Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

KARSINOMA NASOFARING

PEMBIMBING
Kol (purn) dr. Tri Damijatno, Sp. THT-KL
Letkol CKM dr. M. Andi Fathurakman Sp. THT-KL

Disusun oleh :
Kinanthi S. Pangestuningtyas
1102014145

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT

RS TK II MOH. RIDWAN MEURAKSA

PERIODE 8 APRIL 2019 – 10 MEI 2019


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT
atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul,

KARSINOMA NASOFARING

Adapun presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu THT RS Tk II Moh.
Ridwan Meuraksa. Penulis menyadari sepenuhnya, dalam penyusunan
presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna, tetapi penulis mencoba untuk
memberikan yang terbaik dengan segala keterbatasan yang penulis miliki.
Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:

1. Kepada kedua orang tua penulis, Maryoto dan Sunarti, yang tanpa
lelah dan tanpa henti memberikan semangat, kasih sayang, dukungan
baik moril maupun materil dan juga do’a sehingga dapat menyelesaikan
referat ini.
2. Kepada dokter pembimbing dalam Kepaniteraan klinik, Kol (purn) dr.
Tri Damijatno, Sp. THT-KL dan, Letkol CKM dr. M. Andi
Fathurakman Sp. THT-KL yang bersedia meluangkan waktunya
untuk membimbing, memberikan saran, nasehat, semangat untuk
menyelesaikan referat ini.
3. Kepada teman-teman kepaniteraan yang telah memberikan semangat
dan inspirasi kepada penulis.
4. Seluruh Perawat dan staff di RS Tk II Moh. Ridwan Meuraksa yang
telah memberikan bantuan dan bimbingan selama penulis mengikuti
Pendidikan.
Penulis menyadari bahwa sari pustaka ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun sehingga penyusunan ini dapat lebih baik sesuai dengan hasil
yang diharapkan.

Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulillah, Semoga Allah SWT selalu


meridhoi kita semua dan tulisan ini dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum wr. wb

Jakarta, April 2019

Penulis,

Kinanthi S. Pangestuningtyas
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah kanker yang berasal dari mukosa nasofaring,
dengan titik tengah tumor paling sering berada di fossa Rosenmuller, dari mana tumor
menginvasi ruang atau organ anatomi sekitar.1,2,3 Meskipun berasal dari galur sel atau
jaringan yang sama, karsinoma nasofaring merupakan keganasan kepala leher dengan
karakteristik epidemiologi, presentasi klinis, marker biologi, faktor risiko, dan faktor
prognostik yang unik.1,3,4

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan terbanyak (28,35%) dari seluruh kasus


keganasan kepala leher di Indonesia, dengan 1.121 kasus dilaporkan selama periode 1995-
2005.4 Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,
kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%) , laring (16%), dan
tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. Penelitian di RSUPN
Cipto Mangunkusumo mencatat terdapat 167 kasus KNF pada tahun 2010 dengan keluhan
utama pada saat datang yaitu massa di leher dan hidung tersumbat.16 Semua penelitian
menemukan KNF lebih banyak terjadi pada laki-laki.4,16

Insidensi KNF yang tinggi di Indonesia, etiopatogenesis dan faktor risiko yang khas
pada populasi tertentu, serta gejala awal yang tidak khas membuat diperlukannya
pemahaman yang mendalam mengenai keganasan kepala leher terbanyak ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. ANATOMI
Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di
belakang rongga hidung berhubungan dengan orofaring. Nasofaring merupakan
tabung fibromuskular yang terletak di belakang hidung pada faring bagian atas.
Batas superior nasofaring adalah dasar sinus sphenoid dan clivus, anterior dibatasi
choanae, inferior dibatasi orofaring, posterior dibatas muskulature prevertebral dan
sebelah lateralnya oleh spasium parapharyngeal.3 Dinding lateral meliputi tuba
eustachius, torus tubarius dan fossa Rosemuller. Secara anatomis, nasofaring
berhubungan dengan cavum nasi dan berperan sebagai saluran udara saat
pernapasan, karena strukturnya yang dibangun dari tulang, nasofaring bersifat paten
dalam keadaan normal KNF merupakan karsinoma sel skuamosa yang berasal dari
epitel nasofaring. Neoplasma ini dapat berasal dari semua bagian nasofaring.
Biasanya KNF dimulai dari fossa Rosenmuller.4,5
Fossa Rosenmuller atau resessus pharyngeus lateral terletak superior dan
posterior dari torus tubarius. Konfigurasi J terbalik dari torus tubarius menjadi dasar
mengapa fossa Rosenmüller tampak posterior pada potongan axial dan superior pada
koronal dari orifisium tuba eustachius. Tuba eustachius masuk ke nasofaring melalui
sinus Morgagni, sebuah defek pada fascia pharyngobasilar yang merupakan
perluasan kranial dari muskulus konstriktor superior. Spasium parapharyngeal
memisahkan spasium viseral nasofaringeal dari spasium mastikasi. KNF biasanya
meluas menyeberangi Spasium parapharyngeal sehingga dapat menginfiltrasi otot
mastikasi dan menyebar perineural ke nervus mandibular dan kavum intrakranial.
Selain itu dalam spasium parapharyngeal retrostyloid juga terdapat spasium karotid
yang juga dapat diinvasi KNF.3
Faring menerima aliran darah dari sistem arteri karotis eksterna terutama
arteri pharyngeal ascendens. Vena dari faring akan mengalir ke vena jugularis
interna. Persarafan dari otot dan mukosa faring didapatkan dari pleksus pharyngeal
yang menerima serat dari nervus glossopharyngeal dan nervus vagus. Plexus itu
sendiri terletak diluar dari otot konstriktor pharyngeus medius 6.
Antara nasofaring dengan corpus vertebra terdapat spasium retrofaring dan
spasium prevertebralis. Di dalam spasium retropharyngeal ada nodus
retropharyngeal lateral Rouviere. Nodus ini merupakan nodus pertama pada aliran
limfatik nasofarik dan dapat diidentifikasi sebagai nodul berukuran 3-5 mm akan
tetapi, pada 35% pasien dengan KNF, limfadenopati servikal dapat ditemukan tanpa
adanya pembesaran nodus retropharyngeal lateral. 3

