Anda di halaman 1dari 54

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TN.

DENGAN DIAGNOSA MEDIS KANKER NASOFARING

DI RUANG DAHLIA RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE

SAMARINDA, TAHUN 2020

KARYA TULIS ILMIAH


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Praktikum Klinik Keperawatan
Medikal Bedah

DISUSUN OLEH :
INTANIA AYUNINGTIAS
17111024110201

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

2020

1
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker sendiri memiliki arti suatu penyakit yang disebabkan pertumbuhan

sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal (tumbuh sangat cepat dan tidak

terkendali), menginfiltrasi/ merembes, dan menekan jaringan tubuh sehingga

mempengaruhi organ tubuh terdekatnya (Akmal, dkk., 2010: 187).

Jenis kanker yang sering diderita di indonesia berbeda antara pria dan

wanita di mana pada pria kanker yang sering diderita adalah kanker paru,

lambung, hepar, kolorektal, esofagus, dan prostat dan pada wanita adalah kanker

payudara, paru, lambung, kolorektal, dan serviks (WHO, 2008). Kanker

nasofaring banyak juga yang menderita penyakit tersebut akan tetapi karena di

daera ang sulit untuk di deteksi dini maka dari itu kanker nasofaring banyak yang

ditemukan di rumah sakit ialah penderta yang mengidap sudah stadium lanjut atau

stadium akhir.

Kanker Nasofaring dianggap sebagai salah satu penyakit yang mematikan di

dunia permedisan. Karena penyakit kanker yang menyerang saluran pernafasan

manusia ini jika tidak ditangani dengan cepat akan berujung kepada kematian.

Pemeriksaan Dini sangat penting dilaksanakan terhadap penyakit Kanker

Nasofaring ini karena semakin dini diketahui maka akan semakin mudah untuk

pengobatannya dibandingkan jika sudah masuk stadium lanjut.

Karsinoma nasofaring ini dapat ditemukan diseluruh negara dari lima benua

tetapi insiden tertinggi terdapat di Cina bagian selatan khususnya di provinsi

2
Guangdong dan jarang ditemukan pada daerah Eropa dan Amerika Utara. Insiden

di provinsi Guangdong pada pria mencapai 2050/100000. Insiden kejadian kanker

nasofaring dihubungkan dengan faktor geografi dan latar belakang etnik (Sukri R,

dkk 2015).

Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring,

sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong.

Vietman, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Insiden kanker

nasofaring pada laki-laki sekiar 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.

insiden kanker nasofaring mulai meningkat setelah usia 30 tahun, 93% terjadi

setelah melewati usia 30 tahun dengan puncak tertinggi saat usia 45-55 tahun

(Sukri R, dkk 2015)

Di Indonesia frekuensi pasien Ini hampir merata di setiap daerah. Di

RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus

setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus,

Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan

Bukit tinggi. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang,

Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di

Indonesia (Riskesdas, 2018).

Di kalimantan timur kasus kanker nasofaring mencapai dari jumlah kasus

kanker yang aktif. Jumlah penderita kanker di Kalimantan Timur 61.230 orang

berarti 1300 orang penderita kanker nafofaring merupakan penyebab kematian ke

3 setelah kenker servik, kanker paru. (Riskesdas, 2018)

Dari hasil pengambilan data di RSUD Abdul Wahab Sjahranie didapatkan

12 kasus kanker nasofaring di ruang dahlia pada 3 bulan terakhir, dan dapat

3
disimpulkan bahwa angka kejadian kanker nasofaring sendiri relatif banyak di

jumpai di Kalimantan Timur khususnya di RSUD Abdul Wahab Sjahranie kota

Samarinda.

Pengobatan kanker nasofaring menggunakan radiasi masih terbatas pada

daerah kepala dan leher. Respon radioterapi akan berkurang dengan meningkatnya

stadium kanker (Brady et al.,2010). Respon radioterapi yang baik dengan

kemampuan hidup jangka panjang hanya dicapai untuk pasien yang memiliki

tumor primer dengan kelangsungan hidup 10 tahun 67-71% bebas penyakit namun

untuk stadium ahir terjadi tingkat kekambuhan yang tinggi (63,8%) (Wildeman et

al., 2009).

Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan terapi, yaitu terapi medis dan

non medis. Terapi medis dilakukan dengan pembedahan, radiasi/ radioterapi,

kemoterapi, imunoterapi, terapi gen dan terapi non medis bisa berupa kegamaan

seperti berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing probadi seseorang

(Sunaryati, 2011: 23).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam studi kasus ini adalah Bagaimana gambaran

pelaksanaan asuhan keperawatan paa pasien Tn.Y dengan diagnosa medis Kanker

Nasofaring di ruang Dahlia RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

C. Tujuan Karya Tulis Ilmiah


1. Tujuan Umum

Untuk melaksanakan Asuhan Keperawatan Pasien Kanker Nasofaring di

ruang Dahlia RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

4
5
2. Tujuan Khusus

a. Memperoleh gambaran pelaksanaan pengkajian pada pasien kanker

nasofaring.

b. Memperoleh gambaran masalah keperawatan ( diagnosa keperawatan)

yang muncul pada pasien kanker nasofaring.

c. Memperoleh gambaran masalah perencanaan/intervensi keperawatan

yang dapat disusun berdasarkan masalah keperawatan yang muncul

pada pasien kanker nasofaring.

d. Memperoleh gambaran pelaksanaan tindakan ( implementasi) yang

dilaksanakan pada pasien kanker nasofaring.

e. Memperoleh gambaran evaluasi yang dilaksanakan pada pasien kanker

nasofaring.

D. Manfaat Penelitian

Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Bagi penulis

Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai kasus kanker

nasofaring dan penatalaksanaan dan asuhan keperawatan pada kasus

kanker nasofaring.

2. Bagi rumah sakit

Memberitahu informasi tentang kasus kanker nasofaring dan penangannya

asuhan keperawatan khususnya dan masyarakat pada umumnya.

6
3. Bagi istitusi penndidikan

Hasil tugas berupa karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

institusi yang mana berperan dalam saranan atau media pembelajaran dan

penelitian mahasiswa mengenai kasus kanker nasofaring dan asuhan

keperawatan.

7
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Medis/Penyakit

1. Definisi

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh

didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap

nasofaring (Arima, 2006 dan Nasional Cancer Institute, 2019).

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas sel epitel

nasofaring yang berlokasi pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan

tempat bermuaranya saluran eustachii (Roezin & Adham, 2007)

Nasofaring sendiri merupakan bagian nasal dari faring yang

mempunyai struktur berbentuk kuboid. Banyak terdapat struktur anatomis

penting di sekitarnya. Banyak syaraf kranial yang berada di dekatnya, dan

juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai darah. Struktur

anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker

tersebut (

Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya

mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan

timbulnya KNF adalah:

a. Kerentanan Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat

tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial.

8
Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen)

dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan

adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka

berkaitan dengan sebagian besar karsinoma nasofaring (Pandi, 1983

dan Nasir, 2009) .

b. Infeksi Virus Eipstein-Barr

Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara

karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr

(EBV). Serum pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma

nasofaring primer maupun sekunder telah dibuktikan mengandung

antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali

pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA

(VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga

terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring

aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma

nasofaring tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma

nasofaring non-keratinisasi (nonkeratinizing) yang aktif (dengan

mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel

skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasir, 2009 dan

Nasional Cancer Institute, 2019).

c. Faktor Lingkungan

Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan

timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan

Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin,

9
Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat

(Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2018).

2. Patofisiologi

Terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma

nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan

protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita

ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang

berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan

virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda

(marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan

LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya

pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan

EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring.

Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2010) dalam

Rusdiana (2016) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam

serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker

pada karsinoma nasofaring primer.

Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr

juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia

ini .Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi

anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma.EBNA-1 adalah protein

nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus.Huang dalam

penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di

10
dalam sel penderita karsinoma nasofaring. Terdapat 5 stadium pada

karsinoma nasofaring yaitu:

a. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa

disebut nasopharynx in situ

b.   Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing

c. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke

rongga hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah

bening

pada salah satu sisi leher.

d. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di

semua sisi leher

e.  Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar

wajah.

Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen

dapat mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan

terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol,

sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1).

Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring,

dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.

3. Manifestasi Klinik

Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring :

a.  Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2

% pasien datang berobat dengan gejala awal ini. Sewaktu menghisap

11
dengan kuat sekret  dari rongga hidung atau nasofaring, bagian dorsal

palatum mole bergesekan dengan permukaan tumor, sehingga

pembuluh darah di permukaan tumor robek dan menimbulkan

epiktasis. Yang ringan timbul epiktasis, yang berat dapat timbul

hemoragik nasal masif.

b. Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif

bertambah hebat. Ini disebabkan tumor menyumbat lubang hidung

posterior.

c. Tinitus dan pendengaran menurun: penyebabnya adalah  tumor di

resesus faringeus dan di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi ,

menekan tuba eustaki, menyebabkan tekana negatif di dalam kavum

timpani , hingga terjadi otitis media transudatif. bagi pasien dengan

gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan

sementara. Menurunnya kemampuan pendengaran karena hambatan

konduksi, umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.

d. Sefalgia : Nyeri yang kontinyu  di regio temporo parietal  atau

oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf

kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iritasi pembuluh darah

yang menyebabkan sefalgia reflektif.

e. Rudapaksa saraf kranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi

direk ke superior, dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui

saluran atau celah alami kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa

media intrakanial (temasuk foramen sfenotik, apeks petrosis os

temporal, foramen ovale, dan area sinus spongiosus ) membuat saraf

12
kranial III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya berupa ptosis

wajah  bagian atas, paralisis otot mata ( temasuk paralisis saraf abduksi

tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi

meningen ( sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa

saraf kranial II, disebut sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.

f. Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah

kelenjar limfe kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok

kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutup otot

sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri , maka pada mulanya

sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar limfenya

perama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli

posterior.

g. Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru,

hati . metastasi tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat

ekstremitas. Manifestasi metastasis tulang adalah nyeri kontinyu dan

nyeri tekan setempat, lokasi tetap dan tidak berubah-ubah dan secara

bertahap bertambah hebat. Pada fase ini tidak selalu terdapat

perubahan pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh dapat membantu

diagnosis. Metastasis hati , paru dapat sangat tersembunyi , kadang

ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax ,

pemeriksaan hati dengan CT atau USG

4. Pemeriksaan penunjang

a.  Pemeriksaan CT : makna klinis aplikasinya adalah membantu

diagnosis, memastikan luas lesi, penetapan stadium secara adekuat,

13
secara tepat menetapkan zona target terapi, merancang medan

radiasi, memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan

pemeriksaa tingkat lanjut.

b. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap

jaringan lunak, dapat serentak membuat potongan melintang,

sagital, koronal, sehingga lebih baik dari pada CT. MRI selai

dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas

lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang.

Dalam membedakan antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi

tumor , MRI juga lebih bermanfaat .

c. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker

nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan

rongtsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 4-6 bulan 

dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya

tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak

sebagai area defek radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk

metastasis tulang, namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi

tunggal akumulasi radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat

penyakit, menyingkirkan rudapaksa operasi, fruktur, deformitas

degeneratif tulang, pengaruh radio terapi, kemoterapi, dll.

d. PET ( Positron Emission Tomography ) : disebut juga pencitraan

biokimia molukelar metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan

biologismetabolisme glukosa dari zat kontras 18-FDG dan

pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat

14
gambar PET-CT . itu memberikan informasi gambaran biologis

bagi dokter  klinisi, membantu penentuan area target biologis

kanker nasofaring , meningkatka akurasi radioterapi, sehingga

efektifitas meningkat dan rudapaksa radiasi terhadap jaringan

normal berkurang.

5. Penatalaksanaan

a. Radioterapi

Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik,

hygiene mulut, bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan

tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di

leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali

setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih

dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian

tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,

vaksin dan antivirus.

b. Kemoterapi

Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi

adjuvan dan kemoradioterapi konkomitan. Formula kemoterapi

yang sering dipakai adalah : PF ( DDP + 5FU ), kaboplatin +5FU,

paklitaksel +DDP, paklitasel +DDP +5FU dan DDP gemsitabin ,

dll.

DDP            : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari

sebelum kemoterapi , lakukan hidrasi 3 hari )

15
5FU             : 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan

infus kontinyu intravena.

Ulangi setiap 21 hari atau:

Karboplatin  : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.

5FU             : 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena

kontinyu. Ulangi setiap 21 hari.

c. Terapi Herbal TCM

Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi

reaksi radiokemoterapi , fuzhengguben ( menunjang, memantapkan

ketahanan tubuh) , kasus stadium lanjut tertentu yang tidak dapat

diradioterapi atau kemoterapi masih dapat dipertimbangkan hanya

diterapi sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM dalam

membasmi langsung sel kanker dewasa ini masih dalam penelitian

lebih lanjut. Terapi Rehabiltatif: Pasien kanker secara faal dan

psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat bervariasi. Oleh

karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan

memperbaiki kualitas hidupnya. Rehabilitas Psikis : Pasien kanker

nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang

untuk disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari

situasi emosi depresi. Rehabilitas Fisik : Setelah menjalani

radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya merasakan

kekuatan fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun.

Harus memperhatikan suplementasi nutrisi , berolahraga fisik

16
ringan terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan meningkat

secara bertahap.

d. Pembedahan

Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :

1) Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi, lesi relatif

terlokalisasi.

2) 3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer

nasofaring

a. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi

kelenjar limfe leher.

b. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti

karsinoma skuamosa grade I, II, adenokarsinoma.

c. Komplikasi radiasi.

6. Komplikasi

Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme,

fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak,

trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang

diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat

radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat

terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural

mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi.

Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin.

Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis

paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi langka

17
radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang tepat

(Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009).

B. Konsep Keperawatan

1. Pengkajian

a. Data Demografi

Nama pasien, tanggal lahir, umur, jenis kelamin, alamat, status

perkawinan, agama pendidikan, suku, pekerjaan.

b. Riwayat kesehatan

a) Keluhan utama

Keluhan pada saat masuk rumah sakit

Keluhan utama saat pengkajian

b) Riyawat kesehatan / penyakit sekarang

1) Alasan kunjungan

Tanyakan apa yang membuat pasien datang ke pelayanan

kesehatan

2) Faktor pencetus

Apa yang menyebabkan pasien merasa sakit

3) Lama keluhan

Berapa lama pasien merasakan sakit

4) Timbul keluhan

Penyakit yang timbul bertahan, berlahan - lahan,

mendadak, terus – menerus, hilang timbul, atau waktu –

waktu tertentu

18
5) Faktor yang memperberat

Tanyakan hal – hal apa yang memperberat rasa sakit

6) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya

Tanyakan apa yang dilakukan untuk mengurangi rasa

sakitnya

7) Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan

Catat tanggal, jenis pemeriksaan, hasil, nilai normal

c) Riwayat kesehatan/ penyakit dahulu

1) Penyakit yang pernah dialami

Tanyakan apakah pasien pernah mengalami sakit

sebelumnya jika ada sakit apa, kapan terjadi, upaya yang

dilakukan, tempat dirawat, pernah dioperasi atau tidak

2) Riwayat alergi

Apakah pasien mengalami alergi terhadap makanan, obat –

obatan dan lain – lain

3) Riwayat imunisasi

Apakah pasien sewaktu kecil mendapatkan imunisasi

lengkap atau tidak

4) Kebiasaan

Kebiasaan seperti merokok, minum kopi, mengkomsumsi

obat – obatan terlarang, alkohol dan lain – lain

5) Obat – obatan yang pernah dikomsumsi

Obat – obatan yang biasa diminum rutin sebelum masuk

rumah sakit.

19
d) Riwayat kesehatan/ penyakit keluarga (genogram)

Riwayat penyakit keluarga dari tiga generasi dimulai dari

nenek, orang tua dan saudara pasien.

1. Tanda – Tanda Vital

Ukur dan hitung tanda – tanda vital seperti suhu, nadi, frekuensi napas,

tekanan darah, berat badan, tinggi badan.

2. Pengkajian Pola Fungsi Kesehatan Menurut Gordon

a. Pola persepsi kesehatan dan manajemen kesehatan

b. Pola nutrisi dan metabolic

c. Pola eliminasi

d. Pola aktivitas dan latihan

e. Pola kognitif dan perseptual

f. Pola persepsi diri dan konsep diri

g. Pola peran dan hubungan

h. Pola seksualitas dan reproduksi

i. Pola nilai dan keyakinan

j. Pola koping dan stress

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut b/d agen pencendera fisik


b. Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan
c. Ansietas b/d kurang terpapar informasi

20
3. Intervensi

No SDKI SLKI SIKI


Nyeri akut b/d Setelah dilakukan Manajeman nyeri

agen pencedera intervensi selama 1.1 Identifikasi skala

fisik 3x 24 jam nyeri\

diharapkan nyeri 1.2 Kontrol

akut berdasarkan lingkungan yang

observasi membaik memperberat

dengan kriteria rasa nyeri

hasil: 1.3 Ajarkan teknik

a. Meringis nonfarmakologis

(5) untuk

b. Kesulitan mengurangi rasa

tidur (5) nyeri

c. Gelisah (5) 1.4 Kolaborasi

d. Keluhan pemberian

nyeri (5) analgetik, jika

Keterangan: perlu

1=
2 Defisit nutrisi b/d Setelah dilakukan Manajemne nutrisi

ketidakmampuan intervensi selama 2.1 identifikasi

n menelan 3x 24 jam kebutuhan kalori

makanan diharapkan defisit dan jenis nutrien

nutrisi berdasarkan 2.2 fasilitasi

21
observasi membaik menentukan

dengan kriteria pedoman diet

hasil: 2.3 ajarkan diet

1. frekuensi makan yang diprogramkan

(5) 2.4 kolaborasi

2. nafsu makan (5) pemberian medikasi

3. membran sebelum makan

mukosa (5)

Keterangan:

1=

3. Ansietas b/d Setelah dilakukan Terapi relaksasi

kurang terpapar intervensi selama 3.1 Identifikasi

informasi 3x 24 jam ketidakmampuan

diharapkan ansietas berkonsentrasi

berdasarkan 3.2 Ciptakan

observasi membaik lingkungan tenang

dengan kriteria 3.3 Demonstrasi dan

hasil: latih relaksasi napas

1. konsentrasi (5) dalam

2. pola tidur (5)

3. kontak mata (5)

Keterangan:

1=

22
BAB 3

LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

A. Pengkajian Kasus

1. Identitas Klien

Nama : Tn. Y

Umur : 37 tahun

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Tidak ada

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Belum menikah

Alamat : Kab.Berau

Sumber Informasi : Pasien dan orang tua

B. Penanggung Jawab

Nama : Suriyani

Umur : 59 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

23
Alamat : Kab.Berau

Status : Menikah

Hubungan : Ibu

C. Identitas Medis

Tanggal /Jam masuk : 12 Desember 2019

Bangsal / kamar : Ruang rawat inap Dahlia

DX Medis : Kanker Nasofaring

No. Register / RM : 01.07.60.72

2. Riwayat Penyakit

a. Keluhan utama saat masuk RS :

Pasien mengatakan kaki tidak bisa digerakan.

b. Keluhan utama saat pengkajian :

Pasien mengatakan nyeri pada area kepala

c. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien mengatakan baru kali ini sakit yang parah, biasanya sakit

demam saja, penyakit sekarang kanker nasofaring dan anemia

d. Riwayat penyakit dahulu :

cv

24
keterangan :

= Laki-laki

= Perempuan

= Meninggal

= Garis keturunan

Tn. Y merupakan anak pertama dari lima saudara, nenek dan

orang tua atau keluarga Tn. Y yang lainnya tidak pernah punya

riwayak kanker nasofaring

3. Pengkajian saat ini

a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Pasien mengatakan dulu perokok aktif akan tetapi setelah sakit sudah

tidak pernah merokok lagi, pasien juga mengatakan dulu sering

meminum minuman alkohol yang memabukan diri. Pasien tidak

bekerja selama sakit, Ibu pasien mengatakan kondisi rumah dalam

keadaan baik. Obat-obatan yang sering dminum ketika lagi sakit

seelumnya ialah paracetamol. Pasien mengatakan kuping kanan

mengalami gangguan pendengaran, dan telihat ada serumen atau cairan

yang terkadang keluar akan tetapi jarang. Status mental pasien dapat

berorientasi dengan waktu, tempat dan orang.pengelihatan pasien

normal tidak memakai alat bantu kaca mata, ukuran pupil diameter 3

mm kanan kiri sama reflek terhadap cahaya (+), keadaan lidah pasien

kaku dan sulit untuk berbicara dengan jelas. Ditemukan benjolan di

25
area belakang telinga kanan dan tidak terdapat lesi, terdapat nyeri

tekan.

b. Pola Nutrisi Metabolic

BB saat pengkajian adalah 45 kg, tinggi badan 155 cm

IMT = 43 kg /155 /100 = 17,9

- sebelum masuk RS :

BB : 55 kg TB : 155 cm

Pasien mengalami penurunan berat badan dalam 6 bulan terakhir

sebanyak 12 kg.

c. Pola Eliminasi

- Sebelum masuk RS :

Pasien mengatakan BAB normal 1 kali sehari dan buang air kecil tidak

ada gangguan.

- Sesudah masuk RS :

Pasien mengatakan BAB 3 kali sehari dan buang air kecil hanya

sedikit-sedikit.

4. Pola aktivitas dan latihan

Kemampuan 0 1 2 3 4

perawatan diri

Makan/minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilisasi ditempat tidur √
Berpindah √

26
Ambulasi/ROM √

Keterangan :

0 = mandiri

1 = alat bantu

2 = dibantu orang lain

3 = dibantu orang lain dan alat

4 =tergantung total

1. Pola Perseptual

a. Penglihatan : fungsi penglihatan pasien baik, pasien tidak

menggunakan kacamata.

b. Pendengaran : pasien mengatakan telinga sebelah kanan kurang

mendengar dan terasa penuh

c. Pengecapan : pasien mengatakan kurang merasakan mengenai rasa

asin ,manis, pedas dan pahit

d. Penciuman : pasien tidak mengalami flu /pilek, tidak ada sekret

terlihat

e. Sensasi : pasien masih dapat merasakan sentuhan di kulit

2. Pola tidur dan istirahat

Sebelum sakit : pasien mengatakan biasanya tidur 7 jam dalam sehari

27
Sesudah klien sakit : pasien mengatakan sulit untuk tidur karena sebentar-

sebentar nyeri dan situasi di ruangan terkadang ribut dikarnakan jam

kunjungan.

3. Pola persepsi kognitif

Nyeri (PQRST)

P : Nyeri bermula setelah pasien mengidap kanker nasofaring

Q : Pasien mengatakan rasa sakit yang dirasakan seperti tertekan

R : Nyeri dirasakan di daerah kuping kanan belakang

S : Skala yang dirasakan pasien mengeluh nyeri 5

T : Waktu munculnya nyeri selama 10 menit dan berjeda

4. Pola Persepsi diri - Konsep diri

a. Body image: pasien mengatakan tidak ada bentuk tubuh yang

dibenci

b. Ideal diri : pasien berharap ingin segera sembuh dari penyakitnya

c. Harga diri : pasien mengatakan sedih sudah lama tidak bisa apa-

apa

d. Peran : pasien mengatakan sebelum sakit dia sering membantu

keluarga dalam ekonomi, dikarenakan sakit pasien tidak bisa

membantu lagi

5. Pola Peran dan Hubungan

28
Pasien mengatakan tinggal masih bersama orang tua dan keluarganya, pasien

belum menikah, pasien mengatakan sebelum sakit pasien dapat

berkomunikasi dengan keluarga dan teman lainnya dengan lancar.

6. Pola Seksual dan Reproduksi

Pasien belum menikah, pasien tidak mempunyai riwayat prostat dan penyakit

menular seksual.

7. Pola Koping dan toleransi stress

Pasien mengatakan saat stress bercerita selalu dengan keluarganya.

8. Pola nilai dan keyakinan

Pasien menganut agama kristen protestan, pasien mengatakan selama sakit

jarang melakukan ibadah, pasien terlihat murung

D Pemeriksaan fisik

1. Keadaan umum : Baik

2. Ttv :

TD : 80/50 MmHg

N : 110x / menit

S : 35,6 0 c

RR : 19 x /menit

29
3. Kesadaran : compos mentis

4. Kepala : bentuk oval, distribusi rambut hitam, agak botak atau tipis

5. Mata : pupil isokor, mampu melihat dalam jarak normal,

konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterit dan tidak memakai alat bantu

penglihatan .

6. Telinga : fungsi pendengaran kurang baik, terdapat serumen,

tidak terdapat kelainan bentuk.

7. Hidung : bersih, tidak ada sputum, tidak ada nafas cuping

hidung dan tidak menggunakan oksigen

8. Mulut : Mukosa bibir kering, lidah kotor

9. Leher : Terdapat pembesaran di bagian nasofaring

10. Dada :

 Paru - paru :

inspeksi = bentuk dan pergerakkan simetris tidak ada luka, jejas,

dan nafas teratur, RR: 19 x/menit

Palpasi = tidak ada nyeri tekan

Perkusi = bunyi sonor

Auskultasi = tidak ada suara nafas tambahan (suara vesikuler)

 Jantung :

inspeksi = tidak ada luka, memar, benjolan

Palpasi = tidak ada nyeri tekan, benjolan

30
Perkusi = bunyi redup, tidak pelebaran dinding jantung

Auskultasi = suara irama jantung teratur

 Abdomen :

inspeksi= bentuk simetris , tidak ada asites

Auskultasi =terdengar bunyi peristaltik, usus 10 x/menit

Palpasi = tidak ada nyeri tekan, benjolan dan tidak teraba massa

Perkusi = terdengar bunyi timpani

11. Kulit turgor = kulit bersih, pucat, kering

12. Ekstremitas : tidak ada deformitas, kuku kutor, nadi 110 kali/menit

- kemampuan berfungsi (mobilitas dan keamanan) untuk semua ekstremitas

Kanan (tangan) 4 kiri (tangan) 4

Kanan (kaki) 0 kiri (kaki) 0

Keterangan :

1) Pada tangan kanan dan kiri, kekuatan otot pasien berada di skala 4,

terbukti dengan gerakan normal, mampu melawan gravitasi dengan tahanan

sedang

2) Pada kaki kanan dan kiri skala 0, tidak mampu menggerakan sedikitpun

dikarnakan metastase dari kanker tersebut.

13. Genetalia : bersih, tidak ada luka dan terpasang kateter

14. Hasil pemeriksaan laboratorium

Jenis sampel : Edta , Led , Serum

31
Pemeriksaan Hasil Nilai normal

leukosit 10,98 4,80-10-80


Eritrosit 3,11 4,70-6,10
hemoglobin 8,4 14,0-18,0

15. Program Terapi/obat

Pasien terpasang infus Ringer Lactat 20tpm, ceftriaxone 3x1 ampul via intra

vena, antrain 3x1 ampul via intra vena, cefrtiaxone 2x1 gr intravena

E. Analisa Data

No Tanggal Data Etiologi Problem

Dx
1. 17/12/2019 DS : Pasien mengatakan nyeri Agen Nyeri akut

pada area kuping kanan belakang pencedera

P : Nyeri bermula setelah pasien fisik

mengidap kanker nasofaring

Q : Pasien mengatakan rasa sakit

yang dirasakan seperti tertekan

R : Nyeri dirasakan di daerah

kuping kanan belakang

S : Skala yang dirasakan pasien

mengeluh nyeri 5

T : Waktu munculnya nyeri

selama 10 menit dan berjeda

32
DO : -pasien tampak meringis

TD : 110x/menit

2. DS : Pasien mengeluh susah untuk Ketidakampu Defisit nutrisi

menelan makanan karena kanker an menelan

di daerah nasofaring makanan

DO : Pasien mengalami

penurunan berat badan dalam 6

bulan sebanyak 12 kg IMT=17,9


3. DS : -pasien mengatakan tidak Kekuatan Defiit

bisa berjalan mulai dari bulan otot menurun perawatan

agustus 2019 diri

DO : pasien tampak lemah

Kekuatan otot ekstremitas atas

kanan dan kiri 4, dan ektremitas

bawah kanan dan kiri 0


4. DS : Pasien mengatakan tidak Gangguan Defisit

bisa melakukan aktivitas secara muskoloskel perawatan

mandiri etal diri

DO : Pasien terlihat aktivitasnya

dibantu oleh keluarganya

terkadang

D. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b/d agen pencedera fisik

33
2. Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan

3. Defisit perawatan diri b/d gangguan muskoloskeletas

4. Resiko jatuh b/d kekuatan otot menurun

E. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (SLKI)

(SDKI) (SLKI)
1 Nyeri akut b.d Agen Tujuan :setelah dilakukan Manajemen nyeri

cedera fisik intervensi keperawatan

selama 3x24 jam nyeri Aktivitas :

akut berkurang dengan 1.1 identifikasi skala

kriteria hasil : nyeri

(1 :meningkat - 5 :
1.2 Berikan teknik
meningkat)
non Farmakologis
1. Keluhan nyeri
untuk mengurangi

1 2 3 4 5 nyeri (relaksasi napas

2. Meringis dalam, terapi musik)

1 2 3 4 5 1.3 Ajarkan teknik

3. Tekanan darah nonfarmakologis

12345 untuk mengurangi

rasa nyeri (relaksasi

nafas dalam)

1.4 Kolaborasi

pemberian analgetik

34
2. Defisit nutrisi b/d Tujuan :setelah dilakukan Pencegahan jatuh

ketidakmampuan menelan intervensi keperawatan

makanan selama 3x24 jam. Masalah Aktivitas :

defisit nutrisi teratasi 2.1 monitor asupan

dengan kriteria hasil : makanan

( 1 : menurun - 5 : 2.2 berikan makan

meningkat ) tinggi kalori dan

1. Porsi memakan yang protein

dihabiskan 2.3 anjurkan posisi

duduk
1 2 3 4 5
2.4 koaborasi dengan
2. Frekuensi makan
ahi gizi untuk
1 2 3 4 5
menentukan kalori
3. Nafsu makan

1 2 3 4 5

3. Defisit perawatan diri b/d Tujuan : setelah dilakukan Dukungan perawatan

gangguan ,uskoloskeletal intervensi keperawatan diri

selama 3x24 jam. Masalah

defisit perawatan diri 1.1 Monitor tingkat

teratasi dengan kriteria kemandirian

hasil :
1.2 fasilitasi
(1 : menurun - 5:
kemandirian antu jika
meningkat )

35
1. Verbalisasi keinginan tidak mampu

melakukan perawatan diri

1 2 3 4 5

2. Minat melakukan

perawatan diri

1 2 3 4 5

3. Kemampuan makan

1 2 3 4 5

4 Resiko jatuh b/d kekuatan Tujuan : setelah dilakukan Pencegahan jatuh

otot menurun intervensi keperawatan 4.1 identifikasi resiko

selama 3x24 jam. Masalah jatuh dengan skala

resiko jatuh teratasi morse

dengan kriteria hasil : 4.2 pasang handrail

(1 : menurun - 5: tempat tidur

meningkat ) 4.3 anjurka

1. jatuh dari tempat tidur memanggil perawat

jika membutuhkan
1 2 3 4 5
bantuan untuk
2. jatuh saa duduk
berpindah
1 2 3 4 5

F. Implementasi

36
Nama : Tn. Y No. Rm : 01.07.60.72

Umur : 37 Th Ruang : Dahlia

Tgl / No Implementasi Respon paraf

jam Dx
16/12/19 1. 1.1 mengidentifikasi skala DS : pasien

nyeri mengatakan skala

nyeri berkurang
1.2 Mengidentifikasi lokasi,
dengan skala 4,
karakteristik,durasi, intensitas
serta susah tidur
nyeri
DO : meringis
1.3 Mengidentifikasi respon
TD :
nyeri non verbal

1.4 Memberikan teknik non

farmakologis untuk DS : pasien paham

mengurangi nyeri (relaksasi cara relaksasi napas

napas dalam terapi musik) dalam

1.5 Mengontrol lingkungan DO : pasienmampu

yang memperberat rasa nyeri melakukan

(suhu,ruangan pencahayaan) relaksasi napas

dalam serta mandiri


1.6 Berkolaborasi pemberian
dan menerapkan
analgetic (asam mefenamat)
terapi musik
2. 2.1 mengidentifikasi faktor DS : pasien

lingkungan yang meningkatkan mengatakan akan

37
resiko jatuh (lantai licin berhati-hati saat

penerangan kurang) berjalan dengan

2.2 menghitung resiko jatuh krug dan

dengan fall morse scale memanggil perawat

2.3 mengatur tempat mekanis jika butuh bantuan.

pada posisi terendah Kaki kiri masih

2.4 menggunakan alat bantu nyeri dan harus

berjalan (tongkat) diangkat dengan

2.5 menganjurkan meminta tangan jika ingin

bantuan kepada perawat jika menggeser &

butuh bantuan untuk berpindah bergerak

DO : pasien

menggunakan

tongkat dan dibantu

isterinya untuk

berjalan , skala

moorse : 65 (resiko

jatuh tinggi )
3. 4.4 Mengidentifikasi adanya DS : pasien

nyeri atau keluhan fisik lainnya mengatakan nyeri

saat kaki kiri


4.5 Mengidentifikasi toleransi
digerakkan, dan
fisik melakukan pergerakan
sulit menggerakan
4.6 Memfasilitasi aktivitas
bagian ekstremitas
mobilisasi dengan atau alat
bawah (kaki kiri)

38
bantu (mis :pagar tempat tidur) DO : -kekuatan otot

menurun 5 5
4.7 Jelaskan tujuan dan
2 5
prosedur mobilisasi
-gerakan terbatas
4.8 Menganjurkan mobilisasi
dan sulit untuk
dini
berpindah

4.9 Menganjurkan mobilisasi

sederhana yang harus

dilakukan (misal: duduk

ditempat tidur, duduk disisi

tempat tidur, pindah dari

tempat tidur ke kursi)


Tgl / No Implementasi Respon paraf

jam Dx
17/12/19 1. 1.1 Mengidentifikasi skala DS : pasien

nyeri mengatakan skala

1.2 Mengidentifikasi respon nyeri berkurang : 3,

nyeri non verbal pasien masih agak

1.6 Berkolaborasi pemberian susah tidur

analgetik oral (asam DO : meringis

mefenamat) berkurang

TD : 120/70

RR : 18

N:

S:

39
2. 2.2 menghitung resiko jatuh DS : pasien

dengan fall morse scale mengatakan jika

2.5 menganjurkan meminta ingin ke wc

bantuan pada keluarga/perawat meminta bantuan

jika ingin berpindah tempat. (isteri/perawat jaga

dan sudah mulai

terbiasa pakai

tongkat

DO : -morse scale :

Resiko tinggi
3. 3.5 menganjurkan mobilisasi DS : pasien

dini mengatakan sudah

3.6 menganjurkan mobilisasi mulai bisa

sederhana yang harus di berpindah tempat

lakukan (misal: duduk di dan memobilisasi

tempat tidur, disisi tempat kaki kirinya dan

tidur, pindah dari tempat tidur kaki kanan menjadi

ke kursi) tumpuan

DO : kekuatan otot

5 5

3 5
18/12/19 1. 1.1 mengidentifikasi skala DS : nyeri pasien

nyeri masih skala 3,

namun pasien bisa


1.3 mengidentifikasi respon
tidur cukup.

40
nyeri non verbal DO : tidak meringis

TD : 120/60

N : 78

RR : 20 /menit

T:

2. 2.2 Menghitung resiko jatuh DS : pasien

dengan fall morse scale mengatakan selalu

2.5 menganjurkan meminta minta bantuan

bantuan pada keluarga / isteri/perawat saat

perawat jika ingin pindah ke wc dan sudah

tempat / ke toilet biasa pakai tongkat

DO : morse scale :

45 (resiko sedang)

3. 3.5 menganjurkan mobilisasi DS : pasien rajin

dini melakukan

3.6 menganjurkan mobilisasi mobilisasi

sederhana yang harus sederhana walau

dilakukan (misal: duduk belum di op ,pasien

ditempat tidur, disisi tempat mengatakan tidak

tidur, pindah dari tempat ke ingin kakinya kaku

kursi) DO : kekuatan otot

5 5

3 5

41
G. Evaluasi

Nama : Tn. Y No. Cm :

Umur : 37 tahun Ruang : Dahlia

Tgl /jam No Evaluasi TTD

Dx
16/12/201 1. S : Pasien mengatakan nyeri pada bagian pinggul

9 kaki kiri

P : nyeri bermula setelah pasien kecelakaan 2

bulan yang lalu

Q : pasien mengatakan nyeri seperti ngilu/nyut2

R : nyeri dirasakan di daerah pinggul /pinggang

dan tidak menyebar

S : skala yg dirasakan pasien : 4

T : waktu muncul nyeri saat pasien akan

bergerak atau menggerakan bagian kaki ke

pinggang.

O : meringis

Ttv : TD : 110/70 mmhg

S:

N:

RR :

42
A : nyeri akut teratasi sebagian

No Indikator Sebelum Sesudah


1. Keluhan nyeri 3 4
2. meringis 3 3
3. gelisah 4 4
4. Kesulitan tidur 2 2
5. Frekuensi nadi 4 4
6. Tekanan darah 4 4
7. Pola tidur 3 3

BAB IV

PEMBAHASAN

43
A. Profil Lahan Praktik

Penulisan ini dilakukan di RSUD Abdul Wahab Sjahranie

Samarinda yang terletak di Jalan Palang Merah Indonesia No. 1, Sidodadi

Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. RSUD Abdul Wahab

Syahranie merupakan rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Kalimantan

Timur dan merupakan Rumah Sakit rujukan tertinggi di Kalimantan

Timur. Rumah Sakit ini diresmikan pada 12 November 1977 oleh

Gubernur Kalimantan Timur yaitu Bapak H.A Wahab Sjahranie untuk

pelayanan rawat jalan. Pada 12 Juli 1984, seluruh pelayanan rawat inap

dan rawat jalan dipindahkan dari rumah sakit lama (Selili) ke lokasi rumah

sakit baru yang terletak di Jalan Palang Merah Indonesia. Pada tahun 1987

nama RSUD Abdul Wahab Sjahranie diresmikan.

Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie sebagai rumah sakit rujukan

pertama di Kalimantan Timur memiliki fasilitas Instalasi Gawat Darurat

24 jam, Instalasi Rawat Jalan (42 poli klinik spesialis), Instalasi Rawat

Inap (terdiri dari perawatan kelas I,II,III sampai kelas Eksekutif dengan

828 tempat tidur), Instalasi Penunjang Medik (Radiologi, Laboratorium

Klinik, Laboratorium Anatomi, instalasi Forensik, Instalasi Gizi, Instalasi

Farmasi, Anesitesiologi, Rehabilitasi Medik, Instalasi Sterilisasi dan

Laundry, Instalasi CSSD), Instalasi Perawatan Intensif (ICU 13 tempat

tidur, ICCU 11 tempat tidur, PICU 8, NICU 8), Instalasi Bedah Sentral (27

kamar operasi) Unit Hemodialisa, Unit Endoscopy, MCU, dan Pelayanan

Khusus (Stroke Center, Unit Catheterisasi Jantung, Urologi, Bedah

44
Jantung Terbuka, Radioterapi, Kedokteran Nuklir, Public Safety Center

119, Kemoterapi). (Profil RSUD AWS,2017).

Dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini, penulis melakukan

penelitian di Instalasi Rawat Inap Ruang Dahlia dari tanggal 17 Desember

– 19 Desember 2019. Ruang Dahlia terdiri dari TIM 1 yang mengelola

ruang perawatan kelas III dengan nomor kamar 4000-4004 yang masing-

masing ruangan terdiri dari 5 tempat tidur, dan Tim 2 yang mengelola

ruang perawatan kelas II dengan nomor kamar 5001-5005 yang masing-

masing ruangan terdiri dari 5 tempat tidur.

B. Pengkajian

Pada hari pertama pengkajian didapatkan masalah keperawatan

pertama nyeri akut berhubungan dengan agens pencedera fisik. Hal ini

sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Santoso, (2018) bahwa pasien

akan mengeluhkan nyeri. Data-data yang didapatkan sesuai dengan teori

yang didalam buku SDKI dengan kriteria mayor dan minor adalah pasien

mengeluh nyeri yang disebabkan penyakit, nyeri yang dirasakan seperti 10

menit dan berjeda, pasien meringis, gelisah (PPNI, 2016).

Pada saat pengkajian dihari pertama juga ditemukan diagnose

keperawatan kedua resiko jatuh dibuktikan dengan kondisi pasca operasi

dan penggunaan alat bantu berjalan. Hal ini sesuai dengan teori bahwa

pasca rekrontruksi ACL akan dipasang brace sehingga pasien memerlukan

alat bantu berjalan (tongkat). Data-data yang didapatkan juga sesuai

dengan SDKI yaitu pasien menggunakan tongkat dan terpasang brace di

lutut kiri, kekuatan ekstremitas atas 5/5, bawah 5/3.

45
Pada diagnose ketiga yaitu resiko infeksi dibuktikan dengan efek

prosedur invasive sesuai dengan SDKI bahwa pasien dengan kondisi pasca

operasi mendukung terjadinya infeksi karena ada luka post operasi

ditubuh.

C. Diagnosa Keperawatan

Secara teori diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada

rupture ACL ada 4 diagnosa, namun pada saat praktik dirumah sakit, di

temukan 3 diagnosa sesuai dengan hasil pengkajian. Diagnosa sesuai teori

adalah Nyeri akut, Gangguan Mobilitas Fisik, Ansietas, dan Resiko Infeksi

sedangkan, diagnose yang diangkat pada kasus adalah Nyeri Akut, Resiko

Jatuh dan Resiko Infeksi.

Nyeri akut sesuai teori dapat ditemukan sesaat setelah cedera

disertai dengan pembengkakan, pada kasus pasien nyeri akut ditemukan

karena efek prosuder invasive tindakan operasi rekrontuksi acl. Nyeri tidak

ditemukan sebelum operasi karena kejadian cedera yang dialami pasien

sudah sekitar setahun yang lalu.

Secara teori gangguan mobilitas fisik dapat terjadi karena adanya

kemerahan dan bengkak serta karena terganggunya fungsi ligament yang

ditemukan sesaat setelah cedera, sedangkan pada kasus kelolaan pasien

mengalami cedera sudah sekitar setahun yang lalu dan asuhan keperawatan

dilakukan saat pasien sudah di operasi rekrontruksi ACL. Hasil pengkajian

yang ditemukan juga kondisi pasien tidak sampai mengalami gangguan

mobilitas fisik.

46
Diagnosa Ansietas tidak diangkat pada kasus kelolaan karena tidak

ditemukan data-data pengkajian yang mendukung ansietas. Pasien tidak

merasa cemas karena sudah diberikan informasi terkait kondisinya dan

pasien sudah belajar memalui browsing di internet sehingga merasa lebih

tenang dan rileks.

Diagnose resiko infeksi diangkat pada kasus kelolaan yang sesuai

teori pasca operasi: rekrontruksi ACL adanya luka insisi memungkinkan

terjadinya infeksi.

Pada kasus kelolaan juga ditemukan diagnose resiko jatuh karena

sesuai hasil pengkajian pasien terpasang brace dan harus menggunakan

alat bantu berjalan (tongkat) sehingga diangkat diagnose resiko jatuh

untuk mencegah kejadian jatuh pada pasien.

D. Intervensi Keperawatan

Rencana Intervensi yang akan dilakukan pada Sdr.D dengan

masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera

fisik(prosedur operasi), penulis mencantumkan tujuan setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan nyeri berkurang/

hilang dengan kriteria hasil: keluhan nyeri berkurang, mudah beristirahat

dan tidur, pasien menampakkan ketenangan, ekspresi wajah pasien rileks,

skala nyeri 0-2 dan tanda-tanda vital yang lain dalam batas normal.

Rencana diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera

fisik(prosedur operasi)meliputi: Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,

frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, identifikasi skala nyeri, identifikasi

respon nyeri non verbal, berikan dan ajarkan teknik non farmakologis

47
untuk mengurangi rasa nyeri, kontrol lingkungan yang memperberat rasa

nyeri, kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu (SLKI, 2018;SIKI,2018).

Rencana Intervensi yang akan dilakukan pada Sdr.D dengan

masalah keperawatan resiko jatuh dibuktikan dengan kondisi pasca opersai

dan penggunaan alat bantu berjalan, penulis mencantumkan tujuan setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan pasien

terhindar dari jatuh dengan kriteria hasil: pasien dapat berjalan dengan

langkah efektif, pasien tidak merasakan nyeri ketika berjalan: nyeri hilang

maupun berkurang, perasaan khawatir saat berjalan berkurang. Rencana

Intervensi resiko jatuh dibuktikan dengan kondisi pasaca operasi, dan

penggunaan alat bantu berjalan meliputi: identifikasi faktor lingkungan

yang meningkatkan resiko jatuh seperti lantai yang licin, penerangan yang

kurang, hitung resiko jatuh dengan skala morse, atur tempat tidur mekanis

pada posisi terendah, gunakan alat bantu berjalan, anjurkan memanggil

perawat jika membutuhkan bantuan, anjurkan keluarga untuk terlibat

membantu pasien, dan anjurkan untuk tenang dan berkonsentrasi untuk

menjaga keseimbangan tubuh saat berjalan. (SLKI, 2018;SIKI,2018).

Rencana Intervensi yang akan dilakukan pada Sdr.D dengan

masalah keperawatan resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur

invasive, penulis mencantumkan tujuan setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan pasien terhindar dari infeksi

dengan kriteria hasil: kebersihan tangan dan badan pasien meningkat,

nafsu makan pasien bertambah, dan nyeri yang dirasakan berkurang serta

pasien tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi. Rencana diagnose

48
resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasive: monitor tanda

dan gejala infeksi, cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien

dan lingkungan pasien, jelaskantanda dan gejala infeksi pada keluarga dan

pasien, ajarkan cara mencuci tangan yang benar, anjurkan meningkatkan

asupan nutrisi dan asupan cairan. (SLKI, 2018;SIKI,2018).

E. Implementasi

Pelaksanaan tindakan kasus ini di laksanakan sesuai dengan

intervensi yang sudah dibuat, namun ada beberapa intervensi yang hanya

menunggu informasi dari pasien dikarenakan pasien dan keluarga sudah

diberikan edukasi terkait kondisi tersebut seperti terus mengkaji nyeri

secara mandiri, berkonsentrasi saat berjalan dengan batnuan keluarga dan

melakukan relaksasi napas dalam secara mandiri, dan mengkaji apakah

terdapat tanda gejala infeksi pada luka post operasi. (SIKI,2018).

F. Evaluasi

Hasil evaluasi yang didapatkan setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x24 jam, maka masalah nyeri akut teratasi sebagian

yang ditandai dengan: keluhan nyeri berkurang, pasien merasa tenang dan

ekspresi muka pasien rileks dan pasien mengetahui penyebab yang

memperburuk rasa nyeri, serta tanda-tanda vital dalam batas normal.

Masalah resiko jatuh teratasi sebagian yang ditandai dengan: nyeri

yang dirasakan pasien masih skala 3 dan pasien masih menggunakan alat

bantu tongkat untuk berjalan sehingga masih beresiko untuk jatuh dengan

hasil skala morse resiko sedang jatuh.

49
Masalah risiko infeksi teratasi ditandai dengan pasien dan keluarga

pasien dapat melakukan teknik cuci tangan yang baik dan benar serta

mengerti tentang penjelasan tanda dan gejala infeksi, serta tidak ada tanda-

tanda infeksi seperti abses, kemerahan dan luka atau lesi tambahan

disekitar luka, dengan kriteria hasil: pasien dapat terhindar dari risiko

infeksi, pasien mengetahui cara mencuci tangan dengan benar, pasien dan

keluarga pasien dapat mengetahui tanda dan gejala infeksi.

50
51
BAB V

KESIMPULAN & SARAN

A. Kesimpulan

Adapun hasil asuhan keperawatan kepada klien yang didapatkan

dari pengkajian, penegakan diagnosa keperawatan, menetukan rencana

keperawatan (Intervensi), melakukan implementasi dan evaluasi yaitu:

1. Pengkajian

Berdasarkan pengkajian pada Tn.Y pada tanggal 18 Desember 2019

dengan Kanker Nasofaring di peroleh data yang tidak jauh berbeda

dengan tanda dan gejala dari Kanker Nasofaring yaitu nyeri,

kelemahan otot, pasien terpasang brace dan menggunakan alat bantu

berjalan (tongkat).

2. Diagnose Keperawatan

Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan

dirumuskan diagnosa pada Tn. Y dengan Kanker Nasofaring sesuai

teori yaitu Nyeri akut dan resiko infeksi, sedangkan diagnose yang

tidak diambil dari teori yaitu resiko jatuh karena pasien menggunakan

alat bantu berjalan dan diagnose ini diangkat untuk mencegah

terjadinya jatuh pada pasien.

3. Intervensi

Dalam membuat rencana keperawatan disesuaikan dengan

diagnose yang ditegakkan sehingga mendapat tujuan yang diinginkan

Tidak ada kesengajaan yang begitu jauh pada rencana keperawatan

antara teori dan kasus untuk setiap diagnose yang sama.

4. Implementasi
52
Tindakan keperawatan pada pasien dilakukan sesuai rencana

pada teori. Tidak semua tindakan yang di rencanakan di lakukan

karena penulis dalam melakukan tindakan lebih mengutamakan

tindakan prioritas dalam proses pengobatan dan penyembuhan pasien

dan juga disesuaikan dengan kondisi,situasi, dan perubahan yang di

alami pasien.

5. Evaluasi

Setelah 3 hari dilakukan asuhan keperawatan kondisi pasien

membaik dan disarankan untuk pulang serta kembali control ke poli

rawat jalan seminggu lagi. Perawat memberikan pendidikan kesehatan

mengenai pentingnya imobilisasi pada lutut kiri, menganjurkan

mengonsumsi obat nyeri dan antibiotic secara teratur serta

menerapkan relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri. Perawat

juga menganjurkan keluarga pasien untuk menemani dan membantu

pasien saat berjalan dan beraktivitas untuk mencegah terjadinya jatuh.

B. Saran

1. Bagi Instansi Rumah Sakit

Bagi RSUD Abdul Wahab Sjahranie, untuk meningkatkan mutu

pelayanan keperawatan yang ditunjang dengan pengadaan fasilitas-

fasilitas yang memadai untuk pasien yang mengalami gangguan

mobilitas,membuat lingkungan perawatan yang aman bagi pasien dan

lebih mengutamakan kenyamanan ruangan untuk mempermudah

pasien untuk istirahat.

2. Bagi perawat
53
Bagi perawat diharapkan untuk lebih rinci dan mudah di mengerti

pasien dalam memberikan Pendidikan kesehatan yang berhubungan

dengan penyakit pasien, sehingga mengurangi tingkat stres pada di

rumah sakit dan kecemasan berkurang.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan lebih menggambarkan kejadian-kejadian fraktur dan

bagaimana cara penganannya sesuai lokasi fraktur pada bagian yang

mudah di capai maupun yang di daerah yang sulit untuk di tangani

pada bagian tubuh.

4. Bagi pasien dan keluarga

Diharapkan keterlibatan dan kerja sama antara pasien dan keluarga

pasien dengan perawat dalam poses keperawatan, keluarga

memahami apa yang prosedur yang di berikan perawat sehingga

berkesinambunang , cepat dan tepat pada pasien.

5. Bagi penulis

Diharapkam mahasiswa yang melakukan studi kasus berikutnya untuk

lebih memperhatikan dalam pengaplikasian pengkajian dan diagnose

keperawatan supaya asuhan keperawatan yang dilakukan lebih akurat.


54
DAFTAR PUSTAKA

Roezin, A. & Adham, M.,2007.Karsinoma Nasofaring. In Soepardi E.A.,

Iskandar, N., Bashiruddin, J., &Restuti, R.D., editor. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi ke 6.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Akmal, Mutaroh, dkk,. 2010. Ensiklopedi Kesehatan untuk Umum,. Jogjakarta:

Ar-Ruzz Media

Anda mungkin juga menyukai