Anda di halaman 1dari 40

REFERAT TUMOR NASOFARING

Disusun Oleh:
Cakra Karim Narendra
1102014060

Pembimbing:

dr. Erlina Julianti, Sp.THT-KL, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI
PERIODE 20 MARET – 29 APRIL 2023
DAFTAR ISI
BAB 1 ........................................................................................................................3
PENDAHULUAN.....................................................................................................3
BAB 2 ........................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................................4
2.1 Anatomi Faring ....................................................................................................4
2.2 Angiofibroma Nasofaring Juvenile ......................................................................9
2.2.1 Definisi ........................................................................................................9
2.2.2 Epidemiologi ...............................................................................................9
2.2.3 Etiologi ......................................................................................................10
2.2.4 Klasifikasi .................................................................................................11
2.2.5 Patofisiologi ..............................................................................................13
2.2.6 Manifestasi Klinis .....................................................................................14
2.2.7 Diagnosis...................................................................................................15
2.2.8 Diagnosis Banding ....................................................................................18
2.3 Karsinoma Nasofaring .......................................................................................19
2.3.1 Definisi Karsinoma Nasofaring.................................................................19
2.3.2 Epidemiologi Karsinoma Nasofaring ........................................................19
2.3.3 Etiologi Karsinoma Nasofaring.................................................................20
2.3.4 Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring .......................................................21
2.3.5 Patofisiologi Karsinoma Nasofaring .........................................................23
2.3.6 Gejala dan Tanda .......................................................................................24
2.3.7 Diagnosis Karsinoma Nasofaring..............................................................26
2.3.8 Diagnosis Banding Karsinoma Nasofaring ...............................................27
2.3.9 Stadium Karsinoma Nasofaring ................................................................29
2.3.10 Penatalaksanaan ......................................................................................31
2.3.11 Komplikasi Karsinoma Nasofaring .........................................................34
2.4 Prognosis Tumor Nasofaring .............................................................................35
2.5 Pencegahan Tumor Nasofaring ..........................................................................35
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................37

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Nasofaring adalah bagian dari faring dengan batas superiornya adalah dasar
tengkorak, batas anteriornya adalah koana. Pada dinding lateral nasofaring terdapat torus
tubarius dan fosa Rosenmuller, batas inferiornya setinggi permukaan superior palatum
mole, dan pada dinding posterior terdapat adenoid. Di rongga nasofaring ini dapat tumbuh
tumor ganas maupun jinak.
Tumor nasofaring adalah massa yang terdapat di nasofaring. Tumor nasofaring
dibagi menjadi tumor jinak dan tumor ganas. Berbagai jenis tumor jinak dapat ditemukan
di daerah nasofaring seperti angiofibroma nasofaring, polip koana, papiloma, hemangioma,
sedangkan tumor ganas daerah kepala leher yang banyak ditemukan adalah karsinoma
nasofaring.
Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan angiofibroma nasofaring
belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma) merupakan tumor jinak yang sering
ditemukan di nasofaring, kaya pembuluh darah serta memperoleh aliran darah dari arteri
faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Sering ditemukan pada anak lak-laki
prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7-21 tahun dengan
insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Tumor ini juga dapat ditemukan pada usia
kurang dari 10 tahun, usia lebih tua, wanita dan ibu hamil. Insiden pada usia dewasa sangat
jarang ditemukan. Diperkirakan hanya 0.05% dari semua tumor jinak yang ada di kepala
dan leher. Pradillo dkk melaporkan bahwa persentasi pasien dengan usia lebih dari 25 tahun
hanya 0.7% dari semua pasien angiofibroma nasofaring.
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang ditemukan didaerah kepala dan
leher yang merupakan salah satu tumor terbanyak yang ditemukan di Indonesia. hampir
60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh
tumor ganas hidug dan sinus paranasal sekitar 18%, tumor ganasa laring 16%, dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring menduduki presentase terendah. Sedangkan
berdasarkan patologi anatomi, tumor nasofaring menduduki posisi lima besar tumor ganas
manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor kelenjar getah bening
dan tumor kulit.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Faring


Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum
vertebra. Faring menghubungkan cavitas oris dan cavitas nasi di dalam regio capitis yang
menuju larynx dan esophagus di dalam regio cervicalis. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melaluikoana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui ismus orofaring,sedangkan dengan laring di bawah berhubungan
melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding
posterior faring pada orang dewasa + 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring
yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler,pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur
faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot. Cavitas pharyngis
merupakan jalur bersama untuk udara dan makanan.

Gambar 2.1 Anatomi Faring

4
Gambar 2.2. Anatomi Pembagian Faring
Sumber : Richard L Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Gray’sAnatomy:
Anatomy of the Human Body. Elsevier; 2014.

• Nasofaring

Nasofaring terletak di antara basis kranii dan palatum mole yang menghubungkan
kavum nasi dengan orofaring dengan ukuran diameter superior-inferior 4 cm, lateral
kanan ke kiri sekitar 4,5-5 cm, dan anterior-posterior 2,5-3,5 cm. Nasofaring dibatasi
oleh sinus sfenoid di bagian superior, palatum mole(orofaring) di bagian inferior, koana
di bagian anterior, muara tuba eustachius di bagian lateral dan dinding posterior
nasofaring yang terdiri dari atas klivus pada vertebra C1 dan C2. Menurut AJCC
(American Joint Committee on Cancer) batas lateral nasofaring terbagi menjadi dua
bagian, yaitu bagian anteriornya berbatasan dengan lempeng medial pterygoid,
sedangkan bagian posteriornya merupakan jaringan lunak berupa fasia faringobasilar
dan m. konstriktor faring superior yang memisahkan nasofaring dan paranasofaring.
Nasofaring berhubungan dengan tulang sfenoid, tulang oksipital, tulang etmoid, dan
tulang palatina. Tulang sfenoid merupakan tulang yang paling banyak berhubungan
dengan nasofaring. Beberapa foramen yang berada di daerah nasofaring merupakan rute
penting dari perluasan atau invasi lesi jinak maupun ganas. Di bagian anterior terdapat
foramen sphenopalatine yang dilalui oleh a. sphenopalatine yang sebagian besar
merupakan tempat asal angiofibaroma nasifaring juvenil, yang sering kali meluas ke
foramen dan memanjang hingga ke lateral fossa pterigopalatina. Dibagian tengah fossa

5
kranial, terdapat banyak jalan yang bisa menjadi jalur perluasan tumor ke daerah
intracranial (invasi ruang parafaringeal dan fossa infratemporal), seperti foramen
rotundum (n. maksilaris V2), foramen ovale (n. mandibularis V3), kanalis karotikus, dan
foramen lacerum, dan foramen jugulare yang terbuka langsung kedalam pertengahan
fossa cranial.
Permukaan mukosa nasofaring meliputi mukosa kubah, mukosa dinding lateral (fossa
Rosenmuller, dan mukosa torus tubarius), mukosa dinding posterior faring, dan mukosa
permukaan superior/ permukaan faringeal palatum mole. Mukosa nasofaring ini
berkaitan dengan jaringan limfoid yang dikenal sebagai tonsila nasofaring atau
adenoid. Bersama dengan tonsila palatina dan linguinalis, adenoid membentuk cincin
Waldeyer. Jaringan limfoid fossa Rosenmuller bahkan pada torus tubarius disebut
tonsila tubarius.2

Nasofaring ke depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana serta tepi
belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering
timbul. Pada dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba eustachius dengan tonjolan
tulang rawan dibagian superio-posterior yang disebut torus tubarius, sehingga
penyebaran tumor ke arah lateral akan menyebabkan sumbatan ostium tuba eustachius
sehingga mengganggu pendengaran. Ke arah postero- superior dari torus tubarius
terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring.

• Orofaring
Orofaring dilapisi dengan epitel bertanduk, orofaring disebut juga mesofaring
terbentang dari palatum mole hingga tepi atas epiglottis dan berlanjut kearah depan ke
dalam rongga mulut. Dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah
tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah
vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anteriordan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum. Epiglotis bergerak ke bawah saat menelan dan dengan
demikian menutup jalur ke laring dan salurannapas.3

• Laringofaring
Disebut juga hipofaring, batas laringofaring di sebelah superior adalah tepiatas epiglotis,
batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah

6
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialahvalekula. Bagian ini
merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadang-
kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis.
Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar,
meskipun kadang-kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa.
Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya.
Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.

Vaskularisasi Nasofaring
Sebagian besar pasokan darah ke nasofaring berasal dari sistem karotis eksterna (ECA).
Suplai darah paling besar nasofaring berasal dari a. faringeal asendens (cabang dari ECA
proksimal), a. palatina asendens, a. palatina desendens, dan cabang faringeal arteri
sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari a. karotis eksterna (ECA)
dan cabang-cabangnya yang memberikan suplai darah, bergerak naik pada dinding
faring, dan bersama cabang palatina melewati tepi superior konstriktor untuk menyuplai
palatum mole dan mukosa. Cabang- cabang kecil lain menyuplai darah ke tuba
eustachius. Cabang palatina asendens dari a. fasialis, a. palatina mayor dan a. maksilaris
interna cabang pterygoid juga berperan dalam suplai darah nasofaring. Arteri
sfenopalatina dan cabang- cabangnya menyuplai darah pada atap dan bagian koana
nasofaring.

Drainase vena nasofaring terdiri atas dua lapis pleksus venosus, yaitulapisan submucosa
dan pleksus faringeus eksternus yang berlanjut dari bagian inferior nasofaring ke
orofaring. Pleksus faringeus pada nasofaring berjalan secaralateral ke pleksus pterygoid
dan berakhir pada vena jugularis interna.

7
Gambar 2.4 Vaskularisasi Nasofaring
Sumber : Yusmawan, H. Antono, D. 2020. Anatomi Nasofaring on Karsinoma
Nasofaring. Jakarta: EGC.

Inervasi Nasofaring
• Faring
Faring menerima persarafan motoric melalui plexus pharyngeus dengan bagian
n. vagus dan n. glossopharyngeus. Namun, faring menerima persarafan sensorik
terutama mealui n. trigeminus, dan persarafan otonom melalui n. glossopharyngeusdan
n. vagus.

• Nasofaring
Jaringan saraf di sekitar nasofaring juga disebut pleksus pharyngeus, yang terdapat di
atas otot konstriktor faringeus media yang berlokasi pada fasia buccopharyngeal.
Pleksus ini memiliki komponen motoric, sensorik dan otonom.

Pleksus pharyngeus terdiri dari serabut sensoris saraf glossopharyngeus (IX), serabut
motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar
saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossopharyngeus, hanya daerah superior
nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang
faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1).

8
Suplai motoric didapat dari nucleus ambiguus, melalui nervus vagus cabang faringeal,
yang mempersarafi otot-otot pharyngeal kecuali m. stilopharyngeus (muskulus tersebut
dipersarafi oleh n.glosopharyngeus).2

2.2 Angiofibroma Nasofaring Juvenile


2.2.1 Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaringyang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti pada sinus paranasal,
fossa pterigomaksila, fossa infratemporal, pipi, orbita dan rongga intrakranial, serta
sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Perluasan keintrakranial 10-30 % kasus
dengan bagian yang sering dikenai adalah kelenjar hipofise, fossa cranii anterior dan
media. Secara histopatologis tumormengandung dua unsur, yaitu unsur jaringan ikat
fibrosa dan unsur pembuluh darah. Dinding pembuluh darah tidak mengandung jaringan
ikat elastis dan lapisan otot, sehingga mudah terjadi perdarahan hebat saat disentuh.
Tumor ini ditandai oleh obstruksi hidung yang dapat menjadi total, hyponasality, rasa
tidak enak sewaktu menelan, obstruksi tuba auditiva dan epistaksis masif.4,9,10,
Angiofibroma berasal dari dua kata, yaitu angioma dan fibroma. Angioma adalah
malformasi arteriovenosa kongenital yang diderita sejak lahir dan lambat laun
membesar. Sedangkan fibroma merupakan tumor yang terutama terdiri dari jaringan
fibrosa atau jaringan penyambung yang berkembang secara sempurna. Sehingga
angiofibroma dapat diartikan sebagai suatu lesi atau tumor yang ditandaioleh proliferasi
jaringan fibrosa dan vaskuler. ANJ juga dikenal dengan nasopharyngeal fibroma,
bleeding fibroma of adolescence, fibroangioma. Tumor ini dapat menekan jaringan otak
sekitarnya dan terjadi perdarahan intraserebral atauke dalam ruang subaraknoid..12,13
2.2.2 Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring terlihat hampir secara umum pada laki-laki remaja, terhitung
sekitar 0,05 hingga 0,5% dari tumor kepala dan leher, merupakanneoplasma nasofaring
jinak yang paling umum dan insiden yang dilaporkan berkisar antara 1 dalam 150.000
hingga 1 dalam 1.500.000. Ada juga laporan bahwaindividu dari India dan Timur Tengah
tampaknya memiliki insiden yang meningkat jika dibandingkan dengan orang-orang
keturunan Eropa. Rentang usia khas JNA adalah 9 sampai 25 tahun atau pada laki-laki

9
dekade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarangterjadi pada usia lebih dari 25 tahun, meskipun ada
laporan pada pria yang lebih tua,namun masih dianggap sebagai kejadian langka. Ada
juga laporan langka pada wanita. Dalam kasus ini, pengujian imunohistokimia dan
genetik lebih lanjutharus dilakukan mengingat kelangkaannya, karena mosaik genetik
dapat berfungsi sebagai faktor predisposisi potensial pada wanita.4,13,14

2.2.3 Etiologi
Penyebab Angiofibroma nasofaring belum diketahui secara jelas, namun diduga
berhubungan dengan hormon seks. Terdapat dua teori yaitu teori jaringan asal dan teori
ketidakseimbangan hormonal. Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma
nasofaring terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau
periosteum di daerah oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau
periosteum yang merupakan matriks dari angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan
gambaran lapisan sel epitelial yang mendasari ruang vaskular pada fasia basalis dan
dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan
bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap
4
rongga hidung.
Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal diduga karena adanya perubahan
aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yaitu kekurangan
hormon androgen dan atau kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya
hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta adanya
hambatan pertumbuhan pada semua penderitaangiofibroma nasofaring. Diduga tumor
berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak adanya kesamaan pertumbuhan
pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan terjadinya hipertropi di bawah
periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal. Pengamatan yang menunjukkan tumor
secara khas muncul pada remaja laki-laki, dan bahwa lesi sering regresi setelah
perkembangan lengkap karakteristikseks sekunder.11

Beberapa literatur mengatakan kemungkinan tumor tumbuh dibawah pengaruh sirkulasi


dan fluktuasi hormon seksual selama masa pubertas. Akumulasiβ-catenin, koaktifator
dari androgen reseptor pada nukleus, menjelaskan tumor ini banyak pada pasien dewasa
muda. Disamping itu adanya dietilstilbestrol yang menurunkan potensial pertumbuhan

10
dari sel endotelial dan meningkatkan stimulasidari jaringan fibrosa.13
Saylam dkk pada penelitiannya terhadap estrogen reseptor (ER), progesteron reseptor
(PR), proliferating cell nuclear antigen (PCNA), vascular endotelial growth factor
(VEGF) dan transforming growth factor β (TGF-β) dengan pemeriksaan
imunohistokimia. Didapatkan hasil bahwa estrogen dan progesteron tidak memainkan
peranan penting dalam terjadinya angiogenesis pada ANB. PCNA, VEGF, dan TGF-β
dicurigai meningkatkan proses proliferasi dan angiogenesis.
Lenny dkk pada penelitiannya terhadap gambaran ekspresi reseptor estrogen-β pada
ANB di RSCM, didapatkan pada pemeriksaan histokimia menunjukkan ekspresi ER-β
pada semua kasus. Schuon dkk menganalisa beberapafaktor angiogenesis dan reseptor
yang berperan terhadap pertumbuhan tumor.
Antara lain transforming growth factor β (TGF-β), basic fibroblast growth factor
(bFGF), vascular endothelial growth factor reseptor (VEGF-R 1-2) serta hypoxia
inducible factor (HIF-1α) didapatkan pertumbuhan serta vaskularisasi pada
angiofibroma nasofaring belia dipengaruhi dilepaskannya fibroblas pada stroma. Tumor
ini hampir ditemukan pada remaja laki-laki. Analisis genetik mengindikasikan hilangnya
gen AR pada kromosom Y sebagian atau lengkap dan didapatkannya gen AR pada
kromosom X. Kelainan kromosomal yang paling sering terdeteksi adalah gen AR pada
kromosom 4, 6, 8, dan X serta hilangnya gen
AR pada kromosom 17, 22, dan Y.

2.2.4 Klasifikasi

Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umunya saat ini menggunakan
klasifikasi Session dan Fisch.4

Klasifikasi menurut Session sebagai berikut:

Stadium I A Tumor terbatas di nares posterior dan/atau nasofaring


Stadium I B Tumor meliputi nares posterior dan/atau nasofaring dengan
perluasan sedikitnya 1 sinus paranasal
Stadium lI A Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksilla
Stadium II B Tumor memenuhi fossa pterigomaksilla dengan/tanpa
mengerosi tulang orbita

11
Stadium III A Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas minimal ke
intrakranial
Stadium III B Tumor telah meluas ke intrakranial dengan/tanpa meluas ke sinus
kavernosus

Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:

Stadium I Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa


destruksi tulang
Stadium II Tumor menginvasi fossa pterigomaksilla, sinus paranasal
dengan destruksi tulang
Stadium lII Tumor menginvasi fossa intratemporal, orbita dengan atau
regio paraselar
Stadium IV Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma opticum
dan/atau fossa pituitary

Sumber : Dewi, NM. 2018. Tatalaksana Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.


CDK Journal. 45(3): 202-205.

12
2.2.5 Patofisiologi
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang pertama kali tumbuh di bawahmukosa
tepi sebelah posterior dan lateral koana di atas nasofaring, dekat dengan margin utama
foramen sphenopalatina. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah mukosa,
sepanjang tepi atas nasofaring mencapai tepi posterior septum danmeluas ke arah bawah
membentuk tonjolan massa di atas rongga hidung posterior.Perluasan ke arah anterior
diawali dari bagian bawah selaput lendir nasofaring, selanjutnya ke anterior dan inferior
postnasal. Akhirnya, rongga hidung akan terisi pada satu sisi, dan septum akan
menyimpang ke sisi lain. Pertumbuhan superior melalui sinus sphenoid, yang mungkin
juga akan terkikis. Sinus cavernosus dapat diserang jika terjadi penyebaran yang lebih
4,12
lanjut.

Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina, masuk ke
fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas
terus akan masuk ke fossa intratemporal lalu menyusuri rahang atas bagian belakang
masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan buccinator yang akan menimbulkan
benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor telah meluas hingga fisura
orbitalis, maka tumor akan mendorong salah satu atau kedua bola mata sehingga
mengakibatkan terjadinya proptosis (tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut
“muka kodok”) dan atrofi
12
N.optikus.
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan pterigomaksila
masuk ke fossa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa serebri anterior atau dari
sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise. Penyumbatan tumor pada ostium
tuba eustachius dapat menimbulkan otitis media. Bila tumor meluas ke rongga hidung
dapat menimbulkan penyumbatan pada ostiumsinus sehingga terjadi sinusitis. Perluasan
tumor ke arah orofaring dapat menekan palatum molle sehingga menimbulkan disfagia
yang lambat laun juga akan menyebabkan sumbatan jalan napas.
Angiofibroma nasofaring secara khas menunjukkan angiogenesis dan proliferasi
vaskular yang terletak di dalam rongga hidung posterior, foramen sphenopalatina, dan
nasofaring. Diakibatkan pengaruh hormonal, kelainan kromosom, dan ekspresi
13
berlebihan dari reseptor faktor pertumbuhan vaskular, tetapi mekanisme pastinya masih
belum diketahui. Luasnya vaskularisasi tumor ini, suplai arteri yang berdekatan dan
pertumbuhan agresif dapat menyebabkan erosi tulang dan perluasan ke orbita, dasar
tengkorak, fossa kranial frontal dan tengah.13

2.2.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat bervariasi
tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan penyakit gejala yang
paling sering ditemukan (> 80%) adalah hidung tersumbat yang progresif dilanjutkan
dengan adanya epistaksis masif yang berulang. Adanyaobstruksi hidung memudahkan
terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti oleh
gangguan penciuman. Oklusi pada tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau
otalgia (otitis media). Penderita yang lanjut datangdengan keadaan umum yang lemah,
anemia, gangguan menelan, cephalgia hebat yang menunjukkan bahwa tumor sudah
meluas ke intrakranial, dan gangguan pernapasan karena tersumbatnya hidung dan
nasofaring. Tumor juga dapat mengakibatkan deformitas wajah bila mendesak bola mata,
menyebabkan proptosis sehingga wajah penderita angiofibroma nasofaring tampak
seperti kodok, ini dikenal dengan “wajah kodok” jelas terlihat, tulang maksila
merenggang dantampak eksopthalmus yang menonjol.4,15
Secara umum gejala-gejala yang tampak antara lain:
1) Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala
yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi
hidung oleh tumor memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga
timbul rinorea kronis.
2) Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged nasal
discharge). Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang
(recurrent).
3) Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Cephalgia
hebat biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke
intrakranial.
4) Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5) Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba eustachius.
6) Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju

14
kerongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7) Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibat penimbunan
sekret saat rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius pada sepertiga atas
septum nasi.
8) Recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain)
9) Nyeri telinga (otalgia)
10) Pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate),
11) Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke
lateral.

2.2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor setelahtindakan operasi.
Biopsi merupakan kontraindikasi sebab dapat mengakibatkan perdarahan yang massif.
Biopsi sebaiknya tidak dilakukan, atau dapat dilakukan di atas meja operasi dengan
persiapan untuk operasi pengangkatan tumor.
• Anamnesis
Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis masif yangberulang,
rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada wajah. Selain itu perlu ditanyakan
tanda-tanda umum dari tumor seperti adanya penurunan berat badan dan kelelahan.
Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.

• Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor warnanya
bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, dengan konsistensi kenyal dan permukaan
licin. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir
berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluaske luar nasofaring berwarna putih
atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, sedangkan pada penderita yang
lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya
mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.

• Pemeriksaan Penunjang
15
1. Foto Polos
Pada pemeriksaan (foto kepala potongan antero-posterior, lateral dan posisi Waters)
akan terlihat gambaran klasik “Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus
ke belakang sehingga fisurapterigopalatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa
jaringan lunak didaerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma
dan tulang di sekitar nasofaring.

Foto polos sinus paranasal 3 posisi menggambarkan adanya massa jaringan lunak pada
daerah hidung dan nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan
tulang di sekitar nasofaring, akan tetapi kurang menunjukkan gambaran yang khas untuk
angiofibroma nasofaring.

Foto polos lateral menunjukkan adanya massa besar di nasofaring yang menggeser
diding antral posterior ke anterior (tanda panah). Massa tersebutjuga meluas ke sinus
sphenoid.

2. CT Scan
Pemeriksaan CT scan didasarkan menurut letak lesi pada fossa pterigopalatina.
Pemeriksaan ini memberikan gambaran adanya massa di daerah posterior rongga hidung
dan fossa pterigopalatina serta adanya erosi tulang di belakang foramen spenopalatina.
Pada CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta
destruksi tulang ke jaringan sekitarnya.

16
CT scan non kontras angiofibroma nasofaring belia.

A. CT-Scan axial non kontras : Massa jaringan lunak homogen yang membesar di
apertura nasal kanan. Tumor terproyeksi secara posterior ke nasofaring dan
orofaring.

C. CT-Scan koronal non kontras : Opasifikasi dan perluasan massa jaringan lunak di
apertura nasal kanan. Tumor meluas ke dalam celah infraorbital kanan (tanda
panah). Mendestruksi dasar tulang, terlihat di sinus sphenoid.

CT-Scan axial dengan kontras : Massa di nasofaring kiri dan fossa nasal yang telah
meluas ke antrum kiri, melebar ke fossa pterigopalatina kiri, dan meluas ke fossa
infratemporal kiri (tanda panah).

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI dapat digunakan terutama pada kasus-kasus yang telah menginfiltrasi ke
intrakranial. Pemeriksaan ini memberikan resolusi yang lebih baik untuk jaringan lunak
karena mampu membedakan suatu massa tumor dengan struktur penting di sekitarnya
17
(orbita, duramater, arteri karotis interna, dan sinus kavernosus). Bermanfaat untuk
mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari lesi JNA sehingga bisa menguatkan
bahwamassa tersebut adalah JNA bukan keganasan yang lain.
MRI diindikasikan untuk menggambarkan dan menentukan luasnya tumor, terutama
dalam kasus keterlibatan intrakranial. MRI dapat menggambarkan tingkat kelainan
jaringan lunak lebih baik dibandingkan CT scan dan sangat membantu dalam
mendeteksi kekambuhan setelah operasi. Kekambuhan diperkirakan terjadi karena
reseksi lengkap dari tumor dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Karena
kekambuhan mungkin terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah reseksi, dianjurkan
tindak lanjut awal dengan menggunakan MRI yang ditingkatkan dengan kontras dengan
pemeriksaan serial yang diindikasikan pada pasien dengan kelainan radiologis sisa tetapi

tidak ada gejala atau massa klinis jelas.

4. Angiografi
Pemeriksaan angiografi (arteriografi) bertujuan melihat pembuluh darah pemasok
utama (feeding vessel) untuk tumor serta mengevaluasi besardan perluasan tumor. Pada
pemeriksaan arteriografi a. karotis interna, akan terlihat vaskularisasi tumor yang
biasanya berasal dari cabang a. maksilarisinterna homolateral. Arteri maksilaris interna
terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan
dari nasofaringke arah fosa pterigomaksila.
Seiring dengan pembesaran tumor, tumor akan mendapatkan suplai darah dari arteri
bilateral yang berdekatan. Oleh karena itu, arteriografi bilateral arteri karotis interna dan
externa diindikasikan pada kebanyakan pasien. Kadang dapat dilakukan embolisasi agar
terjadi trombosis intravascular sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah
pengangkatan tumor. Embolisasi pre-operatif bukan saja memfasilitasi operasi
pengangkatan tumor, tapi mengurangi tejadinya komplikasiperdarahan massif. Seringkali
angiografi dan embolisasi dilakukan bersamaan kurang dari 24 jam sebelum operasi
karena pada angiofibroma nasofaring dapat terjadi revaskularisasi.
2.2.8 Diagnosis Banding
Berbagai jenis tumor jinak lain dapat juga ditemukan di daerah nasofaring seperti
18
papiloma, neurofibroma. Polip di nasofaring bukanlah neoplasma, berasal dari rongga
hidung atau sinus maksila yang ke luar melalui ostium sinus maksila dan menggantung
di nasofaring, yaitu di koana, sehingga disebut juga polipkoana.
1. Polip Koana
Polip koana adalah polip yang keluar dari nares posterior dan tumbuh membesar di
nasofaring. Polip biasanya unilateral dan tunggal. Seringkali polip ini bertangkai dan
kebanyakan berasal dari sinus maksilaris yang mempunyai ostium asesoria di fontanel
posterior sehinggal disebut polip antrokoanal. Gejala berupa hidung tersumbat satu sisi,
awalnya ringan dan semakin lama semakin berat disertai gejala rhinosinusitis kronis.
Pada pemeriksaan rongga hidung mungkin terlihat adanya massa polip atau hanya
tangkai polip yang berasal dari dinding lateral hidung menuju ke posterior. Pada
pemeriksaan kaca nasofaring, terlihat massa polip di ruang nasofaring. Polip dapat
sangat membesar sampai terlihat di orofaring saat lidahditekan dengan spatula.5

2. Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan epitel mukosa
nasofaring, dan merupakan tumor paling umum yangmengenai nasofaring. Karsinoma
nasofaring biasanya muncul dari fossa Rosenmuller dan dikenal sebagai neoplasma
agresif lokal dengan tingginyakejadian metastase ke limfonodi leher.
Tumor primer di dalam nasofaring dapat meluas ke palatum, ronggahidung, orofaring dan
basis kranii. Gejala klinis yang paling sering dirasakan adalah adanya benjolan di leher.
Keluhan lain dapat berupaepistaksis, hidung tersumbat, otitis media, telinga berdenging
dan tuli.Karsinoma nasofaring merupakan keganasan dengan karakteristik variasi distribusi
geografis dan etnis, terutama di Asia Tenggara. Gambaran radiologi karsinoma nasofaring
adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal space,
destruksi tulang dan penebalan preoccipital space.

2.3 Karsinoma Nasofaring


2.3.1 Definisi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring adalah karsinoma yang muncul pada daerah


nasofaring yang merupakan area diatas tenggork dan dibelakang hidung, yang
menunjukan adanya diferensiasi skuamosa secara mikroskopik.3
2.3.2 Epidemiologi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring banyak ditemui di daerah Cina bagian selatan yaitu

19
dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guangdong dengan prevalensi
39.84/100.000 penduduk. Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya
kanker nasofaring, sehingga angka yang cukup tinggi terjadinya karsinoma
nasofaring yaitu pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesi

Selain itu ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunanai, Afrika bagian
utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Tanah Hijau
yang diduga disebabkankarena memakan makanan yang diawetkan pada saat
musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin.1
Di Indonesia sendiri frekuensi terjadinya karsinoma nasofaring hampir
merata disetiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangukusumo Jakarta ditemukan 100
kasus perthaun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus pertahun, Ujung
Pandang sebanyak 25 kasus pertahun, Palembang sebanyak 25 kasus pertahun dan
15 kasus di Padang dan Bukit Tinggi.

2.3.3 Etiologi Karsinoma Nasofaring


Penyebab karsinoma nasofarinf secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu
genetik, lingkungan dan virus Epstein Barr.1,2
Genetik
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak
terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya
kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa HLA (Human Leucocyte Antigen) berperan penting dalam kejadian
karsinoma nasofaring. Teori tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik
mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak
ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa.1,2
Virus Epstein Barr
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring dikaitkan dengan virus Epstein
Barr. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasikan sebagai anggota famili
virus Herpes yang juga merupakan agen penyebab beberapa penyakit yaitu,
mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker

20
nasofaring. Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya
tetapi juga dapat menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi
penyakit. Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa
menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan

virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain
tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.1,2
Lingkungan
Ikan yang diasinkan dianggap sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya
kanker nasofaring. Teori ini didasarkan dari insiden kanker nasofaring yang tinggi
pada nelayan tradisional di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton yang
diasinkan dalam jumlah yang banyak dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur,
dan buah segar. Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker
nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa,
serbuk kayu industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara
zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat dijelaskan. Kebiasaan
merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko yang tinggi
menderita kanker nasofaring.1,2

2.3.4 Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring


Salah satu faktor resiko terjadinya karsinoma nasofaring adalah letak
geografis. Seperti yang sudah disebutkan diatas angka terjadinya kejadian
karsinoma nasofaring banyak di daerah Cina bagian selatan dan ras mongoloid lain
seperti Indonesia. Selain itu, tumor ini lebih sering mengenai laki-laki dan haisanya
usia 30-50 tahun meskipun belum ada penjelasan yang pasti. Faktor lingkungan
yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap dari kayu, kebiasaan makan-
makanan dengan bumbu tertentu, kebiasaan makan makanan terlalu panas
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya karsinoma nasofaring.1,3
Telah banyak ditemukan kasus herediter dari pasien karsinoma nasofaring
dengan keganasan pada organ tubuh lain. Pengaruh genetik ini terhadap kejadian
karsinoma nasofaring masih dalam pembuktian. Sebagian besar pasien dengan
karsinoma nasofaring adalah pasien digolongan sosial ekonomi rendah yang

21
berkaitan dengan faktor lingkungan dan kebiasaan hidup pasien.1

22
2.3.5 Patofisiologi Karsinoma Nasofaring
Karsinogenesis bermula dari kerusakan genetik yang disebabkan oleh agen
yang terdapat dilingkungan seperti zat kimia, radiasi dan virus. Sebuah tumor
berasal dati satu sel prekusor yang rusak. Dimaan gen yang menjadi target
kerusakan adalah empat kelas gen regulator yang normal yaitu protoonkogen yang
mempromosikan pertumbuhan, gen supresor tumor yang menginhibisi
pertumbuhan, gen pengatur apoptosis dan gen yang terlibat dalam reparasi DNA.
Sel normal mula-mula terpajan agen yang dapat merusak DNA. Apabila reparasi
DNA gagal terjadi karena dirusak, sehingga sel akan mengalami pertumbuhan yang
tidak terkontrol sehingga terjadi progresi tumor yang dapat berujung pada
neoplasma yang malignan (lihat gambar 5).8

Gambar 5. Patogenesis Karsinoma.8

Keterangan: pada sel yang terjadi proses karsinoma akan terjadi ekspansi dan mengalami
metastasis sehingga terjadi proses invasi ke membran.

Pada kanker nasofaring sering dikaitkan dengan virus Epstein Barr (EBV)
meskipun mekanisme dan hubungan patofisiologis belum jelas. Pada karsinoma
nasofaring mula-mula dibutuhkan infeksi laten dari EBV, yang sebenarnya juga
dipengaruhi oleh perubahan secara genetik dari epitel nasofaring. Setelah itu,
infeksi latenterjadi dan menghasiljan produk-produk tertentu yang memicu
terjadinya ekspansi dan transformasi dari sel epitel premalignan menjadi sel kanker.

23
Selain itu faktor genetik seperti mengkonsumsi makanan mengandung zat
karsinogenik juga dapat memicu terjadinya karsinoma nasofaring.8

Virus EBV akan menginfeksi sel kanker secara laten dan memasuki fase
produktif. Sel kanker ini akan mengekspresikan tiga protein yang dikode oleh EBV,
RNA kecil dan mRNA. Protein-protein yang diekspresikan itu adalah EBNA1,
LMP1, LMP2. LMP1 merupakan onkogen primer yang dapat meniru fungsi salah
satu reseptor TNF, yaitu CD40. Sehingga LMP1 dapat membuat jalur persinyalan
yang merangsang perubahan fenotip dan morfologi dari sel. LMP1 juga berperan
dalam proses metastasis (lihat gambar 6).8

Gambar 6. Patogenesis Karsinoma Nasofaring.8

Keterangan: protein-protein lainnya serta RNA virus juga memiliki peran karisnogenesis pada
karsinoma nasofaring, seperti LMP2 yang mempertahankan latensi virus.

2.3.6 Gejala dan Tanda


Gejala karsinoma nasofaring dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf dan gejala metastasis atau benjolan
dileher.1
Gejala nasofaring
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung,
sehingga pemeriksan nasofaring harus dilakukan dengan benar, jika perlu dapat
digunakan nasofaringoskop, karena seringkali gejala belum ada sedangkan tumor
sudah tumbuh atay tidak tampak karena masih dibawah mukosa (creeping tumor)

24
Gejala telinga
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat
asal tumor berasa dekat dengan muara tuba esutachius yaitu fossa rosen-muller.
Gangguan pada telinga dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman ditelinga, sampai
terasa nyeri ditelinga (otalgia). Banyak pasien yang datang dengan keluhan
gangguan pendengaran tanpa disadari adanya karsinoma nasofaring.1,3

Gejala mata dan saraf


Nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorang melalu beberapa
lobang, sehingga gangguan beberapa saraf otak merupakan gejala lanjut dari
karsinoma ini. Terdpaat penjalaran melali foramen laserum akan mengenai saraf
otak ke III, IV, VI dan dapat mengenai saraf ke V. Sehingga, pasien terkadang
datang ke RS dengan keluhan diplopia. Selain itu, neuralgia terigeminal juga
merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf.1

Gejala metastasis atau benjolan di leher


Proses karsinoma akan berlanjut mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII
jika penjalaran melalui foramen jugulare, yang merupakan tempat yang jauh dari
naso faring. Gangguan ini disebut sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh
saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat juga disertai dietruksi tulang tengkorak,
jika sudah terjadi hal ini prognosis akan buruk.1,3
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring / LHN
yaitu 3 bentuk yang mencurigakan di nasofaring, seperti pembesaran adenoid pada
orang dewasa, pembesaran nodul dan mukosistis berat pada daerah nasofaring. Jika
kelainan ini terjadi bertahun-tahun akan terjadi karsinoma nasofaring.1

25
2.3.7 Diagnosis Karsinoma Nasofaring
Diagnosa karsinoma nasofaring dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjan. Dari anamnesis, biasa pasien
mengeluhkan gejala telinga terasa penuh, tinitus, otalgia, hidung tersumbat, lendir
bercampur darah. Pada stadium lanut dapat ditemukan benjolan pada leher, terjadi
gangguan saraf, diplopia dan neuralgia tirgeminal (saraf III, V, VI).3
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan status
generalis dan status lokalis. Pemeriksaan nasofaring yang dapat dilakukan berupa
pemeriksaan rinoskopi anterior, pemeriksaan nasofaringoskopi dan laringoskopi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dengan Narrow Band Imaging (NBI) juga dapat
dilakukan untuk skrining dengan melihat mukosa.3
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan CT-Scan
kepala dan leher, digunakan untuk melihat tumor primer yang tersembunyi.
Pemeriksaan serologi IgA EA/ IgA VCA digunakan sebagai tumor marker diambil
dari darah tepi. Namun, pemeriksaan ini tidak berperan dalam penegakkan
diagnosis, hanya dilakukan untuk skrining dan evaluasi pengobatan.1,3
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menggunakan biopsi nasofaring. Biopsi
dapat dilakukan dnegan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui
hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi di
masukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring
kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.1
Biopsi mulut dilakukan dnegan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dimulut ditarik keluar dan diklem
bersama-sama dengan ujung kateter yang ada dihidung demikian juga dengan
hidung sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca
laring dilihat daerah nasofaring, biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui
kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut,
maka masa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring biasa dilakukan
denan analgesia topikal yaitu xylocain 10%.1
Pelaporan histopatologi menurut WHO bahwa hanya ada 3 bentuk
karsinoma pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi),
karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma yang tidak berdiferensiasi.

26
Gambar Histopatologik Karsinoma Nasofaring.9

Keterangan: pada gambar ini terlihat sebagai sel anaplastik yang merupakan salah satu bentuks el
karsinoma yang tidak berdiferensiasi.

Alogaritma penegakkan diagnosis karsinoma nasofaring berdasarkan


Kemenkes adalah sebagai berikut (lihat gambar 8):3

Alogaritma Diagnosis KNF bedasarkan Kemenkes.3

2.3.8 Diagnosis Banding Karsinoma Nasofaring


Limfoma Maligna
Limfoma maligna adalah penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid
yang bersifat padat/ solid meskipun kadang-kadang dapat menyebar secara

27
sistemik.Tanda dan gejala umum dari LH dapat berupa pembengkakan limfonoid
yang sering kali dirasakan tidak nyeri, demam, berkeringat di malam hari,
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan dan merasa kekurangan energi.
Tanda dan gejala tersebut bisa dikatakan tidak khas karena sering kali juga
ditemukan pada penyakit lain. Secara garis besar, limfoma maligna dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu: limfoma Hodgkin (LH) dan limfoma non-Hodgkin (LNH).
LH merupakan penyakit keganasan yang mengenai sel-B limfosit dan khasditandai
oleh adanya sel Reed Sternberg dengan terdapat sel radang pleomorf seperti
limfosit, eosinofil, neutrophil, sel plasma dan histiosit (lihat gambar 9).10

Gambar Sel Reed Sternberg.10


keterangan: sel reed sternberg adalahsel yang sangat besar dengan ukuran diameter sekitar 15
sampaidengan 45 mikrometer, berinti besar multilobuler dengan banyak anak inti yang menonjol
dan sitoplasma yang sedikit eusinofilik.10

Limfadenitis Tuberkulosa
Limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe
atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis. Apabila peradangan
terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula. Limfadenitis adalah
presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat
merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan
keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Limfadenitis TB paling
sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti berdasarkan
frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus,
perihepatik dan kelenjar inguinalis. Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi
secara unilateral atau bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini
biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai

28
bulan. Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik
yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Diagnosis
tuberkulosis ekstraparu menggunakan pemeriksaan BTA dengan Ziehl Neelsen
langsung pada jaringan dna dapat dilakukan pemeriksaan histopatologik.11

2.3.9 Stadium Karsinoma Nasofaring


Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM menurut
UICC (Union of International Cancer Control) tahun 2002 (lihat tabel 1):

Tabel Tumor Primer Nasofaring bedasarkan UICC 2002.1,3

T= Tumor primer

T0 Tidak tampak tumor.

T1 s Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas dinasofaring.

T2 Tumor meluas ke jaringan lunak


T2a: perluasan tumor ke orofaring dan/rongga hidung
tanpaperluasan ke parafaring.*
T2b: disertai perluasan ke parafaring.

T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/ sinus paranasal.

T4 Tumor dengan perluasam intrakranial dan/ terdapat


keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring,
orbita atau ruang mastikator.

Catatan: perluasan parafaring menunjukkan tumor kearah poste-rolateral melebihi batas faringo-
basilar.1

29
Tabel Pembagian Pembesaran Getah Bening berdasarkan UICC 2002.1

N= Pembesaran kelenjar getah bening

NX Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada pembesaran

N1 Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dnegan ukuran


terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa
supraklavikula

N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran


terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa
supraklavikula

N3 Metastasis kelenjar geha bening bilateral dengan ukuran


lebihbesar dari 6 cm, atau terletak didalam fossa supraklavikula
N3a: ukuran lebih dari 6 cm
N3b: didalam fossa supraklavikula

Catatan: kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral.1

Tabel Pembagian Metastasis berdasarkan UICC 2002.1

M= Metastasis Jauh

Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 Tidak ada metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh

30
Tabel 4. Pembagian Stadium Karsinoma Nasofaring berdasarkan UICC 2002.1

Stadium 0 T1s N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium IIA T2a N0 M0

Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0,N1 M0

Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0

Stadium IVa T4 N0,N1,N2 M0

Stadium IVb Semua T N3 MO

Stadium IVc Semua T Semua N M1

2.3.10 Penatalaksanaan
Alogaritma penatalaksanaan menurut Kemenkes adalah sebagai berikut
(lihat gambar 10):

Alogaritma Penatalaksanaan menurut Kemenkes.3

31
Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada peggunaan
megavolte dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan yang dapat
diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus. Dimana semua pengobatan ini masih
dalam tahap pengembangan, kecuali kemoterapi yang merupakan terapi ajuvan
terbaik. Berbagai macam kombinasi dikembangkan, namun sampai saat ini yang
terbaik adalah kombinasi Cis-platinum sebagai inti.1,3
Pemberian Cis-platinum sebagai ajuvan kemoterapi, bleomycin dan 5-
fluorouracil masih dalam tahap pengembangan. Pemberian kombinasi kemo-
radioterapi dengan mitomycin C dan 5 fluorouracil oral setiap hari sebelum
diberikan radiasi yang bersifat radiosentizer memberikan hasil harapan akan
kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring. Pengobatan pembedahan dengan
diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolandileher yang tidak hilang dengan
penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan
syarat tumor induknya sudah hilang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan
serologik serta tidak ditemukan adanya metastasis jauh.operasi tumor induk sisa
(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi berat
setelah operasi.1,3

Perawatan Paliatif
Perhatian diutamakan pada pasien yang menjalani perawatan paliatif.
Dimana pasien jika mengalami mulut terasa kering yang disebabkan oleh kerusakan
kelenjar liur mayor maupun minor ketika penyinaran, terapi yang dapat diberikan
adalah menasehati pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman
kemanapun pergi dan mencoba mengunyah bahan yang rasa asam sehingga
merangsang keluarnya liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut akibat
jamur, rasa kaku didaerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit
kepala, kehilangan nutrisi dan terkadang mual sampai dengan muntah.1
Kesulitan yang mungkin timbul ketika pasien pasca pengobatan lengkap
namun tumor tetap ada (residu) atau kambuh lagi (residif), dan dapat pula timbul

32
metastasis jauh. Dimana pada keadaan-keadaan tersebut tidak banyak yang dapat
dilakukan kecuali pemebriaan obat simptomatis untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Perawatan paliatif diindikasikan langsung untuk mengurangi rasa nyeri,
mengontrol terhadap gejala dan memperpanjang usia. Radiase sangat efektif untuk
mengurangi nyeri akibat metastasis tulang. Pasien biasanya meninggal akibat
keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat
dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metatasis tumor.1
Pedoman modalitas terapi pada karsinoma nasofaring adalah sebagai
berikut (lihat tabel 5):3
Tabel Pedoman Modalitas Terapi pada Karsinoma Nasofaring.3

Pedoman Modalitas Terapi pada KNF

Stadium dini Stadium I (T1N0M0) Radiasi saja

Stadium intermediet Stadium II (T1- Kemoradiasi konkuren


2,N1-2,M0)

Stadium lokal lanjut Stadium III, IVA, IV Kemoradiasi kokuren +/-


B(T3-4,N0-3, M0) ,kemoterapi adjuvan

Perencaaan terapi Stadium IVA, IVB Kemoraterapi


radiasi problematik (T4atau N3) induksi,diikuti
(tumor yang dengan kemoradiasi
berbatasandengan konkuren
organ at risk, seperti:
kiasma optikum)

Dukungan Nutrisi
Pasien karsinoma nasofaring sering mengalami malnutrisi dimana
diakibatkan efek samping terapi seperti mukositis, mual, muntah dll. Sedangkan
pada anak efek samping karsinoma nasofaring sendiri adalah kehilangan nafsu
makan, perubahan indra peraa, penurunan sistem kekebalan, mual, muntah dan
diare. Dengan berbagai efek samping diatas, perlu dilakukan tatalaksana nutrisi
umum yang terdiri atas pemberian nutrisi optimal dan pemberian farmakoterapi.
Terapi pemeberian nutrisi optimal sebagai berikut:

33
1. Penyintas Kanker sebaiknya memiliki BB ideal dan menerapkan pola
makan yang sehat, tinggi buah, sayur dan biji-biian, serat rendah lemak,
daging merah dan alkohol.
2. Direkomendasikan untuk memepertahankan atau meningkatkan aktivitas
fisik pada pasien kanker selama dan setelah pengobatan untuk membantu
pembentukan massa otot, fungsi fisik dan metabolisme tubuh.
3. Direkomendasikan bagi para penyintas kanker untuk terus melakukan
aktivitas fisik sesuai kemampuan secara teratur dan menghindari sedentari.

Follow Up
Karsinoma nasofaring memiliki risiko rekurensi sehingga follow-up jangka
panjang diperlukan. Kekambuhan sering terjadi pada waktu kurang dari 5 tahun, 5-
15% seringkali tejadi kekambuhan antara 5-10 tahun. Sehingga pasien karsinoma
nasofaring perlu di follow-up setidaknya 10 tahun setelah terapi.1,3

Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi dan pemeriksaan fisik, yaitu:3


Tahun pertama: setiap 1-3 bulan
Tahun kedua: setiap 2-6 bulan
Tahun ketiga-kelima: setiap 4-8 bulan
> lima tahun: setiap 12 bulan
Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca terapi,
yaitu MRI dengan kontras dan bone scan (untuk melihat respon terapi terhadap lesi
metastasis pada tulang).3

2.3.11 Komplikasi Karsinoma Nasofaring


Komplikasi karsinoma nasofaring salah satunya yaitu mengenai saraf
kranial. Jika terjadi keterlibatan dari sinus kavernosus, maka akan terjadi lesi nervus
kranialis III, IV,V atau VI. Jika penyebaran ke arah posterior di selubung karotid
maka dapat menyebabkan lesi pada nervus IX, X, XI. Komplikasi ini terjadi akibat
massa tumor keluar lewat celah tempat keluar saraf kranial perifer atau lewat celah
lain di basis cranii. Selain itu, tumor dapat merusak struktur tulang hingga

34
menembus organ-organ intrakranial atau orbita. Karsinoma nasofaring yang
bersifat agresif akan menyebabkan invasi lokal, intrakranial dan metastasis ke otak,
bahkan bisa sampai ke tulang belakang. Penekanan massa dari karsinoma
nasofaring dan metastasis ke kelenjar getah bening dapat menimbulkan nyeri
radikular. Karsinoma nasofaring juga dapat memicu hiperkoagulasi yang dapat
menyebabkan stroke-like syndrome yang berupa defisit neurologis yang
mendadak.12

2.4 Prognosis Tumor Nasofaring


Prognosis Angiofibroma nasofaring berentitas jinak, dan belum menyebar
sampai ke intrakranial dalam hal itu menandakan prognosis yang baik. Sebanyak
33% penyakit lanjut (Radkowski stadium III) tidak dapat direseksi, dan pada
mereka yang menjalani reseksi, kekambuhan dapat terjadi 30-38% sehingga
menyebabkan pertumbuhan dan invasi tumor residual atau berulang. Beberapa yang
memiliki penyakit residual atau rekuren juga menjalani radioterapi ajuvan, dengan
kemungkinan keganasan sekunder yang diinduksi radiasi, seperti sel basal dan
karsinoma sel skuamosa di dalam port radiasi. Transformasi keganasan jarang
terjadi dari JNA, tetapi laporan transformasi sarkoma mengarah ke prognosis yang
lebih buruk.

Prognosis karsinoma nasofaring berbeda antara satu kelompok dengan


kelompok lain. Sampai saat ini masih dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor
yang memepengaruhi prognosis karsinoma nasofaring. Sebagain besar dipengaruhi
oleh genetik. Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai
kesintasan 5 tahun. Menurut AJCC (American Joint Committee on Cancer) tahun
2010, kesintasan relatif 5 tahun pada pasien karsinoma nasofaring stadium I-IV
secara berurutan sebesar 72%, 64%, 62% dan 38%.3

2.5 Pencegahan Tumor Nasofaring


Pencegahan yang dapat diberikan adalah pemberian vaksin pada penduduk
yang bertempat tinggal yang memiliki risiko tinggi seperti Cina daerah selatan.
Memindahkan penduduk dari daerah yang berisiko tinggi ke tempat lainnya.
Perbaikan gaya hidup, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah adanya
bahan-bahan karsinogenik pada makanan, penyuluhan mengenai lingkungan hidup
yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang
berkaitan dengan faktor-faktor yang dapat menimbulkan karsinoma nasofaring.
Melakukan tes serologi IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal untuk skrining
pada daerah yang beresiko tinggi terkena karsinoma nasofaring

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, E. 2020. Buku Teks Komprehensif Ilmu THT-KL. Jakarta: EGC.

2. Dhingra, P. and Dhingra, S. (2018). Disease of Ear, Nose, and Throat & Head and Neck Surgery.
7th ed. India.

3. Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. Buku Ajar Ilmi Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p.188-
190

4. Yusmawan, H. Antono, D. 2020. Anatomi Nasofaring on Karsinoma Nasofaring. Jakarta: EGC.

5. Farhat, Adham M, Dewi YA. 2020. Karsinoma Nasofaring. Jakarta: EGC.

6. PERHATI-KL. 2016. Panduan Praktik Klinis di Bidang Telinga Hidung Tenggorok_Kepala Leher
Volume 2. Jakarta.

7. Nagel, P. Gurkov, R. 2014. Dasar-Dasar Ilmu THT Edisi 2. Jakarta: EGC.

8. Soepardi EA, Iskandar M. 2015. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,Tenggorok, Kepala &
Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: FKUI.

9. Albahout, K.S. and Lopez, R.A. (2022) ‘Anatomy, Head and Neck, Pharynx’, StatPearls [Preprint].
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544271/ (Accessed: 19 February 2023).

10. Brennan, B. (2006) ‘Nasopharyngeal carcinoma’, Orphanet Journal of Rare Diseases, 1(1), p. 23.
Available at: https://doi.org/10.1186/1750-1172-1-23.

11. Kemenkes RI. (2019). PNPK Tatalaksana Karsinoma Nasofaring. Jakarta: Kemenkes RI.

12. Kontny, U. et al. (2022) ‘Nasopharyngeal Carcinoma’, Pediatric Oncology, pp. 79–97. Available
at: https://doi.org/10.1007/978-3-030-92071-5_10.

13. Mohanty, S., Gopinath, M. and Subramanian, M. (2013) ‘Benign Tumours of Nasopharynx—
Revisited’, Indian Journal of Otolaryngology and Head & Neck Surgery, 65(Suppl 1), p. 22.
Available at: https://doi.org/10.1007/S12070-011-0384-6.

14. Tan, I. et al. (2016) ‘Proceedings of the 7th Biannual International Symposium on
Nasopharyngeal Carcinoma 2015’. Available at: https://doi.org/10.1186/s12919-016-0001-5.

15. Tsao, S.W. et al. (2014) ‘Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma’, Oral Oncology, 50(5),
pp. 330–338. Available at: https://doi.org/10.1016/J.ORALONCOLOGY.2014.02.006Schuon R,
Brieger J, Heinrich YR, Szyfter W, Mann WJ. Immunohistochemical Analysis of Growth
Mechanisms in Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. 2007.

16. Craig A. Tork. Dustin L. Simpson. 2022. Nasopharyngeal Angiofibroma. StatPearls.

37
17. Khedr M. 2022. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Radiopedia.

18. Adams GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Boeis Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi ke-6. Jakarta : EGC, 1997. Hal. 324

19. Pradillo, et al. Nasopharyngeal Angiofibroma in The Elderly: Report of a Case. Laryngoscope.
1063-65

20. Mansfield, E. Angiofibroma. In: eMedicine. Medical Topics. Dec 24th 2016.

21. Fauci, et.al. (Ed.) Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. McGraw-Hill
Companies, Inc. USA. 2008; Part 6: Chapter 79

38
39
40

Anda mungkin juga menyukai