Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN DENGAN TRAUMA PELVIS


DAN
LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP TRAUMA PELVIS

Dosen pembimbing:

Ilkafa, S. Kep.,Ns.,M. Kep

Disusun oleh:

Adiguna Pranata 151811913013

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN

FAKULTAS VOKASI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2020
LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP TRAUMA PELVIS

1. PENGERTIAN
Trauma pelvis adalah trauma pada area pelvis yang dapat terjadi mulai dari
yang ringan hingga yang mengancam kehidupan hal ini termasuk fraktur ring pelvis,
fraktur acetabulun, serta injury pada jaringan yang ada pada area pelvis. Trauma pada
pelvis terjadi sekitar 44% kasus. Trauma ini merupakan akibat dari tabrakan pada
salah satu sisi tubuh, yang disebabkan karena mobil ataupun jalan, fraktur tidak selalu
timbul karena hal tersebut. Banyak fraktur minor yang terjadi pada shimpisis pubis
atau yang terjadi pada ramus superior dan inferior. Fraktur lain dapat menjadi luas dan
menganggu sendi sacro-iliaca. Trauma pelvis yang lebih berat terkait dengan
perdarahan yang luas dipelvisdan jaringan retroperitoneal dan dapat berakibat fatal
untuk korban, khususnya korban yang lanjut usia. (Buchol, ZRW, et. all. 1984)
Salah satu cedera yang penting pada trauma berenergi tinggi adalah Pelvic
Ring Injury yang menyumbang sekitar 10% sampai 40% dari kasus multiple trauma.2
Pelvic Ring Injury dilaporkan mewakili 4% sampai 8% dari semua fraktur yang
ditemui.3 Trauma ini umumnya terkait dengan cedera multipel dan angka kematian
yang tinggi.4 Tingkat kematian Pelvic Ring Injury dalam hubungan dengan cedera
multipel berkisar dari 30% sampai 58%.5,6 Dalam penilaian pasien dengan Pelvic
Ring Injury, stabilitas pelvis diperkirakan menjadi faktor penting yang mempengaruhi
keputusan penatalaksanaan. Pada Pelvic Ring Injury yang tidak stabil, penggunaan
klem dan fixators eksternal dianggap menstabilkan cincin panggul sehingga
mengurangi perdarahan. Korelasi antara lokasi anatomis fraktur tulang panggul
dengan tingkat kematian pada pasien dengan Pelvic Ring Injury telah diteliti
sebelumnya. (jurnal pelvis ring injury, 2019 )
Trauma panggul (PT) adalah salah satu manajemen paling kompleks dalam
perawatan trauma dan terjadi pada 3% dari cedera rangka. Pasien dengan fraktur
pelvis biasanya berusia muda dan mereka memiliki skor keparahan cedera
keseluruhan (ISS) yang tinggi (25 hingga 48 ISS). Angka kematian tetap tinggi,
terutama pada pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik, karena exsanguination
cepat, kesulitan untuk mencapai hemostasis dan cedera terkait. Untuk alasan ini,
pendekatan multidisiplin sangat penting untuk mengelola resusitasi, untuk mengontrol
perdarahan dan untuk menangani cedera tulang terutama pada jam-jam pertama dari
trauma. Pasien PT harus memiliki manajemen terintegrasi antara ahli bedah trauma,
ahli bedah ortopedi, ahli radiologi intervensi, ahli anestesi, dokter ICU dan ahli
urologi. (word journal pelvic trauma, 2017)

2. ETIOLOGI
Mayoritas dari trauma panggul yaitu adanya injury yang disebabkan oleh
trauma tumpul dengan kekuatan tinggi, meskipun pada pasien yang tua dan lemah,
trauma dapat terjadi akibat rudapaksa tumpul dengan kekuatan rendah. Trauma
dengan kekuatan tinggi meningkatkan risiko injury pada organ visera pelvis. (Buchol,
ZRW, et. all. 1984)

3. MANIFESTASI KLINIS
Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yang
dapat mengenai organ- organ lain dalam panggul. Keluhan berupa gejala
pembengkakan, deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul.
Penderita datang dalam keadaan anemia dan syok karena perdarahan yang
hebat. Terdapat amnesis:
a. Keadaan dan waktu trauma
b. Miksi terakhir
c. Waktu dan jumlah makan dan minum yang terakhir
d. Bila penderita wanita apakah sedang hamil atau menstruasi

Trauma lainnya seperti trauma pada kepala pemeriksaan klinis:

a. Keadaan umum:
- Denyut nadi
- Tekanan darah dan respirasi
- Lakukan survei kemungkinan trauma lainnya
b. Lokal pemeriksaan nyeri:
- Tekanan dari samping cincin panggul tarikan pada cincin panggul
- Inspeksi perineum untuk mengetahui adanya perdarahan,
pembengkakan, dan deformitas
- Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada
rumus dan simfisis pubis
- Pemeriksaan colok dubur
Berdasarkan klasifikasi tile:

a. Fraktur tipe A: pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila
berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat
kerusakan pada visera pelvis.
b. Fraktur tipe B dan C: pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak
dapat berdiri, serta juga tidak dapat kencing. Kadang- kadang terdapat
darah di meatusekstermus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering
meluas, dan jika menggerakkan satu atau kedua ala ossis ilium akan sangat
nyeri. (Scatzker J, 1987)

4. PATOFISIOLOGI
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang
besar atau karena tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang
tua dengan osteoporosis danosteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus
pubis. Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:

Kompres antreroposterior hal ini biasanya akibat tabrakan antara seorang perjalan
kaki dengan kendaraan. Rumus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah
dan mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut sebagai
open book injury.

Kompresi lateral kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami


keretakan. Hal ini terjadi apabila ada trauma sanping karena kecelakaan lalu lintas
atau jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua
sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendisakroiliaka
atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.

Trauma vertical tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertical
disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakroiliaka pada sisi yang sama. Hal ini
terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.

Trauma kombinasi pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan
diatas. (Scatzker J, 1987)
5. KLASIFIKASI
Pada setiap pasien, jenis fraktur dikelompokkan menggunakan klasifikasi young and
burges, pelvic ring injury dibagi berdasarkan pada ketidakstabilan cincin panggul.
Tipe APC I dan LC I termasuk dalam kategori stable, APC II, LC II, LC III termasuk
dalam klasifikasi partial instability, sedangkan tipe APC 3, LC 3, VS, dan combined
termasuk dalam kategori complete instability. ( jurnal pelvis ring injury, 2019 )
a. Tipe A: stabil- A1: fraktur panggul tidak mengenai cincin
-A2: stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur tipe
A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin
panggul tetapi tanpa atau atau sedikit sekali pergeseran cincin.
b. Tipe B: tidak stabil secara rotasional, stabil secara vertical-
B1: open book
B2: kompresi lateral ipsilateral
B3: kompresi lateral kontralateral (bucket- handle)
Tipe B mengalami rotasi eksterna yang mengenai sisi satu panggul (open book) atau
rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat menyebabkan fraktur pada ramus isio-
pubis pada satu atau kedua sisi disertai trauma bagian posterior tetapi simfisis tidak
terbuka (closed book)
c. Tipe C: tidak stabil secara rotasi dan vertikal
- CI: unilateral
- C2: bilateral
- C3: disertai fraktur asetabulum terdapat disrupsi ligament posterior pada
satu sisi disertai pergeseran dari salah satu sisi panggul secara vertikal,
mungkin juga disertai fraktur asetabulum.
Menurut young- burgessa. Kompresi anterior- posterior (APC) disebabkan
oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong kearah diastase simfisis
pubis. Ada cedera open book yang menganggu ligamentum sacroliaca anterior seperti
halnya ligamentum sacropspinaleipsilateral dan ligamentum sacrotuberaleb. Kompresi
lateral (LC) terjadi akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada
sisi benturan kearah midline, ligamentum sacrotuberleb dan ligamentum sacrospinale,
serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya Tarik. Sering
terjadi disrupsi pembuluh darah besar. Shear vertikal (SV) terjadi pemindahan vertikal
hemipelvis yang dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah, mekanisme
kombinasi(CM) meliputi faktor pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh
kombinasi dua vector tekanan terpisah. (Turfan, S, Young Burgess, 2016)