Gambar. Anatomi Nasofaring

Aliran limfatik dari nasofaring mengalir dalam arah anteroposterior menuju ke basis
krani dimana nervus IX dan XII berada. Jalur aliran limfatik lainnya meliputi drainase ke
limfonodus servikal posterior dan jugulodigastrik. 4

Foramen laserum dan ovale merupakan jalur yang potensial untuk penyebaran
tumor ke intrakranial. Foramen laserum terletak superolateral dari fossa Rosenmüller dan
terletak pada perlekatan fascia pharyngobasilar pada basis cranii. Kartilago mengisi bagian
inferior foramen laserum dan foramen ovale terletak di lateral dari perlekatan fascia
pharyngobasilar terhadap basis cranii.3

Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau kripta. Secara
histologis mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia atau
pseudostritified ciliated columnar epithelium yang kearah orofaring akan berubah menjadi
epitel gepeng berlapis atau stratified squamous epithelium. Diantara pertemuan atap
nasofaring dan dinding lateral di daerah fosa Rosenmuller terdapat epitel peralihan atau
transitional epithelium yang menjadi tempat asal dari tumbuhnya tumor nasofaring.17
Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok pertama
adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada ruang retrofaring
antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia prevertebra. Pada dinding
lateral di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfe berjalan
kearah anterosuperior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau kelenjar yang paling
proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai
kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoideus. Pembuluh limfe di daerah
nasofaring sangat kompleks dan membentuk pleksus yang saling menyilang melewati garis
tengah. Aliran getah bening menuju arah posterior, selanjutnya ke kelenjar getah bening
Rouviere di ruang retrofaring bagian lateral dan retro parotis kemudian menuju ke rangkaian
kelenjar getah bening di sekitar vena jugularis interna bagian superior, terutama kelompok
jugulo digastrik.17

Gambar. Nasofaring sisi sinistra dilihat dengan scope.19

2. 2. DEFINISI
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari epitel nasofaring. Titik
tengah tumor di dalam wilayah nasofaring paling sering dijumpai di fossa Rosenmuller, dari
mana tumor dapat menginvasi ruang atau organ anatomi yang berdekatan.3

WHO mendefinisikan KNF sebagai karsinoma yang berasal di mukosa


nasofaring yang menunjukkan bukti diferensiasi skuamosa dari ultrastruktur atau
pemeriksaan mikroskopi cahaya. Definisi ini tidak mengikutsertakan adenokarsinoma
dan karsinoma tipe kelenjar saliva.20
Komite Penaggulangan Kanker Nasional dalam Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Kanker Nasofaring juga mendefinisikan karsinoma nasofaring sebagai
keganasan yang muncul pada daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang
hidung). Tipe KNF terbanyak adalah keganasan dari sel skuamosa.1

2.3 EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 86.700 kasus baru KNF dan 50.800
kematian akibat KNF, keduanya mewakilkan sekitar 0,6% dari semua kasus
keganasan, sehingga karsinoma ini dapat dikatakan relatif langka. Jumlah penderita
KNF laki-laki lebih banyak dibanding perempuan (rasio 2,3:1).5 (?)Setiap tahunnya
diperkirakan terdapat 11.000 kasus karsinoma nasofaring baru dengan rasio pria
berbanding wanita 2,5 : 1. Lebih banyak ditemukan di bagian selatan China3,4 KNF
biasanya menyerang anak dan orang dewasa namun sering ditemukan pada usia
menengah.
Distribusi KNF berbeda signifikan menurut kondisi geografis dan sumber daya,
dengan 92% kasus baru terjadi di negara berkembang, dan insidensi tertinggi di
populasi Asia Tenggara, yaitu mencapai setidaknya dua kali insidensi area lain. Tiga
negara dengan insidensi nasional tertinggi ada di Malaysia, Indonesia, dan Singapura,
dengan angka tertinggi pada populasi Tionghoa dan Melayu.6 Insidensi tinggi juga
dilaporkan di Cina Tenggara, termasuk Hong Kong dan Guangdong, Filipina, India,
Thailand, Mikronesia, Asia Timur, dan Afrika Utara. Insidensi keganasan ini lebih
rendah pada sebagian besar populasi yang tinggal di tempat lain di Amerika dan
Eropa.6
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan terbanyak (28,35%) dari seluruh
kasus keganasan kepala leher di Indonesia, dengan 1.121 kasus dilaporkan selama
periode 1995-2005.4 Penelitian di RSUPN Cipto Mangunkusumo mencatat terdapat
167 kasus KNF pada tahun 2010 dengan keluhan utama pada saat datang yaitu massa
di leher dan hidung tersumbat.16 Semua penelitian menemukan KNF lebih banyak
terjadi pada laki-laki.4,16
Gambar. Prevalensi KNF dan keganasan kepala leher lain Indonesia tahun 2000-
200516

2.4 ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO


Etiologi karsinoma nasofaring dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berinteraksi. Disparitas antarkelompok dengan faktor risiko tertentu telah dicatat
bahkan sejak konferensi IARC tahun 1978, dimana diduga terdapat suatu agen yang
memengaruhi populasi Tionghoa di Singapura, tetapi tidak mampu memberikan
dampak pada populasi India dan Pakistan. Literatur terbaru telah menemukan
berbagai faktor risiko termasuk genetik, diet, higienitas, pekerjaan, medikasi, dan
infeksi virus Epstein-Barr.7,9,10,11,12,13,14,15

2.4.1 Infeksi virus Epstein-Barr dan HPV


Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) mungkin adalah faktor etiologi karsinoma
nasofaring yang paling banyak dipelajari. Berdasarkan teknik hibridisasi in-situ
terhadap RNA terkode EBV, virus tersebut terdeteksi hanya dalam sel tumor, tetapi
tidak dalam epitel nasofaring normal.3 Meskipun berbagai penelitian menemukan
hubungan kuat antara infeksi EBV dan KNF, peran infeksi EBV dalam patogenesis
KNF masih belum jelas.7
Secara histopatologi, infeksi EBV memiliki hubungan dengan karsinoma
nonkeratinisasi subtipe terdiferensiasi dan tak terdiferensiasi, tetapi hubungan dengan
karsinoma keratinisasi hanya ditemukan pada daerah berisiko tinggi. Pada KNF, virus
berada pada fase laten, hanya terdapat pada sel tumor, dan tidak ditemukan di jaringan
limfoid sekitar.15
Selama fase laten, EBV mengekspresikan beberapa gennya untuk menghindari
deteksi sistem imun. Ekspresi gen laten pada sel terinfeksi EBV berada di bawah
regulasi epigenetik. Beberapa tipe profil ekspresi gen laten di sel terinfeksi EBV telah
diidentifikasi. Latensi tipe 0 dikenali pada sel B memori, dimana ekspresi gen EBV
terbatas pada EBV-encoded small RNAs (EBER) tanpa adanya ekspresi protein EBV;
EBV nuclear antigen 1 (EBNA1) hanya diekspresikan di sel B memori yang
mengalami divisi. Pada KNF ditemukan virus dalam latensi tipe II.14
Ekspresi gen pada infeksi EBV laten tipe II mencakup EBER, EBNA1, LMP1,
LMP2, BARF1, BARTs, dan BART-miRNAs. Secara umum ekspresi gen tersebut
memengaruhi proliferasi sel, invasi virus, keberlangsungan hidup virus, perbaikan
DNA, modulasi imunitas bawaan, resistensi terhadap apoptosis, checkpoint siklus sel,
potensi invasi dan metastasis sel karsinoma, dan transformasi sel nonmaligna.14
Etiologi viral lainnya yang dihubungkan dengan karsinoma nasofaring adalah
human papillomavirus (HPV). Koinfeksi HPV dan EBV dapat memberikan dampak
terhadap perubahan sel menjadi malignan. Infeksi HPV onkogenik yang didapat
secara vertikal dari ibu ditemukan berperan penting sebagai agen etiologi KNF.3

2.4.2 Genetik
Peran kerentanan genetik individu terhadap patogenesis KNF diindikasikan
oleh insidensi KNF yang tinggi pada etnis tertentu. Hal ini lebih mencolok karena
generasi kedua dan ketiga dari penduduk daerah berisiko tinggi yang telah emigrasi
dan berasimilasi dengan budaya yang berbeda masih memiliki risiko KNF lebih tinggi
dibanding penduduk sekitar.3,7
Kerentanan genetik terhadap KNF pada populasi berisiko tinggi telah
dilaporkan, terutama berhubungan dengan gen HLA kelas I di lokus MHC kromosom
6p21. Gen HLA kelas I mengode protein yang dapat mengidentifikasi dan
mempresentasikan antigen asing (termasuk peptida hasil kode EBV) kepada sel T
sitotoksik untuk memicu respon imun terhadap sel yang terinfeksi virus.7
Beberapa penelitian kasus-kontrol telah menemukan hubungan antara
polimorfisme genetik dan risiko KNF, dengan memengaruhi kerentanan genetik
terhadap infeksi EBV dan/atau transformasi sel terinduksi karsinogen kimiawi.
Peningkatan risiko KNF ditemukan berhubungan dengan polimorfisme genetik yang
terlibat dalam metabolisme nitrosamin (CYP2E1, CYP2A6), detoksifikasi elektrofil
karsinogenik (GSTM1), perbaikan DNA (XRCC1, hOGG1, NBS1, RAD51L1), jalur
masuk EBV ke epitel nasofaring (PIGR), regulasi checkpoint siklus sel (MDM2,
TP53), adhesi dan migrasi sel (MMP2), interleukin (IL1A, IL1B, IL2, IL8, dan IL10),
toll-like receptors (TLR3, TLR4, TLR10).3,7

