Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai

di antara tumor ganas THT di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher

merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan

sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,

hipofaring dalam persentase rendah. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada

nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah

menjadi epitel skuamosa.1

Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara

pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per

100.000 penduduk atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun di seluruh

Indonesia. Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja, ditemukan lebih dari 100 kasus

setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus,

Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan

Bukittinggi.1,2

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai sat ini masih merupakan suatu

masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas

serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat dan

menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.1

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan rongga di belakang hidung dengan dinding kaku di

bagian atas, belakang, lateral yang merupakan bagian dari faring. Nasofaring ini

berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya berasal

dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum mole. Batas nasofaring 3 :

Superior : Basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fasia

Inferior : Orofaring, bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke

posterior bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum.

Anterior : Koana, dibagi atas koana kanan dan kiri oleh septum nasi.

Posterior : Vertebra servikalis I dan II

Spasium retrofaring dan spasium prevertebralis

Lateral : Muara tuba eustachii dan fossa rosenmuller

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring

2
Faring menerima aliran darah dari sistem arteri karotis eksterna terutama

arteri faringeal ascendens. Vena terletak dibawah muskulus konstriktor mayor, akan

mengalir ke vena jugularis interna. Vaskularisasi nasofaring berasal dari percabangan

level I atau II arteri karotis eksterna, masing-masing adalah:

a. Arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri karotis eksterna


b. Arteri palatina asenden
c. Arteri faringea, salah satu cabang terminal dari arteri maksilaris interna
d. Arteri pterigoideus, juga salah satu cabang akhir arteri maksilaris interna

Gambar 2.2 Vaskularisasi daerah nasofaring

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot

konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf

glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion

servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf

3
glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang

mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang

berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1).3,4

Gambar 2.3 Persarafan daerah nasofaring

Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok

pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada ruang

retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia

prevertebra. Pada dinding lateral terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan

pembuluh limfe. Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di

kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi

rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah otot

sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid.

Struktur penting yang terletak pada daerah nasofaring adalah sebagai berikut4:

4
a. Koana: pintu masuk dari hidung ke nasofaring. Terdapat satu pada setiap sisi

hidung, dibagi dua oleh septum nasal, dan jika salah satu tertutup oleh tumor,

maka akan terjadi keluhan hidung tersumbat melalui sisi hidung tersebut.
b. Tuba Eustachius: sering juga disebut tuba auditori, terletak pada sisi lateral

nasofaring. Tuba eustachius ini membantu mengatur tekanan dalam telinga dan

sebagai drainase pengeluaran mukus pada telinga tengah. Jika karsinoma

nasofaring menutupi Tuba Eustachius ini maka mukus akan menumpuk pada teliga

tengah, yang nantinya akan menyebabkan gangguan pendengaran dan infeksi

telinga.
c. Fossa Russenmuller: terletak sedikit lebih ke dalam dari tuba eustachius. Fossa

Russenmuller ini penting karena daerah ini merupakan tempat paling sering

karsinoma nasofaring berasal. Fossa russenmuller mempunyai hubungan anatomi

dengan sekitarnya, sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis karsinoma

nasofaring. Tepat di atas apeks dari fossa russenmuller terdapat foramen laserum,

yang berisi arteri karotis interna dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago.

Lempeng ini mencegah penyebaran karsinoma nasofaring ke sinus kavernosus

melalui karotis yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa russenmuller, terdapat

nervus mandibula (V3) yang berjalan di dasar tengkorak melalui foramen ovale.

Kira-kira 1.5 cm posterior dari fossa russenmuller terdapat foramen jugulare, yang

dilewati oleh saraf kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling

medial.
d. Basis kranii: nasofaring terletak tepat di bawah basis kranii, sedangkan sisi lain

dari basis kranii ini adalah otak. Karsinoma nasofaring pada tahap lanjut dapat

merusak tulang pada basis kranii dan memasuki ruang kranial.

5
e. Nervus kranial: nervus kranial bermula pada otak dan keluar melalui basis kranii.

Karsinoma nasofaring ini dapat merusak beberapa nervus ini, baik dengan meluas

ke otak atau merusak mereka saat nervus tersebut keluar dari basis kranii.
f. Ruang retrofaringeal: ruang di belakang faring dan di depan spinal. Karsinoma

nasofaring dapat menyebar melalui nodus limfatikus pada ruang ini.

Gambar 2.4 Anatomi Nasofaring

2.2 Definisi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial

yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.

6
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis

ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di

Cina bagian selatan.2

2.3 Epidemiologi

Karsinoma nasofaring merupakan kejadian yang jarang dengan insidens 0,5-2

per 100.000 penduduk di Eropa dan Amerika Serikat. Di Cina Selatan, kanker

nasofaring merupakan kasus endemik dengan insidens hingga 25 kasus per 100.000

penduduk. Kejadian cukup sering dapat ditemukan di Asia Tenggara. Pada daerah

yang endemis karsinoma nasofaring, >95% diklasifikasikan dengan klasifikasi WHO

undifferentiated tipe III. Di Amerika Utara 25% diklasifikasikan sebagai karsinoma

sel skuamosa tipe I terkeratinisasi dan 12% sebagai differentiated karsinoma sel

skuamosa berdasarkan tipe WHO. 5

Di Indonesia karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala

leher terbanyak yang ditemukan. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher

merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus

paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut , tonsil, hipofaring

dalam presentase rendah.6

Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di tiap daerah, Di RSUPN

DR. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja, ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS

Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25

kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi.

Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan

7
lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia.6

2.4 Etiologi

Etiologi karsinoma nasofaring bersifat multifaktorial. Faktor infeksi virus

Epstein Barr sangat dominan untuk terjadinya karsinoma nasofaring tetapi faktor non

viral seperti konsumsi ikan asin, kebiasaan merokok, pengawet makanan, asap kayu

bakar, obat nyamuk bakar, infeksi saluran pernafasan atas berulang dan genetik

dilaporkan berhubungan dengan kejadian karsinoma nasofaring. Pada semua pasien

karsinoma nasofaring didapatkan Titer antivirus Epstein barr (EB) yang cukup tinggi.

Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas kepala leher lainnnya,

tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring sekalipun.6,7

Beberapa etiologi dan faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain :8

1. Virus Epstein barr (EBV)

Sebagian besar infeksi EBV tidak menimbulkan gejala. EBV menginfeksi dan

menetap secara laten pada 90% populasi dunia. Di Hongkong, 80% anak terinfeksi

pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami serokonversi pada umur 10 tahun.

Infeksi EBV primer biasanya subklinis. Transmisi utama melalui saliva, biasanya

pada negara berkembang yang kehidupannya padat dan kurang bersih. Limfosit B

adalah target utama EBV, jalur masuk EBV ke sel epitel masih belum jelas, replikasi

EBV dapat terjadi di sel epitel orofaring. Virus Epstein-barr dapat memasuki sel-sel

epitel orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa

(life-long). Antibodi Anti-EBV ditemukan lebih tinggi pada pasien karsinoma

nasofaring, pada pasien karsinoma nasofaring terjadi peningkatan antibody IgG dan

8
IgA, hal ini dijadikan pedoman tes skrining karsinoma nasofaring pada populasi

dengan risiko tinggi. 7,8

2. Ikan asin

Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan risiko

karsinoma nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin meningkatkan

risiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding yang tidak mengkonsumsi. Diet

konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali sebulan meningkatkan risiko karsinoma

nasofaring. Potensi karsinogenik ikan asin didukung dengan penelitian pada tikus,

disebabkan proses pengawetan dengan garam tidak efisien sehingga terjadi akumulasi

nitrosamin yang dikenal karsinogen pada hewan. Enam puluh dua persen pasien

karsinoma nasofaring mengkonsumsi secara rutin makanan fermentasi yang

diawetkan. Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari daging, ikan dan sayuran

yang berpengawet selama masa kecil meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.

Delapan puluh delapan persen penderita karsinoma nasofaring mempunyai riwayat

konsumsi daging asap secara rutin.8

3. Tembakau

Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa merokok menyebabkan kanker.

Merokok menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per tahunnya dan

diperkirakan menjadi 10 juta per tahunnya pada tahun 2030. Rokok mempunyai lebih

dari 4.000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin yang meningkatkan risiko

terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penelitian menunjukkan merokok

meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali. Sekitar 60%

9
karsinoma nasofaring tipe I berhubungan dengan merokok sedangkan risiko

karsinoma nasofaring tipe II atau III tidak berhubungan dengan merokok. Perokok

lebih dari 30 bungkus per tahun mempunyai risiko besar terkena karsinoma

nasofaring. Kebanyakan penderita karsinoma nasofaring merokok selama minimal 15

tahun (51%) dan mengkonsumsi tembakau dalam bentuk lain (47%). Merokok lebih

dari 25 tahun meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Merokok lebih dari 40

tahun meningkatkan 2 kali lipat risiko karsinoma nasofaring.8

4. Asap lain

Beberapa peneliti menyatakan bahwa insiden karsinoma nasofaring yang

tinggi di Cina Selatan dan Afrika Utara disebabkan karena asap dari pembakaran

kayu bakar. Sembilan puluh tiga persen penderita karsinoma nasofaring tinggal di

rumah dengan ventilasi buruk dan mempunyai riwayat terkena asap hasil bakaran

kayu bakar. Pajanan asap hasil kayu bakar lebih dari 10 tahun meningkatkan 6 kali

lipat terkena karsinoma nasofaring.8

5. Pajanan Pekerjaan

Pajanan pekerjaan terhadap fume, asap, debu atau bahan kimia lain

meningkatkan risiko karsinoma nasofaring 2 sampai 6 kali lipat. Peningkatan risiko

karsinoma nasofaring karena pajanan kerja terhadap formaldehid sekitar 2 sampai 4

kali lipat, didukung oleh penelitian pada tikus, terutama untuk tipe I tetapi tidak untuk

tipe II dan III. Namun sebuah meta-analisis dari 47 penelitian tidak mendukung

hubungan formaldehid dengan karsinoma nasofaring. Stimulasi dan inflamasi jalan

nafas kronik, berkurangnya pembersihan mukosiliar dan perubahan sel epitel

mengikuti tertumpuknya debu kayu di nasofaring memicu karsinoma nasofaring,

10
paparan ke pelarut dan pengawet kayu, seperti klorofenol juga memicu karsinoma

nasofaring. Paparan debu katun yang hebat meningkatkan risiko karsinoma

nasofaring karena iritasi dan inflamasi nasofaring langsung atau melalui endotoksin

bakteri. Paparan tempat kerja yang panas atau produk bakaran meningkatkan dua kali

lipat risiko terkena karsinoma nasofaring. Paparan debu kayu di tempat kerja lebih

dari 10 tahun meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring.8

6. Pajanan Lain

Riwayat infeksi kronik telinga, hidung, tenggorok dan saluran napas bawah

meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Bakteri yang

menginfeksi saluran nafas dapat mengurai nitrat menjadi nitrit, kemudian dapat

membentuk bahan N-nitroso yang karsinogenik. Di Taiwan, kebiasaan mengunyah

betel nut (Areca catechu) selama lebih dari 20 tahun berhubungan dengan

peningkatan 70% risiko karsinoma nasofaring. Sebuah penelitian ekologi di Cina

Selatan menemukan 2 sampai 3 kali lipat kadar nikel di nasi, air minum, dan rambut

penduduk yang tinggal di wilayah yang tinggi insiden karsinoma nasofaringnya.

Penelitian lain menyatakan bahwa kandungan nikel, zinc dan cadmium pada air

minum lebih tinggi di wilayah yang tinggi insiden karsinoma nasofaringnya. Kadar

nikel pada air minum, kadar elemen alkali seperti magnesium, kalsium, strontium

yang rendah pada tanah, dan tingginya kadar radioaktif seperti thorium dan uranium

pada tanah berperan pada mortalitas karsinoma nasofaring, namun masih perlu

dibuktikan dengan penelitian epidemiologi analitik. Risiko karsinoma nasofaring juga

meningkat berhubungan dengan makanan berpengawet lain seperti daging, telur, buah

dan sayur terutama di Cina Selatan, Asia Tenggara, Afrika Utara/Timur Tengah dan

11
penduduk asli Artik.8

7. Familial Clustering

Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien karsinoma nasofaring lebih berisiko

terkena karsinoma nasofaring. Orang yang mempunyai keluarga tingkat pertama

karsinoma nasofaring mempunyai risiko empat sampai sepuluh kali dibanding yang

tidak. Risiko kanker kelenjar air liur dan serviks uterus juga meningkat pada keluarga

dengan kasus karsinoma nasofaring. Faktor risiko lingkungan seperti ikan asin,

merokok dan paparan pada produk kayu meningkatkan level antibodi anti-EBV dan

beberapa polimorfasi genetik. Kasus familial biasanya pada tipe II dan III, sedangkan

tipe I non familial.8

2.5 Patogenesis

EBV berperan dalam patogenesis dari karsinoma nasofaring, dimana pada

awalnya infeksi dari virus ini menyebabkan perubahan sel displasia grade rendah

pada nasofaring. Sel displasia grade rendah ini sudah terjadi akibat faktor

predisposisi. Displasia merupakan lesi awal yang dapat terdeksi, yang diperkirakan

dipengaruhi oleh beberapa karsinogen lingkungan. Hal ini berkaitan dengan

kehilangan alel pada lengan pendek kromosom 3 dan 9 yang menyebabkan inaktivasi

beberapa tumor suppressor genes, terutama p14, p15, dan p16.9

Area displasia ini merupakan asal dari tumor namun belum cukup untuk

menyebabkan perkembangan yang progresif. Pada stadium laten ini, infeksi EBV

dapat mengacu pada perkembangan displasia yang lebih berat. Didapatkan kerusakan

gen pada kromosom 12 dan kehilangan alel pada 11q, 13q dan 16q dapat memicu

12
terjadinya kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan dengan mutasi p53 dan

ekspresi cadherin yang menyimpang. Jadi, infeksi dari EBV serta pengaruh gangguan

kromosom bias berkembang menjadi kanker invasive. 9

Gambar 3. Karsinogenesis karsinoma nasofaring9

2.6 Manifestasi Klinis

KNF tidak mempunya gejala yang spesifik. KNF akan terlihat pada saat sudah

menyerang kelenjar getah bening yang akan menimbulkan benjolan pada kedua

bagian leher. Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi

menjadi beberapa kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala

tumor di leher, gejala mata dan gejala saraf, gejala akibat infiltrasi tumor dan gejala

akibat metastase jauh.10

1. Gejala Hidung/Nasofaring

Harus dicurigai adanya karsinoma nasofaring, jika ada gejala-gejala:


a.
Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita

13
usia lebih dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.
b.
Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih

jika terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus

paranasal.
c.
Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung

(epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan pemeriksaan

hidung tidak ada kelainan.11 Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila

terjadi iritasi ringan dapat terjadi perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya

berulang-ulang, biasanya jumlahnya sedikit bercampur dengan ingus, sehingga

berwarna merah jambu.6


d.
Sumbatan hidung. Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan

tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek

kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus

kental.

2. Gejala Telinga

a. Sumbatan tuba eutachius/ kataralis


Pada umumnya tumor bermula di fosa Rosenmuller dan pertumbuhannya dapat

menyumbatan muara tuba. Pasien mengeluh rasa penuh ditelinga, rasa

berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini

merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma nasofaring. Perlu

diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab yang

jelas.6
b. Gangguan pendengaran yang terjadi biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi

bila ada perluasan tumor atau karsinoma nasofaring ke sekitar tuba, sehingga

14
terjadi sumbatan.6,11
c. Radang telinga tengah sampai perforasi membran timpani.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan

muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang

diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi perforasi

membran timpani dengan akibat gangguan pendengaran. Gejala telinga dan

hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga

dijumpai pada infeksi biasa, misalnya rinitis kronis, sinusitis dan lain-lainnya.

Epistaksis juga sering terjadi pada anak-anak yang sedang menderita radang.

Namun jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa penyebab yang jelas atau

menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan segera

melakukan pemeriksaan yang lebih tinggi terhadap rongga nasofaring, sampai

terbukti bahwa bukan karsinoma nasofaring penyebabnya. 6

3. Gejala Tumor Leher

Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara

limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral maupun

bilateral. Spesifitas tumor leher sebagai metastase karsinoma nasofaring adalah letak

tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus mandibula, di dalam muskulus

sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah bergerak. Kecurigaan bertambah

besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring

tidak ditemukan kelainan.6,11

Sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot

di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini

merupakan gejala yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan

15
gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.

4. Gejala Mata

Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan

secara teliti, penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau

dobel. Jelas yang dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena kelumpuhan

N.VI yang letaknya di atas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan

tumor. Keadaan lain yang dapat memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan

N.III dan N.IV, sehingga menyebabkan kelumpuhan mata yang disebut dengan

oftalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikus dan N.II maka

penderita dapat mengalami kebutaan.6,11

5. Gejala Saraf

Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa

gejala subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti nyeri kepala

atau kepala terasa berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan kadang

mengeluh sulit menelan (disfagia). Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia

trigeminal oleh ahli saraf saat belum ada keluhan yang berarti. Proses karsinoma yang

lebih lanjut akan mengenai N. IX, X, XI dan XII jika perjalanan melalui foramen

jugulare. Gangguan ini disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai

seluruh saraf kranial disebut dengan sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan

destruksi tulang tengkorak dan bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk.6,11

6. Gejala akibat tumor yang mengadakan infiltrasi

a. Limfadenopati servikal

16
Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe di

sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel

kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh. Di dalam

kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi

besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini tidak

dirasakan nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker

dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya.

Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaaan ini merupakan

gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama

yang mendorong pasien datang ke dokter.6


b. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar dan metastase jauh
Tumor meluas ke intra kranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut

penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai grup

anterior saraf otak yaitu n.II s/d n.VI. Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di

Indonesia, tersering mengenai n.VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian

n.V cabang 1 dengan keluhan berupa hipestesia pipi/wajah.Perluasan ke belakang

secara ekstra kranial sepanjang fosa posterior, disebut penjalaran retroparotidian.

Yang terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu n.VII s/d n.XII beserta nervus

simpatikus servikalis. Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan

otot-otot rahang sehingga terjadi trismus. Sindrom retroparotidian terjadi akibat

kelumpuhan n.IX,X,XI, dan XII. Manifestasi kelumpuhan ialah :

a. n.IX :Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta

gangguan pengecap pada sepertiga belakang lidah.

17
b n.X :Hiper/hipo/anastesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai

gangguan respirasi.

c. n.XI :Kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius, sternokleidomastoideus,

serta hemiparesis palatum mole.

d n.XII :Hemiparalisis dan atropi sebelah lidah.

Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada beberapa

kasus pernah ditemukan bilateral. Nervus VII dan VIII, karena letaknya agak tinggi

serta terletak dalam kanalis tulang, sangat jarang terkena tumor.6

4. Gejala akibat metastase jauh

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening atau darah, mengenai

organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang (femur), hati

dan paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.6

2.7 Diagnosis

Diagnosis sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah

kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan

terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral

dan Waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar

tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media.

Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain -lain dilakukan untuk mendeteksi

metastasis.12

Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B

telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi

18
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung

dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi dimasukkan

melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam

diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.9

Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang

dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik

keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Kemudian dengan

kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui

kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa

tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan dengan

anestsi topical dengan Xylocain 10%.

Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka

dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam nakrosis.

Endoskopi dapat membantu dokter untuk melihat bagian dalam tubuh dengan hanya

menggunakan thin fexible tube. Pasien disedasi semasa tuba dimasukkan melalui

mulut ataupun hidung untuk menguji area kepala ataupun leher. Apabila endoskopi

telah digunakan untuk melihat nasofaring, disebut nasofaringoskopi.9

Diagnosis karsinoma nasofaring dapat ditegakkan dengan TNM, antara lain:

T = Tumor

Tumor Primer (T)

TX - tumor primer tidak dapat dinilai

19
T0 - Tidak ada bukti tumor primer

T1 - Tumor terbatas pada nasofaring yang

T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan / atau hidung fosa

T2a - Tanpa ekstensi parafaring

T2b - Dengan perpanjangan parafaring

T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal

T4 - Tumor dengan ekstensi intrakranial dan atau keterlibatan SSP, fosa

infratemporal, hypopharynx, atau orbit.9,13

N = Nodule

N Pembesaran kelenjar getah bening regional (KGB).

N0 - Tidak ada pembesaran.

N1 - Terdapat metastesis unilateral KGB dengan ukuran kurang dari

6cm merupakan ukuran terbesar diatas fossa supraklavikular

N2 - Terdapat metastesis bilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm

merupakan ukuran terbesar diatas fossa supraklavikular

N3 - Terdapat metastesis

N3.a- KGB dengan ukuran kurang dari 6cm

N3.b- KGB diatas fossa supraklavikular.13,14

M = Metastasis

M0 Tidak ada metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh.13,14

Stadium

20
Stadium 0 Tis, n0, M0

Stadium I - T1, n0, M0

Stadium IIA - T2a, n0, M0

Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0),(T2a, N1, M0 ),( T2b, N0,

M0)

Stadium III - ( T1, N2, M0 ),(T2a, N2, M0),( T2b, N2, M0),( T3, N0,

M0),( T3, N1, M0),( T3, N2, M0)

Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0),( T4, N2, M0)

Stadium IVB - Setiap T, N3, M0

Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1. 13,14

2.8 Penatalaksanaan

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada

penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan

yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,

interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan

ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai

terpai adjuvant.6

Stadium I : Radioterapi

Stadium II-III : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N <6cm: Kemoradiasi

21
Stadium V dengan N >6cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil

saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.

Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan

epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi

memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan

mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang

bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan

kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.15,16

Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga

untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. 9

A. Cisplatin

Cisplatin merupakan obat utama dan paling sering sering dipakai pada

terapi kanker kepala dan leher. Cisplatin biasanya diberikan dalam waktu 2-6

jam dengan dosis 60-120 mg/m2. Efek toksik pada renal biasanya terjadi,

termasuk terjadinya azotemia moderat, kebocoran elektrolit khususnya

magnesium dan potassium. Efek toksik lainnya adalah mual dan muntah,

neurotoksik perifer, ototoksik, dan mielosupresi yang terjadi setelah diberikan

beberapa kali kemoterapi. Dosis pemberian berkisar 60-120 mg/m2 yang

diberikan setiap 3-4 minggu dengan respon parsial lebih kurang 15-30 %.9

Aktifitas antitumornya sedikit lebih kecil dibandingkan cisplatin.

22
Carboplatin saat ini banyak dipakai, khususnya untuk tujuan palliatif, dimana

efek samping yang minimal dan waktu rawatan yang singkat diperlukan.

Contoh obat turunan lainnya adalah oxaliplatin yang saat ini dalam uji klinis

untuk terapi kanker kepala dan leher.9

B. 5-Fluorouracil

Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat enzim thymidylate sinthase

dan konversi uridine menjadi thymidine. Sel akan kekurangan thymidine dan

tidak dapat mensintesa DNA. Banyak obat-obatan lain yang dapat berinteraksi

dengan 5- fluorouracil dan menimbulkan efek yang lebih baik. Efek

sampingnya antara lain mielosupresi, mucositis, diare, dermatitis, dan cardiac

toksik. Penggunaan intravena secara tunggal mempunyai efek yang terbatas.9

C. Methotrexate

Methotrexate adalah antimetabolit yang mempengaruhi metabolisme

folate intraseluler dengan cara berikatan dengan dengan enzim dyhidrofolate

reduktase. Ini akan menghambat konversi asam folat menjadi tetrahydrolate.

Hasilnya adalah pengurangan jumlah folat dalam sel dan penghambatan

sintesis DNA. Obat ini aktif hanya selama siklus sel fase S. Hal ini secara

selektif akan menyebabkan perubahan jaringan menjadi lebih cepat.9

Efek samping methotrexate dapat diminimalisir dengan pemberian folat

dalam bentuk leucovirin dalam waktu 36 jam setelah pemberian obat. Untuk

23
pemberian tunggal methotrexate biasanya diberikan dalam dosis mingguan

40-50 mg/m2. Reaksi toksik dapat berupa myelosupresi, mucositis, mual,

muntah, diare dan fibrosis hepar. Lesi pada renal terjadi pada pemberian dosis

tinggi. Methotrexate menghasilkan tingkat respon parsial lebih kurang 10%

dengan durasi respon 1-6 bulan.9

D. Paclitaxel dan Docetaxel

Paclitaxel dan Docetaxel merupakan obat yang paling efektif

melawan kanker kepala dan leher. Paclitaxel pada awalnya didapat dari kulit

pohon yew Pacific, tetapi saat ini sudah dibuat sintetis. Golongan taxane ini

menstabilkan polimerisasi tubulin dan menghambat pemisahan sel. Docetaxel

mempunyai aktivitas yang hampir sama dengan Paclitaxel.

1. Kemoterapi adjuvan

Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan radioterapi.

Tujuannya untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh dan meningkatkan kontrol

lokal. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu

bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal,yaitu :

- Kanker masih ada, dimana biopsi masih positif.

- Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada

bukti secara makroskopis.

24
- Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi. (oleh karena

tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh) 11,13

2. Kemoterapi neoadjuvan

Pemberian kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah pemberian sitostatika

lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan tujuan pemberian

kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah

tumor mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi. 9

Kemoterapi neoadjuvan telah banyak dipakai dalam penatalaksanaan kanker

kepala dan leher. Alasan utama penggunaan kemoterapi neoadjuvan pada awal

perjalanan penyakit adalah untuk menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat

terdapat sel tumor yang resisten. Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke daerah

tumor lebih baik. Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan memberi hasil yang

lebih baik jika diberikan pada tumor berukuran lebih kecil

Regimen kemoterapi yang diberikan cisplatin 100 mg/m2 dengan kecepatan

infus 15- 20 menit perhari yang diberikan dalam 1 hari dan 5-FU 1000 mg/m2/hari

secara intra vena, diulang setiap 21 hari. Sebelum pemberian Cisplatin diawali

dengan hidrasi berupa 1.000 mL saline 0,9% natrium. Manitol 40 g diberikan

bersamaan dengan cisplatin infus. Setelah pemberian cisplatin, dilakukan pemberian

2.000 mL 0,9% natrium garam mengandung 40 mEq kalium klorida. Pasien diberikan

antimuntah sebagai profilaksis yang terdiri dari 5- hydroxytryptamine-3 reseptor

25
antagonis ditambah 20 mg deksametason. Berdasarkan penelitian pemberian

neoadjuvan kemoterapi dalam 2-3 siklus yang diberikan setiap 3 minggu dengan

syarat bila adanya respon terhadap kemoterapi.9

3. Kemoterapi concurrent

Kemoterapi concurrent diberikan bersamaan dengan radiasi

4. Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari KNF adalah EBV, maka

pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.9

Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di

leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah

penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang

dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk

(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang

berat akibat operasi.15

2.9 Komplikasi

Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme,

fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan

gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang yang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan

dapat terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis.

26
Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran

sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi.16

2.10 Prognosis

Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan

lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif

daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan

hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila

dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus

berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti stadium yang

lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan dan ras Cina

daripada ras kulit putih.15

DAFTAR PUSTAKA

27
1. Soepardi, EA. Telinga hidung tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI; 2012


2. Asroel, HA. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma Nasofaring. Medan:

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2002


3. Li YZ, Wu PH. Skull Base Invasion of Nasopharingeal Carcinoma. Journal

Of Nasopharyngeal Carcinoma; 2014


4. Chong VFH, Neoplasm of the nasopharynx. Hermans R. Head and neck

cancer imaging. Springer 2009 p.143-62


5. Chan, A.T.C. Nasopharyngeal Carcinoma. Annals of Oncology. 2010 ;21(7):

308-12.
6. Roezin A & Adham M. Karsinoma Nasofaring dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Ketujuh Cetakan

Kedua Balai Penerbit FK-UI. 2014. Hal: 158-63.


7. Rahman, S., Budiman, B.J., dan Subroto, S. Faktor Risiko Non Viral pada

Karsinoma Nasofaring. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(3): 988-94.


8. Ariwibowo, H. Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring. Kalimantan: CDK-204.

2013; 40(5).
9. Firdaus, M.A & Prijadi, J. Kemoterapi Neoadjuvan pada Karsinoma

Nasofaring. 2013. Diakses dari www.repository.unand.ac.id pada tanggal 10

Oktober 2016 pukul 21.00 WIB


10. American Cancer Society. Nasopharyngeal Cancer. 2015. Diakses dari

http://www.cancer.org/acs/ groups/cid/ documents/webcontent/003124-pdf.pdf


12. Maulana A.S dkk. 2010. Kasus Karsinoma Nasofaring di RSD dr. Soebandi

Jember Periode 2009-2010. Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember

Munir M. Keganasan di bidang telinga hidung tenggorok. Dalam: Buku ajar

ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher, ed 6, Jakarta: Balai

Penerbit FK UI; 2007. 162

28
13. Ma J, Liu L, Tang L, Zong J, Lin A, Lu T, et al. Retropharyngeal lymphnode

metastasis in NPC, prognostic value and staging categories. Clin cancer

journal 2011; 13(5) National Cancer Institute at the national institutes of

health, 2011.

14. Nasopharyngeal Cancer Treatment. Diunduh

http://www.cancer.gov/cancertropics/pdq/treatment/nasopharyngeal/patient/all

pages/print pada tanggal 10 Oktober 2016 pukul 19.45 WIB

15. Tang L, Li I, Mao Y, Liu L, Liang S, Chen Y, et al. Retropharyngeal

lymphnode metastasis in NPC detected by MRI prognostic value and staging

categories. Pubmed result cancer journal 2011. 14(6)

16. Lee N, Chan K. Benign and Malignant Lesions of the Nasopharix . Current

diagnosis and treatment in otolaryngology head and neck surgery. 2nd ed. Mc-

Graw-Hills co, Inc. 2008 (362)-6

29

Anda mungkin juga menyukai