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan radiologis:
- Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan radiologis
dengan prioritas pemeriksaan rongent posisi AP.
- Pemeriksaan rongent posisi lain yaitu: oblik, rotasi interna dan eksterna bila
keadaan umum memungkinkan.
b. Pemeriksaan urologis dan lainnya:
- Katerisasi
- Ureterogram
- Sistrogram retrograd dan postvoiding
- Pyelogram intravena
- Asprirasi diagnostic dengan lavase peritoneal
(T. Heather Herdman, 2009)

7. PENATALAKSANAAN
a. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat- alat dalam rongga panggul
b. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:
-fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat,
traksi, pelvic sling
- fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang
dikembangkan oleh grup ASIF
Berdasarkan klasifikasi tile:
-Fraktur tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan
dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan
bisa menggunakan penopang.
- fraktur tipe B:
 Fraktur tipe openbook
Jika celah kurang dari 2,5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat tidur, kain
gendongan posterior atau korset elastis.
Jika celah lebih dari 2,5cm dapat ditutup dengan membaringkan pasien dengan cara
miring dan menekan ala ossis illi menggunakan fiksasi luar dengan pen pada kedua
ala ossis illi.
 Fraktur tipe closebook
Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa
dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan Panjang kaki melebihi 1,5cm atau terdapat
deformitas pelvis yang nyata maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen
pada krista iliaka.
-fraktur tipe C
Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka
yang dikombinasi fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang- kurangnya
10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan
mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.
(T. Heather Herdman, 2009)
8.PATWAY

E.D: rontgen FAST-E,


gbbbbbbbbbb
Dilapangan: pengikat panggul (jika Trauma pelvis toraks dan panggul, garis
ketidakstabilan mekanis terbukti atau arteri femoralis sesuai
dicurigai) dengan kondisi pasien

Hemodinamika tidak stabil


Stabil secara hemodinamika

Pertimbangan angio
CT- Scan sebelum ext. memperbaiki Aktivasi

jika diperlukan MTP


Lesi kecil Secara mekanis tidak Lesi parah
AMPL I stabil AMPL IV
Lesi sedang
AMPL II- Balutan pelvis preperitoneal
TIDAK
± stabilisasi mikanis
Stabilisasi mekanis sementara ±REBOA
sementara ± angioembolisasi
Rona merah positif
di CT- Scan JIKA: evisceration- impalement- peritonitis-
FAST- E+/ pemeriksaan perineum + uadara CT- Scan
bebas- lokalisasi usus yang menebal saat
TIDAK IYA
pencitraan

Angioembilosasi
laparotomi

Evaluasi klinis/ laboratorium/ Stabilisasi mekanis


radiologi serial pertimbangkan Re- definitif
anglo jika diindikasikan

(Federico coccolini, dkk. 2017)