2.4.3 Lingkungan
Studi epidemiologi skala besar mengusulkan adanya hubungan beberapa
kebiasaan diet dan sosial dengan peningkatan risiko karsinoma nasofaring.3 Salah satu
faktor yang paling sering disebut adalah riwayat konsumsi ikan asin. 3,7 Karsinogen
yang berperan adalah senyawa volatil N-nitrosamin yang dapat menginduksi
kerusakan DNA dan inflamasi kronik mukosa nasofaring.3,7 Konsumsi nitrosamin
selama periode anak-anak dapat menyebabkan akumulasi lesi genetik aberan dan
perkembangan jaringan rentan karsinoma di nasofaring, yang pada gilirannya
meningkatkan kerentanan infeksi EBV dan meningkatkan risiko KNF.7
Konsumsi makanan lain yang ditemukan berhubungan dengan kejadian KNF
adalah asinan sayur, makanan yang diawetkan, teh herbal, sup slow-cooked, alkohol,
produk hewani, karbohidrat, dan asam lemak tak jenuh.3,9,10 Selain diet, faktor
lingkungan lain yang dianggap berpengaruh adalah higienitas oral, inhalasi debu
kayu, asap, formaldehida, dan bahan kimia.7,11 Beberapa literatur berbeda pendapat
mengenai inhalasi debu kayu sebagai faktor risiko karsinoma nasofaring.7 Inhalasi
debu kayu dianggap berhubungan dengan adenokarsinoma hidung, tetapi tidak
dengan karsinoma nasofaring.12 Penelitian lain menemukan bahwa aspirin memiliki
efek protektif terhadap karsinoma nasofaring.13

2.5 PATOGENESIS
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme: pemendekan
waktu siklus sel sehingga menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi dalam
satuan waktu; dan penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses
apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen dan gen penekan tumor (tumor
suppresor genes) yang menghambat penghentian proses siklus sel.
Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel
diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila
mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu
pertumbuhan dan pembelahan sel secara patologis.
Perkembangan lesi dimulai dari adanya lesi prakanker (field cancerization).
Pada KNF, lesi prakanker ini dapat terbentuk di usia muda akibat konsumsi
karsinogen nitrosamin. Lesi prakanker ini sendiri merupakan faktor predisposisi
infeksi EBV yang akan lebih lanjut menyebabkan inflamasi dan alterasi genetik.
Infeksi laten EBV menyebabkan displasia yang semakin parah. Berbagai faktor
ekspresi gen EBV menyebabkan perkembangan lesi menjadi karsinoma in-situ dan
akhirnya kanker invasif.14

Gambar. Peran EBV dalam patogenesis KNF.14

2.6 GEJALA KLINIS


Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher.
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu
nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop,
karena sering terjadi pada beberapa kasus yakni gejala belum ditemukan sementara
tumor sudah tumbuh atau tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa
(creeping tumor).15
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan pada telinga dapat
berupa tinnitus, rasa penuh pada telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak
jarang pada beberapa pasien dengan gangguan pendengaran baru kemudian diketahui
bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.
Gangguan beberapa saraf otak juga dapat terjadi sebagai gejala lanjut dari
karsinoma ini, karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalu
beberapa lubang. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke
III, IV, VI dan juga ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopa (penglihatan ganda)
lah yang membawa pasien terlebih dahulu berobat ke dokter mata. Selain diplopia,
neuralgia terminal juga merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika
belum terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan
mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare.
Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson.
Penelitian di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menemukan bahwa keluhan
utama pasien saat pertama kali datang berobat adalah benjolan yang teraba di leher
(58,1%), diikuti dengan hidung tersumbat (49,1%), dan gangguan pendengaran
unilateral (39,5%). Temuan tersebut menunjukkan bahwa mayoritas pasien datang
saat telah terjadi penyebaran ke arah leher, bukan pada saat terjadi gejala awal yang
nonspesifik, sehingga prognosis pasien juga lebih buruk.16

2.7 DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis karsinoma nasofaring memerlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang lainnya. Deteksi dini di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama melalui anamnesis yang cermat sangat
diperlukan untuk meningkatkan kemungkinan prognosis pasien yang baik.16

1. Anamnesis
Penegakan diagnosis didasarkan pada anamnesis dimana pasien datang berbagai
gejala yang dikeluhkan sesuai dengan penjalaran kanker. Gejala-gejala dan
tanda dari karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 2 macam berdasarkan
metastasenya, yaitu:10
1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala yang dapat timbul di waktu
tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring, dapat berupa:
a. Gejala hidung: pilek lama yang tidak kunjung sembuh; epistaksis
berulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan lendir
hidung sehinga berwarna merah jambu; lendir hidung seperti nanah,
encer/kental, berbau.
b. Gejala telinga: tinnitus (penekanan muara tuba eustachii oleh tumor,
sehingga terjadi tuba oklusi, menyebabkan penurunan tekanan dalam
kavum timpani), penurunan pendengaran (tuli), rasa tidak nyaman di
telinga sampai otalgia.

2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor, dapat berupa:


a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor
melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV (N.
Trochlearis) dan N. VI (N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus akan
menimbulkan kebutaan.
b. Gejala tumor: pembesaran kelenjar limfe pada leher, merupakan tanda
penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma
nasofaring.
c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai
saraf-saraf kranialis, antara lain:
- Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase
secara hematogen.
- Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang.
- Kesukaran pada waktu menelan
- Afoni
- Sindrom Jugular Jackson atau sindrom retroparotidean mengenai N.
IX (N. Glossopharyngeus), N. X (N. Vagus), N. XI (N. Accessorius),
N. XII (N. Hypoglossus). Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
lidah, palatum, faring atau laring, M. Sternocleidomastoideus, M.
Trapezius. 10

2. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan status generalis dan status lokalis
2) Pemeriksaan nasofaring:
Inspeksi dan palpasi : tampak benjolan pada leher (lateral) dengan
berbagai ukuran, biasanya berada di level II-III dengan permukaan rata,
terfiksir dan tidak nyeri tekan. Tampak massa di dinding nasofaring
berwarna kemerahan dengan permukaan tidak rata yang tampak dengan
pemeriksaan rinoskopi posterior. Untuk mengetahui keadaan membran
timpani dilakukan pemeriksaan otoskopi sedangkan untuk mengetahui
adanya penurunan pendengaran dapat dilakukan tes garpu tala. Untuk
mengetahui keadaan kavum nasi, keadaan konka inferior, konka media
serta sekret bila ada dapat dilakukan pemeriksaan rinoskopi anterior.
Pemeriksaan saraf kranial untuk mengetahui adanya perluasan tumor ke
jaringan sekitarnya.

Gambar. Tampak benjolan pada leher. Pada pasien ini ditemukan


pembesaran limfonodus servikal

3. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Hitung darah lengkap dan fungsi hati juga harus dilakukan untuk
menghilangkan kemungkinan metastasis. Titer EBV perlu diperiksa karena
pada tumor nasofaring juga dapat meningkat4. Virus Epstein-Barr tergolong
dalam herpes virus dan antigen spesifik EBV dapat digolongkan menjadi
antigen replikatif, fase laten, dan antigen fase lanjutan. Pada pasien dengan
KNF, imunoglobulin A (IgA) berespon terhadap antigen awal dan viral capsid
antigen (VCA) dapat dijadikan dasar untuk diagnostik. IgA anti VCA lebih
sensitif tapi kurang spesifik dibandingkan IgA anti EA. Pada orang sehat yang
terdeteksi IgA anti VCA dapat memiliki KNF subklinis dan deteksi KNF dapat
mencapai 30 kali lebih tinggi dari populasi normal. 5
Immunoglobulin IgA anti-VCA dianggap berhubungan dengan tahapan stadium
penyakit dan kadarnya dapat berkurang dengan pemberian terapi, sehingga dapat
bernilai sebagai tumor marker dan deteksi rekurensi. Selain itu DNA EBV juga
dapat digunakan sebagai tumor makrker namun sensitivitasnya sedang. 5

4. Pemeriksaan patologi anatomi


Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi
dengan spesimen dari biopsi nasofaring. Penegakkan diagnosis dengan patologi
anatomi bukan dengan spesimen dari biopsi aspirasi jarum halus (fine needle
aspiration biopsy/FNAB). Biopsi nasofaring dilakukan dengan tang biopsi lewat
hidung atau mulut dengan tuntunan rhinoskopi posterior atau nasofaringoskopi
rigid/fiber.

5. Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging) memainkan peran


kunci dalam deteksi awal lesi KNF untuk melihat mukosa dengan kecurigaan kanker
nasofaring, sebagai panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus-kasus
dengan dugaan residu dan residif.1,26

6. Pemeriksaan radiologik
a) CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT Scan nasofaring mulai setinggi sinus
frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa
dan dengan kontras.
b) USG abdomen
USG abdomen dilakukan untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen.
c) Foto Thoraks
Pemeriksaan foto thoraks dilakukan untuk melihat adanya nodul di paru atau
apabila dicurigai adanya kelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan Toraks
dengan kontras.
d) Bone Scan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat metastasis pada tulang.1

7. Pemeriksaan serologi
Beberapa penelitian berusaha menemukan pemeriksaan yang efektif sebagai
alat deteksi dini KNF. Salah satu penelitian menemukan bahwa analisis DNA EBV
di sampel plasma (pEBV) dapat digunakan sebagai alat skrining KNF
asimtomatik.27 Penanda pEBV juga memiliki nilai prognosis dimana pEBV
digunakan dalam menyeleksi pasien KNF risiko tinggi untuk diberikan terapi
ajuvan.8 Penelitian lain menemukan bahwa uji cepat menggunakan NPC test strip
tidak direkomendasikan karena sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.28
Meskipun beberapa penelitian merekomendasikan penanda serologis sebagai alat
skrining KNF, telaah Cochrane tidak dapat menilai efektivitas skrining karena
belum ada penelitian randomized controlled trial yang membandingkan kelompok
skrining dan tanpa skrining.9

Gambar. Algoritma diagnosis dan tatalaksana KNF1

2.8 KLASIFIKASI
2.8.1 Klasifikasi Histopatologi
Klasifikasi WHO tahun 1991 membagi KNF menjadi karsinoma sel skuamosa
terkeratinisasi, karsinoma nonkeratinisasi. Karsinoma nonkeratinisasi dibagi lagi
menjadi terdiferensiasi dan tak terdiferensiasi. Karsinoma seperti limfoepitelioma
dianggap sebagai variasi morfologi karsinoma tak terdiferensiasi.1
Variasi angka pelaporan subtipe mengindikasikan batasan antarkelompok tidak
selalu jelas. Kesalahan pengambilan sampel merupakan masalah signifikan akibat
ukuran biopsi kecil dan reprodusibilitas klasifikasi belum optimal. Beberapa peneliti
menganggap bahwa karsinoma sel skuamosa terkeratinisasi dan karsinoma
nonkeratinisasi hanya variasi dari kelompok tumor homogen.1
Gambar. Karsinoma nasofaring terkeratinisasi, terdiferensiasi baik; A) tumor
menginvasi stroma; B) pulau ireguler karsinoma menginfiltrasi stroma desmoplastik
dengan diferensiasi dan keratinisasi terlihat jelas

Gambar. Karsinoma nasofaring nonkeratinisasi; A) contoh subtipe terdiferensiasi


dicirikan dengan berlapis tumor dipisahkan oleh infiltrat limfosit dan sel plasma pekat;
B) pulau tumor dalam stroma kaya limfosit; C) pola tumbuh trabekular yang jarang
ditemukan.

Gambar. Karsinoma nasofaring nonkeratinisasi subtipe tak terdiferensiasi; A) Sel


memiliki nukleus vesikular, nukleoli prominen, dan sitoplasma amphofilik; B) sel
tampak sinsitial dan memiliki nukleus vesikular, nukleoli jelas, dan sitoplasma sedikit
eosinofilik; C) terdapat sel dengan batas antarsel yang jelas dan sitoplasma eosinofilik
berjumlah sedang.
Gambar. Karsinoma sel skuamosa nasofaring subtipe basaloid; sel tumor basaloid
menunjukkan pola pertumbuhan menjuntai dan berselang dengan sel tumor dengan
diferensiasi skuamosa.

Gambar. Karsinoma nasofaring nonkeratinisasi, subtipe tak terdiferensiasi; A)


hibridisasi in-situ Epstein-Barr encoded-RNA (EBER) menunjukkan semua nukleus sel
tumor memperlihatkan pelabelan; B) Immunostaining untuk pansitokeratin
menonjolkan epitel permukaan dan kumpulan dan lapisan sel positif di stroma; C)
Immunostaining untuk sitokeratin biasanya menunjukkan pola pewarnaan jejaring.

2.8.2 Klasifikasi Stadium


Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM menurut AJCC
2010:1
Tumor Primer (T)

Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 : Tidak tampak tumor

T1s : Karsinoma in situ

T1 : Tumor terbatas di nasofaring

T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak


T2a : Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring

T2b : Disertai perluasan ke parafaring

T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal

T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat keterlibatan saraf


kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Kelenjar Getah Bening (KGB) Regional (N)

Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat dinilai

N0 : Tidak ada pembesaran

N1 : Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang


atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N2 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang


atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N3 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6
cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula

N3a : ukuran lebih dari 6 cm

N3b : di dalam fossa supraklavikula

Metastasis Jauh (M)

Mx : Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 : Tidak ada metastasis jauh

M1 : Terdapat metastasis jauh


Tabel. Stadium KNF1

Stadium T N M

Stadium 0 T1s N0 M0

Stadium I T1s N0 M0

Stadium IIA T2a N0 M0

Stadium IIB T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0, N1 M0

Stadium III T1 N2 M0

T2a, T2b N2 M0

T3 N2 M0

Stadium IVa T4 N0, N1, N2 M0

Stadium IVb semua T N3 M0

Stadium IVc semua T semua N M1

- Stadium 0 :
- Stadium I :

- Stadium IIA :

- Stadium IIB :
- Stadium III :

- Stadium IVA :

- Stadium IVB :
- Stadium IVC :

2.9 TATALAKSANA
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung
dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.15

Tabel. Modalitas Terapi KNF Menurut Stadium1


Stadium Modalitas Terapi

Stadium I Radioterapi

Stadium II Kemoradiasi

Stadium III Kemoradiasi

Stadium IV dengan N <6 cm Kemoradiasi

Stadium IV dengan N >6 cm Kemoterapi dosis penuh


dilanjutkan kemoradiasi

Radioterapi

Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher dan
supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV lokal). Radiasi dapat diberikan
dalam bentuk: radiasi eksterna yang mencakup gross tumor (nasofaring) beserta
kelenjar getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4;
disertai penyinaran kelenjar supraklavikula dengan dosis 50 Gy; radiasi intrakaviter
sebagai radiasi booster pada tumor primer tanpa keterlibatan kelenjar getah
bening, diberikan dengan dosis (4x3 Gy), sehari dua kali; bila diperlukan booster
pada kelenjar getah bening diberikan penyinaran dengan elektron. Penggunaan
teknik Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) telah menunjukkan penurunan
dari toksisitas kronis pada kasus karsinoma orofaring, sinus paranasal, dan nasofaring
dengan adanya penurunan dosis pada kelenjar-kelenjar ludah, lobus temporal,
struktur pendengaran (termasuk koklea), dan struktur optik.1

Obat-obatan Simptomatik

a) Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan :
obat kumur yang mengandung antiseptik dan astringent, diberikan 3 – 4 kali
sehari)
b) Tanda-tanda moniliasis : antimikotik
c) Nyeri menelan : anestesi lokal
d) Nausea, anoreksia : terapi simptomatik

Kemoterapi

Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien


dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat
platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam
sebelum dilakukan radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat diberikan pada
N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3 minggu sekali, dan dapat juga
diberikan pada kasus rekuren/metastatik.1

Terapi sistemik pada karsinoma nasofaring adalah dengan kemoradiasi dilanjutkan


dengan kemoterapi adjuvan, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU atau
Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap
seminggu sekali.1

Menurut Perhimpunanan Onkologi Indonesia (2010) Kemoterapi terdiri dari 4 cara pemberian
yaitu :

1) Kemoradiasi : kombinasi kemoterapi dan radiasi

2) Kemoterapi adjuvan : kemoterapi setelah kemoradiasi/radiasi


3) Neoadjuvan kemoterapi : kemoterapi sebelum kemoradiasi

4) Kemoterapi primer : kemoterapi sebagai pengobatan

utama, pada kanker nasofaring (KNF)

statdium IVC.

Bahan-bahan kemoterapeutik yang digunakan pada pengobatan kemoterapi dapat

dilihat pada:.

Tabel. Bahan-Bahan Kemoterapeutik

BAHAN EFEK PENGGUNAAN EFEK

MERUGIKAN
Cisplatin Hubungan Karsinoma sel Nause;nefrotoksik,o
(sisdiaminedikl silang = skuamosa;sarkoma totoksik
oroplatinum) sensitisasi
DNA

Metotreksat Inhibisi Karsinoma sel Stomatiti;


kompetitif skuamosa;sarkoma leukopenia;anemia;
asam folat osteogenik trombositopenia
reduktase
(inhibitor
asam folat)

Bleomisin Menghamb Karsinoma sel Fibrosis paru-paru


sulfat at sintesa skuamosa
DNA

Fluorourasil Menghamb Karsinoma sel Stomatitis;


skuamosa di leukopenia;muntah
at sintesa
kombinasi dengan
DNA
cisplatin

Adriamycin Menghamb Histiositoma fibrosa Toksisitas bahan lain


(doksorubisin at sintesa ganas; sarkoma. yang potensial;
hidroklorid) asam mikosupresif;kardio
nukleat toksik
Beberapa sitostatika (obat kemoterapi) yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika)
untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu Cisplatin,
Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin,
Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini
dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher. 16

Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring dilakukan untuk kasus


rekurensi lokal dan regional. Tiga keadaan kontraindikasi operasi adalah keterlibatan
arteri karotis interna, erosi basis krani dan keterlibatan intrakranial. Pendekatan
operasi meliputi tindakan transnasal, transmaksila, midfasial atau transpalatal. Untuk
penyakit dengan keterlibatan regional biasanya dilakukan diseksi leher baik radikal
ataupun modifikasi.16

Terapi Gen dan Imunoterapi


Karena KNF berhubungan erat dengan Virus Epstein-Barr virus maka terbuka suatu
kesempatan untuk melakukan terapi molekuler. Terapi Gen menggunakan vektor
defisien replikasi adenovirus untuk meningkatkan sitotoksisitas melalui induksi
apoptosis. Imunoterapi pada KNF difokuskan pada peningkatan respon sel limfosit
T sitotoksis walapun perlu dilakukan studi lebih lanjut5

Edukasi

Ada beberapa hal yang perlu diedukasikan kepada pasien yakni seperti yang
tercantum pada tabel berikut.

Tabel. Edukasi pasien KNF1

Kondisi Informasi dan Anjuran saat Edukasi

1. Radioterapi Efek samping radiasi akut yang dapat muncul


(xerostomia, gangguan menelan, nyeri saat
menelan), maupun lanjut (fibrosis, mulut kering)

Anjuran untuk selalu menjaga kebersihan mulut


dan perawatan kulit (area radiasi) selama terapi

27
2. Kemoterapi Efek samping kemoterapi yang mungkin muncul
(mual, muntah, dsb)

3. Nutrisi Edukasi jumlah nutrisi, jenis dan cara pemberian


nutrisi sesuai dengan kebutuhan

4. Metastasis pada Kemungkinan fraktur patologis sehingga pada


tulang pasien yang berisiko diedukasi untuk berhati-hati
saat aktivitas atau mobilisasi

Mobilisasi menggunakan alat fiksasi eksternal


dan/atau dengan alat bantu jalan dengan
pembebanan bertahap

5. Lainnya Anjuran untuk kontrol rutin pasca pengobatan

- anjuran untuk menjaga pola hidup yang sehat

2.10 PROGNOSIS
Kanker nasofaring salah satu keganasan dari kepala leher yang memiliki angka
rekurensi tinggi. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15%
kekambuhan seringkali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga kontrol rutin perlu
dilakukan oleh pasien dengan kanker nasofaring.17
Prognosis keseluruhan tidak baik dan angka survival 5 tahunnya hanya 30%.
Stadium T1 dan T2 memiliki angka survival dapat mencapai 70–75%. Pada stadium
lanjut T3 dan T4, angka survival mencapai 50%. Angka survival 5 tahun pasien dengan
stadium lanjut yang ditangani kemoterapi adalah 66% dan dengan radiasi 76%.4

2.11 PENCEGAHAN
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko
tinggi serta melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA untuk
mendeteksi secara dini. Migrasi penduduk dari daerah dengan risiko tinggi ke tempat
lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
28
social-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan
factor penyebab.
Kontrol rutin pada penderita dilakukan meliputi konsultasi dan pemeriksaan fisik.
Pada tahun pertama tiap 1-3 bulan; tahun kedua tiap 2-6 bulan; tahun ketiga sampai
kelima tiap 4-8 bulan; setelah tahun kelima tiap 12 bulan.1

29
BAB III

SIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan di bidang kepala leher terbanyak di


Indonesia. Prevalensi KNF tinggi pada populasi dengan faktor risiko genetik dan
lingkungan tertentu, seperti etnisitas tertentu dan konsumsi ikan asin.

Diagnosis dini KNF tidak mudah karena gejala awal nonspesifik, mencakup
gangguan tuba Eustachius, hidung tersumbat, dan sekret. Sebagian besar pasien datang
ketika sudah teraba massa di leher, yang berarti telah terjadi penyebaran lesi keganasan ke
leher. Kegagalan diagnosis pada stadium awal memperburuk prognosis pasien.

Patogenesis KNF yang melibatkan berbagai faktor risiko, serta perlunya deteksi dini
untuk prognosis pasien yang lebih baik, merupakan bagian dari tanggungjawab dokter yang
bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Dokter harus mampu
mengidentifikasi faktor risiko dari anamnesis pasien dan mengeliminasi faktor risiko
tersebut, serta cermat mendeteksi gejala-gejala awal keganasan pada KNF sehingga
mampu merujuk.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Adham M, Gondhowiardjo S, Soediro R, Jack Z, Lisnawati, Witjaksono F, Manikam


NRM, et al. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring. Jakarta:
Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2015
2. Chua MLK, Wee JTS, Hui EP, Chan ATC. Nasopharyngeal Carcinoma. Lancet, 2015
3. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, Tan
IB, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs,
and symptoms at presentation. Chin J Cancer, 2012; 31(4): 185-96
4. Simo R, Robinson M, Lei M, Sibtain A, Hickey S. Nasopharyngeal carcinoma: United
Kingdom National Multidisciplinary Guidelines. J Laryngol Otol, 2016; 130 (Suppl.
S2): S97-103
5. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R, Eser S, Mathers C, Rebelo M, Parkin DM, et al.
Cancer incidence and mortality worldwide: sources, methods and major patterns in
GLOBOCAN 2012. Int J Cancer ‘
6. Torre LA, Bray F, Siegel RL, Ferlay J, Lortet-Tieulent J, Jemal A. Global Cancer
Statistics, 2012. CA Cancer J Clin, 2015; 000:000-000
7. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, Lo KW. Etiological
factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral Oncol, 2014; 50: 330-8
8. Hui EP, Ma BBY, Allen Chan KC, Chan CML, Wong CSC, To KF, Chan AWH.
Clinical Utility of Plasma Epstein-Barr Virus DNA and ERCC1 Single Nucleotide
Polymorphism in Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer, 2015: doi: 10.1002/cncr.29413
9. Yong SK, Ha TC, Yeo MCR, Gaborieau V, McKay JD, Wee J. Associations of lifestyle
and diet with the risk of nasopharyngeal carcinoma in Singapore: a case-control
study. Chin J Cancer, 2017; 36: 3
10. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, ed. 6. Jakarta: EGC, 2012
11. Head&Neck Cancer Guide. Nasopharyngeal Cancer. http://headandneck
cancerguide.org.
12. University of Iowa Health Care. Iowa Head and Neck Protocols.
https://medicine.uiowa.edu.

31
13. Carioli G, Negri E, Kawakita D, Garavello W, La Vecchia C, Malvezzi M. Global
trends in nasopharyngeal cancer mortality since 1970 and predictions for 2020: focus
on low-risk areas. Int J Cancer
14. de The G, Ito Y, Davis W (Eds.). Nasopharyngeal carcinoma: etiology and control.
Lyon: International Agency for Research on Cancer, 1978
15. Chan YH, Lo CM, Lau HY, Lam TH. Vertically transmitted nasopharyngeal infection
of the human papillomavirus: Does it play an aetiological role in nasopharyngeal
cancer? Oral Oncol, 2014: doi: 10.1016/j.oraloncology.2013.12.025
16. Zeng MS, Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Carcinoma.
dalam: Lu JJ, Cooper JS, Lee AWM (Eds.). Nasopharyngeal Cancer Multidisciplinary
Management. Springer, 2010: 9-25
17. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD (Eds.). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher, ed. 7. Jakarta: FKUI, 2012

32

Anda mungkin juga menyukai