Anda di halaman 1dari 21

Pengertian karsinoma nasofaring

Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel ephitalial yang
cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis (Mangan, 2009).
Nasofaring adalah suatu rongga dengan dinding kuku di atas, belakang dan lateral yang
anatomi termasuk bagian faring (Pearce, 2009).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada ephitalial pelapis
ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang langit-langit rongga mulut dengan
predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor
ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas
daerah kepala dan leher merupakan kanker nasofaring., kemudian diikuti tumor ganas hidung dan
paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase
rendah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013).
Karsinoma Nasofaring sebagian besar adalah tipe epidermoid dengan potensi invasi ke
dasar tulang tengkorang yang menyebabkan neuropati kranial (Lucente, 2011).
Pada banyak klien, karsinoma nasofaring banyak terdapat pada ras monggoloid yaitu
penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Thailand, Malaysia, dan Indonesia juga di daerah
India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga
merupakan jenis kanker yang ditemukan secara genetik (Mangan, 2009).

2.2 Etiologi karsinoma nasofaring


Kanker ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3-1 dan apa
sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubugannya dengan faktor
genetic, kebebasan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-
beda pada daerah dengan insiden yang bervariasi. Pada daerah dengan insiden tinggi KNF
meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya (Ernawati, Kadrianti, & Basri, 2004).
Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah (Mangan, 2009):
1. Kerentanan Genetik
Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap Ca Nasofaring
pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial.
Analisis korelasi menunjukkan gen HLA ( Human luekocyte antigen ) dan gen pengode enzim
sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring,
mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian
menunjukkan bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan, sehingga
lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul penyakit.
2. Virus Epstein Barr
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti antigen kapsid
virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA), dll. Virus
EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , menurut (Zulkarnain Haq, 2011) alasannya
adalah:
a. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB ( termasuk VCA-IgA,
EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas lebih
tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker lain, dan titernya berkaitan positif
dengan beban tumor . Selain itu titer antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya
kondisi pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk.
b. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA.
c. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB, ditemukan
epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti juga banyak.
d. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma
tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.
Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini.
Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan
dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator
kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak.
Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia, asap industri,
asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
4. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5. Radang kronis nasofaring
6. Profil HLA
(Huda Nurarif & Kusuma, 2013)
3. Faktor Lingkungan (Zulkarnain Haq, 2011)
Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut
berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
1. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring , kandungan 3,4-
benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di area
insiden rendah.
2. Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses timbulnya kanker
nasofaring.
3. Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan kebiasaan
makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek
mutagenik.

Pembagian Karsinoma Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013)


- Menurut Histopatologi :
1. Well differentiated epidermoid carconoma
 Keratinizing
 Non Keratinizing
2. Undiffentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
3. Adenocystic carcinoma
‐ Menurut bentuk dan cara tumbuh
1. Ulseratif
2. Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip
3. Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar
‐ Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
Tipe WHO 1
 Karsinoma sel skuamosa (KSS)
 Deferensiasi baik sampai sedang
 Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan)
Tipe WHO 2
 Karsinoma non keratinisasi (KNK)
 Paling banyak pariasinya
 Menyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3
 Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD)
 Seperti antara lain limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, “Clear Cell Carsinoma”, varian sel
epitel
 Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik

2.3 Anatomi fisiologi nasofaring


Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral, terletak
di bawah dasar tengkorak, belakang naris posterior, dan di atas palatum mole (Pearce, 2009). 4
batas nasofaring (Gibson, 2002) :
 Superior : Basis krani, diliputi oleh mukosa dan fascia
 Inferior : Bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif
karena tergantung dari palatum durum
 Anterior : Choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri
 Posterior : vertebra servicalis I dan II, Fascia space rongga yang berisi jaring longgar, Mukosa
lanjutan dari mukosa atas
 Lateral : Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang, Muara tuba eustachii, Fossa
rosenmulleri
Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal
inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius terdapat
penonjolan tulang yang disebut torus tubarus dan dibelakannya terdapat suatu lekukan dari fossa
Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini
sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga
mengganggu ventilasi udara telinga tengah (Anas, 2008).
Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina
faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung
jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan
kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke
intrakranial (Pratiwi, 2012).
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya
dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila
palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-
kata tertentu (Pratiwi, 2012).
Struktur penting yang ada di Nasofaring (Gunardi & Saputra, 2012)
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena
cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum yang disebabkan karena musculus
levator veli palatini
4. Plica salpingopalatina. Lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari musculus
salpingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama
ketika menguap atau menelan
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi Karsinoma
Nasofaring
7. Tonsila Pharingea, dibentuk oleh jaringan limfoid yang terbenam di dinding posterior
nasopharing. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflamasi disebut
adenoiditis
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus
9. Isthmus pharinggeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing karena
musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

Fungsi nasofaring
 Sebagai jalan udara pada respirasi
 Jalan udara ke tuba eustachii
 Resonator
 Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

2.4 Tanda dan gejala karsinoma nasofaring


Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring termasuk
fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi
lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorok atau palatum, rongga hidung
atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh dapat
mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul tergantung
pada daerah yang terkena. Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar
10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala
yang paling sering dijumpai. Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip
dengan saluran nafas atas (Lucente, 2011).
Pada Karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi awal. Karena
lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan tuli konduktif
sebagai keluhan. Perluasan infiltratif karsinoma nasofaring berikutnya membangkitkan
perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan napas melalui hidung. Setelah itu, pada tahap
berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar (paralisis
okular) (Muttaqin, 2008).
Gejala nasofaring yang pokok adalah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
1. Gejala Hidung
 Epiktasis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan
 Sumbatan Hidung : sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring
dan menutupi koana, gejalanya adalah pilek kronis, ingus kental, gangguan penciuman
2. Gejala Telinga
 Kataralis/Oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula pada fossa rosenmuler, pertumbuhan tumor
dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba (berdengung, rasa penuh, kadang gangguan
pendengaran)
 Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
 Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan dengan tes rinne dan
webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif
3. Gejala Mata
 Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda) akibat
perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI.
Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan
4. Gejala Lanjut
 Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapt mencapai kelenjar limfe
dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar
membesar dan tampak benjola di leher bagian samping, lama-kelamaan karena tidak dirasakan
kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan
5. Gejala Kranial
Gejala Kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis.
Gelajanya antara lain :
 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen
 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang
 Kerusakan pada waktu menelan
 Afoni
 Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII.
Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada Lidah, palatum, Faring atau laring, M.
Sternocleidomastoideus, dan M. trapezeus

2.5 Patofisiologi karsinoma nasofaring


Sel-sel epitel ganas nasofaring adalah sel poligonal besar dengan komposisi syncytial. Sel-
sel tidak menunjukkan parakeratosis atau kornifikasi dan sering bercampur dengan sel-sel limfoid
di nasofaring, sehingga dikenal sebagai lymphoepithelioma. Sudah hampir dipastikan ca
nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya
protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan
menghasilkan protin tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus di dalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya
EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang
berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan konsumsi
ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang menyebabkan stimulasi
pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi
protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam
hal ini terutama pada fossa Rossenmuller (Wei & Sham, 2005).
Penggolongan Ca Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
Tumor Size (T)
1. T : Tumor primer
2. T0 : Tidak tampak tumor
3. T1 : Kanker terbatas di rongga nasofaring
4. T2 : Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah parafaring di anterior dari garis
SO ( garis penghubung prosesus stiloideus dan margo posterior garis tengah foramen magnum
os oksipital ).
5. T3 : Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis kranial, fosa
pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf kranial kelompok anterior atau posterior.
6. T4 : Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau kanker mengenai sinus
paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-temporal.
Regional Limfe Nodes (N)
7. N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .
8. N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter < 4 cm.
9. N2 : Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm.
10. N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter > 7 cm
Metastase Jauh (M)
11. M0 : Tak ada metastasis jauh.
12. M1 : Ada metastasis jauh.
Penggolongan stadium klinis, antara lain :
1. Stadium I : T1N0M0
2. Stadium II : T2N0 – 1M0, T0 – 2N1M0
3. Stadium III : T3N0 - 2M0, T0 – 3N2M0
4. Stadium Iva : T4N0 – 3M0, T0 – 4N3M0
5. Stadium Ivb : T apapun, N Apapun, M1

2.6 Pencegahan Karsinoma nasofaring


1. Ciptakan lingkungan hidup dari lingkungan kerja yang sehat, serta usahakan agar pergantian
udara lancar.
2. Hindari polusi udara, seperti kontak dengan gas hasil kimia, asap industri, asap kayu, asap rokok,
asap minyak tanah, dan polusi lain yang mengaktifkan virus Epstein Bar.
3. Hindari mengkonsumsi makanan yang diawetkan, makanan yang panas, atau makanan yang
merangsang selaput ledir.
(Mangan, 2009)

- Geografis - infeksi
- Jenis kelamin - Genetik
- Pekerjaan - Gaya Hidup
- Makanan diawetkan
Virus Eistain Barr
2.6 Patway Karsinoma Nasofaring
Metastasis sel-sel kanker getah bening melalui aliran limfe
Nyeri
Penyumbatan Muara tuba
Karsinoma Nasofaring
Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel kanker di kelenjar getah bening
Pertumbuhan sel abnormal
Kelenjar melekat pada otot dan sulit digerakkan
Penekanan pada tuba eustacius
Benjolan massa pada leher bagian samping
Menembus kelenjar dan mengenai otak dibawahnya
Obstruksi jalan nafas
Hidung tersumbat dan adanya sekret
Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Mengiritasi sel nasofaring
Hambatan komunikasi verbal
Gangguan Pendengaran

Infeksi dan menutupi koana


Tumor mula-mula pada fossa rosenmuler
Gangguan harga diri rendah
Perubahan sel pada nasofaring
Obstruksi pada waktu menelan
Suplai nutrisi jaringan menurun
Intake kurang
BB menurun
Ketidakseimbangan nutrisi kuramg dari kebutuhan tubuh
Berdengung
Resiko infeksi
ketidakkuatan pertahanan sekunder imunosupresi
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut (Lucente, 2011) :
1. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.
Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral, limfadenopati
leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang tak jelas, dan keluhan lain
harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik.
2. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus aksesorius dan
arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.
3. Pemeriksaan saraf kranial
Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai prosedur rutin satu
persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah kadang perlu
diperiksa berulang kali, barulah ditemukan hasil yang positif
4. Pemeriksaan serologi virus EB
Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah VCA-IgA,
EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring berkaitan dengan kadar dan
perubahan antibodi tersebut. Bagi yang termasuk salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap
memilki resiko tinggi kanker nasofaring :
i. Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80
ii. Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut
positif.
iii. Dua dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi
kontinyu atau terus meningkat.
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan nasofaringoskop
elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah perubahan serologi virus Eb
dapat menunjukkan reaksi positif 4 – 46 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.

 Diagnosis pencitraan (Lucente, 2011).


1. Pemeriksaan CT Scan : makna klinis aplikasinya adalah membantu menggambarkan invasi baik
ke bidang fasial paranasofaringeal dan invasi tulang tengkorak tanpa kelumpuhan nervus
kranialis, memastikan luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan zona
target terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan
pemeriksaan tingkat lanjut (Schwartz, 2000).
2. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak
membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari pada CT. MRI selai
dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini
menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis pasca radioterapi dan
rekurensi tumor , MRI juga lebih bermanfaat .
a. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis
ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 4-6
bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai
akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas. Bone-scan
sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi tunggal
akumulasi radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan rudapaksa
operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radio terapi, kemoterapi, dll.
b. PET (Positron Emission Tomography) : disebut juga pencitraan biokimia molukelar metabolik in
vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme glukosa dari zat kontras 18-FDG dan
pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat gambar PET-CT . itu memberikan
informasi gambaran biologis bagi dokter klinisi, membantu penentuan area target biologis kanker
nasofaring , meningkatka akurasi radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan rudapaksa
radiasi terhadap jaringan normal berkurang.
 Diagnosis histologi (Zulkarnain Haq, 2011)
Pada pasien kanker nasofaring sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer nasofaring
untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh diagnosis histologi yang
jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan diagnosis patologik pasti barulah
dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.
Pemeriksaan adanya kanker nasofaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan
nasofaringoskopi, Rinoskopi anterior dan posterior menujukkan tumor pada nasofaring.
Selanjutnya untuk menentukan jenis tumor perlu diadakan biopsi dan pemeriksaan patologi. Foto
rontgen kepala dan CT-scan jika perlu dibuat untuk melihat metastasis ke intrakranial (Herawati
& Rukmini, 2000).

2.8 Penatalaksaan Karsinoma Nasofaring


a. Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan standar untuk karsinoma nasofaring. Tetapi hal ini dapat
menghasilkan komplikasi yang tidak diinginkan karena lokasi tumor di dasar tengkorak dan organ
yang rentan terhadap radiasi termasuk batang otak, sumsum tulang belakang, hipofisis
hipotalamus axis, temporal lobus, mata, telinga tengah dan dalam, dan kelenjar parotis (Wei &
Sham, 2005).
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut, bila ada infeksi
mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher (benjolan
di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan
tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik),
pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan
antivirus (Pratiwi, 2012).

b. Kemoterapi
Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan kemoradioterapi
konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF ( DDP + 5FU ),
kaboplatin+5FU, paklitaksel +DDP, paklitasel +DDP +5FU dan DDP gemsitabin , dll (Wei &
Sham, 2005).
DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum kemoterapi , lakukan hidrasi 3
hari )
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinyu intravena.
Ulangi setiap 21 hari atau:
Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.
5FU : 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu.
Ulangi setiap 21 hari.
c. Terapi Biologis
Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.
d. Terapi Herbal TCM
Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi radiokemoterapi ,
fuzhengguben ( menunjang, memantapkan ketahanan tubuh) , kasus stadium lanjut tertentu yang
tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi masih dapat dipertimbangkan hanya diterapi
sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini
masih dalam penelitian lebih lanjut.
e. Terapi Rehabiltatif
Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat bervariasi. Oleh
karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan memperbaiki kualitas hidupnya.
f. Rehabilitas Psikis
Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang untuk
disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari situasi emosi depresi.
g. Rehabilitas Fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya merasakan kekuatan
fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun. Harus memperhatikan suplementasi nutrisi ,
berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan meningkat secara
bertahap.
h. Pembedahan
Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :
1. Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif terlokalisasi.
2. 3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer nasofaring
3. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
4. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I, II,
adenokarsinoma.
5. Komplikasi radiasi.
(Zulkarnain Haq, 2011)

2.9 Proknosis dari karsinoma nasofaring


Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki
prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini
terjadi karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, metastasis lebih mudah terjadi (Pratiwi, 2012).
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45%, tetapi pada stadium lanjut kurang
dari 3 tahun. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti:
 Stadium yang lebih lanjut
 Usia lebih dari 40 tahun
 Laki-laki dari pada perempuan
 Ras Cina dari ras kulit putih
 Adanya pembesaran kelenjar leher
 Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
 Adanya metastasis jauh 12,16

2.10 Komplikasi pada Karsinoma Nasofaring


Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang selalu
terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang bermanifestasi
dalam bentuk (Pratiwi, 2012) :
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas tengkorok lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus menekan saraf
N. III. N. IV, N.VI juga menekan N.II yang menekan kelainan :
 Neuralgia trigeminus (N.V) : Trigeminal neuralgia meupakan suatu nyer pada wajah sesisi yang
ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah disribusi dari nervus
trigeminus.
 Plosis palpebra (N. III)
 Ophthalmoplegia (N. III, N. IV)

2. Retropariden sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke sekitarnya.
Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah retropharing dimana ada kelenjar getah
bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala.
 N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pada
sepertiga belakang lidah.
 N. X : hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring, disertai gangguan respirasi dan
saliva.
 N. XI : kelumpuhan/atrofi oto trapezius, otot SCM serta hemiparese palatum mole.
 N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
 Sindrom horner : kelumpuhan N, simpaticus servicalis, berupa penyempitan disura palpebralis,
Onoftalmus dan miosis.

Sel-sel kanker dapat mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh
yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati, dan paru. Hal ini merupakan
hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma
nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20%
sedangkan ke hati 10%, ginjal 0,4%, dan tiroid 0,4%.

BAB III
Asuhan Keperawatan Karsinoma Nasofaring

3.1 Pengkajian
A. Identitas
1. biodata klien
a. Nama : tidak mempengaruhi
b. Tempat tanggal lahir : tidak mempengaruhi
c. Umur : meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya
d. Jenis Kelamin : Lebih dominan Laki-laki daripada perempuan
e. Suku Bangsa : lebih dominan ras cina
f. Status Perkawinan : tidak mempengaruhi
g. Pendidikan : bagi orang yang tingkat pendidikan rendah/minim mendapatkan pengetahuan
penyakit ini maka akan mengabaikan bahayanya penyakit ini
h. Pekerjaan : bagi orang yang tempat kerjaannya sering kontak dengan zat karsinogen dan
penghasilan kurang sehingga kebutuhan sosial ekonomi rendah maka akan menyebabkan dan
memperparah penyakit ini
i. Status Ekonomi : Lebih banyak dimiliki status ekonomi menegah ke bawah yang sering
mengkonsumsi ikan asin
j. Alamat : mungkin dipengaruhi lingkungan dan kebiasaan hidup di rumah yang kurang sehat
k. Tanggal Masuk : tidak mempengaruhi
l. No. Register : tidak mempengaruhi
2. Penanggung Jawab
a. Nama :
b. Alamat :
c. Umur :
d. Jenis Kelamin :
e. Pendidikan :
f. Tempat/Tanggal Lahir :
g. Hubungan dengan
klien :
B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama (keluahan yang pertama kali dirasakan dan diucapkan klien) Leher terasa nyeri,
semakin lama semakin membesar, susah menelan, hidung terasa tersumbat, telinga seperti tidak
bisa mendengar, penglihatan berkunang-kunang, badan merasa lemas, serta BB turun drastis
dalam waktu singkat.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang (Tanyakan keluhan yang dirasakan sekarang)
P : Nyeri karena gangguan pada nasofaring
Q : Nyeri tak terbayangkan dan tak dapat diungkapkan, terlihat membesar pada bagian leher dan
terasa banyak gangguan pada hidung, telinga, dan mata, nyeri dirasakan setiap waktu
R : Keluhan dirasakan pada bagian dalam hidung, telinga, mulut dan menyebar
S : Keluhan yang dirasa mengganggu aktivitas, skala nyeri 10
T : Nyeri hilang timbul dan lebih sering saat bernafas dan menelan, keluhan muncul secara
bertahap
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu (Tanyakan apakah klien pernah menderita penyakit yang
mempermudah terjadinya ca nasofaring)
Mempunyai profil HLA, pernah menderita radang kronis nasofaring
4. Riwayat Kesehatan Keluarga (Tanyakan apakah ada kluarga yang menderita penyakit yang
menyebabkan ca nasofaring)
5. Riwayat Kesehatan Lingkungan (Tanyakan tentang lingkungan klien)
Terbiasa terhadap lingkungan karsinogen

C. Pola Kesehatan Fungsional (Hidayat & Alimul, 2007)


1. Pola persepsi kesehatan – pemeliharaan kesehatan
Pada klien ca nasofaring terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena
kurangnya pengetahuan tentang dampak sehingga menimbulkan presepsi yang negatif terhadap
dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama,
oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
2. Pola metabolisme nutrisi
Akibat adanya pembekakan pada saluran pernafasan atas shingga menimbulkan keluahan nyeri
pada leher, susah menelan, berat badan menurun dan lemas. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status
kesehatan penderita.
3. Pola eliminasi
Akibat kurangnya konsumsi air putih menyebabkan volume kencing berkurang, susah kencing.
Pada eliminasi alvi terdapat gangguan, klien buang air besar tidak teratur.
4. Pola aktivitas
Adanya Ca Nasofaring menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari
secara maksimal, penderita mudah mengalami lemah dan letih. Klien biasanya bekerja diluar
rumah, tapi saat ini klien hanya beristirahat di Rumah Sakit.
5. Pola istirahat – tidur
Adanya Ca nasofaring membuat klien mengalami perubahan pada pola tidur. Klien kurang tidur
baik pada waktu siang maupun malam hari. Klien tampak tergangu dengan kondisi ruang
perawatan yang ramai. Dan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misalnya nyeri,
ansietas, berkeringat malam.
6. Pola kognitif – persepsi
Klien mampu menerima Pengetahuan, ide persepsi, dan bahasa. Klien mampu melihat,
mendengar, mencium, meraba, dan merasa dengan baik.
7. Pola persepsi diri – konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami gangguan
pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga. Klien mengalami
cemas karena kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan
tindakan yang diprogramkan.
8. Pola hubungan – peran
Ca nasofaring yang sukar sembuh menyebabkan penderita malu dan manarik diri dari pergaulan.
9. Pola seksual – reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan
gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses
ejakulasi serta orgasme. Selama dirawat di rumah sakit klien tidak dapat melakukan hubungan
seksual seperti biasanya.
10. Pola penanganan masalah – strees – toleransi
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit kronik, perasaan tidak berdaya karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah
tersinggung, kehilangan kontrol, dan menarik diri dapat menyebabkan penderita tidak mampu
menggunakan mekanisme koping yang konstruktif/adaptif. Klien merasa sedikit stress
menghadapi tindakan kemoterapi/sitotraktika karena kurangnya pengetahuan.
11. Pola keyakinan – nilai-nilai
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta Ca nasofaring tidak
menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pada ibadah penderita.

D. Pemeriksaan Fisik
1. Penampilan atau keadaan umum
Secara keseluruhan keadaan tidak baik, BB menurun
2. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien tidak begitu terkontrol, mata : 2, Respon Verbal : 5, Respon motor : 4, indra
penciuman terganggu, ketajaman terganggu, berjalan sempoyongan, tidak bisa seimbang
3. Tanda-Tanda Vital
1. Suhu Tubuh : 37,5oC
2. Tekanan Darah : 140/90 mmHg
3. Nadi : 94 x/menit
4. RR : 24 x/menit
4. Pemeriksaan Head to Toe
a. Pemeriksaan Kepala
1. Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, bulat sempurna, tidak ada
deformitas, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala) Palpasi (tidak ada nyeri tekan)
2. Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala bersih, tidak ada lesi, tidak ada skuama, tidak ada kemerahan,
tidak ada nevus)
3. Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah bingung, keadaan simetris, tidak ada edema, dan tidak ada
massa) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)
4. Rambut : Inspeksi (rambut kotor, ada ketombe, ada uban) Palpasi (rambut rontok)
5. Mata : Inspeksi (bulat besar, bersih tidak cowong, simestris, konjungtiva tidak anemis, sclera
tidak ikterik, pupil isokor, diameter 3 mm, reflek cahaya positif, gerakan mata tidak normal,
fungsi penglihatan tidak terlalu baik) Palpasi (bola mata normal, tidak ada nyeri tekan)
6. Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada lendir, ada polip, ada pernafasan cuping hidung, ada
deviasi septum, mukosa lembab, kesulitan bernafas, warna cokelat, tidak ada benda asing) Palpasi
(tidak ada nyeri tekan)
7. Telinga : Inpeksi (Simetris, bersih, fungsi pendengaran kurang baik,tidak ada serumen, tidak
terdapat kelainan bentuk) Palpasi (normal tidak ada lipatan, ada nyeri)
8. Mulut : Inspeksi (kotor, tidak ada stomatitis, mukosa bibir lembab,lidah simetris, lidah
kotor, gigi kotor, ada sisa makanan, berbau, gigi atas dan bawah tanggal 3/2, sebagian goyang,
faring ada pembekakan, tonsil ukuran tidak normal, uvula tidak simetris) Palpasi (tidak ada lesi)
9. Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp, ada pembesaran
limfe, leher panas)
b. Pemeriksaan Dada dan Thorak
1. Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada tidak normal, tidak ada batuk, nafas dada, frekuensi nafas
24 x/menit.
Palpasi : Suara fremitus kanan-kiri, tidak ada nyeri tekan, .
Perkusi : Sonor pada saluran lapang paru.
Auskultasi : Suara dasar paru vesikuler, tidak ada weezing.
2. Jantung :
Inspeksi : Normal (Iktus kordis tidak tampak).
Palpasi : Normal (Iktus kordis teraba pada V±2cm)
Perkusi : Normal (Pekak)
Auskultasi : Normal (BJ I-II Murni, tidak ada gallop, tidak ada murmur)
c. Pemeriksaan Payudara
Inspeksi : Bersih, tidak ada pembekakan, bentuk simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
d. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut datar, tidak ada bekas post operasi, warna cokelat, permukaan normal
Auskultasi : Bising usus 10x/menit
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak teraba, limpa tidak teraba,
Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada Titik Mc. Burney
Perkusi : Timpani, tidak ada cairan atau udara
e. Pemeriksaan Anus dan Genitalia
1. Anus
Inspeksi : Warna cokelat, tidak ada bengkak atau inflamasi
Palpasi : Feses keras, tidak ada darah, tidak ada pus, tidak ada darah
2. Genitalia
Wanita
Inspeksi : Warna merah muda, tidak berbau, tidak ada lesi, nodul, pus, daerah bersih, bentuk
simetris, tidak varices
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, Fungsi Reproduksi baik, tidak terpasang DC
Laki-Laki
Inspeksi : Ada rambut pubis, kulit penis normal, lubang penis ditengah, kulit skrotum halus, tidak
ada pembekakan, posisi testis norma
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada batang penis dan skrotum
f. Pemeriksaan Ekstremitas
1. Ekstremitas Atas :
Inspeksi : Jari tangan lengkap, kuku bersih, bentuk simetris, tidak ada sianosis di lengan kanan
atas, tidak ada edema.
Palpasi : Denyut nadi 94 x/menit, kuku normal, kekuatan menggenggam normal
2. Ektremitas Bawah :
Inspeksi : bentuk simetris, warna kulit cokelat, kuku bersih, ada bulu, tidak ada lesi, tidak ada
edema, tidak ada sianosis, persendian normal.
Palpasi : Nadi 94 x/menit, tidak ada nyeri tekan
3. Tulang Belakang :
Inspeksi : Postul normal, vertebra normal, lengkungan normal
Palpasi : Otot bekerja baik
g. Pemeriksaan Kulit
Inspeksi : Kulit bersih, Kulit pucat, kulit kering, tidak ada lesi
Palpasi : Tekstur tidak normal pada bagian leher, ada turgor

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Labolatorium
o Hb : 11,9 g/dl
o Leukosit : 3000 sel/mm3
o Trombosit : 556000/mm3
o Ht : 35,4%
o Eritrosit : 4,55 x 106/mm3
o LED : 10
Pemeriksaan Diagnostik
kopi : Melihat Liang telinga, membran timpani
2. Nasofaringoskopi : Ada massa di hidung atau nasofaring
3. Rinoskopi anterior : Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung mungkin hanya
banyak sekret. Sedangkan pada tumor eksofilik tampak tumor di bagian belakang rongga hidung,
tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
4. Rinoskopi posterior : Pada tumor endofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak lebih
menonjol, tak rata, dan puskularisasi meningkat. Sedangkan pada tumor eksofilik tampak masa
kemerahan.
5. Biopsi multiple
6. Radiologi : Thorak PA, Foto tengkorak, CT Scan, Bone Scantigraphy (bila dicurigai metastase
tulang)
7. Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor kejaringan sekitar yang
menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf otak, manifestasi tergantung dari saraf yang
dikenai

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut b.d metastase sel kanker
2. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas b.d adanya bendaa asing (tumor ganas)
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan yang kurang
4. Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan status organ sekunder metastase tumor
5. Resiko infeksi b.d ketidakkuatan pertahanan sekunder imunosupresi
6. Harga diri Rendah b.d perubahan perkembangan penyakit

3.3 Contoh Intervensi Keperawatan


No Tgl/Jam Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional TTD
Hasil
1. Setelah dilakukan O: Observasi reaksi  Informasi
tindakan keperawatan nonverbal dari memberikan data
selama 2 x 24 jam klien ketidaknyamanan dasar untuk
diharapkan nyeri dapat O: Kaji dan monitor mengevaluasi
berkurang dan berapa skala nyeri kebutuhan/keefektifan
terkontrol. O: Lakukan dengan intervensi
KH : komunikasi terapeutik  Untuk menjaga
K : Klien mampu N: Pantau aktivitas kenyamanan pasien
menunjukkan tingkat klien, cegah hal-hal  Meningkatkan
nyeri dengan yang bisa memicu relaksasi dan
menunjukkan skala terjadinya nyeri pengalihan perhatian
nyeri (0-10) N: Bantu klien untuk  Mengurangi rasa
A : Klien mampu lebih berfokus pada ketidaknyamanan
mengutarakan aktivitas bukan pada karena nyeri
ketidaknyamanan nyeri  Membantu
dengan yang dikeluhkan N: Lakukan menurunkan ambang
P : Klien merasa penanganan nyeri presepsi nyeri
nyerinya sudah dengan relaksasi  Mengurangi rasa
berkurang E: Berikan sokongan nyeri
P : Setelah dilakukan (support) pada
tindakan keperawataan ektremitas yang luka.
klien dapat melakukan C: Kolaborasi
aktifitas dengan normal. pemberian obat-obatan
Skala nyeri : 6 analgesik
2. Setelah dilakukan O: Monitor  Untuk mengetahui
tindakan keperawatan TTV, Klien dianjurkan TTV dan
selama 2 x 24 jam klien untuk napas dalam memudahkan
diharapkan dapat sebelum dilakukan tindakan
mempertahankan jalan tindakan  Untuk mengetahui
nafas tetap terbuka dan O: Kaji kebutuhan oral sumbatan
bersihan jalan nafas O: Klien dianjurkan  Untuk meringankan
paten. untuk istirahat dan bebab klien
KH : napas dalam setelah  Memungkinkan
K : Klien dapat dilakukan tindakan untuk pengembangan
menunjukkan jalan N: Atur posisi klien maksimal rongga
nafas yang paten dengan bagian kepala dada
A : Klien mampu tempat tidur  Membedakan suara
0
mengidentifikasi dan ditinggikan 45 nafas
mencegah faktor yang N: Auskultasi suara  Supaya tidak terjadi
dapat menghambat jalan nafas sebelum dan infeksi
nafas sesudah suctioning  Untuk memudahkan
P : Klien mampu batuk N: Menggunakan alat pengeluaran sekret
efektif dan suara nafas yang steril  Untuk memudahkan
yang bersih, tidak ada N: Menginstruksikan pengeluaran sekret
sianosis, dan dyspneu klien tentang batuk  Jalan napas tetap
P : Nasofaring dapat dan teknik napas stabil
bekerja dengan baik, dalam  Kelembaban
respirasi dalam batas N: Penghisapan menurunkan
normal 16-20x/menit nasofaring untuk kekentalan sekret
TTV mengeluarkan sekret  Supaya pasien
Suhu : 36,00C N: Monitor respirasi mengerti
TD : 140/90 mmHg dan status O2  Untuk memudahkan
Nadi : 70 x/menit N: Berikan pengobatan
RR : 20 x/menit udara/oksigen yang
telah dihumidifikasi
E: Jelaskan pada klien
tentang suctioning
C: Kolaborasi
melakukan fisioterapi
dada, melakukan
suction, memberi
bronkodilstor bila
perlu
3. Setelah dilakukan O: Kaji dan hitung  Untuk mengetahui 
tindakan keperawatan kadar nutrisi pada tentang keadaan dan
selama 2 x 24 jam klien klien kebutuhan nutrisi
diharapkan O: Kaji kemampuan pasien sehingga dapat
mendapatkan nutrisi klien untuk diberikan tindakan
yang seimbang. mendapatkan nutrisi dan pengaturan nutrisi
KH : yang dibutuhkan  Untuk mencegah
K : Klien mengetahui O: Monitor kekurangan nutrisi
penyebab kekurangan pertumbuhan dan  Untuk memenuhi
nutrisi perkembangan nutrisi kebutuhan asupan
A : Klien dapat N: Berikan makanan kalori yang adekuat
menutarakan sedikit dan sering  Kebutuhan terhadap
ketidaknyamanan dengan bahan diet dapat mencegah
keadaan sekarang makanan yang tidak komplikasi
P : Klien mampu bersifat iritatif  Mengetahui
mengatur pola makan N: Anjurkan pasien perkembangan berat
dan kebutuhan nutrisi untuk mematuhi diet badan
P : Klien tidak mersakan yang telah  Untuk memudahkan
tubuh lemas, berat diprogramkan klien menelan
badan naik, dan nafsu N: Berikan substansi  Kebutuhan pasien
makan bertambah gula teratasi
N: Timbang klien  Untuk memenuhi
A= BB : menurun pada interval yang kebutan nutrisi
B= HB : turun tepat  Untuk memberikan
C= Klien biasanya N: Ubah posisi pasien nutrisi maksimal
tampak lemas dan pucat, semi fowler atau dengan upaya
kulit kering fowler tinggi minimal pasien /
D= Porsi makan E: Ajarkan klien penggunaan energi
berkurang biasanya 3 bagaimana membuat
kali menjadi 1 kali catatan makanan
harian
E: Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi
E: Jelaskan bagaimana
tanda-tanda
kekurangan nutrisi
C: Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan klien
4. Setelah dilakukan O: Kaji kemampuan  Untuk memudahkan 
tindakan keperawatan klien untuk intervensi kepada
selama 2 x 24 jam klien menghindari infeksi klien
diharapkan tidak terjadi O: Monitor TTV,  Merupakan tanda
infeksi. tanda dan gejala adanya infeksi apabila
KH : infeksi sistemik dan terjadi peradangan
K : Klien mengetahui lokal  Untuk melindungi
proses penularan O: Monitor kerentanan tubuh terhadap infeksi
penyakit dan faktor terhadap infeksi  Meminimalkan
penularan N: Intruksikan untuk penyebaran dan
A : Klien menunjukkan menjaga hygiene penularan agens
suhu norma dan tanda- personal infeksius
tanda vital normal N: Berikan perawatan  Untuk Mencegah
P : Klien mampu kulit pada area infeksi semakin
mencegah infeksi dan epidema bertambah
melakukan hidup sehat N: Inspeksi kulit dan  Supaya personal
P : Klien bernafas membran mukosa hygiene terjaga
normal, melakukan nafa terhadap kemerahan,  Untuk menjaga
dalam untuk mencegah panas, drainase penularan infeksi
disfungsi dan infeksi E: Batasi pengunjung  Antibiotik dapat
respiratori E: Pertahankan mencegah sekaligus
TTV lingkungan aseptik membunuh kuman
0
Suhu : 36,0 C E: Ajarkan klien dan penyakit untuk
TD : 140/90 mmHg keluarga tanda dan berkembangbiak
Nadi : 70 x/menit gejala infeksi serta
RR : 20 x/menit cara menghindari
infeksi
E: Ajakan pengunjung
untuk mencuci tangan
C: Memberi terapi
antibiotik bila perlu
Infection Protection
5. Setelah dilakukan O: Kaji  Untuk mengetahui 
tindakan keperawatan ketidakmampuan klien tingkat kemampuan
selama 2 x 24 dalam kemampuan dan ketidakmampuan
jamganguan komunikasi untuk berbicara, klien dalam
verbal dapat teratasi. mendengar, menulis berkomunikasi
KH : membaca, dan  Untuk membantu
K : Klien mengerti memahami pasien agar cepat/
penyebab tidak bisa N: Berdiri didepan mudah berkomunikasi
berkomuunikasi pasien saat berbicara  Alat bantu dengar
A : Klien dan bicara agak keras dapat membantu
mengungkapkan tidak N: Dorong klien untuk pendengaran sehingga
bisa mengontrol respon berkomunikasi secara dalam berkomunikasi
ketakutan dan perlahan dan klien dapat
kecemasan terhadap mengulangi melakukannya
ketidakmapuan permintaan  Untuk memelihara
mendengar E: Anjurkan kepada kepercayaan dan
P : Klien merasa nyeri pasien dan keluarga mengurangi frustasi
saat berkomunikasi tentang alat bantu  Untuk membantu
hilang mendengar pasien mudah
P : Klien E: Anjurkan keluarga berkomunikasi
mampu mengontrol untuk memberi
respon, memanajemen stimulus komunikasi
kemampuan fisik yang C: Konsultasikan
dimiliki, dengan dokter
mengkomunikasikan kebutuhan mendengar
kebutuhan dengan
lingkungan sosial
6. Setelah dilakukan O: Monitor frekuensi  Untuk mengetahui 
tindakan keperawatan komunikasi verbal seberapa lancar
selama 2 x 24 klien negative berkomunikasi
jamgangguan harga diri O: Kaji alasan untuk  Supaya klien tidak
pasien teratasi. mengkritik atau lagi menyalahkan diri
KH : menyalahkan diri sendiri
K : Klien mampu sendiri  Untuk menguatkan
mengenali kekuatan diri N: Dorong klien diri klien
A : Klien mengidentifikasi  Untuk meningkatkan
mengungkapkan kekuatan dirinya rasa tanggung jawab
perubahan gaya hidup N: Dukung dan bisa menerima
tentang perasaan tidak peningkatan tanggung keadaan
berdaya, dan keinginan jawab diri  Untuk meningkatkan
untuk mendapatkan N: Dukung Klien rasa percaya diri
konseling untuk menerima  Untuk Menambah
P : Klien mampu tantangan baru rasa percaya diri pada
menerima diri, E: Ajarkan klien dan lebih mudah
menerima kritik dari Keterampilan perilaku untuk
orang lain dan yang positif mengaplikasikannya
komunikasi terbuka E: Tunjukkan rasa
P : Klien dapat percaya diri terhadap
beradaptasi terhadap kemampuan klien
penyakit, percaya diri, C: Kolaborasi dengan
optimis tentang masa sumber-sumber lain
depan, dan merubah (petugas dinas social,
hidup perawat spesialis
klinis, dan layanan
keagamaa)

3.5 Contoh Implementasi Keperawatan


Tgl/jam No. Dx Implementasi Respon Pasien TTD
Senin, Mengkaji keluhan utama DS : Klien
1/06/2015 Mengkaji tingakat nyeri mengatakan nyeri
07.15 Dan monitor TTV pada bagian leher
P : Nyeri karena
07.20 Memberikan cairan infuse gangguan pada
nasofaring
07.25 Memberian obat-obatan Q : Nyeri seperti
analgesik ditekan-tekan, terlihat
membesar pada
07.30 Lakukan penanganan nyeri bagian leher
dengan relaksasi dan R : Nyeri pada hidung,
1
memberi sokongan telinga, mulut dan
(support) pada ektremitas menyebar
07.45 yang luka S : Skala nyeri 5
T : Mulai 3 bulan
yang lalu, nyeri hilang
timbul dan lebih
sering saat bernafas
dan menelan
DO : Klien terlihat
menahan sakit, prilaku
hati-hati, dan merintih
08.00 Memposisikan pasien semi DS : Klien
fowler mengatakan
2 kesulitanbernafas pada
08.15 Auskultasi suara nafas hidung
DO : Klien terlihat
08.30 Pemberian oksigen Irama ireguler, sesak
nanaf, Sianosis,
08.45 2 Menginstruksikan klien Adanya sputum, suara
untuk batuk dan teknik serak
napas dalam
09.15 Melakukan pendekatan DS : Klien
4, 5, 6 therapeutik pada klien dan mengatakan telah
berkomunikasi dengan dekat mengerti tentang
penyakit yang di
Memberikan penjelasan derita
09.30 2 sebab-sebab dan akibat DO : Paham dan
terjadinya nyeri mengerti
10.00 Melakukan penimbangan DS : Klien
3 berat badan mengatakan pada
leher terasa gatal
DO :
10.30 4, 5 Mengajarkan klien menjaga BB : menurun
personal hygiene Kebersihan terjaga
11.00 2, 3 Ubah posisi pasien semi DS : Klien
fowler atau fowler tinggi mengatakan
11.10 Menganjurkan pasien kekurangan asupan
mencuci tangan gizi dan nyaman pada
11.15 Pemberian makanan yang posisi semi fowler
lunak
11.30 Pemberian makanan sedikit DO : Sedikit kuat
3, 4, 5 dan sering karena kebutuhan gizi
11.45 Menganjurkan klien untuk terpenuhi sesuai
memperbanyak kebutuhan
mengkonsumsi buah dan BB : sedikit
sayuran. meningkat
12.00 Monitor respirasi dan status DS : Klien merasa
O2 masalah sebagian
12.15 Monitoring TTV teratasi
12.30 Pantau aktivitas klien,cegah
hal-hal yang bisa memicu DO :
1, 2 terjadinya nyeri Suhu : 36,50C
12.45 Bantu klien untuk lebih TD : 110/90 mmHg
berfokus pada aktivitas Nadi : 60 x/menit
bukan pada nyeri RR : 18 x/menit

13.00 Berikan perawatan kulit DS : Klien


Membersihkan, memantau, mengatakan kulit
dan meningkatkan proses terasa gatal, masih
penyembuhan luka nyeri
4, 5, 6
Pantau kegiatan pasien yang
13.30 menyebabkan nyeri DO : Kulit tidak
merasa gatal, nyeri
berkurang
14.00 Melakukan kolaborasi DS :
1, 2, 3,
dengan dokter DO : Klien mulai
4, 5, 6
pemberianobat berkurang keluhan

3.6 Evaluasi
Hari/Tgl/Jam No. Dx Evaluasi TTD
S : pasien mengatakan nyeri pada leher
P : Nyeri karena gangguan pada nasofaring
Q : Nyeri seperti ditekan-tekan, terlihat membesar
pada bagian leher
R : Nyeri pada hidung, telinga, mulut dan
Senin,
menyebar
1/06/2015 1.
S : Skala nyeri 5
T : Mulai 3 bulan yang lalu, nyeri hilang timbul
dan lebih sering saat bernafas dan menelan
O : terlihat menahan nyeri
A : Masalah belum teratasi
P : intervensi di lanjutkan (1, 2, 3, 4, 5, 6)
S: Klien mengatakan masih merasakan gangguan
pernafaan
O: Klien terlihat tidak merasa nyaman, RR:
2.
20x/menit, S: 37,50C
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
S : pasien mengatakan kondisinya sedikit kuat
O : pasien kuat berdiri
3.
A : masalah sebagian teratasi
P : intervensi dilanjutkan
S : Klien mengatakan masih sedikit gatal
O : Klien merasa kurang nyaman
4.
A : Masalah sebagian teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
S : klien mengatakan susah bergaul/berkomunikasi
dengan orang lain
O : Klien tidak dapat melakukan komunikasi
5.
verbal dengan baik
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
S : Klien mengatakan leher masih besar
O : Klien masih menahan diri
6..
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada ephitalial pelapis
ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang langit-langit rongga mulut dengan
predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Kanker ini lebih sering ditemukan pada pria
dibanding wanita dengan rasio 2-3-1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti,
mungkin ada hubugannya dengan faktor genetic, kebebasan hidup, pekerjaan dan lain-lain.
Karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan tuli konduktif sebagai
keluhan. Perluasan infiltratif karsinoma nasofaring berikutnya membangkitkan perdarahan dan
penyumbatan jalan lintasan napas melalui hidung. Setelah itu, pada tahap berikutnya dapat timbul
gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar (paralisis okular). Untuk mencapai diagnosis
harus melaksanakan Pemerksaan fisik maupun Pemeriksaan Diagnostik diantaranya CT Scan,
MRI, dll. Pada Karsinoma nasofaring biasanya dilakukan pengobatan Radioterapi maupun
Kemoterapi.

4.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami tentang Karsinoma
Nasofaring yang sangat berbahaya. Lalu dapat mendeteksi awal terhadap gejala karsinoma
nasofaring karena seringkali penderita karsinoma nasofaring terdeteksi pada stadium lanjut. Dan
bagi pembaca yang berprofesi sebagai perawat atau tenaga medis lainnya agar lebih memahami
tentang Karsinoma Nasofaring sehingga dapat lebih memahami kebutuhan klien, memberi
motivasi, memberi pengetahuan, dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anas, T. (2008). Klien Gangguan Pernapasan : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Ernawati, Kadrianti, E., & Basri, H. M. (2004). Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 4 Nomor 2. Faktor-
Faktor yang Berhubungan dengan Karsinoma Nasofaring (KNF), 224.
Gibson, J. (2002). Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Jakarta: EGC.
Gunardi, d. S., & Saputra, d. L. (2012). Quick Review Anatomi Klinik, Edisi Kedua. Tanggerang Selatan: Binapura
Aksara Publisher.
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Huda Nurarif, A., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-
Noc, Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Lucente, F. F. (2011). Ilmu THT Esensial. Jakarta: EGC.
Mangan, Y. (2009). Solusi Sehat Mencegah dan Mengatasi Kanker. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta: Salemba
Medika.
Pratiwi, N. (2012, September 28). Makalah Ca Nasofaring. Dipetik Mei 16, 2015, dari Makalah Ca Nasofaring Web
site: http://www.scrib.com
Wei, W. I., & Sham, J. S. (2005). Nasopharyngeal carsinoma. carsinoma Nasofaring, 2-3.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Zulkarnain Haq, N. (2011, Oktober 12). Askep Kanker Nasofaring. Dipetik Mei 16, 2015, dari Askep Kanker
Nasofaring Web Site: http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id

Anda mungkin juga menyukai