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

1. Pengertian
Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan
medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.
Keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktik keperawatan
kegawatdaruratan yang diberikan oleh perawat yang kompeten untuk memberikan
asuhan keperawatan di ruang gawat darurat. (UU RI NO 44 tentang RS)
Keperawatan Gawat Darurat (Emergency Nursing) merupakan pelayanan
keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien dengan injury akut atau
sakit yang mengancam kehidupan. Sebagai seorang spesialis, perawat gawat darurat
menghubungkan pengetahuan dan keterampilan untuk menangani respon pasien pada
resusitasi, syok, trauma, ketidakstabilan mulisistem, keracunan dan kegawatan yang
mengancam jiwa lainnya. (Krisanty Paula, 2009)
2. Tujuan dan Prinsip
1) Tujuan keperawatan gawat darurat
a) Mencegah kematian dan cacat pada pasien gawat darurat hingga dapat hidup
dan berfungsi kembali dalam masyarakat.
b) Merujuk pasien gawat darurat melalui system rujukan untuk memperoleh
penanganan yang lebih memadai.
c) Penanggulangan korban bencana.
Untuk dapat mencegah kematian, petugas harus tahu penyebab kematian yaitu :
a) Meninggal dalam waktu singkat (4-6 menit)
 Kegagalan sistem otak
 Kegagalan sistem pernafasan
 Kegagalan sistem kardiovaskuler
b) Meninggal dalam waktu lebih lama (perlahan-lahan)
 Kegagalan sistem hati
 Kegagalan sistem ginjal (perkemihan)
 Kegagalan sistem pankreas (endokrin)
2) Prinsip
a) Penanganan cepat dan tepat.
b) Pertolongan segera diberikan oleh siapa saja yang menemukan pasien tersebut.
Meliputi Tindakan :
 Non medis : Cara meminta pertolongan, transportasi, menyiapkan alat-alat.
 Medis : Kemampuan medis berupa pengetahuan maupun ketrampilan : BLS,
ALS
(Greenberg, 2008)
3. Triage Kegawatdaruratan
Triage yaitu skenario pertolongan yang akan di berikan sesudah fase keadaan
pasien. Pasien-pasien yang terancam hidupnya harus di beri prioritas utama. Triage
dalam keperawatan gawat derurat di gunakan untuk mengklasifikasian keperahan
penyakit atau cidera dan menetapkan prioritas kebutuhan penggunaan petugas
perawatan kesehatan yang efisien dan sumber-sumbernya. Standart waktu yang di
perlukan untuk melakukan triase adalah 2-5 menit untuk orang dewasa dan 7 menit
untuk pasien anak-anak. (Iriandi, 2018)
4. Kategori / Klasifikasi Triase :
a) Merah(emergent)
Gawat darurat adalah pasien tiba dalam keadaan gawat atau takan menjadi
gawat dan terancam nyawanya/ cacat bila tidak ditolong segera. Mis: distress
nafas, luka tusuk dada dan perut, shock
b) Kuning (Urgent)
Yaitu korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi perawatan dapat di
tunda sementara. Kondisi yang merupakan masalah medisyang disignifikan dan
memerlukan penata laksanaan sesegera mungkin. Tanda-tanda fital klien ini
masih stabil. Mis : luka bakar tk II/III antara 20-25%, patah tulang panjan tanpa
shock
c) Hiijau (Non Urgent)
Pasien dengan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera,
memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang
berkala. Pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis yang
minimal, Luka lama dan Kondisi yang timbul sudah lama. Pasien ini berada
diArea Ambulatory / P3. Contohnya: Minor injuri. seluruh kasus - kasus
ambulant / jalan.
d) Hitam (Expectant)
Pasien yang sudah meninggal atau cedera fatal yang jelas tidak mungkin di
resusitasi Contohnya: pasien Tidak ada respon  pada segala rangsangan. Tidak
ada respirasi spontan, Tidak ada bukti aktivitas jantung dan Hilangnya respon
pupil terhadap gerak.
(Gallok & Hudak. 1997)
5. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian primer meliputi Airways, Breathing, Circulation, Disability,
Eksposure (ABCDE)
Pengkajian Primer adalah deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kelainan
fungsi organ yang mengancam jiwa. Pertama kali yang harus dilakukan dalam
primary survey adalah meyakinkan kesadaran pasien. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan memanggil Namanya. Jika tidak berespon, maka dapat dilakukan dengan
pemberian rangsang nyeri. Jenis pemeriksaan kesadaran seperti ini disebut AVPU
(Alert – Voice – Pain – Unresponsive). Tahap berikutrnya adalah memeriksa
dengan cepat fungsi vital dengan sistematika sebagai berikut :
A. Airway (Jalan Napas)
a) Lihat, dengar, rasakan (look, listen, feel). Pastikan kepatenan jalan
napas dan kebersihannya segera.
b) Jika tidak, adakan suara napas tambahan? Jika iya, tentukan jenisnya !
snoring, gurgling, ataukah crowing stridor
c) Bebaskan jalan napas sesuai dengan jenis sumbatan yang menyertai.
d) Jika terdapat kecurigaan adanya cedera servikal, maka jangan
melakukan hiperekstensi leher, pasang collar brace.
B. Breathing (Pernapasan)
a) Apakah terdapat kelainan pada beberapa hal berikut :
 Pergerakan dada, simetris atau tidak
 Pola napas, normal atau tidak
 Berapa frekuensi pernapasan
 Bagaimana irama napasnya,
 Apakah ada diantara tanda distress napas
 Bagaimana bunyi pernapasannya.
b) Jika pernapasan tidak adekuat atau tidak ada, lakukan resusitasi,
bantuan napas, dan dukung dengan alat oksigenasi yang sesuai.
C. Circulation (Sirkulasi)
a) Tentukan status sirkulasi dengan mengkaji akral, CRT (capillary
refill time), nadi, dan tekanan darah.
b) Kaji apakah ada bukti perdarahan?
 Eksternal
Hentikan segera dengan :
a. Bebat tekan pada luka
b. Elevasi
c. Kompres es
 Internal
Adakah shock ? (Paling sering adalah shock hipovolemik)
a. Lakukan resusitasi cairan segera dengan memasang
double IV line dan pemberian koreksi cairan yang tepat.
b. Segera kirim (rujuk)
D. Disability (Ketidakmampuan)
a) Bagaimana tingkat kesadaran pasien?
b) Apakah ada trauma kepala? Berapa GCS (Glasgow Coma Scale)
c) Reaksi pupil ? Reaksi terhadap cahaya ? Diameter ?

(Perry, Potter. 2005)


2. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang ditemukan pada
pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder meliputi pengkajian obyektif dan
subyektif dari riwayat keperawatan (riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga) dan pengkajian dari kepala
sampai kaki.
a. Pengkajian Riwayat Penyakit : (Padila, 2012)
Komponen yang perlu dikaji :
 Keluhan utama dan alasan pasien datang ke rumah sakit
 Lamanya waktu kejadian samapai dengan dibawa ke rumah sakit
 Tipe cedera, posisi saat cedera dan lokasi cedera
 Gambaran mekanisme cedera dan penyakit yang ada (nyeri)
 Waktu makan terakhir
 Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit sekarang,
imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi klien.
Metode pengkajian : (Padila, 2012)
1) Metode yang sering dipakai untuk mengkaji riwayat klien :
S (signs and
symptoms) : tanda dan gejala yang diobservasi dan
dirasakan klien
A (Allergis) : alergi yang dipunyai klien
M (medications) : tanyakan obat yang telah diminum klien
untuk mengatasi nyeri
P (pertinent past
medical hystori) : riwayat penyakit yang diderita klien

L (last oral intake : makan/minum terakhir; jenis makanan,


solid ada penurunan atau peningkatan
or liquid) kualitas
E (event leading to makan.
injury or illnes) :
pencetus/kejadian penyebab keluhan
2) Metode yang sering dipakai untuk mengkaji nyeri :
P (provoked) : pencetus nyeri, tanyakan hal yang
menimbulkan dan mengurangi nyeri
Q (quality) : kualitas nyeri
R (radian) : arah penjalaran nyeri
S (severity) : skala nyeri ( 1 – 10 )
T (time) : lamanya nyeri sudah dialami klien

3. Pemeriksaan head to toe :


(Padila, 2012)
a. Periksa kepala dan leher
 Rambut kepala dan leher
Perdarahan, hematom, pengelupasan, perlukaan, penekanan cedera tulang
belakang.
 Telinga
Perlukaan, darah, cairan, memar di belakang telinga.
 Mata
Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflex pupil, kondisi kelopak mata,
kemerahan, perdarahan sklera, benda asing, pergerakan abnormal.
 Hidung
Perlukaan, darah, cairan, pernapasan cuping hidung, kelainan anatomi
karena ruda paksa.
 Mulut
Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka
mulut/tidak.
 Bibir
Perlukaan, perdarahan, sianosis, kelembaban.
 Rahang
Perlukaan, stabilitas, krepitasi.
 Kulit
Perlukaan, kelembaban, suhu.
 Leher
Perlukaan, bendungan vena, deviasi trachea, spasme otot, stoma, tracheal
tug, stabilitas tulang leher.
b. Periksa dada
Flail chest, pernapasan diafragma, kelainan bentuk, tarikan otot bantu
pernapasan, nyeri tekan, perlukaan, suara ketukan (perkusi), suara napas
(auskultasi).
c. Periksa perut
Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan, undulasi.
d. Periksa tulang belakang
Kelainan bentuk (deformitas), nyeri tekan, spasme otot.
e. Periksa pelvis/genetalia
Perlukaan, nyeri, pembengkakan, krepitasi, inkontinensia.
f. Periksa ekstermitas atas dan bawah.
Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan, gangguan rasa, bengkak, denyut
nadi, warna kuku dan kulit, tremor, kejang, reflek fisiologis dan patologis.
4. Pengkajian tersier seperti pemeriksaan gula darah dan pemeriksaan laboratorium.
(Nitil, 2011)
6.Diagnosa keperawatan
a. Risiko syok berhubungan dengan perdarahan (D.0039)
Penulis mengangkat masalah ini karena dari hasil observasi perawat didapat hasil
akral dingin, pucat. CRT > 3detik, nadi carotis dan radialis 100x/ menit, nadi kuat,
TD: 130/ 85mmHg mukosa kulit pucat, turgor kulit kurang baik dan dicurigai
adanya pendarahan bagian dalam. Pada masalah keperawatan risiko syok
dilakukan Tindakan keperawatan pencegahan pendarahan dengan memonitor nilai
HB, pertahankan bed rest selama perdarahan.
b.Risiko luka tekan berhubungan dengan edema (D.0144)
Penulis mengangkat masalah ini karena dari observasi didapat hasil adanya
trauma, adanya kelainan deformitas/ kelainan bentuk pada kaki, adanya edema
didaerah tulang duduk/ pelvis. Pada masalah keperawatan risiko luka tekan
dilakukan Tindakan keperawatan edukasi edema mengidentifikasi kemampuan
klien dan keluarga menerima informasi tentang penyebab edema.
c.Nyeri akut berhubungan dengan pencedera fisik (trauma) (D.0077)
Penulis mengangkat masalah ini karena dari observasi didapat hasil adanya odem
pada tulang duduk, dan terdapat nyeri tekan pada pelvis. Pada masalah
keperawatan nyeri akut dilakukan Tindakan keperawatan mengidentifikasi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, skala nyeri,
mengidentifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri, memberikan
Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (misalnya, kompres hangat/
dingin, melakukan terapi musik), memfasilitasi istirahat tidur.
d.Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan intregitas struktur
tulang (D.0054)
penulis mengangkat masalah ini karena dari observasi didapat hasil kekuatan otot
pasien 1, terdapat odem pada tulang duduk, pasien kesulitan untuk duduk. Pada
masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik dilakukan Tindakan keperawatan
mengidentifikasi adanya nyeri, atau keluhan fisik lainnya, melakukan pergerakan,
jika perlu, mengajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (misalnya,
duduk ditempat tidur, duduk disisi tempat tidur, pindah dari tempat kekursi).
7.Intervensi keperawatan
a.Risiko syok berhubungan dengan perdarahan (D.0039)
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam,diharapkan tingkat syok
(L.03032) menurun. Dengan kriteria hasil :
1.akral dingin menurun (5)
2.pucat menurun (5)
3.tekanan nadi membaik (5)
4.frekuensi napas membaik (5)
Intervensi:
Pencegahan pendarahan (1.02067)
