Disusn Oleh:
Nama : Rismawati
NIM : 190106126
Mengetahui,
(...................................................) (...................................................)
2. ETIOLOGI
Secara umum banyak hal yang dapat menimbulkan limfadenopati, keadaan
tersebut dapat diingat dengan singkatan MIAMI yang terdiri dari malignansi
atau keganasan (limfoma, leukemia, neoplasma kulit, sarkoma kaposi,
metastasis), infeksi (bruselosis, cat-scratch disease, CMV, HIV, infeksi
primer, limfogranuloma venereum, mononukleosis, faringitis, rubela,
tuberkulosis, tularemia, demam tifoid, sifilis, hepatitis), autoimun (lupus
eritematosus sistemik, artritis reumatoid, dermatomiositis, sindrom sjogren),
miscellaneous and unusual conditions atau berbagai macam dan kondisi tidak
biasa (penyakit kawasaki, sarkoidosis), dan penyebab iatrogenik (serum
sickness, obat) (Rasyid, Wulan, and Prabowo 2018).
3. KLASIFIKASI
Klasifikasi limfadenopati menurut (Albert 2020) yaitu :
1) Level I
a. Sublevel I A (submental)
KGB dalam batas segitiga antara m. digastricus bagian anterior dan
tulang hyoid. Kelompok ini mempunyai risiko metastasis keganasan dari
mulut, anterior lidah, anterior mandibula, bibir bawah.
b. Sublevel I B (submandibular)
KGB dalam batas m. digastrik bagian anterior, m. stilohioid dan
mandibula. Kelompok ini mempunyai risiko metastasis keganasan dari
kavum oral, kavum nasal anterior, jaringan lunak wajah dan glandula
submandibularis.
2) Level II (jugular atas)
KGB di antara vena jugularis interna 1/3 atas, nervus asesorius spinalis
mulai dari basis kranii sampai bagian inferior tulang hyoid. Kelompok ini
mempunyai risiko untuk metastasis keganasan dari kavum oral, kavum
nasi, nasofaring, orofaring, hipofaring, laring dan kelenjar parotis.
a. Sublevel II A : Terletak di bagian anterior nervus asesorius spinalis.
b. Sublevel II B Terletak di bagian anterior nervus asesorius spinalis.
3) Level III (jugular tengah)
KGB di antara vena jugularis interna 1/3 tengah, mulai bagian inferior
tulang hyoid sampai bagian inferior kartilago krikoidea. Kelompok ini
mempunyai risiko untuk metastasis keganasan dari kavum oral,
nasofaring, orofaring, hipofaring dan laring.
4) Level IV (jugular bawah)
KGB di antara vena jugularis interna 1/3 bawah, mulai bagian inferior
kartilago krikoidea sampai klavikula. Kelompok ini mempunyai risiko
untuk metastasis keganasan dari hipofaring tiroid, esofagus bagian servikal
dan laring.
5) Level V (posterior triangle group)
KGB di sekitar nervus asesoris pertengahan bawah dan arteri servikal
trnasversa. Kelompok ini mempunyai risiko metastasis keganasan dari
nasofaring, orofaring dan struktur kulit pada posterior kepala dan leher.
a. Sublevel V A : Di atas batas inferior arkus krikoideus anterior, termasuk
kelenjar asesoris spinal.
b. Sublevel V B : Di bawah batas inferior arkus krikoideus anterior,
termasuk kelenjar supraklavikula (kecuali nodus Virchow di level IV).
6) Level VI (anterior triangle group)
KGB diantara tulang hyoid dan takik suprasternal (suprasternal notch).
Kelompok ini mempunyai risiko untuk metastasis keganasan dari tiroid,
laring bagian glottis dan subglotis, apeks sinus piriformis dan esophagus
bagian servikal.
5. PATOFISIOLOGI
Sebuah penelitian oleh Price tahun 1995 dikutip dari jurnal (Andreyani
2018) Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem
vaskular darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam
saluran limfe jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawa kesentral dalam
badan dan akhirnya bergabung kembali kedarah vena. Bila daerah terkena
radang, biasanya terjadi kenaikan yang menyolok pada aliran limfe dari daerah
itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan peradangan akut, lapisan
pembatas pembuluh limfe yang terkecil agak meregang, sama seperti yang
terjadi pada venula, dengan demikian memungkinkan lebih banyak bahan
interstisial yang masuk kedalam pembuluh limfe. Bagaimanapun juga, selama
peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan
protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama.
Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe
menguntungkan karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang
meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-
agen yang dapat menimbulkan cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari
tempat peradangan primer ketempat yang jauh dalam tubuh. Dengan cara ini,
misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar. Penyebaran sering
dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional yang
dilalui oleh cairan limfe yang bergerak menuju kedalam tubuh, tetapi agen
atau bahan yang terbawa oleh cairan limfe mungkin masih dapat melewati
kelenjar dan akhirnya mencapai aliran darah.
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis dapat menghasilkan petunjuk
tentang kemungkinan diagnosis ini dan evaluasi lebih lanjut secara langsung
(misalnya hitung darah lengap, biakan darah, foto rontgen, serologi, uji kulit).
Jika adenopati sistemik tetap terjadi tanpa penyebab yang jelas tanpa
diketahui, biopsi kelenjar limfe dianjurkan. Biopsi kelenjar jika diputuskan
tindakan biopsi, idealnya dilakukan pada kelenjar yang paling besar, paling
dicurigai dan paling mudah diakses dengan pertimbangan nilai diagnostiknya.
KGB inguinal mempunyai nilai diagnostik paling rendah. KGB
supraklavikular mempunyai nilai diagnostik paling tinggi. Adanya gambaran
arsitektur kelenjar pada biopsi merupakan hal yang penting untuk diagnostic
yang tepat, terutama untuk membedakan limfoma dengan hyperplasia reaktif
yang jinak. (Oehadian, 2019).
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang menurut (Rasyid, Wulan,
and Prabowo 2018) diantaranya yaitu :
1) Biopsi eksisi
Merupakan gold standar dari pemeriksaan limfadenopati namun
tidak semua pusat layanan kesehatan dapat melakukan prosedur ini karena
keterbatasan sarana dan tenaga medis. Disamping itu, metode biopsi eksisi
ini tergolong invasif dan mahal.
2) Biopsi aspirasi jarum halus
Merupakan penunjang yang cukup baik dalam menggantikan jika
pusat pelayanan kesehatan memiliki keterbatasan sarana dan tenaga medis.
Meskipun biopsi aspirasi jarum halus adalah diagnosis pertama yang
mapan alat untuk evaluasi kelenjar getah bening, hanya biopsi inti atau
biopsi eksisi akan cukup untuk diagnosis formal limfoma ketika teknik
analitik lebih lanjut tidak tersedia, seperti imunohistokimia, aliran
cytometry dan noda khusus.
3) Pemeriksaan laboratorium
Limfadenopati terutama dilihat dari riwayat dan pemeriksaan fisik
berdasarkan ukuran dan karakteristik lain dari nodul dan pemeriksaan
klinis keseluruhan klien. Ketika pemeriksaan laboratorium ditunjukkan, itu
harus didorong oleh pemeriksan klinis. Pemeriksaan laboratorium dari
limfadenopati diantaranya adalah complete blood cell count (CBC) with
differential, erythrocyte sedimentation rate (ESR), lactate dehydrogenase
(LDH), specific serologies based on exposures and symptoms [B.
henselae, Epstein– Barr virus (EBV), HIV], tuberculin skin testing (TST).
4) Pemeriksaan radiologi
Diantaranya yaitu ultrasonografi bisa berguna untuk diagnosis dan
monitor klien dengan limfadenopati, terutama jika mereka memiliki
kanker tiroid atau riwayat terapi radiasi saat muda. Tetapi harus dipikirkan
bahwa meski di klien kanker pembesaran kelenjar getah bening jinak lebih
sering dibandingkan yang ganas. Bentuk dari nodul limfa jinak biasanya
berbentuk oval 27 tipis sedangkan ganas berbentuk bulat dan kenyal.
Perbedaan di ukuran atau homogenitas tidak menjadi indikator patologi
yang bisa diandalkan.
5) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Sebelum meluasnya penggunaan gadolinium dan teknik supresi
lemak, MRI sering tidak lebih spesifik dibandingkan Computerized
Tomography (CT) dalam karakterisasi nodul limfa servikal metastasis
karena rendahnya kemampuan untuk menunjukkan nodul yang bertambah
secara heterogen, tanda metastasis nodul yang sangat akurat dalam
pengaturan SCC leher. Namun, teknologi scan MRI meningkat,
peningkatan gadolinium, dan rangkaian supresi lemak telah
memungkinkan akurasi yang sebanding. Juga, deteksi MRI dari invasi
arteri karotis oleh penyebaran ekstrakaspular tumor dari nodul sering kali
lebih unggul daripada CECT.
