetapkan
tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai
kemampuan fisik,
psikologis, dan social
 Koordinasikan
pemilihan aktivitas
sesuai usia
 Fasilitasi makna
aktivitas yang dipilih
 Fasilitasi transportasi
untuk menghadiri
aktivitas, jika sesuai
 Fasilitasi pasien dan
keluarga dalam
menyesuaikan
lingkungan untuk
mengakomodasikan
aktivitas yang dipilih
 Fasilitasi aktivitas fisik
rutin (mis. ambulansi,
mobilisasi, dan
perawatan diri), sesuai
kebutuhan
 Fasilitasi aktivitas
pengganti saat
mengalami
keterbatasan waktu,
energy, atau gerak
 Fasilitasi akvitas
motorik kasar untuk
pasien hiperaktif
 Tingkatkan aktivitas
fisik untuk memelihara
berat badan, jika sesuai
 Fasilitasi aktivitas
motorik untuk
merelaksasi otot
 Fasilitasi aktivitas
dengan komponen
memori implicit dan
emosional (mis.
kegitan keagamaan
khusu) untuk pasien
dimensia, jika sesuai
 Libatkan dalam
permainan kelompok
yang tidak kompetitif,
terstruktur, dan aktif
 Tingkatkan
keterlibatan dalam
aktivotasrekreasi dan
diversifikasi untuk
menurunkan
kecemasan ( mis. vocal
group, bola voli, tenis
meja, jogging,
berenang, tugas
sederhana, permaianan
sederhana, tugas rutin,
tugas rumah tangga,
perawatan diri, dan
teka-teki dan kart)
 Libatkan kelarga dalam
aktivitas, jika perlu
 Fasilitasi
mengembankan
motivasi dan penguatan
diri
 Fasilitasi pasien dan
keluarga memantau
kemajuannya sendiri
untuk mencapai tujuan
 Jadwalkan aktivitas
dalam rutinitas sehari-
hari
 Berikan penguatan
positfi atas partisipasi
dalam aktivitas

3. Edukasi

 Jelaskan metode
aktivitas fisik sehari-
hari, jika perlu
 Ajarkan cara
melakukan aktivitas
yang dipilih
 Anjurkan melakukan
aktivitas fisik, social,
spiritual, dan kognitif,
dalam menjaga fungsi
dan kesehatan
 Anjurkan terlibat
dalam aktivitas
kelompok atau terapi,
jika sesuai
 Anjurkan keluarga
untuk member
penguatan positif atas
partisipasi dalam
aktivitas

4. Kolaborasi

 Kolaborasi dengan
terapi okupasi dalam
merencanakan dan
memonitor program
aktivitas, jika sesuai
 Rujuk pada pusat atau
program aktivitas
komunitas, jika perlu

L. Referensi

Wong, DL et al. 2020. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Vol.2. Jakarta: EGC.
Mubarak,W.I dan Chayatin, N. 2020. Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC
Andarmoyo, Sulistyo.2022. Keperawatan Medikal Bedah,edisi Pertama.Yogyakarta:
Graha Ilmu
Tarwoto, Wartonah (2018). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2019). NANDA international Nursing
Diagnoses: Definitions & classification, 2017-2019. Oxford : Wiley
Blackwell.
Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2019).Medical surgical
Nursing. Mosby: ELSIVER
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), 
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai