Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS

TRAUMA SERVIKAL DI RUANGAN IGD


RSUD ADEAN BANGGAI LAUT

DI SUSUN OLEH :

Sri Wahyully Laato S.Kep


2021032105

CI LAHAN CI INSTITUSI

Mohamad Nur Isjiantoro, S.Kep Ns. Wahyu Sulfian,S.Kep.,M.Kes

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2022
KONSEP DASAR FRAKTUR SERVICAL
A. Definisi

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan

tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2003).

Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal

dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur

vertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis daerh

servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari tulang

servikal. Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang servikal

lepas. Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang vertebra

servikalis (Muttaqin, 2017).

Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan

lumbalis akibat trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,

kecelakakan olah raga dsb ( Sjamsuhidayat, 2020).

Fraktur tulang leher merupakan suatu keadaan darurat medis yang

membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf

tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting

untuk menjaga leher .Fraktur ini sering terjadi pada anak karena kondisi tulang

masih sangat rawan untuk tumbuh dan berkembang.

Fraktur tulang leher sangat berbahaya karena bisa mengganggu sistem saraf

yang terdapat pada vertebra. Hal ini bias mengakibatkan gangguan-gangguan


neurologis. Bahkan fraktur pada tulang leher bisa menyebabkan seorang anak

mengalami lumpuh.

B. Etiologi

1. Faktor Presipitasi dan Predisposisi Frakture Servical

a. Faktor Presipitasi

1) Kekerasan Langsung

Kekerasan secara langsung menyebabakan tulang patah pada titik

terjadinya kekerasan atau kekuatan kekuatan yang tiba-tiba dan yang

dapat berupa pukulan, penghancuran, penekukan, penarikan

berlebihan. Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada

tempat yang terkena dan jaringan lunaknyapun juga rusak.

2) Kekerasan Tidak Langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabakan tulang patah di tempat yang

jauh dari tempat terjadinya kecelakaan atau kekerasan, dan biasanya

yang patah adalah bagian yang lemah jalur hantaman vektor

kekerasan.

3) Kekerasan Akibat Tarikan Otot

Patah tulang oleh karena tarikan otot yang jarang terjadinya.

b. Faktor Predisposisi
1) Faktor ekstrinsik adalah gaya dari luar yang bereaksi pada tulang serta

tergantung dari besarnya, waktu atau lamanya dan arah gaya tersebut

dapat menyebabkan patah tulang.

2) Faktor instrinsik adalah beberapa sifat penting dari tulang yang

menentukan daya tahan timbulnya fraktur , yaitu kapasitas absorbsi

dari sendi, daya elastisitas, daya terhadap kelelahan dan aktivitas atau

kepadatan, usia lanjut (Ivones, 2017).

2. Patofisiologis

Apabila tulang hidup normal dan mendapat kekerasan yang cukup

menyebabkan patah, maka sel-sel tulang akan mati. Perdarahan biasanya

terjadi disekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang

tersebut. Jaringan lunak biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi

peradangan hebat timbul setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mati

berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah di tempat tersebut.

Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah

terbentuk bekuan fibrin (hematom fraktur) dan berfungsi sebagai jalan untuk

melekatnya sel-sel baru. Aktifitas osteoblas segera terangsang dan membentuk

tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin di reabsorbsi dan sel-sel

tulang baru secara perlahan lahan mengalami remodeling untuk tulang sejati.

Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi.

Penyembuhan memerlukan beberapa minggu sampai beberapa bulan (Corwin

2019)
C. Manifestasi Klinis

Menurut Hudak (2019), menifestasi klinis trauma servikal adalah

sebagai berikut :

1. Lesi C1-C4

Pada lesi C1-C4. Otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma masih

berfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis dan tidak

ada gerakan (baik secara fisik maupun fungsional0 di bawah transeksi spinal

tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1 malalui C3 meliputi daerah

oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori

diilustrasikan oleh diagfragma dermatom tubuh.

Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan perhatian

penuh karena ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan sehari-hari

seperti makan, mandi, dan berpakaian. quadriplegia pada C4 biasanya juga

memerlukan ventilator mekanis tetapi mengkn dapat dilepaskan dari ventilator

secara. intermiten. pasien biasnya tergantung pada orang lain dalam

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari meskipun dia mungkin dapat makan

sendiri dengan alat khsus.

2. Lesi C5

Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma

rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. paralisis intestinal dan

dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernapasan. Ekstremitas atas

mengalami rotasi ke arah luar sebagai akibat kerusakan pada otot


supraspinosus. Bahu dapat di angkat karena tidak ada kerja penghambat

levator skapula dan otot trapezius. setelah fase akut, refleks di bawah lesi

menjadi berlebihan. Sensasi ada pada daerah leher dan triagular anterior dari

daerah lengan atas.

3. Lesi C6

pada lesi segen C6 disters pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal

dan edema asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik, dengan lengan

abduksi dan lengan bawah fleksi. Ini karena aktivitasd tak terhambat dari

deltoid, bisep dan otot brakhioradialis.

4. Lesi C7

Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesori

untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas atas

mengambil posis yang sama seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan biasnya

berlebihan ketika kerja refleks kembali.

E. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Mansjoer (2019), ada pun pemeriksaan penunjang trauma servikal

yaitu :

1. Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk

kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.

2. CT scan

Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.

3. MRI

Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.

4. Mielografi

Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor

patologisnya tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang

subarakhnoid medulla spinalis.

5. Foto rontgen torak

Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada diagfragma,

anterlektasis).

