Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR


VERTEBRAE LUMBAL 1 DI RUANG 19 RUMAH SAKIT
SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh:
Syahrul Abdul Yazid, S.Kep.
NIM. 192311101007

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................


LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ASUHAN KEPERAWATAN ...........................
DAFTAR ISI ......................................................................................................
LAPORAN PENDAHULUAN .........................................................................
A. Konsep Teori Penyakit ..................................................................................
a. Anatomi Fisiologi ...................................................................................
b. Definisi Penyakit .....................................................................................
c. Epidemiologi ...........................................................................................
d. Etiologi ....................................................................................................
e. Klasifikasi ...............................................................................................
f. Patofisiologi/Patologi ..............................................................................
g. Manifestasi Klinis ...................................................................................
h. Pemeriksaan Penunjang ..........................................................................
i. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi .............................
B. Clinical Pathway ...........................................................................................
C. Konsep Asuhan Keperawatan .......................................................................
a. Assessment/Pengkajian ...........................................................................
b. Diagnosa Keperawatan............................................................................
c. Intervensi Keperawatan ...........................................................................
d. Evaluasi Keperawatan .............................................................................
D. Daftar Pustaka ...............................................................................................

\
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Tugas Program Profesi Ners Stase Keperawatan Bedah yang disusun
oleh:

Nama : Syahrul Abdul Yazid


NIM : 192311101007
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Fraktur Vertebrae Lumbal 1
Di Ruang 19 Rumah Sakit Saiful Anwar Malang

telah diperiksa dan disahkan pada:

Hari : Kamis
Tanggal : 2 Januari 2020

Malang, 2 Januari 2020

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

Ns.Baskoro Setioputro, M.Kep.,


NIP

Mengetahui,
Kepala Ruangan
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori Penyakit


a. Anatomi Fisiologi
Tulang belakang atau vertebrae merupakan satu kesatuan yang kuat
diikat oleh ligamen di depan dan di belakang serta dilengkapi diskus
intervertebralis yang mempunyai daya absorbsi tinggi terhadap tekanan
atau trauma yang memberikan sifat fleksibel dan elastis. Vertebra dimulai
dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher,
punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan
sternum). Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan
pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4
coccigeal. Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut
syaraf, menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi
tubuh. (Moore, 2002).

Gambar 1. Anatomi vertebrae dilihat dari anterior, left lateral, dan posterior (Pearce, 2009)
b. Definisi
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang umumnya
diakibatkan oleh adanya trauma (Tambayong, 2000). Fraktur adalah patah
tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya (Brunner dan Suddart, 2000 dalam Suratun dkk, 2008).
Adapun fraktur vertebra adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang vertebra. Menurut Patel (2007), fraktur dapat menyebabkan
fragmen tulang terpisah dari vertebra atau mengalami penekanan disertai
hilangnya ketinggian pada badan vertebra yang seringkali disertai
desakan/jepitan di bagian anterior. Fragmen-fragmen tulang dapat bergeser
ke posterior ke dalam kanalis spinalis sehingga menyebabkan gejala
neurologis.

Gambar 2. Contoh Fraktur Vertebrae: Fraktur Kompresi pada T12 (Kiri) dan Fraktur Vertebra
Berat dengan Fragmen Tulang pada Kanalis Spinalis (Kanan) (Patel, 2007).

c. Epidemiologi
Menurut Widhiyanto dkk (2019) berdasarkan data tahun 2014 –
2017 didapatkan sebanyak 442 pasien mengalami fraktur vertebra di RS
Dr. Soetomo Surabaya, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan
sebesar 3,3:1. Rata-rata usia pasien adalah 43,6 tahun. Penyebab fraktur
vertebra adalah akibat jatuh dari ketinggian (38%), kecelakaan lalu lintas
(34%) dan benturan langsung/tertimpa beban (10%). Berdasarkan level
fraktur, fraktur terbanyak sejumlah 153 pasien (34,6%) pada level lumbal.
Berdasarkan subtype frakturnya, fraktur tipe A (kompresi atau burst)
merupakan jenis fraktur yang paling banyak terjadi (91,5%) dan
diakibatkan jatuh dari ketinggian.