Observasi:
1.monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum dan setelah kehilangan darah
Terapeutik:
2.pertahankan bed rest selama perdarahan
Edukasi:
3. jelaskan tanda dan gejala perdarahan.
b.Risiko luka tekan berhubungan dengan edema (D.0144)
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam,diharapkan mobilitas fisik
(L. 05042) menurun. Dengan kriteria hasil :
1.pergerakan ekstremitas meningkat (5)
2.kekuatan otot meningkat (5)
3.nyeri menurun (5)
4. kelemahan fisik menurun (5)
Intervensi:
Edukasi edema (1.12370)
Observasi
1.identifikasi kemampuan pasien dan keluarga menerima informasi
2.berikan kesempatan pasien dan keluarga bertanya
Edukasi
3.Instruksikan pasien dan keluarga untuk menjelaskan Kembali definisi, penyebab,
gejala dan tanda, penanganan dan pencegahan edema.
c.Nyeri akut berhubungan dengan pencedera fisik (trauma) (D.0077)
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam,diharapkan Tingkat nyeri (L.
08066) menurun. Dengan kriteria hasil :
1.keluhan nyeri menurun (5)
2.meringis menurun (5)
3.pola nafas membaik (5)
Intervensi:
Manajemen nyeri (I.08238)
Observasi :
1.identifitasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. identifikasi skala nyeri
3. identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Terapeutik :
1.berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis.kompres hangat/
dingin, terapi musik)
2.fasilitasi istirahat tidur
Edukasi :
1.jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2.jelaskan strategi meredakan nyeri.
d.Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
(D.0054)
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan Tindakan keperawatan selama 1 x 8 jam diharapkan mobilitas fisik
(L.05042) meningkat:
1.pergerakan ekstremitas meningkat (5)
2.kekutan otot meningkat (5)
3.nyeri menurun (5)
4.gerakan terbatas menurun (5)
5.kelemahan fisik menurun (5)
Intervensi:
Dukungan mobilisasi (1.05173)
Observasi:
1.identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya.
Terapeutik :
2.fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
Edukasi:
3.ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis.duduk ditempat tidur,
duduk disisi tempat tidur, pindah dari tempat ke kursi)
8.Implementasi keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan perencanaan (Intervensi).
9.Evaluasi keperawatan
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan yang digunakan untuk
menentukan seberapa baik rencana keperawatan bekerja dengan menunjukkan respon
klien dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bucha, ZRW, et.all. 1984. Orthopaedic pacision making P. 28-29. Toronto Philadelphia:
Dekker Inc

Scatzker J: Tile Mirza. 1987. The Rationale Of Operative Fracture Care, P. 133-172.
Springer Verlag: Berlag Heidelberg

Ismiarto, Yoyos Dias dan Yoan Putrasos Arif. 2019. Faktor risiko potensial terhadap
kematian pada pasien pelvic ring injury yang dirawat Di RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Vol. 9 no. 2. Bandung: Fakultas kedokteran UNPAD

Coccolin, Federico.,dkk. 2017. Pelvic trauma: WSES classification and guildelines.


Vol.12 no.5. Italy: Biomed Central.

Herdman, T Heather. 2009. Nursing Diagnoses: Definitions and Classification. USA:


Wiley- Blackwell.

Turfan, S. 2016. Relationship Between The Young- Burgess Classification system of


Pelvic fractures and mortality anad morbiditiy. Medical journal of Islamic word
academy of science: 24(3): 89-93

Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar diagnosis keperawatan Indonesia. Jakarta:
Dewan pengurus pusat persatuan perawat nasional Indonesia.
Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standart intervensi keperawatan Indonesia. Jakarta:
Dewan pengurus pusat persatuan perawat nasional Indonesia.
Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar luaran keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
pengurus pusat persatuan perawat nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai