Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Individu Preklinik Mata Kuliah Keperawatan Dewasa
System Muskuloskeletal, Integument, Persepsi Sensori, Dan Persyarafan
Oleh :
2111312035
KELOMPOK C KELAS A2
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2023
A. Landasan Teoritis Penyakit
1. Defenisi
Kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak terkontrol yang dapat menginvansi
dan menyebar pada tubuh penderita. Kanker memiliki konsekuensi kesehatan yang
berat dan dapat menyebabkan kematian. Kanker nasofaring adalah kanker dengan
jenis sel skuamus yang berkembang disekitar ostium dari tuba eustachius pada
dinding lateral dari nasofaring. (Kemenkes, 2019).
Kanker nasofaring merupakan karsinoma sel skamosa yang mula-mula terlihat
sebagai massa yang berulserasi dan emgerosi kanker nasofaring, menginvasi ke
daerah tengkorak dan bermetastase ke nodus limfatikus dalam stadium dini.
Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel
mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring.
2. Etiologi
Kanker nasofaring disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Epstein-Barr Virus (EBV)
Epstein-Barr Virus (EBV) adalah virus herpes yang dapat menyerang semua
organ tubuh manusia, virus ini menginfeksi 90% populasi orang dewasa di dunia.
Sebagian besar sampel pada penderita kanker nasofaring terdeteksi adanya EBV
terutama pada tipe undifferential. International Agency for Research on
Kankerncer (IARC) mengkategorikan EBV sebagai kelompok karsinogenik
karena keterkaitannya dengan kanker nasofaring. pada penelitian in vitro
didapatkan bahwa infeksi EBV yang menetap pada sel epitel yang mengakibatkan
sel epitel menjadi rentan terhadap paparan zat karsinogenik (Sudiono, Hassan.,
2013).
2. Gaya hidup yang tidak sehat
Gaya hidup yang tidak sehat juga menjadi salah satu faktor pencetus kejadian
kanker nasofaring. Sebagai contoh merokok atau mengonsumsi tembakau.
Tembakau atau rokok memiliki lebih dari 4000 zat karsinogenik, salah satunya
adalah nitrosamin yang meningkatkan faktor risiko terjadinya kanker nasofaring
(Xue, dkk., 2013)
3. Pajanan pekerjaan
Pajanan pekerjaan seperti debu, asap, atau bahan kimia lain dapat
meningkatkan risiko kanker nasofaring 2 sampai 6 kali lipat. Formaldehide
menyebabkan inflamasi pada jalan nafas, berkurangnya kemampuan pembersihan
mukosiliar, dan perubahan pada sel epitel karena tertumpuknya debu, asap, dan
pelarut serta pengawet kayu (Ariwibowo, 2013).
4. Makanan
Konsumsi ikan asin merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker
nasofaring karena kandungan nitrosiamin. Nitrosiamin merupakan suatu molekul
yang terdiri dari nitrogen dan oksigen. Nitrosiamin dibagi menjadi 2, yaitu
nitrosiamin endogen dan eksogen. Nitrosiamin endogen berasal dari berbagai
makanan yang di cerna, sedangkan nitrosiamin eksogen berasal dari bahan
makanan, kosmetik, limbah industri, rokok (tembakau) yang mengandung bahan
nitrosiamin.
Ikan asin juga mengandung bakteri mutagen dan komponen yang dapat
mengaktifkan Epstein-Barr virus. Apabila dikonsumsi dalam jangka waktu lama
dan terus-menerus akan meningkatkan risiko kanker nasofaring
5. Genetik
Genetik juga tidak kalah berpengaruh terhadap risiko terjadinya kanker
nasofaring. Human Leucocyt Antigen (HLA) menjadi salah satu faktor yang
membuat genetik berisiko terhadap kanker nasofaring. Riwayat keluarga dengan
kanker nasofaring membuat peningkatan risiko 2 sampai 4 kali. Selain itu,
kelainan genetik juga dapat menjadi risiko terjadinya kanker nasofaring. reseptor
immunoglobulin PIGR (Polymeric Immunoglobulin Receptor) pada sel epitel
dapat menjadi penghantar masuknya Epstein-Barr virus ke nasofaring (Rahman,
Budiman, dan Subroto., 2015).