d. Etiologi
Menurut Harrison (2008) dalam Wibowo (2015) adapun fraktur
vertebra dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1) Trauma langsung atau tidak langsung yang diakibatkan oleh
kecelakaan atau injury.
2) Fraktur patologis: dapat diakibatkan oleh osteoporosis pada orang
lanjut usia, penderita tumor atau infeksi.
3) Fraktur stress atau fatigue fracture: disebabkan adanya peningkatan
drastis latihan atau pada pemulaan aktivitas baru.

e. Klasifikasi
Menurut Sujana dan Mahardika (2016) fraktur yang terjadi pada tulang
belakang disebabkan oleh trauma dengan mekanisme arah gaya tertentu.
Gaya yang umum terjadi pada trauma kolumna vertebra yaitu:
1) Kompresi axial
Kompresi axial menyebabkan dua tipe fraktur pada vertebra,
fraktur kompresi dan fraktur tipe burst. Penyebab tersering dari trauma
dengan mekanisme kompresi axial adalah kecelakaan lalu lintas dan
jatuh dari ketinggian. Fraktur kompresi terjadi akibat dari gaya axial
secara langsung pada pertengahan kolumna vertebra menghasilkan
wedge compression fracture dan menyebabkan adanya deformitas
kifosis pada tulang belakang.
Sedangkan fraktur tipe burst adalah fraktur vertical dengan
pergeseran sentripetal dari fragmennya, yang terjadi ketika beban axial
pada tubuh menghasilkan gaya fleksi pada vertebra thorakalis yang
khypotik, gaya kompresi dialami secara lurus oleh kolumna vertebra.
Pergeseran maju dan mundur fragmen tulang ke kanalis spinalis akan
menyebabkan deficit neurologi.

Gambar 3. Fraktur Kompresi (Kiri) dan Fraktur Burst (Kanan)

2) Fleksi dan distraksi (Jack Knife Injury, Seat-belt Injury, Chance


Injury)
Gaya fleksi menyebabkan kompresi eksentrik korpus vertebra dan
diskus serta menghasilkan regangan pada elemen posterior. Sumbu
gaya fleksi bergerak ke depan dan seluruh kolumna vertebra
mengalami gaya regangan yang kuat. Gaya ini akan menghasilkan lesi
murni pada tulang, lesi tulang dan ligament (osteoligament) dan lesi
murni jaringan lunak. Sementara distraksi menghasilkan horizontal
disrupture pada elemen anterior dan posterior. Mekanisme fleksi
distraksi dapat terjadi pada kecelakaan lalu lintas dimana korban
menggunakan sabuk pengaman pada pinggang. Trauma ini sering juga
disertai dengan lesi pada organ viscera.
Gambar 4. Fraktur Chance
3) Hiperekstensi
Fraktur tipe ini dibagi menjadi dua yaitu posterior dan anterior
distraksi. Fraktur tipe distraksi anterior terjadi akibat gaya
hiperekstensi yaitu ketika bagian atas tubuh mendongak ke posterior
dan menghasilkan trauma yang berkebalikan dengan mekanisme fleksi.
Keadaan ini membuat adanya kerusakan dari bagian anterior hingga ke
posterior sehingga juga menghasilkan fraktur dari facet, lamina dan
prosesus spinosus serta menyebabkan susunan tulang belakang
menjadi sangat tidak stabil. Trauma ini sering disebabkan karena
tertimpa beban atau adanya benturan di bagian tengah dari punggung
pasien.
4) Fleksi dislokasi, rotasi dan shear
Karakteristik dari fraktur jenis ini yaitu kerusakan dari ketiga
kolum pada vertebra yang disebabkan oleh gaya kompresi, rotasi,
regangan dan pergeseran. Gaya kompresi dan fleksi – distraksi dapat
terjadi bersamaan dengan gaya rotasi dan menghasilkan rotational
fracture dislocation. Keadaan ini menimbulkan sublukasi dan dislokasi
pada vertebra. Trauma jenis ini biasanya disebabkan oleh benturan
dengan energi besar yang membentur bagian punggung atau
kecelakaan kendaraan yang menyebabkan korban terlempar jauh dan
berbenturan dengan benda keras.
Pada tipe fleksi dislokasi, terjadi kerusakan pada kolum posteriror
dan kolum tengah akibat regangan dan rotasi, kolum anterior
mengalami kompresi dan kerusakan. Pada tipe shear (pergeseran), satu
korpus vertebra bergerak ke arah depan (posteroanterior) atau ke arah
belakang (anteroposterior). Pada tipe fleksi distraksi mirip dengan
mekanisme fleksi distraksi seat belt type, namun pada fraktur dislokasi
disertai robekan total pada seluruh annulus fibrosis sehingga korpus
vertebra bergeser.

Gambar 5. Fraktur Rotasi dan Fraktur Shear.

f. Patofisiologi/Patologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan
mobil, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit
(Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat
menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek
trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi
pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah
gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang
secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis
bawah maupun torakalis bawah misalnya pada waktu duduk di kendaraan
yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, pada saat
jatuh dari ketinggian dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar
karena eksplosi atau fraktur dislokasi yang dapat mengakibatkan
paraplegia. Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa
hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12 sampai
L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat
sementara atau menetap. Medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk
sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan
perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada kerusakan
medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat
terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasi dan pembengkakan daerah
tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma
tulang belakang secara langsung karena dapat mematahkan/menggeserkan
ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla
spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah perdarahan
dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat di
substansia grisea. Kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi,
medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma
ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang
yang patah yang terselip di antara duramater dan kolumna vertebralis.
Gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis
akibat tumor, kista dan abses di dalam kanalis vertebralis. Akibat
hiperekstensi dislokasi, fraktur dan whiplash, radiks saraf spinalis dapat
tertarik dan mengalami jejas/reksis sehingga terjadi nyeri radikuler
spontan yang bersifat hiperpatia. Gambaran tersebut disebut hematorasis
atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus
akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik
yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama
radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada
dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistem
anastomosis anterial anterior spinal.
Pada fraktur remuk (burst fractures) fraktur yang terjadi ketika ada
penekanan corpus vertebralis secara langsung, dan tulang menjadi hancur
frakmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinalis. Terminologi fraktur
ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis ke arah luar yang
disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur
kompresi. Tepi tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan
medulla spinalis untuk cidera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke
medulla spinalis dan dapat menekan medulla spinalis dan menyebabkan
paralisis atau gangguan syarat parasial. Tipe burst fractures sering terjadi
pada thoraco lumbar juction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan
defekasi ataupun miksi (Apley, 2009 dalam Wibowo, 2015).

g. Manifestasi Klinis
Menurut Sujana dan Mahardika (2016) manifestasi klinis fraktur
secara umum tampak dengan dilakukan pemeriksaan look, feel dan move
antara lain:
1) Look: edema/pembengkakan, deformitas atau perubahan bentuk,
echimosis karena ekstravasasi darah di dalam jaringan subkutan.
2) Feel: teraba hangat pada daerah fraktur karena terjadi peningkatan
metabolism, nyeri karena spasme otot akibat reflek involunter pada
otot, trauma langsung pada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf
sensori, pergerakan pada daerah fraktur.
3) Move: kehilangan fungsi dan krepitasi.
Adapun manifestasi klinis fraktur vertebrae pada cervical yaitu:
1) C1 – C3 : gangguan fungsi diafragma dalam bernapas.
2) C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas.
3) C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan.
4) C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit.
5) C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep.
Gangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical dapat
menyebabkan kelumpuhan tetraparese.
Manifestasi klinis fraktur vertebra pada thorakal:
1) T1 : gangguan fungsi tangan.
2) T1 – T8 : gangguan fungsi pengendalian otot abdominal, gangguan
stabilitas tubuh.
3) T9 – T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang
tubuh.
Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal:
1) L1 : abdominalis
2) L2 : gangguan fungsi ejakulasi.
3) L3 : gangguan quadriceps.
4) L4 - L5 : gangguan hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan
lutut.
Gangguan motoric yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan
lumbal memberikan gejala paraparese.
Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sakral:
1) S1 : gangguan pengendalian tungkai.
2) S2 – S4 : penile erection.
3) S2 – S3 : Gangguan sistem saluran kemih dan anus.
Gangguan motoric yang terjadi yaitu gangguan miksi dan defekasi
tanpa paraparese. Cidera pada segmen lummbal dan sacral dapat
mengganggu pengendalian tungkai, sistem saluran kemih dan anus.

h. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang dilakukan sebagai berikut:
1) Foto Rontgen
 Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
 Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum
dan sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik
2) Artelogram bila ada kerusakan vaskuler.
3) Hitung darah lengkap, HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
organ multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah kompensasi normal
setelah fraktur.
4) Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah
transfusi multiple atau trauma hati.
5) Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray:
 Bayangan jaringan lunak
 Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi
 Trobukulasi ada tidaknya rare fraction
 Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi
6) Tomografi: menggambarkan struktur lain yang tertutup dan sulit
divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
7) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
8) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
9) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.

i. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi


Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan mengatasi nyeri dan
stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah. Penatalaksanaan
dilakukan bergantung dengan tipe fraktur. Adapun penjelasannya sebagai
berikut:
1) Braces & Orthotics ada tiga hal yang dilakukan yakni:
 mempertahankan kesegarisan vertebra (aligment)
 imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan
 mengatasi rasa nyeri yang dirasakan dengan membatasi
pergerakan. Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi,
sebagai contoh; brace rigid collar (Miami J) untuk fraktur cervical,
cervical-thoracic brace (Minerva) untuk fraktur pada punggung
bagian atas, thoracolumbar-sacral orthosis (TLSO) untuk fraktur
punggung bagian bawah, dalam waktu 8 sampai 12 minggu brace
akan terputus, umumnya fraktur pada leher yang sifatnya tidak
stabil ataupun mengalami dislokasi memerlukan traksi, halo ring
dan vest brace untuk mengembalikan kesegarisan.

Gambar 6. Brace Rigid Collar (Kiri) dan Cervical – Thoracic Brace (Kanan)

Gambar 7. Thoracolumbar – Sacral Orthosis


2) Pemasangan alat dan proses penyatuan (fusion). Teknik ini adalah
teknik pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak stabil. Fusion
adalah proses penggabungan dua vertebra dengan adanya bone graft
dibantu dengan alat-alat seperti plat, rods, hooks dan pedicle screws.
Hasil dari bone graft adalah penyatuan vertebra di bagian atas dan
bawah dari bagian yang disambung. Penyatuan ini memerlukan waktu
beberapa bulan atau lebih lama lagi untuk menghasilkan penyatuan
yang solid.

Gambar 7. Bone Graft

Gambar 8. Pemasangan Plates, Rods dan Pedicle Screws pada Tulang Belakang.
3) Vertebroplasty dan Kyphoplasty, tindakan ini adalah prosedur invasi
yang minimal. Pada prinsipnya teknik ini digunakan pada fraktur
kompresi yang disebabkan osteoporosis dan tumor vertebra. Pada
vertebroplasti, bone cement diinjeksikan melalui lubang jarung menuju
corpus vertebra. Sedangkan pada kyphoplasti, sebuah balon
dimasukkan dan dikembungkan untuk melebarkan vertebra yang
terkompresi sebelum celah tersebut diisi dengan bone cement.

Gambar 9. Vertebroplasty

Gambar 10. Kyphoplasty


Adapun penatalaksanaan pada penderita dengan paralisis meliputi
1) Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup,
kateterisasi dan evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu.
2) Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia setiap
dua hari.
3) Pencegahan decubitus.
Adapun tahap penyembuhan tulang dibagi menjadi lima proses
yaitu:

Gambar 11. Proses Penyembuhan tulang (Pearce, 2009)

1) Tahap pembentukan hematoma: Dalam 24 jam pertama mulai


terbentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk ke area fraktur. Suplai
darah meningkat dan terbentuk hematom yang berkembang menjadi
jaringan granulasi sampai hari kelima.
2) Tahap proliferasi: Dalam waktu sekitar 5 hari, hematom akan
mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan
dara, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast
dan osteoblast yang akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan
sebagai matriks kolagen pada patahan tulang, lalu akan terbentuk
jaringan ikat fibrus dan tulang rawan.
3) Tahap pembentukan kalus: Pertumbuhan jaringan berlanjut dan
lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah
terhubung. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan
fibrus, tulang rawan, dan tulang serat imatur. Butuh 3-4 minggu agar
fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus.
4) Osifikasi: Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3
minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondrial. Mineral
terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu. Proses ini
memerlukan waktu 3-4 bulan.
5) Konsolidasi (6-8 bulan) dan Re-modelling (6-12 bulan): Tahap akhir
dari perbaikan patah tulang adalah dengan aktifitas osteoblas dan
osteoclas. Kalus mengalami pembentukan tulang sesuai aslinya.

B. Clinical Pathway
Faktor penyebab:
-Trauma langsung dan tidak langsung akibat kecelakaan atau injury.
-Fraktur patologis.
-Fraktur stress atau fatigue fracture.

Trauma dengan mekanisme gaya tertentu (kompresi axial/fleksi


dan distraksi/hiperekstensi/dislokasi, rotasi, shear

Fraktur pada tulang vertebra

Fragmen tulang masuk Pelepasan zat mediator Nyeri Akut


ke kanalis spinalis nyeri

Paralisis (kelumpuhan)
Gangguan fungsi rectum Pergerakan menjadi
dan perkemihan terbatas
Hambatan Mobilitas
Fisik Keterbatasan dalam
Konstipasi Hambatan
Eliminasi pemenuhan kebutuhan
Urine sehari-hari

Laserasi kulit Risiko Defisit Perawatan Diri:


Infeksi Mandi

C. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Assessment/Pengkajian
1) Identitas klien
- Usia
- Jenis kelamin
- Pendidikan
- Alamat
- Pekerjaan
- Agama
- Suku bangsa
2) Keluhan utama: nyeri pada tulang vertebra.
3) Riwayat penyakit sekarang: fraktur akibat trauma langsung dan tidak
langsung (kecelakaan, jatuh dari ketinggian, cidera olahraga dan lain-lain)
dan fraktur patologis.
4) Riwayat penyakit dahulu: riwayat fraktur sebelumnya, riwayat trauma.
5) Riwayat penyakit keluarga: ada atau tidaknya riwayat penyakit pada
anggota keluarga.
6) Pola fungsi kesehatan
 Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan: bagaimana persepsi
pasien terhadap kesehatan dan cara pasien memelihara kesehatannya.
 Nutrisi: berat badan pasien ideal/tidak, pola makan pasien sehari-hari.
 Eliminasi dan defekasi: adanya keluhan retensi urin atau konstipasi.
 Aktivitas dan latihan: adanya keterbatasan pergerakan, cara pemenuhan
kebutuhan sehari-hari.
 Tidur dan istirahat: adanya perubahan pola istirahat dan tidur, gangguan
tidur.
 Kognitif dan perseptual: persepsi dan tingkat pengetahuan pasien
mengenai perawatan fraktur vertebrae.
 Persepsi diri: penilaian diri pasien terhadap gambaran dirinya saat
menderita fraktur vertebrae.
 Seksualitas dan reproduksi: perubahan pola seksualitas setelah mengalami
fraktur vertebrae.
 Peran dan hubungan: peran dan hubungan pasien dengan lingkungan
sekitar.
 Manajemen koping – stress: bagaimana pasien menghadapi stressor,
tingkat stressor yang dialami.
 System nilai dan keyakinan: tingkat spiritualitas pasien dalam menghadapi
penyakitnya.
7) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan setelah riwayat kesehatan
dikumpulkan, pemeriksaan fisik yang lengkap biasanya dimulai secara
berurutan dari kepala sampai ke jari kaki:
a. Inspeksi
Pengamatan terhadap lokasi pembengkakan, warna kulit pucat,
laserasi, kemerahan mungkin timbul pada area terjadinya faktur, adanya
spasme otot dan keadaan kulit.
b. Palpasi
Pemeriksaan dengan cara perabaan, yaitu penolakan otot oleh sentuhan
kita adalah nyeri tekan, lepas dan sampai batas mana daerah yang sakit
biasanya terdapat nyeri tekan pada area fraktur dan di daerah luka insisi.
c. Perkusi
Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasus fraktur.
d. Auskultasi
Pemeriksaan dengan cara mendengarkan gerakan udara melalui
struktur berongga atau cairan yang mengakibatkan struktur solid bergerak.
Pada pasien fraktur pemeriksaan ini pada area yang sakit jarang dilakukan.

b. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan NANDA (2018) diagnosa keperawatan pada pasien
dengan fraktur vertebra antara lain:
1) Risiko infeksi (00004) berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
2) Nyeri akut (00132) berhubungan dengan agens cidera fisik ditandai
dengan perubahan selera makan, perubahan pada parameter fisiologis,
diaphoresis, perilaku distraksi, perilaku ekspresif, ekspresi wajah
nyeri, sikap melindungi area nyeri, laporan tentang perilaku
nyeri/perubahan aktivitas, keluhan tentang intensitas menggunakan
standar skala nyeri dan keluhan tentang karakteristik nyeri dengan
menggunakan standar instrumen nyeri.
3) Hambatan mobilitas fisik (00085) berhubungan dengan nyeri akibat
kerusakan integritas struktur tulang ditandai dengan penurunan
keterampilan motoric halus dan motoric kasar, penurunan rentang
gerak, kesulitan membolak-balik posisi, instabilitas postur.
4) Hambatan eliminasi urin (00016) berhubungan dengan gangguan
sensori motoric ditandai dengan dysuria, inkontinensia urine, retensi
urine, sering berkemih.
5) Konstipasi (00011) berhubungan dengan gangguan neurologis ditandai
dengan perubahan pada pola defekasi, tidak dapat defekasi.
6) Defisit perawatan diri: mandi (00108) berhubungan dengan kelemahan
akibat gangguan musculoskeletal ditandai dengan ketidakmampuan
mengakses kamar mandi, ketidakmampuan menjangkau sumber air,
ketidakmampuan membasuh tubuh.
c. Intervensi Keperawatan
NO Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 Kontrol Infeksi (6540)
jam diharapkan risiko infeksi dapat berkurang dengan 1) Anjurkan pasien mengenai teknik
kriteria hasil: mencuci tangan dengan tepat.
Risiko infeksi (00004)
Keparahan Infeksi (0703) 2) Gunakan sabun antimikroba untuk cuci
Skala saat Skala tangan yang sesuai.
NO Indikator
ini capaian 3) Pastikan teknik perawatan luka yang
1. Kemerahan tepat.
2. Cairan (luka) yang berbau 4) Tingkatkan intake nutrisi yang tepat.
busuk
5) Dorong intake cairan yang sesuai.
3. Demam
4. Ketidakstabilan suhu
6) Dorong untuk beristirahat.
5. Nyeri 7) Berikan terapi antibiotic yang sesuai.
6. Hilang nafsu makan 8) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai
7. Peningkatan jumlah sel tanda dan gejala infeksi dan kapan
darah putih harus melaporkannya kepada penyedia
perawatan kesehatan.
1: sangat berat 3: ringan 5: tidak ada
2: berat 4: tidak ada 9) Ajarkan pasien dan anggota keluarga
mengenai bagaimana menghindari
infeksi.
2. Nyeri akut (00132) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 Manajemen Nyeri (1400)
jam diharapkan tingkat nyeri menurun dengan kriteria 1) Lakukan pengkajian nyeri secara
hasil: komprehensif yang meliputi lokasi,
Tingkat Nyeri (2102) karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
Skala saat Skala kualitas, intensitas beratnya nyeri dan
NO Indikator
ini capaian faktor pencetus.
1. Ekspresi nyeri wajah 2) Observasi adanya petunjuk nonverbal
2. Berkeringat berlebihan mengalami ketidaknyamanan.
1: sangat berat 3: ringan 5: tidak ada
3) Gunakan strategi komunikasi
2: berat 4: tidak ada terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri dan sampaikan
Skala saat Skala penerimaan pasien terhadap nyeri.
NO Indikator
ini capaian 4) Gali pengetahuan dan kepercayaan
1. Frekuensi nafas pasien mengenai nyeri.
2. Tekanan darah
5) Ajarkan prinsip-prinsip manejemen
1: deviasi berat dari kisaran normal nyeri.
2: deviasi cukup besar dari kisaran normal 6) Kolaborasi pemberian analgesik guna
3: deviasi sedang dari kisaran normal mengurangi nyeri.
4: deviasi ringan dari kisaran normal
5: tidak ada deviasi dari kisaran normal
Kepuasan Klien: Manajemen Nyeri (3016) Terapi Relaksasi (6040)
Skala saat Skala 1) Gambarkan rasionalisasi dan manfaat
NO Indikator
ini capaian relaksasi serta jenis relaksasi yang
1. Nyeri terkontrol tersedia.
2. Tingkat nyeri 2) Pertimbangkan keinginan dan
3. Mengambil tindakkan untuk
kemampuan berpartisipasi, pilihan,
: mengurangi nyeri
4. Mengambil tindakkan untuk
pengalaman masa lalu dan
: memberi kenyamanan kontraindikasi sebelum memilih
5. Pendekatan preventif strategi tertentu.
menejemen nyeri 3) Dorong klien mengambil posisi
6. Manejemen nyeri sesuai nyaman dengan pakaian longgar dan
budaya budaya
mata tertutup.
1: keluhan ekstrem
4) Minta klien untuk rileks dan
2: keluhan berat merasakan sensasi yang terjadi.
3: keluhan sedang 5) Dorong klien untuk mengulangi
4: keluhan ringan praktik teknis relaksasi.
5: tidak ada keluhan
6) Evaluasi dan dokumentasi respon
terhadap terapi relaksasi.
3. Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
(00085) jam pasien menunjukkan hambatan mobilitas fisik
berkurang dengan kriteria hasil: 1) Bantu pasien latihan fleksi untuk
memfasilitasi mobilisasi sesuai
Koordinasi Pergerakan (0212)
Skala Skala indikasi.
NO Indikator 2) Berikan informasi tentang
saat ini capaian
1. Kontraksi kekuatan otot kemungkinan posisi penyebab nyeri
2. Bentuk otot otot atau sendi.
3. Kecepatan gerakan 3) Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
4. Kehalusan gerakan
mengembangkan peningkatan
5. Kontrol gerakan
6. Kemantapan gerakan mekanika tubuh sesuai indikasi.
7. Keseimbangan gerakan
8. Tegangan otot
9. Gerakan ke arah yang diinginkan Peningkatan Latihan: Latihan
10. Gerakan dengan waktu yang Kekuatan (0201)
diinginkan
11. Gerakan dengan kecepatan yang 1) Sediakan informasi mengenai fungsi
diinginkan otot, latihan fisiologis, dan
12. Gerakan dengan ketepatan yang konsekuensi dari penyalahgunaannya.
diinginkan 2) Bantu mendapatkan sumber yang
1: sangat terganggu 4: sedikit terganggu diperlukan untuk terlibat dalam latihan
2: banyak terganggu 5: tidak terganggu
otot progresif.
3: cukup terganggu
3) Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi
dari sesi latihan.
4) Instruksikan untuk beristirahat sejenak
setiap selesai satu set jika diperlukan.
5) Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekkan pola gerakan yan
dianjurkan tanpa beban terlebih dahulu
sampai gerakan yang benar sudah
dipelajari.

Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)

1) Tentukan batas pergerakan sendi dan


efeknya terhadap fungsi sendi
2) Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik
dalam mengembangkan dan
menerapkan sebuah program latihan.
3) Dukung latihan ROM aktif dan pasif,
sesuai jadwal yang teratur dan
terencana.
4) Instruksikan pasien atau keluarga cara
melakukan latihan ROM aktif aktif dan
pasif.
5) Bantu pasien ntuk membuat jadwal
ROM.
6) Sediakan petunjuk tertulis untuk
melakukan latihan.
4. Hambatan eliminasi urin Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 Bantuan Perawatan Diri: Eliminasi
(00016) jam diharapkan eliminasi urin dapat membaik dengan (1804)
1) Pertimbangkan budaya dan usia
kriteria hasil:
pasien saat mempromosikan aktivitas
Eliminasi Urin (0503)
perawatan diri.
Skala saat Skala 2) Lepaskan baju yang diperlukan
NO Indikator
ini capaian
sehingga bisa melakukan eliminasi.
1. Pola eliminasi
3) Bantu pasien ke toilet untuk eliminasi
2. Jumlah urin
3. Intake cairan pada interval waktu tertentu.
4. Mengosongkan kantong 4) Pertimbangkan respon pasien
kemih sepenuhnya terhadap kurangnya privasi.
5) Beri privasi selama eliminasi.
1: sangat terganggu
2: banyak terganggu 6) Fasilitasi kebersihan toilet setelah
3: cukup terganggu
4: sedikit terganggu
menyelesaikan eliminasi.
5: tidak terganggu 7) Ganti pakaian pasien setelah
eliminasi.
8) Bersihkan alat-alat untuk eliminasi.
9) Buatlah jadwal aktivitas terkait
eliminasi.
10) Instruksikan pasien dan keluarga
dalam rutinitas toiler.
11) Sediakan alat bantu (misalnya kateter
urin), dengan tepat.
12) Monitor integritas kulit pasien.
5. Konstipasi(00011) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 Manajemen Konstipasi (0450)
jam diharapkan konstipasi pasien dapat berkurang dengan 1) Monitor tanda dan gejala konstipasi.
kriteria hasil :
2) Monitor hasil produksi pergerakan
Eliminasi Usus (0501)
Skala Skala usus (feses), meliputi: frekuensi,
NO Indikator
saat ini capaian
konsistensi, bentuk, volume, dan
1. Pola eliminasi
2. Kontrol gerakan usus warna.
3. Warna feses 3) Monitor bising usus.
4. Jumlah feses untuk diet
5. Feses lembut dan berbentuk 4) Evaluasi jenis pengobatan yang
6. Kemudahan BAB memiliki efek samping pada
7. Tekanan sfingter
gastrointestinal.
Otot untuk mengeluarkan
8. 5) Instruksikan pasien/keluarga untuk
feses
Pengeluaran feses tanpa mencatat warna, volume, frekuensi,
9.
bantuan
dan konsistensi dari feses.
10. Suara bising usus
11. Pola eliminasi 6) Sarankan penggunaan laksatif.