6) Pemeriksaan CT
Nodul limfa dilakukan bersamaan selama pemeriksaan CT
terhadap sebagian besar tumor suprahyoid dan infrahyoid atau peradangan.
Kualitas penilaian nodul limfa sangat tergantung pada keberhasilan
mencapai konsentrasi kontras yang tinggi dalam struktur arteri dan vena
leher. Jika tidak, nodul dan pembuluh mungkin tampak sangat mirip.
(Rasyid et al. 2018).
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan limfadenopati KGB leher didasarkan kepada penyebabnya.
Banyak kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan sendirinya dan
tidak membutuhkan pengobatan apapun selain observasi. Kegagalan untuk
mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsi
KGB. Biopsi dilakukan terutama bila terdapat tanda dan gejala yang
mengarahkan kepada keganasan. KGB yang menetap atau bertambah besar
walau dengan pengobatan yang adekuat mengindikasikan diagnosis yang
belum tepat (Rasyid, Wulan, and Prabowo 2018).
a. Penatalaksanaan Terapi
Antibiotik perlu diberikan apabila terjadi limfadenitis supuratif
yang biasa disebabkan oleh Staphyilococcus. aureus dan Streptococcus
pyogenes (group A). Pemberian antibiotik dalam 10-14 hari dan organisme
ini akan memberikan respon positif dalam 72 jam. Kegagalan terapi
menuntut untuk dipertimbangkan kembali diagnosis dan penanganannya.
b. Penatalaksanaan Operatif
Pembedahan mungkin diperlukan bila dijumpai adanya abses dan
evaluasi dengan menggunakan USG diperlukan untuk menangani pasien
ini.
B. PERTIMBANGAN ANESTESI
1. DEFINISI ANESTESI
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa
sakit ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang
menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan
untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan
(Sabiston, 2019).
2. JENIS ANESTESI
Anestesi umum atau general anestesi merupakan tindakan
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang dapat
pulih kembali (reversible). Anestesi umum menyebabkan mati rasa karena
obat ini masuk ke jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi.
Anestesi umum disebut juga sebagai narkose atau bius (Mangku dan
Senapathi, 2019). General anestesi atau anestesi umum bertujuan untuk
menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia
yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Tiga pilar anestesi umum
meliputi hipnotik atau sedatif, yaitu membuat pasien tertidur atau
mengantuk/ tenang, analgesia atau tidak merasa sakit, rileksasi otot, yaitu
kelumpuhan otot skelet, dan stabilitas otonom antara saraf simpatis dan
parasimpatis (Pramono, 2017).
3. TEKNIK ANESTESI
a. Teknik anestesi umum menurut Mangku dan Senapathi (2017),
dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
1) Anestesi umum inhalasi
Pulih dari anestesi umum idelnya secara bertahap dan tanpa keluhan.
Sebagian besar pasien mengalami pemulihan dari anestesi tanpa kejadian-
kejadian khusus tetapi sejumlah kecil pasien dengan jumlah yang tidak
dapat diperkirakan mengalami komplikasi (Gwinnutt, 2018). Komplikasi
pascaanestesi umum sebagai berikut (Latif, Suryadi, dan Dachlan, 2018)
1) Gangguan pernapasan
Obstruksi jalan napas parsial atau total, tidak ada ekspirasi (tidak
ada suara napas) paling sering dialami pada pasien pascaanestesi
umum yang belum sadar karena lidah jatuh menutup faring atau edema
laring. Penyebab lain yaitu kejang laring (spasme laring) pada pasien
menjelang sadar karena laring terangsang oleh benda asing, darah atau
sekret. Selain itu, pasien dapat mengalami sianosis (hiperkapnea,
hiperkarbia) atau saturasi O2 yang menurun (hipoksemia) yang
disebabkan pernapasan pasien yang lambat dan dangkal
(hipoventilasi). Pernapasan lambat dapat diakibatkan karena pengaruh
obat opioid dan dangkal karena pelumpuh otot yang masih bekerja.
Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi,
takikardi yang berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung
(Latif, Suryadi, dan Dachlan, 2018).
2) Gangguan kardiovaskular
Komplikasi pada sistem sirkulasi yang dapat dijumpai pada pasien
dengan anestesi umum yaitu hipertensi dan hipotensi. Hipertensi dapat
disebabkan oleh nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakhea, cairan
infus berlebihan, atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia,
hiperkapnia, atau asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung
lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia,
edema paru, atau perdarahan otak. Hipotensi disebabkan akibat aliran
isian balik vena (venous return) menurun yang disebabkan perdarahan,
terapi cairan kurang adekuat, hilangnya cairan, kontraksi miokardium
kurang kuat, atau tahanan veskular perifer menurun. Hipotensi harus
segera ditangani agar tidak terjadi hipoperfusi organ vital yang
berlanjut dengan hipoksemia dan kerusakan jaringan (Latif, Suryadi,
dan Dachlan, 2018).
3) Mual muntah
Mual dan muntah pascaanestesi dapat terjadi pada 80% pasien
yang menjalani pembedahan dan anestesi. Beberapa pasien lebih
memilih untuk merasakan nyeri dibandingkan mual dan muntah pasca
bedah (Gwinnutt, 2017). Mual dan muntah pasca bedah merupakan
efek samping yang umum terjadi setelah sedasi dan anestesi umum.
Insidensinya paling tinggi dengan anestesi berbasis narkotika dan
dengan agen yang mudah menguap (Gupta dan Jrhee, 2019). Setiap
tiga sampai empat pasien mengalami mual dan muntah pasca bedah
setelah anestesi umum (Apfel, Stoecklein, dan Lipfert, 2017). Risiko
mual muntah pasca bedah 9 kali lebih kecil pada pasien dengan
anestesi regional daripada pasien dengan anestesi umum (Shaikh,
Nagarekha, Hegade, dan Marutheesh, 2019).
4) Menggigil
Menggigil (shivering) merupakan komplikasi pasien pascaanestesi
umum pada sistem termoregulasi. Hal tersebut terjadi akibat
hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi dapat terjadi akibat suhu
ruang operasi yang dingin, cairan infus yang dingin, cairan irigasi
dingin, bedah abdomen luas dan lama (Latif, Suryadi, dan Dachlan,
2018).
c. Indikasi Intubasi
Trakhea Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut (Latief, 2017):
a) Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi,
bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas
dan lain-lain.
b) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat
resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang.
c) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan
faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan
maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi (Latief,
2017).
d. Kotraindikasi ETT
Menurut Morgan (2018) ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan
mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain:
a) Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b) Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglottitis.
c) Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin
teacher, atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial .
d) Benda asing.
e) Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang
leher .
f) Obesitas.
g) Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction.
h) Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher
pendek, gigi moncong.
f. Komplikasi Intubasi
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang
biasa terjadi adalah:
a) Saat Intubasi
c) Setelah ekstubasi
b. Indikasi LMA
1. Digunakan untuk prosedur anestesi jika tindakan intubasi
mengalami kegagalan.
2. Penatalaksanaan kesulitan jalan nafas yang tidak dapat
diperkirakan.
3. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak
sadarkan diri.
4. Pada operasi kecil atau sedang di daerah permukaan tubuh,
berlangsung singkat dan posisinya terlentang.
c. Kontraindikasi LMA
1. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung.
2. Pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik dalam
jangka waktu yang lama.
3. Pada operasi daerah mulut.
4. Pada pasien yang mengalami penurunan fungsi sistem pernafasan,
karena cuff pada LMA yang bertekanan rendah akan mengalami
kebocoran pada tekanan inspirasi yang tinggi dan akan terjadi
pengembangan lambung.
4. RUMATAN ANESTESI
1) Propofol 100mg IV
2) Fentanyl 100mcg
3) Ondansentron 4 mg
4) Sulfat Atropin 0,25 mg
5) Sevoflurane 2,5 cc
6) N20 3 cc
7) 02 3 cc
8) Infus Asering 500
9) Ibuprofen 800mg
C. WEB OF CAUTION ( WOC )
3. Masalah Anestesi
a. Pre Anestesi
1) Nyeri akut berhubungan dengan bio patofisiologi
2) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan puasa
sebelum operasi
b. Intra Anestesi
1) Resiko ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan
pemasangan LMA.
c. Post Anestesi
1) Resiko jatuh berhungan dengan efek obat anestesi
2) Resiko mual muntah berhubungan dengan efek obat anestesi
DAFTAR PUSTAKA