6. GDA

Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

F. Penatalaksanaan

Menurut Brunner & Suddarth (2018) penatalaksanaan pada pasien truama

servikal yaitu :

1. Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)


Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin

lift, jaw thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang

(hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.

2. Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar,

imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.

3. Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 -

C7) dengan menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan

rotasi), member lipatan selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.

4. Menyediakan oksigen tambahan.

5. Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse

oksimetri.

6. Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.

7. Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh

dari hipotensi dan bradikardi.

8. Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika

terjadi gejala bradikardi.

9. Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.

10. Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan

spinal cord : steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari

24 jam, dimulai dari 8 jam setelah kejadian.\

11. Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran

pasien.
12. Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.

13. Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus.

14. Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).

15. Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi secara

konsisten untuk menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.

16. Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan.

G. Komplikasi

Menurut Emma (2020), komplikasi pada trauma servikal adalah,

1. Syok neurogenik

Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang

desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan

tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah

maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.

2. Syok spinal

Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah

terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak

seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.

3. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari

cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau

torakal atas.

4. Hiperfleksia autonomic

Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti

nasal, bradikardi dan hipertensi.


H. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan hambatan neurologis

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hambatan mukuloskeletal

D. INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa NOC NIC


keperawatan

Nyeri akut Setelah dilakukan 1) Lakukan pengkajian nyeri


berhubungan dengan tindakan keperawatan komprehensif meliputi
lokasi, karakteristik,
agen cedera fisik diharapkan nyeri akut
kualitas dan factor
dapat teratasi dengan pancetus
Ds:
kriteria hasil : 2) Monitor tanda-tanda vital
klien
-perubahan selera
1) Mengenali kapan 3) Tentukan akibat
makan pengalaman nyeri yang di
nyeri terjadi
rasakan terhadap kualitas
-perilaku ekspresif 2) Ekspresi wajah rileks hidp klien (nafsu makan,
3) Dapat beristirahat tidur, perasaan, hubungan
-sikap tubuh dan peforma kerja)
4) Mengenali kapan
melindungi 4) Ajarkan prinsip
nyeri terjadi manajemen nyeriteknik
Do: 5) Mampu melakukan nonfarmakologiseperti
pengurangan nyeri relaksasi nafas dalam dan
-ekspresi wajah distraksi
tanpa analgetik
nyeri 5) Penatalaksanaan
6) Melaporkan nyeri pemberian obat analgetik
-sikap melindungi yang terkontrol yang di rekomendasikan
6) Dukung istirahat atau tidur
area nyeri
yang adekuat untuk
membantu mengurangi
-perilaku protektif nyeri
7) Dorong klien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyerinya
dengan tepat

Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Monitor kecepatan


tindakan keperawatan irama,kedalaman dan
pola nafas
selama 1x24 jam di kesulitan bernafas
berhubungan
harapkan 2. bantu sekresi pernapasan
hamabatan ketidakefektifan pola pasien
nafas membaik dengan 3. Kolaborasi dengan team
neurologis
kriteria hasil: medis dalam pemberian
Ds:
O2 dan pemeriksaan kadar
1. Frekuensi pernafasan
-brapdinea gas darah arteri
normal
-sianosis 2. Penggunaan otot

-penurunan tekanan bantu nafas tidak ada


3. Gangguan kesadaran
ekspirasi
tidak ada.
-pernapasan cuping 4. Sianosis tidak ada

hidung

Do:

-menggunakan otot

bantu napas

-menggunakan posisi

tiga titik
Hambatan Setelah dilakukan 1) Posisikan kesejajaran tubuh
mobilitas fisik tindakan keperawatan yang sesuai
berhubungan dengan selama 1x24 jam di 2) Monitor sirkulasi gerakan
hambatan harapkan hambatan dan sensasi ekstremitas yang
mukuloskeletal mobilitas fisik membaik sakit
dengan kriteria hasil: 3) Sediakan penghilang raa
Ds:
nyeri yang cukup
1. nyeri tekan tidak ada
-perubahan sikap 4) Monitor untuk gangguan
berjalan 2. kekuatan otot tidak gambaran diri dan konseling
terganggu
-penurunan rentang
gerak 3. fraktur tulang tidak
ada
-kesulitan
membolak-balik 4. demam tidak ada
posisi

Do:

-tremor akibat
bergerak

-gerakan lambat
Daftar Pustaka

Brunner & Suddarth. 2018. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta :
EGC
Emma. 2020. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Ganggaun Persyarafan. Jakarta:
Salemba Medika
Keliat, Budi Anna, dkk . 2017. Diagnosis Keperawaan Definisi dan Klasifikasi 2015-
2017. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arief. 2019. Kapita Selecta Kedokteran Edisi ke III. Jakarta: Media
Aesculapius
Muttaqin, Arif. 2020. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal: Aplikasi pada Praktik
Klini Keperawaatan. Jakarta: EGC
NANDA. 2021. Diagnosa Keperawatan Defenisi & Klasifikasi 2021-2023. (Budi
Anna Keliat dkk, penerjemah). Jakarta: EGC

Nursing Interventions Classification (NIC) 2021-2023. 7th Indonesian edition, by


Howard Butcher, Gloria Bulechek sat Joanne Dochterman and Cheryl
Wagner O Copyright 2018 Elsevier Singapore Pte.Ltd.

Nursing Outcomes Classification (NOC) 2021-2023 6th Indonesian edition, by Sue


Moorhead, Elizabeth Swanson, Marion Johnson, Meridean L. Maas O
Copyright 2018 Elsevier Singapore Pte Ltd.

Sjamsuhidayat, Win De Jang. 2017. Buku Ajar ilmu Bedah Edisi II. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai