BAB 1
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan
karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%),
laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.
Berdasarkan data laboratorium patologi anatomi, tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada
dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas manusia bersama tumor ganas serviks, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.
Insidensi KNF tertinggi di Cina Selatan, Asia Tenggara, Jepang, Afrika Utara dan Timur
Tengah. Rata-rata angka insidensi dari KNF di Cina Selatan sekitar 15 sampai 50 dari 100.000
populasi. Di Amerika Serikat, insidensi KNF rata-rata ditemukan 1-2 kasus dari 100.000
populasi berjenis kelamin laki-laki dan 0,4 kasus per 100.000 penduduk berjenis kelamin
perempuan. Selain itu keganasan merupakan kejadian paling banyak ditemukan di berbagai
negara dan berbagai suku, terutama di Asia. Rata-rata insidensi di Suku Cantonese di Cina Utara
sekitar 25-50 kasus per 100.000 populasi, terhitung sebesar 18% dari seluruh kasus keganasan,
dan keganasan ini merupakan penyebab utama kematian pada suku Cantonese. Di Indonesia rata-
rata insidensi kejadian KNF sebanyak 6,2 per 100.000 populasi atau sebanyak 12.000 kasus baru
setiap tahunnya.
Gejala dan tanda KNF yang sering berupa benjolan di leher (78%), obstruksi hidung
(35,5%), epistaksis (27,5%), dan diplopia. Termasuk adenopati leher, epistaksis, otitis media
efusi, gangguan pendengaran unilateral atau bilateral, hidung tersumbat, paralisis nervus cranial,
retrosphenoidal syndrome of Jacod (kesulitan ekspresi wajah, masalah gerakan mata dan
rahang), retroparoiditian syndrome of Villaret (sulit mengunyah, gangguan gerakan lidah dan
leher), nyeri telinga menjalar. Seperempat pasien karsinoma nasofaring mengalami gangguan
nervus cranial, 28,8% mengenai N.V (Nervus Trigeminus), 26,9% mengenai N.VI (Nervus
Abducens) dan 25% mengenai N.X ( Nervus Vagus).
Diagnosis dini sangat diperlukan untuk menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit
dilakukan karena nasofaring tersembunyi di belakang langit-langit dan terletak di bawah dasar
2
tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting dalam tengkorak dan ke lateral
maupun posterior leher. Seringkali tumor terlambat ditemukan dan menyebabkan metastasis ke
leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama, sehingga diperlukan pencegahan dan
deteksi ini dengan mengetahui epidemiologi, etiologi, diagnostic, pemeriksaan serologi,
histopatologi, serta terapi dan pencegahan dan perawatan paliatif pada pasien yang
perawatannya tidak baik.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Karsinoma nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa yang berasal dari epitel mukosa pada
nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara
tumor ganas THT di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%),
dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. Tumor ini berasal
dari fossa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel
kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.
2.2 Anatomi
Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga
hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan dengan orofaring.
Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan rongga hidung melalui koana, bagian superior
berbatasan dengan dasar tengkorak, bagian posterior berbatasan dengan fasia prevertebralis dari
atlas dan axis, sedangkan bagian inferior berbatasan dengan palatum mole dan orofaring setinggi
isthmus faring. Pada kedua dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius dengan
tonjolan tulang rawan di bagian superoposterior yang disebut torus tubarius. Di bagian posterior
torus tubarius ini terdapat lekukan kecil yang agak datar disebut resesus faringeal lateralis atau
fossa Rosenmuller, merupakan tempat tersering awal mula kanker nasofaring. Tepi atas dari
torus tubarius adalah tempat melekatnya muskulus levator veli palatini. Perluasan tumor pada
KNF akan mengganggu fungsi dari muskulus ini untuk membuka ostium tuba.
4
Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal
inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius
terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu lekukan
dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada
5
daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba
eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah.
2.3 Epidemiologi
Meskipun banyak ditemukan di Negara dengan penduduk non-Mongoloid, namun demikian
daerah Cina bagian Selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2,500 kasus baru
6
2.4 Etiologi
a. Genetik
Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familiel dari pasien
karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh terkenal di
Cina Selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien
karsinoma nasofaring dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10%
7
dari pasien karsioma nasofaring menderita keganasan organ lain. Pengaruh genetik terhadap
karsinoma nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell-mediated immunity
dari EB dan tumor assoiated antigen pada karsinoma nasofaring.
b. Epstein-Barr virus
Sudah hampir dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah Virus Epstein-
Barr, karena pada semua pasien karsinoma nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang
cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas kepala dan leher
lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun.
Epstein-Barr virus penyebab utama dari karsinoma nasofaring khususnya tipe 3 yang
tidak berdiferensiasi. Secara nyata seluruh kasus karsinoma nasofaring menunjukan genetic
yang positif terhadap virus ini, dengan gen virus yang multiple yang ditemukan pada tiap sel
tumor
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh iritasi oleh bahan kimia, asap jenis kayu tertentu
dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel
dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya
hubungan dengan karsinoma lain tidak jelas.
d. Faktor makanan
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazir dan
Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Tanah Hijau yang diduga penyebabnya adalah karena
makanan yang di awetkan (daging dan ikan) dengan menggunakan nitrosamine.
Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring termasuk Fossa
Rosenmuller. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral
lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau palatum, rongga hidung atau
orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh dapat
mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul tergantung
8
pada daerah yang terkena. Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar
10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala
yang paling sering dijumpai. Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip
dengan infeksi saluran nafas atas.
Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga. Ini terjadi karena
tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring. Tumor tumbuh mula-mula di Fossa Rosenmuller
di dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap nasofaring,
menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor biasanya rapuh sehingga pada
iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul keluhan pilek berulang dengan mukus yang
bercampur darah. Kadang-kadang dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat menyumbat
muara tuba eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa berdenging
kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya unilateral, dan
merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila timbul berulang-
ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai karsinoma nasofaring.
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga pada umumnya
telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer telah meluas ke organ sekitar
nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening servikal. Pada stadium
ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada saraf otak karena pertumbuhan ke rongga
tengkorak dan pembesaran kelenjar leher. Tumor yang meluas ke rongga tengkorak melalui
foramen laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu syaraf otak III, IV dan VI.
Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis abdusen) dengan keluhan berupa
diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit. Penekanan pada syaraf otak V memberi
keluhan berupa hipestesi (rasa tebal) pada pipi dan wajah. Gejala klinik lanjut berupa
ophtalmoplegi bila ketiga saraf penggerak mata terkena. Nyeri kepala hebat timbul karena
peningkatan tekanan intrakranial. Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening
mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar getah bening bagian samping (limfadenopati
servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan infiltrasi menembus kelenjar dan
mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan.
Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien.
9
Gejala karsinoma nasofaring terdiri dari empat kelompok, yaitu gejala nasofaring , gejala
telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher.
1. Gejala nasofaring
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung
2. Gejala telinga
Gejala pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat
muara Tuba Eustachius (Fossa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinnitus, rasa tidak
nyaman ditelinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan
gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya adala karsinoma
nasofaring.
3. Gejala mata dan saraf
Penjalaran dari foramen laserum akan mengenai nervus cranialis III, IV, VI, dan V
sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang membawa pasien ke dokter. Proses
karsinoma yang lanjut akan mengenai Nervus Cranialis ke IX, X, XI, XII jika
penjalarannya melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari
nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai
seluruh Nervus Cranialis disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi
tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian.
4. Metastasis ke kelenjar leher
Lebih dari 50% pasien KNF datang dengaan keluhan benjolan di leher. Pembesaran
kelenjar getah bening ini biasanya pada bagian atas leher sesuai dengan lokasi tumor
(ipsilateral), namun tidak jarang bilateral.
Letak KGB leher menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center Classification dibagi
dalam lima daerah penyebaran kelompok kelenjar, yaitu:
I. Kelenjar yang terletak di segitiga sub-mental dan sub-mandibula
II. Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limffa jugular superior,
kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior superior
III. Kelenjar limfa jugularis di antara bifukarsio karotis dan persilangan m. Omohioid
dengan m. sternokleidomastoid.
IV. Grup kelenjar didaerah jugularis inferior dan supraklavikula.
V. Kelenjar yang berada pada segitiga posterior servikal.
10
1. Anamnesis
Gejala yang muncul bergantung pada sudah stadium mana perjalanan penyakit KNF
paisen. Gejala dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus, otalgia, hidung tersumbat,
lendir bercampur darah (blood-stained rhinorrhea). Pada stadium lanjut dapat ditemukan
benjolan pada leher, terjadi gangguan saraf, diplopa, dan neuralgia trigeminal (saraf III,
IV, V, VI).
2. Pemeriksaan Fisik
- Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.
- Pemeriksaan nasofaring:
o Rinoskopi posterior
o Nasofaringoskop ( fiber / rigid )
o Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging) digunakan untuk
skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker nasofaring, panduan lokasi biopsi,
dan follow up terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif.
11
3. Pemeriksaan Radiologik
a. CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi sinus frontalis
sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan
kontras. Teknik pemberian kontras dengan injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit.
CT berguna untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitarnya serta
penyebaran kelenjar getah bening regional.
b. USG Abdomen
Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat keraguan
pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT Scan Abdomen dengan
kontras.
c. Foto Toraks
Untuk melihat adanya nodul di paru atau metastasis ke paru, atau apabila
dicurigai adanya kelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan Toraks dengan kontras.
d. Bone Scan/Bone Survey
Untuk melihat metastasis tulang.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut diatas untuk menentukan TNM dan grading
penyakit.
5. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Fine Needle Aspiration; FNA) Kelenjar Leher
FNA dilakukan apabila terdapat pembesaran kelenjar leher yang diduga keras
sebagai metastasis tumor ganas nasofaring yaitu, internal jugular chain superior,
posterior cervical triangle node, dan supraclavicular node.Hal yang perlu
diperhatikan adalah kelenjar getah bening leher jangan di biopsi terlebih dulu
sebelum ditemukan tumor induknya.
13
Metastasis Jauh
Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Tabel 2.3 Metastasis Jauh (M)
Stadium T N M
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2a N0, N1 M0
15
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium Iva T4 N0, N1, N2 M0
Stadium IVb Semua T N3 M0
Stadium IVc Semua T Semua N M1
Tabel 2.4 Stadium
2.9 Tatalaksana
Stadium I : Radioterapi
Stadium II dan III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6cm: kemoradiasi
Stadium IV dengan N> 6cm :kemoradiasi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
- Radioterapi
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan computer. Penggunaan radioterapi
mulai diberikan pada pasien dengan karsinoma nasofaring mulai pada tahun 1920
dimana pengobatan dengan radium dipergunakan untuk pertama kalinya di Institute
curie di paris. Brachyterapi ini berlanjut hingga sekarang di beberapa tempat
17
pengobatan sebagai terapi primer pada tumor T1 dan T2 yang berukuran lebih kecil
dari 10 mm, meskipun radium telah digantikan menjadi Iridium 192.
Hingga tahun 1990, radioterapi pada karsinoma nasofaring diberikan dengan
teknik 2 dimensi dengan dosis radiasi (total 60-70 Gy; 2-2,5 Gy per fraksi selama 6-7
minggu pengobatan) pada struktur anatomis yang berisiko terkena invasi tumor pada
daerah yang berdekatan dengan nasofaring pada kedua sisi. Dengan kemajuan
teknologi, radioterapi modern pada karsinoma nasofaring telah menggunakan 3-
dimensi conformal (3DCRT) atau intensity modulated (IMRT). Pada beberapa
penelitian, dilaporkan teknik ini memiliki efek yang lebih superior jika dibandingkan
dengan meode standar dengan 2 dimensi.
- Kemoterapi
Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan
kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kanker ini dapat digunakan
sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena
dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang
resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis obat
sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun. Kemoterapi pertamakali
digunakan untuk pengobatan karsinoma nasofaring pada tahun 1970 sebagai komponen
terapi kuratif primer.
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel disebut
cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua
fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle
19
specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang
bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang
tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-
linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2),
Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M).
Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya bekerja
dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi
asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang berguna pada tumor
kepala leher dibagi sebagai berikut :
1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai contoh
MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis timidin.
2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti CTX
( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan replikasi sel.
Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip
diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat produksi
mRNA.
3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine, menahan
pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis.
- Terapi Pembedahan
Pembedahan memiliki peran terbatas terhadap terapi karsinoma nasofaring karena
sifat radiosensitivitas tumor dan barier anatomis untuk akses pembedahan. Tindakan
operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi, Diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak
menghilang dengan penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai,
tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologik dan serologi, serta tidak ditemukan adanya metastasis jauh.
Nasofaringektomi cukup efektif dalam mengatasi masalah tumor yang persisten atau
tumor rekurren di nasofaring yang telah melebar ke spasium paranasofaringeal.
Nasofaring dapat didekati dari aspek inferior menggunakan pendekatan transpalatal,
20
transmaxillary, dan transervikal. Pendekatan ini berguna untuk tumor yang terletak di
dinding pusat dan posterior nasofaring . Untuk tumor yang lebih luas, terutama yang
terletak di dinding lateral. pembedahan ruang paranasopharyngeal sulit dari aspek
inferior dan arteri karotis interna harus dilindungi. Pendekatan anterolateral ke nasofaring
atau prosedur ayunan rahang atas juga telah digunakan untuk penyelamatan
nasopharyngectomy. Secara umum, selama tumor persisten ataupun rekuren dapat
diangkat, control tumor setelah 5 tahun biasanya cukup baik, dapat mendekati hingga
65%, dan setelah 5 tahun, disease-free survival rate dapat mencapai 54%.
- Terapi paliatif
Pada fase ini, tidak ada perawatan khusus apabila ada metastasis kanker pada
leher dan kepala. Tujuannya terapi paliatif adalah mengendalikan gejala dan membuat
nyaman pasien atau dengan kata lain, memperbaiki kualitas hidup pasien.
2.10 Prognosis
Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil
pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil
pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula.
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Pasien dengan stadium awal
(stadium I dan II) memiliki hasil pengobatan yang memuaskan dan 5-year survival rate hingga
94%, sedangkan pada stadium lanjut (III dan IV) memiliki 5-year survival rate <80%.
BAB 3
LAPORAN KASUS
Pemeriksaan wajah:
- Wajah simetris dalam keadaan istirahat
- Sudut bibir mencong ke kanan
- Lidah saat dijulurkan mencong ke kanan
Pemeriksaan mata:
- Gerak kedua bola mata baik ke segala arah
- Parese nervus iii/ptosis
Pemeriksaan leher
Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher regio II dextra
Ukuran: ± 4 x 2 cm
Batas: tegas
Mobilisasi: immobile terhadap jaringan di bawah dan sekitarnya
Permukaan: licin, rata
Nyeri tekan: -
Keterbatasan gerak leher: -
Pemeriksaaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
- Dalam batas normal
b. Ct-Scan Kepala
26
Hasil:
- Massa nasofaring ukuran 4,6 x 4,3 x 1,6 cm, dengan destruksi ciilivus aspek dextra dan
perluasan ke intrakranial
- Limfadenopati colli bilateral
- Sinusitis sphenoidalis minimal
- Infark lacunar lama di korona radiata sinistra
- Sisterna ventrikel tidak dilatasi/kompresi
- Mid line tak terdeviasi, cerebello pontine angle normal
- Bulbus oculli, retroorbita dan air cellulae mastoid normal
3.5 Diagnosis
Tumor Nasofaring Stadium IV (T4/N2//M1)
3.6 Penatalaksanaan
- Pro Biopsi
- Pengobatan: -
27
-
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Resume
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan suara mengecil sejak 2 minggu, Paien juga
mengalami penurunan pendengaran di telinga kanan dan berdengung serta merasa pusing dan
kadang- kadang mual muntah. Pasien mengeluh keluar cairan dari hidung, terasa buntu dan
bersin serta keluar darah dari hidung/mimisan 1 bulan lalu dan terasa nyeri pada hidung kanan
disertai suara sengau. sukar menelan makanan, trismus, ptyalismus, rasa berlendir dan kadang
terasa kering di tenggorok, suara parau dan jatuhnya kelopak mata/ptosis.
4.2 Pembahasan
Kasus Teori
Riwayat pilek terus menerus dan mimisan Gejala nasofaring pada karsinoma nasofaring
adalah epistaksis ringan atau sumbatan hidung,
gangguan penciuman, keluar cairan/ingus terus
menerus
Pasien merasa telinga berdengung/tinitus dan Gejala Telinga : sumbatan tuba Eustahius
terasa penuh (telinga terasa penuh, telinga berdenging,
gangguan pendengaran, radang telinga sampai
perforasi membrane timpani)
Pasien mengeluh suara sengau saat hidung Massa pada bagian belakang hidung
tersumbat menyumbat jalan napas atas
kelopak mata jatuh (ptosis) Metastasis kanker melalui Foramen Laserum
akan mengenai nervus cranialis III, IV dan VI,
dan dapat pula N.V, sehingga dapat terjadi
gejala diplopia, ptosis, neuralgia trigeminal, dan
gangguan otot-otot penggerak bola mata.
Pembesaran KGB leher di regio II Metastasis kanker ke kelenjar leher akan
menyebabkan pembesaran kelenjar getah
28
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan suara mengecil sejak 2 minggu, Paien juga
mengalami penurunan pendengaran di telinga kanan dan berdengung serta merasa pusing dan
kadang- kadang mual muntah. Pasien mengeluh keluar cairan dari hidung, terasa buntu dan
bersin serta keluar darah dari hidung/mimisan 1 bulan lalu dan terasa nyeri pada hidung
kanan disertai suara sengau. sukar menelan makanan, trismus, ptyalismus, rasa berlendir dan
kadang terasa kering di tenggorok, suara parau serta jatuhnya kelopak mata/ptosis.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan Ct-scan kepala pasien didiagnosa tumor
nasofaring dengan pro biopsi untuk menentukan stadium tumor.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015.
158-163 p.
2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC;
1997.
3. Komite Penanggulangan Kanker Indonesia. Panduan Penatalaksanaan Kanker Nasofaring.
4. Zhou-Xue W, Xiang L, Rong J-F, He H-L, Li D. Nasopharyngeal carcinoma with
headaches as the main symptom : A potential diagnostic pitfall. J Cancer Res Ther.
2016;12(1):209–14.
5. Munusamy T, Kandasamy L, Munaidy S. Karsinoma Nasofaring. Medan: Ilmu Penyakit
THT RSU.Dr.Pirngadi; 2012.
6. American Cancer Society. Nasopharyngeal Carcinoma. 2017; Available from:
https://wwww.cancer.org/cancer/nasopharyngeal-cancer/about/key-statistics.html.
7. Rahman S. Update Diagnosis dan Tatalaksana Kasus di Bidang THT-KL dalam Rangka
Meningkatkan Mutu Pelayanan Primer. In 2015. p. 105–9.
8. Base M, Taufik M, Ikram, Miza B, Ramadhana D. Karsinoma Nasofaring. Banda Aceh:
RSUD dr. Zainoel Abidin; 2016.
9. Z MD, Akbar N, Permana AD. Prevalensi Penderita Karsinoma Nasopharing di
Departemen THT-KL FK Unpad/ RSUD dr. Hasan Sadikin Bandung Periode 2010-2014.
2014;1–14.
10. Wijaya FO, Soeseno B. Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma Nasofaring.
2017;44(7):478–81.