ANGIOFIBROMA NASOFARING
Disusun Oleh :
Ahmad Zia Fadelzi
102118191
Pembimbing :
dr. Deddy Eko Susilo, Sp. THT-KL
Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga Referat ini dapat diselesaikan pada waktunya sebagai
salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan
Klinik Senior di SMF bagian Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Dr. RM. Djoelham
Binjai. Referat ini menyajikan suatu pembahasan yang diuraikan secara singkat
mengenai “Angiofibroma Nasofaring”.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing
yaitu dr. Deddy Eko Susilo, Sp. THT-KL atas bimbingan dan arahannya selama
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF bagian Penyakit THT-KL RSUD
Dr. RM. Djoelham Binjai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Referat ini memiliki banyak
kekurangan dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Harapan penulis semoga
laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua.
Binjai,
Januari 2020
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................................
........1
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA.............................................................................3
A. Anatomi Nasofaring........................................................3
1. Anatomi Nasofaring....................................................3
2. Lokasi dan Vaskularisasi Tumor..................................4
B. Angiofibroma Nasofaring................................................6
1. Definisi........................................................................6
2. Epidemiologi................................................................6
3. Etiologi........................................................................6
4. Patofisiologii................................................................6
5. Manifestasi klinis.........................................................7
6. Diagnosis....................................................................9
7. Pemeriksaan Penunjang............................................10
8. Stadium.....................................................................13
9. Diagnosis Banding....................................................14
10. Penatalaksanaan.......................................................14
11. Komplikasi.................................................................19
12. Prognosis..................................................................20
BAB III
KESIMPULAN...................................................................................
....21
iii
DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................................
...22
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
JNA banyak terjadi di Mesir dan India. Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5000-
60.000 kasus THT.(2, 4)
Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis.
Eksisi JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu
pada eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor
mikroskopik.(1)
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala
(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-
18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum
serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma
nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus
sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
perdarahan yang ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias
gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan
hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
angiofibroma nasofaring.(2)
Beberapa hipotesis tentang asal usul tumor ini sudah dikemukakan tetapi
belum ada yang benar-benar bisa menjelaskan dengan baik.(1, 2)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
1. NASOFARING
Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak
dibelakang rongga hidung, diatas tepi palatum molle dengan diameter anterior-
posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung serta
telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh
dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah.
Dinding depan (anterior) dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga
dengan koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang
berhubungan dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh
septum nasi. Dinding atas (superior) dan belakang (posterior) sedikit menonjol,
dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding belakang
dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama
(tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding
posterior dan atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat
meluas sampai ke muara tuba eustachius.
Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan
berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit
yang disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian
yang terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan
muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba
Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai
torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada
supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring
adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang
dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini
mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen
3
spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis,dan kanalis hypoglosus. Struktur ini
penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.(1,3)
4
maxillaris interna yang semuanya berasal dari arteri karotis eksterna, serta arteri
etmoidalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri karotis interna.(1-3)
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari
akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya
muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen
sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi,
nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding
posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan
tumor.(1, 2)
5
B. ANGIOFIBROMA NASOFARING
1. DEFENISI
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke
sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan1.
2. EPIDEMIOLOGI
Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT,
diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala. Tumor ini
umumnya terjadi pada laki-laki antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia lebih
dari 25 tahun2.
3. ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan.
Salah satu di antaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat
perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga
hidung.
Faktor ketidak seimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai
penyebab adanya kekurangan androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini
didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan
umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja laki-laki. Itulah sebabnya tumor
ini disebut juga angiobroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma). 1,2
4. PATOFISIOLOGI
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan
6
ke arah anterior akan megisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi
kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor
melebar ke arah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan
mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fosa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di
wajah. Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka
tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”.(1, 5, 8)
5. MANIFESTASI KLINIS
a. Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan
gejala yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang
berwarna darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisan, yang
berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang
(recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba
eustachius.(1,2,5,9)
b. Tanda
7
2. Mata menonjol (proptos/is), langit-langit mulut yang membengkak (a
bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral
buccal mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan
zygoma (umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka
kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%,
sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-
15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba
eustachius, pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot
rahang) yang merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa
infratemporal. Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan
optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.(1,2,5,9)
Gambar 2.3. Foto pasien dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan
bagian tengah wajahnya karena penekanan dari tumor.(9)
8
Gambar 2.4. Bulging Palate pada pemeriksaan mulut.(9)
c.
Pemeriksaaan fisik
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa
tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu
sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya
diliputi oleh selaput lendir bewarna keunguan, sedangkan bagian yang
meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda
warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan,
karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi 5.
9
Gambar 2.5 Tampak angiofibroma nasofaring
6. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering
ditemukan (>80%) ialah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang
berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang
hidung akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut. 2 Gejala-gejala lain
muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.(1,2)
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Radiologis
1. FOTO SINAR-X
10
Gambar 2.6. Foto X- ray Konvensional (9)
2. CT SCAN
11
pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fisura
pterigo-palatina melebar 9..
12
Selain itu, masa tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan
akan mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan.
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak
(ramai). Pada Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama
disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi terutama
dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran
intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya
gagal.(11)
8. STADIUM
13
Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa
pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.
Stadium III – Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio
parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.
14
Stadium IV – Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik,
dan atau fossa pituitari.
9. DIAGNOSIS BANDING
10. PENATALAKSANAAN
1. Embolisasi
15
Gambar 2.9 Gambaran angiografi JNA sebelum embolisasi(11)
2. Terapi pembedahan
Karena lokasi JNA yang
bervariasi dan dikelilingi
banyak situs-situs anatomis di basis kranii, pilihan metode pendekatan
bedah dilakukan berdasarkan stadium tumor dan berdasarkan pengalaman
dari operator. Pendekatan dengan endoskop disarankan untuk tumor-tumor
yang kecil (tunor stadium I). Terapi pembedahan dapat dibedakan menjadi
pembedahan terbuka dan pembedahan endoskopik(5,6)
a. Pembedahan Terbuka
Pendekatan pembedahan dapat dibagi menjadi inferior, anterior, dan
lateral. Pendekaran inferior meliputi transpalatal dan transoral-
transpharyngeal dengan atau tanpa memisahkan palatum molle. Teknik ini
memberikan akses yang baik pada nasaofaring dan kavum nasi. Pendekatan
anterior dasarnya adalah membuka kavum nasi, meliputi tehnik lateral
rhinotomy dan midfacial degloving dan dapat diperluas melalui maksila
medial untuk mengekspos antrum, sinus ethmoid, dan fossa pterygopalatine
(metode LeFort I, Denker’s, dan medial maxillectomy). Pendekatan lateral
16
dilakukan untuk mencapai fossa infratemporal,melaluirutr preauricular
subtemporal.
Pendekatan Transpalatal
Pendekatan ini baik sekali untuk mencapai tumor di nasofaring yang
meluas ke sphenoid dan nasal posterior. Banyak jenis insisi palatum,
namun yang paling sering digunakan adalah insisi bentuk huruf “U”. insisi
tersebut dapat diperluas ke tuberositas maksila dan bergabung dengan
insisi sublabial, bila ingin mencapai pterigopalatum. Setelah dilakukan
insisi berbentuk huruf “U”, jabir mukoperiosteal diangkat ke atas,
sedangkan tulang palatum durum posterior dibuang. Bila tumor sudah
lengkap terlihat maka tumor dapat diangkat bersama-sama dengan
mukoperiosteum nasofaring.
17
Gambar 2.11 Pendekatan Rinotomi Lateral
Pendekatan intrakranial
18
Pada kasus-kasus tumor yang sudah meluas ke intrakranial, dapat
dilakukan kombinasi pendekatan intrakranial dan ekstrakranial rinotomi
bilateral. Bila tumor intrakranial cukup kecil dan mudah digerakkan,
maka dapat diangkat bersamaan dengan tumor ekstrakranial melalui
lubang defek tempat masuknya melalui fossa media. Akan tetapi bila
tumor intracranial agak besar, harus direseksi tepat pada defek tempat
masuknya ke fossa media.
b. Pembedahan endoskopi
Perkembangan teknik endoskopi dan pengetahuan akan anatomi
menyebabkan penggunaan nasal endoskopi untuk operasi JNA adalah hal
yang mungkin. Pembedahan endoskopi dan embolisasi preoperatif
meminimalkan perdarahan. Keuntungan dari pembedahan endoskopi
antara lain waktu rehabilitasi pasca operasi yang minimal, waktu inap
yang lebih singkat, dan meminimalkan infeksi nosokomial.
Mengesampingkan keuntungan-keuntungan diatas, tingkat rekurensi
dilaporkan sekitar 30-50%, kebanyakan muncul 12 bulan pertama setelah
perawatan. Semakin muda usia pasien dan semakin lanjut perjalanan
penyakit, maka semakin besar rekurensi akan terjadi.
3. Hormonal
Karena JNA berhubungan dengan pubertas pada pria muda, penggunaan
terapi hormonal digunakan sebagai terapi tambahan untuk JNA. Preparat
testosteron reseptor bloker flutamid dilaporkan mengurangi tumor stadium I
dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon,
pengobatan ini tidak digunakan secara rutin.(13)
4. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren
atau ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan
pembedahan atau resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan
sekitar apabila dilakukan pembedahan. Biasanya dosis sebesar 30 – 40 Gy
19
digunakan dalam fraksi standard untuk mengontrol lesi Pembesaran tumor.
Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi
(gama knife) atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi
knormal 3 dimensi(13)
11. KOMPLIKASI
12. PROGNOSIS
Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan
reseksi lengkap dari angiofibroma nasofaring ekstrakranial dan 70% dengan
tumor intrakranial. Angka rekurensi sekitar 6-24% setelah operasi.5
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
22
8) Park, Chul-Kee et.al. Recurrent Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Treated with Gamma Knife Surgery. In: http://jkms.org/fulltext/html/jkms-
21-773.html . Korean Academy of Medical Sciences. August 21 2006
10) Rahmani, Shervin et.al. Meningitis And Coma As The First Manifestation
Of Juvenile Angiofibroma. In:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_otorhinolaryngolog
y/volume_4_number_1_37/article/meningitis_and_coma_as_the_first_ma
nifestation_of_juvenile_angiofibroma.html . The Internet Journal of
Otolaryngology ISSN:1528-8420.
23