6. Riwayat infeksi di area nasofaring
Riwayat infeksi di area nasofaring memperlihatkan adanya proses menahun
yang berpotensi berubah menjadi kanker sel epitel nasofaring. Infeksi kronis
nasofaringitis dapat menyebabkan kanker nasofaring, namun sekankerra patologis
umum jelas dapat diketahui bahwa infeksi yang kronis memainkan peranan yang
penting pada karsinogenis (Prasetyo et al., 2013).
7. Jenis kelamin
Angka Insiden kanker nasofaring pada populasi pria dua sampai tiga kali lipat
dibandingkan dengan wanita. Beberapa sumber menyebutkan bahwa jenis kelamin
dapat mempengaruhi kanker nasofaring karena wanita memiliki angka kesintasan
yang lebih baik. Namun, terdapat sebuah penelitian yang menghubungkan efek
proteksi dari esterogen sebagai penyebab angka insiden kanker nasofaring lebih
rendah pada wanita (Faisal, 2016).
3. Manifestasi Klinis
Penelitian yang dilakukan Wijaya dan Soeseno (2017) tanda dan gejala yang sering
muncul pada penderita kanker nasofaring dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:
1. Leher
Gejala yang dapat muncul pada leher yaitu terdapat benjolan. Benjolan ini
tidak menimbulkan nyeri, dan terjadi akibat pembesaran kelenjar getah bening
yang terletak di bagian atas leher.
2. Hidung
Gejala yang dapat muncul pada telinga, antara lain hidung tersumbat,
epistaksis (dalam bahasa awam sering disebut dengan mimisan), dan post nasal
drip bercampur dengan darah.
3. Telinga
Gejala yang muncul pada telinga, antara lain gangguan pendengaran, otalgia
(nyeri pada telinga dengan sensasi terbakar), otore (kanker yang keluar dari
telinga dapat berupa nanah atau darah bercampur dengan nanah), tinnitus (telinga
berdenging namun dengan intensitas yang sering dan sudah berlangsung lama).
4. Saraf Kranial
Kanker nasofaring melibatkan kelainan pada saraf-saraf kranial. Apabila
tumor melebar ke arah superior akan melibatkan saraf kranial III sampai VI, dan
bila tumor melebar kearah lateral akan melibatkan saraf kranial IX sampai XII.
Jadi, saraf kranial yang sering terlibat dalam penyakit kanker nasofaring adalah
III, VI, IX, dan XII. Salah satu tanda dan gejala neurologi yaitu penglihatan
ganda dan sakit kepala.
5. Gejala lain dari kanker nasofaring dapat berupa gejala umum pada penderita
kanker, antara lain anoreksia dan penurunan berat badan yang tidak normal.
Namun, gejala awal pada kanker nasofaring sering tidak spesifik. Hal tersebut
yang menyebabkan penderita kanker nasofaring terlambat dalam mengobati
penyakitnya karena datang ke tenaga medis sudah pada stadium lanjut dengan
benjolan di leher (Rahman, 2014).
4. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
a) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan dengan endoskopi akan memberikan gambaran terkait metastasis
tumor dan keterlibatan mukosa. Pemriksaan ini juga akan sangat membantu
pada saat dilakukan biopsi. Pemeriksaan endoskopi dapat dilakukan dengan
anastesi lokal. Namun, pemeriksaan endoskopi tidak dapat melihat metastasis
tumor ke arah dalam dan penyebaran tumor pada dasar kranial (Wijaya,
Soeseno., 2017).
2. Pemeriksaan radiologi konvisional foto tengkorak potongan antero-postofor
lateral, dan posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada
foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fosa serebia
media.
3. Pemeriksaan tomografi, CT Scaning nasofaring. Merupakan pemeriksaan yang
paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. CT-
Scan juga sangat penting digunakan untuk melihat adanya erosi tulang akibat
kanker nasofaring dan juga dapat digunakan untuk melihat perluasan
(metastasis) tumor ke parafaring. Pada stadium dini terlihat asimetri dari
saresus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring.
4. Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh.
5. Pemeriksaan serologi, beruoa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus
Epsten-Barr ( EBV) yaitu lg A anti VCA dan lg A anti EA.
6. Pemeriksaan aspirasi jarum halus, bila tumor primer di nasofaring belum jelas
dengan pembesaran kelenar leher yang diduga akibat metatasisi karsinoma
nasifaring. pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi
adanya metatasis.
7. Pemeriksaan dengan MRI dapat memperlihatkan bagian lunak superfisial dan
regional dari kanker nasofaring, selain itu juga dapat membedakan antara
tumor dengan jaringan normal pada nasofaring
b) Pemeriksaan Diagnostik
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecah- kan dengan pemeriksaan CT-Scan
daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak
akan terlalu sulit di- temukan. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti
VCA untuk infeksi virus E-B telah menun- jukkan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari Fakultas Kedok- teran Universitas
Indonesia Jakarta mendapat- kan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium
lanjut (stadium III dan IV) sensitivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifisitas
91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.
IgA anti EA sen- sitivitasnya 100% tetapi spesifisitasnya hanya 30,0 %, sehingga
pemeriksaan ini hanya di- gunakan untuk menentukan prognosis pengo- batan.
Titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak pada titer 160.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat
dilaku- kan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui
hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi di-
masukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring
kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama- sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga
dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan
melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor
nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topikal dengan Xylocain 10%.
Bila dengan cara ini masih belum didapat- kan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral naso- faring dalam narkosis.
6. Komplikasi
a. Komplikasi neurologis yang paling banyak ditemukan pada KNF adalah
keterlibatan saraf intrakranial. Lesi saraf intrakranial merupakan penanda ukuran
tumor besar pada KNF. Lesi pada saraf kranial III, IV, dan VI menandakan
inflitrasi di area os sphenoid dimana saraf-saraf kranial tersebut keluar.
Keterlibatan saraf IX, X, XI menandakan infiltrasi ke area dinding lateral
nasofaring dimana terdapat basis cranii. Komplikasi neurologis ditetapkan
berdasarkan defisit neurologis atau nyeri radikular akibat massa KNF atau
pembesaran KGB.
b. Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak
c. Tumor tumbuh ke depan ke arah orongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi
ke sekitarnya
d. kanker nasofaring juga dapat menyebabkan kerusakan dari struktur tulang dimana
kerusakan tersebut dapat menembus hingga rongga intrakranial atau rongga orbita.
Pada kanker nasofraing sering terlihat adanya erosi dari tulang dan neural
foramina.
7. WOC
2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem penglihatan
Pada penderita karsinoma nasofaring terdapat posisi bola mata pasien simetris,
kelopak mata pasien normal, pergerakan bola mata pasien normal namun
konjungtiva pasien anemis, kornea normal, sklera ikterik, pupil mata pasien
isokor, otot mata pasien tidak ada kelainan, namun fungsi penglihatan kabur,
tanda-tanda radang tidak ada, reaksi terhadap cahaya baik (+/+). Hal ini terjadi
karena pada karsinoma nasofaring, hanya bagian tertentu yang mengalami
beberapa gejala yang tidak normal dan fungsi penglihatan kabur.
b. Sistem pendengaran
Pada penderita karsinoma nasofaring, daun telinga kiri dan kanan pasien
normal dan simetris, terdapat cairan pada rongga telinga, ada nyeri tekan pada
telinga. Hal ini terjadi akibat adanya nyeri saat menelan makanan oleh pasien
dengan tumor nasofaring sehingga terdengar suara berdengung pada telinga.
c. Sistem pernafasan
Jalan nafas bersi tidak ada sumbatan, pasien tampak sesak, tidak menggunakan
otot bantu nafas dengan frekuensi pernafasan 26x/menit, irama nafas pasien
teratur, jenis pernafasan spontan, nafas dalam, pasien mengalami batuk produktif
dengan sputum kental berwarna kuning, tidak terdapat darah, palpasi dada pasien
simetris, perkusi dada bunyi sonor, suara nafas pasien ronkhi, namun tidak
mengalami nyeri dada dan menggunakan alat bantu nafas. Pada sistem ini akan
sangat terganggu karena akan mempengaruhi pernafasan, jika dalam jalan nafas
terdapat sputum makan pasien akan kesulitan dalam bernafas yang bisa
mengakibatkan pasien mengalami sesak nafas. Gangguan lain muncul seperti
ronkhi karena suara nafas ini menandakan adanya gangguan pada saat ekspirasi.
d. Sistem kardiovaskular
Pada sirkulasi perifer kecepatan nadi perifer pasien 82x/menit dengan irama
teratur, tidak mengalami distensi vena jugularis, temperatur kulit hangat suhu
tubuh pasien 36 ℃ , warna kulit tidak pucat, pengisian kapiler 2 detik, dan tidak
ada edema. Sedangkan pada sirkulasi jantung, kecepatan denyut apical 82x/menit
dengan irama teratur tidak ada kelainan bunyi jantung dan tidak ada nyeri dada.
Tumor nasofaring tidak menyerang peredaran darah pasien sehingga tidak akan
mengganggu peredaran darah tersebut.
e. Sistem saraf pusat
Tidak ada keluhan sakit kepala, migran atau pertigo, tingkat kesadaran pasien
komposmentis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E: 4, M: 6, V: 5. Tidak ada
tanda-tanda peningkatan TIK, tidak ada gangguan sitem persyarafan dan pada
pemeriksaan refleks fisiologis klien normal. Tumor nasofaring juga bisa
menyerang saraf otak karena ada lubang penghubung di rongga tengkorak yang
bisa menyebabkan beberapa gangguan pada beberapa saraf otak. Jika terdapat
gangguan pada otak tersebut maka pasien akan memiliki prognosis yang buruk.
f. Sistem percernaan
Keadaan mulut klien saat ini gigi caries, tidak ada stomatitis lidah klien tidak
kotor, saliva normal, tidak muntah, tidak ada nyeri perut, tidak ada diare,
konsistensi feses lunak, bising usus klien 8 x/menit, tidak terjadi konstipasi, hepar
tidak teraba, abdomen lembek. Tumor tidak menyerang di saluran pencernaan
sehingga tidak ada gangguan dalam sistem percernaan pasien.
g. Sistem endoktrin
Pada klien tidak ada pembesaran kalenjar tiroid, nafas klien tidak berbau
keton, dan tidak ada luka ganggren. Hal ini terjadi karena tumor nasofaring tidak
menyerang kalenjar tiroid pasien sehingga tidak menganggu kerja sistem
endoktrin.
h. Sistem urogenital
Balance cairan klien dengan intake 1300 ml, output 500 ml, tidak ada
perubahan pola kemih (retensi urgency, disuria, tidak lampias, nokturia,
inkontinensia, anunia), warna BAK klien kuning jernih, tidak ada distensi
kandung kemih, tidak ada keluhan sakit pinggang. Tumor nasofaring tidak sampai
melebar sampai daerah urogenital sehinggatidak mengganggu sistem tersebut.
i. Sistem integumen
Turgor kulit klien elastic, temperature kulit klien hangat, warna kulit pucat,
keadaan kulit baik, tidak ada luka, kelainan kulit tidak ada, kondisi kulit daerah
pemasangan infuse baik, tekstur kulit baik, kebersihan rambut bersih. Warna pucat
yang terlihat pada pasien menunjukkan adanya sumbatan yang ada di dalam
tenggorokan sehingga pasien terlihat pucat.
j. Sistem musculoskeletal
Saat ini klien tidak ada kesulitan dalam pergerakan, tidak ada sakit pada
tulang, sendi dan kulit serta tidak ada fraktur. Tidak ada kelainan pada bentuk
tulang sendi dan tidak ada kelainan struktur tulang belakang, dan keadaan otot
baik. Pada tumor ini tidak menyerang otot rangka sehingga tidak ada kelainan
yang mengganggu sistem musculoskeletal.
3. Diagnosa
a. Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan).
b. Defisit nutrisi b.d ketidak mampuan menelan
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi berlebihan
d. Risiko infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
e. Harga diri Rendah b/d perubahan perkembangan penyakit, pengobatan penyakit
4. Kriteria Hasil
No Diagnosa Kriteria hasil
1 Nyeri akut b/d agen injuri Tingkat Nyeri (L.08066)
fisik (pembedahan). Setelah dilakukan kunjungan sebanyak 3x24
jam diharapkan nyeri dapat membaik
Tujuan : nyeri pasien berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
- Keluhan nyeri berkurang (4)
- Meringis membaik (4)
- Tanda –tanda vital membaik (5)
5. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen ijuri fisik ( pembedahan )
Tujuan : Rasa nyeri teratasi
Kriteria hasil :
- Mendemontrasikan penggunaan keterampilan relaksasi nyeri
- Melaporkan penghilangan nyeri maksimal/ control dengan pengaruh minimal
pada AKS
Intervensi
Intervensi Rasional
Intervensi
Intervensi Rasional
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan 1. Untuk mengetahui tentang keadaan
makan. dan kebutuhan nutrisi pasien
2. Anjurkan pasien untuk sehingga dapat diberikan tindakan
mematuhi diet yang telah dan pengaturan diet yang adekuat.
diprogramkan. 2. Kepatuhan terhadap diet dapat
3. Timbang berat badan setiap mencegah komplikasi terjadinya
seminggu sekali. hipoglikemia/hiperglikemia.
4. Identifikasi perubahan pola 3. Mengetahui perkembangan berat
maka badan pasien (berat badan
merupakan salah satu indikasi untuk
menentukan diet).
4. Mengetahui apakah pasien telah
melaksanakan program diet yang
ditetapkan
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi berlebihan
Tujuan : bersihan jalan nafas meningkat
Kriteria hasil :
- Batuk efektif meningkat
- Prduksi sputum menurun
- Frekuensi nafas membaik
- Pola nafas membaik
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Monitor pola nafas (frekuensi, 1. Mengetahui pola nafas (frekuensi.
kedalaman usaha nafas) Kedalaman nafas)
2. Monitor bunyi nafas tambahan 2. Mengetahui bunyi nafas tambahan
3. Monitor sputum (jumlah, warna, 3. Mengetahui sputum (jumlah,
aroma) warna, aroma)
4. Anjurkan asupan cairan 4. Menganjurkan asupan cairam
2000ml/hari 2000ml/hari
5. Anjurkan teknik batuk efektif 5. Menganjurkan teknik batuk efektif
6. Implementasi Keperawatan
Implementasi digunakan untuk membantu klien dalam mencapai tujuan yang sudah
ditetapkan melalui penerapan rencana asuhan keperawatan dalam bentuk intervensi. Pada
tahap ini perawat harus memiliki kemampuan dalam berkomunikasi yang efektif, mampu
menciptakan hubungan saling percaya serta saling bantu, observasi sistematis, mampu
memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan dalam advokasi serta evaluasi.
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan.
Tindakan ini mecangkup tindakan mandiri dan kolaborasi(Parwati, 2019).
7. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi yang bertujuan untuk mencapai tujuan sudah disesuaikan dengan kriteria
hasil selama tahap perencanaan dapat dilihat melalui kemampuan klien untuk mencapai
tujuan tersebut(Parwati, 2019). Tahap penilaian atau evaluasi merupakan perbandingan
yang sistematis serta terencana tentang kesehatan keluarga dengan tujuan/kriteria hasil
yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan
keluarga agar mencapai tujuan/kriteria hasil yang telah ditetapkan. (Sherly. I, 2019)
DAFTAR PUSTAKA
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
Kuswandi, A., Kuswandi, N. H., Kasim, M., & Wulandari, M. (2020). Karakteristik
Histopatologi dan Stadium Klinis Kanker Nasofaring. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi
Husada, 9(1), 243-251.
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ;1997
Soeprardi. E. A, et. al. 2007. buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung tenggorok, kepala &
leher. Jakarta: Badan Penerbit FKU
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia :Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia