Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

ANGIOFIBROMA NASOFARING

Disusun Oleh :
Ahmad Zia Fadelzi
102118191

Pembimbing :
dr. Deddy Eko Susilo, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU PENYAKIT


THT-KL RSUD DR R.M DJOELHAM BINJAI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga Referat ini dapat diselesaikan pada waktunya sebagai
salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan
Klinik Senior di SMF bagian Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Dr. RM. Djoelham
Binjai. Referat ini menyajikan suatu pembahasan yang diuraikan secara singkat
mengenai “Angiofibroma Nasofaring”.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing
yaitu dr. Deddy Eko Susilo, Sp. THT-KL atas bimbingan dan arahannya selama
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF bagian Penyakit THT-KL RSUD
Dr. RM. Djoelham Binjai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Referat ini memiliki banyak
kekurangan dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Harapan penulis semoga
laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua.

Binjai,
Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................................
........1
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA.............................................................................3
A. Anatomi Nasofaring........................................................3
1. Anatomi Nasofaring....................................................3
2. Lokasi dan Vaskularisasi Tumor..................................4
B. Angiofibroma Nasofaring................................................6
1. Definisi........................................................................6
2. Epidemiologi................................................................6
3. Etiologi........................................................................6
4. Patofisiologii................................................................6
5. Manifestasi klinis.........................................................7
6. Diagnosis....................................................................9
7. Pemeriksaan Penunjang............................................10
8. Stadium.....................................................................13
9. Diagnosis Banding....................................................14
10. Penatalaksanaan.......................................................14
11. Komplikasi.................................................................19
12. Prognosis..................................................................20
BAB III
KESIMPULAN...................................................................................
....21

iii
DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................................
...22

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal


angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak
namun secara klinis bersifat ganas karena dapat mendestruksi tulang dan meluas
ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak
(cranial vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi
merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif khususnya remaja laki-laki,
pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya
tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini tidak sepenuhnya tepat karena
neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. Tumor ini
biasanya paling banyak terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja. Umumnya
terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia
14-18 tahun dan jarang pada usia di atas 25 tahun. Sekarang ada kesepakatan
bersama bahwa ini semata-mata khususnya terdapat pada laki-laki dan umur rata-
rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya, bervariasi antara
umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring
jarang pada pasien lebih dari 25 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka
sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom.(1, 2)
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada
nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala
danleher.Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia,
seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948)
melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien
yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York.
Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada
Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana didapat kesimpulan bahwa
lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York. Dilaporkan insiden

1
JNA banyak terjadi di Mesir dan India. Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5000-
60.000 kasus THT.(2, 4)
Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis.
Eksisi JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu
pada eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor
mikroskopik.(1)
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala
(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-
18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum
serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma
nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus
sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
perdarahan yang ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias
gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan
hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
angiofibroma nasofaring.(2)
Beberapa hipotesis tentang asal usul tumor ini sudah dikemukakan tetapi
belum ada yang benar-benar bisa menjelaskan dengan baik.(1, 2)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
1. NASOFARING
Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak
dibelakang rongga hidung, diatas tepi palatum molle dengan diameter anterior-
posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung serta
telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh
dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah.
Dinding depan (anterior) dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga
dengan koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang
berhubungan dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh
septum nasi. Dinding atas (superior) dan belakang (posterior) sedikit menonjol,
dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding belakang
dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama
(tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding
posterior dan atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat
meluas sampai ke muara tuba eustachius.
Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan
berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit
yang disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian
yang terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan
muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba
Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai
torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada
supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring
adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang
dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini
mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen

3
spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis,dan kanalis hypoglosus. Struktur ini
penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.(1,3)

Gambar 2.1 Anatomi Faring (Sagital)3

2. LOKASI DAN VASKULARISASI TUMOR


Lokasi dan vaskularisasi tumor menjadi aspek penting dalam diagnosis dan
penatalaksanaan angiofibroma nasofaring. Tumor ini awalnya berada di
nasofaring, namun dapat meluas hingga ke cavum nasi, fossa infratemporal, fossa
pterygopalatina, fossa sphenopalatina, hingga ke fossa cranial media dan di fossa
orbitalis bergatung dari staidum tumor. Semakin luas tumor semakin banyak pula
vaskularisasi yang terlibat. Kedua hal ini saling berkaitan, dengan diketahuinya
lokasi tumor dan derajat penyebarannya, kita bisa memprediksi feeding artery dari
tumor ini. Untuk mempelajari hal ini, pengetahuan tentang vaskularisasi
nasopharyng dan cavum nasi mesti diketahui. Secara umum, vaskularisasi dari
nasofaring berasal dari arteri pharyngeal ascenden yang berasal dari proximal
arteri karotis eksterna. Sedangkan vaskularisasi dari cavum nasi berasal dari
berbagai arteri dan cukup kompleks. Arteri besar yang terlibat yaitu arteri facialis,
arteri sfenopalatina, arteri labialis superior, arteri palatina mayor, dan arteri

4
maxillaris interna yang semuanya berasal dari arteri karotis eksterna, serta arteri
etmoidalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri karotis interna.(1-3)

Gambar 2.2 Vaskularisasi Nasofaring3

Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari
akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya
muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen
sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi,
nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding
posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan
tumor.(1, 2)

Angiofibroma nasofaring ini terutama memperoleh pasokan darah dari arteri


pharyngeal ascenden atau dari arteri maxillaris interna. Namun jika tumor meluas
sampai ke fossa cranialis anterior atau media, aliran darah tambahan berasal dari
arteri karotis interna. Hal ini merupakan suatu yang esensial untuk mengenali
pembuluh darah yang terlibat sebelum manipulasi operasi. Embolisasi dapat
dilakukan untuk mengurangi resiko perdarahan masif selama operasi yang
dilakukan 24-72 jam sebelum operasi.(1,2)

5
B. ANGIOFIBROMA NASOFARING
1. DEFENISI
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke
sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan1.
2. EPIDEMIOLOGI
Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT,
diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala. Tumor ini
umumnya terjadi pada laki-laki antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia lebih
dari 25 tahun2.
3. ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan.
Salah satu di antaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat
perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga
hidung.
Faktor ketidak seimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai
penyebab adanya kekurangan androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini
didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan
umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja laki-laki. Itulah sebabnya tumor
ini disebut juga angiobroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma). 1,2

4. PATOFISIOLOGI
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan

6
ke arah anterior akan megisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi
kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor
melebar ke arah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan
mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fosa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di
wajah. Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka
tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”.(1, 5, 8)

Perluasan ke intrakanial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan


pterigomaksila etmoid masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke
fosa serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa
hipofise(4, 8)

5. MANIFESTASI KLINIS

a. Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan
gejala yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang
berwarna darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisan, yang
berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang
(recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba
eustachius.(1,2,5,9)

b. Tanda

1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal


posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat
tidak bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka
kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.

7
2. Mata menonjol (proptos/is), langit-langit mulut yang membengkak (a
bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral
buccal mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan
zygoma (umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka
kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%,
sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-
15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba
eustachius, pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot
rahang) yang merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa
infratemporal. Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan
optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.(1,2,5,9)

Gambar 2.3. Foto pasien dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan
bagian tengah wajahnya karena penekanan dari tumor.(9)

8
Gambar 2.4. Bulging Palate pada pemeriksaan mulut.(9)

c.

Pemeriksaaan fisik
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa
tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu
sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya
diliputi oleh selaput lendir bewarna keunguan, sedangkan bagian yang
meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda
warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan,
karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi 5.

9
Gambar 2.5 Tampak angiofibroma nasofaring

6. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering
ditemukan (>80%) ialah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang
berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang
hidung akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut. 2 Gejala-gejala lain
muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.(1,2)

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Radiologis

1. FOTO SINAR-X

Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak


dalam nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik
dari tumor ini pada foto lateral, yaitu pendorongan prosesus
pterigoideus ke belakang sehingga fissura pterigopalatina membesar.
Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring
yang dapat mengerosi dinding orbita, arjus zigoma dan daerah di
sekitar nasofaring.(9,10)

10
Gambar 2.6. Foto X- ray Konvensional (9)

2. CT SCAN

CT- scan dari kepala


dengan kontras merupakan
pemeriksaan pilihan
utama dan telah menggantikan radiografi konvensional. Dapat
menunjukkan penyebaran tumor, desktruksi tulang atau perubahan
posisi lain. Kemungkinan dijumpai pembungkukkan dari dinding
posterior sinus maksilaris (antral sign) yang merupakan patognomic
dari tumor angiofibroma. Pada pemeriksaan CT Scan akan terlihat
gambaran klasik yang disebut dengan “Holman Miller” yaitu

11
pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fisura
pterigo-palatina melebar 9..

Gambar 2.7 CT scan axial menunjukkan angiofibroma nasopharingeal


menempati rongga hidung kanan dengan Holman-Miller sign positif. (9)

3. MRI dan ANGIOGRAFI

Pemeriksaan magnetik resonansi imaging (MRI) dilakukan untuk


menentukan batas tumor terutama yang telah meluas ke intra kranial.
Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna akan
memperlihatkan vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari
cabang arteri maksila interna homolateral. Arteri maksilaris interna
terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari
posterior ke anterior dan dari nasoaring ke arah fosa pterigomaksila.

12
Selain itu, masa tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan
akan mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan.
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak
(ramai). Pada Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama
disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi terutama
dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran
intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya
gagal.(11)

Gambar 2.8 Gambaran MRI (a dan b) angiogram JNA (c dan d ) (11)

8. STADIUM

Sebagai neoplasma dari nasofaring, diperlukan evaluasi individu dan


pengobatannya. Different Staging System diperlukan untuk memilih pendekatan
bedah untuk mengeluarkan JNA, Chandler dkk merekomendasikan sistem
stadium untuk kanker nasofaring oleh AJC: (1,12)

 Stadium I : Tumor di nasofaring.


 Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.

13
 Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa
pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
 Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Klasifikasi Menurut Sessions

 Stadium IA – Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.

 Stadium IB – Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring


dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.

 Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary


fossa.

 Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa


erosi superior dari tulang-tulang orbita.

 Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial


fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.

 Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa


perluasan ke sinus kavernosus.

Klasifikasi Menurut Fisch

 Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa


kerusakan tulang.

 Stadium II – Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal


dengan kerusakan tulang.

 Stadium III – Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio
parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.

14
 Stadium IV – Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik,
dan atau fossa pituitari.

9. DIAGNOSIS BANDING

1. Polip nasal, polip antrokoanal, teratoma, encephalocele, dermoids,


inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous.
2. Epistaksis, sistemik atau lokal.
3. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
4. Polip koanal (choanal polyp).
5. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
6. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
7. Karsinoma nasofaring. (1,2,11)

10. PENATALAKSANAAN
1. Embolisasi

Tujuan embolisasi pada pembuluh darah tumor supaya tumor menjadi


jaringan parut dan menghentikan perdarahannya. Embolisasi dilakukan
dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung
aliran darah. Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis
eksterna lalu ke arteri maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih bisa
didapat dari arteri karotis interna dan arteri-arteri etmoidalis. Dengan
embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat
langsung diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor. Embolisasi
mampu untuk mengurangi pendarahan saat pembedahan sebanyak 60 – 80%.
(9, 10)

15
Gambar 2.9 Gambaran angiografi JNA sebelum embolisasi(11)

Gambar 2.10 Gambaran angiografi


setelah embolisasi(11)

2. Terapi pembedahan
Karena lokasi JNA yang
bervariasi dan dikelilingi
banyak situs-situs anatomis di basis kranii, pilihan metode pendekatan
bedah dilakukan berdasarkan stadium tumor dan berdasarkan pengalaman
dari operator. Pendekatan dengan endoskop disarankan untuk tumor-tumor
yang kecil (tunor stadium I). Terapi pembedahan dapat dibedakan menjadi
pembedahan terbuka dan pembedahan endoskopik(5,6)
a. Pembedahan Terbuka
Pendekatan pembedahan dapat dibagi menjadi inferior, anterior, dan
lateral. Pendekaran inferior meliputi transpalatal dan transoral-
transpharyngeal dengan atau tanpa memisahkan palatum molle. Teknik ini
memberikan akses yang baik pada nasaofaring dan kavum nasi. Pendekatan
anterior dasarnya adalah membuka kavum nasi, meliputi tehnik lateral
rhinotomy dan midfacial degloving dan dapat diperluas melalui maksila
medial untuk mengekspos antrum, sinus ethmoid, dan fossa pterygopalatine
(metode LeFort I, Denker’s, dan medial maxillectomy). Pendekatan lateral

16
dilakukan untuk mencapai fossa infratemporal,melaluirutr preauricular
subtemporal.
 Pendekatan Transpalatal
Pendekatan ini baik sekali untuk mencapai tumor di nasofaring yang
meluas ke sphenoid dan nasal posterior. Banyak jenis insisi palatum,
namun yang paling sering digunakan adalah insisi bentuk huruf “U”. insisi
tersebut dapat diperluas ke tuberositas maksila dan bergabung dengan
insisi sublabial, bila ingin mencapai pterigopalatum. Setelah dilakukan
insisi berbentuk huruf “U”, jabir mukoperiosteal diangkat ke atas,
sedangkan tulang palatum durum posterior dibuang. Bila tumor sudah
lengkap terlihat maka tumor dapat diangkat bersama-sama dengan
mukoperiosteum nasofaring.

Gambar 2.10 pendekatan Transpalatal

 Pendekatan Rinotomi Lateral


Insisi rinotomi lateral atau Weber-Ferguson digunakan untuk
mencapai rongga hidung dan sinus maksilaris. Bila ingin mencapai fossa
pterigopalatina, insisi dapat diperluas ke tuberositas maksila. Kekurangan
dari pendekatan rinotomi lateral adalah terdapatnya jaringan parut pada
wajah dan biasanya dilakukan hanya pada tumor yang tumbuh unilateral.
Oleh karenanya pendekatan ini perlu dikombinasi dengan pendekatan
transpalatal untuk dapat mengangkat tumor secara utuh.

17
Gambar 2.11 Pendekatan Rinotomi Lateral

 Pendekatan Sublabial (Midfacial Degloving)


Pendekatan ini merupakan perluasan dari insisi sublabial bilateral dan
transversal maksila. Pendekatan degloving ini tidak menimbulkan parut
di wajah ataupun gangguan fungsi palatum. Keuntungan lainnya adalah
pendekatan ini dapat mencakup lapang pandang operasi yang cukup luas,
yaitu rongga hidung, nasofaring, dan daerah muka sepertiga tengah, sinus
maksilaris, fossa pterigomaksila serta fossa infratemporal. Conley dan
Price mengembangkan teknik operasi ini dengan menggabungkan empat
macam insisi yaitu insisi sublabial bilateral pada sulkus ginggivobukal,
insisi transfiksi yang memisahkan tulang rawan lateral atas dan jaringan
lunak hidung serta insisi apertura piriformis pada kedua sisi. Setelah itu
keempat insisi dihubungkan, jaringan muka sepertiga tengah dapat ditarik
ke cranial sampai mencapai sutura nasofontal dan lengkung infraorbita,
serta dapat dilakukan reseksi tulang untuk mencapai lapangan operasi
yang diinginkan. Komplikasi yang didapat adalah stenosis vestibulum.

Gambar 2.12 Pendekatan Midfacial Degloving

 Pendekatan intrakranial

18
Pada kasus-kasus tumor yang sudah meluas ke intrakranial, dapat
dilakukan kombinasi pendekatan intrakranial dan ekstrakranial rinotomi
bilateral. Bila tumor intrakranial cukup kecil dan mudah digerakkan,
maka dapat diangkat bersamaan dengan tumor ekstrakranial melalui
lubang defek tempat masuknya melalui fossa media. Akan tetapi bila
tumor intracranial agak besar, harus direseksi tepat pada defek tempat
masuknya ke fossa media.
b. Pembedahan endoskopi
Perkembangan teknik endoskopi dan pengetahuan akan anatomi
menyebabkan penggunaan nasal endoskopi untuk operasi JNA adalah hal
yang mungkin. Pembedahan endoskopi dan embolisasi preoperatif
meminimalkan perdarahan. Keuntungan dari pembedahan endoskopi
antara lain waktu rehabilitasi pasca operasi yang minimal, waktu inap
yang lebih singkat, dan meminimalkan infeksi nosokomial.
Mengesampingkan keuntungan-keuntungan diatas, tingkat rekurensi
dilaporkan sekitar 30-50%, kebanyakan muncul 12 bulan pertama setelah
perawatan. Semakin muda usia pasien dan semakin lanjut perjalanan
penyakit, maka semakin besar rekurensi akan terjadi.

3. Hormonal
Karena JNA berhubungan dengan pubertas pada pria muda, penggunaan
terapi hormonal digunakan sebagai terapi tambahan untuk JNA. Preparat
testosteron reseptor bloker flutamid dilaporkan mengurangi tumor stadium I
dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon,
pengobatan ini tidak digunakan secara rutin.(13)
4. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren
atau ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan
pembedahan atau resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan
sekitar apabila dilakukan pembedahan. Biasanya dosis sebesar 30 – 40 Gy

19
digunakan dalam fraksi standard untuk mengontrol lesi Pembesaran tumor.
Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi
(gama knife) atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi
knormal 3 dimensi(13)
11. KOMPLIKASI

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit


stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury
terhadap struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila
tumor sudah berekspansi ke intrakranial atau pasca operasi basis cranii.(1,11)
Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding).
Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini
jarang terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan
insisi Weber-Ferguson. Untuk komplikasi dari radioterapi Osteoradionecrosis dan
atau kebutaan karena kerusakan saraf mata, katarak, Transformasi keganasan
(malignant transformation), gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, dan
nekrosislobus temporalis.(1,2,11)

12. PROGNOSIS
Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan
reseksi lengkap dari angiofibroma nasofaring ekstrakranial dan 70% dengan
tumor intrakranial. Angka rekurensi sekitar 6-24% setelah operasi.5

20
BAB III
KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring


yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke
sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan. Diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan
kepala. Tumor ini umumnya terjadi pada laki-laki antara 7-19 tahun. Jarang terjadi
pada usia lebih dari 25 tahun.
Gejala klinis yang paling sering ditemukan adalah hidung tersumbat,
epistaksis dan adanya massa di nasofaring. Tindakan operasi merupakan pilihan
utama selain terapi hormonal, radioterapi dan kemoterapi.

21
DAFTAR PUSTAKA

1) Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia.


Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher. Edisi Keenam. Editor: Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.

2) Adams L. George, Boies R. Lawrence, Higher H. Peter. BOIES – Buku


Ajar Penyakit THT. Editor: Effendi Harjanto. Edisi 6. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta: EGC, 1997. Hal: 324-325

3) Kirschner, C. G., Netter, F. H., & American Medical Association.


(2005). Netter's atlas of human anatomy for CPT coding. Chicago, Ill.:
American Medical Association

4) Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of


Management. International Journal of Pediatrics. published online Nov 17,
2011; [cited januari 1 2016]. available
from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3228400/

5) Tewfik TL MD. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma, [online],


(http://emedicine.medscape.com/article/872580-overview#showall) [cited
on januari 1 2016]

6) Ondrey FG, Wright SK. Neoplasm of the Nasopharynx. In:Bellenger’s


Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck surgery.BC Decker. 2003;
492-495.

7) Lim J, et al. Nasopharyngeal Angiofibroma. Head and Neck pathology.


In
:http://www.brown.edu/Courses/Digital_Path/systemic_path/hn/jna1.html .
Brown Medical School. 2005 (Akses Januari 2016)

22
8) Park, Chul-Kee et.al. Recurrent Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Treated with Gamma Knife Surgery. In: http://jkms.org/fulltext/html/jkms-
21-773.html . Korean Academy of Medical Sciences. August 21 2006

9) Mishra S, Praveena N M, Panigrahi RG, Gupta Y M. Imaging in the


diagnosis of juvenile nasopharyngeal angiofibroma. J Clin Imaging Sci
2013;3, Suppl S1:1

10) Rahmani, Shervin et.al. Meningitis And Coma As The First Manifestation
Of Juvenile Angiofibroma. In:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_otorhinolaryngolog
y/volume_4_number_1_37/article/meningitis_and_coma_as_the_first_ma
nifestation_of_juvenile_angiofibroma.html . The Internet Journal of
Otolaryngology ISSN:1528-8420.

11) Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available URL :


http://emedicine.medscape.com/article/872580-workup.

12) Lidiane Maria de Brito Macedo et al. Ressecção endoscópica de


nasoangiofibroma. Rev. Bras. Otorrinolaringol. [online]. 2006, vol.72, n.4,
pp. 475-480. ISSN 0034-7299. http://dx.doi.org/10.1590/S0034-
72992006000400008.

13) Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available URL :


http://emedicine.medscape.com/article/872580-treatment..

23

Anda mungkin juga menyukai