Oleh:
Syahrul Abdul Yazid, S.Kep.
NIM. 192311101007
\
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Tugas Program Profesi Ners Stase Keperawatan Bedah yang disusun
oleh:
Hari : Kamis
Tanggal : 2 Januari 2020
Mengetahui,
Kepala Ruangan
LAPORAN PENDAHULUAN
Gambar 1. Anatomi vertebrae dilihat dari anterior, left lateral, dan posterior (Pearce, 2009)
b. Definisi
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang umumnya
diakibatkan oleh adanya trauma (Tambayong, 2000). Fraktur adalah patah
tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya (Brunner dan Suddart, 2000 dalam Suratun dkk, 2008).
Adapun fraktur vertebra adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang vertebra. Menurut Patel (2007), fraktur dapat menyebabkan
fragmen tulang terpisah dari vertebra atau mengalami penekanan disertai
hilangnya ketinggian pada badan vertebra yang seringkali disertai
desakan/jepitan di bagian anterior. Fragmen-fragmen tulang dapat bergeser
ke posterior ke dalam kanalis spinalis sehingga menyebabkan gejala
neurologis.
Gambar 2. Contoh Fraktur Vertebrae: Fraktur Kompresi pada T12 (Kiri) dan Fraktur Vertebra
Berat dengan Fragmen Tulang pada Kanalis Spinalis (Kanan) (Patel, 2007).
c. Epidemiologi
Menurut Widhiyanto dkk (2019) berdasarkan data tahun 2014 –
2017 didapatkan sebanyak 442 pasien mengalami fraktur vertebra di RS
Dr. Soetomo Surabaya, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan
sebesar 3,3:1. Rata-rata usia pasien adalah 43,6 tahun. Penyebab fraktur
vertebra adalah akibat jatuh dari ketinggian (38%), kecelakaan lalu lintas
(34%) dan benturan langsung/tertimpa beban (10%). Berdasarkan level
fraktur, fraktur terbanyak sejumlah 153 pasien (34,6%) pada level lumbal.
Berdasarkan subtype frakturnya, fraktur tipe A (kompresi atau burst)
merupakan jenis fraktur yang paling banyak terjadi (91,5%) dan
diakibatkan jatuh dari ketinggian.
d. Etiologi
Menurut Harrison (2008) dalam Wibowo (2015) adapun fraktur
vertebra dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1) Trauma langsung atau tidak langsung yang diakibatkan oleh
kecelakaan atau injury.
2) Fraktur patologis: dapat diakibatkan oleh osteoporosis pada orang
lanjut usia, penderita tumor atau infeksi.
3) Fraktur stress atau fatigue fracture: disebabkan adanya peningkatan
drastis latihan atau pada pemulaan aktivitas baru.
e. Klasifikasi
Menurut Sujana dan Mahardika (2016) fraktur yang terjadi pada tulang
belakang disebabkan oleh trauma dengan mekanisme arah gaya tertentu.
Gaya yang umum terjadi pada trauma kolumna vertebra yaitu:
1) Kompresi axial
Kompresi axial menyebabkan dua tipe fraktur pada vertebra,
fraktur kompresi dan fraktur tipe burst. Penyebab tersering dari trauma
dengan mekanisme kompresi axial adalah kecelakaan lalu lintas dan
jatuh dari ketinggian. Fraktur kompresi terjadi akibat dari gaya axial
secara langsung pada pertengahan kolumna vertebra menghasilkan
wedge compression fracture dan menyebabkan adanya deformitas
kifosis pada tulang belakang.
Sedangkan fraktur tipe burst adalah fraktur vertical dengan
pergeseran sentripetal dari fragmennya, yang terjadi ketika beban axial
pada tubuh menghasilkan gaya fleksi pada vertebra thorakalis yang
khypotik, gaya kompresi dialami secara lurus oleh kolumna vertebra.
Pergeseran maju dan mundur fragmen tulang ke kanalis spinalis akan
menyebabkan deficit neurologi.
f. Patofisiologi/Patologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan
mobil, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit
(Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat
menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek
trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi
pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah
gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang
secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis
bawah maupun torakalis bawah misalnya pada waktu duduk di kendaraan
yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, pada saat
jatuh dari ketinggian dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar
karena eksplosi atau fraktur dislokasi yang dapat mengakibatkan
paraplegia. Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa
hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12 sampai
L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat
sementara atau menetap. Medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk
sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan
perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada kerusakan
medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat
terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasi dan pembengkakan daerah
tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma
tulang belakang secara langsung karena dapat mematahkan/menggeserkan
ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla
spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah perdarahan
dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat di
substansia grisea. Kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi,
medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma
ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang
yang patah yang terselip di antara duramater dan kolumna vertebralis.
Gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis
akibat tumor, kista dan abses di dalam kanalis vertebralis. Akibat
hiperekstensi dislokasi, fraktur dan whiplash, radiks saraf spinalis dapat
tertarik dan mengalami jejas/reksis sehingga terjadi nyeri radikuler
spontan yang bersifat hiperpatia. Gambaran tersebut disebut hematorasis
atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus
akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik
yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama
radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada
dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistem
anastomosis anterial anterior spinal.
Pada fraktur remuk (burst fractures) fraktur yang terjadi ketika ada
penekanan corpus vertebralis secara langsung, dan tulang menjadi hancur
frakmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinalis. Terminologi fraktur
ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis ke arah luar yang
disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur
kompresi. Tepi tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan
medulla spinalis untuk cidera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke
medulla spinalis dan dapat menekan medulla spinalis dan menyebabkan
paralisis atau gangguan syarat parasial. Tipe burst fractures sering terjadi
pada thoraco lumbar juction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan
defekasi ataupun miksi (Apley, 2009 dalam Wibowo, 2015).
g. Manifestasi Klinis
Menurut Sujana dan Mahardika (2016) manifestasi klinis fraktur
secara umum tampak dengan dilakukan pemeriksaan look, feel dan move
antara lain:
1) Look: edema/pembengkakan, deformitas atau perubahan bentuk,
echimosis karena ekstravasasi darah di dalam jaringan subkutan.
2) Feel: teraba hangat pada daerah fraktur karena terjadi peningkatan
metabolism, nyeri karena spasme otot akibat reflek involunter pada
otot, trauma langsung pada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf
sensori, pergerakan pada daerah fraktur.
3) Move: kehilangan fungsi dan krepitasi.
Adapun manifestasi klinis fraktur vertebrae pada cervical yaitu:
1) C1 – C3 : gangguan fungsi diafragma dalam bernapas.
2) C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas.
3) C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan.
4) C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit.
5) C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep.
Gangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical dapat
menyebabkan kelumpuhan tetraparese.
Manifestasi klinis fraktur vertebra pada thorakal:
1) T1 : gangguan fungsi tangan.
2) T1 – T8 : gangguan fungsi pengendalian otot abdominal, gangguan
stabilitas tubuh.
3) T9 – T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang
tubuh.
Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal:
1) L1 : abdominalis
2) L2 : gangguan fungsi ejakulasi.
3) L3 : gangguan quadriceps.
4) L4 - L5 : gangguan hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan
lutut.
Gangguan motoric yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan
lumbal memberikan gejala paraparese.
Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sakral:
1) S1 : gangguan pengendalian tungkai.
2) S2 – S4 : penile erection.
3) S2 – S3 : Gangguan sistem saluran kemih dan anus.
Gangguan motoric yang terjadi yaitu gangguan miksi dan defekasi
tanpa paraparese. Cidera pada segmen lummbal dan sacral dapat
mengganggu pengendalian tungkai, sistem saluran kemih dan anus.
h. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang dilakukan sebagai berikut:
1) Foto Rontgen
Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum
dan sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik
2) Artelogram bila ada kerusakan vaskuler.
3) Hitung darah lengkap, HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
organ multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah kompensasi normal
setelah fraktur.
4) Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah
transfusi multiple atau trauma hati.
5) Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray:
Bayangan jaringan lunak
Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi
Trobukulasi ada tidaknya rare fraction
Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi
6) Tomografi: menggambarkan struktur lain yang tertutup dan sulit
divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
7) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
8) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
9) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
Gambar 6. Brace Rigid Collar (Kiri) dan Cervical – Thoracic Brace (Kanan)
Gambar 8. Pemasangan Plates, Rods dan Pedicle Screws pada Tulang Belakang.
3) Vertebroplasty dan Kyphoplasty, tindakan ini adalah prosedur invasi
yang minimal. Pada prinsipnya teknik ini digunakan pada fraktur
kompresi yang disebabkan osteoporosis dan tumor vertebra. Pada
vertebroplasti, bone cement diinjeksikan melalui lubang jarung menuju
corpus vertebra. Sedangkan pada kyphoplasti, sebuah balon
dimasukkan dan dikembungkan untuk melebarkan vertebra yang
terkompresi sebelum celah tersebut diisi dengan bone cement.
Gambar 9. Vertebroplasty
B. Clinical Pathway
Faktor penyebab:
-Trauma langsung dan tidak langsung akibat kecelakaan atau injury.
-Fraktur patologis.
-Fraktur stress atau fatigue fracture.
Paralisis (kelumpuhan)
Gangguan fungsi rectum Pergerakan menjadi
dan perkemihan terbatas
Hambatan Mobilitas
Fisik Keterbatasan dalam
Konstipasi Hambatan
Eliminasi pemenuhan kebutuhan
Urine sehari-hari
b. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan NANDA (2018) diagnosa keperawatan pada pasien
dengan fraktur vertebra antara lain:
1) Risiko infeksi (00004) berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
2) Nyeri akut (00132) berhubungan dengan agens cidera fisik ditandai
dengan perubahan selera makan, perubahan pada parameter fisiologis,
diaphoresis, perilaku distraksi, perilaku ekspresif, ekspresi wajah
nyeri, sikap melindungi area nyeri, laporan tentang perilaku
nyeri/perubahan aktivitas, keluhan tentang intensitas menggunakan
standar skala nyeri dan keluhan tentang karakteristik nyeri dengan
menggunakan standar instrumen nyeri.
3) Hambatan mobilitas fisik (00085) berhubungan dengan nyeri akibat
kerusakan integritas struktur tulang ditandai dengan penurunan
keterampilan motoric halus dan motoric kasar, penurunan rentang
gerak, kesulitan membolak-balik posisi, instabilitas postur.
4) Hambatan eliminasi urin (00016) berhubungan dengan gangguan
sensori motoric ditandai dengan dysuria, inkontinensia urine, retensi
urine, sering berkemih.
5) Konstipasi (00011) berhubungan dengan gangguan neurologis ditandai
dengan perubahan pada pola defekasi, tidak dapat defekasi.
6) Defisit perawatan diri: mandi (00108) berhubungan dengan kelemahan
akibat gangguan musculoskeletal ditandai dengan ketidakmampuan
mengakses kamar mandi, ketidakmampuan menjangkau sumber air,
ketidakmampuan membasuh tubuh.
c. Intervensi Keperawatan
NO Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 Kontrol Infeksi (6540)
jam diharapkan risiko infeksi dapat berkurang dengan 1) Anjurkan pasien mengenai teknik
kriteria hasil: mencuci tangan dengan tepat.
Risiko infeksi (00004)
Keparahan Infeksi (0703) 2) Gunakan sabun antimikroba untuk cuci
Skala saat Skala tangan yang sesuai.
NO Indikator
ini capaian 3) Pastikan teknik perawatan luka yang
1. Kemerahan tepat.
2. Cairan (luka) yang berbau 4) Tingkatkan intake nutrisi yang tepat.
busuk
5) Dorong intake cairan yang sesuai.
3. Demam
4. Ketidakstabilan suhu
6) Dorong untuk beristirahat.
5. Nyeri 7) Berikan terapi antibiotic yang sesuai.
6. Hilang nafsu makan 8) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai
7. Peningkatan jumlah sel tanda dan gejala infeksi dan kapan
darah putih harus melaporkannya kepada penyedia
perawatan kesehatan.
1: sangat berat 3: ringan 5: tidak ada
2: berat 4: tidak ada 9) Ajarkan pasien dan anggota keluarga
mengenai bagaimana menghindari
infeksi.
2. Nyeri akut (00132) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 Manajemen Nyeri (1400)
jam diharapkan tingkat nyeri menurun dengan kriteria 1) Lakukan pengkajian nyeri secara
hasil: komprehensif yang meliputi lokasi,
Tingkat Nyeri (2102) karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
Skala saat Skala kualitas, intensitas beratnya nyeri dan
NO Indikator
ini capaian faktor pencetus.
1. Ekspresi nyeri wajah 2) Observasi adanya petunjuk nonverbal
2. Berkeringat berlebihan mengalami ketidaknyamanan.
1: sangat berat 3: ringan 5: tidak ada
3) Gunakan strategi komunikasi
2: berat 4: tidak ada terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri dan sampaikan
Skala saat Skala penerimaan pasien terhadap nyeri.
NO Indikator
ini capaian 4) Gali pengetahuan dan kepercayaan
1. Frekuensi nafas pasien mengenai nyeri.
2. Tekanan darah
5) Ajarkan prinsip-prinsip manejemen
1: deviasi berat dari kisaran normal nyeri.
2: deviasi cukup besar dari kisaran normal 6) Kolaborasi pemberian analgesik guna
3: deviasi sedang dari kisaran normal mengurangi nyeri.
4: deviasi ringan dari kisaran normal
5: tidak ada deviasi dari kisaran normal
Kepuasan Klien: Manajemen Nyeri (3016) Terapi Relaksasi (6040)
Skala saat Skala 1) Gambarkan rasionalisasi dan manfaat
NO Indikator
ini capaian relaksasi serta jenis relaksasi yang
1. Nyeri terkontrol tersedia.
2. Tingkat nyeri 2) Pertimbangkan keinginan dan
3. Mengambil tindakkan untuk
kemampuan berpartisipasi, pilihan,
: mengurangi nyeri
4. Mengambil tindakkan untuk
pengalaman masa lalu dan
: memberi kenyamanan kontraindikasi sebelum memilih
5. Pendekatan preventif strategi tertentu.
menejemen nyeri 3) Dorong klien mengambil posisi
6. Manejemen nyeri sesuai nyaman dengan pakaian longgar dan
budaya budaya
mata tertutup.
1: keluhan ekstrem
4) Minta klien untuk rileks dan
2: keluhan berat merasakan sensasi yang terjadi.
3: keluhan sedang 5) Dorong klien untuk mengulangi
4: keluhan ringan praktik teknis relaksasi.
5: tidak ada keluhan
6) Evaluasi dan dokumentasi respon
terhadap terapi relaksasi.
3. Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
(00085) jam pasien menunjukkan hambatan mobilitas fisik
berkurang dengan kriteria hasil: 1) Bantu pasien latihan fleksi untuk
memfasilitasi mobilisasi sesuai
Koordinasi Pergerakan (0212)
Skala Skala indikasi.
NO Indikator 2) Berikan informasi tentang
saat ini capaian
1. Kontraksi kekuatan otot kemungkinan posisi penyebab nyeri
2. Bentuk otot otot atau sendi.
3. Kecepatan gerakan 3) Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
4. Kehalusan gerakan
mengembangkan peningkatan
5. Kontrol gerakan
6. Kemantapan gerakan mekanika tubuh sesuai indikasi.
7. Keseimbangan gerakan
8. Tegangan otot
9. Gerakan ke arah yang diinginkan Peningkatan Latihan: Latihan
10. Gerakan dengan waktu yang Kekuatan (0201)
diinginkan
11. Gerakan dengan kecepatan yang 1) Sediakan informasi mengenai fungsi
diinginkan otot, latihan fisiologis, dan
12. Gerakan dengan ketepatan yang konsekuensi dari penyalahgunaannya.
diinginkan 2) Bantu mendapatkan sumber yang
1: sangat terganggu 4: sedikit terganggu diperlukan untuk terlibat dalam latihan
2: banyak terganggu 5: tidak terganggu
otot progresif.
3: cukup terganggu
3) Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi
dari sesi latihan.
4) Instruksikan untuk beristirahat sejenak
setiap selesai satu set jika diperlukan.
5) Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekkan pola gerakan yan
dianjurkan tanpa beban terlebih dahulu
sampai gerakan yang benar sudah
dipelajari.
Mosby. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), 5th edition. Elsevier Inc.
Mosby. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC), 6th edition. Elsevier Inc.
Patel, PR. 2007. Lecture Notes: Radiologi Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Sujana, IBG. dan Mahardika, IG. 2016. Trauma Vertebra. Bali: FK UNUD.
Widhiyanto, L., Martiana, IK., Airlangga, PA. dan Permana, D. 2019. Laporan
Hasil Penelitian Studi Epidemiologi Fraktur Vertebra di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya pada Tahun 2013 - 2017. Qanun Medika Vol. 3 No. 1
Januari 2019.