Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA NY.E


DENGAN TINDAKAN LIMFADENEKTOMI
MENGGUNAKAN TEHNIK ANESTESI GENERAL LMA
DI RUMAH SAKIT Dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA
PURBALINGGA

Disusn Oleh:
Nama : Rismawati
NIM : 190106126

Mengetahui,

Pembimbing Akademi Pembimbing Klinik

(...................................................) (...................................................)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


ANESTESIOLOGI FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2022
A. KONSEP TEORI PENYAKIT
1. DEFINISI
Limfadenopati merujuk kepada nodul limfa yang tidak normal ukurannya
(lebih dari 1 cm) atau pada konsistensinya. Nodul supraklavikula, poplitea,
dan iliaka yang teraba, dan nodul epitrochlear yang lebih besar dari 5 mm,
dianggap abnormal (Rasyid, Wulan, and Prabowo 2018)
Limfadenopati adalah ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam
ukuran, konsistensi, ataupun jumlahnya. Pada daerah leher (cervical),
pembesaran kelenjar getah bening didefinisikan bila kelenjar membesar lebih
dari diameter satu centimeter. Pembesaran kelenjar getah bening dapat
dibedakan menjadi limfadenopati lokalisata dan generalisata (Andreyani 2018)
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Limfadenopati
merupakan pembesaran kelenjar limfatik atau suatu keadaan dimana KGB
mengalami pembesaran dengan ukuran lebih dari 1 cm dan terabanya kelenjar
epitroklear dengan ukuran lebih besar dari 5 mm yang merupakan keadaan
abnormal.

2. ETIOLOGI
Secara umum banyak hal yang dapat menimbulkan limfadenopati, keadaan
tersebut dapat diingat dengan singkatan MIAMI yang terdiri dari malignansi
atau keganasan (limfoma, leukemia, neoplasma kulit, sarkoma kaposi,
metastasis), infeksi (bruselosis, cat-scratch disease, CMV, HIV, infeksi
primer, limfogranuloma venereum, mononukleosis, faringitis, rubela,
tuberkulosis, tularemia, demam tifoid, sifilis, hepatitis), autoimun (lupus
eritematosus sistemik, artritis reumatoid, dermatomiositis, sindrom sjogren),
miscellaneous and unusual conditions atau berbagai macam dan kondisi tidak
biasa (penyakit kawasaki, sarkoidosis), dan penyebab iatrogenik (serum
sickness, obat) (Rasyid, Wulan, and Prabowo 2018).
3. KLASIFIKASI
Klasifikasi limfadenopati menurut (Albert 2020) yaitu :
1) Level I
a. Sublevel I A (submental)
KGB dalam batas segitiga antara m. digastricus bagian anterior dan
tulang hyoid. Kelompok ini mempunyai risiko metastasis keganasan dari
mulut, anterior lidah, anterior mandibula, bibir bawah.
b. Sublevel I B (submandibular)
KGB dalam batas m. digastrik bagian anterior, m. stilohioid dan
mandibula. Kelompok ini mempunyai risiko metastasis keganasan dari
kavum oral, kavum nasal anterior, jaringan lunak wajah dan glandula
submandibularis.
2) Level II (jugular atas)
KGB di antara vena jugularis interna 1/3 atas, nervus asesorius spinalis
mulai dari basis kranii sampai bagian inferior tulang hyoid. Kelompok ini
mempunyai risiko untuk metastasis keganasan dari kavum oral, kavum
nasi, nasofaring, orofaring, hipofaring, laring dan kelenjar parotis.
a.  Sublevel II A : Terletak di bagian anterior nervus asesorius spinalis.
b. Sublevel II B Terletak di bagian anterior nervus asesorius spinalis.
3) Level III (jugular tengah)
KGB di antara vena jugularis interna 1/3 tengah, mulai bagian inferior
tulang hyoid sampai bagian inferior kartilago krikoidea. Kelompok ini
mempunyai risiko untuk metastasis keganasan dari kavum oral,
nasofaring, orofaring, hipofaring dan laring.
4) Level IV (jugular bawah)
KGB di antara vena jugularis interna 1/3 bawah, mulai bagian inferior
kartilago krikoidea sampai klavikula. Kelompok ini mempunyai risiko
untuk metastasis keganasan dari hipofaring tiroid, esofagus bagian servikal
dan laring.
5) Level V (posterior triangle group)
KGB di sekitar nervus asesoris pertengahan bawah dan arteri servikal
trnasversa. Kelompok ini mempunyai risiko metastasis keganasan dari
nasofaring, orofaring dan struktur kulit pada posterior kepala dan leher.
a. Sublevel V A : Di atas batas inferior arkus krikoideus anterior, termasuk
kelenjar asesoris spinal.
b. Sublevel V B : Di bawah batas inferior arkus krikoideus anterior,
termasuk kelenjar supraklavikula (kecuali nodus Virchow di level IV).
6) Level VI (anterior triangle group)
KGB diantara tulang hyoid dan takik suprasternal (suprasternal notch).
Kelompok ini mempunyai risiko untuk metastasis keganasan dari tiroid,
laring bagian glottis dan subglotis, apeks sinus piriformis dan esophagus
bagian servikal.

4. TANDA DAN GEJALA


Tanda yang sering terjadi pada penderita Limfadenopati menurut
(APRILLA 2019)
1) Demam yang berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38,0 Derajat
Celcius.
2) Sering keringat malam.
3) Sehilangan Berat Badan (BB) lebih dari 10% dalam 6 bulan
4) Timbul benjolan di daerah Sub Mandibular
5) Ketiak dan lipat paha.
Gejala pada Limfadenopati atau pembesaran KGB seperti klien mungkin
mengalami gejala :
1) Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).
2) Merasa agak lembut kelenjar di bawah kulit di sekitar telinga
3) Di bawah dagu, di bagian atas dari leher, ada beberapa yang mengalami
infeksi kulit.
4) Infeksi (mononucleosis atau “mono” HIV dan jamur atau parasite
infeksi) dan gangguan kekebalan tubuh seperti lupus atau rheumatoid
arthritis. (Oktarizal, 2019).

5. PATOFISIOLOGI
Sebuah penelitian oleh Price tahun 1995 dikutip dari jurnal (Andreyani
2018) Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem
vaskular darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam
saluran limfe jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawa kesentral dalam
badan dan akhirnya bergabung kembali kedarah vena. Bila daerah terkena
radang, biasanya terjadi kenaikan yang menyolok pada aliran limfe dari daerah
itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan peradangan akut, lapisan
pembatas pembuluh limfe yang terkecil agak meregang, sama seperti yang
terjadi pada venula, dengan demikian memungkinkan lebih banyak bahan
interstisial yang masuk kedalam pembuluh limfe. Bagaimanapun juga, selama
peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan
protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama.
Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe
menguntungkan karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang
meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-
agen yang dapat menimbulkan cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari
tempat peradangan primer ketempat yang jauh dalam tubuh. Dengan cara ini,
misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar. Penyebaran sering
dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional yang
dilalui oleh cairan limfe yang bergerak menuju kedalam tubuh, tetapi agen
atau bahan yang terbawa oleh cairan limfe mungkin masih dapat melewati
kelenjar dan akhirnya mencapai aliran darah.
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis dapat menghasilkan petunjuk
tentang kemungkinan diagnosis ini dan evaluasi lebih lanjut secara langsung
(misalnya hitung darah lengap, biakan darah, foto rontgen, serologi, uji kulit).
Jika adenopati sistemik tetap terjadi tanpa penyebab yang jelas tanpa
diketahui, biopsi kelenjar limfe dianjurkan. Biopsi kelenjar jika diputuskan
tindakan biopsi, idealnya dilakukan pada kelenjar yang paling besar, paling
dicurigai dan paling mudah diakses dengan pertimbangan nilai diagnostiknya.
KGB inguinal mempunyai nilai diagnostik paling rendah. KGB
supraklavikular mempunyai nilai diagnostik paling tinggi. Adanya gambaran
arsitektur kelenjar pada biopsi merupakan hal yang penting untuk diagnostic
yang tepat, terutama untuk membedakan limfoma dengan hyperplasia reaktif
yang jinak. (Oehadian, 2019).

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang menurut (Rasyid, Wulan,
and Prabowo 2018) diantaranya yaitu :
1) Biopsi eksisi
Merupakan gold standar dari pemeriksaan limfadenopati namun
tidak semua pusat layanan kesehatan dapat melakukan prosedur ini karena
keterbatasan sarana dan tenaga medis. Disamping itu, metode biopsi eksisi
ini tergolong invasif dan mahal.
2) Biopsi aspirasi jarum halus
Merupakan penunjang yang cukup baik dalam menggantikan jika
pusat pelayanan kesehatan memiliki keterbatasan sarana dan tenaga medis.
Meskipun biopsi aspirasi jarum halus adalah diagnosis pertama yang
mapan alat untuk evaluasi kelenjar getah bening, hanya biopsi inti atau
biopsi eksisi akan cukup untuk diagnosis formal limfoma ketika teknik
analitik lebih lanjut tidak tersedia, seperti imunohistokimia, aliran
cytometry dan noda khusus.
3) Pemeriksaan laboratorium
Limfadenopati terutama dilihat dari riwayat dan pemeriksaan fisik
berdasarkan ukuran dan karakteristik lain dari nodul dan pemeriksaan
klinis keseluruhan klien. Ketika pemeriksaan laboratorium ditunjukkan, itu
harus didorong oleh pemeriksan klinis. Pemeriksaan laboratorium dari
limfadenopati diantaranya adalah complete blood cell count (CBC) with
differential, erythrocyte sedimentation rate (ESR), lactate dehydrogenase
(LDH), specific serologies based on exposures and symptoms [B.
henselae, Epstein– Barr virus (EBV), HIV], tuberculin skin testing (TST).
4) Pemeriksaan radiologi
Diantaranya yaitu ultrasonografi bisa berguna untuk diagnosis dan
monitor klien dengan limfadenopati, terutama jika mereka memiliki
kanker tiroid atau riwayat terapi radiasi saat muda. Tetapi harus dipikirkan
bahwa meski di klien kanker pembesaran kelenjar getah bening jinak lebih
sering dibandingkan yang ganas. Bentuk dari nodul limfa jinak biasanya
berbentuk oval 27 tipis sedangkan ganas berbentuk bulat dan kenyal.
Perbedaan di ukuran atau homogenitas tidak menjadi indikator patologi
yang bisa diandalkan.
5) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Sebelum meluasnya penggunaan gadolinium dan teknik supresi
lemak, MRI sering tidak lebih spesifik dibandingkan Computerized
Tomography (CT) dalam karakterisasi nodul limfa servikal metastasis
karena rendahnya kemampuan untuk menunjukkan nodul yang bertambah
secara heterogen, tanda metastasis nodul yang sangat akurat dalam
pengaturan SCC leher. Namun, teknologi scan MRI meningkat,
peningkatan gadolinium, dan rangkaian supresi lemak telah
memungkinkan akurasi yang sebanding. Juga, deteksi MRI dari invasi
arteri karotis oleh penyebaran ekstrakaspular tumor dari nodul sering kali
lebih unggul daripada CECT.
6) Pemeriksaan CT
Nodul limfa dilakukan bersamaan selama pemeriksaan CT
terhadap sebagian besar tumor suprahyoid dan infrahyoid atau peradangan.
Kualitas penilaian nodul limfa sangat tergantung pada keberhasilan
mencapai konsentrasi kontras yang tinggi dalam struktur arteri dan vena
leher. Jika tidak, nodul dan pembuluh mungkin tampak sangat mirip.
(Rasyid et al. 2018).

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan limfadenopati KGB leher didasarkan kepada penyebabnya.
Banyak kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan sendirinya dan
tidak membutuhkan pengobatan apapun selain observasi. Kegagalan untuk
mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsi
KGB. Biopsi dilakukan terutama bila terdapat tanda dan gejala yang
mengarahkan kepada keganasan. KGB yang menetap atau bertambah besar
walau dengan pengobatan yang adekuat mengindikasikan diagnosis yang
belum tepat (Rasyid, Wulan, and Prabowo 2018).
a. Penatalaksanaan Terapi
Antibiotik perlu diberikan apabila terjadi limfadenitis supuratif
yang biasa disebabkan oleh Staphyilococcus. aureus dan Streptococcus
pyogenes (group A). Pemberian antibiotik dalam 10-14 hari dan organisme
ini akan memberikan respon positif dalam 72 jam. Kegagalan terapi
menuntut untuk dipertimbangkan kembali diagnosis dan penanganannya.
b. Penatalaksanaan Operatif
Pembedahan mungkin diperlukan bila dijumpai adanya abses dan
evaluasi dengan menggunakan USG diperlukan untuk menangani pasien
ini.

B. PERTIMBANGAN ANESTESI
1. DEFINISI ANESTESI
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa
sakit ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang
menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan
untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan
(Sabiston, 2019).

2. JENIS ANESTESI
Anestesi umum atau general anestesi merupakan tindakan
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang dapat
pulih kembali (reversible). Anestesi umum menyebabkan mati rasa karena
obat ini masuk ke jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi.
Anestesi umum disebut juga sebagai narkose atau bius (Mangku dan
Senapathi, 2019). General anestesi atau anestesi umum bertujuan untuk
menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia
yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Tiga pilar anestesi umum
meliputi hipnotik atau sedatif, yaitu membuat pasien tertidur atau
mengantuk/ tenang, analgesia atau tidak merasa sakit, rileksasi otot, yaitu
kelumpuhan otot skelet, dan stabilitas otonom antara saraf simpatis dan
parasimpatis (Pramono, 2017).

3. TEKNIK ANESTESI
a. Teknik anestesi umum menurut Mangku dan Senapathi (2017),
dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
1) Anestesi umum inhalasi

Salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan memberikan


kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
Obat-obat anestesi umum di antaranya nitrous oksida (N2O), halotan,
enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Berdasarkan khasiatnya,
obat-obat tersebut dikombinasikan saat digunakan.
Kombinasi obat tersebut diatur sebagai berikut
• N2O + halotan atau,
• N2O + isofluran atau,
• N2O + desfluran atau,
• N2O + enfluran atau,
• N2O + sevofluran.
Pemakaian N2O harus dikombinasikan dengan O2 dengan perbandingan
70 : 30 atau 60 : 40 atau 50 : 50.
Menurut Goodman & Gilman (2017), cara pemberian anestesi dengan
obat-obatan inhalasi dibagi menjadi empat sebagai berikut :
a) Open drop method
Cara ini dapat digunakan untuk zat anestetik yang menguap,
peralatan sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas
yang ditempelkan di depan hidung sehingga kadar zat anestetik dihirup
tidak diketahui karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
b) Semi open drop method
Cara ini hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi
terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang
dikeluarkan pasien sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia,
untuk menghindari hal tersebut, pada masker dialirkan oksigen melalui
pipa yang ditempatkan di bawah masker.
c) Semi closed method
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat
ditentukan kadarnya, kemudian dilewatkan pada penguap (vaporizer)
sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Sesudah dihisap pasien,
karbondioksida akan dibuang ke udara luar. Keuntungan cara ini,
kedalaman anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu zat
anestetik sehingga hipoksia dapat dihindari dengan pemberian O2.
d) Closed method
Cara ini hampir sama dengan semi closed, hanya udara ekspansi
dialirkan melalui absorben (soda lime) yang dapat mengikat
karbondioksida, sehingga udara yang mengandung zat anestetik dapat
digunakan lagi.
2) Anestesi umum intravena
Salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah
vena. Obat-obat anestesia intravena di antaranya ketamin HCl, tiopenton,
propofol, diazepam, deidrobenzperidol, midazolam, petidin, morfin,
fentanil/ sufentanil.
3) Anestesi imbang
Teknik anestesi dengan menggunakan kombinasi obat-obatan baik
obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi
teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai trias
anestesi secara optimal dan berimbang.

b. Komplikasi Anestesi Umum

Pulih dari anestesi umum idelnya secara bertahap dan tanpa keluhan.
Sebagian besar pasien mengalami pemulihan dari anestesi tanpa kejadian-
kejadian khusus tetapi sejumlah kecil pasien dengan jumlah yang tidak
dapat diperkirakan mengalami komplikasi (Gwinnutt, 2018). Komplikasi
pascaanestesi umum sebagai berikut (Latif, Suryadi, dan Dachlan, 2018)
1) Gangguan pernapasan
Obstruksi jalan napas parsial atau total, tidak ada ekspirasi (tidak
ada suara napas) paling sering dialami pada pasien pascaanestesi
umum yang belum sadar karena lidah jatuh menutup faring atau edema
laring. Penyebab lain yaitu kejang laring (spasme laring) pada pasien
menjelang sadar karena laring terangsang oleh benda asing, darah atau
sekret. Selain itu, pasien dapat mengalami sianosis (hiperkapnea,
hiperkarbia) atau saturasi O2 yang menurun (hipoksemia) yang
disebabkan pernapasan pasien yang lambat dan dangkal
(hipoventilasi). Pernapasan lambat dapat diakibatkan karena pengaruh
obat opioid dan dangkal karena pelumpuh otot yang masih bekerja.
Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi,
takikardi yang berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung
(Latif, Suryadi, dan Dachlan, 2018).
2) Gangguan kardiovaskular
Komplikasi pada sistem sirkulasi yang dapat dijumpai pada pasien
dengan anestesi umum yaitu hipertensi dan hipotensi. Hipertensi dapat
disebabkan oleh nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakhea, cairan
infus berlebihan, atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia,
hiperkapnia, atau asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung
lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia,
edema paru, atau perdarahan otak. Hipotensi disebabkan akibat aliran
isian balik vena (venous return) menurun yang disebabkan perdarahan,
terapi cairan kurang adekuat, hilangnya cairan, kontraksi miokardium
kurang kuat, atau tahanan veskular perifer menurun. Hipotensi harus
segera ditangani agar tidak terjadi hipoperfusi organ vital yang
berlanjut dengan hipoksemia dan kerusakan jaringan (Latif, Suryadi,
dan Dachlan, 2018).
3) Mual muntah
Mual dan muntah pascaanestesi dapat terjadi pada 80% pasien
yang menjalani pembedahan dan anestesi. Beberapa pasien lebih
memilih untuk merasakan nyeri dibandingkan mual dan muntah pasca
bedah (Gwinnutt, 2017). Mual dan muntah pasca bedah merupakan
efek samping yang umum terjadi setelah sedasi dan anestesi umum.
Insidensinya paling tinggi dengan anestesi berbasis narkotika dan
dengan agen yang mudah menguap (Gupta dan Jrhee, 2019). Setiap
tiga sampai empat pasien mengalami mual dan muntah pasca bedah
setelah anestesi umum (Apfel, Stoecklein, dan Lipfert, 2017). Risiko
mual muntah pasca bedah 9 kali lebih kecil pada pasien dengan
anestesi regional daripada pasien dengan anestesi umum (Shaikh,
Nagarekha, Hegade, dan Marutheesh, 2019).
4) Menggigil
Menggigil (shivering) merupakan komplikasi pasien pascaanestesi
umum pada sistem termoregulasi. Hal tersebut terjadi akibat
hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi dapat terjadi akibat suhu
ruang operasi yang dingin, cairan infus yang dingin, cairan irigasi
dingin, bedah abdomen luas dan lama (Latif, Suryadi, dan Dachlan,
2018).

c. Adapun teknik intubasi


1) Intubasi Trakhea (ETT)
a. Pengertian
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea
kedalam trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-
kira dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief,
2017). Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi
umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi.
b. Ukuran ETT
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi
tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak
bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk 9
mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal
mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya
digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah
daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon
karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa
digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm
dan perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2017).

Diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)


Rumus lain: (umur + 2)/2
Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa
0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya
dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.

c. Indikasi Intubasi
Trakhea Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut (Latief, 2017):
a) Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi,
bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas
dan lain-lain.
b) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat
resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang.
c) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan
faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan
maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi (Latief,
2017).

d. Kotraindikasi ETT
Menurut Morgan (2018) ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan
mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain:
a) Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b) Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglottitis.
c) Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin
teacher, atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial .
d) Benda asing.
e) Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang
leher .
f) Obesitas.
g) Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction.
h) Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher
pendek, gigi moncong.

e. Pemasangan Intubasi Endotrakheal


Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai
berikut (Latief, 2017):
Persiapan Alat (STATICS):
1) Scope : Laringoscope, Stetoscope
2) Tubes : Endotrakheal Tube (ETT) sesuai ukuran
3) Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA
4) Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
5) Introducer : Mandrin / Stylet, Magill Forcep.
6) Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan anestesi.
7) Suction : Penghisap lendir siap pakai.
8) Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin anestesi
yang siap pakai, lengkap dengan sirkuit dan sumber gas).
9) Sarung tangan steril
10) Xylocain jelly/ Spray 10%
11) Gunting plester
12) Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
13) Bantal kecil setinggi 12 cm
14) Obat- obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan, analgesi dan
emergency).
a).Pelaksanaan

1) Mesin siap pakai


2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
4) Periksa balon pipa/ cuff ETT
5) Pasang macintosh blade yang sesuai
6) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
7) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10) Buka mulut dengan eknik cross finger dengan tangan kanan
11) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat
epiglotis, dorong blade sampai pangkal epiglotis
12) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan
kanan
14) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
15) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

f. Komplikasi Intubasi
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang
biasa terjadi adalah:
a) Saat Intubasi

1. Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di


laring.
2. Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
3. Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan
intra okuler, laringospasme.
4. Kebocoran balon.

b) Saat ETT di tempatkan

1. Malposisi (kesalahan letak).


2. Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa
hidung..
3. Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.

c) Setelah ekstubasi

1. Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan


trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
2. Laringospasme.

2) Laringeal Mask Airway (LMA)


a. Pengertian
LMA adalah suatu alat bantu jalan napas yang ditempatkan di
hipofaring berupa balon yang jika dikembangkan akan membuat daerah
sekitar laring tersekat sehingga memudahkan ventilasi spontan maupun
ventilasi tekanan positif tanpa penetrasi ke laring atau esophagus (Dorsch,
2019).
Ukuran LMA-Clasic Berat Badan (kg) Volume Cuff (ml)
1 <5 4
1,5 5-10 7
2 10-20 10
2,5 20-30 14
3 30-50 20
4 50-70 30
5 >70 40
Sumber : Morgan (2018)
LMA memberikan strategi baru dalam pelaksanaan jalan napas
kerena cara pemasangan yang mudah, memerlukan sedikit latihan dan
dapat dilakukan oleh seseorang dengan pengalaman anesthesia bervariasi.
LMA menyediakan akses yang berbeda ke berbagai fungsi dari saluran
pernafasan dan saluran pencernaan. Bentuk anatomi pipa jalan napas
berbentuk bulat panjang melengkung dan kaku, pada pipa saluran
pernapasan dengan diameter 15 mm yang pangkalnya terdapat konektor
yang berfungsi sebagai sambungan ke sirkuit mesin anestesi dan pada
ujungnya berposisi di laring proximal. Pada saluran pipa satunya berujung
pada pangkal saluran pencernaan berfungsi sebagai saluran ke saluran
pencernaan berposisi di depan sphinter esophagus. Terlihat pada saat
dimasukkan dengan rekomendasi teknik insersi (The Laryngeal Mask
Company Limited, 2017).

b. Indikasi LMA
1. Digunakan untuk prosedur anestesi jika tindakan intubasi
mengalami kegagalan.
2. Penatalaksanaan kesulitan jalan nafas yang tidak dapat
diperkirakan.
3. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak
sadarkan diri.
4. Pada operasi kecil atau sedang di daerah permukaan tubuh,
berlangsung singkat dan posisinya terlentang.

c. Kontraindikasi LMA
1. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung.
2. Pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik dalam
jangka waktu yang lama.
3. Pada operasi daerah mulut.
4. Pada pasien yang mengalami penurunan fungsi sistem pernafasan,
karena cuff pada LMA yang bertekanan rendah akan mengalami
kebocoran pada tekanan inspirasi yang tinggi dan akan terjadi
pengembangan lambung.

d. Pemasangan LMA (Lunn, 2005)


1. LMA mempunyai manset yang dikempiskan benar sebelum
dimasukkan, dan pompa setelah penempatannya benar.
2. Bagian belakang masker dilumasi secara menyeluruh.
3. Tingkat anestesi atau tidak sadar harus sama dengan tingkatan
untuk memasukkan LMA.
4. Kepala dan leher berada dalam posisi seperti pada intubasi trakea
dan asisten membuka mulut pasien selebar mungkin.
5. Ujung masker ditekankan pada palatum durum dengan ujung
terbuka, masker mengarah ke lidah tanpa boleh menyentuhnya.
6. Masker didorong sejauh mungkin. Masker ini terlalu lebar untuk
ujungnya berada di atas sfingter esofagus. Bagian samping masker
berada di atas fossae pyriformis dan tepi atasnya berada di dasar
lidah.

4. RUMATAN ANESTESI
1) Propofol 100mg IV
2) Fentanyl 100mcg
3) Ondansentron 4 mg
4) Sulfat Atropin 0,25 mg
5) Sevoflurane 2,5 cc
6) N20 3 cc
7) 02 3 cc
8) Infus Asering 500
9) Ibuprofen 800mg
C. WEB OF CAUTION ( WOC )

Sumber jurnal : (Andreyani 2018)


D. TINJAUAN TEORI PEMBEDAHAN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn.AJ
Umur : 66 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
2. Keluhan Utama
a. Saat Masuk Rumah Sakit
Pasien datang ke rumah sakit pada tanggal 31 Mei 2022 pukul 08.00
mengatakan nyeri dan terdapat benjolan dibagian leher sejajar dengan
telinga sebelah kanan , pasien menyadari adanya benjolan sejak bulan
Januari.
a. Saat Pengkajian
Dari hasil USG hasil bacaannya yaitu tampak benjolan bahu kanan medial
sampai dengan leher kanan bawah. Terlihat meringis saat didekan dibagian
benjolan. Skala nyeri pasien 5 (nyeri sedang) P : Pada saat ditekan Q :
Nyeri seperti terbakar R : bagian leher sejajar dengan telinga sebelah
kanan S : skala nyeri 5 ( sedang ) T : Hilang timbul. Pada saat pengkajian
didapatkan hasil tekanan darah 184/106 mmHg dan Nadi 116 x/menit ,
Respirsi 22x/menit, Suhu tubuh 36,5 derajat celcius, Saturasi oksigen
99%, pasien mengatakan cemas dan ceri . Pasien dilakukan tindakan
general anestesi.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien akan dilakukan tindakan pembedahan limfadenektomi
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi dan Pneumonia
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada

3. Masalah Anestesi
a. Pre Anestesi
1) Nyeri akut berhubungan dengan bio patofisiologi
2) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan puasa
sebelum operasi
b. Intra Anestesi
1) Resiko ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan
pemasangan LMA.
c. Post Anestesi
1) Resiko jatuh berhungan dengan efek obat anestesi
2) Resiko mual muntah berhubungan dengan efek obat anestesi
DAFTAR PUSTAKA

Albert. 2020. “Efektifitas Ondansetron Dalam Mencegah Hipotensi Dan


Bradikardi Pada Anestesi Spinal.”
Andreyani, Luthfi. 2018. “Rsud Tugurejo Semarang.” (Rm 20).
APRILLA, DEBBY DWIKARTIKA ANZY. 2019. “Biopsy Excisi Atas Indikasi
Tumor Mammae.”
Rasyid, Siti Raqiya, Anggraeni Janar Wulan, and Arif Yudho Prabowo. 2018.
“Diagnosis Dan Tata Laksana Limfadenopati.” Jurnal Majority 7(3): 261–
65. http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/
2088/2056.
Dian Setyorini 2017. PatHologic Basis of Diseases ( 7 th Ed). Philadelphia:
Elsevier &Saunders.p
Lokananta, Irene, 2018, www.scribd.com/doc/144560115/Limfadenopati-Colli, 20
oktober 2013, 06.45 WIB Repository USU,repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/16862/4/Chapter%20II.pdf, 20 oktober 2013, 06.30 WIB
Lowy F. (2012).Staphylococcoal infections. In: Harrison: Principles of
Medicine(18 th ed). USA: The McGraw-Hill.p.1160-5

Anda mungkin juga menyukai