I. DEFINISI
Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari
epitel mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring.
Karsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT.
Sebagian besar klien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut.
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima,
2006 dan Nasional Cancer Institute, 2009).
Kanker nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller)
dan dapat menyebar ke dalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral,
posterosuperior, asar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis
ke kelenjar limfe leher. Nasofaring merupakan suatu ronga dengan dinding kaku di
atas, belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi,
sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Kea rah
posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah
os sphenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang
retrofaring, fasia pre vertebralisdan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral
nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius diamana orifisium ini dibatasi superior
dan posterior oleh torus tubarius, sehinga penyebaran tumor ke lateral akan
menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu
pendengaran. Kearah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller
yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering
terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa,
dimana pada usia muda dinding posterior-superior nasofaring umumnya tidak rata.
Hal ini disebabkan karena adanya jaringan edenoid. Di nasofaring terdapat
banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar
retrofaring Krause (kelenjar Reuviere).
II. PENYEBAB (ETIOLOGI)
Ada 3 faktor penyebab terjadinya kanker nasofaring, yaitu adanya infeksi
Virus Epstein Barr (EBV), faktor genetik, dan faktor lingkungan yang
memungkinkan terjadinya insidens yang tinggi pada kanker nasofaring.
a. Virus Epstein Barr (EBV)
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya
kanker nasofaring dengan keberadaan virus ini. Virus ini merupakan virus DNA
yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah
diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononucleosis
infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring.
Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya
tetapi juga dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan
manifestasi penyakit. Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di
sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk
mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa
faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.
b. Faktor Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif lebih menonjol. Telah banyak ditemukan kasus herediter dari pasien
karsinoma nasofaring. Penelitian pertama menemukan adanya perubahan genetik
pada ras Cina yang dihubungkan dengan karsinoma nasofaring adalah penelitian
tentang Human Leucocyte Antigen (HLA). Perubahan genetik mengakibatkan
proliferasi sel-sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini
sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel
somatik.
c. Faktor Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi
terjadinya kanker nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring
yang tinggi pada nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan
kanton yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi
vitamin, sayur, dan buah segar.
Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring
adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, serbuk kayu
industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat
tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat dijelaskan.
Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (chinese
herbal medicine atau CHB) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat
antara terjadinya kanker nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV), dan
penggunaan CHB. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga
mempunyai resiko yang tinggi menderita kanker nasofaring.
Kelemahan /
intoleransi aktifitas
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan THT :
1. Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.
2. Rinoskopia anterior
Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin
hanya banyak sekret.
Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung,
tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
3. Rinoskopia posterior :
Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak
menonjol, tak rata dan paskularisasi meningkat.
Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
b. Pemeriksaan diagnostik
VIII. KOMPLIKASI
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasifaring. Yang paling sering adalah
tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat
mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %,
sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0,4 %, dan tiroid 0,4 %.
6. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan pengaruh kanker pada nasofaring
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas akibat sekresi yang tertahan
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan asupan nutrisi yang tidak adekuat
d. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan interpretasi terhadap informasi
yang salah
e. Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan
f. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, imunitas tubuh
menurun
7. Intervensi Keperawatan
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC.
Jakarta.