1: sangat terganggu 4: sedikit terganggu 7) Informasikan pada pasien mengenai


2: banyak terganggu 5: tidak terganggu prosedur untuk mengeluarkan feses
3: cukup terganggu
secara manual, jika diperlukan.
8) Lakukan enema atau irigasi, dengan
tepat.
9) Jelaskan penyebab dari masalah dan
rasionalisasi tindakan pada pasien.
10) Identifikasi faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya konstipasi.
11) Berikan petunjuk pada pasien untuk
dapat berkonsultasi dengan dokter
jika konstipasi masih tetap terjadi.
12) Konsultasikan dengan dokter
mengenai penurunan/peningkatan
frekuensi bising usus

Manajemen Saluran Cerna (0430)


1) Instruksikan pasien mengenai
makanan tinggi serat.
2) Berikan cairan hangat setelah makan.
3) Ajarkan pasien mengenai makanan-
makanan tertentu yang membantu
mendukung keteraturan aktivitas
usus.
6. Defisit perawatan diri: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 Bantuan Perawatan Diri:
mandi (00108) jam diharapkan perawatan diri dapat membaik dengan Mandi/Kebersihan (1801)
kriteria hasil: 1) Pertimbangkan budaya dan usia
Perawatan Diri: Mandi (0301) pasien saat mempromosikan aktivitas
Skala saat Skala perawatan diri.
NO Indikator
ini capaian 2) Tentukan jumlah dan tipe terkait
1. Mencuci wajah dengan bantuan yang diperlukan.
2. Mencuci badan bagian atas 3) Sediakan lingkungan yang terapeutik
3. Mencuci badan bagian
dengan memastikan kehangatan,
bawah
4. Membersihkan area
suasana rileks, privasi dan
perineum pengalaman pribadi.
5. Mengeringkan badan 4) Fasilitasi pasien untuk menggosok
gigi.
1: sangat terganggu
5) Fasilitasi pasien untuk mandi sendiri.
2: banyak terganggu
3: cukup terganggu 6) Monitor integritas kulit pasien.
4: sedikit terganggu 7) Berikan bantuan sampai pasien benar-
5: tidak terganggu benar mampu merawat diri secara
mandiri.
d. Evaluasi Keperawatan
Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan implementasi dari
intervensi yang direncanakan, yaitu:
1) Tidak tampak tanda dan gejala infeksi.
2) Menunjukkan nyeri akut berkurang.
3) Menunjukkan hambatan mobilitas fisik berkurang.
4) Menunjukkan eliminasi urin membaik.
5) Menunjukkan konstipasi membaik.
6) Menunjukkan perawatan diri membaik.
DAFTAR PUSTAKA

Moore, Keith. 2002. Essential Clinical Anatomy; Second Edition. Lippincot


Williams and Wilkins: Baltimore.

Mosby. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), 5th edition. Elsevier Inc.

Mosby. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC), 6th edition. Elsevier Inc.

NANDA. 2018. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2018 – 2020.


Jakarta: EGC.

Patel, PR. 2007. Lecture Notes: Radiologi Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Pearce, E.C. 2009. Anatomi dan Fisiologis untuk Paramedis. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Sujana, IBG. dan Mahardika, IG. 2016. Trauma Vertebra. Bali: FK UNUD.

Suratun, Heryati, Manurung, S. dan Raenah, E. 2008. Seri Asuhan Keperawatan:


Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.

Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Wibowo, DW. 2015. Penatalaksanaan Terapi Latihan pada Kondisi Burst


Fracture Vertebra Lumbal 1 dengan Claudia Equina Syndrome di RSO
Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Widhiyanto, L., Martiana, IK., Airlangga, PA. dan Permana, D. 2019. Laporan
Hasil Penelitian Studi Epidemiologi Fraktur Vertebra di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya pada Tahun 2013 - 2017. Qanun Medika Vol. 3 No. 1
Januari 2019.

Anda mungkin juga menyukai